Anda di halaman 1dari 52

MANAJEMEN NYERI

MAKALAH

Diajukan kepada Hippocrates Emergency Team


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Anggota Khusus

Oleh :

ZAKIYA ZULVIYANDA

HET 17-XXVIII-417

HIPPOCRATES EMERGENCY TEAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2018
MANAJEMEN NYERI

MAKALAH

Oleh :

ZAKIYA ZULVIYANDA
HET 17-XXVIII-417
Telah disetujui oleh pembimbing makalah Hippocrates
Emergency Team BEM KM Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas

Pembimbing Makalah
Nama Jabatan Tanda Tangan
Sakinah Shadrina, Pembimbing I
S.Ked
HET 13-XXIV-372
Prara Miftah Rahmi, Pembimbing II
S.Ked
HET 14-XXV-377

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand I


MANAJEMEN NYERI

MAKALAH

Oleh :
ZAKIYA ZULVIYANDA
HET 17-XXVIII-417

Telah dipertahankan di depan penguji makalah


Hippocrates Emergency Team BEM KM Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas

Penguji Makalah
Nama Jabatan Tanda Tangan
dr. Dedy Kurnia, Sp. An Penguji I
HET 05-XVI-236 LB
dr. Richard Santosa Penguji II
HET 09-XX-302 LB

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand II


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Manajemen

Nyeri”. Salawat beserta salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang

penuh dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat seperti saat ini. Makalah ini

diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar anggota

khusus pada Hippocrates Emergency Team Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Keberhasilan dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari peran serta

berbagai pihak, baik itu bantuan, bimbingan, maupun semangat yang tidak henti-

hentinya diberikan kepada penulis. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan untuk

menyelesaikan makalah ini dan tidak lupa kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW.

2. Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada

penulis.

3. Kakanda dr. Dedy Kurnia,Sp.An dan dr. Richard Santosa sebagai penguji

yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi

kesempurnaan makalah ini.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand III


4. Kakanda Sakinah Shadrina, S.Ked dan Prara Miftah Rahmi, S.Ked sebagai

pembimbing yang selalu memberikan masukan serta meluangkan waktunya

untuk membatu kelancaran penulisan makalah ini.

5. Ketua HET Luqmanul Hakim dan ketua Ketua Pantia Pengondisian Khusus

Raihan Zata Amani Winata beserta seluruh panitia pengondisian Khusus

angkatan XXVIII yang telah mengangkatkan acara ini serta kesabaran dalam

menghadapi setiap masalah maupun kendala yang timbul selama acara

berlangsung.

6. Rekan-rekan seperjuangan saat suka dan duka angkatan XXVIII tercinta atas

persahabatan, semangat, dukungan serta perjuangan yang akan tetap saling

menguatkan.

7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan, bimbingan,saran, dan doa ataupun semua amal

kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan pahala dan rahmat

dari Allah SWT. Dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, penulis

menyadari sepenuhnya makalah ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu, kritik

dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap

semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kemajuan HET kedepannya.

Zakiya Zulviyanda ( HET 17-XXVIII-417)

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand IV


DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. III

Daftar Isi ............................................................................................................. V

Daftar Tabel ....................................................................................................... VII

Daftar Gambar .................................................................................................. VIII

BAB 1. Pendahuluan ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang

1.2 Batasan Masalah............................................................................... 1

1.3 Tujuan............................................................................................... 1

1.3.1 Tujuan Umum................................................................. 1

1.3.2 Tujuan Khusus............................................................... 2

1.4 Manfaat............................................................................................ 2

BAB 2. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 3

2.1 Definisi............................................................................................ 3

2.2 Klasifikasi.………………………………………………………… 3

2.3 Mekanisme Nyeri………............................................................…. 8

2.4 Respon tubuh terhadap Nyeri…..….......................................…..... 12

2.5 Penilaian Nyeri.……………............................................................. 15

2.6 Tatalaksana.................................……................................................ 22

2.6.1 Farmakologi…………….……………………………… 22

2.6.2 Non Farmakologi………………..……………………… 37

BAB 3 Penutup.............................................................................................. …. 40

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand V


3.1 Kesimpulan...............................................................................…40

3.2 Saran.......................................................................................….. 40

Lampiran Algoritma Penatalaksanaan Manajemen Nyeri...........................… 41

Daftar Pustaka...........................................................................................…... 42

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand VI


Daftar Tabel

Tabel 1 Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik

Tabel 2 FLACC Pain Scale

Tabel 3 Behavioral pain score (BPS) dengan ventilator

Tabel 4 Behavioral pain score (BPS) tanpa ventilator

Tabel 5 Colorado Behavioral Numerical Pain Scale

Tabel 6 Neonatal Infant Pain Scale

Tabel 7 Beberapa contoh obat analgesik non-oioid

Tabel 8 Klasifikasi reseptor opioid

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand VII


Daftar Gambar

Gambar 1 Mekanisme nyeri nosiseptif

Gambar 2 Mekanisme nyeri neurogenik

Gambar 3 Mekanisme nyeri psikogenik

Gambar 4 Mekanisme nyeri

Gambar 5 Respon tubuh terhadap nyeri

Gambar 6 Numeric pain intensity scale

Gambar 7 Visual analog scale

Gambar 8 Wong Baker Pain Scale

Gambar 9 Three Step Analgesic Ladder WHO

Gambar 10 Mekanisme kerja obat analgesik

Gambar 11 Mekanisme kerja OAINS

Gambar 12 Konsep tentang COX-1 dan COX-2

Gambar 13 Efek samping dari OAINS

Gambar 14 Mekanisme kerja opioid

Gambar 15 Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand VIII


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut International Association for The Study of Pain [IASP], dalam
Lewis, et al., 2011,Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial,
atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.1
Ada dua jenis nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan, yang pertama nyeri
akut dan yang kedua nyeri kronis. Nyeri akut biasanya berlangsung selama berjam-
jam, hari atau minggu, nyeri kronis biasanya nyeri yang dirasakan lebih dari enam
bulan. Pola nyeri ada yang timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari
nyeri lalu nyeri timbul kembali. Adapun pola nyeri kronis yang terus menerus teras
makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.
Misalnya saja, nyeri pada penyakit kronis pada pederita diabetes, penderita akan
mengalami nyeri, jika kondisi memburuk hal ini akan berlangsung lama dan bertahan
berbulan-bulan, bertahun-tahun bahkan seumur hidup, akan diperparah jika penderita
mengalami cidera.2
Di Amerika Serikat, 23,3 juta setiap tahunnya melakukan prosedur bedah dan
sebagian besar mengakibatkan adanya rasa nyeri. Nyeri pada penderita penderita
kangker juga mengalami peningkatan signifikan, sebuah studi menunjukkan bahwa
sebanyak 30% hingga 40% dari penderita kanker didiagnosis mengalami nyeri,
sementara 70%-80% dari pasien kanker menjalani terapi seumur hidupnya karena
rasa nyeri yang tiada henti.1
1.2 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulisan makalah ini dibatasi
pada“penatalaksanaan manajemen nyeri”
1.3 Tujuan
1.3.1 Umum
Mengetahui penatalaksanaan manajemen nyeri
1.3.2 Khusus

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 1


1. Mengetahui dan memahami definisi manajemen nyeri
2. Mengetahui dan memahami klasifikasi manajemen nyeri
3. Mengetahui dan memahami mekanisme nyeri
4. Mengetahui dan memahami respon tubuh terhadap nyeri
5. Mengetahui dan memahami penilaian nyeri
6. Mengetahui dan memahami manajemen nyeri
7. Mengetahui dan memahami tatalaksanamanajemen nyeri
1.4 Manfaat Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan klinis
dari penulis dan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
anggota khusus pada Hippocrates Emergency Team Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 2


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979,
nyeri didefinisikan sebagai suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Berdasarkan batasan
tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu:1,2
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,
berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.1,2
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini
disebut sebagai nyeri kronis.1,2

2.2 Klasifikasi
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Menurut Jenisnya
a) Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf
sensoris dan simpatik.3,4

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 3


Gambar 1. Mekanisme nyeri nosiseptif6
b) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat
saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf
perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk
dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada
perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinyaallodynia. Hal ini
mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained
pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini
sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.3,4

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 4


Gambar 2. Mekanisme nyeri neurogenik6
c) Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.3,4

Gambar 3. Mekanisme nyeri psikogenik6


2. Menurut timbulnya nyeri
a. Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari
berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya
intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri
akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera
menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah.5
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker
yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena
gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian.
Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien
yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang
sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 5


ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan
pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan
fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat
klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis.
Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak
aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke
hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker.5
Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai > 3 bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai peningkatan BP, nadi, dan - Fungsi fisiologi bersifat normal
respirasi
-Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi - Kausanya mungkin jelas mungkin
secara biologis tidak
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, - Tidak ada keluhan nyeri, depresi
menangis dan mengerang, cemas dan kelelahan
- Tingkah laku menggosok bagian - Tidak ada aktifitas fisik sebagai
yang nyeri respon terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik : - Respon terhadap analgesik : sering
meredakan nyeri secara efektif kurang meredakan nyeri

Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik5


3. Menurut penyebabnya
a. Nyeri kanker
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen
nyeri akut, intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada
tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor,
penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau
infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 6


yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan tindakan bedah, kemoterapi, dan
radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi kulit, dan
nyeri lain yang berakitan.6
b. Nyeri non kanker
Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu
nyeri neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat
idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas
saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda waktu
tertentu. Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri
yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-
muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan
sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan,
seperti disobek/robek, atau kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis
adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri
pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang
telah diamputasi).6
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau
jaringan ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik.
Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik yang umum adalah nyeri yang
berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis (penyakit
jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot)
dan dermatitis dan juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian
misalnya arthritis.6
4. Menurut derajat nyeri6
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-
hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu
yang hanya hilang bila penderita tidur.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 7


c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari,
penderita tidak dapat tidur dansering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.
5. Menurut sumber nyeri6
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi
menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih
viseral dan nyeri alih parietal.

2.3 Mekanisme Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian


tubuh yaitu pada kulit(Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah
viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki
sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri
yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 8


1. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/detik) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan. Serabut A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding
dengan serabut C.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5-5 m/detik) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang secara koolektif disebut
sebagai nosiseptif (nociception). Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses,
antara lain:6,7
1. Transduksi
Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain
akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C.
Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam
pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah
serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari
perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis.
Sel-sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 9


nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls
nyeri tadi oleh serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel
neuron yang berada di kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron
yang berada di kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu
antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis
dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron
di kornu anterior medula spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot
skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis
medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan
sensibel nyeri.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 10


Gambar 4. Mekanisme nyeri6
a. Sistem Inhibisi Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat
terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medula spinalis. Ini
dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa
mekanisme, seperti:2
1. Stimulasi serabut aferen yang mempunyai diameter besar
Stimulasi serabut aferen ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi
interneuron inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serabut A betha
atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2. Serabut inhibisi desendens
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 11


Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan, ketiga
lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini.
PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan
mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh
endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara
eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor, zat
ini dibawa ke medula spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di
substansia gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medula
spinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan
sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia
gelatinosa.

2.4 Respon Tubuh Terhadap Nyeri

Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh. Impuls

nyeri oleh serabut aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu

dorsalis medula spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral

dan kornu anterior medula spinalis.1

Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri
melalui serabut saraf aferen diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medula spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel di kornu anterolateral dan
kornu anterior medula spinalis memberikan respon segmental seperti

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 12


peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan
aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi
abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi
respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi
yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis
pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.7,8
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan
mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem
simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan
memberikan efek pada tubuh seperti:
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental,
dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya
peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini
menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien
dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume
tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya
atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi
hipoventilasi.
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi,
hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa
peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon
(ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi
dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang
normal, cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan
fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih
memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 13


oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia
myocardial.
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan
motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung
akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus,
potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah,
dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume
paru dan pulmonary dysfunction.
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
e. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen
meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon
katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan
penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar
katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas
insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula
darah meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu
peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan
menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan
ekstraseluler.
f. Sistem hematologi

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 14


Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati.
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien
beresiko menjadi mudah terinfeksi.
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
i. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom
berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi
cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol
menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.

Gambar 5. Respon tubuh terhadap nyeri9

2.5 Penilaian Intensitas Nyeri

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 15


Terdapat beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain:1,3,10
Self reported
Self reported berarti pasien memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan
sendiri rasa sakitnya. Beberapa metode yang digunakan antara lain:
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada.
Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat
pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi
beberapa kategori nyeri yaitu:
 Tidak nyeri (none)
 Nyeri ringan (mild)
 Nyeri sedang (moderate)
 Nyeri berat (severe)
 Nyeri sangat berat (very severe)
2. Numerical Rating Scale (NRSs)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri
sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 16


Gambar 6. Numeric pain intensity scale3
3. Visual Analogue Scale (VASs)
Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan
keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka
pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan
menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan
intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan
dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan
pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien
sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 7. Visual analog scale3


4. McGill Pain Questionnare (MPQ)
Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri
yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara
lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan
merangking dari ”0” sampai ”3”.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 17


Non-self reported
Non-self reported biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi
verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat
sedasi dan di dalam mesin ventilator.3,10,11
1. Wong-Baker Faces Pain Scale
Metode ini digunakan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya
untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak dengan kesulitan atau
keterbatasan verbal.

Gambar 8. Wong Baker Pain Scale3


2. Skala FLACC
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7
tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi
nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10.
SKORING
KATEGORI
0 1 2
Face Tidak ada Kadang meringis atau Sering cemberut
(Wajah) ekspresi mengerutkan kening, konstan, rahang
tertentu atau menarik diri, tidak terkatup, dagu bergetar,
senyum, tertarik, wajah terlihat kerutan yang dalam di
kontak mata cemas, alis diturunkan, dahi, mata tertutup,
dan bunga di mata sebagian tertutup, mulut terbuka, garis
lingkungan pipi terangkat, mulut yang dalam di sekitar

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 18


mengerucut hidung/bibir
Leg (Kaki) Posisi normal Tidak nyaman, gelisah, Menendang atau kaki
atau santai tegang, tonus disusun, hipertonisitas
meningkat, kaku, fleksi/ekstensi anggota
fleksi/ekstensi anggota badan secara
badan intermiten berlebihan, tremor

Activity Berbaring Menggeliat, menggeser Melengkung, kaku,


(Aktivitas) dengan tenang, maju mundur, tegang, atau menyentak, posisi
posisi normal, ragu-ragu untuk tetap, goyang, gerakan
bergerak bergerak, menjaga, kepala dari sisi ke sisi,
dengan mudah tekanan pada bagian menggosok bagian
dan bebas tubuh tubuh
Cry Tidak ada Erangan atau rengekan, Terus-menerus
(Menangis) teriakan / sesekali menangis, menangis, menjerit,
erangan mendesah, sesekali isak tangis, mengerang,
(terjaga atau mengeluh menggeram, sering
tertidur) mengeluh
Consolability Tenang, santai, Perlu keyakinan dengan Sulit untuk dibujuk
tidak sesekali menyentuh, atau dibuat nyaman
memerlukan memeluk, atau
hiburan ‘berbicara’. Perhatian
mudah beralih
Tabel 2. FLACC Pain Scale11
3. Behavioral Pain Scale
Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada
pasien dewasa yang tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan
oleh Payen pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien
yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi.
BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur
yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala
ini sudah divalidasi. BPS terbagi menjadi 2 jenis, yaitu BPS dengan ventilator
dan BPS tanpa ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon)
hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 19


12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan
sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain).
KATEGORI PENILAIAN SKOR
Ekspresi wajah Tenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis) 2
Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan 3
kelopak mata)
Meringis 4
Anggota badan Tidak ada pergerakkan 1
sebelah atas Sebagian ditekuk 2
Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Kepatuhan Pergerakkan yang dapat ditoleransi 1
dengan ventilasi Batuk dengan pergerakkan 2
Melawan ventilator 3
Tidak dapat mengontrol ventilasi 4
Tabel 3. Behavioral pain score (BPS) dengan ventilator11

KATEGORI PENILAIAN SKOR


Ekspresi wajahTenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis) 2
Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan 3
kelopak mata)
Meringis 4
Anggota badan Tidak ada pergerakkan 1
sebelah atas Sebagian ditekuk 2
Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Vokalisasi Kurangnya vokalisasi 1
Mendengus kecil, sering, dan tidak 2
memperpanjang
Mendengus sering atau memperpanjang 3
Berteriak atau keluhan lisan 4
Tabel 4. Behavioral pain score (BPS) tanpa ventilator11

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 20


4. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)
CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai
nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna,
baik endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala
yang lebih mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal. Skala CBNPS
dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri
oleh Agency of Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku
yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan
nyeri. Pada penelitian, Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam
numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.

Tabel 5. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale11

5. Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)


Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
PENGKAJIAN NYERI
Ekspresi Wajah
0 – Otot-otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral
1 – Meringis Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan rahang tegang
(ekspresi wajah (-) – hidung, mulut dan alis)
Menangis
0 – Tidak menangis Tenang, tidak menangis
1 – Mengerang Merengek ringan, kadang-kadang
2 – Menangis keras Berteriak kencang, menaik, melengking, terus-menerus

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 21


(catatan: menangis lirih mungkin dinilai jika bayi
diintubasi yang dibuktikan melalui gerakan mulut dan
wajah yang jelas)
Pola Pernafasan
0 – Bernafas relaks Pola bernafas bayi yang normal
1 – Perubahan pola Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, tersedak, nafas
pernafasan tertahan
Lengan
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan acak sekali-
sekali
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, lengan lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat
Ekstensi, fleksi
Kaki
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak sekali-sekali
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, kaki lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat
Ekstensi, fleksi
Keadaan kesadaran
0 – Tidur/terjaga Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak yang terjaga
1 – Rewel Tejaga, gelisah, dan meronta-ronta
Tabel 6. Neonatal Infant Pain Scale11

2.6 Penatalaksanaan

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri

sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping yang paling kecil. Terdapat dua

metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologis dan non

farmakologis.

2.6.1 Pendekatan Farmakologis


Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic
Ladder. Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat
pada 4 prinsip, yaitu:12

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 22


1. “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan
untuk opiat.
2. “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan
interval obat tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on
demand”.
3. “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk
pengobatan nyeri, antara lain:
Langkah 1:
 Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik
non opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan
sampai dosis maksimum yang direkomendasikan.
 Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika
dibutuhkan.
 Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1.
Langkah 2:
 Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua,
yaitu ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein.
 Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
Langkah 3:
 Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah
terakhir, disarankan untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.
 Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
4. “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.
Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu:12
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 23


Gambar 9. Three Step Analgesic Ladder WHO12
Namun, berdasarkan guidlines WHO tahun 2012, WHO Three Step Analgesic
Ladder for Cancer Pain Relieftidak lagi digunakan untuk manajemen nyeri pada anak.
Untuk manajemen nyeri pada anak telah digunakan strategi “two-step approach”.
Pada strategi ini, digunakan opioid kuat dengan dosis rendah untuk nyeri sedang. Hal
ini berbeda dengan strategi sebelumnya yang merekomendasikan penggunaan kodein
atau tramadol (opioid lemah) untuk terapi nyeri sedang. Strategi “two-step approach”
ini terdiri dari:13
 Langkah 1: untuk nyeri ringan
Parasetamol dan ibupeofen sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan pertama
pada anak lebih dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral.
Parasetamol merupakan satu-satunya pilihan untuk anak dibawah 3 bulan.
 Langkah 2: untuk nyeri sedang sampai berat
Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada
anak dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada
langkah ini.
Tatalaksana nyeri juga dapat diberikan secara terpadu, yaitu memberikan obat-
obatan yang bekerja sesuai dengan proses terjadinya nyeri. Dimana pada proses
trasduksi dapat diberikan OAINS atau obat anti-inflamasi non-steroid maupun
anestesi lokal. Proses transmisi dapat diberikan anestesi lokal. Proses modulasi dapat
diberikan anestesi lokal, opioid, maupun alfa-2 agonis. Sedangkan untuk proses

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 24


persepsi dapat diberikan opioid, alfa-2 agonis maupun obat yang bekerja pada
respetor NMDA atau N-metil-D-aspartat (misalnya ketamin) yang menghasilkan
efek anestesi disosiatif.14

Gambar 10. Mekanisme kerja obat analgesik14

1. Analgesik Non-Opioid
Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang adalah menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen
(paracetamol) dan OAINS. Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik,
tetapi asetaminofen tidak memiliki efek antiinflamasi seperti OAINS. OAINS
sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang
kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.
OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat
sintesis prostaglandin. OAINS berkerja menghasilkan anlgesia melalui inhibisi
pembentukan prostglandin oleh enzim siklooksigenase (COX) dari prekursor
asam arakidonat. Siklooksigenase berada di retikulum endoplasma yang
bertanggung jawab membentuk prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan dari

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 25


asam arakidonat. OAINS merupakan inhibitor enzim COX yang reversibel.
Enzim COX terdiri ada dua jenis, yaitu:
 COX-1
Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi
dalam fungsi fisiologi oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang
tidak diinginkan, seperti cedera mukosa, kerusakan ginjal, perubahan
hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus.
 COX-2
Bersifat induksif oleh proses inflamasi dan memproduksi prostaglandin yang
sensitif terhadap nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi
dengan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler.
Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja secara konstitutif (ginjal,
endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (up-regulated) oleh
adanya asam arakidonat dan beberapa sitokin dan dihambat oleh
glukokortikoid.14,15
Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-
2 (Coxib). Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau
cedera pada mukosa. Coxib yang saat ini tersedia, yaitucecoxib (dosis harian
200-400 mg), valdecoxib (10-20 mg) (tidak lagi tersedia di Amerika) dan
prodrugnya yaituparecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi dari obat ini yaitu gagal
jantung kongestif, penyakit hati dan ginjal,inflammatory bowel diseases, dan
astma.15

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 26


Gambar 11. Mekanisme kerja OAINS16

Gambar 12. Konsep tentang COX-1 dan COX-214

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 27


Kontraindikasi dari OAINS, antara lain:
 Riwayat tukak peptik
 Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS
 Insufisiensi ginjal atau oliguria
 Hiperkalemia
 Transplantasi ginjal
 Antikoagulasi atau koagulopati lain
 Disfungsi hati berat
 Dehidrasi atau hipovolemia
 Terapi dengan frusemide

Gambar 13. Efek samping dari OAINS15


NAMA DOSIS SEDIAAN
OBAT
Paracetamol Tablet  Dewasa : 3-4 x 500 mg sehari, Anak Tablet 500 mg,
6-12 th : 3-4 x sehari 250-500 mg sirup 120mg/5ml
Sirup  Anak 0-1th: 2,5ml; 1-2th: 5ml; 2-6th:
5-10ml; 6-9th: 10-15ml; 9-12th: 15-20ml.
Ibuprofen Dewasa &>12 tahun: 3-4x200mg tab Tablet 400mg &
Anak2 6-12 tahun : 3-4x100mg tab 200mg
Sirup 100mg/5ml
Asam Dewasa & anak2 > 14 tahun  Dosis awal: Kaplet 500mg,
Mefenamat 500mg selanjutnya 250 mg tiap 6 jam sesuai Kapsul 250mg,

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 28


kebutuhan Sirup 50mg/5ml

Ketorolac Dewasa: 10mg diikuti dgn pe↑ dosis 10-30mg IV: 10 atau
setiap 4-6 jam bila diperlukan (Dosis max 30mg/ml
90mg/ml).
Tabel 7. Beberapa contoh obat analgesik non-opioid
2. Analgesik Opioid
Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (Papaver
somniverum), seperrti morfin, papaverin, heroin dan kodein. Opioid adalah obat-
obatan yang memiliki sifat seperti opiat. Jenisnya lebih banyak dan beragam,
juga potensi analgesianya. Baku emas untuk potensi analgesia adalah morfin.
Semua opioid akan dibandingkan dengan morfin untuk menyatakan kekuatan
analgesianya.17

Gambar 14. Mekanisme kerja opioid14


Gambar A menunjukkan jalur nosiseptif yang akan teraktivasi ketika impuls nyeri
pada traktus spinotalamikus mencapai batang otak dan talamus.
Dimana Periaquaductal Gray Matter (PAG) dan nukleus raphe magnus akan
mengeluarkan endorfin dan enkefalin untuk menginhibisi transmisi nyeri di medulla

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 29


spinalis. Gambar B menunjukkan bahwa sebanyak 70% reseptor endorfin dan
enkefalin berada di nosiseptor membran presinaptik sehingga banyak sinyal nyeri
yang berhenti sebelum mencapai kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal ini lebih
lanjut akan dilemahkan oleh aktifitas dinorfin di medulla spinalis. Sedangkan gambar
C menunjukkan bahwa aktivasi dari dinorfin pada reseptor alfa di interneuron
inhibitor dapat menyebabkan pelepasan GABA (gamma amino butirat acid),
sehingga akan terjadi hiperpolarisasi dari sel kornu dorsalis dan selanjutnya akan
menginhibisi transmisi dari sinyal nyeri. Berdasarkan mekanisme inilah sehingga
dibuat obat opioid yang mirip kerjanya dengan opioid endogen (endorfin, enkefalin,
dinorfin, dan lain-lain).14

Klasifikasi reseptor opioid17


Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai reseptor mu (µ), delta dan kappa (k),
berdasarkan prpototipe agonisnya, yaitu:
a. Reseptor µ (agonis morfin)
Reseptor mu (µ) yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap morfin. Reseptor mu
(µ) terdistribusi secara luas pada otak dan medulla spinalis termaksud lamina 1 dan 2
serta kornu dorsalis medulla spinalis, striatum, traktus optikus dan lokus coeruleus,
pada batang otak dan medial thalamus. Reseptor ini bertangguing jawab atas
analgesia supra spinal dan spinal. Subtipenya yaitu: mu (µ) 1 dan mu (µ) 2. Aktifasi
reseptor mu (µ) 1 diperkirakan yang memerantarai analgesia, euphoria dan rasa
tenang, reseptor mu (µ) 2 menyebabkan hipoventilasi, bradikardia, pruritus,
pelepasan prolaktin dan ketergantungan fisis. Rerseptor-reseptor ini disebut juga OP
3 atau MOR (Morphine Opioid Receptor).
Morfin, meperidin, fentanyl, subfentanil, alfentanil adalah termaksud dalam agonis
mu (µ) eksogen. Nalokson merupakan antagonis reseptor mu (µ) yang spesifik
melekat pada reseptor tetapi tidak mengaktivasi reseptor tersebut.
b. Reseptor k (agonis ketocyclazocine)
Reseptor k ditemukan pada sistem limbik dan area di ensefalik lainya, batang otak
dan medulla spinalis. Reseptor ini bertanggung jawab sebagai mediator efek

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 30


dari preprodinorphyn dan prepronkephalin terhadap analgesia spinal, sedasi, dyspnea,
ketergantungan, disforia dan depresi napas. Berlokasi pada pasca sinap, mereka juga
dikenal sebagai OP 2 atau KOR (Kappa Opioid Receptors).
c. Reseptor delta (agonis delta-alanin-leusin-enkefalin)
Reseptor delta berlokasi di pasca sinap pada neuron feedback pallidostriatal. Reseptor
ini memodulasi nosisepsi prasinap pada periaquaductal grey matter. Reseptor ini
juga berlokasi pada lapisan luar pleksiform dari bulbus olfaktorius, nukcleus
accumbens, beberapa lapis dari korteks cerebri dan beberapa nukleus dari amigdala.
Kemungkinan bertanggung jawab terhadap sikomimetik dan efek disfori. Disebut
juga OP 1 dan DOR (Delta Opioid receptors).
Aktifasi reseptor delta menghasilkan efek analgesia, meskipun lebih lemah dapi pada
efek yang ditimbulkan pada reseptor mu. Banyak agonis delta (meski tidak semua)
dapat menimbulkan kejang pada dosis yang tinggi. Kedua agonis delta golongan
peptida dan agonis delta non-peptida menstimulasi fungsi respirasi dan memblokade
efek depresi pernapasan dari agonis reseptor mu tanpa mempengaruhi efek
analgesianya. Dapat disimpulkan opioid agonis delta pada dosis yang sangat tinggi
dapat menghasilkan depresi pernapasan, sedangakan pada dosis rendah dapat
menghasilkan efek yang sebaliknya. Penggunaan secara bersamaan agonis delta
dengan agonis mu membuat pemakaian agonis mu lebih aman.
d. Reseptor sigma (agonis N-allylnormetazocine)
Reseptor sigma adalah reseptor tambahan yang berperan pada aksi antitusif beberapa
obat opioid. Contoh opioid yang berkerja pada reseptor ini adalah allylnormetazocine.
Reseptor ini berbeda struktur dan fungsinya dibandingkan dengan reseptor opiod
lainya dan tidak diaktifkan oleh peptida opioid endogen.
Reseptor Analgesia Respirasi Gastrointestinal Endokrin Lain-lain
µ Perifer Memperlambat Gatal, rigiditas
pengosongan otot rangka,
lambung, antidiare retensi urin
2
µ Supraspinal Pelepasan prolaktin Efek
kardiovaskular

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 31


µ3 Spinal Depresi Memperlambat
pengosongan
lambung
K Perifer Menurunkan Sedasi
pelepasan
ADH
K1 Spinal
K2 ?
K3 Supraspinal
Delta Perifer Depresi Memperlambat Melepas Retensi urin
pengosongan hormon
lambung pertumbuhan
Delta1 Spinal Antidiare Perubahan
dopamin
Delta2 Supraspinal Supra-
spinal
Jenis tak Miosis,
diketahui mual,muntah
Tabel 8. Klasifikasi reseptor opioid17
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, maka obat-obatan yang tergolong
opioid dibagi menjadi:17
a. Agonis opiod, yang menyerupai morfin, yaitu yang berkerja sebagai agonis
terutama pada reseptor mu dan mungkin pada reseptor k.
b. Antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan
sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain.
c. Opioid dengan kerja campur
 Agonis-antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada
beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor
yang lain.
 Agonis parsial.
Agonis opioid
Obat agonis adalah obat yang menginsisi efek farmakologik setelah bergabung
dengan reseptor, mempunyai efisiensi dan afinitas yang tinggi terhadap reseptor.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 32


Setelah bergabung dengan reseptor obat ini menyebabkan efek stimulasi atau
inhibisi yang menyerupai agonisnya.
Contoh opioid agonis adalah morfin, morfin 6-glukuronida, meperidin, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, remifentanil, kodein, hidromorfon, oksimorfon, oksikodon,
hidrokodon, metadon, propoksifen, tramadol, heroin.
Antagonis opioid
Perubahan kecil pada struktur opioid agonis dapat menjadikannya opioid
antagonis pada satu atau beberapa reseptor opioid. Perubahan yang paling umum
adalah substitusi grup alkali dengan grup metil. Obat antagonis mencegah
reseptor agonis termediasi dengan memepati reseptor agonis. Dapat juga
mempunyai afinitas yang sama seperti agonis terhadap reseptor, namun
mempunyai efektifitas yang lemah.
Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi kompetitif atau
inhibisi nonkompetitif. Sebuah obat dengan afinitas yang sesuai atau kurang dari
agonis namun memiliki efek yang kurang disebut agonis parsial. Beberapa obat
menghasilkan respon dibawah batas pengukuran. Obat ini kemudian dinamakan
inverse agonis atau superantagonis. Contoh opioid antagonis pada peseptor mu
adalah nalokson, naltreakson, nalmefen, metilnaltrekson.
Agonis-antagonis reseptor opioid
Termaksud golongan ini adalah pentazosin, nalbufin, buprenorfin, nalorfin,
bremasozin dan desozin. Obat-obat ini berikatan dengan reseptor mu,
menghasilkan respon yang terbatas (agonis parsial) atau tanpa efek (antagonis
kompetitif).
Obat golongan ini juga bersifat agonis pada reseptor yang lain, yaitu reseptor k
dan delta. Sifat antagonisnya dapat melemahkan sifat agonisnya. Efek samping
dari obat ini menyerupai efek samping dari opioid antagonis. Sebagai tambahan,
obat ini dapat menyebabkan reaksi disforia. Keuntungan penggunaan obat ini
adalah kemampuanya untuk menghasilkan efek analgesia dengan sedikit efek
depresi pernapasan dan kurang berpotensi menyebabkan ketergantungan.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 33


Tramadol
Tramadol merupakan obat sintetik, yang bekerja sebagai analgetik sentral dan
digunakan secara parenteral maupun oral sebagi terapi untuk nyeri sedang
sampai berat. Potensiasinya seperti petidin tetapi untuk nyeri berat, morfin tetap
lebih baik. Efek samping berupa depresi napas dan konstipasi lebih sedikit
dengan penggunaan tramadol. Dalam suatu percobaan klinis, efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan tramadol adalah mual, muntah, dizziness, fatigue,
mulut kering, dan hipotensi postural. Metabolit utama yaituO-desmethyl
tramadol (M1) memiliki afinitas yang lemah sebagai agonis reseptor µ dan juga
bekerja sebagai agonis pada reseptor α2. Selain itu, tramadol juga meningkatkan
inhibisi nyeri dengan menghambat re-uptakedari serotonin (5-HT) dan
noradrenalin. Sehingga tidak seperti opioid lain, tramadol hanya diinhibisi
sebagian oleh antagonis opioid (naloxone). Dosis tramadol yaitu 50-100 mg
setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.18
3. Anestesi Lokal15
Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf.
Konduksi impuls aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi.
Perubahan potensial melibatkan influks cepat dari Na+ melalui kanal protein
membran yang teraktivasi (terbuka). Anestesi lokal berfungsi untuk menghambat
influks cepat dari Na+ serta menghambat inisiasi dan perambatan dari eksitasi.
Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik.
Sifat fisikokemikal ini menyebabkan penyatuan ke dalam membran interfase
antara daerah polar dan apolar. Dapat ditemukan di membran fosfolipid dan juga
di kanal protein ion. Beberapa bukti menunjukkan bahwa blokade kanal
Na+dihasilkan dari ikatan antara anestesi lokal terhadap kanal protein. Aktifitas
anestesi lokal juga ditunjukka oleh substansi tidak bebas, menunjukkan tempat
ikatan pada daerah apolar dari kanal protein atau disekitar membran lipid.
Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi
juga pada jaringan eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 34


lokal. Depresi dari proses eksitasi pada jantung dapat menyebabkan aritmia
jantung sampai cardiac arrest.
Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan
(anestesia infiltrasi) atau diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa
serabut saraf dari daerah yang akan dianestesi (anestesia konduksi dari saraf,
anestesi spinal secara segmental), atau dengan mengaplikasikannya pada
permukaan kulit atau mukosa (anestesia superfisial).

Gambar 15. Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal15


4. Adjuvan atau Koanalgesik19
Adjuvan berdasarkan WHO berarti obat-obatan yang diberikan untuk menangani
efek samping dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 35


dari opioid. Misalnya diberikan obat-obatan pencahar untuk mengatasi konstipasi
yang merupakan salah satu efek samping dari opioid. Obat adjuvan atau
koanalgetik merupakan obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain
menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau
efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari
obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin
tidak berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti
kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan
membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang
sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang
menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia
pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan
artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya
memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif
apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium),
yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan
steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala
yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada
pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan
opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila
diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang
berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 36


pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem
simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial
depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.
2.6.2 Pendekatan Non Farmakologis
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien
dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak
terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode
nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan
nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai berikut:19
a. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan
posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
b. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
d. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan ternecana, khususnya bagi mereka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri.
Analgesia Balans
Analgesia balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan
pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan
dengan OAINS, proses transmisi dengan obat anestesi lokal, dan proses modulasi
dengan opioid. Pendekatan ini, memberikan penderita menggunakan beberapa macam
obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda disebut balans
anlgesia atau pendekatan polifarmasi. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat
dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing
individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kualitas

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 37


analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian
efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat dapat dihindari.20
Analgesia Preemptif
Ketika seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat)
dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan
reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap
stimulus yang masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya
plastisitas sistem saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan
memberikan obat-obat analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif
analgesia. Tindakan anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini.
Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang.
Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk melakukan teknik analgesia preemtif
dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan dari sensari nyeri diketahui.20
PCA (Patient Controlled Analgesia)
Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah
popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus
diberikan lebih dari 24 jam. PCA ini begitu popular disana karena selain
menghindarkan dari injeksi intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa
dikontrol sendiri oleh pasien. Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi.
PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak
diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri mereda lebih
cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada:20
 Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
 Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
 Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek
samping.
 Dana : pompa infus PCA mahal.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar
itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 38


ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang
analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka
butuhkan (selama masih dalam batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa
diubah sesuai dengan kebutuhan individu.Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus
khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini
mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus.20

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 39


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan


yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual dan potensial yang terlokalisasi
pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana
jaringan rasanya seperti ditusuk- tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,
perasaan takut, dan mual. ( Judha, 2012).

Nyeri dapat diukur dengan berbagai metode intensitas nyeri dengan


pengukuran nyeri. Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua nonfarmakologis seperti
masase kutaneus, terapi es dan panas, TENS, distraksi, relaksasi, imajinasi
terbimbing, hypnosis sedangkan farmakologis menggunakan anestesi, opiate,
nonopiat dan analgesic adjuvans.

3.2 Saran
Dengan memahami definisidan mekanisme nyeriserta mengetahui
penatalaksanaan baik dalam pendekatan farmakologi dan non farmakologi, maka
diharapkan prognosis pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 40


Algoritma Penatalaksanaan Manajemen Nyeri

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 41


Daftar Pustaka

1. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange; 1996.
2. Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain
Management. New York: McGraw-Hill Inc; 1994.
3. Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and
Regional Anesthesia. 2nd ed.Philadelphia; 2005.
4. Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7.
Available from:URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-
dan-penilaian-nyeri.pdf
5. Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC;
2001.
6. Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown
DL, Newman MF, Zapol WM.Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.
7. Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI: Jakarta; 2001.
8. Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran
Perioperatif. Farmedia: Jakarta; 2001.
9. Avidan M. Pain Managemnet. In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain
Management and Intensive Care.London; 2003.
10. Silaen EL. Perbandingan Propofol 2 mg/KgBB-Ketamin 0,5 mg/KgBB Intravena
dan Propofol 2 mg/KgBB-Fentanil 1 µg/KgBB Intravena dalam Hal Efek
Analgetik pada Tindakan Kuretase dengan Anestesi Total Intravena. [Online].
2012 [cited on 2015 March 13]. Available from:
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf
11. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar;
2012.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 42


12. World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7.
Available from:
URL: http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents
/WHOladder.pdf
13. World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment
of Persisting Pain in Children with Medical Illness. [Online]. 2012 [cited on
2015 March 7]. Available from:
URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf
14. Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:
URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf
15. Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology.
3rd edition. New york: Thieme; 2005.
16. Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell
Science Ltd; 2002.
17. Soenarto RF, Puspitasari R, Pryambodho. Farmakologi opioid. Dalam: Gunawan
SG, Stiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
18. Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14].
Available from:
URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html
19. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan
1. Jakarta: Indeks Jakarta; 2010.
20. Hasanul A. Pengelolaan Nyeri Akut. Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2002.

Hippocrates Emergency Team BEM KM FK Unand 43

Anda mungkin juga menyukai