Anda di halaman 1dari 118

SINTESIS BIODIESEL (METIL ESTER) DARI MINYAK BIJI

BINTARO (Cerbera odollam Gaertn.) HASIL EKSTRAKSI

DODI ENDRIANA

0302030211

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN KIMIA

DEPOK

2007

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


SINTESIS BIODIESEL (METIL ESTER) DARI MINYAK BIJI

BINTARO (Cerbera odollam Gaertn.) HASIL EKSTRAKSI

Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh :

DODI ENDRIANA

0302030211

DEPOK

2007

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI : SINTESIS BIODIESEL (METIL ESTER) DARI MINYAK

BIJI BINTARO (Cerbera odollam Gaertn.) HASIL EKSTRAKSI

NAMA : DODI ENDRIANA

NPM : 0302030211

SKRIPSI INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI

DEPOK, DESEMBER 2007

Prof. Dr. Wahyudi Priyono Suwarso

Pembimbing Utama

Tanggal Lulus Ujian Sidang Sarjana : ...........................................

Penguji I : ...............................................................................

Penguji II : ...............................................................................

Penguji III : ...............................................................................

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


KATA PENGANTAR

Segala puji dan sukur hanya bagi Allah SWT, pemilik segala ilmu,

pemberi rahmat dan kasih sayang, yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Sintesis Biodiesel (Metil Ester) dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam

Gaertn.) Hasil Ekstraksi”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains.

Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah

memberikan bantuan, perhatian dan dukungan kepada penulis. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih

yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Wahyudi Priyono Suwarso, selaku pembimbing

penelitian, atas arahan dan bimbingannya selama penelitian

berlangsung hingga terselesaikannya skripsi ini;

2. Bapak Dr. Ridla Bakri, selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA UI

yang baru atas semua fasilitas yang diberikan kepada penulis selama

penelitian;

3. Ibu Dra. Sri Handayani, M. Biomed., selaku Pembimbing Akademis

atas bimbingannya, nasihat dan dukungannya selama masa studi

penulis;

4. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan Departemen Kimia FMIPA UI atas

ilmu, pendidikan dan pelayanan yang diberikan selama ini;

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


5. Seluruh keluarga penulis (Mamah, Bapak, Mimi, Abah, ‘Mbu, Adikku

Singgi dan Neng Anggun dan seluruh saudara lain) atas doa,

perhatian, dukungan, dan kasih sayangnya;

6. Dewi dan keluaga di Bandung, Yanniek dan keluarga di Kuningan juga

atas doa, dukungan dan perhatiannya selama ini;

7. Seluruh teman-teman Kimia dan FMIPA UI serta pihak-pihak lain yang

tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu

baik langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penelitian

dan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian dan skripsi ini

jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis akan menyambut baik segala

saran dan kritik yang membangun. Namun demikian, semoga hasil penelitian

dan skripsi yang penulis laporkan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan

khususnya bagi penulis sendiri.

Depok, Desember 2007

Penulis

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


ABSTRAK

Penelitian tentang biodiesel yang terus berkembang saat ini,

diharapkan dapat menemukan sumber-sumber bahan baku yang berasal dari

minyak atau lemak tanaman non pangan. Oleh karena itu, pada penelitian ini

dilakukan percobaan pembuatan biodiesel (metil ester) dari minyak biji

bintaro. Minyak biji bintaro tersebut diekstrak dengan menggunakan

peralatan soxhlet dengan pelarut n-heksana selama 6-8 jam. Minyak yang

dapat diekstrak dari biji bintaro adalah sekitar 60,70% dari berat serbuk

kering. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro terdiri

dari; asam palmitat (4,91%), asam palmitoleat (17,7%), asam stearat

(3,21%), asam oleat (34,02%), asam elaidat (8,54%), asam linoleat (16,74%),

asam linolelaidat (4,49%), dan asam linolenat (0,40%). Sintesis biodiesel

minyak biji bintaro dilakukan melalui reaksi transesterifikasi dengan metanol

dengan adanya katalis basa (KOH) dan menggunakan metode

ultrasonokimia (pengaruh irradiasi ultrasonik). Serangkaian optimasi kondisi

reaksi telah dilakukan untuk memperoleh konversi metil ester yang optimal,

dan diperoleh kondisi optimum pada perbandingan mol minyak dan metanol

(1:9), dengan katalis KOH 0,5% berat, dan waktu reaksi 40 menit.

Selanjutnya, kondisi optimum ini digunakan untuk sintesis biodiesel minyak

biji bintaro yang akan diuji karakteristiknya. Metil ester (biodiesel) yang

diperoleh sebesar 91,32% terhadap berat minyak. Hasil pengujian beberapa

karakteristik biodiesel dari minyak biji bintaro memenuhi standar internasional

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


untuk minyak solar, dan termasuk klasifikasi bahan bakar minyak diesel

no. 2-D.

Kata kunci : Biodiesel, metil ester, minyak biji bintaro, transesterifikasi,

ultrasonokimia.

xi + 103 hlm.; gbr.; lamp.; tab.

Bibliografi : 34 (1973 – 2007)

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….......i

ABSTRAK........................................................................................................iii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ...v

DAFTAR TABEL..............................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xi

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................... ..1

1.2 Metode Penelitian ..................................................................... ..5

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... ..6

1.4 Hipotesis........................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan tata Nama…………………………………………....7

2.2 Morfologi Tanaman ................................................................... ..8

2.3 Khasiat dan kandungan kimia dalam biji bintaro ....................... ..9

2.4 Minyak dan Lemak .................................................................... 10

2.5 Komposisi Minyak dan Lemak................................................... 11

2.6 Karakteristik Minyak yang Terkandung Dalam Biji Bintaro ........ 13

2.7 Komposisi Asam Lemak yang Terkandung Dalam Biji Bintaro.. 14

2.8 Proses Pengolahan Minyak Dari Biji Tanaman ........................... 15

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.8.1 Rendering........................................................................15

2.10.1.1 Wet Rendering.................................................15

2.10.1.2 Dry Rendering..................................................15

2.8.2 Pengepresan Secara Mekanik....................................... 15

2.8.2.1 Pengepresan Hidrolik (Hydraulic Pressing).........16

2.8.2.2 Pengepresan Berulir (Squeezing)........................16

2.8.3 Ekstraksi dengan Pelarut.................................................16

2.9 Pengujian Minyak dan Lemak...................................................17

2.10 Bahan Bakar Diesel..................................................................19

2.10.1 Karakteristik Bahan Bakar Diesel.................................19

2.10.2 Klasifikasi Bahan Bakar Diesel.....................................24

2.11 BIODIESEL…………………………………………………………..26

2.11.1 Karakteristik Biodiesel…………………………………….27

2.11.2 Spesifikasi Biodiesel……………………………………....30

2.12 Ultrasonokimia……………………………………………………....31

2.13 Transesterifikasi……………………………………………………..33

2.14 Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi…………...34

2.14.1 Alkohol yang Digunakan………………………………….34

2.14.2 Katalis yang Digunakan…………………………………..35

2.14.3 Perbandingan Mol Alkohol Terhadap Minyak……….....36

2.14.4 Kemurnian Reaktan……………………………………….36

2.14.5 Intensitas Pengadukan…………………………………....37

2.15 Kromatografi Gas (GC)................................................................37

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


BAB III PERCOBAAN

3.1 Bahan.......................................................................................39

3.2 Alat............................................................................................40

3.3 Cara Kerja.................................................................................41

3.3.1 Proses Ekstraksi Minyak Biji Bintaro................................41

3.3.2 Proses Pemurnian Minyak............................................. 41

3.3.3 Penentuan Komposisi Asam Lemak................................42

3.3.4 Pembuatan Metil Ester (Biodiesel)...................................43

3.3.5 Pengujian Karakteristik Metil Ester (biodiesel).................44

3.3.5.1 Penentuan Berat Jenis Metil Ester.....................44

3.3.5.2 Penentuan Titik Nyala (Flash Point)...................45

3.3.5.3 Penentuan Titik Tuang.......................................45

3.3.5.4 Penentuan Viskositas Kinematik........................45

3.3.5.5 Penentuan Residu Karbon.................................46

3.3.5.6 Penentuan Bilangan Asam.................................46

3.3.5.7 Penentuan Bilangan Penyabunan......................47

3.3.5.8 Penentuan Bilangan Iod……………………........48

3.3.5.9 Penentuan Indeks Setana………………….........49

3.3.5.10 Penentuan Kandungan Abu…………………....49

3.4 Bagan Kerja...............................................................................51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ekstraksi Minyak Biji Bintaro.........................................................53

4.2 Pemurnian Minyak.........................................................................55

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4.3 Komposisi Asam Lemak Penyusun Trigliserida.............................57

4.4 Pembuatan Metil Ester (Biodiesel)................................................60

4.5 karakteristik Metil Ester (Biodiesel)................................................72

4.5.1 Berat Jenis.......................................................................72

4.5.2 Titik Nyala........................................................................73

4.5.3 Titik Tuang.......................................................................74

4.5.4 Viskositas Kinematik........................................................75

4.5.5 Micro Carbon Residue (Residu Karbon)..........................76

4.5.6 Kandungan Abu...............................................................76

4.5.7 Bilangan Asam.................................................................77

4.5.8 Bilangan Penyabunan......................................................78

4.5.9 Bilangan Iod.....................................................................79

4.5.10 Indeks Setana................................................................80

4.6 Perbandingan Karakter Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro dengan

Standar Internasional Serta Klasifikasinya....................................81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan....................................................................................84

5.1 Saran.............................................................................................85

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................87

LAMPIRAN.....................................................................................................91

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Tanaman Indonesia Penghasil Minyak/lemak untuk Biodiesel.......4

Tabel 2.1 Asam Lemak Jenuh dan Sifat Fisikanya…………………………...12

Tabel 2.2 Asam Lemak Tidak Jenuh dan Sifat Fisikanya...............................12

Tabel 2.3 Data Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Bintaro Hasil Ekstraksi............13

Tabel 2.4 Komposisi Asam Lemak Penyusun Trigliserida Minyak Biji

Bintaro............................................................................................14

Tabel 2.5 Spesifikasi Minyak Solar /Automotive Diesel Oil (ADO) Super,

Medium dan Reguler......................................................................20

Tabel 2.6 Spesifikasi Bahan Bakar Diesel Berdasarkan Penggunaannya.....25

Tabel 2.7 Produksi Biodiesel di Berbagai Negara di Dunia............................27

Tabel 2.8 Standar Biodiesel Indonesia dibandingkan dengan Standar Jerman,

Eropa dan Amerika.........................................................................31

Tabel 4.1 Rendemen Minyak Biji Bintaro Hasil Ekstraksi...............................55

Tabel 4.2 Komposisi Asam Lemak Penyusun Trigliserida Minyak Biji

Bintaro............................................................................................59

Tabel 4.3 Optimasi Kondisi Reaksi Transesterifikasi dan Hasilnya................69

Tabel 4.4 Karakteristik Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro...............................72

Tabel 4.5 Perbandingan Biodiesel Minyak Biji Bintaro dengan Standar

Internasional...................................................................................82

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Tabel 4.6 Perbandingan Karakter Biodiesel Minyak Biji Bintaro dengan

Klasifikasi Internasional..................................................................83

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Tumbuhan dan Buah Bintaro………………………………….........7

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi Trigliserida dengan Katalis Asam atau

Basa............................................................................................33

Gambar 2.3 Reaksi Pirolisis Etil Ester............................................................35

Gambar 4.1 Alat Soxhlet................................................................................54

Gambar 4.2 Minyak biji bintaro sebelum pemurnian (kiri) dan setelah

pemurnian (kanan)......................................................................57

Gambar 4.3 Mekanisme Transesterifikasi dari Trigliserida dengan Katalis

BF3-Metanolat.............................................................................58

Gambar 4.4 Reaksi Pirolisis Etil Ester............................................................62

Gambar 4.5 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi..........................................65

Gambar 4.6 Fenomena Kavitasi (cavitation)..................................................68

Gambar 4.7 Reaksi Penetralan Asam Lemak................................................77

Gambar 4.8 Reaksi iod...................................................................................79

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kromatogram Asam lemak Standar dari Minyak Biji Bintaro (Hasil

analisis dengan GC)....................................................................91

Lampiran 2. Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Bintaro…....93

Lampiran 3. Hasil Analisis Biodiesel (dari Minyak Biji Bintaro) dari LEMIGAS,

Jakarta.........................................................................................94

Lampiran 4. Perhitungan Komposisi Minyak Biji Bintaro dengan Metanol dan

KOH dalam Sintesis Metil Ester (Biodiesel)................................96

Lampiran 5. Perhitungan Bilangan Asam, Bilangan Penyabunan, Bilangan Iod

dan Indeks Setana Metil Ester (Biodiesel) dari Minyak Biji

Bintaro.........................................................................................98

Lampiran 6. Gambar Alat Ultrasonikasi (Sonikator) dan Metil Ester (Biodiesel)

Minyak Biji Bintaro.....................................................................103

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan bahan bakar minyak bumi semakin hari semakin

terbatas. Sebagai gambaran, diperkirakan cadangan minyak bumi di Laut

Utara akan habis pada tahun 2010. Permasalahan yang dihadapi dunia

dewasa ini adalah masalah pencemaran udara karena penggunaan bahan

bakar serta krisis bahan bakar mineral (minyak bumi). Sebagaimana

diketahui, bahwa kemampuan negara-negara di dunia untuk menyediakan

bahan bakar semakin lama semakin berkurang dan pada suatu saat akan

mencapai puncaknya, karena hampir semua daerah yang mengandung

minyak telah ditemukan dan dieksplorasi. Sedangkan permintaan akan bahan

bakar terus meningkat dengan tajam, sehingga cadangan minyak dunia

semakin menipis.

Indonesia yang saat ini dikenal sebagai salah satu negara pengekspor

minyak bumi, juga diperkirakan akan mengimpor bahan bakar minyak pada

10 tahun mendatang, karena produksi dalam negeri tidak dapat lagi

memenuhi permintaan pasar yang meningkat dengan cepat akibat

pertumbuhan penduduk dan industri. Sebagai gambaran, pada tahun 2002

konsumsi bahan bakar minyak Indonesia sekitar 57,8 juta kilo Liter setiap

harinya, sektor transportasi merupakan pengguna terbesar bahan bakar

minyak ini. Dari konsumsi sebanyak itu 30% diperoleh dari impor, sehingga

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


diperkirakan pada tahun 2015 Indonesia akan menjadi pengimpor penuh

minyak bumi (net import).

Untuk menekan pertumbuhan konsumsi BBM domestik, salah satu

cara yang bisa ditempuh adalah dengan membuat regulasi tentang

penghematan energi nasional dan pengembangan energi alternatif. Di

Indonesia, sumber utama energi di dalam negeri masih bertumpu kepada

jenis bahan bakar fosil, padahal banyak sumber energi alternatif yang dapat

dimanfaatkan bahkan bisa mampu menggantikan peran energi fosil tersebut.

Salah satu bahan bakar alternatif yang berpotensi untuk mengatasi

permasalahan bahan bakar di Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel

berkembang, karena adanya potensi besar terhadap penerapannya dalam

bidang industri, selain lebih efisien, mudah didapatkan, biodiesel ini juga

dianggap ramah lingkungan. Banyak riset menunjukkan, bahwa bahan bakar

biodiesel ini dapat menurunkan tingkat polusi akibat logam berat, asap,

gas-gas beracun dan juga pencemaran air1. Bahkan dengan penggunaan

biodiesel ini, efek rumah kaca (pemanasan global) akibat emisi gas CO2

dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini dikarenakan oleh sifat biodiesel

yang merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui dan mudah

terdegradasi oleh alam.

Biodiesel untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Dr. Rudolf Diesel

pada tahun 1895. Beliau menciptakan mesin ‘diesel’ dengan tujuan agar

mesin tersebut dapat berjalan dengan menggunakan berbagai jenis bahan

bakar, termasuk minyak yang berasal dari tanaman. Bahkan, ketika

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Dr. Rudolf Diesel memperagakan mesinnya pada pameran dunia di Paris

tahun 1900, beliau menggunakan minyak kacang sebagai bahan bakar.

Sejak saat itu pula, mesin diesel telah dimodifikasi agar dapat berjalan

dengan menggunakan bahan bakar minyak bumi (petrodiesel), karena

menurut sejarah bahan bakar tersebut adalah bahan bakar murah yang

tersedia2.

Penelitian terhadap biodiesel pun terus berkembang, baik skala

laboratorium (kecil) maupun skala industri (besar). Dalam skala laboratorium,

telah dilakukan penelitian membuat biodiesel dari minyak biji teh3, minyak

goreng sawit bekas4, minyak biji karet5, minyak biji ketapang6, minyak biji

tanjung7, dan minyak biji nyamplung8. Selain itu, telah pula dilakukan

pembuatan biodiesel dari ganggang mikro. Ganggang mikro adalah tanaman

akuatik mikroskopik yang mempunyai potensi untuk menghasilkan lipid. Lipid

yang dihasilkan dapat dikonversi menjadi biodiesel.

Indonesia kaya akan tanaman berbiji penghasil minyak, akan tetapi

masih banyak yang belum dimanfaatkan secara maksimal, terutama tanaman

non pangan yang salah satunya adalah tumbuhan bintaro. Beberapa jenis

tanaman di Indonesia yang dapat menghasilkan minyak dan dapat

dimanfaatkan sebagai biodiesel dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tumbuhan bintaro merupakan tumbuhan non pangan yang tumbuh

cukup banyak, terutama di sepanjang tepi-tepi pantai dan sungai9. Tumbuhan

bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) banyak tumbuh di India dan Asia

Tenggara, salah satunya di Indonesia10. Tumbuhan bintaro yang dikenal

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


sebagai suicide tree, karena mengandung racun10. Bintaro dapat tumbuh

mencapai tinggi ±20 m, sehingga dapat digunakan sebagai tanaman

pelindung. Biji bintaro mengandung kadar lemak/minyak sebesar 46-64%11.

Tabel 1.1 Tanaman Indonesia Penghasil Minyak/lemak untuk Biodiesel

Nama Nama Latin Sumber Kadar, %-b kr P / NP


Jarak kaliki Ricinus communis Biji (seed) 45 – 50 NP
Jarak pagar Jatropha curcas Inti biji 40 – 60 NP
Kacang suuk Arachis hypogea Biji 35 – 55 P
Kapok/randu Ceiba pentandra Biji 24 – 40 NP
Karet Hevea brasiliensis Biji 40 – 50 NP
Kecipir Psophocarpus tetrag. Biji 15 – 20 P
Kelapa Cocos nucifera Daging buah 60 – 70 P
Kelor Moringa oleifera Biji 30 – 49 P
Kemiri Aleurites moluccana Inti biji (kernel) 57 – 69 NP
Kusambi Sleichera trijuga Daging biji 55 – 70 NP
Nimba Azadirachta indica Daging biji 40 – 50 NP
Saga utan Adenanthera pavonina Inti biji 14 – 28 P
Sawit Elais guineensis Sabut + Dg buah 45-70 + 46-54 P
Rambutan Nephelium lappaceum Inti biji 37 – 43 P
Srikaya Annona squamosa Biji 15 – 20 NP
Kenaf Hibiscus cannabinus Biji 18 – 20 NP
Kopi arab (Okra) Hibiscus esculentus Biji 16 – 22 NP
Rosela Hibiscus sabdariffa Biji ≈ 17 NP
Kayu manis Cinnamomum burmanni Biji ≈ 30 P

Padi Oryza sativa Dedak ≈ 20 P


Jagung Zea Mays Germ ≈ 33 P
Tangkalak Litsea sebifera Biji ≈ 35 P
Labu merah Cucurbita moschata Biji 35 – 38 P
Kursani Vernonia anthelmintica Biji ≈ 19 NP

- kr ≡ kering; P ≡ minyak/lemak Pangan (edible fat/oil), NP ≡ minyak/lemak Non Pangan


(nonedible fat/oil).Hanya beberapa dari puluhan tumbuhan ini (mis: sawit, kelapa, kacang
suuk) sudah termanfaatkan sebagai sumber komersial minyak/lemak.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Tumbuhan bintaro mempunyai daya guna yang banyak, antara lain

bagian akar, kulit, getah dan daunnya dapat berguna sebagai obat pencahar,

kayunya berguna untuk menghasilkan arang yang ringan. Sedangkan dari biji

yang masak dapat menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai

minyak lampu, obat kudis, obat sendi dan lilin9.

Kandungan minyak biji bintaro yang cukup besar ini sangat mungkin

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat bagi

kehidupan manusia.

1.2 Metode Penelitian

Pada penelitian sebelumnya12, telah diidentifikasi sifat-sifat fisiko-kimia

dari minyak biji bintaro, di antaranya: bentuk fisik, warna, titik leleh, indeks

bias, berat jenis, bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, bilangan

peroksida, dan materi tidak tersabunkan. Pada penelitian kali ini, minyak

diekstraksi dari biji bintaro dengan menggunakan peralatan Soxhlet,

kemudian minyak yang diperoleh dimurnikan lalu ditentukan komposisi asam

lemaknya. Minyak biji bintaro yang telah dimurnikan, akan disintesis menjadi

metil ester (biodiesel) dengan menggunakan katalis basa. Dalam proses

reaksi sintesisnya digunakan metode ultrasonokimia (penggunaan energi

ultrasonik). Kemudian metil ester yang terbentuk,diuji karakteristiknya berupa:

berat jenis, titik nyala, titik tuang, residu karbon, viskositas kinematik, Indeks

setana, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, kandungan abu.

Sebagian dari pengujian ini dilakukan di PPPTMGB-LEMIGAS.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


1.3 Tujuan Penelitian

Dengan mengetahui sifat fisiko-kimia (dari penelitian sebelumnya12)

dan komposisi asam lemak penyusun trigliseridanya, maka pada penelitian ini

akan dicoba mensintesis biodesel dari minyak biji bintaro dengan metode

ultrasonokimia (penggunaan energi ultrasonik) dan mempelajari karakteristik

dari biodiesel yang dihasilkan, sehingga diharapkan biodiesel dari minyak biji

bintaro ini dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar konvensional.

1.4 Hipotesis

Apabila dilihat dari komposisi asam lemak penyusun trigliseridanya

(dari penelitian sebelumnya12), minyak biji bintaro ini diharapkan memiliki

potensi sebagai bahan bakar biodiesel, karena tidak memiliki asam lemak

beratom C lebih dari 20 yang juga akan berpengaruh pada kekentalan dari

biodiesel tersebut.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Tata Nama13,14

Tumbuhan bintaro sebagaimana tumbuhan yang lain, memiliki

klasifikasi dan tata nama sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Klas : Magnoliopsida

Ordo : Gentianales

Famili : Apocynaceae

Genus : Cerbera

Spesies : Cerbera odollam Gaertn

Gambar 2.1 Tumbuhan dan Buah Bintaro

Tumbuhan bintaro dikenal di beberapa daerah dan negara, dengan nama

sebagai berikut14,15 :

Minangkabau : Madangkapo

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Melayu : Bintan

Sunda dan Jawa : Bintaro

Bali : Kanyeriputih

Nusa Tenggara Timur : Bilutasi

Makasar : Lambuto

Manado : Goro-goro, Bintan, Buta-buta badak

Ambon : Wabo

Ternate : Goro-goro guwae

Brunei : Pong pong (Sengkurong).

Malaysia : Bintan (Peninsular).

Thailand : sang la (peninsular), teenpet nam, teenpet thale

(central).

Vietnam : m[uw][ows]p s[as]t v[af]ng, m[uw][ows]p x[as]c v[af]ng.

2.2 Morfologi Tumbuhan9

Tumbuhan bintaro mempunyai ciri, berupa batang tegak, berkayu,

bulat, dan berbintik-bintik hitam. Daunnya memiliki karakteristik tunggal,

tersebar, lonjong, tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, tipis, licin,

pertulangan menyirip, mempunyai panjang sekitar 15-20 cm, dan lebar

3-5 cm. Bentuk bunga yang dimiliki tumbuhan bintaro majemuk, berkelamin

dua, di ujung batang, tangkai silindris, panjang ± 11 cm, berwarna hijau,

kelopak tidak jelas, tangkai putik panjang 2-2,5 cm berjumlah empat, kepala

sari coklat, kepala putik hijau keputih-putihan, mahkota berbentuk terompet,

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


ujung pecah menjadi lima, halus, berwarna putih yang agak wangi serta

batang berwarna kelabu. Buahnya berbentuk bulat seperti bola berwarna

hijau dan apabila matang berwarna merah muda dan seterusnya berwarna

hitam. Biji bintaro berbentuk pipih, dan panjang, sedangkan akarnya

tunggang dan berwarna coklat. Bintaro tumbuh dan berkembang dari daerah

bakau, pada lazimnya ketinggian pohon tidak lebih tinggi dari 20 m, terdapat

cukup banyak terutama di sepanjang tepi-tepi sungai dan pantai.

2.3 Khasiat dan Kandungan Kimia dalam Biji Bintaro10,15

Dari biji bintaro yang masak, dapat menghasilkan minyak untuk lampu.

Selain itu, minyak biji bintaro juga dapat juga digunakan untuk memasak

benang guna penyerapan zat-zat warna, obat kudis, serta dapat menjadi obat

sendi, apabila dicampurkan dengan minyak-minyak lain setelah dipanaskan.

Apabila dikonsumsi, biji tumbuhan bintaro dapat menyebabkan

muntah, mengantuk, denyutan nadi menjadi lemah, tekanan darah menjadi

rendah, keletihan, sakit perut, degupan jantung yang tidak normal dan anak

mata mengembang. Daun tumbuhan ini juga dapat memberi pengaruh pada

sistem saraf pusat. Bijinya berbahaya bagi manusia dan hewan. Inti biji

bintaro yang masak dan segar mengandung cerberine 0,6%, setiap 1% dari

komponen yang ada pada biji tersebut dan zat pahit yang beracun disebut

odolline.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.4 Minyak dan Lemak16

Minyak dan lemak merupakan suatu ester dari gliserol dan asam

lemak dengan struktur sebagai berikut :


O

O H2C O C
R1
C O CH
R3
R2 H2C O C

O
Dimana R1, R2 dan R3 adalah rantai alkil dari asam-asam lemak.

Di alam, minyak atau lemak umumnya terdapat pada binatang dan

tumbuhan. Berbagai bahan pangan seperti daging, ikan, telur, susu, buahan

dan lain-lain mengandung minyak atau lemak yang umumnya dikonsumsi

oleh manusia sehari-hari. Minyak atau lemak tersebut dikenal sebagai minyak

atau lemak tersembunyi (invisible fat), sedangkan minyak atau lemak yang

telah diekstraksi dari bahan-bahan tersebut dan telah dimurnikan dikenal

sebagai minyak atau lemak kasat mata (visible fat).

Berdasarkan sumbernya, minyak dan lemak dibedakan sebagai

berikut17 :

1. Bersumber dari hewan (minyak atau lemak hewani)

a. daging hewan ternak, seperti lemak sapi, kambing, babi dan lainnya.

b. susu hewan mamalia, seperti susu sapi, kambing dan lainnya.

c. hasil laut, misalnya minyak ikan, minyak udang dan lainnya.

2. Bersumber dari tanaman (minyak nabati)

a. biji-bijian tanaman palawija, seperti kapas, jagung, kedelai, dan lainnya.

b. biji-bijian dari tanaman tahunan, seperti kelapa, coklat, dan lainnya.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


c. kulit buah tanaman tahunan, seperti kelapa sawit, kelapa kopra dan

lainnya.

2.5 Komposisi Minyak dan Lemak

Minyak/lemak adalah suatu trigliserida yang tersusun dari gliserol dan

asam-asam lemak. Komposisi asam lemak sangat mempengaruhi kualitas

minyak/lemak yang didapat. Asam lemak penyusun trigliserida berupa

campuran dari berbagai macam asam lemak. Untuk menentukan urutan

posisi dari asam lemak yang terikat dengan gliserol sangatlah sulit. Oleh

karena itu, hanya dapat diketahui komposisinya melalui reaksi pemutusan

trigliserida menjadi asam lemaknya, dan diubah menjadi bentuk metil

esternya, kemudian dihitung atau ditentukan persen berat dari masing-

masing asam lemak penyusunnya.

Asam lemak yang dijumpai di alam hampir selalu mempunyai atom

karbon berjumlah genap. Sebagian besar asam lemak alam mempunyai

rantai karbon tidak bercabang dan berbeda satu sama lain, dalam hal

panjang rantai dan derajat ketidakjenuhannya. Asam oleat merupakan asam

lemak alam yang paling besar kelimpahannya, yang kemudian diikuti oleh

asam palmitat, linoleat, miristat, stearat dan palmitoleat18. Asam-asam lemak

yang terdapat pada minyak atau lemak ditampilkan pada Tabel 2.1 dan

Tabel 2.2.18

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Tabel 2.1 Asam Lemak Jenuh dan Sifat Fisikanya

Nama Sistematik Nama Trivial Rumus Molekul Titik Leleh (0C)

Asam Butanoat Asam Butirat C3H7COOH -7,9

Asam Pentanoat Asam Valerat C4H9COOH -

Asam Heksanoat Asam Kaproat C5H11COOH -3,4

Asam Oktanoat Asam Kaprilat C7H15COOH 16,7

Asam Nonanoat Asam pelargonat C8H17COOH 12,5

Asam Dekanoat Asam Kaprat C9H19COOH 31,6

Asam Dodekanoat Asam Laurat C11H23COOH 44,2

Asam Tetradekanoat Asam Miristat C13H27COOH 53,9

Asam Heksadekanoat Asam Palmitat C15H31COOH 63,1

Asam Heptadekanoat Asam Margarat C16H33COOH 61,3

Asam Oktadekanoat Asam Stearat C17H35COOH 69,6

Asam Ikosanoat Asam Arakidat C19H39COOH 75,3

Asam Dokosanoat Asam Behenat C21H43COOH 79,9

Asam Tetrakosanoat Asam Lignokerat C23H47COOH 84,2

Asam Heksakosanoat Asam Kerotat C25H51COOH 88

Tabel 2.2 Asam Lemak Tidak Jenuh dan Sifat Fisikanya

Nama Sistematik Nama Trivial Rumus Molekul Titik Leleh (0C)

Asam Tetradek-9-enoat Asam Miristoleat C13H27COOH, Δ5 cis -4,5

Asam Heksadek-9-enoat Asam Palmitoleat C15H29COOH, Δ7 cis 0,5

Asam Oktadek-9-enoat Asam Oleat C17H33COOH, Δ9 cis 16,2

Asam Oktadek-9, 12- Asam Linoleat C17H31COOH, Δ6, Δ9 -5


dienoat cis, cis

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Lanjutan Tabel 2.2

Asam Oktadek-9, 12, 15- Asam Linolenat C17H25COOH, Δ3, Δ6, -11
Δ9
trienoat all cis

Asam Ikosa-5, 8, 11, 14- Asam Arakhidonat C19H31COOH, Δ6, Δ9, -50
Δ12, Δ15
tetraenoat all cis

Δ3, Δ6,
Asam Ikosa-5, 8, 11,14, EPA C19H29COOH, -54
Δ9, Δ12, Δ15
17-pentaenoat all cis

Asam Dokosa-13-enoat Asam Erukat C21H41COOH, Δ9 cis 33,4

Asam Dokosa-4, 7, 10, 13, DHA C21H31COOH, Δ3, Δ6, -44


Δ9, Δ12, Δ15
16, 19-heksaenoat all cis

2.6 Karakteristik Minyak yang Terkandung Dalam Biji Bintaro

Beberapa karakter minyak atau lemak yang berasal dari biji bintaro

dapat dilihat dari sifat fisiko-kimianya. Pada penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya12, telah dilakukan serangkaian pengujian untuk mengetahui sifat

fisiko-kimia dari biji bintaro tersebut, di antaranya adalah seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Data Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Bintaro Hasil Ekstraksi

Sifat Fisiko-Kimia Minyak Bintaro

Tanpa Pemurnian Dengan Pemurnian

Sifat Fisika
- Bentuk Fisik Cairan Cairan
- Warna Coklat Kuning
- Berat Jenis (g/mL) 0,91 0,85
o
- Indeks Bias (n) 25 C 1,46 1,45
- Titik Leleh (°C) 12-15 8-10

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Lanjutan Tabel 2.3

Sifat Kimia
- Bilangan Asam (mg KOH/g minyak) 2,54 1,17
- Bilangan Penyabunan (mg KOH/g minyak) 203,57 190,57
- Materi Tidak Tersabunkan 4,8% 0,04%
- Bilangan Iod (g I2/100 g minyak) 70,15 63,79
- Bilangan Peroksida (meq O2/kg minyak 9,2 3,85

2.5 Komposisi Asam Lemak yang Terkandung Dalam Biji Bintaro

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya12, telah

ditentukan komposisi asam lemak penyusun trigliserida yang terkandung

pada minyak biji bintaro, yaitu dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut :

Tabel 2.4 Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro

Asam Lemak Nama Sistematik Hasil Analisis (%)

Miristat Tetradekanoat 0,17

Palmitat Heksadekanoat 17,90

Stearat Oktadekanoat 4,38

Oleat cis-9-oktadekenoat 36,64

Linoleat cis-9,12-oktadekadienoat 23,44

Linolenat cis-9,12,15-oktadekatrienoat 2,37

Total Asam Lemak 84,90

Keterangan : Ada beberapa asam lemak yang belum dapat diidentifikasi oleh karena
keterbatasan asam lemak standar. Sehingga pada penelitian kali ini dilakukan kembali
penentuan komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro untuk
mendapatkan total asam lemak hingga 100%.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.8 Proses Pengolahan Minyak dari Biji Tanaman19

Pengambilan minyak dan lemak dari jaringan makhluk hidup atau

tumbuh-tumbuhan, antara lain dengan cara rendering, pengepresan secara

mekanik dan ekstraksi pelarut.

2.8.1. Rendering

Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari

material yang mengandung kadar air yang tinggi. Rendering terbagi dalam

dua cara, yaitu :

1. Wet Rendering

Wet Rendering adalah proses rendering dengan menambahkan

sejumlah air selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini

dilakukan pada ketel yang tertutup dengan menggunakan suhu yang

tinggi serta tekanan 3 – 4 atmosfir.

2. Dry Rendering

Dry Rendering adalah rendering tanpa menambahkan air selama

proses berlangsung. Prosesnya dilakukan dalam ketel yang terbuka

dan dilengkapi dengan penyekat uap serta alat pengaduk (agitator).

Bahan yang diperkirakan mengandung minyak atau lemak,

dimasukkan ke dalam ketel tanpa penambahan air dan pemanasan

dilakukan pada suhu 105 0C sampai 110 0C.

2.8.2. Pengepresan Secara Mekanik (Mechanical Expression)

Terdapat dua cara yang dipakai dalam proses pengepresan secara

mekanik ini, yaitu :

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


1. Pengepresan Hidrolik (Hydraulic Pressing)

Pada cara pengepresan hidrolik, bahan dipres dengan tekanan

136 atmosfir. Banyaknya minyak atau lemak yang dapat dihasilkan

tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang digunakan, serta

kandungan minyak atau lemak yang terdapat dalam bahan asal.

2. Pengepresan Berulir (Squeezing)

Cara ini memerlukan perlakuan pendahuluan, yaitu proses

pemasakan. Proses pemasakan berlangsung pada suhu 115,5 0C

dengan tekanan sekitar 15 – 20 atmosfir. Kadar air dalam minyak atau

lemak yang dihasilkan berkisar antara 2,5 – 3,5%, sedangkan ampas

yang tersisa masih mengandung minyak sekitar 4 – 5%.

2.8.3. Ekstraksi dengan Pelarut

Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak

dalam suatu pelarut organik (non polar). Pada cara ini dihasilkan ampas

dengan kadar minyak yang rendah, yaitu sekitar 1%. Sedangkan mutu

minyak kasar yang dihasilkan cenderung menyerupai dengan hasil

pengepresan secara berulir, karena sebagian fraksi bukan minyak juga akan

ikut terekstrak. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi minyak

adalah n-heksana, karbon disulfida, petroleum eter, benzena, dan lain-lain.

Peralatan yang biasa digunakan untuk mengekstrak minyak dari bahan

bakunya adalah peralatan soxhlet.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.9 Pengujian Minyak dan Lemak20

Pengujian minyak atau lemak berdasarkan pada penetapan bagian

tertentu dari komponen minyak atau lemak. Pengujian yang dilakukan

terhadap minyak atau lemak ini meliputi :

1. Berat Jenis

Berat jenis adalah massa minyak atau lemak per satuan volume air

pada suhu tertentu. Berat jenis minyak atau lemak sangat dipengaruhi oleh

berat molekul dari komponen asam lemaknya. Berat jenis akan semakin turun

dengan makin kecilnya berat molekul.

2. Indeks Bias

Indeks bias menyatakan derajat penyimpangan dari cahaya yang

dilewatkan pada suatu medium. Asam-asam lemak sangat mempengaruhi

nilai indeks bias suatu lemak atau minyak. Harga indeks bias semakin besar

dengan semakin panjangnya rantai karbon dan makin banyaknya ikatan

rangkap yang terdapat dalam suatu molekul lemak atau minyak. Selain itu,

adanya proses-proses kimia yang mengakibatkan terjadi reaksi polimerisasi

dan siklisasi, akan menyebabkan kenaikan harga indeks bias.

3. Titik Leleh

Titik leleh minyak atau lemak, besarnya berbanding lurus dengan

panjang rantai karbon asam-asam lemak penyusunnya, dan berbanding

terbalik dengan derajat ketidakjenuhan asam lemak.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4. Bilangan Asam

Bilangan asam merupakan jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk

menetralkan asam-asam lemak bebas dalam 1 g minyak atau lemak.

Bilangan asam ini berpengaruh terhadap kualitas/mutu suatu minyak atau

lemak. Makin tinggi bilangan asamnya, maka kualitas suatu minyak atau

lemak dapat dikatakan kurang baik, karena sifatnya menjadi asam, yang

seharusnya bersifat netral.

5. Bilangan Penyabunan

Bilangan penyabunan merupakan jumlah mg KOH yang dibutuhkan

untuk menyabunkan 1 g minyak atau lemak. Bilangan penyabunan ini

menjelaskan banyaknya asam lemak yang terikat pada trigliserida dalam

suatu minyak atau lemak dan asam lemak bebas yang ada pada minyak atau

lemak.

6. Bilangan Iod

Bilangan iod adalah jumlah gram iod yang dapat diikat oleh 100 g

minyak atau lemak. Bilangan iod ini dapat menyatakan derajat

ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak, dan juga dapat menunjukkan

bahwa minyak atau lemak tersebut merupakan jenis minyak mudah

mengering atau tidak. Minyak mudah mengering mempunyai bilangan iod

lebih dari 130, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara

100-130 bersifat setengah mengering.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


7. Bilangan Peroksida

Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen (O2) pada ikatan

rangkapnya, sehingga membentuk peroksida. Peroksida yang terbentuk

dapat ditentukan dengan metode iodometri.

8. Komposisi Asam Lemak Penyusun trigliserida

Dilakukan dengan mengubah minyak atau lemak menjadi bentuk metil

ester dari asam lemaknya (transesterifikasi), kemudian ditentukan dengan

menggunakan alat Kromatografi-Gas (GC).

2.10 Bahan Bakar Diesel

Bahan bakar diesel adalah minyak yang dapat digunakan untuk

mengoperasikan suatu mesin diesel. Agar dapat berfungsi dengan baik dan

sesuai dengan kemampuan mesinnya, bahan bakar tersebut harus

memenuhi beberapa karakteristik tertentu.

2.10.1 Karakteristik Bahan Bakar Diesel21,22

Bahan bakar diesel yang baik, harus memenuhi beberapa karakteristik

antara lain :

1. Angka setana (Cetane number)

Angka Setana merupakan ukuran kualitas pembakaran dari bahan

bakar diesel. Kebutuhan dari angka setana bergantung pada desain mesin,

ukuran, kecepatan natural dan variasi mesin. Angka setana yang tinggi

menandakan makin pendek kelambatan pembakaran (ignition delay), dan

berarti makin sedikit jumlah bahan bakar diesel yang terdapat di dalam ruang

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


bakar saat terjadi pembakaran. Alkana dengan berat molekul yang lebih

tinggi akan memiliki angka setana yang tinggi pula.

Angka setana diperoleh dengan membandingkan kesamaan sifat

pembakaran suatu bahan bakar motor diesel pada motor uji dengan sifat

pembakaran campuran setana (n-heksadekana) yang mempunyai angka

setana = 100, dengan α-metilnaftalena, yang mempunyai angka setana = 0.

Akan tetapi, penentuan tersebut memerlukan peralatan yang mahal serta

sampel dengan jumlah besar. Oleh karena itu, sebagai alternatif dan

perkiraannya, dilakukan dengan penentuan indeks setana. Tabel 2.5 berikut

merupakan tabel spesifikasi biodiesel terbaru tahun 200522 :

Tabel 2.5 Spesifikasi Minyak Solar /Automotive Diesel Oil (ADO) Super,
Medium dan Reguler

Spesifikasi Besaran Jenis Bahan Bakar Diesel/Solar

Super Medium Reguler

Angka Setana - 53,0 51,0 48,0

Indeks Setana - 50,0 49,0 45,0

Densitas, 15oC g/L 0,82–0,85 0,82-0,86 0,815-0,86

Viskositas, 40oC Mm2/s 2,0-4,0 2,0-4,5 2,0-4,5

Kandungan Belerang, maks % 0,05 0,05 0,05


o
Titik didih akhir, maks. C 370 370 370

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2. Indeks setana

Angka setana dapat juga dihitung dengan suatu rumus tertentu, yang

hasilnya dikenal sebagai indeks setana. Indeks setana dapat ditentukan

dengan ASTM D-976, melalui berat jenis dan suhu ketika 50% bahan bakar

diesel menguap (mid-boiling point) atau melalui angka penyabunan dan

angka iod dari bahan bakar diesel (metode AOCS). Persamaan indeks

setana berdasarkan metode AOCS adalah sebagai berikut :

5459
Indeks Se tan a = 46,3 + − 0,225 y
x

Dimana :

x = Bilangan penyabunan

y = Bilangan iod

3. Sifat mudah menguap (Volatilitas)

Sifat mudah menguap (Volatilitas/Volatility) dari bahan bakar memiliki

pengaruh penting terhadap keselamatan dan kinerjanya. Volatilitas adalah hal

utama bagi bahan bakar untuk membentuk uap yang mudah terbakar. Sifat

ini mempengaruhi penyalaan (starting), dan pemanasan. Adanya komponen

yang bertitik didih tinggi akan mempengaruhi terbentuknya sisa pada

pembakaran. Sifat mudah menguap bahan bakar diperlukan juga dalam

penentuan indeks setana.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4. Titik Nyala (Flash Point)

Titik nyala adalah suhu terendah yang diperlukan suatu bahan untuk

dapat membentuk uap dan menyala dengan sendirinya. Harga titik nyala

menunjukkan adanya bahan yang mudah menguap dan mudah terbakar,

serta menggambarkan kecenderungan minyak untuk membentuk campuran

dengan udara yang mudah terbakar. Harga ini juga digunakan untuk

identifikasi kemampuan terbakar dari suatu bahan bakar. Dalam proses

penyimpanan dan penanganan suatu bahan bakar, penting untuk

diperhatikan harga titik nyalanya. Metode yang digunakan untuk menentukan

titik nyala adalah ASTM D 93.

5. Viskositas (Kekentalan)

Viskositas atau kekentalan adalah tahanan suatu zat cair untuk

mengalir akibat gaya gravitasi. Suatu mesin memerlukan bahan bakar

dengan viskositas tertentu. Hal tersebut penting untuk kemampuan alir pada

saluran bahan bakar. Atomisasi yang efektif dari bahan bakar pada silinder

memerlukan kisaran viskositas tertentu untuk menghindari kelebihan tekanan

pompa. Nilai viskositas juga mempengaruhi sifat pelumasan terhadap pompa

injeksi dan komponen mesin lainnya yang bergesekan dengan pompa injeksi

bahan bakar. Harga viskositas juga penting untuk penyimpanan dan

penanganan yang optimal. Metode yang digunakan untuk menentukan

viskositas adalah ASTM D 445.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


6. Residu Karbon

Residu karbon adalah bagian sisa setelah sampel mengalami

dekomposisi termal. Residu karbon ini berasal dari fraksi yang memiliki titik

didih yang tinggi. Berhubungan dengan jumlah karbon pada ruang

pembakaran. Harganya yang tinggi berarti endapan karbon yang terbentuk

cukup banyak. Metode yang digunakan untuk menentukan kadar residu

karbon adalah ASTM D 189.

7. Kemurnian

Ketidakmurnian bahan bakar diesel menyebabkan korosi pada

onderdil dan masalah pada proses di mesin. Diperlukan kadar kemurnian

yang tinggi dari bahan bakar untuk penentuan pajak ekspor dan impor.

8. Cloud Point dan Pour Point (Titik tuang)

Cloud point adalah suhu pada saat bahan bakar mulai tampak

"berawan" (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal (padatan)

di dalam bahan bakar. Meski bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini,

keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran

aliran bahan bakar di dalam filter, pompa, dan injektor. Sedangkan pour point

adalah suhu terendah yang masih memungkinkan terjadinya aliran bahan

bakar. Angka ini menunjukkan kinerja bahan bakar pada kondisi dingin. Di

bawah pour point bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena terbentuknya

kristal/gel yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari definisinya, cloud

point terjadi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan pour point.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Metode yang digunakan untuk menentukan titik tuang (pour point) adalah

ASTM D 97.

2.10.2 Klasifikasi Bahan Bakar Diesel

Ada tiga jenis bahan bakar yang dapat digunakan untuk

menggerakkan motor diesel, yaitu3 : minyak bakar, minyak diesel dan minyak

solar.

Minyak bakar memiliki kekentalan yang cukup besar dibandingkan

dengan minyak diesel. Begitu pula dengan mutu pembakarannya yang

rendah serta kadar sulfurnya yang lebih tinggi dibandingkan minyak diesel.

Bahan bakar ini sering digunakan untuk mesin diesel putaran rendah, seperti

mesin diesel untuk kapal laut dan konstruksi baja (alat berat).

Minyak diesel memiliki kekentalan yang lebih besar dan lebih berat

daripada minyak solar. Begitu pula dengan mutu pembakarannya rendah dan

kadar sulfurnya lebih tinggi daripada minyak solar. Minyak diesel ini

digunakan untuk mesin-mesin diesel putaran sedang dan rendah, yang

bekerja pada kecepatan tetap, seperti mesin-mesin dalam industri.

Minyak solar adalah bahan bakar yang sering digunakan pada

mesin-mesin putaran tinggi (High Speed Diesel Engines, HSDE), yang

bekerja pada putaran di atas 1000 putaran per menit (rpm) atau lebih. Minyak

solar ini memiliki kriteria seperti: angka setana yang tinggi (min. 45), kadar

sulfur yang rendah (maks. 0,5% berat) dan viskositas kinematik yang rendah

(antara 1,6-5,8 cSt pada 100oF).

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Sesuai dengan tipe bahan bakar di atas, maka dapat diperoleh

kesimpulan bahwa terdapat beberapa tingkatan/jenis bahan bakar diesel,

yaitu :

1. No. 1-D, merupakan bahan bakar diesel yang digunakan untuk mesin

diesel dengan kecepatan tinggi

2. No. 2-D, merupakan bahan bakar diesel yang digunakan untuk mesin

industri dan kendaraan berat

3. No. 4-D, merupakan bahan bakar diesel yang digunakan untuk mesin

kecepatan rendah dan menengah dengan kecepatan tetap.

Spesifikasi bahan bakar diesel berdasarkan ASTM D-975 pada tahun 1990

dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Spesifikasi Bahan Bakar Diesel Berdasarkan Penggunaannya

No. Karakteristik Jenis Bahan Bakar Diesel Metode


Pengujian
No. 1-D No. 2-D No. 4-D
01. Angka Setana, min. 45 40 30 ASTM D-613
o
02. Berat Jenis pada 60/60 F 0,82-0,87 0,84-0,92 - ASTM D-298
o
03. Suhu Distilasi ( C) pada 90%
volume distilat, min. - 282 - ASTM D-38
maks. 288 338 -
04. Viskositas kinematik pada 100oF
(cSt.). 1,3-2,4 1,9-4,1 5,5-24,0 ASTM D-445
05. Titik Nyala (oC) min. 38 52 55 ASTM D-56
06. Titik Tuang (oC) min. 18,3 18,3 - ASTM D-97
07. Panas Pembakaran (MJ/kg), min. 45,30 42,70 - ASTM D-240
08. Kandungan:
a. Air (%vol.). maks. 0,05 0,25 0,75 ASTM D-95
b. Sedimen (% berat) maks. 0,01 0,02 0,15 ASTM D-473
c. Belerang (%berat) maks. 0,5 0,5 2,0 ASTM D-1551
d. Residu karbon pada 10%
residu(%berat). maks. 0,15 0,35 - ASTM D-189
e. Abu (%berat). maks. 0,01 0,01 0,01 ASTM D-482

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.11 BIODIESEL

Biodiesel adalah suatu ester monoalkil dari asam lemak rantai panjang

yang berasal dari minyak tumbuhan dan lemak hewan, yang dapat digunakan

sebagai bahan bakar pada mesin diesel. Kandungan utama dari biodiesel ini

adalah metil ester asam lemak yang dihasilkan dari trigliserida dalam minyak

tumbuhan atau lemak hewan, melalui reaksi transesterifikasi dengan metanol

dan bantuan katalis. Hasilnya adalah suatu bahan bakar yang tidak berbeda

karakteristiknya dengan bahan bakar diesel konvensional. Biodiesel dapat

digunakan langsung dalam mesin diesel atau dipakai untuk campuran bahan

bakar diesel22.

Penggunaan minyak tumbuhan seperti minyak sawit, kedelai, biji

bunga matahari dan zaitun sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel,

telah dimulai hampir sembilan dekade silam. Pengembangan proses

transesterifikasi secara komersil memerlukan banyak bahan mentah dan

tentunya bukan barang yang murah. Kedelai dan biji bunga matahari adalah

minyak yang paling mahal.

Dengan adanya penurunan persediaan minyak bumi, penggunaan

minyak tumbuhan sebagai bahan bakar diesel mulai berkembang kembali

di beberapa negara. Dengan keadaan iklim tertentu dan keadaan tanahnya,

beberapa negara telah mencari sumber-sumber minyak tumbuhan yang

dapat dipakai untuk bahan bakar diesel. Sebagai contoh, Amerika dengan

minyak biji kedelai (soybean oil), Eropa dengan minyak lobak (radish oil) dan

minyak bunga matahari (sunflower oil), dan negara tropis seperti Malaysia

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


dan Indonesia yang menggunakan minyak sawit (palm tree oil) atau Filipina

dengan minyak kelapa (coconut oil) yang sedang dikembangkan sebagai

bahan bakar diesel. Tabel 2.7 menunjukkan produksi global biodiesel.7

Tabel 2.7 Produksi Biodiesel di Berbagai Negara di Dunia

Negara Kapasitas produksi per tahun (ton) Bahan yang digunakan

Austria 56.200 – 60.000 Minyak goreng bekas


Belgia 241.000 -
Cekoslovakia 42.500 – 45.000 Minyak goreng bekas
Denmark 32.000 -
Prancis 38.100 -
Jerman 207.000 -
Hungaria 18.880 -
Irlandia 5.000 Minyak goreng bekas
Italia 779.000 Minyak bunga matahari
Slovakia 50.500 – 51.500 -
Swedia 75.000 -
Amerika 190.000 Minyak goreng bekas

2.11.1 Karakteristik Biodiesel

Biodiesel merupakan kandidat yang kuat untuk menggantikan bahan

bakar diesel dari minyak bumi, karena karakter biodiesel mirip dengan

spesifikasi untuk bahan bakar diesel. Biodiesel merupakan modifikasi dari

minyak yang berasal dari tanaman. Biodiesel dapat dibuat dengan

mengkonversi trigliserida (minyak) menjadi metil ester melalui proses

transesterifikasi. Tujuan dari konversi minyak menjadi esternya dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


1. Penghilangan secara seutuhnya kandungan trigliserida

2. Penurunan titik didih minyak

3. Penurunan titik nyala (flash point)

4. Penurunan titik tuang (pour point)

5. Penurunan viskositas

6. Hasil samping gliserol yang dapat digunakan dalam industri

Konversi trigliserida menjadi metil ester melalui proses transesterifikasi

dapat mengurangi berat molekul sampai sepertiga dari berat trigliserida dan

mengurangi viskositasnya sampai 8 kali serta menurunkan titik uapnya. Ester

pada biodiesel ini mengandung 10-11% berat oksigen, sehingga dapat

mendorong pembakaran lebih besar dibandingkan bahan bakar diesel dari

minyak bumi.

Biodiesel dapat dioperasikan langsung pada mesin diesel

konvensional tanpa perlu memodifikasi mesinnya. Dibandingkan dengan

bahan bakar minyak bumi, angka setana biodiesel yang tinggi berdampak

pada mudah terbakarnya bahan ini, sehingga emisi partikulatnya kecil.

Biodiesel tidak berbau seperti minyak diesel dari minyak bumi, dan

penggunaannya dapat meminimalkan endapan karbon pada saluran bahan

bakar.

Biodiesel memiliki kelemahan yaitu kecenderungannya untuk berubah

menjadi semipadat pada suhu rendah (di bawah 0°C). Metil ester dan etil

ester dari minyak tumbuhan akan menjadi semipadat dan memisah dari

mesin diesel pada penggunaan di musim dingin. Bentuk dari semipadat

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


tersebut akan menyumbat saluran dan penyaringan, sehingga akan

menimbulkan masalah dalam pemompaan bahan bakar dan kegiatan mesin.

Kelemahan lainnya adalah masalah yang timbul pada penyimpanan dalam

jangka waktu lama yang akan menyebabkan degradasi oksidatif serta

hidrolisis. Degradasi oksidatif dipengaruhi oleh senyawa lemak awal yang

digunakan (jumlah ikatan rangkapnya) dan adanya oksidator berupa sinar

ultraviolet dan beberapa logam serta suhu dan udara. Degradasi hidrolisis

adalah hidrolisis metil ester dengan air sebagai mediumnya. Hal tersebut

dapat dipengaruhi oleh jumlah air (terlarut, teremulsi atau terpisah pada

bagian bawah tempat penyimpanan). Kelarutan dan kemampuan emulsi air

terhadap bahan bakar biodiesel sangat bergantung pada kualitas produknya.

Biodiesel dengan kandungan intermediate berupa mono dan digliserida,

memilki kecenderungan untuk menyerap air. Hal ini berkaitan dengan

kepolaran senyawa intermediate tersebut.

Dengan demikian, sangat penting untuk diperhatikan kadar kemurnian

dari biodiesel karena memiliki pengaruh kuat pada karakter bahan bakarnya.

Jumlah monogliserida, digliserida dan trigliserida pada biodiesel dapat

memberikan masalah serius pada penggunaan biodiesel. Faktor lain yang

harus diperhatikan adalah biodiesel harus sebisa mungkin bebas dari air,

alkohol, gliserol dan katalisnya.

Dari literatur yang membahas tentang biodiesel, beberapa kesimpulan

yang dapat diambil tentang biodiesel yaitu22 :

1. Mesin diesel dapat langsung dioperasikan dengan biodiesel;

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2. Biodiesel dapat digunakan baik dalam bentuk murninya atau untuk

campuran atau aditif terhadap diesel;

3. Biodiesel bersifat tidak toksik, aman dan dapat terbiodegradasi;

4. Tidak terjadi penguapan;

5. Gas yang dikeluarkan bebas dari SO2 dan halogen;

6. Jumlah emisi hidrokarbon, karbon monoksida dan partikulat berkurang

cukup besar;

7. Emisi NOX meningkat;

8. Sifat auto ignition dari ester asam lemak menyebabkan jalan mesin

yang lebih halus;

9. konsumsi mesin untuk biodiesel serupa dengan diesel.

2.11.2 Spesifikasi Biodiesel

Negara-negara produsen dan pengguna biodiesel telah mencoba

menyusun standar baru untuk produk biodiesel, yang mengadopsi sifat-sifat

atau parameter minyak tumbuhan dan petroleum-diesel konvensional. Saat

ini standar Jerman DIN 516067 adalah yang paling banyak dijadikan acuan

oleh banyak negara. Standar ini digunakan juga di Austria, Italia dan negara

lain di Eropa. Sedangkan standar lainnya adalah dari ASTM (American

Society for Testing and Materials). Standar biodiesel Indonesia yang diajukan

pada Forum Biodiesel Indonesia dan perbandingannya dengan standar

Jerman (DIN 51606), Eropa (EN 14214) dan Amerika (ASTM D 6752) dapat

dilihat pada Tabel 2.8.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Tabel 2.8 Standar Biodiesel Indonesia dibandingkan dengan Standar Jerman,
Eropa dan Amerika

Karakter Satuan Indonesia Jerman Eropa Amerika


FBI-S01-03 DIN 51606 EN 14214 ASTM D 6752
Densitas 15°C g/mL - 0,875-0,90 0,86-0,90 maks 0,88
Titik nyala °C min. 100 min. 100 min. 100 min. 100
Titik tuang °C - -15–(13) -15-(13) -15-(13)
Residu karbon % berat maks. 0,3 maks. 0,05 maks. 0,3 maks. 0,3

Viskositas cSt. 2,3-6,0 3,5-5,0 3,5-5,0 1,9-6,0


40°C
Angka setana min. 48 min. 49 min. 51 min. 47
Angka asam mg KOH/g mks. 0,8 maks.0,5 maks.0,5 mks. 0,8
sampel
Angka iod g iod/100 g maks. 115 maks. 115 maks. 120 -
sampel
Kadar belerang g/100 g maks 0,05 maks. 0,01 maks. 0,05 maks 0,05
sampel
Gliserol bebas % berat maks. 0,02 maks. 0,02 maks. 0,02 maks. 0,02

2.12 Ultrasonokimia23,24

Ilmuwan pertama yang mengenalkan penggunaan ultrasound dalam

bidang kimia adalah Wood dan Loomis pada tahun 1927, ketika mereka

melihat bahwa reaksi-reaksi kimia yang mereka teliti bukan suatu akibat dari

pemanasan tetapi dari energi suara (sonic). Sejak penemuan pertama kali

bahwa gelombang suara dapat mempengaruhi suatu reaksi kimia, sonokimia

mengalami kemajuan yang lambat. Ketika generator-generator yang dapat

diandalkan dan murah tersedia pada tahun 1980-an, hal ini menyebabkan

dimulainya lagi perhatian terhadap ultrasonik dan suatu perkembangan

sonokimia.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Sonokimia merupakan penggunaan energi ultrasonik untuk

meningkatkan reaksi-reaksi kimia dan fisika. Melalui proses sonikasi, suatu

cairan, serbuk atau reaksi-reaksi senyawa kimia dan fisika dapat dipercepat

atau dapat dibuat untuk membentuk senyawa-senyawa baru. Suhu dan

tekanan yang tinggi sekali dan putaran pemanasan dan pendinginan cepat

yang dihasilkan dalam skala mikroskopis melalui ultrasonik, memungkinkan

energi kimia yang besar.

Dasar dari sonokimia adalah suatu fenomena kavitasi karena frekuensi

ultrasonik. Fenomena kavitasi yaitu adanya pembentukan, pertumbuhan dan

pecahnya gelembung (bubble) dalam suatu cairan. Pecahnya gelembung

(bubble) ini dapat menghasilkan suhu sekitar 50000C dan tekanan sekitar

1000 atm dalam skala mikro detik (µ second), juga dihasilkan nilai

pemanasan dan pendinginan yang besar >109 K/detik dan pancaran aliran

cairan sekitar 400 km/jam.

Sonokimia awalnya digunakan untuk menjelaskan efek-efek kimia

yang dipengaruhi ultrasound saja. Sekarang definisinya telah berkembang.

Istilah tersebut sekarang digunakan untuk menjelaskan aplikasi ultrasound

dalam pengolahan makanan, stabilisasi emulsi minyak, pengurangan ukuran

partikel, sistem penyaringan untuk partikel yang tersuspensikan,

homogenisasi, atomisasi, proteksi lingkungan, degassing sautu cairan,

transfer massa dan yang lainnya.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.13 Transesterifikasi6

Transesterifikasi adalah reaksi suatu ester (dalam hal ini trigliserida)

dengan alkohol membentuk alkil-ester dan gliserol. Suatu katalis biasanya

digunakan untuk meningkatkan laju reaksi dan jumlah produk. Dalam hal

transesterifikasi trigliserida, maka dapat digunakan 2 jenis katalis homogen,

yaitu asam atau basa. Bila digunakan katalis asam, maka reaksi bersifat

bolak-balik (reversible), maka dibutuhkan jumlah alkohol yang berlebih untuk

menggeser kesetimbangan ke arah produk reaksi. Bila digunakan katalis

basa, reaksinya searah, namun tetap dibutuhkan alkohol yang berlebih,

dimaksudkan agar sabun (garam asam lemak) yang terbentuk, tidak

berbentuk padatan tetapi dalam bentuk larutan di dalam alkohol.

Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan katalis asam atau basa

dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut :

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi Trigliserida dengan Katalis Asam

atau Basa

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Transesterifikasi terdiri dari reaksi-reaksi yang berurutan dan

unreversible. Trigliserida, dikonversi pertama-tama menjadi digliserida,

monogliserida dan akhirnya gliserol. Satu mol ester terbentuk pada setiap

tahapnya, seperti telihat sebagai berikut :

2.14 Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi

2.14.1 Alkohol yang Digunakan

Alkohol yang digunakan sebagai reaktan adalah alkohol yang memiliki

rantai pendek, seperti metanol, etanol dan butanol. Dalam hal ini, metanol

merupakan bahan yang sering digunakan karena selain murah, metanol

dapat menghasilkan ester yang stabil. Sedangkan etanol tidak sering

digunakan karena dapat menghasilkan ester yang kurang stabil dan

meninggalkan residu karbon yang lebih banyak. Selain itu, etil ester juga

dapat menghasilkan residu karbon yang lebih banyak serta titik tuang (pour

point) yang lebih rendah dibandingkan metil ester, sehingga sangat sulit

digunakan pada daerah beriklim subtropis. Untuk etil ester, pada suhu tinggi

kemungkinan akan terjadi reaksi pirolisis ester, akan menghasilkan etilena

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


(etena) dan asam lemak kembali. Adapun reaksi pirolisis ester sebagai

berikut :

O CH2 OH

C + H2C CH2
C CH2
R O R O

Gambar 2.3 Reaksi Pirolisis Etil Ester

2.14.2 Katalis yang Digunakan

Katalis merupakan suatu zat yang dapat meningkatkan kecepatan

reaksi karena dapat menurunkan energi aktivasi pada reaksi. Alkoksida

logam alkali merupakan katalis yang paling efektif untuk reaksi

transesterifikasi. KOH dan NaOH merupakan katalis basa yang sering

digunakan dan paling mudah didapatkan. Telah diketahui, bahwa katalis basa

memerlukan waktu yang lebih singkat untuk menyelesaikan reaksi pada suhu

ruang. Sedangkan katalis asam, seperti H2SO4, memerlukan waktu reaksi

yang lebih lama (10-20 jam) dan memerlukan suhu yang lebih tinggi (100°C).

Reaksi transesterifikasi berlangsung 4000 kali lebih cepat, bila

digunakan katalis basa, dibandingkan dengan katalis asam dalam jumlah

yang sama. Begitu pula dengan tingkat korosifitas biodiesel yang dihasilkan

dengan katalis asam lebih besar dibanding dengan asam sehingga kurang

efektif bila digunakan pada mesin diesel. Oleh karena itu, transesterifikasi

banyak dilakukan dengan katalis basa. Jenis katalis lainnya adalah enzim

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


lipase yang dapat mengkatalis reaksi transesterifikasi dalam media cair

maupun non cair. Namun, katalis ini tidak sering digunakan karena sulit

didapat dan mahal serta mudah terurai atau terdeaktivasi oleh alkohol, misal

metanol.

2.14.3 Perbandingan Mol Alkohol Terhadap Minyak

Perbandingan mol alkohol dan trigliserida merupakan variabel yang

dapat mempengaruhi hasil alkil esternya. Dalam reaksi transesterifikasi,

stoikiometri yang digunakan adalah tiga mol alkohol (metanol) untuk satu mol

trigliserida. Namun, biasanya alkohol yang digunakan berlebih, dengan tujuan

agar sabun atau garam alkali asam lemak yang terbentuk tidak membentuk

padatan karena jika terbentuk sabun padat, maka reaksi tidak dapat berlanjut

untuk membentuk metil ester. Perbandingan mol 1:9 antara trigliserida

dengan alkohol biasa digunakan dalam industri untuk menghasilkan metil

ester sebanyak 98% berat.

2.14.4 Kemurnian Reaktan

Pengotor yang ada di minyak dapat mempengaruhi tingkat konversi

metil ester yang dihasilkan. Tingkat konversi 65-85% dihasilkan, bila

dilakukan dalam bahan baku mentah (minyak yang belum dimurnikan). Pada

kondisi yang sama, minyak yang telah dimurnikan dapat menghasilkan

tingkat konversi 94-97%. Adanya asam lemak bebas pada minyak akan

bereaksi juga dengan katalis, namun dalam kondisi suhu dan tekanan yang

tinggi masalah ini dapat diatasi.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


2.14.5 Intensitas Pengadukan

Intensitas pengadukan merupakan salah satu faktor yang penting pada

reaksi transesterifikasi, karena antara minyak dan larutan KOH-alkohol tidak

dapat larut. Reaktan awalnya membentuk sistem cairan dua fasa. Salah satu

cara untuk mempercepat suatu reaksi adalah dengan memperbesar titik temu

antara kedua reaktan. Terbentuknya metil ester akan menghasilkan pelarutan

yang baik untuk kedua reaktan dan akan membentuk satu fasa. Pengadukan

yang tepat sangat signifikan pengaruhnya pada awal reaksi. Namun setelah

campuran membentuk satu fasa, maka pengadukan tidak lagi begitu

berpengaruh.

2.15 Kromatografi Gas (GC)

Kromatografi adalah metode analisis yang digunakan untuk

pemisahan, identifikasi dan penentuan suatu senyawa dalam campuran.

Salah satu jenis kromatografi yang banyak digunakan adalah kromatografi

gas. Kromatografi gas merupakan teknik untuk memisahkan suatu campuran

zat yang mudah menguap, dengan cara melewatkan aliran gas pada suatu

fasa yang tidak bergerak (stationaery phase). Pada kromatografi gas, proses

pemisahan komponen berlangsung dalam kolom berdasarkan pada interaksi

komponen sampel pada fasa diam.

Pemisahan didasarkan pada perbedaan distribusi dari masing-masing

komponen fasa diam (stasionaery phase) dan fasa gerak (mobile phase).

Dalam kromatografi dikenal istilah waktu retensi (Rt), yaitu waktu komponen

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


sampel ditahan oleh kolom (fasa diam). Waktu retensi setiap komponen

dalam sampel berbeda-beda (spesifik), dan dapat digunakan untuk

penentuan analisis kualitatif suatu komponen. Hasil pengukuran dicatat

dalam bentuk kromatogram. Luas area kromatogram yang dihasilkan

digunakan untuk penentuan kuantitatif suatu sampel.

Dalam penentuan komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak

biji bintaro digunakan kromatografi gas. Analisis kualitatif dan kuantitatif dari

asam-asam lemak penyusun trigliseridanya dilakukan dengan cara

membandingkan waktu retensi dan luas area puncak kromatogram sampel

dengan suatu standar asam lemak.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


BAB III

PERCOBAAN

3.1 Bahan

1. Biji buah bintaro (Cerbera odollam Gaertn)

2. Na2SO4 anhidrat

3. n-heksana

4. HCl encer

5. HCl Pekat

6. KOH

7. Etanol 95%

8. Metanol p.a

9. Larutan Na2S2O3 0,1N

10. Larutan KI 15%

11. NaCl teknis

12. BF3-metanolat

13. Kloroform

14. Larutan Wijs (ICl)

15. Kanji 1%

16. Indikator Fenolftalein 1%

17. Bleaching earth (bentonit)

18. Karbon aktif

19. Campuran metil ester standar dari asam-asam lemak tertentu.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


3.2 Alat

1. Peralatan Soxhlet

2. Peralatan Ultrasonikasi

3. Heating Mantel

4. Timbangan

5. Blender

6. Gelas kimia

7. Buret

8. Labu Erlenmeyer dengan tutup

9. Penangas air (water bath)

10. Pemanas dengan pengaduk (Hot plate with stirrer)

11. Batang pengaduk

12. Corong

13. Corong pisah

14. Evaporator vakum

15. Pipet tetes

16. Pipet ukur

17. Pipet volumetri

18. Piknometer

19. Termometer

20. Botol timbang

21. Viskometer

22. Peralatan kromatografi gas (GC)

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


3.3 Cara Kerja

3.3.1 Proses Ekstraksi Minyak Biji Bintaro12

Biji bintaro yang telah dikumpulkan, selanjutnya dikeluarkan dari kulit

serta buahnya, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering

(±4-5 hari) atau dipanaskan di oven pada suhu 70-800C selama ± 2-3 hari

(hingga mencapai berat yang konstan), dan selanjutnya biji bintaro tersebut

digiling halus menggunakan blender. Hasil gilingan tersebut diekstraksi

dengan pelarut n-heksana menggunakan peralatan soxhlet pada suhu

70-800C, selama ± 6-8 jam. Kemudian dilakukan pengeringan dengan

menggunakan Na2SO4 anhidrat, disaring, dan pelarutnya diuapkan dengan

evaporator vacuum.

3.3.2 Proses Pemurnian Minyak12

Sebanyak 10 g sampel dilarutkan dalam 50 mL etanol 95%, kemudian

larutan minyak kasar tersebut ditempatkan pada gelas piala/erlenmeyer

250 mL dan selanjutnya ditambahkan larutan KOH (sesuai dengan bilangan

asamnya). Berikutnya dipanaskan pada 640C sambil diaduk dengan magnetic

stirrer selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 20 mL n-heksana,

dipindahkan ke dalam corong pisah, sedangkan fraksi n-heksana diambil,

kemudian ditambahkan tanah pemucat 2% dari berat minyak yang

dimurnikan dan karbon aktif sebanyak 0,2%. Selanjutnya larutan tersebut

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


disaring, dengan menggunakan pelarut n-heksana. Setelah disaring,

n-heksana yang digunakan diuapkan dengan evaporator vacuum.

3.3.3 Penentuan Komposisi Asam Lemak12

Sebanyak 0,3 g minyak ditambahkan 6 mL NaOH-metanolat 0,5 N dan

7 mL larutan BF3-metanolat, kemudian dimasukkan ke dalam labu bulat yang

dilengkapi pendingin balik, dan dididihkan sampai larut sekitar ± 2 menit dan

selanjutnya didinginkan. Campuran larutan dipindahkan ke corong pisah,

diekstraksi 3 kali dengan 25 mL petroleum eter, dan kemudian ekstraks

tersebut dicuci dengan 25 mL NaCl jenuh. Setelah dicuci, ekstraks

dikeringkan atau dikisatkan dengan evaporator vacuum. Hasil ekstraks kering

ini dilarutkan di dalam 1 mL petroleum eter pada 30-600C. Kemudian

disuntikkan ke alat kromatografi gas dengan kondisi sebagai berikut :

Nama alat : GC-R1A Shimadzu

Detektor : FID (Flame Ionization Detector)

Kolom : Packing kolom, gelas kaca

Bahan Pengisi : DEGS (Dietylen Glykol Succinate)

Padatan Pendukung : Chromosorb WAW

Panjang Kolom : 30,0 m

Diameter Kolom : 0,32 mm

Gas Pembawa : H2

Suhu awal : 1000C

Suhu akhir : 2000C

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Suhu Injector : 2000C

Instansi : Balai Besar Industri Agro, Bogor.

3.3.4 Pembuatan Metil Ester (Biodiesel)7,25,26

Dalam pembuatan metil ester (biodiesel) minyak biji bintaro ini

digunakan metode ultrasonokimia (penggunaan energi ultrasonik) dari

peralatan ultrasonic bath (sonikator) yang ada di Departemen Kimia FMIPA

UI.

Sebelum dilakukan sintesis biodiesel minyak biji bintaro yang akan

diuji karakteristiknya, terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi reaksi

transesterifikasi dengan memvariasikan perbandingan mol minyak:alkohol

(1:6, 1:9, 1:12) serta katalis KOH ( 0,5% dan 1% berat sampel). Diperoleh

kondisi optimum (konversi metil esternya paling besar) pada perbandingan

mol minyak:metanol 1:9 dengan KOH 0,5% berat. Kondisi optimum ini

kemudian digunakan untuk sintesis biodiesel selanjutnya.

Adapun prosedur kerjanya, yaitu : Minyak biji bintaro hasil pemurnian

direaksikan dengan metanol dengan perbandingan mol minyak:metanol

sebesar 1:9 menggunakan katalis basa KOH 0,5% berat minyak (melarutkan

KOH 0,5% berat sampel dengan metanol sebanyak 35 mL di dalam gelas

piala/erlenmeyer, kemudian ditambahkan 75 g sampel minyak). Kemudian

campuran reaksi ini diaduk dengan pengaduk magnit (magnetic stirrer)

selama ± 3 menit, setelah itu campuran reaksi ini ditempatkan pada ultrasonic

bath (sonikator). Kemudian dilakukan proses sonikasi dengan frekuensi

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


ultrasoniknya 40 kHz selama 40 menit (suhu awal reaksi dikondisikan ±37oC

yang selanjutnya terkontrol otomatis oleh alat). Setelah reaksi tersebut

selesai, campuran reaksi dituangkan ke dalam corong pisah, didiamkan untuk

beberapa waktu agar terjadi pemisahan antara gliserol (lapisan bawah/fraksi

air) dan ester (lapisan atas/fraksi organik). Lapisan ester dipisahkan dari

gliserol kemudian dilakukan pencucian dengan air panas (60°C) sampai air

cucian netral (dikontrol dengan kertas lakmus). Setelah dicuci, ester

dipanaskan pada suhu 105°C selama 15 menit. Setelah dingin, dimasukkan

sejumlah Na2SO4 anhidrat sambil diaduk. Ester kemudian disaring dan siap

untuk dilakukan pengujian berikutnya.

3.3.5. Pengujian Karakteristik Metil Ester (Biodiesel)

3.3.5.1 Penentuan Berat Jenis Metil Ester7,20

Berat jenis metil ester ditentukan dengan menggunakan piknometer.

Pertama-tama, piknometer kering ditimbang, kemudian sampel metil ester

dimasukkan ke dalam piknometer sampai melewati lubang kapiler pada tutup

piknometer. Selanjutnya piknometer yang berisi metil ester ini ditimbang.

Berat sampel (metil ester) diketahui dengan mengurangi berat piknometer

berisi minyak dengan berat piknometer kosong. Berat jenis sampel adalah

berat sampel dibagi dengan volume sampel dalam piknometer.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


3.3.5.2 Penentuan Titik Nyala (Flash Point)7,20

Sampel metil ester dimasukkan ke dalam mangkok sampai tanda

batas. Suhu pada alat diatur sedemikian rupa, hingga terjadi nyala sesaat di

atas sampel. Suhu yang tertera pada saat sampel menyala inilah yang

disebut sebagai titik nyala.

3.3.5.3 Penentuan Titik Tuang7,20

Sampel metil ester dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai

menempati sepertiga tabung. Tabung reaksi tersebut kemudian dimasukkan

ke dalam alat pendingin. Jika sampel yang diamati dirasa sudah tidak

bergerak lagi, tabung diangkat dari pendingin. Tabung dimiringkan untuk

melihat apakah terjadi pergerakan pada minyak. Pengecekan ini dilakukan

selama 5 detik. Jika masih bergerak, tabung didinginkan kembali. Jika

permukaan minyak stabil atau tidak berubah kemiringannya, suhu yang

diamati pada saat itu adalah suhu titik tuang sampel.

3.3.5.4 Penentuan Viskositas Kinematik7,20

Metil ester dimasukkan ke dalam viskometer dan dipanaskan dalam

penangas air pada suhu 45°C selama 30 menit. Sampel ditarik dengan bulp

sampai di atas tanda batas pertama. Waktu pengaliran diukur dari batas

pertama sampai batas kedua tabung viskometer. Percobaan dilakukan

beberapa kali dan waktu alirnya dirata-rata.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Perhitungannya adalah sebagai berikut :

V=Cxt

Dengan :

V = Viskositas kinematik (mm2/detik)

C = Konstanta viskometer yang digunakan

t = Waktu alir rata-rata (detik)

3.3.5.5 Penentuan Residu Karbon7,20

Cawan platina dibersihkan dengan HCl pekat panas. Cawan dibakar

dalam tanur lalu didinginkan, kemudian ditentukan beratnya. Sampel

dimasukkan ke dalam cawan dan ditentukan beratnya. Cawan yang berisi

sampel ini dimasukkan dalam tanur pada suhu 500-700°C sampai sampel

berubah menjadi karbon. Cawan kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar

karbon merupakan persentase berat residu karbon dibanding dengan

sampelnya.

3.3.5.6 Penentuan Bilangan Asam12

Sebanyak 1 g minyak atau lemak dimasukkan ke dalam gelas

erlenmeyer 250 mL, kemudian ditambahkan 50 mL etanol hangat (650C) dan

dikocok sampai semua contoh melarut. Larutan ini kemudian dititrasi dengan

KOH 0,1 N dengan indikator larutan fenolftalen 1 % sampai terlihat warna

merah jambu. Setelah itu dihitung jumlah mg KOH yang digunakan untuk

menetralkan asam lemak bebas dalam 1 g minyak atau lemak.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


A × N × 56,1
Angka Asam =
G
Dimana :

A = jumlah mL KOH yang dibutuhkan untuk titrasi

N = normalitas larutan KOH

G = berat contoh (g)

56,1 = berat molekul KOH

3.3.5.7 Penentuan Bilangan Penyabunan12

Sebanyak 1 g minyak atau lemak dimasukkan ke dalam gelas

erlenmeyer 250 mL, kemudian ditambahkan perlahan-lahan 12,5 mL

KOH-alkoholis 0,5 N. Selanjutnya gelas erlenmeyer dihubungkan dengan

pendingin balik dan contoh dididihkan dengan hati-hati sampai semua contoh

tersabunkan dengan sempurna, yaitu jika terlihat larutan yang ada bebas dari

butiran-butiran minyak. Larutan didinginkan dan bagian dalam dari pendingin

balik dibilas dengan sedikit air, selanjutnya ke dalam larutan ini ditambahkan

5 tetes larutan indikator fenolftalen 1%, kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N

sampai warna merah jambu menghilang.

Pada tiap-tiap penentuan secara titrasi, dilakukan juga titrasi blanko

sebagai pembanding. Dasar perhitungan adalah selisih antara milliliter titrasi

contoh dengan titrasi blanko.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


(A − B ) × N × 56,1
Angka Penyabunan =
G
Dimana :

A = jumlah mL HCl 0,5 N yang diperlukan untuk titrasi blanko

B = jumlah mL HCl 0,5 N yang diperlukan untuk titrasi contoh

N = normalitas KOH (0,5 N)

G = berat contoh minyak

56,1 = berat molekul KOH

3.3.5.8 Penentuan Bilangan Iod12

Sebanyak 0,5 g minyak dilarutkan ke dalam kloroform sebanyak

10 mL. Setelah larut sempurna, ditambahkan 25 mL larutan Wijs (Larutan ICI

dalam asam asetat glasial) dan didiamkan selama 30 menit. Kemudian

ditambahkan 10 mL larutan KI 15% dan dikocok. Selanjutnya dititrasi dengan

Na2S2O3 0,1 N sampai larutan berwarna kuning. Sebanyak 1 mL larutan kanji

1 % ditambahkan ke dalam campuran tersebut, kemudian dititrasi kembali

sampai warna biru hilang. Terhadap blanko juga dilakukan dengan prosedur

sama tanpa menggunakan contoh. Percobaan dilakukan secara duplo.

Perhitungan Bilangan Iod adalah sebagai berikut :

A × N × 12,69
Angka Iod =
G
Dimana :

A = selisih volume larutan Na2S2O3 0,1 N yang diperlukan untuk titrasi blanko

dan contoh

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


N = normalitas larutan Na2S2O3

G = berat contoh (g)

12,69 = BA Iod/10

3.3.5.9 Penentuan Indeks Setana7,20

Penentuan indeks Setana dilakukan dengan persamaan (ASTM

D-976) sebagai berikut :

Indeks Setana = 97.833(log B)2 – 0.554 B + 454.74 – 7641.416 D + 774.74 D2

Dengan :

B = Titik didih 50% volume destilat (°C)

D = Densitas 15°C

Selain itu, indeks setana juga dapat dihitung melalui persamaan4 :


5459
Indeks Se tana = 46,3 + − 0,225 y
x
Dimana :

x = Bilangan penyabunan

y = Bilangan iod

3.3.5.10 Penentuan Kandungan Abu

Sampel ditimbang dalam cawan dengan pembulatan 0,1 mg tidak lebih

dari 20 mg. Cawan dipanaskan dengan Meker sampai sampel terbakar

sendiri. Suhu cawan dijaga sesuai suhu pembakaran agar pembakaran tidak

terhenti dengan menempatkannya di atas plat pemanas. Sampel dibiarkan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


terbakar sendiri sampai tersisa karbon dan abu. Pembakaran dihentikan dan

sampel diganti dengan yang baru, jika banyak mengandung air. 2 mL

propanol ditambahkan ke dalam sampel, baru kemudian diaduk hingga

merata dengan pengaduk gelas. Pengaduk gelas dibersihkan dengan kertas

pengering tanpa abu, kemudian kertas pengering tersebut dimasukkan ke

dalam sampel. Jika penambahan 2 mL propanol tidak berhasil, sampel

ditambahkan dengan 10 mL campuran propanol dengan toluena. Sisa karbon

dipanaskan dalam dapur Muffle pada suhu 775 ± 25°C sampai seluruh

karbon hilang. Cawan didinginkan pada suhu ruang dalam desikator (tanpa

pengering) dan ditimbang. Pemanasan diulangi lagi pada suhu 775 ± 25°C

selama 20 menit, kemudian didinginkan kembali dan ditimbang sampai berat

konstan (tidak berubah > 0,5 mg).

Berat abu (g)

Kadar abu = x 100 %

Berat sampel (g)

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


3.4 Bagan Kerja

Skema kerja pada penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:


Buah bintaro

Dikupas dari buahnya

Cangkang bintaro

Dibuka dari cangkangnya

Biji bintaro
Dikeringkan dengan sinar matahari
± 4-5 hari atau dipanaskan di dalam
oven ± 2-3 hari (sampai berat konstan)
Biji bintaro kering

Digiling (diblender) sampai halus

Tepung biji bintaro


Diekstraksi dengan n-heksana
pada suhu 70-80°C selama ± 8
1. Pengeringan dengan Na2SO4 jam di dalam soxhlet
2. Pelarut n-heksana diuapkan

Minyak kasar

Pemurnian dengan larutan KOH 0,1 N,


Bleaching Earth 2%, Karbon Aktif 0,2%

Minyak murni
Optimasi kondisi reaksi transesterifikasi
(sintesis biodiesel)
Penentuan komposisi asam lemak
Penyusun trigliserida Ditambah metanol(1:9)-KOH 0,5%
berat,disonikasi dengan frekuensi ultrasonik
40 kHz dan waktu reaksi 40 menit.
Kemudian gliserol dipisahkan, ester dicuci
dengan air hangat,dikeringkan dengan
Na2SO4 anhidrat, lalu disaring

Metil Ester (Biodiesel) Uji Karakteristik Biodiesel

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Uji Karakteristik Biodiesel

- Berat Jenis

- Titik Nyala

- Titik Tuang

- Viskositas Kinematik

- Indeks Setana

- Residu Karbon

- Angka Asam

- Angka Iod

- Angka Penyabunan

- Kandungan abu

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ekstraksi Minyak Biji Bintaro

Proses pengambilan minyak dan lemak dari jaringan hewan atau

tumbuhan dapat dilakukan dengan cara rendering, pengepresan secara

mekanik dan ekstraksi pelarut. Pada penelitian ini digunakan cara ekstraksi

pelarut dengan menggunakan peralatan soxhlet untuk mengekstrak minyak

yang terdapat dalam biji bintaro. Biji bintaro yang dipergunakan pada

penelitian ini, berasal dari koleksi biji Kebun Raya Bogor.

Ekstraksi pelarut dilakukan dengan peralatan soxhlet dan sebagai

pelarutnya adalah n-heksana. Prinsip kerja ekstraksi minyak dengan

peralatan soxhlet adalah sebagai berikut: pelarut n-heksana dalam labu bulat

diuapkan dengan heating mantle, dan keluar melalui pipa terluar dari soxhlet

menuju kondensor. Di dalam kondensor akan terjadi pendinginan, sehingga

uap pelarut tersebut berubah menjadi cair kembali dan turun ke dalam

soxhlet untuk mengekstraksi minyak dan senyawa-senyawa non polar lainnya

yang terdapat dalam biji bintaro. Setelah cairan di dalam soxhlet penuh, maka

minyak biji bintaro yang telah terekstraksi beserta pelarutnya akan turun

melalui pipa kecil bagian dalam dari soxhlet menuju labu bulat, jadi prinsip

ekstraksi dengan ekstraksi soxhlet adalah ekstraksi sinambung, artinya

pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi selalu baru atau fresh hasil

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


pengembunan dari uap pelarut. Proses ekstraksi ini berlangsung terus

menerus selama ± 6-8 jam.

Adapun alat soxhlet yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.1

berikut ini :

Gambar 4.1 Alat Soxhlet

Setelah proses soxhlet tersebut selesai, larutan hasil ekstraksi

kemudian dipindahkan ke dalam gelas kimia, dan ditambahkan sejumlah

Na2SO4 anhidrat. Dalam hal ini, Na2SO4 anhidrat berfungsi sebagai penarik

air yang mungkin masih ada dalam larutan. Larutan tersebut kemudian

disaring dan pelarut yang masih ada diuapkan dengan rotatory evaporator

menggunakan penangas air pada suhu 70°C. Penggunaan alat rotatory

evaporator dimaksudkan agar pelarut yang digunakan dapat menguap

sebelum titik didihnya, sehingga pemisahan pelarut dari minyak biji bintaro

menjadi lebih cepat dan senyawa organik yang ada tidak rusak, karena

pemanasannya tidak terlalu tinggi.

Setelah semua pelarut n-heksana diuapkan, maka minyak biji bintaro

yang diperoleh ditimbang, kemudian dihitung rendemen minyak yang

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


dihasilkan terhadap berat kering serbuk biji bintaro. Adapun hasil yang

diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1 Rendemen Minyak Biji Bintaro Hasil Ekstraksi

Serbuk Inti Biji Bintaro (g) Minyak Bintaro (g) Kandungan (%)
189,94* 101,12* 53,24*
276,47 191,33 69,2
236,71 142,19 59,65
Kandungan rata-rata 60,7
*) hasil penelitian sebelumnya12

4.2 Pemurnian Minyak

Tujuan pemurnian adalah untuk menghilangkan komponen-komponen

yang tidak diinginkan, seperti bau yang kurang sedap, warna yang kurang

menarik serta rasa yang tidak enak. Lemak atau minyak kasar yang

dihasilkan dari proses ekstraksi tersebut masih mengandung kotoran-kotoran

yang bukan golongan trigliserida17.

Dalam proses pemurnian minyak nabati terdapat dua tahap penting,

yakni tahap netralisasi (penetralan) dan tahap bleaching (pemucatan warna).

Tahap netralisasi (penetralan) adalah proses untuk memisahkan senyawa-

senyawa terlarut seperti asam lemak bebas, fosfatida dan beberapa pigmen

(bahan berwarna). Minyak dengan kandungan asam lemak bebas tinggi,

biasanya dipisahkan dengan menggunakan uap panas dalam keadaan

vakum, kemudian ditambahkan alkali. Sedangkan minyak dengan asam

lemak bebas rendah, cukup ditambahkan larutan NaOH, garam Na2CO3 atau

larutan KOH sehingga asam lemak ikut fase air dan terpisah dari minyaknya.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Berdasarkan data sifat-fisiko kimianya12, yaitu dengan membandingkan nilai

angka asam (jumlah asam lemak bebas) terhadap angka penyabunannya

(jumlah total asam lemak), diperoleh kandungan asam lemak bebas dari

minyak biji bintaro kurang dari 2%, yang berarti nilai ini cukup rendah.

Sehingga proses netralisasi (penetralan) cukup dengan menambahkan

larutan alkali, dalam hal ini digunakan larutan KOH. Sampel minyak yang

akan dinetralisasi, dilarutkan terlebih dahulu dengan etanol 96% dan

selanjutnya ditambahkan KOH sesuai dengan bilangan asamnya, dengan

tujuan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas yang terdapat pada

minyak biji bintaro. Penambahan etanol 96% selain berfungsi untuk

melarutkan minyak, juga dapat melarutkan sabun yang terbentuk dari hasil

reaksi antara asam-asam lemak bebas minyak biji bintaro dengan larutan

KOH. Untuk mempercepat dan menyempurnakan reaksi, campuran tersebut

dipanaskan sambil diaduk dengan magnetic stirrer pada suhu 64oC.

Selanjutnya campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah dan

ditambahkan sejumlah n-heksana untuk menarik lapisan minyak (fasa

organik) dari fasa airnya (sabun yang terlarut dalam alkohol). Kemudian

lapisan atas (lapisan minyak/fasa organik) diambil dan dipindahkan ke dalam

beaker untuk dilakukan tahap bleaching (pemucatan warna).

Pada tahap bleaching (pemucatan warna), lapisan minyak (fasa

organik) ditambahkan sejumlah kecil adsorben seperti bleaching earth (tanah

pemucat) dan karbon aktif. Zat warna dalam minyak akan diserap oleh

permukaan adsorben dan juga akan menyerap suspensi koloid (gum dan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


resin) serta hasil degradasi minyak misalnya peroksida17. Adsorben yang

digunakan adalah campuran bentonit 2% dan karbon aktif 0,2%.

Penambahan bentonit dan karbon aktif sebagai adsorben warna sangat

efektif untuk memucatkan dan menghilangkan beberapa zat warna yang

terdapat dalam minyak.

Lapisan minyak dalam n-heksana (fasa organik) yang telah

ditambahkan campuran bentonit dan karbon aktif ini, kemudian disaring

beberapa kali sampai tidak ada lagi warna hitam pada kertas saring dan

pelarut n-heksana diuapkan dengan menggunakan alat rotatory evaporator.

Dari Gambar 4.2, terlihat jelas bahwa terjadi perubahan warna dari minyak biji

bintaro yang sebelum pemurnian berwarna coklat menjadi berwarna kuning

setelah dilakukan pemurnian.

Gambar 4.2. Minyak biji bintaro sebelum pemurnian (kiri) dan setelah

pemurnian (kanan)

4.3 Komposisi Asam Lemak Penyusun Trigliserida

Untuk menentukan komposisi asam lemak penyusun trigliserida

minyak biji bintaro, terlebih dahulu dilakukan proses hidrolisis untuk

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


membebaskan asam lemaknya dari trigliserida dengan basa kuat yang

terlarut dalam alkohol seperti larutan NaOH-metanol. Kemudian dilakukan

proses transesterifikasi dengan menggunakan BF3-metanolat sebagai asam

lewis yang digunakan sebagai katalis sehingga diperoleh metil esternya.

Penggunaan BF3 (asam lewis) sebagai katalisator didasarkan atas

reaktifitasnya yang lebih besar bila dibandingkan dengan asam-asam mineral

(HCl, H2SO4, p-Toluen sulfonat dan lain-lain) serta rendemen hasil metil

esternya lebih kuantitatif. Metil ester yang terbentuk tersebut kemudian

diekstraksi dengan petroleum eter dan NaCl jenuh yang bertujuan untuk

menambah kepolaran larutan, sehingga fasa non polar (petroleum eter)

terpisah ke lapisan atas. Kemudian ekstrak siap disuntikkan ke kolom

kromatografi gas.

Adapun mekanisme transesterifikasi dari trigliserida dengan katalis

BF3-metanolat dapat dilihat pada Gambar 4.3 di bawah ini :

Gambar 4.3 Mekanisme Transesterifikasi dari Trigliserida dengan

Katalis BF3-Metanolat

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Kandungan asam lemak minyak contoh ditentukan dengan

membandingkan waktu retensi standar asam lemak yang sebelumnya

disuntikkan ke instrumen kromatografi gas, sedangkan untuk analisis

kuantitatif ditentukan dengan membandingkan luas area kromatogram contoh

dengan luas area kromatogram standar. Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif

asam lemak penyusun trigliserida minyak biji nyamplung dapat dilihat pada

Tabel 4.2 berikut :

Tabel 4.2 komposisi Asam Lemak Penyusun Trigliserida Minyak Biji Bintaro

Asam Lemak Nama Sistematik Hasil Analisa (%)


Palmitat Heksadekanoat 17,67
Palmitoleat cis-9-heksadekenoat 4,91
Stearat Oktadekanoat 3,21
Elaidat tr-9-oktadekenoat 8,54
Oleat cis-9-oktadekenoat 34,02
Linolelaidat tr-9,12-oktadekadienoat 4,49
Linoleat cis-9,12-oktadekadienoat 16,74
α-Linolenat cis-9,12,15-oktadekatrienoat 0,40
Total Asam lemak 89,98

Dari Tabel 4.2, terlihat bahwa kandungan asam lemak tidak jenuhnya

tinggi, cenderung memiliki titik leleh yang rendah, sehingga minyak berbentuk

cair pada suhu kamar.

Total asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro yaitu

sebesar 89,98%. Hasil % area dari puncak-puncak pada kromatogram

sampel tidak terdeteksi sampai 100%, hal ini karena tidak adanya puncak

pembandingnya pada standar asam lemak.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4.4 Pembuatan Metil Ester (Biodiesel)

Telah diketahui bahwa suatu minyak nabati jika digunakan langsung

untuk bahan bakar pada mesin diesel akan menimbulkan masalah, yang

diakibatkan oleh tingginya nilai viskositas (kekentalan) minyak nabati.

Viskositas (kekentalan) bahan bakar yang sangat tinggi akan menyulitkan

pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Aliran

bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar

yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan kualitas

pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang. Selain masalah nilai

viskositas yang tinggi, penggunaan minyak nabati secara langsung juga

menyebabkan pembentukan kokas/karbon pada injektor, karena aktivitas

hidrkarbon tidak jenuh, pelengketan, penebalan dan pembentukan minyak

pelumas karena terkontaminasi minyak nabati.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, terutama yang

berhubungan dengan tingginya nilai viskositas minyak nabati, maka salah

satu cara yang dapat diambil adalah dengan mengkonversi minyak nabati

(berupa trigliserida asam lemak) menjadi metil ester asam lemaknya melalui

reaksi transesterifikasi.

Transesterifikasi pada minyak nabati adalah suatu reaksi yang terjadi

ketika trigliserida (ester asam lemak dan gliserol) sebagai minyak nabati,

bereaksi dengan alkohol dengan adanya katalis (asam atau basa), yang

menghasilkan alkil ester asam lemak (bentuk ester yang lain) dan gliserol.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi transesterifikasi, yaitu : jenis alkohol

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


yang digunakan, jumlah perbandingan mol reaktan (minyak dan alkohol),

jenis dan konsentrasi katalis, suhu dan waktu reaksi, serta kecepatan

pengadukan.

Sintesis biodiesel dari minyak biji bintaro pada penelitian ini

menggunakan mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis basa.

Dalam proses reaksi sintesisnya (reaksi transesterifikasi) digunakan metode

ultrasonokimia (penggunaan energi ultrasonik).

Jenis alkohol yang digunakan pada reaksi transesterifikasi trigliserida

umumnya adalah alkohol berantai pendek seperti metanol, etanol, propanol

dan butanol. Metanol paling banyak digunakan untuk komersil, karena

alasan sifat alami fisika dan kimianya, dimana metanol merupakan alkohol

rantai yang paling pendek dan sifatnya yang polar. Selain itu, penggunaan

metanol dapat menghasilkan metil ester yang lebih stabil dan kurang

dipengaruhi oleh kandungan air dalam minyak. Sedangkan etanol

dipengaruhi oleh adanya air karena etanol dan air merupakan larutan

azeotrop. Selain itu, etanol tidak sering digunakan karena mempunyai

kelemahan, dimana etil ester yang terbentuk kurang stabil dan meninggalkan

residu karbon yang lebih besar. Kelemahan lainnya adalah etil ester yang

terbentuk juga dapat mengalami peristiwa reaksi pirolisis ester pada suhu

tinggi, yang akan menghasilkan etilena (etena) dan asam lemak kembali.

Adapun reaksi pirolisis ester seperti terlihat pada Gambar 4.4.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


H

O CH2 OH

C + H2C CH2
C CH2
R O R O

Gambar 4.4 Reaksi Pirolisis Etil Ester

Telah dilakukan perbandingan penggunaan metanol dan etanol pada

transesterifikasi minyak jarak (castor oil), dengan menggunakan katalis basa

dan asam untuk menghasilkan konversi metil ester yang maksimal, dimana

transesterifikasi dengan metanol hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam

dibandingkan dengan etanol yang membutuhkan 5 jam. Selain itu, hasil

(yield) dari metanol pun lebih tinggi dibandingkan dengan etanol, yang

masing-masing 90% dan 80%27. Keunggulan penggunaan metanol dengan

butanol, diperlihatkan pada penggunaannya dalam reaksi transesterifikasi

minyak kedelai pada suhu 23oC. Penggunaan butanol merupakan reaksi orde

kedua, pada menit pertama reaksi sangat cepat dan menghasilkan 60% ester

tetapi setelah 4 menit tidak ada penambahan produk ester lagi. Dengan

menggunakan metanol reaksi dapat berlangsung cepat kira-kira 12 menit dan

setelah 1 jam reaksinya selesai28. Dengan pertimbangan tersebut, maka

dalam penelitian kali ini digunakan metanol sebagai reaktan dalam proses

transesterifikasi.

Reaksi transesterifikasi antara minyak atau lemak dengan alkohol tidak

secara total dapat bercampur, dimana reaksinya hanya berlangsung pada

antar muka dan menyebabkan reaksinya berjalan lambat. Oleh karena itu,

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


untuk mempercepat terjadinya reaksi transesterifikasi biasanya dibantu suatu

katalis. Jenis katalis yang biasa digunakan adalah katalis basa, asam atau

enzim. Proses yang dikatalisis oleh enzim biasanya menggunakan lipase

sebagai katalis yang tidak menghasilkan reaksi samping, tetapi lipase ini

sangat mahal harganya untuk skala produksi industri serta membutuhkan

3 tahap proses untuk menghasilkan konversi 95%25. Transesterifikasi dengan

katalis asam berguna untuk minyak yang mengandung asam lemak bebas

dan kadar air yang cukup tinggi, tetapi reaksi dengan katalis asam ini

membutuhkan waktu yang sangat lama (48-96 jam), memerlukan suhu yang

tinggi (>100oC) serta perbandingan mol minyak dan alkohol yang besar

(1:20). Transesterifikasi yang dikatalisis oleh basa, reaksinya lebih sederhana

dan lebih cepat (4000 kali lebih cepat dari katalis asam) serta tidak

membutuhkan alkohol berlebih yang tinggi. Tetapi, kerugian dari penggunaan

katalis basa ini adalah adanya reaksi samping antara trigliserida dan katalis,

yaitu pembentukan sabun (garam asam lemak), terutama ketika katalis yang

ditambahkan jumlahnya lebih dari 1,4-1,5%25. Pada penelitian ini digunakan

katalis basa, selain karena alasan ekonomis (harga katalis basa lebih murah

daripada katalis asam atau enzim) juga reaksi bisa berlangsung lebih cepat.

Katalis basa yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), yang terlebih

dahulu dilarutkan dalam alkohol. KOH dipilih karena dianggap lebih reaktif

daripada NaOH walaupun dilihat dari harganya, NaOH lebih murah.

Dalam reaksi transesterifikasi yang dikatalisis oleh basa, maka sabun

(garam asam lemak) akan terbentuk sebagai larutan dalam alkohol dan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


berperan sebagai fasa transfer katalis, yang dapat membantu mempercepat

bercampurnya reaktan (minyak dan alkohol). Jika jumlah katalis yang

ditambahkan terlalu banyak (≥ 1,5%), maka akan meningkatkan sabun yang

terbentuk, sehingga menyebabkan terbentuknya emulsi atau gel pada saat

pencucian yang dapat mengurangi kemurnian serta mempersulit pemisahan

metil ester dan gliserol25. Maka perlu diketahui berapa jumlah katalis basa

yang dapat ditambahkan untuk menghasilkan konversi yang maksimal.

Adapun mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis basa dapat dilihat

pada Gambar 4.5.

Secara stoikiometri, reaksi transesterifikasi membutuhkan 3 mol

alkohol per mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol ester asam lemak dan

1 mol gliserol. Dalam reaksi transesterifikasi dengan katalis basa, reaksinya

berlangsung searah, namun tetap dibutuhkan alkohol yang berlebih,

dimaksudkan agar sabun (garam asam lemak) yang terbentuk tidak

berbentuk padatan, tetapi dalam bentuk larutan di dalam alkohol. Bila

digunakan katalis asam, maka reaksi bersifat bolak-balik (reversible), maka

dibutuhkan jumlah alkohol yang berlebih untuk menggeser kesetimbangan ke

arah produk reaksi. Perbandingan mol yang terlalu rendah menyebabkan

reaksi tidak sempurna dan jika terlalu tinggi akan menyulitkan pemisahan

metil ester dan gliserol karena bertambahnya kelarutan. Sebagaimana hasil

penelitian yang dilakukan oleh Meher et.al.29 dengan menggunakan minyak

Cynara, dengan melakukan variasi perbandingan mol minyak:metanol antara

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


1:3 sampai 1:15, hasil konversi yang paling baik diperoleh pada

perbandingan mol 1:9. Untuk perbandingan mol lebih kecil daripada 1:6,

reaksi tidak sempurna sehingga menyebabkan konversi metil ester yang

rendah, sedangkan pada perbandingan mol 1:15, pemisahan gliserol dan

metil ester menjadi sulit dan menyebabkan konversi metil ester berkurang.

O
O H2C O C R1 O O O H 2C OH
R2 C O CH O + 3 CH3OH KOH R1COCH 3 + R2COCH 3 + R3COCH 3 + HC OH
30 o C
H2C O C R3 H 2C OH
Trigliserida (minyak/lemak) metanol Biodiesel (metil ester asam lemak) gliserol

Perkiraan mekanisme reaksi transesterifikasi:


O
- +
O H 2C O C R1 O O K H 2C OH O
- +
R2 C O CH O + KOH R1 C O K R1 C O + HC O C R2
H 2C O C R3 Sabun (garam Kalium asam lemak) H 2C O C R3
yang larut dalam metanol berlebih
dan dapat melakukan struktur resonansi O
Digliserida
- + - + - +
O K O K O K O
-
R1 C O + HOCH 3 R1 C O R1 C OH R1 C OCH3 + KOH
+
H 3C O H OCH3
Melalui mekanisme reaksi substitusi nukleofilik (S N) tetrahedral (adisi-eliminasi)
Reaksi tersebut di atas berlanjut:

H 2C OH O O H 2C OH
KOH
HC O C R2+ H 3COH R2 C OCH3 + HC OH O
H2C O C R3 H 2C O C R3
Monogliserida
O
Digliserida
H 3COH & KOH

O H 2C OH
R3 C OCH 3 + HC OH + KOH
H2C OH
Gliserol
Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik (S N) tetrahedral
+
R H 3CO H R OCH3 _ OH - R
R C O
C O + HOCH3 C
-
C
- H+ H3CO
HO HO O HO O H
bentuk geometri tetrahedral

Gambar 4.5 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi

Suhu dan waktu reaksi juga berpengaruh terhadap reaksi

transesterifikasi. Hal ini terlihat pada hasil penelitian transesterifikasi

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


menggunakan minyak kedelai dengan perbandingan mol minyak:metanol

(1:6) dan katalis NaOH 1% pada suhu 60oC. Setelah 1 menit, konversi metil

ester sebesar 80%, tetapi setelah 1 jam konversinya meningkat menjadi

93-98%29. Sedangkan waktu reaksi perlu ditentukan pula berapa waktu

optimalnya, dimana minyak telah optimal diubah menjadi metil ester. Jika

waktu reaksi yang digunakan terlalu lama, dapat mengakibatkan ester yang

dihasilkan berkurang, dikarenakan gliserol bebas akan bereaksi dengan metil

ester yang terbentuk.

Intensitas pengadukan merupakan salah satu faktor yang penting

dalam reaksi transesterifikasi trigliserida, karena antara minyak dan larutan

KOH-metanol tidak dapat larut (campuran heterogen). Reaktan awalnya

membentuk sistem cairan dua fasa. Dengan adanya pengadukan, suatu

reaksi dapat berjalan cepat karena kemungkinan tumbukan atau titik temu

antara kedua reaktan (minyak dan metanol/alkohol lain) semakin besar. Pada

umumnya reaksi transesterifikasi trigliserida dibantu dengan mechanical

stirring (pengadukan konvensional) yang membutuhkan waktu cukup lama

(± 60 menit) untuk reaksi berlangsung, sehingga perlu dicari alternatif lain dari

cara pengadukan pada proses produksi metil ester (biodiesel) yang lebih

efisien. Alternatif yang dapat diambil adalah metode ultrasonokimia, yaitu

adanya pengaruh irradiasi ultrasonik. Dasar dari sonokimia adalah suatu

fenomena kavitasi (cavitation), yaitu adanya pembentukan, pertumbuhan dan

pecahnya gelembung (bubble) dalam suatu cairan. Pecahnya gelembung

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


(bubble) ini dapat menghasilkan suhu dan tekanan yang tinggi dan putaran

pemanasan serta pendinginan yang cepat dalam skala mikroskopis, sehingga

memungkinkan terjadinya energi kimia yang besar. Transesterifikasi dengan

irradiasi ultrasonik dipengaruhi oleh kemudahan emulsi yang dihasilkan oleh

pecahnya gelembung (bubble) kavitasi (cavitation). Jika banyak emulsi yang

terbentuk, maka area permukaan yang tersedia untuk reaksi antara dua fasa

(minyak-metanol) akan meningkat, sehingga meningkatkan kecepatan

reaksi30. Karakteristik emulsi dapat dipengaruhi oleh input/asupan energi

ultrasonik yang diberikan selama emulsifikasi dan dipengaruhi juga oleh

jumlah dari campuran yang terlibat dalam proses (perbandingan minyak dan

metanol). Meningkatnya jumlah metanol dapat menentukan suatu komposisi

yang berbeda dan suatu distribusi yang berbeda dari butiran-butiran kecil

(droplet) di dalam emulsi, sehingga menyebabkan perubahan dalam transfer

massa antara minyak dan metanol. Adanya penambahan metanol yang

berlebih, selain berpengaruh terhadap kesetimbangan reaksi transesterifikasi

juga mendorong pembentukan lebih gelembung kavitasi (cavitation bubble)

dan kondisi-kondisi untuk membentuk emulsi yang lebih baik, sehingga

menghasilkan hasil (yield) yang lebih besar31. Namun demikian, perlu

diketahui berapa perbandingan mol minyak dan metanol yang optimum

sehingga dapat dihasilkan metil ester yang optimal. Parameter ini dilakukan

pada optimasi kondisi reaksi. Penelitian tentang pengaruh ultrasonokimia

(pengaruh irradiasi ultrasonik) terhadap reaksi transesterifikasi trigliserida

telah dilakukan oleh Carmen et.al.25 dimana dipelajari pengaruh kondisi

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


reaksi berupa jenis alkohol (alkohol rantai pendekC1-C4), jenis dan

konsentrasi katalis, waktu reaksi dan frekuensi ultrasonik terhadap hasil

(yield) alkil ester yang terbentuk. Peristiwa fenomena kavitasi(cavitation)

seperti terlihat pada Gambar 4.6 berikut ini :

Gambar 4.6 Fenomena Kavitasi (cavitation)

Metode ultrasonokimia dalam reaksi transesterifikasi trigliserida

(sintesis biodiesel) minyak biji bintaro digunakan, karena keunggulan metode

ini dimana suatu ultrasonikasi dapat meningkatkan hasil (yield) biodiesel,

dapat mengurangi waktu proses yang dibutuhkan, menurunkan jumlah katalis

yang digunakan sampai 50%, menurunkan jumlah alkohol berlebih yang

dibutuhkan serta meningkatkan kemurnian gliserol yang dihasilkan24. Oleh

karena itu, dengan mempertimbangkan adanya faktor-faktor yang

mempengaruhi reaksi transesterifikasi trigliserida (termasuk penggunaan

metode ultrasonokimia), maka pada penelitian ini dilakukan terlebih dahulu

optimasi kondisi reaksi dengan tujuan untuk mengetahui kondisi optimum

reaksi, dimana dapat dihasilkan konversi yang paling optimal. Beberapa

variasi dilakukan terhadap perbandingan mol minyak:metanol, yaitu 1:6, 1:9,

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


1:12, serta % katalis KOH yang digunakan yaitu 0,5% dan 1% berat. Suhu

awal reaksi dikondisikan ±37oC yang selanjutnya terkontrol otomatis oleh alat.

Adapun hasil optimasi kondisi reaksi terlihat pada Tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Optimasi Kondisi Reaksi Transesterifikasi dan Hasilnya

Perbandingan mol Konversi minyak dengan Konversi minyak dengan


minyak:metanol katalis KOH 0,5% katalis KOH 1%

1:6 84,45* 85,07*

1:9 94,32** 92,36*

1:12 91,64* 90,25*

*) % konversi metil ester (biodiesel) terhadap berat minyak yang ditimbang. Dengan
frekuensi ultrasonik 40 kHz dan waktu reaksi 30 menit.
**)waktu reaksi yang digunakan 40 menit

Dengan demikian, dari hasil optimasi ini diperoleh kondisi optimum

pada perbandingan mol minyak:metanol 1:9, KOH 0,5% berat sampel dan

waktu reaksi 40 menit. Selanjutnya kondisi optimum ini digunakan untuk

sintesis metil ester (biodiesel) minyak biji bintaro yang akan diuji

karakteristiknya.

Reaksi transesterifikasi minyak biji bintaro dengan metode

ultrasonokimia ini diawali dengan melarutkan katalis KOH dalam metanol.

Larutan ini dicampurkan pada minyak biji bintaro, lalu dilakukan proses

transesterifikasi dengan alat ultrasonic bath (sonikator) selama 40 menit.

Campuran minyak dengan metanol-katalis KOH menghasilkan 2 lapisan

cairan yang tidak bercampur (dua fasa yang berbeda), dimana minyak biji

bintaro berada pada bagian bawah campuran. Campuran minyak dengan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


metanol-katalis KOH pada reaksi transesterifikasi trigliserida merupakan

campuran heterogen, sehingga fenomena kavitasi (cavitation) dapat terjadi

jika digunakan irradiasi gelombang ultrasonik. Carmen et.al.31 mengatakan

bahwa minyak hanya menyebarkan gelombang ultrasonik, sedangkan

metanol dapat mengalami kavitasi dan pancaran ultrasoniknya menciptakan

butiran-butiran kecil (droplet) metanol yang dapat menembus lapisan minyak

dan membentuk mikro emulsi. Pada minyak tidak terjadi fenomena kavitasi

(cavitation), karena minyak memiliki derajat kekentalan lebih tinggi

dibandingkan metanol yang mungkin sulit untuk dibentuk gelembung kavitasi

(cavitation bubble). Reaksi transesterifikasi diawali oleh terbentuknya sabun

(garam asam lemak) hasil dari reaksi trigliserida dengan katalis basa (KOH).

Pembentukan sabun dapat berlangsung lebih cepat karena adanya

pembentukan butiran-butiran kecil (droplet) dari katalis KOH (terlarut dalam

metanol) yang mengalami kavitasi seperti metanol. Pembentukan butiran-

butiran kecil (droplet) tersebut dapat memperluas area permukaan untuk

terjadinya reaksi penyabunan trigliserida oleh katalis KOH. Sabun yang

terbentuk ini berperan sebagai fasa transfer katalis dan meningkatkan

pencampuran reaktan antara minyak dengan metanol, sehingga reaksi

pembentukan metil ester dapat berlangsung lebih cepat.

Setelah reaksi sempurna, campuran metil ester dan gliserol

membentuk 2 lapisan, yaitu lapisan bawah yang merupakan fasa air

(gliserol) dan lapisan atas yang berupa fasa organik (metil ester). Gliserol

dipisahkan dari metil ester, kemudian metil ester dicuci dengan air hangat

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


(±70°C) untuk menghilangkan sisa gliserol, sabun, katalis serta metanol.

Untuk pengecekan terhadap sisa katalis basa dilakukan dengan kertas

lakmus merah. Bila lakmus masih berubah menjadi biru, pencucian

dilanjutkan sampai tidak terjadi lagi perubahan pada kertas lakmus merah

(netral). Selanjutnya untuk menghilangkan air cucian dan metanol yang

mungkin masih ada dalam metil ester, dilakukan pemanasan pada suhu

105°C selama 15 menit. Sedangkan air yang masih tersisa pada metil ester

ditarik dengan menggunakan Na2SO4 anhidrat, lalu dilakukan penyaringan

untuk memisahkan metil ester dengan Na2SO4 anhidrat dan partikel-partikel

pengotor yang kemungkinan terbentuk selama proses berlangsung, sehingga

menghasilkan produk metil ester (biodiesel) yang bebas dari pengotor atau

produk samping.

Proses pencucian, pemanasan dan pengikatan dengan anhidrat

sangat penting dilakukan pada proses produksi biodiesel, yaitu untuk

menghilangkan sisa metanol, air, katalis dan sabun yang mungkin masih ada

pada biodiesel. Sisa katalis basa dan sabun yang masih terdapat pada

biodiesel dapat mengakibatkan korosi pada bagian mesin diesel jika

digunakan. Sedangkan metanol yang masih tersisa dapat mengakibatkan

nilai titik nyala yang rendah, sehingga dapat menimbulkan masalah di ruang

pembakaran, karena metil ester dapat terbakar sebelum mencapai ruang

pembakaran yang mengakibatkan percepatan mesin yang tidak stabil,

peristiwa ini dikenal dengan knocking32.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Metil ester yang dihasilkan dari minyak biji bintaro ini adalah 91,32%.

Nilai ini berbeda dengan hasil konversi pada waktu melakukan optimasi

kondisi reaksi yang mencapai 94,32%, hal ini terjadi karena adanya

kemungkinan metil ester yang hilang selama proses, yaitu saat pemisahan

gliserol dan metil ester, pencucian, pemanasan dan penyaringan.

4.5 karakteristik Metil Ester (Biodiesel)

Hasil Uji karakteristik metil ester dari minyak biji bintaro dapat dilihat

pada tabel 4.4 berikut ini :

Tabel 4.4 Karakteristik Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro

Parameter Satuan Hasil


Berat Jenis g/ml 0,8706
Titik nyala∗) °C 144
Titik tuang °C 5,20
o 2
Viskositas kinematik pd 40 C∗) mm /s (cSt) 4,850

Micro Carbon Residue∗) % massa 0,0125

Kandungan abu∗) % massa 170,92


Angka asam mg KOH/g sampel 0,64
Angka penyabunan mg KOH/g sampel 170,92
Angka iod g I2/100 g sampel 73,60
Indeks setana - 61,68
*) = Pengujian dilakukan di PPPTMGB-LEMIGAS

4.5.1 Berat Jenis

Berat jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume sampel pada

suhu 25°C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Berat jenis

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


metil ester dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan dan berat molekul

rata-rata asam lemak penyusunnya, karena asam-asam lemak merupakan

komponen terbesar yang terdapat dalam minyak atau lemak. Berat jenis

minyak atau lemak akan naik sebanding dengan naiknya berat molekul

asam-asam lemak penyusunnya, dan berbanding terbalik dengan kenaikan

derajat ketidakjenuhan asam-asam lemak penyusunnya17. Dari hasil

penelitian diperoleh berat jenis metil esternya adalah 0,8706 g/mL.

4.5.2 Titik Nyala

Titik nyala adalah suhu terendah yang diperlukan suatu bahan untuk

dapat membentuk uap dan menyala dengan sendirinya ketika dipicu oleh api.

Harga titik nyala menunjukkan adanya bahan yang mudah menguap dan

mudah terbakar, serta menggambarkan kecenderungan minyak untuk

membentuk campuran dengan udara yang mudah terbakar. Titik nyala yang

terlalu tinggi dapat menyebabkan keterlambatan penyalaan, sedangkan bila

titik nyalanya terlalu rendah akan menyebabkan timbulnya detonasi yaitu

ledakan-ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar masuk ke ruang

bakar. Hal ini juga dapat meningkatkan resiko bahaya pada saat

penyimpanan.

Dari penelitian ini, diperoleh titik nyala metil ester minyak biji bintaro

sebesar 144°C. Nilai ini memenuhi standar Jerman (DIN 51606), Eropa

(EN 14214), Amerika (ASTM D 6752) dan Standar Nasional Indonesia (SNI),

dimana nilai minimum titik nyala untuk biodiesel adalah 100°C.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Nilai titik nyala yang sesuai dengan standar ini, menunjukkan bahwa

metil ester (biodiesel) dari minyak biji bintaro aman untuk disimpan dalam

keadaan terbuka pada suhu ruang dan tidak memerlukan penanganan

khusus dalam penyimpanannya.

4.5.3 Titik Tuang

Titik tuang adalah suhu terendah yang masih memungkinkan

terjadinya aliran bahan bakar. Nilai titik tuang menunjukkan kinerja pada

kondisi dingin. Pada umumnya, titik tuang biodiesel lebih tinggi dibandingkan

dengan solar32. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan

biodiesel, terutama di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk

mengatasi hal ini, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk

mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada

suhu rendah. Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran

antara biodiesel dan solar. Pencampuran (blending) antara biodiesel dan

solar (misal B-5/B-10/B-20) terbukti dapat menurunkan titik tuang bahan

bakar32.

Titik tuang yang diperoleh dari metil ester (biodiesel) minyak biji bintaro

adalah 5,20°C. Nilai ini memenuhi standar biodiesel di Eropa, Amerika dan

Standar Nasional Indonesia (SNI), yang menentukan titik tuang untuk bahan

bakar diesel antara -15 sampai 13°C. Dengan demikian, metil ester

(biodiesel) minyak biji bintaro ini tidak terlalu bermasalah bagi negara-negara

dengan suhu yang tinggi, seperti Indonesia.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4.5.4 Viskositas Kinematik

Viskositas adalah ukuran tahanan atau kekentalan suatu cairan untuk

mengalir mengikuti gravitasi. Nilai viskositas mempengaruhi sifat-sifat

pelumasan terhadap pompa injeksi dan komponen lainnya yang bergesekan

dengan pompa injeksi bahan bakar sehingga hal ini dapat berpengaruh pula

terhadap umur mesin.

Viskositas merupakan sifat fisik yang penting bagi bahan bakar mesin

diesel. Viskositas yang terlalu tinggi lebih sulit untuk dialirkan dan akan

mengalir dengan kecepatan yang rendah. Kecepatan alir yang rendah melalui

pompa injeksi, dapat mempersulit proses pembentukan butir-butir

cairan/kabut saat penyemprotan/atomisasi. Viskositas bahan bakar yang

terlalu rendah akan dapat mengakibatkan kebocoran pada pompa injeksi

bahan bakar. Kedua hal yang ekstrim ini dapat menimbulkan kerugian,

sehingga salah satu persyaratan bahan bakar mesin diesel adalah harus

memenuhi nilai viskositas standar bahan bakar mesin diesel.

Nilai viskositas kinematik metil ester (biodiesel) minyak biji bintaro

pada 40oC adalah 4,850 mm2/detik (cSt). Harga ini memenuhi Standar

Nasional Indonesia (SNI) yaitu 2,3-6,0 mm2/detik (pada 40oC) juga memenuhi

standar Eropa dan Amerika. Harga viskositas dipengaruhi oleh kemurnian

metil ester, semakin besar kandungan mono-, di-, dan trigliserida dalam metil

ester, akan meningkatkan harga viskositas metil ester.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4.5.5 Micro Carbon Residue (Residu Karbon)

Residu karbon atau sisa karbon yang tertinggal pada proses

pembakaran akan menyebabkab terbentuknya endapan karbon yang dapat

menyumbat saluran bahan bakar. Residu karbon ini berasal dari fraksi yang

memiliki titik didih tinggi. Adanya endapan karbon dapat menyebabkan

terhambatnya operasi mesin secara normal, serta dapat menyebabkan

bagian pompa injeksi bahan bakar cepat menjadi aus. Dengan demikian,

semakin rendah nilai sisa karbon, semakin baik efisiensi motor tersebut.

Dalam menentukan residu karbon ini digunakan metode ASTM D 4530, yaitu

menghitung micro carbon Residue.

Residu karbon metil ester (biodiesel) dari minyak biji bintaro yang

diperoleh adalah 0,0125% berat. Nilai ini memenuhi standar biodiesel Eropa

(EN 14214), Amerika (ASTM D-975) dan Indonesia (SNI), yaitu maksimum

0,3% berat, dan juga memenuhi standar Jerman (DIN 51606) dengan

maksimum residu karbon 0,05% berat. Dengan demikian, nilai residu karbon

metil ester (biodiesel) minyak biji bintaro yang rendah ini sangat baik untuk

efisiensi mesin diesel.

4.5.6 Kandungan Abu

Abu yang terkandung dalam bahan bakar padat adalah mineral yang

tidak dapat terbakar (non-BDT) yang tertinggal setelah proses pembakaran

dan akhir perubahan-perubahan atau reaksi-reaksi yang menyertainya. Abu

berisikan residu yang tertinggal ketika bahan bakar terbakar pada suhu tinggi,

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


maka materialnya meninggalkan CO2 dan H2O. Abu berperan menurunkan

mutu bahan bakar, karena menurunkan nilai kalor. Abu dapat terbentuk

apabila biodiesel tersebut ditambahkan sejumlah aditif untuk menaikkan

angka setana. Akan tetapi, hal ini dapat menimbulkan masalah karena dapat

menyebabkan keausan pada mesin.

Berdasarkan hasil uji, pada metil ester (biodiesel) minyak biji bintaro

tidak terdapat kandungan abu (0,000% berat), karena biodiesel tersebut

murni tanpa penambahan aditif.

4.5.7 Bilangan Asam

Bilangan asam adalah jumlah mg KOH yang digunakan untuk

menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 g sampel minyak atau

lemak. Bilangan asam ini menunjukkan ukuran jumlah asam lemak bebas

yang terdapat dalam suatu minyak atau lemak. Reaksinya adalah sebagai

berikut :

O O

C + KOH C + H20
R OH R OK

Gambar 4.7 Reaksi Penetralan Asam Lemak Bebas

Bilangan asam tersebut berpengaruh terhadap kualitas minyak,

khususnya dalam hal ini adalah metil ester. Semakin tinggi bilangan asam

suatu biodiesel, maka akan semakin rendah kualitas biodiesel tersebut.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Tingkat keasaman biodiesel mempengaruhi daya tahannya terhadap

penyimpanan dan tingkat korosifitasnya terhadap mesin32.

Bilangan asam metil ester (biodiesel) dari minyak biji bintaro adalah

sebesar 0,64 mg KOH/g sampel. Nilai ini memenuhi Standar Nasional

Indonesia (SNI) dan Amerika yaitu maksimum 0,8 mg KOH/g sampel, tetapi

tidak memenuhi standar Eropa yaitu maksimum 0,5 mgKOH/g sampel.

4.5.8 Bilangan Penyabunan

Angka penyabunan adalah jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk

menyabunkan 1 g minyak atau lemak. Angka penyabunan ini merupakan

ukuran banyaknya asam lemak yang terikat sebagai trigliserida maupun

asam lemak bebasnya dalam biodiesel. Angka penyabunan menunjukkan

jumlah asam lemak total dalam minyak atau lemak. Pada penentuan bilangan

penyabunan ini, digunakan metil ester (biodiesel) ditambahkan larutan KOH

alkoholis, kemudian dipanaskan dengan pendingin balik (refluks), tujuannya

untuk menyempurnakan proses penyabunan metil ester maupun asam lemak

bebasnya dalam biodiesel. Larutan KOH sisa ditentukan dengan titrasi

menggunakan larutan HCl standar, sehingga jumlah KOH yang bereaksi

dapat diketahui.

Dalam biodiesel, angka penyabunan ini digunakan untuk menghitung

nilai indeks setana dari metil ester. Angka penyabunan metil ester dari

minyak biji bintaro adalah 170,92 mg KOH/g sampel.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4.5.9 Bilangan Iod

Bilangan iod adalah bilangan yang menunjukkan jumlah ikatan

rangkap yang terdapat dalam minyak. Bilangan iod dinyatakan sebagai

jumlah g iod yang dapat diikat oleh 100 g minyak. Ikatan rangkap yang

terdapat dalam minyak akan bereaksi dengan iod membentuk suatu ikatan

tunggal.

Penentuan bilangan iod pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan cara Wijs, yaitu memakai pereaksi iodium klorida (ICl) dalam

larutan asam asetat glasial (larutan Wijs). Sisa iod yang tidak bereaksi

direduksi oleh KI menjadi I2, dan dititrasi kembali dengan menggunakan

larutan Na2S2O3. Reaksinya adalah sebagai berikut :

H H Cl H

ICl + C C H C C H
H H H I
IClsisa + KI I2 + KCl

2 Na2S2O3 + I2 2 NaI + Na2S4O6

Gambar 4.8 Reaksi iod

Titik akhir titrasi iodometri ditentukan dengan hilangnya warna biru dari

kompleks amilum-iodin. Bilangan iod metil ester (biodiesel) dari minyak biji

bintaro yang diperoleh adalah 73,60 g iod/100g sampel. Nilai ini memenuhi

standar biodiesel, yaitu masih di bawah maksimum 115 g iod/100g sampel.

Bilangan iod pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


senyawa penyusun biodiesel. Semakin besar bilangan iod, maka semakin

banyak ikatan rangkap pada metil ester, sehingga daya tahan metil ester

(biodiesel) terhadap oksidasi semakin lemah. Tingginya kandungan ester

asam lemak tidak jenuh juga akan menaikkan resiko terjadinya polimerisasi

(dapat membentuk gum) terhadap minyak pelumas mesin, karena asam

lemak tidak jenuh cenderung membentuk radikal dibandingkan ikatan

tunggal. Terjadinya gum (getah) akibat polimerisasi dapat menyumbat

saluran penyaringan bahan bakar pada mesin diesel.

4.5.10 Indeks Setana

Angka setana bahan bakar diesel menunjukkan kualitas penyalaan

dan pembakaran bahan bakar tersebut. Angka setana yang tinggi

menunjukkan waktu penyalaan (ignition delay) yang rendah dan akan mudah

menyala sendiri (autoignition), sehingga detonasi (knock) di dalam mesin

akan berkurang33. Pada penelitian ini, penentuan angka setana tidak

dilakukan karena memerlukan volume biodiesel yang relatif besar dan

peralatan yang mahal. Oleh karena itu, sebagai alternatif digunakan

pengukuran indeks setana dengan menggunakan metode AOCS yang

didasarkan pada penelitian Krisnangkura33, dimana diketahui bahwa

penentuan indeks setana dengan menggunakan metode ASTM D 976

dengan memasukkan faktor titik didih pertengahan dan berat jenis adalah

kurang tepat untuk minyak nabati dan ester asam lemak, karena tidak

memperhatikan faktor ketidakjenuhan. Senyawa lemak dengan kandungan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


ikatan rangkap (unsaturated) yang tinggi (bilangan iod tinggi) akan mudah

teroksidasi dan terpolimerisasi. Hal ini sangat tidak diinginkan, karena dapat

mempersingkat waktu penyimpanan minyak dan mempercepat pembentukan

getah (gum) pada sistem bahan bakar. Penentuan indeks setana dengan

metode AOCS adalah sebagai berikut :

5459
Indeks Se tana = 46,3 + − 0,225 y
x

Dimana :

x = Bilangan penyabunan

y = Bilangan iod

Dari perhitungan indeks setana dengan metode AOCS tersebut,

diperoleh nilai indeks setana metil ester (biodiesel) dari minyak biji bintaro

adalah 61,68. Nilai ini memenuhi standar, yaitu berada di atas nilai minimum

48 untuk standar indeks setana minyak solar. Indeks setana untuk biodiesel

yang lebih tinggi dari solar, akan menghasilkan suara mesin yang lebih

halus34. Angka setana yang tinggi dibutuhkan oleh mesin diesel putaran

tinggi.

4.6 Perbandingan Karakter Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro dengan

Standar Internasional Serta Klasifikasinya

Secara umum, karakteristik biodiesel minyak biji bintaro yang diuji

memenuhi spesifikasi internasional yang digunakan di Eropa (EN 14214),

Amerika (ASTM D 6752) dan Indonesia (SNI). Perbandingan karakteristik

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


biodiesel yang berasal dari minyak biji bintaro dengan standar Internasional

dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut ini :

Tabel 4.5 Perbandingan Biodiesel Minyak Biji Bintaro dengan Standar

Internasional

Parameter Satuan Biodiesel dari (Eropa) EN (Amerika) (Indonesia) SNI


minyak biji 14214 ASTM 04-7182-2006
bintaro
Densitas g/mL 0,8706 0,86-0,90 - 0,85-0,89
15°C
Viskositas mm2/s (cSt) 4,850 3,50-5,00 1,9-6,0 2,3-6,0
40°C
indeks setana - 61,68 min. 51 min. 40 min. 51
Titik nyala °C 144 min. 120 min. 100 min. 100
Titik tuang °C 5,20 –15-13 - -
Residu % berat 0,0125 - maks.0,05 maks.0,05
karbon
Angka asam mg-KOH/g 0,64 maks. 0,5 maks. 0,8 maks. 0,8

Angka iod g Iod/100 g 73,60 maks. 120 - maks. 115


sampel
Kadar mg/kg - maks. 100 maks. 500 maks.100
belerang
Gliserol total % berat - maks. 0,25 maks. 0,24 maks. 0,24
Kadar abu % berat 0,000 - - maks. 0,02

Sedangkan untuk klasifikasi biodiesel yang dihasilkan dari minyak biji

bintaro ini, karakteristiknya secara umum memenuhi kelas biodiesel rendah

belerang No. 2-D, walaupun untuk nilai viskositas kinematiknya (4,850

mm2/detik), berada di atas kelas rendah belerang No. 2-D, tetapi masih

berada jauh di bawah spesifikasi viskositas kinematik kelas No. 4. Biodiesel

rendah belerang No. 2-D, biasanya digunakan pada mesin-mesin dengan

kecepatan putar sedang dan rendah yaitu mesin untuk industri dan mesin

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


kendaraan berat, sedangkan kelas No. 4-D digunakan untuk mesin-mesin

berkecepatan rendah dengan kecepatan tetap. Perbandingan karakter

biodiesel minyak biji bintaro dengan klasifikasi internasional dapat dilihat

pada Tabel 4.6 berikut ini :

Tabel 4.6 Perbandingan Karakter Biodiesel Minyak Biji Bintaro dengan

Klasifikasi Internasional

No. Karakteristik Jenis Bahan Bakar Diesel Metode Biodiesel


Pengujian dari Minyak
Kelas Kelas No. 4-D Biji Bintaro
Rendah Rendah
Belerang Belerang
No. 1-D No. 2-D
01. Angka Setana*, min. 45 40 30 ASTM D-976 61,68
(indeks
setana)
02. Berat Jenis pada 0,82-0,87 0,84-0,92 - ASTM D-298 0,8706
60/60oF. (pd 25oC)
03. Suhu Distilasi (oC)
pada 90% volume
distilat, min. - 282 - ASTM D-38 -
maks. 288 338 -
04. Viskositas kinematik
pada 100oF (cSt) 1,3-2,4 1,9-4,1 5,5-24,0 ASTM D-445 4,850

05. Titik Nyala (oC). min. 38 52 55 ASTM D-93 144


o
06. Titik Tuang ( C) min. 18,3 18,3 - ASTM D-97 5,20
07. Panas Pembakaran
(MJ/kg), min. 45,30 42,70 - ASTM D-240 -
08. Kandungan:
a. Air (%vol.). maks. 0,05 0,25 0,75 ASTM D-95 -
b. Sedimen (% berat)
maks. 0,01 0,02 0,15 ASTM D-473 -
c. Belerang (%berat)
maks. 0,5 0,5 2,0 ASTM D-1266 -
d. Residu karbon
pada 10% residu
(%berat). maks. 0,15 0,35 - ASTM D-4530 0,0125
e. Abu (%berat).
maks. 0,01 0,01 0,01 ASTM D-482 0,000

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian sintesis metil ester (biodiesel) dari minyak biji

bintaro (Cerbera odollam Gaertn.), dapat disimpulkan:

1. Rendemen minyak biji bintaro yang diperoleh dari hasil ekstraksi

menggunakan soxhlet adalah sekitar 60,70% dari berat serbuk kering

biji bintaro.

2. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro

memiliki kandungan utama sebagai berikut : asam palmitat (4,91%),

asam palmitoleat (17,7%), asam stearat (3,21%), asam oleat

(34,02%), asam elaidat (8,54%), asam linoleat (16,74%), asam

linolelaidat (4,49%), dan asam linolenat (0,40%).

3. Metil ester (biodiesel) yang diperoleh dari proses transesterifikasi

dengan katalis basa dan menggunakan metode ultrasonokimia

(penggunaan energi ultrasonik) sebesar 91,32% berat minyak biji

bintaro.

4. Metode ultrasonokimia dapat menjadi alternatif terbaik dalam reaksi

transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester (bodiesel), karena

membuat reaksi lebih cepat, hanya membutuhkan katalis basa (KOH)

yang sedikit serta menghasilkan konversi yang lebih baik dari sistem

konvensional.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


5. Dari hasil uji beberapa karakteristik biodiesel yang berasal dari minyak

biji bintaro, memenuhi standar Eropa (EN 14214), Amerika (ASTM D

6752) dan Indonesia (SNI) untuk bahan bakar biodiesel sebagai bahan

bakar pengganti solar.

6. Klasifikasi biodiesel dari minyak biji bintaro, secara umum memenuhi

klasifikasi bahan bakar diesel kelas rendah belerang No. 2-D, yaitu

bahan bakar untuk mesin-mesin berkecepatan putar sedang dan

rendah seperti mesin untuk industri dan mesin kendaraan berat.

5.1 Saran

1. Komposisi asam-asam lemak yang teridentifikasi melalui kromatografi

gas masih belum mencapai 100%, dikarenakan ada beberapa puncak

yang belum teridentifikasi, karena tidak ada pembanding pada standar

asam lemaknya. Maka perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut dengan

kromatografi gas untuk mengetahui asam lemak minyak bintaro yang

belum teridentifikasi dengan menambah standar asam lemak atau

diidentifikasi dengan metode kromatografi yang lainnya.

2. Reaksi transesterifikasi metil ester (biodiesel) dari minyak biji bintaro

dengan metode ultrasonokimia telah menghasilkan konversi metil ester

sebesar 91,32%, nilai ini sudah cukup baik, tetapi masih bisa

ditingkatkan lagi. Perlu penelitian yang lebih komprehensif mengenai

optimasi kondisi reaksi yaitu variasi perbandingan mol minyak dan

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


metanol, konsentrasi katalis, waktu dan suhu reaksi untuk

menghasilkan konversi metil ester yang optimal dengan metode ini.

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


DAFTAR PUSTAKA

1. United States Environmental Protection Agency. A Comprehensive

Analysis of Biodiesel Impacts on Exhaust Emissions (Draft

Technical Report). EPA420-P-02-001, October 2002

2. http://en.wikipedia.org/wiki/Biodiesel. , 19 Juli 2007, pk 09.20 WIB

3. Lamira, I.R., 2006. Sintesis Biodiesel (Metil Ester) dari Minyak Biji The

(Camellia sinensis (L) O. Kunzte) Hasil Ekstraksi. Tesis Magister

Ilmu Kimia. Departemen Kimia FMIPA UI., Universitas Indonesia.

Depok

4. Dianingtyas. 2000. Sintesis Biodiesel (Metil Ester) dari Minyak Goreng

Sawit Bekas. Karya Utama Sarjana Kimia, Jurusan Kimia FMIPA UI,

Depok

5. Manningara. 2006. Sintesis Biodiesel (Metil Ester) dari Minyak Biji Karet

(Hevea brasiliensis) Hasil Ekstraksi. Departemen Kimia FMIPA UI,

Universitas Indonesia. Depok

6. Suwarso, W. P., Gani, I. Y., Kusyanto. 1996. Sintesis Biodiesel dari

Minyak Biji Ketapang (Terminalia catappa Linn) yang Berasal dari

Pohon Ketapang yang Tumbuh di Kampus UI Depok. Departemen

Kimia FMIPA UI, Universitas Indonesia. Depok

7. Hasbi, H. 2007. Sintesis Biodiesel (Metil Ester) Dari Minyak Biji Tanjung

(Mimusops Elengi L.) Hasil Ekstraksi. Departemen Kimia FMIPA UI,

Universitas Indonesia. Depok

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


8. Manik, R. 2007. Sintesis Biodiesel (Metil Ester) dari Minyak Biji

Nyamplung (Calophyllum inophyllum C.) hasil Ekstraksi. Departemen

Kimia FMIPA UI, Universitas Indonesia. Depok

9. Heyne.K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Cetakan ke-satu,

Yayasan Sarana Wanna Jaya, Jakarta

10. Anonim.,

http://www.hodnik.com/catalog/product_info.php?products_id =1695.,

19 Juli 2007, pk. 09.05 WIB

11. Soerawidjaja,T., 2005. Membangun Industri Biodiesel Di Indonesia,

Forum Biodiesel Indonesia, Bandung

12. Rossi, A. 2007. Studi Pendahuluan Penentuan Sifat Fisiko-Kimia Dan

Asam Lemak Penyusun Trigliserida Minyak Biji Bintaro (Cerbera

Odollam Gaertn) Hasil Ekstraksi. Departemen Kimia FMIPA UI,

Universitas Indonesia. Depok

13. Anonim., http://en.wikipedia.org/wiki/cerbera_odollam., 19 Juli 2007,

pk.09.09 WIB

14. Anonim., http://toptropicals.com/downloads/cerbera.pdf., 19 Juli 2007, pk.

09.27 WIB

15. Anonim., http://www.prn2.usm.my/mainsite/plant/cerbera.pdf., 19 Juli

2007, pk. 09.26 WIB

16. Gunstone, H. & Padley. 1986. Lipid Handbook. Chapman and Hall, New

York. London

17. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Press, Jakarta

18. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam

terjemahan Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung

19. Thiele, O. W. 1979. Lipide Isoprenoide mit Steroiden. George Thieme

Verlag, Stuttgart

20. Official and Tentative Methods of American Oil Chemist Society 3rd ed.

1973., vol 1-2

21. World Wide Fuel Charter dan Euro II. 2005. Spesifikasi BBM baru

Indonesia. Kontan., no. 29, Tahun IX, Senin 25 April 2005

22. Srivastava, A. & Prasad, R. Triglycerides-based Diesel Fuels. Renewable

and Sustainable Energy. Reviews 2000. 4, 111-133

23. www.tmasc.com/sono_chemistry.htm. , 30 juli 2007, pk 15.36 WIB

24. www.gov.pe.ca/ftc/indiex.php3?ru., 30 Juli 2007, pk 15.42 WIB

25. Stavarache, C., Vinatoru, M., Nishimura, R., Maeda, Y. Ultrasonics

Sonochemistry 12 (2005) 367–372

26. Kachhwaha, S. S., Maji, S., Faran, M., Gupta, A., Ramchandran, J.,

Kumar, D. Preparation Of Biodiesel From Jatropha Oil Using

Ultrasonic Energy. Proceedings of the National Conference on

Trends and Advances in Mechanical Engineering, YMCA Institute of

Engineering, Faridabad, Haryana, Dec 9-10, 2006

27. Meneghetti, P.S.M., Mario, R., Wolf, C.R. 2006. Biodiesel from castor oil:

A comparison of ethanolysis and methanolysis. Energy & Fuels, 20,

2262-2265

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


28. Boocock, D.G.B et al. 1998. “ Fast Formation of High-Purity Methyl Esters

from Vegetable Oils”. JAOCS, 75 (9), 1167-1172

29. Meher, L. C., Sagar, D. V., Naik, S. N. 2006. Technical aspecs of

biodiesel production by transesterification- A review. Renewable and

Sustainable energy Review, vol.10 (3), 248-268

30. Gogate, P.R., Tayal, R.K., Pandit, A.B. 2006. Current 46 T Science,

vol. 91, no. 1

31. Stavarache, C., Vinatoru, M., Maeda, Y., Bandow, H. Ultrasonics

Sonochemistry 14 (2007) 413-417

32. http://beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-09-21-Mengenal-Biodiesel:-

Karakteristik,-Produksi,-hingga-Performansi-Mesin-(3).shtml, Kamis,

21 September 2006, pukul 07:36:15 WIB

33. Krisnangkura, K. 1986. ”Simple Method for Estimation of Cetane Index of

Vegetable Oil Methyl Esters”. JAOCS, Vol.63 (4), 523-553

34. La Pupung, P. 1985. Penggunaan Minyak Kelapa Sebagai Bahan Bakar

Motor Diesel. Laporan Riset. LEMIGAS

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


LAMPIRAN

Lampiran 1. Kromatogram Asam lemak Standar dari Minyak Biji Bintaro

(Hasil analisis dengan GC)

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007
Lampiran 2. Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Bintaro

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Lampiran 3. Hasil Analisis Biodiesel (dari Minyak Biji Bintaro) dari

LEMIGAS, Jakarta

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007
Lampiran 4. Perhitungan Komposisi Minyak Biji Bintaro dengan Metanol

dan KOH dalam Sintesis Metil Ester (Biodiesel)

Diketahui :

- Katalis yang digunakan adalah KOH dengan 0,5% berat minyak

- Perbandingan mol minyak dan metanol = 1:9

- Bobot molekul metanol = 32 g/mol

- Berat jenis metanol = 0,79 g/mol

Didalam minyak yang bereaksi dengan metanol adalah trigliserida.

Bobot trigliserida rata-rata diperoleh melalui perhitungan sebagai berikut :

Berat trigliserida rata-rata = BM Gliserol + (3 x BM asam lemak) – ( 3 x BM air)

BM asam lemak biji bintaro dihitung berdasarkan komposisi asam lemak

penyusun trigliseridanya :

Asam Lemak BM Asam Lemak Komposisi BM x komposisi


Palmitat (16:0) 256 0,0491 12,5696
Palmitoleat (16:1) 254 0,1767 44,8818
Stearat (18:0) 284 0,0321 9,1164
Oleat (18:1 c) 282 0,0854 95,9364
Elaidat (18:1 tr) 282 0,3402 24,0828
Linoleat (18:2 c) 280 0,0449 46,872
Linolelaidat (18:2 tr) 280 0,1674 12,572
Linolenat (18:3) 278 0,0040 1,112
BM asam lemak 247,143

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Berat trigliserida rata-rata = 92 + (3 x 247,143) – (3 x 18) = 779,429

Contoh perhitungan komposisi minyak biji bintaro dengan metanol :

- minyak : 75 g mol = 75 g = 0,0962

779,429

- metanol = 0,0962 x 9 = 0,8658 mol x 32 g/mol

= 27,7056 g / 0,79 g/mL

= 35,07 ∼ 35 mL

- KOH = 0,5% x 75 = 0,375 g

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Lampiran 5. Perhitungan Bilangan Asam, Bialangan Penyabunan,

Bilangan Iod, dan Indeks Setana Metil Ester (Biodiesel) dari

Minyak Biji Bintaro

1. Bilangan Asam

× ×
Angka Asam = A N 56,1
G
Dimana :

A = jumlah mL KOH yang dibutuhkan untuk titrasi

N = normalitas larutan KOH

G = berat contoh (g)

56,1 = berat molekul KOH

Standarisasi KOH dilakukan dengan melarutkan sebanyak 1,0234 g

KHP dengan air suling (akuades) sampai volume 100 mL sehingga diperoleh

NKHP adalah 0,0501 N. Larutan tersebut diambil sebanyak 10 mL kemudian

ditambahkan indikator fenolftalein dan dititrasi dengan larutan KOH yang

akan digunakan sampai terbentuk warna merah muda (titik akhir titrasi).

Standarisasi dilakukan sebanyak dua kali (duplo). Normalitas larutan KOH

dihitung dengan persamaan :

∇ KOH x N KOH = V oksalat x N oksalat

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Dari percobaan, diperoleh :

-V1 KOH = 5,70 mL -V2 KOH = 5,75 mL ∇ KOH = 5,725 mL

Sehingga N KOH standar yang diperoleh sebesar 0,0875 N. Nilai ini digunakan

dalam perhitungan bilangan asam. Dalam penentuan angka asam ini,

percobaan dilakukan sebanyak tiga kali (triplo). Diperoleh data sebagai

berikut :

G1 = 1,02 g A1 = 0,10 mL N KOH = 0,0875 N

G2 = 1,02 g A2 = 0,15 mL

G3 = 1,02 g A3 = 0,15 mL

Bilangan Asam 1 = 0,10 x 0,0875 x 56,1 = 0,48

1,02

Bilangan Asam 2 = 0,15 x 0,0875 x 56,1 = 0,72

1,02

Bilangan Asam 3 = 0,15 x 0,0875 x 56,1 = 0,72

1,02

Maka bilangan asamnya = (0,48 + 0,72 + 0,72) = 0,64

2. Bialangan Penyabunan

(A − B )× N × 56,1
Angka Penyabunan =
G
Dimana :

A = jumlah mL HCl 0,5 N yang diperlukan untuk titrasi blanko

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


B = jumlah mL HCl 0,5 N yang diperlukan untuk titrasi contoh

N = normalitas KOH (0,5 N)

G = berat contoh minyak

56,1 = berat molekul KOH

Angka penyabunan dilakukan sebanyak tiga kali (triplo) dengan

normalitas larutan HCl yang digunakan adalah terstandar 0,5 N. Sedangkan

normalitas KOH-alkoholis yang digunakan setelah distandarisasi dengan

larutan KHP 0,05 N (dilakukan duplo), diperoleh normalitas KOH-alkoholis

sebesar 0,45 N.

-A1 = 10,95 mL -A2 = 10,95 mL A(blanko) rata-rata = 10,95 mL

G1 = 1,02 g N KOH= 0,45 N B1 = 4,00 mL

G2 = 1,01 g B2 = 4,15 mL

G3 = 1,02 g B3 = 4,05 mL

Bilangan penyabunan 1 = (10,95 – 4,00) x 0,45 x 56,1 = 172,01

1,02

Bilangan penyabunan 2 = (10,95 – 4,15) x 0,45 x 56,1 = 169,97

1,01

Bilangan penyabunan 3 = (10,95 – 4,05) x 0,45 x 56,1 = 170,78

1,02

Maka bilangan penyabunannya = 172,01 + 169,97 + 170,78 = 170,92

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


3. Bilangan Iod

A × N × 12,69
Angka Iod =
G
Dimana :

A = selisih volume larutan Na2S2O3 0,1 N yang diperlukan untuk titrasi blanko

dan contoh

N = normalitas larutan Na2S2O3

G = berat contoh (g)

12,69 = BA Iod/10

-A1 = 42,20 mL -A2 = 40,10 mL A(blanko) rata-rata = 40,15 mL

G1 = 0,51 g N Na2S2O3 = 0,45 N S1 = 12,60 mL

G2 = 0,52 g S2 = 11,95 mL

G3 = 0,52 g S3 = 12,00 mL

Bilangan Iod 1 = (40,15 – 12,60) x 0,1 x 12,69 = 73,53

0,51

Bilangan Iod 2 = (40,15 – 11,95) x 0,1 x 12,69 = 73,70

0,52

Bilangan Iod 3 = (40,15 – 12,00) x 0,1 x 12,69 = 73,58

0,52

Maka bilangan iodnya = 73,53 + 73,70 +73,58 = 73,60

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


4. Indeks Setana

Indeks setana dapat dihitung melalui persamaan :

5459
Indeks Se tana = 46,3 + − 0,225 y
x

Dimana :

x = Bilangan penyabunan

y = Bilangan iod

Dari bilangan penyabunan dan bilangan iod pada lampiran 5 (no. 2 dan

no. 3), diperoleh indeks setananya adalah :

5459
Indeks Se tana = 46,3 + − 0,225 (73,60)
170,92
= 61,68

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007


Lampiran 6. Gambar Alat Ultrasonikasi (Sonikator) dan Metil Ester

(Biodiesel) Minyak Biji Bintaro

Alat Ultrasonikasi (Sonikator)

Metil Ester (Biodiesel) Minyak Biji Bintaro

Sintesis biodiesel..., Dodi Endriana, FMIPA UI, 2007

Anda mungkin juga menyukai