Anda di halaman 1dari 10

REMUNERASI DAN JASA PELAYANAN RS

PEMERINTAH DI ERA JKN


14 Juni 2015 pukul 03.34
Sebelum terbitnya UU 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, seringkali kita mendengar nada-nada "sumbang"
dari pegawai yang bekerja di luar RS terhadap pegawai RS. Suara-suara minor tersebut menyatakan bahwa
seharusnya pegawai RS tidak boleh mendapat apa-apa lagi selain gaji pegawai dikarenakan statusnya sama-
sama PNS. Kenapa pegawai di SKPD/OPD lain hanya mendapat gaji PNS, tapi pegawai di RS selain mendapat
gaji memperoleh juga Jasa Pelayanan?

Namun sejak terbitnya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan jelas tertulis di Pasal 30 Ayat (1)
tentang Hak Rumah Sakit pada huruf b yang berbunyi : "menerima imbalan JASA PELAYANAN serta
menentukan REMUNERASI, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan". Pasal inilah yang kemudian menjadi payung hukum legalitas pemberian jasa pelayanan.

Sebelum terbitnya UU ini sebenarnya Mendagri sudah menerbitkan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentag
PPK-BLUD yang pada Pasal 50 Ayat (1) menyebutkan bahwa : "Pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas,
sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan REMUNERASI sesuai dengan tingkat
tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan."

Begitupula dengan KMK Nomor 625 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Sistem Remunerai pegawai
BLU Rumah Sait disebutkan bahwa : BLU Rumah Sakit WAJIBmenyusun dan menetapkan
sistem REMUNERASI berdasarkan kerangka berpikir, prinsip-prinsip dan ketentuan dasar sebagaimana
dalam pedoman ini, dengan menyesuaikan kondisi dan kemampuan keuangan masing-masing rumah sakit.
Sehingga sudah sangat jelas bahwa pegawai di RS berhak untuk mendapatkan jasa pelayanan.

A. Pengertian Remunerasi
Banyak pihak berpendapat bahwa remunerasi itu identik dengan jasa pelayanan atau insentif, ini tentu suatu
pendapat yang kurang tepat karena insentif yang berasal dari Jasa Pelayanan (JP) ini hanya merupakan salah
satu komponen dalam sistem remunerasi yang jauh lebih luas dari sekedar insentif tersebut.

Dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang PPK-BLUD Pasal 50 Ayat (2) : Remunerasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium,
insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun.

Pun demikian menurut KMK Nomor 625 Tahun 2010, pengertian Remunerasi adalah pengeluaran biaya oleh
BLU Rumah Sakit, sebagai imbal jasa kepada pegawai, yang manfaatnya diterima pegawai dalam bentuk dan
jenis komponen-komponen perhargaan dan perlindungan. Sehingga insentif hanya merupakan sebagian kecil
dari sistem remunerasi yan luas. Berdasarkan pedoman pada KMK tersebut, maka komponen Remunerasi
terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Pay for Position (P1). Biasanya berupa gaji PNS, honorarium, tunjangan jabatan atau tunjangan
fungsionalnya sesuai dengan ketentuan. Komponen P1 ini bersift tetap atau flat dalam setiap bulannya
berdasarkan Job Grade.

2. Pay for Performance (P2). Komponen ini berupa insentif, bersifat tunai berupa pendapatan langsung
bersumber dari Jasa Pelayanan yang diberikan rutin secara periodik dan besarannya tergantung pada
pendapatan rumah sakit pada bulan tersebut.

3. Pay for People (P3). Diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan yang sifatnya
individu, INSIDENTIL, berupa tunjangan lainnya seperti merit, bonus, THR, asuransi, santuan pensiun,
santuan kematian dan mungkin (jika ada) remunerasi ke-13.

Dari ketiga komponen diatas, maka yang sering ramai diperbincangkan adalah komponen ke-2 yaitu Pay for
Performance (P2). Karena pada poin inilah diskursus tentang nomenklatur INSENTIF atau JASA
PELAYANAN terjadi. Insentif menggambarkan sebuah kinerja individu atau dalam bahasa sederhananya
adalah kontribusi pemberi pelayanan terhadap pendapatan rumah sakit. Karena P1 sudah jelas dan baku aturan
pemberiannya serta P3 merupakan pendapatan tambahan yang bersifat insidentil dan individual, maka yang
akan dibahas disini adalah kompone Pay for Performance (P2 ) saja.

B. Insentif
Dalam KMK Nomor 625 Tahun 2010, insentif ini termasuk dalam kategori Pay for Performance (P2) yang
bersumber dari Jasa Pelayanan. Terdapat perbedaan mendasar mekanisme pembagian insentif antara RS
vertikal milik Kemenkes yang berdasarkan KMK Nomor 625 Tahun 2010 tersebut dengan RSUD milik
pemerintah propinsi atau kabupaten/kota yang menggunakan Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 sebagai
acuan. Perbedaannya terletak pada :

1. Penyusunan indek performance yang dalam KMK tersebut membagi menjadi Indek Kinerja Individu (IKI)
dan Indek Kinerja Unit (IKU), namun bagi RSUD berdasarkan ketentuan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007
yang mengatur indikator penilaian berdasarkan indek dasar, indek kompetensi, indek resiko, indek emergensi,
indek posisi dan indek kinerja.
2. Sesuai Kepmenkes diatas, maka tidak dikenal insentif langsung dan tidak langsung. Namun sebagian besar
RSUD, meskipun tidak diatur dalam Permendagri tersebut menerapkan mekanisme pembagian insentif
menjadi insentif langsung dan insentif tidak langsung.

Dalam tulisan ini akan dikupas mekanisme pembagian insentif pada RSUD (milik Pemprov atau
Pemkab/Pemkot) yang sudah menerapkan PPK-BLUD. Secara garis besar, terdapat 3 sistem pembagian
insentif di RSUD yang sudah menerapkan PPK-BLUD di era program JKN sekarang ini, yaitu : 1). Sistem Fee
For Services; 2) Sistem Proporsional (Metode Konversi); dan 3). Sistem Flat.

B.1. Fee For Services


Sistem pembagian insentif secara fee for services bisa dijalankan jika pendapatan keseluruhan (Gross
Income) rumah sakit terdapat selisih positif (surplus) antara pendapatan jika dihitung menggunakan tarif
rumah sakit dengan jumlah pembayaran klaim dari BPJS. Metode pembagian secara fee for services ini
menggunakan ketentuan pembagian jasa pelayanan berdasarkan tarif rumah sakit. Akan tetapi harus dilakukan
perhitungan terlebih dahulu proporsi jasa pelayanan berdasarkan tarif RS secara keseluruhan. Jika proporsi jasa
pelayanan tidak kurang dari 30% dan tidak melebihi dari 50% dari total pendapatan maka masih memenuhi
standar yang telah ditetapkan oleh Menkes yaitu proporsi jasa pelayanan ditetapkan antara 30% - 50% dari
jumlah keseluruhan pembayaran klaim dari BPJS.
Dengan menggunakan metode ini maka akan sangat dirasakan subsidi silang insentif terhadap seorang pemberi
jasa layanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit (Revenue Centre). Seorang Dokter X melakukan
sebuah layanan dan ternyata memberi kontribusi selisih negatif (defisit) terhadap rumah sakit antara
pembayaran klaim BPJS dengan tarif RS, namun Dokter X tersebut juga berhasil menyumbang selisih positif
(surplus) untuk jenis pelayanan yang lainnya. Maka terjadi subsidi silang menuju titik kesetimbangan
(balance) yaitu jumlah insentif yang diterima dengan berdasarkan pada tarif rumah sakit, BUKAN
berdasarkan jumlah pembayaran klaim BPJS. Metode ini tentu saja memiliki sisi kelebihan dan
kekurangannya, yaitu :

Kelebihan :
1. Dokter atau penyumbang pendapatan lainnya tidak merasakan adanya penurunan penerimaan jasa
pelayanannya dengan adanya BPJS, sehingga tidak terjadi penolakan (resistensi) terhadap program JKN ini.
2. Prinsip fee for services dan no services no pay membuat kinerja dokter tidak menurun.
3. RS mendapat peningkatan pendapatan dari Jasa Sarana (JS) yang akan dialokasikan untuk biaya operasional
dan pemeliharaan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanan-pelayanan atau menambah jumlah TT dengan adanya "Surplus" Jasa
Sarana tadi.

Kekurangan :
1. Dokter yang memberikan kontribusi terhadap "selisih negatif (defisit)" tidak akan merasakan dampaknya
karena tetap akan tersubsidi silang oleh dirinya sendiri pada pelayanan lainnya atau dari dokter lain yang
memberikan kontribusi berupa "selisih positif (surplus)".
2. Timbul "kecemburuan" sosial antara dokter yang sudah efisien melayani pasien dengan dokter yang masih
"jor-joran" atau relatif "boros" dalam memberikan pelayanan karena tidak berpengaruh terhadap besaran
insentif yang diterima sehingga seolah-olah tidak ada "sanksi" terhadap dokter yang "boros" tersebut.
3. RS tidak mampu menaikkan posisi tawar (bergaining position) kepada dokter / penghasil pendapatan lain
yang cenderung in-efisien terhadap penggunaan sumber daya.
4. Prinsip kendali mutu dan kendali biaya tidak akan tercapai.

Ilustrasi :
Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan pendapatan rumah
sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-. Namun setelah dilakukan grouping
dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih
negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-. Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa
Pelayanan adalah 47 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai
berikut :
Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan pembayaran klaim BPJS seharusnya dokter X tersebut
"hanya" menghasilkan JP sebesar Rp 560.000,-, namun RS tetap membagikan JP sebesar Rp 700.000,-
berdasarkan perhitungan tarif RS.

Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi pendapatan
kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun jumlah pembayaran dari
BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi "surplus" sebesar Rp 250.000,-, dengan ketentuan yang sama
maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan (JP) sebesar :

Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa "seharusnya" JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut adalah Rp
1.292.500,-, (lebih besar dari JP yang dihitung dengan tarif RS), akan tetapi RS tetap membagikan JP sebesar
Rp 1.175.000,- berdasarkan perhitungan tarif RS.

Inilah yang disebut sistem Fee-For-Services, karena JP dihitung berdasarkan tarif RS dan "tidak peduli"
berapapun nilai pembayaran klaim dari BPJS.

B.2. Proporsional (Konversi)


Metode Proporsional atau Konversi bisa menjadi alternatif bagi RS yang pendapatan keseluruhannya terdapat
selisih positif (surplus) ataupun bagi RS yang yang pendapatan keseluruhannya bervariasi setiap bulan, kadang
terdapat selisih positif (surplus) dan kadang juga terjadi selisih negatif (defisit).
RS yang pendapatan bruto-nya selalu "surplus", tujuan menggunakan metode ini adalah untuk menghilangkan
"kecemburuan" sosial dari dokter/penyumbang pendapatan yang sudah efisien menggunakan sumber daya
dengan yang "boros" terhadap penggunaan sumber daya (obat-obatan, BHP, pemeriksaan penunjang dan
sebagainya).
Bagi RS yang pendapatan keseluruhannya bervariasi antar bulannya, maka tujuan penggunaan metode ini
adalah menaikkan posisi tawar manajemen kepada dokter atau penyumbang pendapatan lainnya agar lebih
efisien dalam menggunakan sumber daya, karena jika "boros" maka akan terkena "sanksi" yaitu insentif nya
akan ikut turun juga sesuai dengan konversi yang dilakukan.
Metode Proporsional dilakukan dengan cara mengkonversi komponen-komponen tarif berdasarkan proporsi
yang sudah ditetapkan dalam tarif RS terhadap jumlah pembayaran klaim BPJS, sehingga akan
terjadi KONVERSI POSITIF atau KONVERSI NEGATIF. Konversi Positif akan terjadi jika pembayaran
klaim BPJS lebih besar dari total tarif RS untuk pelayanan yang diberikan. Sebaliknya, Konversi Negatif
terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih kecil daripada total tarif RS. Metode ini juga memiliki sisi positif
dan sisi negatif dalam pelaksanaannya, yaitu :

Kelebihan :
1. Prinsip "untung dinikmati bersama, rugi ditanggung bersama" berlaku.
2. Dokter atau penyumbang pendapatan dituntut untuk berperan aktif dalam mengendalikan biaya terkait
dengan penyerapan sumber daya yang ada di RS.
3. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan "bonus" Jasa Pelayanan (JP) lebih tinggi jika klaim
yang dihasilkan lebih besar daripada tarif RS.
4. Dokter penyumbang pendapatan akan mendapatkan "hukuman" Jasa Pelayanan (JP) lebih rendah jika klaim
yang dihasilkan lebih kecil daripada tarif RS.
5. Manajemen dapat "memaksa" dokter untuk melakukan cost containment dan memberikan pelayanan secara
efisien.
6. Sanksi secara "sistem" terjadi jika terdapat pemberi pelayanan yang menyerap sumber daya secara tidak
efisien.

Kekurangan :
1. Dokter atau penyumbang pendapatan akan protes kepada manajemen jika merasa penerimaan jasa
pelayanannya turun meskipun harus diakui bahwa itu adalah akibat ke-tidak-efisien nya dalam memberikan
pelayanan.
2. Prinsip adanya subsidi silang pribadi kurang begitu dirasakan oleh Dokter atau penyumbang pendapatan.
3. Seluruh pegawai akan menanggung semua beban "penurunan" jasa pelayanan akibat dari perilaku satu atau
dua orang dokter penyumbang pendapatan yang "boros".
4. Manajemen mengalami kesulitan dalam hal kecukupan dana untuk operasional dan pemeliharaan.
5. Resiko adanya Obat dan BHP yang tidak "terbayarkan" secara penuh karena adanya konversi negatif
sehingga RS akan "nombok" untuk belanja obat dan BHP.

Ilustrasi :
Menggunakan ilustrasi yang sama dengan metode fee for services agar mudah diperbandingkan. Seorang
Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan pendapatan rumah sakit
jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-. Namun setelah dilakukan grouping dan
klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih
negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-. Berdasarkan Tarif RS Y, proporsi Jasa Sarana adalah 53 % dan Jasa
Pelayanan adalah 47 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan dibagikan menjadi insentif adalah sebagai
berikut :

Terlihat dari tabel diatas bahwa meskipun berdasarkan tarif RS seharusnya dokter X tersebut bisa
menghasilkan JP sebesar Rp 700.000,-, namun karena pembayaran dari klaim BPJS yang lebih rendah, maka
terjadilan "hukuman" dimana JP yang dibagikan hanya sebesar Rp 560.000,- berdasarkan hasil konversi tarif
RS ke jumlah pembayaran dari BPJS. Dan "sanksi" inipun tidak hanya menimpa dokter atau penyumbang
pendapatan lainnya, namun juga berdampak "sistemik" kepada manajemen dan seluruh pegawai RS.

Begitu pula jika Dokter X tersebut dilain waktu memberikan pelayanan yang memberi kontribusi pendapatan
kepada RS Y jika dhitung dengan tarif RS adalah sebesar Rp 2.500.000,-, namun jumlah pembayaran dari
BPJS adalah sebesar Rp 2.750.000,-, atau terjadi "surplus" sebesar Rp 250.000,- dengan ketentuan yang sama,
maka dokter X tersebut menghasilkan Jasa Pelayanan (JP) sebesar :
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa "seharusnya" JP yang dihasilkan oleh dokter X tersebut berdaarkan tarif
RS adalah "hanya" sebesar Rp 1.175.000,-, akan tetapi RS memberikan "hadiah" atau "bonus" kepada dokter
dan seluruh pegawai RS berupa besaran JP yang dibagikan adalah Rp 1.292.000,- karena keberhasilan
melakukan efisiensi sehingga nilai pembayaran klaim dari BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan tarif RS.

Inilah yang disebut sistem proporsional dengan metode konversi, karena JP dihitung berdasarkan konversi
positif atau konversi negatif tarif RS terhadap nilai pembayaran klaim dari BPJS. Terlihat bahwa prinsip
"susah senang tetap bersama, untung dinikmati bersama dan rugi ditanggung bersama".

B.3. Flat (Fixed Proportional)


Bagi RS yang pendapatan bruto-nya dari pembayaran klaim oleh BPJS selalu lebih rendahdibandingkan
dengan potensi pendapatan RS jika dihitung menggunakan tarif RS, maka sangat direkomendasikan untuk
menggunakan sistem flat ini sambil terus melakukan upaya efisiensi dan mengoptimalkan koding tanpa
melanggar batas-batas aturan yang menjurus ke arah tindakan FRAUD. Penyebab rendahnya pendapatan total
RS ini diakibatkan dari faktor internal dan faktor eksternal. Secara umum, persoalan besaran tarif INA CBGs
yang "relatif" masih rendah dibandingkan dengan tarif RS menjadi faktor penyebab eksternal yang sangat
dominan. Faktor penyebab internal ada dua, yaitu : 1). Tingginya hospital bill dikarenakan penggunaan
sumber daya (obat, BHP, Pemeriksaan Penunjang dan sebagainya) yang tidak efisien; dan 2). Belum
optimalnya coding dan grouping yang dilakukan dikarenakan rendahnya kualitas penulisan medical
record (resume medis dan laporan operasi), kurang cermat dalam memilih diagnosa dan prosedur tindakan
serta ketidaktelitian dalam menulis tindakan atau prosedur yang dilakukan di dalam catatan medik (RM).

Persoalan eksternal yaitu masih belum "real price" nya INA CBGs merupakan "keluhan nasional" dan terus
diupayakan untuk mengusulkan evaluasi serta revisi terhadap besaran tarif INA CBGs. Sehingga yang bisa
dilakukan oleh manajemen adalah memecahkan persoalan internal dengan cara melakukan Utilisasi
Review (UR) untuk mengetahui kasus-kasus yang "merugikan" RS secara besar, melakukan cost containment,
efisiensi penggunaan sumber daya serta perbaikan mutu rekam medis.

Metode flat adalah metode penetapan prosentase tetap (Fixed Proprotional) oleh Direktur RS terhadap 3
komponen tarif yang utama, yaitu : Biaya Obat dan BHP, Jasa Sarana dan Jasa Pelayanan. Langkah pertama
adalah dengan menghitung rata-rata biaya obat-obatan dan BHP dalam tarif RS (Hospital Bill). Kenapa harus
obat dan BHP ? Karena obat dan BHP merupakan komponen yang sudah terukur dengan jelas dan menjadi
beban RS harus "membayar" tagihan obat dan BHP kepada penyedia (distributor). Sehingga pemenuhan
alokasi dana untuk membayar "hutang obat dan BHP" RS harus menjadi prioritas pertama selain Jasa Sarana
yang menjadi prioritas kedua dan baru kemudian Jasa Pelayanan (JP) sebagai prioritas terakhir. Langkah ini
memang berat dan sangat tidak nyaman karena sangat berpotensi menimbulkan "protes" dari dokter atau
penyumbang pendapatan lainnya yang berujung pada penurunan kinerja mereka dan pada akhirnya akan makin
menurunkan pendapatan total RS.

Direktur mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang porsentase (proporsi) pembagian dana dari pembayaran
klaim BPJS. Sebagai contoh, misalkan direktur berdasarkan hasil olah data rata-rata proporsi penggunaan obat
dan BHP terhadap tarif total RS adalah sebesar 25 %, maka 75 % sisanya harus ditetapkan berapa porsi untuk
Jasa Sarana (JS) dan untuk Jasa Pelayanan (JP). Dikarenakan ada ketentuan dari Menkes bahwa proporsi JP
adalah tidak boleh kurang dari 30 % dan tidak boleh lebih dari 50 %, maka direktur RS bisa menetapkan
terlebih dahulu proporsi untuk JP misal ditetapkan sebesar 35 % sebagai JP (diambil prosentasi mendekati
batas minimal) sehingga sisanya sebesar 40 % adalah merupakan Jasa Sarana.

Perlu dipahami bahwa resiko "ketidakcukupan" alokasi dana untuk membayar hutang obat dan BHP ke
penyedia sangat mungkin terjadi karena angka yang didapat adalah angka rata-rata (average) sehingga direktur
harus melakukan evaluasi minimal setiap 3 bulan dan sangat mungkin akan ada perubahan proporsi untuk Obat
dan BHP dengan menggunakan kaidah statistik misalkan error margin sebesar 5 %. Jadi proporsi obat dan
BHP bisa berubah menjadi 30 % dan berdampak ada penurunan proporsi JS dan JP yang masing-masing
diturunkan sebesar 2,5 % (JS menjadi 37,5 % dan JP menjadi 32,5 %).

Ilustrasi :
Direktur RS B menetapkan melalui SK Direktur, prosentase tetap (Fixed Proportion) untuk pembagian dana
dari pembayaran klaim BPJS adalah sebagai berikut : Jasa Sarana 40 %, Jasa Pelayanan 35 % dan Biaya Obat
dan BHP sebesar 25 %.

Seorang Dokter X bekerja di RS Y memberikan sebuah jenis pelayanan yang menghasilkan pendapatan rumah
sakit jika dihitung menggunakan tarif RS adalah sebesar Rp 1.500.000,-. Namun setelah dilakukan grouping
dan klaim ke BPJS, ternyata hanya dibayarakan oleh BPJS sebesar Rp 1.200.000,- yang artinya terjadi selisih
negatif (defisit) sebesar Rp 300.000,-. Berdasarkan SK Direktur RS Y, proporsi Jasa Sarana (JS) adalah 40 %,
Jasa Pelayanan (JP) adalah 35 % dan biaya obat dan BHP adalah 25 %. Maka jumlah jasa pelayanan yang akan
dibagikan menjadi insentif adalah sebagai berikut :

Dari ilustrasi tabel diatas kita dapat melihat begitu signifikan-nya penurunan Jasa Pelayanan (JP) dari
seharusnya RP 712.500,- (Proporsi 35 % + 12,5 % dari alokasi Obat dan BHP yang belum terproporsi pada
tarif RS) menjadi "hanya" Rp 420.000,- (Proposri JP tinggal 35 % sesuai SK Direktur RS Y).
Akan timbul pertanyaan, mengapa pada tarif RS tidak ada proporsi obat dan BHP secara jelas ? Kita bisa
melihat dalam 2 metode sebelumnya memang selalu tidak muncul proporsi obat dan BHP karena alokasi biaya
untuk pembayaran obat dan BHP dimasukkan ke dalam komponen Jasa Sarana (JS). Namun didalam metode
flat ini, komponen proporsi obat dan BHP dituliskan secara jelas karena merupakan komponen prioritas,
sehingga pada metode ini ketika dihitung dengan tarif RS, obat dan BHP "seolah-olah" menjadi satu ke dalam
JS (Rp 787.500,-), namun ketika dihitung berdasarkan jumlah pembayaran klaim dari BPJS, maka komponen
obat dan BHP ini dipisah sehingga memiliki proporsi yang jelas dan tetap.

C. Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini, sebuah pertanyaan menarik adalah "Benarkah RS yang kerjasama dengan
BPJS rugi ?". Saya mencoba mengangkat data pada medio 2014 ketika JKN baru berjalan sekitar 4 bulan dan
BELUM ada perubahan tarif INA CBGs.

Pada 1 April 2014, Kemenkes merilis data bahwa sejak diberlakukannya Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga saat ini
berjalan selama tiga bulan, hanya 11 Rumah Sakit (RS) atau sekitar 3 % yang mengalami kerugian dalam
melayani peserta JKN.

Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional V Jawa Barat menyampaikan data pada awal Maret bahwa 8 dari 9
RS yang bekerjasama dengan BPJS mendapatkan keuntungan sekitar 30 % sisa revenue. RS yang merugi itu
sangat mungkin adalah RS Privat atau Swasta, sedangkan untuk RS Pemerintah belum ditemukan laporan
adanya RS Pemerintah yang merugi dalam melayani peserta BPJS.

Memang seringkali yang selalu diangkat adalah case by case dan biasanya yang di "blow up" adalah kasus
yang merugi. Namun ketika membuka neraca keuangan RS dan melihat pendapatan total RS secara
keseluruhan ternyata RS tidak mengalami kerugian karena adanya mekanisme subsidi silang. Beberapa RS
malah berhasil membukukan "laba" yang cukup signifikan. Bagaimana dengan RS Privat ? Saya kurang tahu
pasti, namun jika membaca paparan direktur RSIA Annisa Tangerang, RS Al Islam Bandung, RS Islam
Samarinda dan RS Nur Hidayah Bantul maka kemungkinan RS Privat mendapatkan "profit margin" dalam
melayani peserta BPJS masih terbuka lebar.

Tarif INA CBGs wajib dievaluasi dan harus direvisi, saya selalu mengatakan bahwa ada beberapa komponen
pelayanan RS yang belum "matching" dengan tarif INA CBGs seperti pelayanan-pelayanan di ruang rawat
"critical care" seperti ICU, CICU, PICU dan NICU yang menyerap "resources" tinggi namun diberlakukan
sebagai 1 episode perawatan dengan ruang rawatan biasa. Hal ini tentu akan menimbulkan persoalan
"imbalance" antara penggunaan sumber daya dengan penggantian biaya oleh BPJS.

Namun, tidak bijakssana juga selalu menganggap bahwa melayani peserta BPJS maka RS pasti merugi.
Memang ada RS yang merugi namun data berbicara bahwa masih banyak juga RS yang mendapatkan "laba".
Nah ketika RS sudah berhasil mendapatkan keuntungan berdasarkan pendapatan total RS, maka pilihan untuk
membagi insentif dari Jasa Pelayanan ada beberapa alternatif yang bisa diambil. Semua metode memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perlu pertimbangan jajaran direksi RS dalam memilih metode yang
akan dipergunakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi serta kearifan budaya lokal.
Tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah cuplikan tulisan seorang dokter orthopedi yang luar biasa dalam
sebuah tulisannya : "............. tapi saya bisa melakukan subsidi silang sendiri, karena beberapa operasi yang
tidak membutuhkan pemasangan implan mahal bisa menghasilkan klaim yang lumayan besar". Luar biasa
makna tulisan ini, semoga kita menjadi mahluk Allah yang pandai syukur nikmat dan bukan selalu kuffur
nikmat. Amien YRA.

Sekian,

Tri Muhammad Hani


RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta - Jawa Barat

NB :
Ilustrasi-ilustari diatas dibuat sangat sederhana, pada prakteknya di lapangan tentu jauh lebih rumit dan
banyak komponen-komponen yang perlu dirinci lagi. Namun prinsip perhitungan dan proporsi nya tidak
berbeda.

Anda mungkin juga menyukai