Anda di halaman 1dari 46



i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................i
Kasus ......................................................................................................... 1
Pertanyaan dan Jawaban ........................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 11

2
A. KASUS
Kasus 2 : Infeksi HIV/AIDS dan Sifilis pada kehamilan dan persalinan

Anda seorang bidan praktik mandiri. Klien anda Ny. Binta usia 32 tahun
sedang hamil 26 minggu, pada saat anda menanyakan rencana persalinannya, Ny.
Binta menyatakan keinginannya untuk bersalin di rumah. Binta menyatakan ini
adalah kehamilan untuk anak keduanya dan dia tahu kondisinya HIV +. Dia
menyatakan bahwa kehamilan ini seperti kehamilan sebelumnya ia merasa sehat dan
normal. Anda melihat keteguhan dari Ny. Binta untuk tetap bersalin di rumah. Ibu
pernah terdiagnosis sifilis pada kehamilan anak pertama, dan sudah mendapatkan
terapi sampai dinyatakan sembuh, namun anak pertama mengalami menderita sifilis
kongenital.

B. PERTANYAAN & JAWABAN


1. Jelaskan tanda gejala HIV/AIDS!
Human Immunodeficiency Virus merupakan Virus yang menyebabkan
rusaknya / melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia. HIV
membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak.
1. Gejala Infeks HIV pada ibu (orang dewasa)
Terdapat 4 stadium penyakit AIDS, yaitu :
1) Stadium awal infeksi HIV
a) Demam
b) Kelelahan
c) Nyeri Sendi
d) Pembesaran kelenjar getah bening (dileher, ketiak, lipatan paha).
Gejala ini menyerupai influenza.
2) Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita tampak sehat, namun dapat merupakan
sumber penularan infeksi HIV.

3
3) Stadium ARC (AIDS Related Complex)
a) Demam > 38°C secara berkala/terus menerus
b) Menurunnya berat badan >10% dalam waktu 3 bulan
c) Pembesaran kelenjar getah bening
d) Diare/mencret yang berkala/terus menerus dalam waktu yang lama
(lebih dari satu bulan) tanpa sebab yang jelas
e) Kelemahan tubuh yang menurunkan aktivitas fisik
f) Keringat malam
4) Stadium AIDS
a) Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut
sarkoma kaposi (tampak bercak merah kebiruan dikulit)
b) Kanker kelenjar getah bening
c) Infeksi penyakit penyerta, misalnya : pneumonia yang disebabkan
oleh pneumocystis carinii, TBC
d) Peradangan otak/selaput otak
(Depkes, 2003)
Gejala Infeksi HIV pada Ibu (orang dewasa) juga dapat berdasarkan pada
klasifikasi klinis HIV menurut WHO, berikut ini:
a. Stadium I
1) Asimptomatik
2) Limfedenopati generalisata
b. Stadium II
1) Berat badan menurun <10%
2) Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti:
a) Dematitis seboroik
b) Prurigo
c) Onikomikosis
d) Ulkus oral yang rekuren
e) Kheilitis angularis

4
3) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4) Infeksi saluran napas bagian atas, seperti sinusitis bakterialis.
c. Stadium III
1) Berat badan menurun >10%
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Kandidiasis orofaringeal
5) Oral hairy leukoplakia
6) TB paru dalam tahun terakhir
7) Infeksi bakterial yang berat seperti : pneumonia, piomiositis.
d. Stadium IV
Aktivitas ditempat tidur lebih dari 50% pada umumnya sangat lemah.
1) HIV wasting syndrom (berat badan turun lebih dari 10% ditambah
diare kronik lebih dari 1 bulan atau demam lebih dari 1 bulan yang
tidak disebabkan oleh penyakit lain) seperti yang didefinisikan oleh
CDC.
2) Pneumonia pneumocystis carinii
3) Toksoplasmosis otak
4) Diare kriptosporidasis lebih dari 1 bulan
5) Kriptokokosis ekstrapulmonal
6) Retinitis virus sitomegali
7) Herpes simpleks mukokutan lebih dari 1 bulan
8) Leukoensefalopati multifokal progresif
9) Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
10) Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus, dan paru
11) Mikobakteriosis atipikal diseminata
12) Septisemia salmonelosis non tifoid
13) Tuberkolusis diluar paru
14) Limfoma

5
15) Sarkoma kaposi

16) Ensefalopati HIV (gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik


yang mengganggu akivitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk
dalam beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai oleh penyakit
lain seperti HIV).
(Depkes,2003)
Gejala Infeks HIV pada Bayi dan Anak
Gejala umum yang sering ditemukan pada bayi dan anak dengan infeksi
HIV adalah :
1) Gangguan tumbuh kembang
2) Berat badan menurun
3) Demam
4) Diare kronik
5) Kandidiasis oral yang sering kambuh (merupakan tanda yang muncul
pertama pada infeksi HIV)
6) Hepatosplenomegali (pembesaran kelenjar getah bening dan hati)
7) Gangguan neurologis seperti
a) Keterlambatan perkembangan mental
b) Infeksi otak
c) Infeksi oportunistik (bersamaan penurunan imunitas)
(Depkes, 2003)
Gejala klinis juga dapat dilihat berdasarkan stadium klinis HIV pada anak
berikut.
1) Stadium Klinis I
a) Asimtomatik
b) Limfadenopati generalisata persisten
2) Stadium Klinis II
a) Diare kronik > 30 hari tanpa etiologi yang jelas.

6
b) Kandidiasis persisten atau berulang di luar masa neonatal.
c) Berat badan berkurang atau tumbuh tanpa etiologi yang jelas.
d) Demam persisten > 30 hari tanpa etiologi jelas.
e) Infeksi bakterial berulang yang berat selain septikemia atau
meningitis (contoh: osteomielitis, pnemonia bakterial non-TB,
abses).
3) Stadium Klinis III
a) Infeksi oportunistik yang termasuk dalam definisi AIDS.
b) Gagal tumbuh yang berat (wasting) tanpa etiologi yang jelas.
c) Ensepalopati yang progresif.
d) Keganasan.
e) Septisemia atau meningitis.
Berat badan berkurang secara persisten > 10% dari BB semula atau
dibawah garis persentil 5 grafik berat badan dibanding tinggi badan
(BBT) pada pengukuran 2 kali berturut-turut dengan selang waktu
lebih dari 1 bulan tanpa adanya etiologi atau penyakit penyerta lain
yang jelas.
(Depkes,2007)
Sementara itu stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi
HIV (Depkes,2008) adalah :
1) Stadium Klinis I
a) Asimtomatik
b) Limfadenopati generalisata persisten
2) Stadium Klinis II
a) Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
b) Erupsi pruritik papular
c) Infeksi virus wart luas
d) Angular cheilitis
e) Moluskum kontagiosum

7
f) Ulserasi oral berulang
g) Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
h) Eritema ginggival lineal
i) Herpes Zoster
j) infeksi saluran napas atau kronik atau berulang (otitis media,
otorrhoea, sinusitis, tonsilitis).
k) Infeksi kuku oleh fungus
3) Stadium Klinis III
a) Malnutrisi sedang, yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespon
secara adekuat terhadap terapi standar.
b) Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih).
c) Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37,5°C
intermiten atau konstan, > 1 bulan).
d) Kandidosis oral persisten (diluar saat 6-8 minggu pertama
kehidupan)
e) Oral hairy leukoplakia
f) Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
g) TB kelenjar
h) TB paru
i) Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
j) Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
k) Penyakit paru berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk
bronkiektasis
l) Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8 g/dl), neutropenia
(<500/mmᶟ) atau trombositopenia (<50.000/mmᶟ)
4) Stadium Klinis IV
a) Malnutrisi, wasting dan stuning berat yang tidak dapat dijelaskan
dan berespon terhadap terapi standar.
b) Pneumonia pneumosistis

8
c) Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema,
piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis kecuali
pneumonia)
d) Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan
atau viseralis dilokasi manapun)
e) TB ekstrapulmonar
f) Sarkoma kaposi
g) Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus atau paru)
h) Toksoplasmosis susunan saraf pusat (diluar masa neonatus)
i) Ensefalopati HIV
j) Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada
organ lain, dengan onset umur > 1 bulan.
k) Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
l) Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
m) Kriptosporidiosis kronik (dengan diare)
n) Isosporiasis kronik
o) Infeksi mikrobakteria non-tuberkolusis diseminata
p) Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang
simtomatik.
q) Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral.

2. Jelaskan komplikasi HIV/AIDS!


Infeksi opotunistik seperti pneumonia, pneumocystis, sarkoma kaposi,
sitomegalovirus, kandidiasis mulut dan vagina.
Menyebabkan kematian jika tidak diobati.

3. Bagaimana cara bidan melakukan deteksi dini HIV/AIDS pada ibu hamil?
Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk diagnosis pasti HIV/AIDS?

9
Deteksi Dini berupa melihat tanda dan gejala, selain itu juga melihat
gaya hidup, serta individu rawan mempunyai risiko besar tertular HIV.
Pengkajian terhadap individu yang baru didiagnosis terinfeksi HIV,
berupa masalah mengenai gaya hidup, kesehatan umum, ansietas dan takut,
dan anjuran rujukan untuk konseling yang sesuai serta dukungan psikologis
dan sosial.
Pemeriksaan fisik dilakukan dan dicari temuan baru yang mungkin
menunjukkan perkembangan penyakit.
Darah di ambil untuk :
a. Uji hematologis-hemoglobin, hitung sel darah putih, hitung trombosit.
b. Kimia klinis, terutama mereka yang mendapat terapi antivirus.
c. Uji imunologis-hitung sel CD4.
d. Titer RNA virus HIV dalam plasma (viral load).
Pemeriksaan individu asimtomatik yang baru terdiagnosis HIV.
Ulangi tes anti-HIV Perlu untuk menyingkirkan kesalahan teknis.
Riwayat Catat riwayat seksual, penyakit seksual,
pemakaian obat, risiko pekerjaan, transfusi
darah dan produk darah, riwayat tinggal di luar
negeri, riwayat onstetrik, lingkungan sosial.
Pemeriksaan Fisik Perhatikan terutama kelainan kulit dan mukosa,
limfadenopati, pembesaran hati atau limfa.
Pemeriksaan genital untuk kulit dan kandiasis.
Pemeriksaan Hematologi Mungkin anemia, leukopenia, trombositopenia
Uji enzim plasma untuk Sering terjadi peningkatan ringan alanin
fungsi hati aminotransferase.
Uji imunologis
a. Hitung sel CD4 Normalnya >500/mmᶟ. Ulangi dalam 1 bulan
untuk menetapkan data acuan.

10
b. Imunoglobulin Sering meningkat
serum
c. ᵝ² mikroglobulin Meningkat pada stadium akhir penyakit

Perkiraan RNA HIV Viral load berkolerasi erat dengan


plasma perkembangan infeksi. Bermanfaat dalam
menentukan perlu tidaknnya terapi. Ulangi
setelah 1 bulan untuk mengetahui viral load
basal . perhatikan kadar yang tinggi segera
setalah infeksi, yang turun dalam waktu 3 bulan.
Tes serologis untuk
a. Toxoplasma gondii Pada individu dengan hitung sel CD4
<200/mmᶟ, pertimbangkan profilaksis
b. Sitomegalovirus Kemungkinan reaktivasi pada infeksi stadium
lanjut, hindari transfusi darah positif-CMV ke
c. Sifilis resipein CMV
Riwayat infeksi
d. Virus hepatitis B
dan C Dapat menyebabkan hepatitis kronik/sirosis
Sitologi Meningkatkan resiko infeksi HPV, penapisan
serviks/kolposkopi setiap tahun
Foto sinar-X toraks Foto basal

Diagnosis di tegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil


pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti di tegakkan dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium yang di mulai dengan uji penapisan / penyaringan
dengan menentukan adanya anti body anti HIV kemudian di lanjutkan dengan

11
uji pemastian dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western Blot
Assay karena mampu mendeteksi komponen komponen yang terkandung pada
HIV (Attili Suresh VS, 2006: Bartlet JG,Gallant JT, 2006)
Di Indonesia Western Blot belum merata di lakukan secara rutin maka
dapat di lakukan pemeriksaan laboratorium dengan 3 metode yang berbeda
(salah satu yang di anjurkan ELISA). Di katakan terinfeksi HIV apabila ketiga
pemeriksaan laboratorium dari metode yang berbeda tersebut menunjukkan
hasil reaktif (Nasroudin, 2007)
Diagnosis HIV pada ibu mengikuti prinsip-prinsip khusus berikut ini.
a. Diagnosis dini Infeksi adanya perilaku beresiko tinggi. Untuk diagnosis
HIV, pemeriksaan laboratorium yang biasa dipakai adalah ELISA,
Western Blot, dan PCR.
b. Diagnosis AIDS
Merupakan stadium akhir infeksi HIV. Seseorang bisa dinyatakan AIDS
bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi
dan kanker oportunistik yang dapat mengancam jiwa orang tersebut.
Enselofalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan
hitungan CD4 < 200/mmᶟ juga dapat menempatkan seseorang dinyatakan
sebagai AIDS.
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dipakai untuk diagnosis HIV adalah
a. ELISA
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi
antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya
diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah
terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli menganjurkan
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang
terkontaminasi.

12
Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena. Hasil positif pada
ELISA BELUM memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi
HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA,
untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun
ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang
tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi
HIV.
b. Western Blot
Merupakan elektroforesis gel poliakrilamid, bertujuan untuk mendeteksi
rantai protein yang sfesifik terhadap DNA. Hasil dianggap negatif bila
tidak ditemukan rantai protein. Hasil dianggap positif bila ditemukan
hampir semua rantai protein . Sama halnya dengan ELISA, Western Blot
juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes
konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih
spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil.
Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih
dalam melakukannya.
c. PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction (reaksi berantai polimerase) adalah
uji yang memeriksa langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes
ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar
virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh
karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak
memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara
rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan
didonorkan. Tes darah yang dilakukan biasanya menggunakan tes ELISA
(enzyme linked immunosorbent assay) yang memiliki sensitivitas tinggi -
namun spesifikasinya rendah. Bila pada saat tes ELISA hasilnya positif,
maka harus dikonfirmasi dengan tes Western Blot, yaitu jenis tes yang

13
mempunyai spesifikasi tinggi. Karena sifat kedua tes ini berbeda, maka
biasanya harus dipadukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Selain
kedua jenis tes tadi, ada juga jenis tes lain yang mampu mendeteksi
antigen (bagian dari virus), yaitu NAT (nucleic acid amplification
technologies) dan PCR (polymerase chain reaction).
d. IFA
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan
konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA
juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari
pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.

4. Apa yang dimaksud dengan CD4? Kenapa pemeriksaan CD4 penting pada
pasien HIV?
Sel T yang telah disintesis dari kelenjar timus disebut sel T CD4. CD4
(CD= cluster of differentiation) merupakan organ vital sistem kekebalan
manusia. CD4 berperan sebagai pengatur imun melalui sekresi sitokin yang
menimbulkan efek parakrin guna mengatur ke arah positif dan negatif dari
hampir semua aspek dari respon imun.
Pemeriksaan CD4 pada pasien HIV penting karena CD4 merupakan
parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. CD4 dapat menjadi
petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4 menurun lebih dahulu
dibandingkan kondisi klinis.
Pemeriksaan serial pada pada pasien AIDS dikonsentrasikan pada
CD4 dan CD8. Pada AIDS, sel CD4 berkurang oleh infeksi HIV, sedangkan
sel CD8 tetap.
Jumlah CD4 normal adalah 410 sel/mm3 – 1590 sel/mm3, bila jumlah
CD4 dibawah 350/mm3, atau dibawah 14%, kita dianggap AIDS, (Definisi
Depkes).

14
5. Bagaimana MTCT (Mother to Child Transmission) penularan HIV dari ibu ke
bayi?
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil,
saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini,
setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang
tahun kedua.
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu
dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta
melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi
ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.

6. Faktor apa saja yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi?
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu
ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
a. Faktor Ibu
1) Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui
bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak.
Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.
2) Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV
ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar.

15
3) Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama
hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi
yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke
bayi.
4) Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
5) Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis,
abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI.
b. Faktor Bayi
1) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih
rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan
tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2) Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar.
3) Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika
diberikan ASI.
c. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu
ke anak selama persalinan adalah:
1) Jenis persalinan

16
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (sectio caesaria).
2) Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya
kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
3) Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam.
4) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

7. Bagaimana peran/manfaat ANC terhadap penurunan risiko MTCT?


a. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk upaya Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak bagi seorang ibu hamil.
b. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke
klinik KIA akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka
tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka,
termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak.
c. Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu,
pemeriksaan IMS terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat
meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil
dengan HIV.
d. Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil
untuk mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk
mencegah penularan HIV ke bayinya, memperoleh pengobatan ARV
sedini mungkin, dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan tentang
HIV dan AIDS.

17
8. Bagaimana terapi ARV untuk ibu hamil? Apa pengaruh ARV terhadap
bayinya?
Terapi Antiretroviral (ARV) merupakan penggunaan obat
antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif
dan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. ARV tidak
menyembuhkan pasien, namun kualitas hidup dan memperpanjang usia
harapan hidup penderita HIV/AIDS. ARV dapat diberikan pada pasien untuk
menghentikan aktivitas virus, memulihkan system imun dan mengurangi
terjadinya infeksi oportunistik.
Terapi ARV bermanfaat untuk:
a. Dapat memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup
b. Menurunkan rawat inap akibat HIV
c. Menurunkan kematian terkait AIDS
d. Menurunkan angka penularan HIV dari Ibu ke bayi.

Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman


Tata laksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa,
Kementerian Kesehatan (2011). Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi
klinis ibu dan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV.
b. Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan,
dan pasien sudah mendapatkan ART, maka saat hamil ART tetap
diteruskan dengan regimen yang sama seperti saat sebelum hamil.
c. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur
kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART.
Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu hingga umur
kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan
kondisi klinis ibu.

18
d. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥
14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium
klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis
ibu.
e. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang
persalinan, segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan
kombinasi regimen ART sama dengan ibu hamil yang lain.

9. Bagaimana pilihan persalinan untuk ibu hamil HIV?


Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah
mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan,
dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi
persalinan per vaginam dan per abdominam (bedah sesar atau seksio
sesarea).
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV
sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan
terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan,
persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia
fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load <1.000kopi/mikroL
persalinan pervaginam ama untuk dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetric
atau jika pemberian ARV baru dimulai pada saat usaia kahamilan 36 minggu
atau lebih, sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/mikroL.

19
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwabedah sesar akan
mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi hingga sebesar 2%-4%
namun perlu dipertimbangkan:

a. Faktor keamanan ibu pasca salin bedah sesar. Sebuah penelitian


menyebutkan bahwa komplikasi minor dari operasi bedah sesar seperti
endometritis, infeksi luka dan infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi
pada ODHA dibandingkan non-ODHA. Namun tidak terdapat perbedaan
bermakna antara ODHA dan bukan ODHA terhadap risiko terjadinya
komplikasi mayor seperti pneumonia, efusi pleura ataupun sepsisi.
b. Fasilitas pelayanan kesehatan dan akses ke palayanan kesehatan, apakah
memungkinkan u untuk dilakukan bedah sesar atau tidak.
c. Biaya bedah sesar yang relative mahal.
Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang
optimal kepada ibu hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi
berikut ini:
a. Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal harus
memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetric ibu berdasarkan
penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi
untuk bedah sesar.

20
b. Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan pervaginam atau pun bedah
sesar.
c. Tindakan menolong persalinan ib hamil, baik secara persalinan per
vaginam maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan
standar yang berlaku untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.

10. Bagaimana konseling pada ibu, pasangan dan keluarga tentang perencanaan
persalinan pada ibu dengan HIV?
Ibu dan keluarga diberitahu mengenai keuntungan dan kerugian
dilakukannya persalinan baik secara sesar maupun pervaginam dilihat dari
kondisi ibu beserta risiko yang akan didapatkannya.

11. Bagaimana resiko penularan HIV pada masa persalinan?


Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan dari ibu ke
bayi selama persalinan adalah :
a. Jenis persalinan

Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada melalui


beda sesar (sectio caesaria)

b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dengan darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah sebelum waktunya
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban kurang dari 4
jam

21
d. Persalinan dengan tindakan invasif
Tindakan episiotomi, ekstraksi wakum dan forseps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi

12. Bagaimana asuhan persalinan pervaginam pada ibu bersalin dengan HIV?
Asuhan persalinan pervaginam pada ibu bersalin dengan HIV
dilakukan dengan mengikuti standar Kewaspadaan Universal. Sebaiknya
prosedur yang meningkatkan risiko transmisi perinatal dalam proses
persalinan dihindari, misalnya pengambilan darah janin melalui kepala atau
amniotomi
a. Persiapan yang diperlukan
Alat-alat
1) Set partus set
2) Set resusitasi bayi
3) Set jahit lengkap menggunakan jarum ethyguard
4) Saranan dekontaminasi : ember tertutup berisi larutan klorin 0,5%
Obat-obatan
1) Zidovudine (AZT) sesuai dosis yang ditetapkan
2) Oksitosin dalam spuit
3) Anestesi dalam spuit
Penolong persalinan
1) Harus bersikap wajar terhadap pasien
2) Tidak menderita perlukaan/lesi
3) Memakai penutup kepala, pelindung mata, masker, celemek
plstik/gaun penutup, sarung tangan ganda, sepatu yang menutup
seluruh punggung dan telapak kaki
Ibu bersalin
Mendapat penjelasan proses persalinan dan pertolongan yang akan
diberikan

22
b. Persalinan (Di Ruang Isolasi)
Kala I
1) Batasi pemeriksaan dalam
2) Disinfeksi vagina dengan Povidone-Iodine
3) Tindakan obstetri hanya dilakukan atas indikasi
4) Hindari amniotomi
Kala II
1) Sedapat mungkin persalinan spontan. Episiotomi hanya atas indikasi
(Hindari episiotomi)
2) Segera gunting tali pusat
3) Darah tali pusat diambil 10 cc untuk pemeriksaan laboratorium untuk
pemeriksaan HIV
Kala III
1) Berikan suntikan oksitosin 5 IU/IM
2) Berikan antibiotik profilaktik
3) Periksa apakah plasenta dan selaput ketuban lahir lengkap
4) Lakukan penjahitan luka dengan jarum ethyguard (pegang jaringan
dengan pinset saat menjahit)
Kala IV
Untuk ibu : tidak ada yang khusus
Untuk Bayi : tindak ada tindakan khusus

13. Kapan melakukan rujukan yang tepat pada ibu bersalin dengan HIV?
Rujukan dilakukan segera setelah ibu diketahui positif HIV.

14. Bagaimana melakukan kewaspadaan umum dalam memberikan asuhan


bersalin pada ibu HIV?

23
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 51 TAHUN 2013
TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU
KE ANAK/ PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU
KE ANAK /BAB I/PENDAHULUAN/ Kebijakan dan Strategi Implementasi
Kegiatan PPIA Komprehensif No.9 “9. Pelaksanaan pertolongan persalinan
baik secara per vaginam atau per abdominam harus memperhatikan indikasi
obstetrik ibu dan bayinya serta harus menerapkan kewaspadaan standar.”
Secara operasional, kebijakan dasar Kewaspadaan Universal terhadap
infeksi berarti menganggap semua pasien pelayanan kesehatan reproduksi
dapat membawa kuman infeksi terutama yang menular lewat darah seperti
virus HIV/AIDS dan!atau virus hepatitis B (HBV). Secara lebih spesifik,
kebijakan dasar ini meliputi tiga hal berikut:
a. Kewaspadaan terhadap zat yang menularkan: upaya Kewaspadaan
Universal terutama harus diarahkan pada pence gahan agar petugas tidak
terkena darah dan pasien karena darah adalah sumber utama penularan
infeksi HIV, HBV Kewaspadaan Universal juga berlaku bagi cairan lain
selain darah, misalnya cairan-cairan cerebrospinal/CSF, cairan synovial,
pleura, peritoneum, pericardial dan cairan amnion/ air ketuban, karena telah
terbukti bahwa virus HIV ditemukan dalam cairan synovial, cerebrospmnal,
dan air ketuban. Kewaspadaan Universal juga berlaku terhadap lendir vagina.
Kewaspadaan Universal harus dilakukan oleh setiap Petugas Kesehatan jika
dalam memberikan pelayanan ada kemungkinan untuk tersentuh den gan
berba gal cairan tubuh yang telah disebut di atas.
b. Kewaspadaan tentang alat yang dipergunakan: Dalam menjalankan
Kewaspadaan Umum terhadap infeksi, semua petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan Kesehatan Reproduksi harus memakai alat-alat
protektif seperti sarung tangan, celemek, masker mulut dan mata, untuk
mencegah resiko terkenanya infeksi di kulit dan selaput lendir (seperti di
hidung dan mata). A garpasien tidak terkejut den gan sikap dan tindakan

24
petugas dalam melaksanakan kewaspadaan umum terhadap infeksi, maka
perlu diberikan penjelasan kepada pasien, misalnya pada saat kunjungan
antenatal
c. Kewaspadaan tentang penjagaan din sendin: Para petugas kesehatan,
dalam melakukan tindakan pelayanan Kesehatan Reproduksi, juga harus
menjaga diri mereka dan kemungkinan terkena tusukan jarum suntik, scalpel
atau alat-alat tajam lain yang dapat membuat luka. Mencuci tangan adalah
prosedur utama untuk mencegah infeksi nosocomial. Tangan harus dicuci
dengan baik, yaitu dengan menyikat seluruh tangan dan lengan menggunakan
air yang mengalir dan zat antimikroba atau zat antibakteri agar dapat
membunuh dan mencegah berbiaknya semua kuman. Prosedur ini biasa
disebut sebagai pembersihan secara kimiawi, untuk itu zat antimikroba yang
paling efektif adalah lawtan kaporit 5%. Penggunaan sabun dan deterjen
memang cukup bermarifaat untuk rnembersihkan kulit dan mikroba yang
menempel di kulit luar, tetapi hanya cairan kaporit 5% yang dapat
membunuh mikroba yang bersembunyi di lapisan kulit yang lebih dalam.
Pertolongan persalinan dilakukan dengan berhati-hati dan menerapkan
kewaspadaan universal dan alat pelindung diri lengkap.
a. penghisap lendir bayi tidak boleh dilakukan dengan penghisap mulut,
melainkan dengan kateter penghisap yang dihubungkan dengan mesin
penghisap
b. semua janin harus diperlakukan seperti individu yang tidak terinfeksi saat
persalinan kerena transmisi vertikal hanya sebesar 25-35 %
c. pencegahan harus dilakukan agar bayi terhindar dari transmisi infeksi
dari ibu ke bayi
d. ibu harus dianjurkan agar menghindari bayinya terkena sekresi tubuhnya
e. setelah persalinan, wanita bisa dianjurkan untuk memilih metode
kontrasepsi yang mereka sukai untuk mencegah kehamilan selanjutnya,
kontrasepsi harus segera dipakai paling lambat 4 minggu setelah

25
persalinan (depkes RI, 2003), metode yang disarankan adalah kondom
karena perlindungan terhadap infeksi HIV dan PMS atau
kontrasepsimoral atau hormon injeksi. Metode diafragma dan spons tidak
efektif, tidak dianjurkan. IUD dan MOW tidak disarankan karena dapat
menyebabkan penyakit radang pelvis dan peningkatan risiko perdarahan
(Richard, et al., 1997).

15. Bagaimana penularan HIV dari ibuke bayi saat masa post partum?
Transmisi yang terjadi pada masa postpartum dapat melalui ASI.
Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Lily V,
2004 dalam Nursalam dan Kurniawati, Ninuk Dian.2007.Asuhan
Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.Jakarta: Salemba Medika.).
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain yang diderita oleh
ibu, seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara. Sebagian besar
masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang baik.
Konseling manajemen laktasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko
penularan HIV.
Komplikasi yang perlu diperhatikan pada ibu yang memberikan ASI :
a. Breast engorgement (payudara bengkak)
1) Jelaskan kepada ibu bahwa ASI perlu dikeluarkan (bahkan pada saat
bayi tidak minum untuk menghindari mastitis atau abses yang dapat
menurungkan produksi ASI.
2) Jika bayi dapat menghisap, beritahukan ibu untuk lebih sering
menyusui bayinya, dan ajarkan ibu mengenai posisi menyusui bayi
yang opitmal.
3) Jika bayi tidak dapat menyusu/menghisap, ajarkan ibu bagaimana
untuk mengeluarkan ASI kepada bayi dengan tangan, melalui pompa

26
ASI. Ajarkan pula bagaimana ibu dapat dengan baik dan aman
menggunakan cangkir untuk memberi minum kepada bayinya.
b. Gejala mastitis dan duktus yang tersumbat
1) Perhai kan penyebab dari aliran yang terhambat seperi perlekatan
mulut bayi yang kurang baik, tekanan yang berlebih dari pakaian atau
posisi tidur ibu, atau bentuk payudara pendulum dengan duktus yang
tersumbat pada bagian bawah payudara.
2) Anjurkan ibu untuk lebih sering menyusui, dengan lembut mengurut
payudara saat bayi menyusu, kompres air hangat pada payudara,
berikan ASI dari payudara yang tidak sakit, dan menyusui bayi dalam
posisi yang berbeda sepanjang hari.
3) Jika tampak tanda-tanda infeksi (demam, kemerahan dan nyeri)
berikan antibiotik (dikloksasillin 500 mg setiap 6 jam atau
klindamisin 300 mg i ap 6 jam selama 7-10 hari).
4) Sarankan untuk isi rahat total dan berikan saran juga kepada majikan
atau keluarga pasien jika perlu.
5) Berikan parasetamol untuk mengatasi nyeri.
c. Untuk lecet pada puting
1) perhatikan penyebab yang paling mungkin (perlekatan dengan mulut
bayi yang kurang, fisura, pembengkakan, infeksi kandida pada
mulut/kulit bayi).
2) Jelaskan kepada ibu bahwa lecet bersifat sementara, dan ibu dapat
melanjutkan menyusui dan tidak perlu mengisi rahatkan payudara,
dan proses menyusui akan kembali membaik.
3) Tawarkan perawatan yang baik dengan mengajarkan bagaimana
perlekatan mulut bayi yang tepat, membantu ibu mengurangi
pembengkakan jika perlu, oleskan gentian violet atau nistatin pada
puting dan mulut bayi jika kemerahan, gatal, nyeri atau lecet
berlanjut.

27
4) Anjurkan ibu tidak membersihkan payudara lebih dari sekali sehari,
karena akan menghilangkan minyak alamiah dari kulit, dan
memudahkan terjadinya lecet.
5) Anjurkan ibu i dak menggunakan salep dan losio obat, karena akan
mengiritasi kulit.
6) Anjurkan setelah menyusui, ibu dapat mengoleskan ASI yang tersisa
ke daerah puting susu dengan jari, karena akan mempercepat
penyembuhan.
Dengan pemberian susu formula, risiko penularan HIV dari ibu ke
anak dapat dihindarkan, namun pemberian susu formula hasus memenuhi
syarat AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable,Sustainable and Safe). Bayi
yang diberikan ASI eksklusif kemungkinan memiliki risiko terinfeksi HIV
lebih rendah dibandingkan bayi yang mengkonsumsi makanan campuran
(mixed feeding), yaitu dengan mengkombinasi pemberian ASI dengan susu
formula atau makanan padat lainnya.
Penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi dari ibu HIV
positif yang diberi ASI eksklusif selama tiga bulan memiliki risiko tertular
HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan bayi yang mendapatkan makanan
campuran, yaitu susu formula dan ASI (24,1%). Hal ini diperkirakan karena
air dan makanan yang kurang bersih (terkontaminasi) akan merusak usus
bayi yang mendapatkan makanan campuran, sehingga HIV pada ASI bisa
masuk ke tubuh bayi. HIV juga terdapat dalam ASI, meskipun
konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di dalam darah.
Antara 10%–15% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi
HIV melalui pemberian ASI. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV
melalui pemberian ASI, yaitu:
a. Umur Bayi

28
Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang
baru lahir. Antara 50–70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi
pada usia enam bulan pertama bayi. Semakin lama pemberian ASI, akan
semakin besar kumulatif risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada usia
6 bulan pertama pemberian ASI diperkirakan risiko penularan sebesar
0,7% per bulan. Antara 6–12 bulan, risiko bertambah sebesar 0,5% per
bulan dan antara 13–24 bulan, risiko bertambah lagi sebesar 0,3% per
bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian ASI dapat
mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV.
b. Luka di Mulut Bayi dan Anak
Pada bayi atau anak yang memiliki luka di mulutnya, risiko untuk
tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI.

16. Jelaskan aspek penting dalam asuhan post partum ibu dengan HIV!
Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tidak berhenti
setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia
membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu.
Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu
sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan
keluarganya. Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV
antara lain:
a. Pengobatan ARV jangka panjang
b. Pengobatan gejala penyakitnya
c. Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk
CD4 dan viral load)
d. Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
e. Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi

29
f. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan
bayinya.
g. Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan
pencegahannya
h. Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
i. Kunjungan ke rumah (home visit)
j. Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan
HIV
k. Adanya pendamping saat sedang dirawat
l. Dukungan dari pasangan
m. Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
n. Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan
bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia
akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan
anaknya, serta berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya
ke orang lain.
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA
ini perlu diketahui oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia
reproduktif. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang
merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar
mengetahui status HIV mereka.

17. Bagaimana pemberian nutrisi pada bayi dengan ibu HIV?


Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang
risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan
antenatal atau sebelum persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan
setelah mendapat informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh
ibu harus didukung. Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki

30
kadar HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam
Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir
dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup
anak (HIV-free and child survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja,
tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6
bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai
dengan pemberian makanan padat. Bila ibu tidak dapat memberikan ASI
eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu formula
untuk menghindari mixed feeding
Tabel 6. Perbandingan risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada pemberian
ASI eksklusif, susu formula, dan mixed feeding

ASI Susu Formula Mixed Feeding


5-15% 0% 24,1%

Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki risiko


minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini
sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. Namun, penyediaan dan
pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol
susu yang bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di
Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan. Selain itu, keterbatasan
kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya
norma sosial tertentu di masyarakat mengharuskan ibu menyusui bayinya.
Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya diberikan
ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding usus
bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding
usus, sehingga mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke

31
peredaran darah. Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan informasi dan
edukasi untuk membantu mereka membuat keputusan apakah ingin
memberikan ASI eksklusif atau susu formula kepada bayinya. Mereka butuh
bantuan untuk menilai dan menimbang risiko penularan HIV ke bayinya.
Mereka butuh dukungan agar merasa percaya diri dengan keputusannya dan
dibimbing bagaimana memberi makanan ke bayinya seaman mungkin. Agar
mampu melakukan hal itu, tenaga kesehatan perlu dibekali pelatihan tentang
informasi dasar HIV dan pemberian makanan untuk bayi.

Rekomendasi untuk pemberian informasi dan edukasi, baik tentang


pemberian makanan bayi dalam Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
maupun pemeliharaan kesehatan anak secara umum adalah sebagai berikut:

a. Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan


keputusannya untuk menyusui atau memberikan susu formula. Dengan
adanya komunikasi dengan si ibu, petugas dapat menggali informasi
kondisi rumah ibu dan situasi keluarganya, sehingga bisa membantu ibu
untuk menentukan pilihan pemberian makanan pada bayi yang paling tepat.
b. Petugas harus memberikan penjelasan tentang manfaat dan risiko menyusui
untuk kelangsungan hidup bayi/anak, serta pentingnya terapi ART sebagai
kunci upaya mencegah penularan HIV dari ibu ke anaknya. Bayi yang
diberi ASI dari ibu yang sudah dalam terapi ARV dan minum obatnya
secara teratur, memiliki risiko sangat kecil untuk menularkan HIV, karena
jumlah virus dalam tubuhnya jauh berkurang. Pemberian susu pengganti
ASI yang tidak higienis berpotensi menimbulkan penyakit infeksi lain yang
mungkin mengancam kelangsungan hidup bayi.
c. Petugas harus dapat mendemonstrasikan bagaimana praktek pemberian
makanan pada bayi yang dipilih dan memberikan brosur atau materi KIE
yang bisa dibawa pulang.
d. Petugas perlu memberikan konseling dan dukungan lanjutan.

32
e. Saat kunjungan pasca persalinan, petugas kesehatan dapat melakukan:
1) Monitoring pengobatan ARV ibu dan profilaksis ARV bayi;
2) Monitoring tumbuh kembang bayi;
3) Memberikan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal imunisasi dasar,
kecuali bila ada tanda-tanda infeksi oportunistik;
4) Memberikan obat kotrimoksazol pada bayi untuk mencegah timbulnya
infeksi lain mulai pada usia 6 minggu;
5) Memeriksa tanda-tanda infeksi termasuk infeksi oportunistik;
6) Memeriksa praktik pemberian makanan pada bayi dan apakah ada
perubahan yang diinginkan;
7) Mendiskusikan pemberian makanan selanjutnya setelah ASI
8) untuk bayi usia 6 – 12 bulan.

Pengalihan nutrisi bayi berdasarkan rekomendasi WHO dan UNICEF

a. Ibu tidak HIV atau Status HIV tidak diketahui, maka nutrisi bayi
direkomendasikan adalah :
1) ASI eksklusif untuk 6 bulan pertama
2) Makanan padat yang aman, sesuai dan ASI diteruskan sampai anak
berusia 2 tahun.
b. Ibu yang HIV positif, maka nutrisi bayi yang direkomendasikan adalah :
1) Pengganti ASI yang memutus syarat AFFAS
2) Bila syarat AFASS tidak terpenuhi, maka ASI eksklusif yang jangka
pemberiannya singkat dapat diberikan pada bayi.

18. Bagaiamana asuhan pada bayi dari ibu HIV? Bagaimana Tes Diagnostik untuk
Infeksi HIV pada Bayi?
Diagnosis HIV pada bayi
Beberapa pemeriksaan diagnostic yang bisa dilakukan untuk mendeteksi HIV
yaitu :

33
a. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbeni Assay)
Bertujan untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV. Tes ELISA ini
sangat sensitive tetapi tidak selalu spesifik. Maka, bila perlu dilakukan
konfirmasi hasilELISA dengan Western Blot Test.
b. Western Blot (WB) Test
Merupakan elektroforesis gel poliakrilamid bertujuan untuk mendeteksi
rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Hasil dianggap negative bila
tidak ditemukan rantai protein. Hasil dianggap positif bila ditemukan
hamper semua rantai protein, dan dapat mengkonfirmasi hasil ELISA
realitif yang berulang ulang.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction) atau reaksi berantai polymerase.
Merupakan tes yang mempunyai periode tunggu yang lebih pendek dan
lebih siap tersedia daripada tes lainnya. Bertujuan untuk mendeteksi DNA
dan RNA virus HIV, sangat sensitive dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes
ini sering digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes lain jika tidak jelas.

Agak sulit untuk diagnosis HIV pada bayi yang dilakukan oleh ibu
HIV positif, karena antibody ibu dapat dideteksi pada anak usia 18 bulan.
Maka, apabila dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan
dengan menggunakan pemeriksaan ELISA dan Western Blot hasilnya juga
akan positif pada bayi.

Untuk itu, CDC (Comunicable Desease Control) merekomendasikan


pemeriksaan PCR untuk diagnosis pada bayi karena tes ini paling spesifik
untuk mengidintifikasi HIV dengan mendeteksi DNA HIV. Caranya sampel
darah bayi diambil untuk tes DNA CPR pada 2 saat yang berbeda.

a. Saat bayi berusia 1 bulan (biasanya kurang sensitif)


b. Diulangi lagi saat bayi berusia 4 bulan. Bila hasil tes negative, berarti bayi
tidak terinfeksi HIV (dengan syarat bayi tidak diberi ASI). Jika bayi diberi

34
ASI, maka PCR perlu diulang setelah bayi disapih, karena beresiko
menularkan HIV.
c. Saat bayi berusaha 18 bulan, bila perlu dilakukan pemeriksaan ELISA bila
tidak ada pemeriksaan lainnya (karena untuk beberapa bayi, antibodi dari
ibu masih dapat terdeteksi hingga bayi berusia 18 bulan).

19. Selain HIV, anak pertama pasien diketahui menderta sifilis kongenital, apa
yang anda ketahui tentang sifilis? Apa penyebabnya? Bagaimana tanda dan
gejala klinis dari sifilis?
a. Pengertian sifilis
Sifilis disebabkan oleh bakteri Troponema pallidum yang merupakan
organisme spiral (spirochaete), dan biasanya ditularkan melalui kontak
seksual dan secara konginetal. Sifilis merupakan penyakit sistemik
kompleks yang dapat menyerang semua organ tubuh.
b. Tanda Gejala dan Tahap Sifilis
1) Stadium Primer
a) Tampak luka tunggal pada kemaluan dan tidak nyeri
b) 9-90 hari setelah terpapar (rata-rata 21 hari)
2) Stadium sekunder
a) Terdapat bintil atau bercak merah di kulit atau mukosa
b) Kelenjar limfa regional membesar tanpa tanda radang
(limfadenopati)
c) 6 minggu-6 bulan setelah terpapar (4-8 minggu setelah lesi primer)
3) Masa laten (awal)
a) Tanpa gejala atau kelainan klinis tapi serologi positif
b) 2 tahun setelah paparan
4) Stadium lanjut
a) Kelainan jantung, saraf, kulit dan pembuluh darah

35
b) Lebihdari samadengan 2 tahun setelah paparan
c) Neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, sifilis gumatosa 3-20 tahun
setelah paparan.

20. Pemeriksaan apa yang dapat bidan lakukan untuk deteksi sifilis, dan
pemeriksaan apa yang dapat menunjang untuk diagnosa pasti infeksi sifilis?
Deteksi dini yang dapat dilakukan oleh bidan dapat dilihat dari tanda
dan gejala sifilis seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk menunjang
diagnosa dilakukan beberapa test serologis berikut:
a. VDRL (Veneral Disease Research Laboratory)
b. RPR (rapid plasma reagin test)
c. TPHA (Treponema pallidum haemagglutination assay)
d. TPPA (Treponema pallidum particle agglutination assay)
e. FTA-abs (Fluorescent treponemal antibody absorption test)
f. EIA treponema
Jika hasil pemeriksaan klinis dicurigai terjadi sifilis, pemeriksaan
mikroskopik area gelap atau pengambilan specimen lesi untuk antibody
fluoresens harus dilakukan.

21. A. Bagaimana anak pasien dapat menderita sifilis kongenital?


Infeksi sifilis biasanya ditularkan oleh ibu kepada janin di dalam
kandungannya. Infeksi sifilis biasanya tidak terjadi sebelum kehamilan
berusia 4 bulan karena treponema dari sirkulasi maternal tidak dapat
menembus lapisan sel Langhan yang terdapat pada plasenta di awal
kehamilan. Setelah lapisan ini mengalami atrofi, janin terpajan resiko pertama
infeksi.
B. Apa saja efek sifilis terhadap janin dan BBL?
1) Kelahiran premature

36
2) Kematian janin (IUFD)
3) Kematian neonatus
4) Morbiditas bayi yang signifikan
5) Kelainan kongenital

22. Bagaimana efek sifilis terhadap ibu hamil? Bagaimana cara penularannya? Apa
saja yang menjadi faktor risiko terjadinya sifilis? Bagaimana pengaruh
perubahan imunologi dalam kehamilan terhadap beratnya penyakit sifilis?
Efek sifilis terhadap ibu hamil: Aborsi spontan
Cara penularannya:
a. Melalui kontak seksual
b. Secara kongenital
Faktor risiko yang berkaitan dengan sifilis:

a. Penyalahgunaan zat terlarang terutama crack cocaine


b. Pelacuran dan berganti pasangan
c. Tidak adanya perawatan prenatal
d. Usia muda
e. Status sosio ekonomi lemah

23. Pengaruh perubahan imunologi dalam kehamilan terhadap beratnya penyakit


sifilis
Selama kehamilan terjadi supresi imunokompetensi ibu yang dapat
mempengaruhi terjadinya berbagai penyakit infeksi. Supresi system imun akan
semakin meningkat seiring berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi
perjalanan penyakit infeksi genital. Transmisi treponema dari ibu ke janin
umumnya terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira-kira sekitar umur

37
kehamilan 16 minggu. Bila sifilis primer atau sekunder ditemukan pada
kehamilan lebih dari 16 minggu timbulnya sifilis kongenital lebih
memungkinkan.

24. Bagaimana terapi sifilis pada ibu hamil? Apakah ibu boleh menyusui bayinya?
Bagaimana cara bersalin yang terbaik untuk pasien yang menderita sifilis?
Bagaimana efek sifilis dalam masa nifas?
Rekomendasi terapi sifilis pada ibu hamil menurut CDC guidelines :

a. Sifilis Dini (Early Syphilis)a


Benthazine penisillin G. 2,4 juta unit injeksi IM
b. Sifilis dengan durasi lebih dari 1 tahunb
Benthazine pnisilin G 2,4 juta unit IM setiap minggu untuk 3 dosis
c. Neurosifilsi
Penilisin kristal yang dicairkan G 2-4 juta unit IV setiap 4 jam selama 10
hari diikuti dengan benthazine penisilin G 2,4 juta unit IM setiap minggu
untuk 3 dosis
Prokain penisilin yang dicairkan G 2,4 juta unit IM setiap hari ditamba
dengan probenecid 500 mg secara oral 4 kali sehari, keduanya selama 10
hari diikuti dengan benthazine penisilin g 2.4 juta unit IM setiap minggu
untuk 3 dosis
Benthazine penisilin G 2,4 juta unit IM setiap minggu untuk 3 dosis
Keterangan :
a
Untuk sifilis primer, sekunder, dan sifilis laten yang kurang dari 1 taun
b
Untuk sifilis laten yang tidak diketaui sejak kapan atau lebi dari 1 tahun

Pengobatan sifilis untuk ibu hamil yang alergi penisilin


Skin test dilakukan untuk mengetahui apakah ibu alergi terhadap penisilin.
Terapi yang lain yaitu :
Direkomendasikan untuk Sifilis dini (early syphilis) :

38
1. Ethromycin 500 mg secara oral 4 kali sehari setiap hari selama 15 hari
2. Tetrasiklin HCl 500 mg secara oral 4 kali sehari selama 15 hari

Jadi terapi utama pada ibu hamil dengan sifiilis yaitu dengan betazhine
penisilin G. Namun untuk pasien yang alergi dengan alergi penisilin lain
biasanya diikuti dengan alternative lain yaitu erythromycin atau terapi
tetrasiklin. (Sumber : Lirray.1989.Infections in Pregnancy.Way-Liss : )

Apakah ibu dengan sifilis bisa menyusui?


Menyusui tidak menularkan sifilis kecuali ibu memiliki luka ifeksius pada
payudaranya, sehingga ibu dengan sifilis tetap bisa memberikan ASI
Eksklusif atau menyusui bayinya. (Sumber : Journal of Commuicable
Disease Control Unit)
Bagaimana cara persalinan yang baik pada ibu dengan Sifilis?
Sifilis dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya :

a. Komplikasi Pada Janin Dan Bayi


Dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus dan partus
premature (Jarisch–Herxheimer effects). Bayi dengan sifilis kongenital
memiliki kelainan pada tulang, gigi, penglihatan, pendengaran,
gangguan mental dan tumbuh kembang anak
b. Komplikasi Terhadap Ibu
1) Menyebabkan kerusakan berat pada otak dan jantung
2) Kehamilan dapat menimbulkan kelainan dan plasenta lebih besar,
pucat, keabu-abuan dan licin
3) Kehamilan <16 minggu dapat menyebabkan kematian janin
4) Kehamilan lanjut dapat menyebabkan kelahiran prematur dan
menimbulkan cacat.
Jika dilihat dari komplikasi tersebut, maka sebaiknya ibu melahirkan di
Rumah Sakit.

39
Apa pengaruh sifilis pada masa nifas?
Salah satu ciri dari penyakit sifilis terutama pada fase pimer yaitu
adanya lesi atau luka, apabila luka tersebut timbul pada payudara, maka
ibu tersebut tidak bisa menyusui bayinya.

25. Buatlah laporan asuhan kebidanan antenatal pada kasus ini (menggunakan
pendokumentasian SOAP)!

DOKUMENTASI
ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU HAMIL TRIMESTER II
Nama pengkaji : kelompol 2
Hari / Tanggal : Selasa / 15 April 2014
Waktu Pengkajian : 14.00
Tempat Pengkajian : BPM Bidan X

A. Data Subjektif
1. Identitas

Klien Suami
Nama Ny. Binta Tn. Dedi
Usia 32 tahun 35 tahun
Agama Islam Islam
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Tidak bekerja Wiraswatsa
Suku Bangsa Sunda Sunda
Golongan Darah A O
Alamat Jl. Banteng no.85 RT 02 Jl. Banteng no.85 RT 02 RW
RW 03 03
Nomor HP 08562273368 085721755095

40
2. Alasan Berkunjung
Ibu ingin memeriksakan kehamilannya

3. Riwayat Obstetri Sekarang


a. HPHT : 15 – 10 - 2014
b. TP : 22 – 7 - 2014
c. Gerakan Janin : masih terasa
d. Tanda Bahaya : Ibu tidak pernah merasa adanya perdarahan dari jalan
lahir, nyeri kepala, gerakan janin yang berkurang, bengkak pada muka
dan tangan, nyeri perut yang sangat hebat, demam dan gangguan
penglihatan.
e. Obat – Obatan yang dikonsumsi : Tablet tambah darah, tablet kalsium
f. Kekhawatiran khusus :
4. Riwayat Obstetri Lalu :
An Tah Kehamilan Persalinan Bayi Nifas
ak un La F T Penolo Temp Cara H/ BB/ J Vit. ASI
ke ma e T ng at M TB K A Eksklu
sif
1 200 9 √ √ Bidan BPM norm H 3 kg/ P √ -
9 bula al 48
n cm

5. Riwayat Kesehatan
Ibu memiliki riwayat penyakit sifilis , Ibu juga adalah seorang penderita
HIV positif
Status Imunisasi : TT 2
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Riwayat Pernikahan : Ya, menikah pertama kali selama 8 tahun

41
b. Dukungan keluarga terhadap kehamilan : baik
c. Pengambil keputusan : suami
d. Gaya Hidup : Suami klien perokok

7. Aktivitas Sehari – Hari


a. Pola makan
1) Jenis : Nasi, sayur, tempe, tahu
2) Frekuensi : 3x / hari
3) Porsi : Sedang
b. Pola Minum
1) Jenis : air mineral
2) Frekuensi : 5 gelas / hari
c. Pola Eliminasi
1) BAK : 3-4 x / hari
2) BAB : 1 kali sehari
d. Pola istirahat : ibu tidur malam selama 8 jam / hari
e. Beban Kerja :
Ibu di rumah bekera mengurus anak, mencuci, mengepel, memasak,
dan melakukan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.

B. Data Objektif
1. Keadaan Umum :
a. Cara berjalan dan pergerakan tubuh : Normal
b. Kesadaran : Compok mentis
2. Tanda – Tanda Vital
a. Tekanan Darah :120/80 mmHg
b. Suhu : 36,7oC
c. Nadi : 76 x / menit
d. Respirasi : 20 x / menit

42
3. Pemeriksaaan Fisik
a. Kepala
1) Wajah
a) Warna kulit : Coklat rata
b) Edema pada wajah : Tidak ada
2) Mata
a) Sklera : Putih
b) Konjungtiva : merah muda
c) Penglihatan : normal
3) Hidung
a) Kebersihan : bersih
b) Pengeluaran : tidak ada
4) Telinga
a) Kebersihan : bersih
b) Pengeluaran : tidak ada
5) Mulut
a) Kebersihan : bersih
b) Warna bibir dan gusi : merah muda

b. Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe


c. Dada
1) Kesimetrisan : Simetris
2) Payudara : Bersih, simetris, tidak ada dimpling, puting menonjol,
tidak ada massa / benjolan abnormal
d. Ektremitas
1) Ekstremitas Atas
a) Kesimetrisan : simetris
b) Warna ujung kuku : merah muda
c) Edema : Tidak ada

43
2) Ekstremitas Bawah
a) Kesimetrisan : simetris
b) Varices : -/-
c) Edema : -/-
d) Refleks Patella : +/+
4. Pemeriksaan Obstetri
1) Luka bekas operasi : tidak ada
2) TFU : 25 cm
3) Palpasi
Leopold I : Teraba bulat, lunak, tidak melenting
Leopold II : di bagian kanan teraba tahanan memanjang, di bagian
kiri teraba bagian – bagian kecil
Leopold III : teraba keras. Bulat, melenting, masih bisa digoyang
4) DJJ : 130 x / menit

C. Analisa
G2P1A0 gravida 26 minggu janin hidup intrauterin dengan IMS
Diagnosa potensial :
1) BBLR
2) Partus Prematurus
D. Penatalaksanaan
1) Memberitahu ibu hasil pemeriksaan bahwa usia kehamilan ibu adalah 26
minggu
E : ibu mengetahui
2) Memberitahu ibu bahwa pada usia kehamilan ibu 28 minggu ibu
sebaiknya melakukan tes sifilis kembali untuk mengetahui apakah benar
ibu telah mendapat pengobatan hingga beres atau tidak
E : ibu mau memeriksakan dirinya

44
3) Memberitahu ibu bahwa HIV yang diderita ibu bisa menular kepada bayi
dan risikonya paling besar teradi pada saat proses persalinan
E : Ibu mengetahui
4) Memberitahu ibu bahwa risiko penularan terhadap bayi apabila bersalin
secara normal adalah 50 – 70%
E : Ibu mengetahui
5) Mendiskusikan dengan ibu mengenai rencana persalinannya dan
memberitahu betapa pentingnya pelayanan persalinan yang baik agar HIV
ibu tidak ditularkan terhadap bayi, jadi sebaiknya ibu besalin di Rumah
Sakit melalui operasi caesar
E : Ibu setuju dan akan membicarakan dengan suaminya
6) Berkolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat ARV kepada ibu
E : Kolaborasi akan segera dilakukan
7) Memberitahu ibu untuk memperbanyak makan, minum, dan istirahat
karena ibu harus menjaga kondisinya tetap baik
E : Ibu mengerti
8) Menjadwalkan kunjungan ulang
E : Ibu bersedia datang

45
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI.2008. Kesehatan Reproduksi tersedia di


www.gizikia.depkes.go.id.Jakarta)
Djajadilaga, dkk.. 2007. Langkah-langkah Praktis Paket Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Esensial di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta : Pusat
Kesehatan Reproduksi FKUI

Fraser, Diane. 2009. Myles : Buku Ajar Kebidana. Jakarta : EGC

Fraser, Diane. 2009. Myles : Buku Ajar Kebidana. Jakarta : EGC

Kementrian Kesehatan RI.2011.Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke


Anak tersedia di www.aidsindonesia.or.id. Jakarta.
Maryunani, Anik. 2009. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi. Jakarta :
Trans Info Media

Maryunani, Anik. 2009. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi. Jakarta :
Trans Info Media

Nursalam dan Kurniawati, Ninuk Dian.2007.Asuhan Keperawatan pada Pasien


Terinfeksi HIV/AIDS.Jakarta: Salemba Medika.
PB Ikatan Dokter Indonesia dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia.2011.
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tersedia di
www.aidsindonesia.or.id.Kementrian Kesehatan RI: Jakarta
Permenkes RI Nomor 51 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV
Dari Ibu Ke Anak .

46

Anda mungkin juga menyukai