Anda di halaman 1dari 22

Seleksi Lahan Kelapa Sawit

Posted on May 21, 2011 | 5 Comments

BAB III

SELEKSI LAHAN KELAPA SAWIT

S. Paramananthan

Managing Director, Param Agricultural Soil Surveis (M) Sdn Bhd, A4-3 Jalan
17/13, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia 46400. Fax: +60 3 7956 3900. E-mail:
geologi@po.jaring.my

PENDAHULUAN

Produktivitas tanaman bergantung pada proses fotosintesis untuk pertumbuhan


vegetatif dan generatif. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi faktor lingkungan mikro
dan tipe tanah. Faktor lingkungan radiasi cahaya berpengaruh terhadap kelembaban
kanopi dan temperatur berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis. Kombinasi
faktor-faktor tersebut apabila diukur dengan bahan tanan dapat diketahui potensial
produksi yang spesifik. Potensial produksi menjadi terbatas karena kondisi iklim,
termasuk manajemen air, nutrisi, gulma, dan penyakit. Sehingga, survei lahan dan
tanah merupakan tahap awal menyeleksi lahan untuk pengembangan kelapa sawit.

Aspek-aspek yang diperhatikan pada saat melakukan survei lahan adalah 1)


kesesuaian tempat/ lahan untuk pengembangan kelapa sawit, seperti tipe tanah,
kapabilitas kesuburan tanah, curah hujan, dan radiasi cahaya; 2) ketidaksesuaian
lahan untuk budidaya kelapa sawit; 3) potensial produksi untuk tempat tertentu; 4)
biaya pengembangan (drainase, perbaikan tanah); dan 5) biaya perawatan
(pemupukan, potensi untuk mekanisasi lahan).

Survei tanah menghasilkan informasi dasar tentang pemetaan lahan, termasuk


karakteristik, level atau tipe tanah, dan lokasi lahan. Informasi lain yang diperlukan
sebelum menanam kelapa sawit adalah hasil produksi, status nutrisi daun dan tanah,
pupuk yang digunakan sebelumnya, dan kejadian hama penyakit). Walaupun survei
tanah menunjukkan prediksi performa dari lahan tersebut, tetapi sebaiknya tidak
menjadi acuan seluruhnya untuk lahan yang akan digunakan. Diperhatikan juga
aspek sosial ekonomi, akses pemasaran, dan penjelasan dari pemilik lahan. Teknik
manajemen yang baik dapat meningkatkan hasil produksi di semua lahan, namun
produksi optimal diperoleh dari adaptasi teknik manajemen pada lahan tertentu
berdasarkan pada kondisi agroekologi pada tiap lokasi.

KRITERIA LOKASI YANG TEPAT


Tiga aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman kelapa sawit adalah
iklim, vegetasi, dan tanah.

a. Iklim

Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan yang dekat dengan sungai di Guinea
Savanna Afrika Barat yang kering dan radiasi matahari yang rendah. Kondisi ini
menyebabkan produksi kelapa sawit rendah. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada
daerah di luar habitat aslinya, yaitu 16º lintang utara (Honduras) hingga 15º lintang
selatan (Brazil) dengan 20 negara di antara jarak tersebut. Kelapa sawit dapat
tumbuh baik dengan tanaman lain dan mengkoloni tempat dimana terdapat sinar
matahari dan kelembaban tanah yang cukup untuk siklus hidupnya. Produksi
tertinggi terdapat di Asia Tenggara dan Asia Pasifik dengan produksi 7 ton/th.
Sehingga, kondisi iklim mempengaruhi pertumbuhan, hasil, unsur hara, dan kejadian
hama penyakit. Setiap perkebunan memerlukan data curah hujan, panjang hari
terang, temperatur minimal dan maksimal, kelembaban, dan evaporasi (penguapan).
Faktor iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan keragaan kelapa sawit
adalah total hari hujan dan distribusi hujan, radiasi matahari, temperatur, dan angin.

1. Total hari hujan dan distribusi hujan

Kelapa sawit bertranspirasi air 5-6 mm/hari/th. Kebutuhan kelembaban tanah yang
terus-menerus diperlukan untuk kebutuhan fungsi fisiologis jaringan kelapa sawit,
transportasi unsur hara dan asimilasi tanaman. Kelapa sawit dapat beradaptasi
terhadap kekeringan dengan penutupan stomata, keterlambatan pembukaan daun, dan
pengurangan produksi tandan (Ng, 1972). Kekeringan menyebabkan menurunkan
rasio bunga betina dan jantan, menurunkan hasil 19-22 bulan kemudian, berpengaruh
terhadap rasio tandan buah, dan proses pemasakan buah. Curah hujan ideal untuk
tanaman kelapa sawit 2000-3500 mm/th dengan distribusi 100 mm/bulan.

Tanaman seringkali menunjukkan indikator yang baik terhadap kekeringan karena


adanya integrasi tanaman dengan tipe tanah dan ketersediaan air di tanah. Gejala
kekeringan pada kelapa sawit antara lain akumulasi daun yang tidak membuka,
kekeringan dini pada daun paling rendah tanaman muda, daun hijau menjadi rusak,
kekeringan tandan atau aborsi, tajuk mati, dan tanaman mati.

Keseimbangan air yang dibutuhkan kelapa sawit dapat diukur berdasarkan air tanah
yang terserap, curah hujan, dan potensial evapotranspirasi dengan formula:

B = Res + R – Etp …………………………………………….. (1)

Dimana B adalah keseimbangan periode awal dan akhir, Res adalah air tanah yang
tersedia pada awal periode, R ialah curah hujan selama periode, dan Etp merupakan
evapotranspirasi selama periode. Produksi tinggi diperoleh apabila kekurangan
kelembaban <200 mm atau > 500 mm dengan irigasi.

2. Radiasi matahari

Kelapa sawit membutuhkan panjang hari >5-7 jam/hari setiap bulan. Setelah hujan,
radiasi matahari merupakan faktor iklim kedua yang penting. Penelitian
menunjukkan hubungan antara radiasi matahari dan hasil produksi antara lain:

 Radiasi matahari berpengaruh terhadap pertumbuhan, asimilasi bersih, dan


pembentukan bunga betina (Hartley, 1988),
 Hasil produksi lebih dari 28 bulan berkorelasi dengan radiasi matahari pada
periode 12 bulan sebelumnya (Hartley, 1988),
 Jumlah ekstraksi minyak meningkat 18-20 bulan setelah periode panjang hari
yang tinggi (Chow and Chang, 1998),
 Tandan buah, mesokarp, rasio buah, dan jumlah ekstraksi minyak menurun
setelah periode panjang hari yang tinggi (Prabowo dan Foster, 1998),
 Pembakaran hutan menurunkan radiasi matahari di Sumatera Utara tahun
1997-1998 dan menyebabkan penurunan hasil 1.3-4.6 ton tandan buah segar
(TBS) per tahun.

3. Temperatur

Kelapa sawit cocok ditanam di daerah tropis (≤38ºC, optimum 22-32ºC) dan sangat
sensitif di temperatur rendah. Temperatur rendah menyebabkan stomata tertutup dan
mengurangi fotosintesis. Henry (1957) menyebutkan pertumbuhan rata-rata tanaman
fase bibit ≤15ºC, namun dapat meningkat menjadi 17-25ºC setelah 3-5 tahun dan
temperatur <18ºC untuk pematangan buah. Produksi meningkat dengan rata-rata
temperatur <\27ºC di Vanuatu dan menurun pada <18-19ºC di Madagaskar untuk 4-5
bulan dalam satu tahun (Olivin, 1986).

Temperatur menurun 0.6ºC per 100 m ketinggian di atas permukaan air laut (dpl).
Hal ini telah dilaporkan dari Sumatera bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam
pada ketinggian >500 m mengalami cekaman lingkungan pada tahun pertama dan
produksi lebih rendah dari tanaman yang ditanam pada dataran rendah (<100 m dpl)
(Hartley, 1988). Hal ini diduga radiasi matahari yang diterima berkurang dengan
tingkat ketinggian dan ketebalan kabut.

4. Angin

Angin yang besar menyebabkan kerusakan pada daun, tumbang, atau akar yang
keluar dari tanah. Di kepulauan Solomon, >25% tanaman kelapa sawit rusak karena
besarnya angin, namun dapat berproduksi kembali setelah 3-4 tahun. Klasifikasi
kesesuaian iklim untuk kelapa sawit (Paramanthan, 2000) adalah sinar matahari >5.5
jam/hari, radiasi matahari >16 MJ/m2, curah hujan per tahun 2000-2500 mm/tahun,
curah hujan per bulan >100 mm/bulan, bulan kering <200 mm/tahun, kelembaban 75-
85%, suhu rata-rata 28ºC, dan rata-rata kecepatan angin 0-10 m/detik.

b. Vegetasi

Vegetasi di sekitar tanaman kelapa sawit harus diuji sebagai bagian dari survei lahan
dan tanah. Vegetasi tersebut dapat digunakan sebagai informasi penting tentang
kesuburan tanah, biaya pembersihan lahan (land-clearing), drainase dan manajemen
air, lokasi penanaman, serta agronomi dan keragaan kelapa sawit di lahan tersebut.
Saat ini hutan primer yang dibuka untuk pengembangan kelapa sawit sangat sedikit
dan lahan baru kebanyakan terbentuk dari hutan sekunder setelah spesies tanaman
utama diambil. Sehingga, pengujian tanaman yang tumbuh diperlukan untuk
menduga biaya land-clearing (pembukaan lahan) dan kondisi drainase.

Alang-alang (Imperata cylindrical), Rhododendron (Melastoma malabathricum), dan


tropical bracken (Dicranopteris linearis) merupakan vegetasi yang mengindikasikan
lahan kering dan miskin unsur hara. Penambahan pupuk posfor (P) dalam jumlah
besar (100-200 kg P/ha) diperlukan untuk memperbaiki defisiensi P dan sumber P
bagi tanaman penutup legum (LCP) dan pertumbuhan awal tanaman.

c. Tanah

Kelapa sawit memiliki perakaran yang relatif dangkal, dan perakaran yang aktif
menyerap unsur hara dapat terlihat 30 cm di kedalaman tanah (Gray, 1969).
Dibandingkan dengan tanaman semusim dan kebanyakan tanaman dikotil, sistem
perakaran kelapa sawit tergolong buruk dan tidak efisien (Tinker, 1976). Padahal
kebutuhan kelapa sawit akan unsur hara justru sangat besar (Goh dan Hardter,
volume ini) dan sangat sulit untuk memperoleh hasil panen yang ‘ekonomis’ tanpa
adanya pupuk tambahan. Kebutuhan unsur hara bergantung kepada jumlah total
penyerapan hara yang diperlukan untuk mencapai target produksi, kapasitas hara
yang sudah tersedia didalam tanah, dan efisiensi hara tambahan (dalam meningkatkan
kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman) (Foster, volume ini).

Setiap tanah memiliki karakteristik tersendiri dan sangatlah penting memilih tanah
yang terbaik untuk lahan budidaya kelapa sawit. Selama lebih dari sepuluh tahun ini,
harga minyak kelapa sawit masih tinggi, bahkan berada pada tren yang terus
meningkat secara stabil (Fry, 1998: Fry, 2000, Hardter and Fairhurst, volume ini).
Hal ini mendorong investor membuka perkebunan pada tanah-tanah marginal dan
kondisi klimatik dimana potensi hasil cenderung rendah namun ongkos pengelolaan
yang tinggi. Survei lahan dan tanah yang menyeluruh akan memberikan dasar bagi
perhitungan potensi hasil dan biaya, sehingga investor dapat melakukan analisis
kepekaan terkait efek dari perubahan harga minyak kelapa sawit yang mungkin
terjadi dan input-input yang diberikan kepada perkebunannya.
Langkah yang tak kalah penting adalah mengidentifikasi dan mengimplementasikan
teknik manajemen yang spesifik bagi kondisi lahan tertentu, sehingga masalah-
masalah seputar tanah yang teridentifikasi dapat diatasi. Oleh karena itu, menjadi
suatu keharusan untuk mengidentifikasi detail permasalahan menggunakan set
kriteria (Paramanathan, 1987) (Tabel 2 & 3).

Sebagai tambahan dari faktor-faktor iklim yang telah dipaparkan sebelumnya, ada
empat karakteristik utama lahan/tanah :

1) Topografi dan kemiringan

2) Kelembaban (drainase dan genangan)

3) Sifat fisika tanah (tekstur dan struktur, kedalaman dan volume)

4) Sifat kimia tanah (KTK/Kapasitas Tukar Kation, kelarutan basa, karbon


organik, salinitas dan masalah hara mikro)

Bagian ini dibahas pengaruh sifat fisika dan topografi tanah berdasarkan kebutuhan
tipe-tipe manajemen pengairan dan konservasi tanah dan sifat tanah yang
mempengaruhi kemampuan tanah untuk men-suplai hara dan kebutuhan pupuk
mineral.

1. Topografi dan Kemiringan Lahan

Tinggi rendahnya sebuah area merupakan karakteristik tanah yang penting karena
menentukan kesesuaian untuk budidaya kelapa sawit. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, penurunan suhu dan penebalan kabut/awan akan semakin tinggi seiring
bertambahnya ketinggian tempat. Karena alasan ini, budidaya kelapa sawit tidak
direkomendasikan di wilayah dengan ketinggian >200 m drpl (di atas rata-rata
permukaan laut), selain alasan rendahnya hasil yang akan diperoleh.

Kemiringan lahan menentukan potensi erosi tanah dan kebutuhan konservasi tanah
yang biasanya memakan banyak biaya (undakan/platform, teras, bunds). Kelapa sawit
sangat baik ditanam di kemiringan <23% (<120), meskipun ada yang berhasil
dibudidayakan pada kemiringan < 38% (<200). Kemiringan >20% (>100), pembuatan
terasering, LCP dan penempatan pelepah sawit yang tua sangat perlu untuk
meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi erosi tanah (Ballo Koffi dan Quencez,
1991; Caliman dan de Kochko, 1987; Quencez,1986).

Kelapa sawit seharusnya tidak ditanam di lahan dengan kemiringan rata-rata >38%
(>200) karena sulit dan mahalnya pengadaan dan pengelolaan terasering yang stabil,
serta biaya panen yang sangat mahal. Selain itu, pengumpulan buah secara mekanik
acapkali tidak bisa dilakukan dan memerlukan kepadatan jalan (km/ha) jauh lebih
besar dibandingkan dengan lahan datar. Survei tanah perlu dilakukan untuk
memetakan area yang bisa diperbaiki (membutuhkan konservasi) atau area yang tidak
bisa ditanami sama sekali.

Namun, mengesampingkan fakta-fakta diatas, ternyata kelapa sawit telah


dibudidayakan di kemiringan <60% (<300) di Sabah, Kelantan dan Sawarak –
dikarenakan keterbatasan lahan. Di beberapa kasus, kemiringan lahan tidak
berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil, namun lebih banyak area yang mengalami
permasalahan erosi tanah dan kesulitan dalam memanen.

2. Kelembaban

Kelapa sawit memerlukan tanah dengan aerasi yang baik serta kelembaban yang
cukup sepanjang tahun, khususnya ketika kelapa sawit masih dalam umur muda dan
sistem perakaran belum berkembang dengan baik.Kelembaban yang berlebihan
akibat banjir akan menyebabkan kondisi tanah menjadi anaerobik. Oleh karenanya,
pertumbuhan dan penampilan kelapa sawit dipengaruhi oleh ketersediaan air baik
kurang maupun berlebihan sehingga membutuhkan drainase.
Secara umum, tanah-tanah dengan kandungan liat yang lebih tinggi dapat
menyimpan kelembaban dan hara lebih banyak dibandingkan dengan tanah berpasir.

3. Drainase

Kelas drainase dari suatu jenis tanah bergantung pada sejumlah parameter:

 Tekstur tanah
 Struktur tanah
 Porositas tanah, dan
 Adanya lapisan tak tembus air (impermiabel) pada tanah

Ada sepuluh kelas drainase yang telah teridentifikasi untuk tanah Malaysia
(Paramananthan, 1987) dan kelas-kelas tersebut sudah digunakan didalam evaluasi
kesesuaian tanah pertanaman kelapa sawit (Tabel 3). Kelapa sawit akan tumbuh
dengan baik pada tanah-tanah dengan drainase cukup baik hingga drainase kurang
baik, namun juga menghasilkan produksi yang baik pada tanah-tanah dengan drainase
baik hingga drainase berlebih. Sistem drainase harus dibuat pada area yang sangat
miskin drainase, tentunya, hal ini dilakukan sebelum penanaman kelapa sawit.
Ketinggian muka air (water table) harus mencapai kedalaman 0.7-1.0 m dibawah
permukaan tanah dengan membuat sistem pengeringan dan gerbang air. Di beberapa
area, kebutuhan akan pengelolaan air dan drainase akan meningkatkan biaya
pengembangan kebun kelapa sawit sehingga area-area seperti ini harus bisa dikenali
semenjak survei tanah dan lahan.

4. Banjir

Kelapa sawit memiliki sistem perakaran yang dangkal dan peka terhadap banjir yang
terus menerus, khususnya selama beberapa hari pertama setelah penanaman di lahan,
namun tanaman kelapa sawit yang sudah berumur dewasa dapat mentolerir banjir
hingga satu minggu, dengan syarat air banjir tidak stagnan. Jika permukaan air
stagnan, tanaman akan menguning dan daun mulai layu. Resiko terjadinya banjir
dapat dikaji dengan melihat record (riwayat) lahan dan berdiskusi dengan penduduk
setempat. Resiko banjir yang lebih ringan (moderat) bisa 5 tahun sekali, area seperti
ini dapat diklaim kembali mengingat peringatan akan banjir harusnya sudah ada
sebelum penanaman. Area-area yang beresiko sering terjadi banjir (lebih dari sekali
dalam 3 tahun) sebaiknya tidak dipilih.

Sebelum melakukan mitigasi bagi drainase atau banjir, sangat penting untuk
mengidentifikasi tanah-tanah asam sulfat potensial atau tanah organik yang
memerlukan sistem pengelolaan air menyeluruh.

5. Sifat fisik tanah

Sifat fisika tanah yang paling penting adalah tekstur dan struktur tanah, kedalaman
tanah, dan ada/tidaknya bebatuan yang bisa menghambat penetrasi akar. Sifat fisika
lainnya adalah ada/tidaknya lapisan gambut yang tebal yang dapat menimbulkan
problem kimia dan fisika tanah, dan ada/tidaknya sifat sulfat asam.

a. Tekstur dan Struktur

Tekstur tanah menunjukkan jumlah perbandingan pasir, debu dan liat pada suatu
lapisan tanah, sementara struktur tanah menunjukkan bagaimana ketiga komponen
tersebut tergabung membentuk agregat tanah. Tanah jenis Oxisol atau Ferrasol
mengalami banyak pelapukan dan mengandung Fe dalam jumlah besar serta >70%
liat. Tanah tersebut memiliki agregat stabil dengan porositas yang baik, sehingga
akar kelapa sawit dapat menempati sejumlah besar volume tanah. Struktur tanah bisa
berupa tanah padat dan kurang porositas. Akan tetapi, pada tanah dengan struktur
yang sama dan mengandung sedikit Fe, perkembangan sistem perakaran dapat
terhambat.

Fraksi liat tanah sangat menentukan kapasitas tanah dalam menyimpan hara dan
kelembaban. Secara umum, tanah-tanah dengan kandungan liat yang lebih tinggi
dapat menyimpan kelembaban dan hara lebih banyak dibandingkan dengan tanah
berpasir. Perakaran umumnya akan berkembang dengan sangat cepat pada tanah
dengan agregat dan porositas yang baik, sehingga tanaman kelapa sawit akan
memiliki akses yang lebih banyak terhadap kelembaban yang ada di dalam tanah. Di
lingkungan seperti ini, cekaman kekeringan dalam waktu singkat hanya sedikit
mempengaruhi kelapa sawit, hal ini dikarenakan curah hujan tahunan cukup tersedia.
Peningkatan penetrasi akar juga berdampak positif bagi tanaman kelapa sawit untuk
lebih kokoh dan tahan terhadap tiupan angin keras.

Tanah berpasir, pasir berlempung dan lempung berpasir tidak cocok untuk budidaya
kelapa sawit karena rentan cekaman kekeringan serta leaching (pencucian hara oleh
erosi). Area-area seperti ini mudah dikenali pada saat survei lahan. Sebuah lokasi di
Kalimantan dimana survei tanah tidak bisa dilakukan, perkebunan dibuka pada tanah
berpasir yang masih termasuk hutan Kerangas, dan pertumbuhan kelapa sawit sangat
buruk, meskipun sudah banyak memakai pupuk tambahan untuk meningkatkan
kesuburan tanahnya. Tanah lempung berpasir hanya disarankan bagi lahan marginal
dan masih membutuhkan teknik manajemen khusus menggunakan pupuk kandang
organik dan pemulsaan EFB untuk mendapatkan produksi yang baik (Redshaw,
volume ini).

Lempung liat berpasir (sCL), liat padat (C) dan liat berdebu (siC) memiliki porositas
yang lebih rendah, kapasitas menahan air rendah sehingga pertumbuhan akar menjadi
buruk. Dampak negatif dari struktur tanah yang buruk dan tekstur pasir dapat
dikurangi dengan menggunakan mulsa organik dan pemakaian EFB untuk
memperbaiki struktur tanah, kelembaban tanah dan kapasitas menyimpan hara.

Tanah tipe liat (C), liat berpasir (sC), lempung berliat (CL) dan lempung liat berdebu
(siCL) adalah tanah yang ideal untuk budidaya kelapa sawit. Kelapa sawit juga
dibudidayakan dalam area luas dengan jenis tanah liat dan liat berpasir yang memiliki
sifat oksat, struktur tanah remah. Akan tetapi, karena porositasnya yang tinggi,
biasanya produksi tanaman kelapa sawit mengalami fluktuasi akibat stres kelembaban
dalam waktu singkat.

b. Kedalaman dan volume tanah yang efektif

Meskipun kebanyakan akar kelapa sawit berada pada lapisan 0.3-0.6 m profil tanah,
akar yang membuat tanaman tegak dan menyuplai air selama masa kering akan
menembus tanah sedalam > 1.0 m, dan kelapa sawit menginginkan tanah yang bebas
dari hambatan fisik maupun kimia sehingga penetrasi tersebut dapat berlangsung.
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan kedalam tanah < 50 cm, jika penetrasi akar tidak
terhalang oleh hambatan fisik seperti bebatuan dan lapisan keras di sepanjang 25 m
lebih kedalaman tanah.

Tanah dengan volume bebatuan >75%, lapisan sedalam 10 cm bisa menghambat


perakaran. Di Malaysia, berat kering total akar kelapa sawit pada tanah lateritik yang
dangkal bisa mencapai 4 x lebih kecil dibandingkan dengan kelapa sawit yang
ditanam pada tanah non-lateritik (Tan, 1979). Kelapa sawit memiliki sistem
perakaran serabut yang mampu menembus sela-sela bebatuan, namun jika volume
tanah efektif berkurang, hal ini dapat menyebabkan stres kekeringan dan hara.
Pemakaian EFB bisa mengurangi fluktuasi produksi pada saat distribusi air hujan
tidak menentu.

Kedalaman perakaran yang efektif bisa terhambat oleh sifat kimia tanah (misalnya
adanya lapisan sulfat asam, elemen racun (Al3+, H+, Mn3+, Ni2+), atau pH yang
rendah). Perkembangan akar yang buruk dapat mengakibatkan tanaman tidak kokoh
(rentan angin keras) dan berkurangnya penyerapan air dan hara dari tanah. Lapisan
sulfat asam atau horison sulfur diartikan sebagai lapisan berwarna kuning dengan
pH❤.5 (Soil Survei Staff, 1999).

Pertumbuhan dan penampilan kelapa sawit yang buruk pada tanah-tanah organik
sudah banyak dilaporkan (Gurmit Singh et al., 1987). Permasalahan penanaman
kelapa sawit pada tanah gambut atau tanah organik berkaitan dengan sifat fisika dan
kimia. Tanah gambut biasanya berupa areal rawa yang luas yang sulit untuk
dikeringkan. Problem utama biasanya muncul berupa konstruksi jalan yang rumit,
rawa yang menyusut (amblas), tanaman kelapa sawit yang kurus dan sulitnya panen
(Fairhurst et al., 1998). Kemasaman tanah yang tinggi serta kekurangan hara makro
dan mikro adalah masalah-masalah kimiawi tanah yang umum dihadapi pertanaman
kelapa sawit pada areal gambut.

6. Sifat Kimia Tanah

Karakteristik kimia tanah lebih mudah untuk diubah dibandingkan dengan sifat fisika
tanah, dan merupakan poin penting didalam penilaian kesesuaian lahan kelapa sawit
dan kebutuhan pupuk mineral. Karakteristik kimia tanah yang paling penting adalah
sebagai berikut (Tabel 3):

 Bahan organik dan kadar N pada topsoil


 Unsur P tanah
 Kapasitas Tukar Kation (KTK)
 Konsentrasi K, Ca dan Mg tanah
 Kelarutan basa (%) pada topsoil
 pH tanah
 Salinitas (dS/m) di kedalaman < 50 cm, dan
 Toksisitas hara mikro

Analisis kimia tanah hanya bermanfaat jika menggunakan sistem sampling yang tepat
termasuk didalamnya skill tenaga ahli dan variabilitas yang terdapat didalam sifat
kimia tanah. Selain itu, harus dilakukan cross-check terhadap keakuratan dan
ketepatan analisis sehingga dapat mencegah kemungkinan variabilitas yang
disebabkan kecerobohan pekerja laboratorium. Hara tanah yang mensuplai tenaga
sulit untuk diprediksi dengan analisis kimia tanah mengingat penyerapan hara
tanaman juga dipengaruhi oleh sifat fisika tanah dan suplai kelembaban tanah.
Analisis tanaman biasanya mengacu kepada analisis kimia tanah untuk menghitung
kebutuhan Zn, B dan Cu.

Analisis kimia tanah dilakukan secara periodik untuk :

 Menghitung suplai hara oleh tanah


 Menghitung kapasitas tanah untuk menyimpan dan menjerap hara
 Perbedaan angka kesuburan tanah antara horison-horison tanah

Pemberian pupuk mineral pada piringan (lingkaran dibawah) tanaman kelapa sawit
dan penempatan pelepah daun tua/sisa pangkasan berselang seling antar baris
memiliki efek kuat terhadap sifat kimia tanah. Sampel terpisah harus dilakukan pada
kedua zona tersebut; membandingkan hasil analisis dari keduanya bisa membantu
kesinambungan manajemen pupuk jangka panjang. Dengan kata lain kita bisa
menduga adanya perubahan besar pada sifat kimia tanah dalam jangka waktu 25
tahun penanaman kelapa sawit. Urutan hara yang diperlukan oleh tanaman kelapa
sawit dari jumlah yang paling besar adalah N, K, P dan Mg. Berikut pembahasan
mengenai berbagai metode untuk mengukur ketersediaan dan simpanan hara didalam
tanah.

7. Bahan organik dan kandungan N tanah

Daya suplai N tanah ditentukan oleh jumlah dan kualitas bahan organik tanah (BOT)
dan tingkat aktivitas mikrobiologi tanah. N disuplai dalam jumlah besar pada tanah
yang mengandung BOT dalam jumlah besar dengan rasio C/N yang memicu
pemecahan BOT oleh mikroorganisme dan melepas N setelah proses mineralisasi
yang akan diserap oleh tanaman. Biasanya pengukuran yang baik mencakup organik
C dan total N dimana kedua kandungan ini sangat terkait satu sama lain (Tabel 4).

Rata-rata N yang dilepas dipengaruhi oleh pH tanah dan drainase. Pada tanah gambut
dan kondisi sulfat asam, aktivitas mikroba terhambat oleh rendahnya pH tanah;
pemberian kapur diperlukan untuk meningkatkan jumlah N yang dilepaskan. Pada
tanah sulfat asam, asam harus dibuang (dicuci) dan muka air tanah naik sehingga pH
tanah meningkat. Tanah-tanah yang mengalami banjir, aktivitas mikroba terhambat
karena kondisi anaerob dan pencucian N seringkali memerlukan sistem pengelolaan
air yang tepat.

Tanah-tanah tropis, jumlah BOT selalu menurun ketika vegetasi hutan berkurang
demi kepentingan pertanian namun kecepatan penurunan tersebut sangat dipengaruhi
oleh praktek pengelolaan dan suplai bahan organik agar proses pembentukan BOT
kembali dapat berjalan. Oleh karena itu, kecepatan berkurangnya BOT dapat dicegah
jika :
 Tidak ada pembakaran lahan dalam pembukaan areal baru
 Erosi tanah terkontrol
 LCP dilaksanakan selama pembukaan lahan/kebun
 Pelepah-pelepah tua/sisa pangkasan disebarkan dipermukaan tanah
 EFB diaplikasikan pada lahan

Namun, tidak ada satupun dari praktek-praktek ini yang kelihatannya dapat
meningkatkan jumlah BOT yang ada pada tanah, misalnya pada kondisi awal hutan
sebelum dibuka menjadi lahan pertanian.

8. P tanah

P tanah terdapat di beberapa sumber (pool) yang ketersediaanya pada tanaman


berbeda-beda. Jumlah P yang sedikit terdapat didalam larutan tanah dan merupakan
sumber P yang utama bagi tanaman. Jumlah P yang lebih besar terikat pada
komponen logam tanah (misalnya Fe dan Al) dan tidak secara langsung tersedia bagi
tanaman. Perhitungan jumlah P dapat memberikan indikasi simpanan P yang tersedia
untuk menjadi P terlarut kembali, sementara P tersedia (biasanya diukur
menggunakan uji Bray I) menjadi indikasi jumlah P tersedia yang dapat diserap
tanaman.

Di beberapa tanah, kita perlu mengukur kapasitas tanah untuk menyerap atau
‘menahan’ P kedalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman, karena hal ini akan
mempengaruhi ketersediaan P serta kebutuhan dan kesesuaian pupuk P. Tanah-tanah
Oksisol, beberapa Ultisol dan Andisol adalah tanah-tanah yang sangat kuat menahan
P dimana diperlukan pemberian pupuk P dalam jumlah besar untuk ‘memasukkan’
siklus hara P kedalam perkebunan kelapa sawit yang baru dibuka.

9. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Banyak kation-kation didalam tanah yang tersedia bagi tanaman seperti K, Mg, dan
Ca terikat dengan ion negatif pada liat dan BOT. Karena alasan inilah, pengukuran
KTK tanah sangat perlu dilakukan, dimana kita bisa mengetahui kapasitas tanah
untuk menyimpan K, Mg dan Ca didalam bentuk yang bisa diserap tanaman (Tabel
4). Bahan organik tanah membawa 200-500 cmol/kg dan karenanya, BOT dengan
kosentrasi 1.5% menyumbang 7-10 cmol/kg ke KTK. Umumnya KTK lainnya
berasal dari partikel liat didalam tanah.

KTK dari kebanyakan jenis tanah berkisar 5-200 cmol/kg. Tanah aluvial yang sedikit
mengalami pelapukan, mineral liat utama berupa banyak lapisan atau disebut liat 2:1
seperti montmorilonit dan ilit yang membawa muatan negatif dalam jumlah besar.
Tanah-tanah ini memiliki nilai KTK yang besar, tidak tergantung pada pH tanah.
Akan tetapi, pada tanah yang mengalami banyak pelapukan di daerah pedalaman,
kompleks jerapan yang dominan adalah liat 1:1 (misalnya kaolinit, alofan, humus dan
oksida Fe serta oksida Al) yang membawa muatan negatif yang sedikit dan seringkali
bervariasi sehingga KTK bergantung kepada pH. Tanah-tanah seperti ini memiliki
kapasitas terbatas untuk menyimpan K, Ca dan Mg kecuali jika KTK meningkat baik
melalui pemberian kapur (pengapuran untuk menaikkan pH) atau penambahan bahan
organik tanah dalam jumlah besar (untuk meningkatkan kontribusi yang terbentuk
oleh bahan organik tanah kepada KTK). Untuk menghindarkan pengukuran KTK
yang overestimate pada tanah-tanah dengan muatan yang bervariasi ini, harus
ditentukan Kapasitas Tukar Kation Efektif (KTKE) pada pH tanah yang sebenarnya.

Kapasitas menjerap untuk tanah berpasir adalah rendah dan banyak K dan Mg
tambahan dari pupuk bisa hilang disebabkan leaching (pencucian hara). Pupuk K
lebih efektif jika diaplikasikan dalam jumlah yang lebih sedikit dari dosis anjuran,
namun sering dilakukan.

10. Konsentrasi K, Ca dan Mg didalam tanah

Pengukuran yang paling tepat terhadap kapasitas tanah untuk mensuplai K adalah
jumlah K yang dapat dipertukarkan yang terikat pada situs pertukaran kation pada
BOT dan partikel liat (Tabel 4). Daya suplai K oleh tanah juga dipengaruhi oleh
konsentrasi Ca dan Mg yang dapat dipertukarkan. Bahkan jika jumlah K yang dapat
dipertukarkan cukup besar, penyerapan K bisa ditekan dengan adanya konsentrasi Mg
dan Ca yang besar. Misalnya, diperlukan pemberian pupuk K dalam jumlah besar di
beberapa tanah di Milne Bay, Papua New Guinea dimana status Mg yang dapat
dipertukarkan sangat tinggi. Status K tanah juga dipengaruhi oleh tipe mineral liat
yang ada, karena K dapat terjerap pada lapisan mineral liat 2 : 1. Tanah-tanah seperti
ini dikenal sebagai tanah ‘penahan’ K.

Mg tanah yang dapat dipertukarkan bisa menjadi tolak ukur daya tanah untuk men-
suplai Mg, namun juga penting mempertimbangkan rasio Mg:Ca karena konsentrasi
Ca yang besar dapat membiaskan penyerapan Mg.

11. Kelarutan Basa

Kelarutan Basa (KB) merupakan perbandingan KTK yang dilakukan oleh K, Ca, Mg
dan Na. kelarutan basa yang rendah mengindikasikan bahwa KTK mengalami
leaching oleh K, Ca dan Mg, dan diganti dengan Al3+ dan H+. Pada tanah-tanah
dengan KTK yang besar, KB yang tinggi menandakan besarnya jumlah K, Mg dan
Ca yang tersedia bagi tanaman dan terbatasnya kapasitas untuk menyimpan K dan
Mg tambahan yang diberikan oleh pupuk mineral. Pada tanah-tanah dengan KTK
yang kecil, KB bisa tinggi namun daya suplai dan kapasitas simpan K dan Mg oleh
tanah rendah. Aplikasi pupuk yang sedikit namun sering lebih efisien dibandingkan
dengan satu kali aplikasi dalam jumlah besar.
12. pH tanah

Kemasaman tanah per se tidak mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit kecuali


pada kondisi sangat asam yang membentuk tanah-tanah sulfat asam. Penetrasi akar
dapat terhambat pada tanah-tanah dimana pH tanah rendah diikuti dengan konsentrasi
racun Al dan Mn, seperti yang terjadi pada tanah sulfat asam. pH rendah dapat
diakibatkan oleh KTK kecil pada tanah yang mengandung mineral liat 1:1 atau
ullofan (tanah vulkanik) dikarenakan perbandingan muatannya yang bervariasi.

13. Salinitas

Tanah dengan Konduktivitas Listrik (KL) pada ekstrak tanah >400 dS/m dikenal
sebagai tanah salin. Kelapa sawit tidak mentoleransi salinitas dan tanah dengan
kondisi salin dikedalaman 0.5 m permukaan tanah dianggap tidak sesuai untuk kelapa
sawit. Pada area dengan curah hujan cukup, salinitas tanah dapat dikurangi dengan
drainase dan bunds (teras) yang dipasang untuk mencegah influks air laut. Akan
tetapi, pada banyak daerah pantai di Malaysia, pasang laut terkadang membuat air
laut melewati bunds, dan tanaman yang terkena dampaknya akan terlihat kering dan
pertumbuhannya terhambat selama 2-3 tahun.

14. Toksisitas Hara Mikro

Tanaman kelapa sawit bisa mengalami toksisitas hara mikro jika terdapat unsur B,
Cu, Fe, Mn, Ni, Zn atau unsur non-hara (misalnya Cr dan Al) dalam jumlah besar.
Sementara kekurangan hara-hara tersebut dapat diatasi dengan cukup mudah, namun
kelebihan (keracunan) hara-hara ini justru lebih sulit ditanggulangi dan seringkali
memerlukan serangkaian pengukuran yang rumit.

Bahan induk dan pH tanah umumnya menjadi indikator yang baik ada atau tidaknya
toksisitas. Misalnya, di daerah Tawau di Sabah, toksisitas Ni dan Cr sering ditemukan
pada tanah-tanah yang terbentuk dari bebatuan ultrabasa. Tanah-tanah ini dicirikan
dengan unsur B yang rendah dan konsentrasi Fe yang sangat tinggi (>30% Fe2O3),
sehingga menyebabkan kuatnya pen-jerapan P dan kurangnya P yang tersedia.
Keracunan Nikel dan kromium sangat sulit diatasi dan membutuhkan banyak biaya,
sehingga tanah-tanah ultra basa ini tidak direkomendasikan bagi budidaya kelapa
sawit.

Hal ini disimpulkan bahwa analisis kimia tanah memberikan indikasi kapasitas tanah
untuk men-suplai hara. Namun, analisis daun lebih bermanfaat untuk mengkaji
kebutuhan pupuk mineral dikarenakan analisis daun mengukur efek keseluruhan dari
sifat fisika dan kimia tanah terhadap status hara tanaman kelapa sawit (Foster,
volume ini). Goh (1997) meringkas kisaran kesuburan tanah untuk kelapa sawit
berkaitan dengan parameter kimia tanah yang penting (Tabel 4).
PROSEDUR EVALUASI LAHAN

Paramanathan (1987) mengembangkan ringkasan karakteristik lahan berdasarkan


kriteria dan batas kelas lahan kelapa sawit [FAO, 1976] (Tabel 2 dan 3). Kerangka
kerja yang menyediakan kriteria dan batasan kelas bagi lahan dan tanah terdiri dari 3
kategori hirarki yang meliputi dua kelompok dan 4 kelas dan subkelas
(Paramanathan, 1987) (Tabel 5). Subkelas mengindikasikan batasan spesifik didalam
tiap kelas. Ada 6 batasan yang biasa dikenal dan dimasukkan ke dalam evaluasi :

 c batasan iklim (curah hujan, panjang musim kering, radiasi matahari,


suhu dan angin);
 d batasan drainase dan banjir
 f batasan kesuburan (terkait status kesuburan tanah yang rendah);
 p batasan kualitas fisik tanah (misalnya struktur yang lemah, tekstur
yang tidak sesuai);
 s batasan kedalam tanah (terkait adanya lapisan yang menghambat
akar);
 t batasan topografi (terkait resiko tinggi dari erosi tanah dan kesulitan
memanen yang berhubungan dengan kecuraman lahan).

Selama pengkajian lahan, karakteristik tanah dan lahan untuk setiap unit pemetaan
lahan dievaluasi menggunakan kriteria evaluasi lahan (Tabel 2 dan 3). Setelah itu,
nilai diberikan kepada setiap karakteristik lahan berdasarkan kriteria dan batas kelas
untuk tanaman kelapa sawit. Didalam memberikan rating (nilai) untuk seluruh
kesesuaian setiap unit pemetaan tanah, rating kesesuaian yang paling rendah/buruk
menentukan evaluasi keseluruhan.

Seringkali rating kesesuaian saat ini dan yang akan datang (potensial) juga diberikan.
Didalam rating kesesuaian saat ini, tidak ada asumsi perbaikan ketika unit peta tanah
sedang dikaji. Pada rating kesesuaian potensial, diasumsikan bahwa semua parameter
yang dapat diperbaiki (misalnya drainase, mitigasi banjir, aplikasi pupuk dan praktek
pengelolaan) akan dilaksanakan, namun tidak ada asumsi berkaitan dengan biayanya.

MANAJEMEN TANAH

Kelapa sawit sudah dibudidayakan di berbagai jenis tanah di Asia Tenggara, namun
praktek-praktek pengelolaannya harus dipilih berdasarkan karakter alami masing-
masing tanah dan kekurangannya. Jika sebuah kebun penanaman sudah dibuka dan
dilengkapi, maka praktek-praktek pengelolaan dapat disesuaikan dengan masing-
masing jenis tanah untuk memaksimalkan produksi dan meminimalkan biaya. Untuk
tujuan ini, diperlukan sebuah peta tanah perkebunan yang detail berdasarkan survei
tanah. Waktu yang paling tepat untuk mempersiapkan sebuah peta yang detail adalah
sekitar 1 tahun setelah penanaman, ketika jalan/jalur-jalur sudah dibuat dan tim survei
tanah memiliki akses masuk ke perkebunan dengan mudah.
Rangkaian Tanah di Malaysia sudah diklasifikasikan berdasarkan Golongan, Sub-
golongan dan Grup besar Tanah USDA (Tabel 6). Lima grup tanah yang bermasalah
dimana kelapa sawit sudah dibudidayakan disana, dapat dibedakan kedalam
(Paramanathan dan Eswaran, 1984):

 Tanah yang miskin drainase dan bersifat non sulfat asam,


 Tanah sulfat asam,
 Tanah (gambut) organik,
 Tanah yang mengalami pelapukan,
 Tanah berpasir.

a. Tanah yang miskin drainase dan bersifat non sulfat asam

Sistem drainase yang meliputi pengeringan lahan, pengeringan kolektor dan kanal
diperlukan untuk merendahkan muka air tanah hingga 0.5-0.75 m dibawah
permukaan tanah. Intensitas pengeringan lahan bergantung pada permeabilitas tanah,
pola distribusi curah hujan, frekuensi banjir, dan tekstur tanah. Selain itu, sistem
bunds dan gerbang air mungkin diperlukan untuk mencegah influks air dari laut atau
sungai yang lebih besar (Gambar 5).

Masalah kesuburan pada tanah-tanah tersebut terkait dengan bahan induk. Tanah-
tanah pada aluvium sungai bisa memiliki simpanan K yang besar jika ada mineral
mika, sementara tingkat magnesium yang tinggi bisa terpengaruh dengan penyerapan
K pada tanah liat di daerah laut.

b. Tanah Sulfat Asam

Tanah-tanah sulfat asam dapat dibagi kedalam dua grup utama:

 Tanah-tanah sulfat asam potensial (Sulfaquent) – tanah jenis ini terdapat di


sepanjang pantai semenanjung Malaysia, Sumatra dan pulau Kalimantan, dan
di pinggiran rawa gambut. Tanah ini seringkali berupa tanah miskin drainase,
sering terendam air laut dan konsentrasi pirit dalam jumlah besar. Tanah sulfat
asam potensial yang terletak dekat laut bersifat salin dan berwarna biru keabu-
abuan, memiliki muka air tanah yang tinggi dan konsistensi tanah yang
lengket. Tanah jenis ini ditandai dengan adanya lapisan tanah organik dengan
ketebalan <0.5 m diatas lapisan liat laut berwarna biru keabu-abuan. Tanah-
tanah yang ‘mentah’ ini tentunya secara alami tidak cocok untuk budidaya
kelapa sawit, sehingga sistem pengelolaan air harus dibuat sebelum
penanaman kelapa sawit. Banyak perawatan yang harus dilakukan untuk
menghindari berubahnya tanah jenis ini menjadi tanah sulfat asam akibat
drainase.
 Tanah-tanah sulfat asam (Sulfaquept dan Sulfat Tropaquept) – yang terbentuk
saat tanah yang awalnya miskin drainase dan mengandung sulfida besi tetapi
kemudian mengalami drainase berlebihan pada pembudidayaan kelapa sawit.
Oksidasi mikroba dari sulfida besi menjadi jarosit (endapan sulfat aluminium
besi kalium) menyebabkan terbentuknya asam sulfur yang mengakibatkan pH
tanah menurun hingga❤.5. Efek utama dari pH rendah adalah berkurangnya
serapan K dan Mg jika disertai adanya ion-ion Al3+, Mn3+ dan H+. Selain itu,
pembentukan jarosit cenderung mengurangi ketersediaan K. Tanah-tanah
sulfat asam memiliki horison sulfur < 1 m dari permukaan tanah. Horison
sulfur memiliki bercak jarosit kuning dan pH tanah < 3.5 (Soil Survei
Staff,1994). Ketika kriteria-kriteria ini dijumpai pada kedalaman 50 cm dari
permukaan tanah, maka tanah tersebut disebut Sulfaquept dan ini berarti tanah
tersebut sangat tidak disarankan untuk budidaya kelapa sawit. Jika horison
sulfur terdapat pada kedalaman 0.5-1.5 m atau bercak jarosit ditemukan pada
kedalaman 0.5 m, akan tetapi pH berkisar 3.5-4.0, maka tanah tersebut
dikategorika sebagai Sulfat Tropaquept.

Pemetaan tanah yang detail untuk wilayah Malaysia menghasilkan penggolongan 2


jenis tanah sulfat asam menurut bahan induk (Paramanathan dan Wan Daud, 1986;
Paramanathan dan Gopinathan, 1981). Tanah-tanah yang terbentuk dari liat laut
murni akan memperlihatkan warna abu-abu muda didalam matriks tanahnya,
konsistensinya lengket, struktur tanah remah kubus tak beraturan, dan seringkali
memiliki Ca dan Mg yang dapat dipertukarkan dalam jumlah sedang. Tanah-tanah ini
sulit untuk dikeringkan dan tidak dapat dicangkul setelah hujan turun, dikarenakan
tekstur (konsistensi)nya yang lengket.

Sebaliknya, tanah-tanah yang terbentuk dari deposit air laut sering terdapat pada
pinggiran rawa gambut memiliki horison B yang berwarna coklat dengan struktur
yang baik dan remah. Tanah ini sering ditemukan bersifat lebih asam dan
mengandung jumlah kation yang dapat dipertukarkan dalam jumlah yang jauh lebih
sedikit, namun lebih mudah untuk dikeringkan dan digunakan untuk budidaya karena
tanah ini mengandung jumlah BOT yang lebih besar.

Secara umum, pemanfaatan dan pengelolaan tanah sulfat asam sangat erat terkait
dengan kedalaman horison sulfur, jumlah BOT pada horison B, dan pada kedalaman
dimana liat laut ‘mentah’ terkumpul. Kunci untuk mengelola tanah ini adalah
pengendalian muka air tanah. Gerbang air digunakan untuk men’nampung’ air
didalam pipa pengering selama periode kering (curah hujan rendah) sehingga oksidasi
sulfida dan pembentukan asam dapat di-minimalisasi. Kemasaman yang terbentuk
pada musim hujan dibuang ke laut dengan menggunakan gerbang air.

Drainase yang berlebihan di wilayah Malaysia pada tanah sulfat asam mengakibatkan
penurunan hasil panen kelapa sawit dari 17 hingga 6 ton TBS/ha/tahun. Sebagai
ukurannya, gerbang pengontrol air dibuka selama musim hujan untuk membuang
kemasaman residual yang terakumulasi selama musim kering, dan muka air tanah
dipertahankan pada ~0.7 m dari permukaan tanah untuk menjaga tanah tetap lembab
dan menurunkan oksidasi sulfida besi (Toh dan Poon, 1982). Hasil panen secara
perlahan meningkat dari 6 menjadi 22 ton TBS/ha (Poon, 1983) (Gambar 6). Saat
penanaman di lahan, abu tandan digunakan pada tanah sulfat asam untuk
meningkatkan pH kedalam lubang tanam dan mensuplai K.

c. Tanah (gambut) organik

Tanah biasanya diklasifikasikan sebagai tanah organik jika dari kedalaman 1.0 m
tanah, ketebalan kumulatif lapisan tanah organiknya mencapai >50 cm. Tanah
organik sering dijumpai diantara perbukitan dan gunung dimana tangkapan air terjadi
di area-area yang lebih rendah. Tanah-tanah ini digolongkan kedalam Histosol dan
tersebar luas di Semenanjung Malaysia, Sumatra dan Pulau Kalimantan. Tanah-tanah
organik telah terpetakan berdasarkan kondisi dekomposisi (fibrik, hemik dan safrik)
dan ketebalannya (dangkal [0.5-1 m]; sedang [1-1.5 m]; dalam [1.5-3.0 m]’ dan
sangat dalam [>3 m]).

Tanah-tanah gambut biasanya terbentuk dalam depresi (ceruk) yang menyerupai


waduk (danau buatan), dimana gambut tersebut dangkal pada pinggirnya, namun
semakin dalam ke bagian tengahnya. Tanah-tanah gambut dibedakan juga atas
gambut topogeneous (dangkal) atau ombrogeneous (dalam) (Drissen, 1978). Gambut
topogeneous memiliki kesuburan tanah yang lebih tinggi karena influks hara dibawa
kedalam rawa melalui aliran permukaan dari dataran tinggi disekelilingnya. Gambut
ombrogeneous umumnya tidak subur karena bergantung pada jumlah input hara yang
kecil yang bersumber dari curah hujan. Hal ini mengindikasikan bahwa vegetasi lebih
lebat/padat pada gambut topogeneous dibandingkan tanah gambut ombrogeneous.

Sistem drainase yang tepat harus dirancang agar bisa membuang kelebihan air namun
tetap mempertahankan muka air pada 0.5~0.7 m dari permukaan tanah untuk
mencegah pengeringan drastis lapisan tanah gambut (Gambar 7, Tabel 7). Banyak
permasalahan muncul ketika tanah-tanah organik ini dikeringkan untuk kepentingan
pertanian (Gurmit Singh et al., 1987). Ringkasan masalah pada pengembangan
perkebunan dan pemecahannya yang sesuai tertera pada Tabel 8.

Ketika praktek-praktek pengelolaan seperti ini diterapkan, tercatat hasil panen yang
mencapai >30 ton TBS/ha/tahun dihasilkan dari lahan dengan ketebalan gambut 1 m
(Gurmit Singh et al., 1987). Melalui pengetahuan saat ini, tampaknya kelapa sawit
dapat dibudidayakan dengan baik di hampir semua tanah organik dengan kedalaman
berapa pun dan tanah dengan lapisan gambut hingga ketebalan 3 m. Tanah dengan
ketebalan gambut >3 m sulit untuk dikeringkan dan banyak permasalahan agronomi
yang muncul jika ditanami kelapa sawit.

d. Tanah-tanah yang mengalami banyak pelapukan (pelapukan intensitas


tinggi)
Tanah-tanah ini mengandung produk akhir dari pelapukan (misalnya kaolinit dan
oksida Fe dan Al) dalam jumlah besar, dikarenakan suhu dan kelembaban tinggi yang
konstan pada daerah tropis yang lembab. Didalam buku Soil Taxonomy (Soil Survei
Stafff, 1999) tanah-tanah seperti ini termasuk kedalam kelas Oksisol atau
Kandiudults. Tanah jenis ini remah, berwarna merah, sekilas terlihat sangat sesuai
untuk kelapa sawit karena profil tanahnya yang dalam. Tingginya jumlah Fe yang
ada, mengindikasikan tanah jenis ini memiliki struktur yang halus dengan agregat
yang sangat baik sehingga memiliki porositas tinggi. Kelapa sawit yang ditanam pada
tanah jenis ini mudah mengalami stres kelembaban, khususnya selama periode
immature (dewasa) ketika akar belum berkembang secara sempurna. Stres
kelembaban bisa diperparah dengan rendahnya konsentrasi Ca dan tingginya
penjenuhan Al (biasanya >60%) yang akan menghambat pertumbuhan akar tanaman.
Tanah-tanah ini dicirikan dengan KTK yang rendah hingga sangat rendah, kandungan
Fe yang tinggi dan K yang sangat rendah.

Kapasitas menyimpan/menahan/menjerap kation yang sangat kecil dari sebagian jenis


tanah ini (<1.5 cmol/kg liat) menunjukkan bahwa hara pupuk yang ditambahkan akan
cepat hilang karena tercuci (leaching). Toksisitas dari unsur Ni (nikel) dan Cr
(Kromium) juga umum terjadi, khususnya pada tanah-tanah yeng terbentuk dari
bebatuan yang panas bersifat basa dan ultrabasa seperti serpentin. Kandungan Fe
bebas dari tanah ini sekitar > 15% sehingga menyebabkan fiksasi P yang tinggi dan
pemberian P dalam bentuk nitrat posfat yang banyak (100-150 kg P/ha) mungkin
diperlukan sebelum memperoleh pertumbuhan tanaman dan LCP yang diinginkan.
Kekurangan Boron juga cenderung terjadi kecuali dilakukan pemberian pupuk B ke
tanaman kelapa sawit.

Tanah-tanah yang mengalami banyak pelapukan umumnya akan menjadi tanah yang
bermasalah, khususnya jika:

 Terdapat lapisan bebatuan petroplinthite atau lateritik pada berbagai


kedalaman didalam profil tanah (seringkali didekat permukaan); dan
 Adanya lapisan bebatuan dengan bentuk dan ukuran yang berbeda
menghalangi penetrasi dan perkembangan sistem perakaran tanaman kelapa
sawit.

Diluar dari kelemahan-kelmehan tersebut, tanah yang mengalami banyak pelapukan


telah dipergunakan secara luas untuk budidaya kelapa sawit, khususnya Malaysia dan
Indonesia, dan bisa mencapai produksi 25-30 ton TBS/ha/tahun saat kriteria berikut
terpenuhi:

 Area budidaya harusnya memiliki periode panjang distribusi curah hujan


 Penanaman harusnya direncanakan untuk bersamaan dengan musim hujan
 Jumlah besar posfat bebatuan diaplikasikan ke LCP dan lubang tanam kelapa
sawit, untuk memperbaiki status Ca dan mengatasi fiksasi P yang tinggi,
 Penanaman legume sebagai tanaman penutup untuk memperbaiki lahan
(Giller, volume ini)
 Kebutuhan hara dimonitor melalui analissi daun, dan rekomendasi pupuk
diberikan di beberapa aplikasi yang terpisah (penting, khususnya jika terdapat
lapisan bebatuan petroplinthit)
 Terbentuk dan meluasnya petroplinthite diidentifikasi dan dipetakan selama
survei tanah (tanah-tanah ini membutuhkan jumlah pupuk yang lebih besar,
sementara diperlukan waktu yang lebih lama untuk tanaman menjadi dewasa
dan hasil panen lebih sedikit.

e. Tanah berpasir

Tanah-tanah yang termasuk kedalam kategori ini biasanya diklasifikasikan sebagai


Psammets atau Spodosol (Soil Survei Staff, 1999) atau Regosol atau Pozols (FAO,
1999). Karakteristik utama tanah ini adalah adanya horison pasir dengan
fragmen/pecahan batu atau kerikil di semua sub-horison. Pada kondisi alaminya, area
berpasir dapat ditandai dengan vegetasi (biasanya rumput atau hutan kerangas).
Tanah berpasir seringkali dijumpai pada terasering aluvial yang berbukit, pinggir
pantai dan lapisan sedimen batu. Tanah berpasir dipengaruhi oleh banyak faktor
keterbatasan fisika dan kimia tanah :

 Miskin penutup vegetatif sehingga suhu tanah menjadi naik (tanaman muda
dapat menjadi kering dengan mudah);
 Mengandung sedikit liat sehingga strukturnya tidak bagus, KTK rendah, dan
defisiensi hara makro dan mikro,
 Kelebihan drainase, sehingga menyebabkan defisit air selama kekeringan.

Ini adalah beberapa alasan mengapa potensial hasil panen dari tanah berpasir
biasanya rendah. Tanah berpasir dapat diatasi dengan banyak aplikasi EFB (>40
ton/ha) (untuk mengurangi suhu permukaan tanah dan meningkatkan aktivitas
biologis), pembuatan LCP dan aplikasi pupuk mineral dalam jumlah banyak di
beberapa lokasi terpisah. Secara umum, kelapa sawit seharusnya tidak ditanam pada
tanah-tanah seperti ini kecuali tanah ini terdapat diantara lahan-lahan yang sesuai.

KESIMPULAN

Hasil panen potensial atau keuntungan bagi daerah tertentu, ditentukan oleh iklim
spesifik, lahan dan karakter-karakter tanah. Iklim wilayah tidak dapat diganti dengan
cara pengelolaan, dan kondisi iklim yang tidak sesuai bisa menghasilkan hasil panen
yang tidak ekonomis dengan berbagai teknik pengelolaan yang digunakan. Inspeksi
yang detail terhadap data iklim, oleh karenanya, merupakan bagian yang penting
dariproses seleksi lahan. Beberapa karakter lahan dan tanah dapat diubah agar sesuai
untuk budidaya kelapa sawit namun sebenarnya tidak disarankan (misalnya kelapa
sawit telah ditanam di area terasering dimana kemiringan lahan curam namun hal
tersebut tidaklah ekonomis dan diterima jika dilihat dari efeknya terhadap
lingkungan).

Survei yang tepat terhadap lahan dan tanah akan memberikan informasi mengenai
potensi hasil panen, permasalahan tanah yang ada, dan biaya pengukuran yang
mungkin harus dikeluarkan. Ini biasanya diperlukan oleh pemerintah lokal sebagai
bagian dari prosedur pengkajian dampak lingkungan (AMDAL). Biaya survei lahan
dan tanah mengindikasikan sebagian kecil dari keseluruhan biaya pengembangan dan
seharusnya dijadikan sebagai langkah penting didalam pengembangan sebuah kebun
kelapa sawit.

POIN PENTING BAGI PEKEBUN KELAPA SAWIT

1. Lakukan survei yang tepat terhadap tanah dan lahan sebelum memulai
pengembangan apapun pada perkebunan kelapa sawit. Kajilah kesesuaian
lahan, potensi hasil, area-area yang tidak cocok bagi kelapa sawit, faktor-
faktor tanah dan iklim yang mempengaruhi pengembangan dan biaya
perawatan. Amati permasalahan yang ada mengenai lahan/tanah dan hitung
biaya untuk menanganinya.
2. Kumpulkan data iklim – Dirikan station meteorologi kecil di setiap kebun.
Berikan pelatihan kepada para pelaksana untuk menjaganya tetap berfungsi
dengan baik. Kumpulkan data mengenai curah hujan, hari hujan, sinar
matahari, kecepatan angin, evaporasi dan suhu maksimum dan minimum.
Gunakan lembaran kerja komputer untuk menghitung keseimbangan air.
3. Keperluan untuk pengelolaan spesifik lahan dalam mengoptimalkan hasil :

 Harus ditentukan tipe tanah dan unit pengelolaan tanah untuk setiap blok yang
ditanami menggunakan sistem klasifikasi tanah yang tepat.
 Pengkajian terhadap lahan sebaiknya dilakukan dengan mengacu kepada
topografi, kelembaban yang ada; sifat fisika tanah (tekstur dan struktur;
kedalaman dan volume tanah yang efektif); dan sifat kimia tanah (BOT; status
N dan P; KTK; K; status Mg dan Ca; kelarutan basa; pH tanah; salinitas, hara
mikro (Cu, Zn dan B); dan elemn racun (Cr, Ni).
 Buatlah daftar praktek-praktek agronomi untuk tiap unit pemetaan tanah atau
grup pengelolaan tanah

4. Penanganan Permasalahan Tanah

 Tanah-tanah miskin drainase memerlukan sistem drainase/pengelolaan air


yang tepat. Hindarilah tanah-tanah sulfat asam yang kering
 Tanah-tanah (gambut) organik sebaiknya dikeringkan dengan tepat. Muka air
tanah harus dipertahankan 0.5-0.7 m di bawah permukaan dengan
menggunakan sistem pengelolaan air yang permanen. Mulailah menanam satu
tahun setelah drainase awal yakni setelah mengatur setiap jalur penanaman.
Gunakan metode penanaman ‘hole-in-hole’ (lubang tanam di dalam lubang).
 Tanah-tanah yang mengalami banyak pelapukan biasanya kekurangan P dan
memiliki KTK yang kecil. Pergunakan mulsa dengan EFB dan penyususunan
pelepah/sisa pangkasan harus dilakukan.
 Beberapa tanah berpasir seharusnya tidak ditanami dikarenakan sifat fisika
tanahnya yang tidak cocok dan kesuburan tanah yang kurang. Gunakan mulsa
EFB, aplikasi pupuk yang terpisah-pisah dan penimbunan/penyusunan
pelepah/sisa pangkasan yang tepat.

Tabel 5. Sistem klasifikasi evaluasi tanah untuk kelapa sawit

Kelompok Kelas Keterangan


S1 Lahan yang tidak/hanya sedikit memiliki
kekurangan bagi pembudidayaan kelapa sawit.
(sangat sesuai)
Lahan yang memiliki kekurangan namun
S2 keparahannya masih ditolerir untuk pembudidayaan
S
kelapa sawit. Produktivitas akan lebih rendah dan
(sesuai) membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan
(sesuai)
lahan S1.
S3 Lahan yang memiliki kekurangan namun
keparahannya masih bisa ditolerir. Produktivitas
(sesuai bagi rendah dan membutuhkan input yang mahal, dan
lahan marginal) mungkin pemanfaatannya tidak direkomendasikan.
N N Kualitas lahan tidak sesuai untuk budidaya kelapa
sawit yang berkelanjutan.
(tidak sesuai) (tidak sesuai)

Tabel 8. Rekomendasi solusi permasalahan lahan yang ditemui didalam


pembudidayaan kelapa sawit pada tanah gambut

Masalah Rekomendasi
Rawa gambut sulit untuk dikeringkan dan
Membuka perkebunan hanya di area
menghasilkan cekungan/ceruk tanpa
dimana bisa dibangun drainase buatan.
drainase alami.
Kekurangan air dengan kualitas yang baik Membangun pabrik dan pembibitan di
untuk pembibitan dan pabrik. lokasi tanah mineral terdekat.
Kurangnya tanah yang sesuai untuk Mendatangkan tanah mineral dari area
pembibitan. sekitarnya.
Kepadatan tanah rendah sehingga sulit Gunakan eskavator ringan yang
membuat drainase dan operasi dengan dilengkapi dengan pelacak rawa sehingga
mesin. bisa membuat drainase.
Pertama, buatlah sistem drainase untuk
membuang kelebihan air. Mungkin perlu
Lapisan gambut menyusut, khususnya
menggali drainase lebih dalam dan
selama tahun-tahun awal setelah drainase.
mengganti tinggi gerbang air, setelah
gambut menyusut.
Pertumbuhan kelapa sawit cenderung Tunda penanaman hingga gambut
miring atau rebah, sehingga membuat ditangani dengan baik selama kira-kira 1
panen dan operasi lapang lainnya sulit tahun. Padatkan tanah pada garis
dilakukan. penanaman.
Buatlah sistem manajemen air sementara
Ketika mengalami kekeringan, permukaan
kira-kira satu tahun setelah drainase awal.
tanah gambut tidak bisa gembur, namun
Buatlah gerbang air permanen ketika
terus mengering hingga membentuk
kecepatan penyusutan gambut rendah.
tekstur serbuk yang sulit untuk
Pertahankan muka air tanah 0.5-0.7 m dari
dilembabkan kembali.
permukaan tanah.
Berikan hara mikro ke pembibitan kelapa
sawit dan sebagai program pemupukan
tahunan. Lakukan penaburan debu tandan
Kekurangan Cu, Fe dan Zn sering terjadi
atau kapur pada lubang tanam untuk
dan sulit untuk menanganinya (Turner dan
meningkatkan aktivitas biologi dan
Bull, 1967).
kecepatan pelapukan N. Berikan juga P
dan K yang cukup dan hara mikro Cu, Mo
dan Zn.
Konstruksi jalan pada tanah gambut Untuk tahap awal, prioritaskan dahulu
sangat sulit dan memakan banyak biaya. jalan untuk panen dengan fungsi ganda.

Anda mungkin juga menyukai