Anda di halaman 1dari 3

Lahir Affandi Koesoema

Monumen Museum Affandi

 Guru
Pekerjaan
 Tukang sobek karcis
 Artisan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di
Bandung.
 Komisi Perikemanusiaan, Konstituante.
Organisasi  Kelompok Lima Bandung.
 Lembaga Kebudayaan Rakyat.
 Poesat Tenaga Rakjat, Seksi Kebudayaan Poetera.
 Anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia, Komite Pusat Diplomatic
Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia.
 Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni
Indonesia), Yogyakarta, 1986.
Dikenal atas Pelukis ekspresionisme atau abstrak
Suami/istri Maryati (istri pertama)
Rubiyem (istri kedua)
Anak Kartika Affandi
Juki Affandi
Orang tua Raden Koesoema
Kerabat Helfy Dirix (cucu)
Penghargaan  Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969.
 Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, 1974.
 Dag Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997).
 Bintang Jasa Utama, tahun 1978.
 Julukan Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International
Herald Tribune.
 Gelar Grand Maestro di Florence, Italia.
BIOGRAFI
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di
pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki
pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh
pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya
diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam
kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka
bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor.
Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya
sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang
sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung.
Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima
pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi
yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup
besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli
Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan
kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera
Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat
Serangkai—yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara,
dan Kyai Haji Mas Mansyur—memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat)
untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga
pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan
dengan Bung Karno.

Poster propaganda Boeng, ajo, Boeng! karya Affandi, 1945


Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong
kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari
penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni1945. Saat itulah, Affandi mendapat
tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang
dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata
yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar.
Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis
di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba
di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan
melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan
pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKIuntuk
mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti
Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi
cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk
komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat
Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan
dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang
masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi
mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni
Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar.
Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika,
diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS
Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang
pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada
yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara
Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini
mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola,
biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu
menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun
begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya
dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu
tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi
tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus
kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai