Akuntansi Publik Dan Akuntansi Bisnis
Akuntansi Publik Dan Akuntansi Bisnis
Abstraksi
Artikel ini merupakan suatu esai persuasif yang ditulis dengan motivasi untuk mengubah
persepsi pembaca tentang akuntansi untuk organisasi publik, khususnya organisasi
pemerintah. Artikel ini bertujuan untuk memberikan argumen-argumen berikut penjelasan
detilnya bahwa akuntansi organisasi publik dan akuntansi organisasi bisnis merupakan dua
dunia akuntansi yang berbeda. Perbedaan-perbedaan di antara keduanya telah dimulai
sejak awal pembentukan masing-masing organisasi, yaitu perbedaan motif dan latar
belakang terbentuknya organisasi, tujuan pendirian organisasi dan cara pencapaian tujuan
organisasi, serta sumber dan sifat pendanaan organisasi. Perbedaan-perbedaan ini
memberikan konsekuensi perbedaan yang signifikan di antara kedua dunia akuntansi
tersebut pada aspek perencanaan dan penganggaran, sistem pelaporan keuangan
(akuntansi keuangan), maupun akuntansi manajemen.
BAGIAN I: PENGANTAR
Sampai dengan saat tulisan ini disusun akuntansi yang berfokus pada organisasi-organisasi
yang tidak berorientasi laba (not-for-profit organization) disebut dengan Akuntansi Sektor
Publik. Penyebutan dengan menggunakan kata “sektor” menempatkan akuntansi untuk
organisasi tidak berorientasi laba ini sebagai subordinat atau cabang dari akuntansi yang
lebih besar, dalam hal ini adalah akuntansi untuk organisasi bisnis.
Mengapa akuntansi untuk organisasi bisnis tidak disebut dengan Akuntansi Sektor Bisnis?
Penulis menduga bahwa sebagian besar akademisi meyakini bahwa Akuntansi Bisnis adalah
“induk” dari semua “anak” akuntansi sehingga tidak menggunakan kata “sektor” dalam
penyebutannya. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri karena Akuntansi Bisnis berkembang
lebih pesat daripada akuntansi untuk organisasi-organisasi lainnya. Akibatnya, jika terdapat
akuntansi untuk suatu organisasi lain yang sedang tumbuh dan berkembang, maka
disebutlah sebagai akuntansi sektor organisasi yang sedang berkembang tersebut. Sebagai
1
Dosen Departemen Akuntansi FEB UGM. Berspesialisasi pada penelitian, pengajaran, dan pemberian
konsultasi pada bidang akuntansi pemerintahan. Penulis dapat dihubungi melalui irwanritonga@ugm.ac.id
atau abangupi@yahoo.com.
contoh, di Indonesia, sejak terjadinya reformasi di pemerintah daerah dengan
diterapkannya otonomi daerah mengakibatkan timbulnya kebutuhan akan akuntansi
sebagai alat untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan pemerintah daerah
yang lebih akuntabel dan transparan. Pertumbuhan dan perkembangan akuntansi pada
organisasi pemerintah ini selanjutnya memunculkan istilah Akuntansi Sektor Publik. Di
Indonesia, karena organisasi yang berorientasi bukan laba didominasi oleh organisasi
pemerintah, maka istilah Akuntansi Sektor Publik menjadi identik dengan istilah Akuntansi
(Sektor) Pemerintahan.
Sekali lagi, penggunaan kata “sektor” pada Akuntansi Sektor Publik atau Akuntansi Sektor
Pemerintahan terasa mengecilkan akuntansi pada organisasi ini. Fenomena ini menunjukkan
seolah-olah akuntansi publik merupakan cabang dari suatu “dunia” akuntansi yang lebih
besar. Penulis berargumen bahwa seharusnya penyebutan yang paling tepat adalah
Akuntansi Publik, yaitu dengan menghilangkan kata sektor. Akuntansi Publik adalah
akuntansi yang memiliki hulu sendiri yang terpisah dari hulu Akuntansi Bisnis. Penulis akan
memaparkan argumen-argumen di bagian berikut untuk mendukung pernyataan di atas.
Jika mengulas kembali mengenai sejarah terbentuknya negara Indonesia, dimana beberapa
tokoh secara sukarela berkumpul, memiliki ideologi yang sama agar Indonesia dapat
merdeka, maka kondisi tersebut dapat dikaitkan dengan voluntaristic theories yang
diusulkan oleh Carneiro (1970). Beberapa individu yang memiliki latar belakang sejarah yang
sama, secara spontan, rasional, dan sukarela menyerahkan kedaulatannya dan bersatu
dengan komunitas lain untuk membentuk unit politik yang disebut dengan negara. Teori ini
sesuai dengan kondisi Indonesia saat awal terbentuk, dimana tokoh-tokoh baik dari pejuang
muda maupun tua saling bekerja sama, untuk membentuk negara atau memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, dan secara sukarela menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden
Indonesia. Teori tersebut didukung oleh Teori Kontrak Sosial yang memandang moral
seseorang dan atau kewajiban politik bergantung pada kontrak atau perjanjian diantara
mereka untuk membentuk suatu organisasi.
1.3. Perbandingan Motif dan Latar Belakang Pembentukan Negara dan Perusahaan
Negara dibentuk berdasarkan kerelaaan untuk secara bersama-sama berbagi kekuatan
(strenght) , kelemahan (weakness), kesempatan (opportunity) dan ancaman (threat). Dalam
konsep negera, semua anggota (penduduk) memiliki hak dan kewajiban yang sama dan
tidak bergantung pada kontribusi individu/kelompok terhadap negera. Hal yang sama juga
berlaku pada aspek hukum maupun admistratif. Pada konteks yang lebih luas, setiap
wilayah di negara wajib bersama-sama memberikan kontribusi ekonomi maupun non
ekonomi kepada negara. Negara tidak memberikan keistimewaan tertentu kepada suatu
wilayah berdasarkan besarnya kontribusi wilayah tersebut.
Perusahaan dibentuk berdasarkan motif ekonomi. Setiap pihak yang terlibat dalam entitas
bisnis dinilai dan diposisikan sesuai dengan besarnya porsi kontribusi yang diberikan
mereka. Peran, fungsi, tanggungjawab dan kesempatan untuk mendapatkan manfaat
ekonomi maupun kewajiban untuk menanggung resiko/kerugian bergantung kepada
besarnya kontribusi/andil dari setiap pihak yang terlibat dalam entitas bisnis tersebut.
Perbedaan yang signifikan pada motif dan proses pembentukan negara dan perusahaan
tersebut kemudian akan berpengaruh terhadap tata kelola kedua entitas ini dalam
memandang hubungan antara entitas dengan pemiliknya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus memberikan layanan kepada rakyatnya.
Secara prinsip, NKRI menyatakan layanan-layanan wajib yang harus diberikan oleh
pemerintah kepada rakyatnya dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Layanan-
layanan tersebut adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut
melaksanakan ketertiban dunia.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa tujuan pendirian negara adalah
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka
pemerintah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada rakyat di semua aspek
kehidupan.
Tujuan pendirian perusahaan bisnis adalah untuk memberikan manfaat ekonomi kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam proses bisnis. Manfaat ekonomi utama yang diharapkan
adalah peningkatan kemakmuran (wealth) para pemilik perusahaan. Walaupun beberapa
perusahaan bisnis juga beraktifitas dalam aspek-aspek sosial, namun tujuan besar dan
jangka panjangnya tetap pada usaha untuk memperoleh laba sebesar-besarnya untuk
memberikan manfaat ekonomi pada pemilik perusahaan bisnis atau meminimalkan kerugian
yang diderita pemilik ketika terjadi hal-hal negatif pada perusahaan bisnis.
2.3. Perbandingan Tujuan Entitas dan Cara Pencapaiannya antara Pemerintah dan
Perusahaan
Pada dasarnya tujuan entitas publik maupun entitas bisnis adalah sama, yaitu meningkatkan
kesejahteraan pemiliknya. Namun, cara yang ditempuh oleh kedua entitas adalah berbeda.
Entitas bisnis menempuh cara memaksimalkan laba agar kesejahteraan pemiliknya
meningkat. Oleh karena itu, entitas bisnis disebut sebagai entitas dengan orientasi laba. Di
sisi lain, untuk mencapai tujuannya, entitas publik menempuh cara dengan memberikan
layanan yang sebaik-baiknya kepada rakyat. Oleh karena itu, entitas publik disebut sebagai
entitas yang tidak berorientasi laba (not-for-profit organization). Lebih jauh lagi, pegawai-
pegawai yang bekerja di instansi pemerintah dijuluki sebagai pelayan masyarakat/abdi
masyarakat.
Perbedaan cara mencapai tujuan antara perusahaan bisnis berpengaruh terhadap tata
kelola pada kedua entitas tersebut. Negara berorientasi kepada terpenuhinya hak-hak
kesejahteraan rakyat sementara perusahaan berorientasi pada laba/keuntungan.
Setelah suatu negara berdiri maka negara memerlukan sumber-sumber pendapatan untuk
memberikan pelayanan – seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastuktur, ketertiban,
dan lain sebagainya - kepada rakyatnya. Jones dan Pendleburry (2000) menjelaskan bahwa
pemerintah suatu negara dapat memperoleh pendapatan dari masyarakat melalui dua cara,
yaitu pajak (tax) dan retribusi (charges). Kedua metode perolehan dana masyarakat ini tidak
mutually exclusive, sehingga dapat dilakukan secara kombinasi (mixed).
Dari semua sumber pendanaan yang dimiliki oleh negara, sumber pendanaan operasional
yang berasal dari pajak merupakan pendapatan negara yang dominan. Dalam konteks
Indonesia, pendapatan terbesar dan dominan pemerintah dari tahun ke tahun berasal dari
pendapatan pajak. Kontribusi pajak terhadap total pendapatan adalah sebesar 84,8% di
tahun anggaran 2016 (Republik Indonesia, 2015) dan sebesar 85,64% di tahun anggaran
2017 (Republik Indonesia, 2016). Di dunia, rata-rata kontribusi pajak terhadap total
pendapatan adalah 90% (Antara, 2017).
Di sisi lain, pajak merupakan pendapatan yang berasal dari iuran rakyat yang tidak berkaitan
langsung dengan layanan yang diterima oleh rakyat. Penarikan dana berupa pajak tersebut
bersifat mengikat dan wajib. Bahkan, kewajiban untuk membayar pajak dapat dipaksakan
oleh pemerintah. Secara umum, sifat pajak inilah yang menyebabkan adanya keengganan
masyarakat untuk membayarnya. Rakyat dikenakan pajak sesuai dengan kapasitas ekonomi
masing-masing. Walaupun besarnya dana yang diserahkan kepada negera berbeda-beda,
tidak ada konsekuensi bagi rakyat untuk mendapatkan layanan manfaat dari negara sesuai
dengan proporsi dana yang disetorkan kepada negera tersebut. Oleh karena itu harus ada
mekanisme pertanggungjawaban tertentu yang dilakukan oleh pemerintah atas dana yang
dipercayakan oleh rakyat melalui pembayaran pajak, dan secara lebih luas harus ada suatu
mekanisme laporan pertanggungjawaban atas keseluruhan sumberdaya ekonomi
rakyat/negara yang dikelola oleh pemerintah.
3.3. Perbandingan Pendanaan Entitas dan Kepemilikan Entitas antara Entitas Publik dan
Entitas Bisnis
Pada aspek pembentukan modal, baik negara maupun perusahaan memiliki kesamaan.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari aspek kesukarelaan untuk menyerahkan dana atau
sumberdaya ekonomi kepada pengelola yang ditunjuk oleh entitas. Pada konsep bernegara,
hal ini dapat diidentifikasi dari kesediaan menyerahkan seluruh potensi/manfaat
sumberdaya ekonomi, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia kepada pengelola
negara oleh masyarakat di suatu wilayah/daerah yang menyatakan diri untuk bergabung
dalam negara. Besar kecilnya kontribusi sumber daya yang diserahkan dalam rangka
pembentukan Negara tidak mempengaruhi porsi kepemilikan atas Negara. Semua rakyat
sama di mata Negara, baik hak maupun kewajibannya. Lebih jauh lagi, kepemilikan Negara
adalah kolektif yang tidak dapat dibagi-bagi ke masing-masing individu atau golongan
masyarakat. Dengan demikian, kepemilikan Negara tidak dapat diperjualbelikan.
Pada sisi perusahaan, besar kecilnya kontribusi sumber daya yang diserahkan oleh pemilik
modal akan mempengaruhi porsi kepemilikan atas perusahaan. Semakin besar kontribusi
sumber daya yang diberikan, maka semakin besar pula porsi kepemilikan atas perusahaan.
Selain itu, kepemilikan atas perusahaan dapat dibagi-bagi dalam satuan tertentu, misalnya
lembar saham. Akibatnya, kepemilikan atas perusahaan dapat diperjualbelikan.
Perbedaan utama pendanaan operasional antara entitas bisnis dan entitas publik adalah
dari siapa pendapatan berasal. Sumber pendanaan utama entitas publik berasal dari iuran
wajib rakyatnya (pemiliknya) maupun dari pemanfaatan kekayaan alamnya. Disisi lain,
entitas bisnis mendanai operasionalnya melalui penjualan barang dan jasa kepada
pelanggannya (bukan pemilik). Penjualan ini tidak dapat dipaksakan oleh perusahaan.
Dalam konteks Indonesia, penyusunan kontrak kerja ini berdasarkan basis kas. Selanjutnya,
realisasi pelaksanaan program dan kegiatan ini harus dilaporkan kepada rakyat pada akhir
masa pelaksanaan anggaran tersebut.
Dalam melaksanakan amanah yang diberikan oleh rakyat kepadanya, Pemerintah tidak
hanya menggunakan dana/kas yang dianggarkan dalam APBN atau APBD saja, tetapi juga
menggunakan aset/kekayaan yang “dititipkan” oleh rakyat kepadanya. Selain itu, dalam
proses memberikan pelayanan kepada rakyat, timbul pula hak dan kewajiban antara
pemerintah dan pihak-pihak lain. Aspek-aspek ini tentunya juga harus
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena Laporan
Pelaksanaan Anggaran tidak dapat menginformasikan hal-hal yang demikian (dalam hal ini
aspek-aspek di luar APBN/APBD), maka muncullah kebutuhan akan laporan operasional,
laporan perubahan ekuitas, neraca, dan laporan arus kas. Laporan-laporan ini hanya akan
dapat disusun dengan menggunakan sistem akuntansi berbasis akrual. Sistem ini dikenal
juga sebagai sistem pelaporan finansial. Di Indonesia, kewajiban pelaksanaan sistem
pelaporan finansial berbasis akrual telah dilaksanakan selambat-lambatnya pada tahun
anggaran 2015 (Presiden Republik Indonesia, 2015).
2.3. Perbandingan Akuntansi dan Pelaporan antara Entitas Publik dan Entitas Bisnis
Baik entitas pemerintahan maupun entitas bisnis melakukan akuntansi walaupun dengan
sistem pelaporan yang berbeda. Kedua-duanya menerapkan sistem pelaporan finansial yang
menghasilkan laporan rugi laba (setara dengan laporan operasional untuk entitas
pemerintahan), laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas. Namun, karena
perbedaan fungsi dan peran anggaran pada masing-masing entitas, maka entitas
pemerintahan harus menerapkan sistem pelaporan pelaksanaan anggaran – dikenal sebagai
akuntansi anggaran - sedangkan entitas bisnis tidak menerapkannya. Sistem pelaporan
pelaksanaan anggaran ini menghasilkan laporan realisasi anggaran dan laporan sisa
anggaran lebih yang tidak dikenal pada entitas bisnis.
3. AKUNTANSI MANAJEMEN
Perbedaan cara mencapai tujuan antara entitas bisnis dan entitas publik juga berdampak
pada akuntansi manajemen. Perlu diingatkan kembali bahwa untuk mencapai tujuannya
mensejahterakan pemegang saham, maka perusahaan menggunakan cara maksimasi laba.
Di sisi lain, entitas publik menggunakan cara maksimasi pelayanan kepada rakyat untuk
mencapai tujuannya. Dua aspek akuntansi manajemen yang akan dibahas adalah penilaian
investasi dan penilaian kinerja.
Bagi entitas publik, suatu investasi dinyatakan layak dilakukan jika total manfaat investasi,
baik aspek keuangan maupun aspek sosial, lebih besar daripada pengorbanan investasi (baik
aspek keuangan maupun aspek sosial). Aspek sosial yang dipertimbangkan dalam penilaian
investasi antara lain adalah bertambah tidaknya tingkat kriminalitas, bertambah tidaknya
tingkat pengangguran, bertambah tidaknya polusi lingkungan, dan lain sebagainya. Aspek-
aspek ini tidak dipertimbangkan dalam penilaian kelayakan investasi di entitas bisnis. Lebih
jauh lagi, pertimbangan tingkat discount rate yang digunakan dalam analisis investasi publik
maupun investasi bisnis juga berbeda. Entitas publik mempertimbangkan aspek sosial,
sedangkan entitas bisnis hanya mempertimbangkan aspek keuangan, yaitu sebesar the best
opportunity cost-nya. Entitas publik menggunakan social opportunity cost rate (Jones dan
Pandleburry, 2000).
Oleh karena itu, kelayakan penilaian investasi di entitas bisnis menggunakan metoda yang
didesain untuk maksimasi laba, seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return
(IRR), dan lain sebagainya. Di sisi lain, untuk menganalisis kelayakan investasi, entitas publik
menggunakan metoda yang didesain untuk maksimasi pelayanan kepada rakyat, antara lain
Net Present Benefit (NPB), Cost-Benefit Ratio yang memperhitungkan semua manfaat
maupun ongkos sosial.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi para insan yang belajar akuntansi manajemen
bahwa kinerja organisasi bisnis akan diukur dengan indikator profitability index, return on
assets (ROA), return on equity (ROE) dan lain sebagainya. Indikator-indikator itu semua
mengacu pada kemampuan entitas bisnis untuk menghasilkan laba. Tentu saja indikator-
indikator tersebut tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur kinerja entitas
publik.
1. Carneiro, R.L., 1970. A Theory of the Origin of the State: Traditional Theories of State
Origins Are Considered and Rejected in Favor of a New Ecological Hypothesis.
2. Sullivan, A. and Sheffrin, S.M., 2003. Economics: Principles in Action. Upper Saddle
River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall.
3. Chartered Institute of Management Accountants, 2005. CIMA Official Terminology.
Elsevier.
4. Jones, R. and Pendlebury, M., 2000. Public Sector Accounting. Pearson Education.
5. Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Offset.
6. Ritonga, I.T., 2014. Analysing Service-Level Solvency of Local Governments from
Accounting Perspective: A Study of Local Governments in the Province of Yogyakarta
Special Territory, Indonesia. International Journal of Governmental Financial
Management, 14(2), pp.19-33.
7. Republik Indonesia,1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
8. Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
9. Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No 15 Tahun 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2016
10. Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2016 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2017
11. http://www.antaranews.com/print/100731/porsi-penerimaan-pajak-di-apbn-baru-70-
persen diakses pada tanggal 17 Januari 2017 Jam 15:09.
12. https://m.tempo.co/read/news/2008/04/30/056122275/lembaga-bantuan-hukum-pajak-
indonesia-terbentuk diakses pada tanggal 17 Januari 2017 Jam 16:35.
13. https://m.tempo.co/read/news/2015/08/18/058692958/untuk-republik-sultan-hb-ix-
sumbang-6-5-juta-gulden diakses pada tanggal 19 Pebruari 2017 Jam 17.29