Anda di halaman 1dari 4

TEORI KONSERVASI

Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama
yang telah pudar. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah.
Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat
penting untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau
bangunan tersebut sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa.
Upaya konservasi bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga
nilai sejarah dari bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa
dipersembahkan kepada generasi mendatang.
Pada umumnya kota-kota besar baik di Indonesia maupun kota-kota besar di belahan
dunia mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Kota-kota besar tertentu
seperti Paris, London, Mandrid, Amsterdam, Lisabon, dsb. tumbuh menjadi kawasan
perkotaan lebih dari tiga ratus tahun yang diperkirakan sejak sebelum abad 17.
Sedangkan kota-kota besar di Indonesia seperti: Jakarta, Meda, Semarang, Surabaya,
Bandung, Bogor, Malang, Makassar, dsb. diperkirakan mempunyai perjalanan sejarah
lebih dari dua ratus atau terbentuk sekitar abad 17-18. Kota-kota besar di berbagai
wilayah di Indonesia ada yang sudah tumbuh sebelum masuknya VOC (cikal bakal
pemerintahan Hindia Belanda) ke wilayah Nusantara, seperti : Banten (Lama), Jakarta
(Batavia), Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya.
Pada sebagian besar kota-kota besar di Indonesia, pengaruh dari pemerintah kolonial
Belanda terhadap pola dan struktur pembentukan kawasan kota dinilai cukup besar. Hal
ini terlihat pada adanya kawasan kota yang banyak didirikan bangunan-bangunan lama
peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang bernilai sejarah. Hal lain yang terlihat jelas
adalah berdirinya bangunan pemerintahan serta bangunan fungsi militer pada kota-kota
besar di Indonesia yang secara nyata punya peran penting dan strategis. Kota-kota
tersebut kemudian berkembang menjadi kota dengan fungsi khusus baik sebagai kota
pusat pemerintahan maupun kota militer.
Sebagai contoh misalnya: Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya,
Malang, dsb. Direncanakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi kota-kota
pusat pemerintahan selain kota perdagangan, kota pendidikan atau kota rekreasi.
Demikian pula dengan kota-kota seperti : Cimahi, Bandung, Gombong, Purworejo,
Magelang, Ambarawa, Madiun, Malang, dsb oleh pemerintah colonial Belanda diarahkan
untuk kota-kota militer. Karenanya di banyak kota-kota di Indonesia, selain
berkembangnya bangunan vernacular dan tradisional daerah setempat juga banyak
terdapat bangunan-bangunan lama dengan corak dan gaya arsitektur kolonial Belanda.
Kota-kota besar disebut diatas dalam perjalanan waktunya terus tumbuh dan
berkembang mulai dari awal abad 20 hingga era kemerdekaan di tahun 1945 s/d tahun
1950 terus hingga ke era pembangunan tahun 1970 hingga 1990-an. Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat dari kota-kota besar di Indonesia terjadi terutama pada kurun
waktu 1980-an hingga 1998 dimana pembangunan industry properti dan kawasan
perumahan baru banyak bermunculan di kota-kota tersebut. Bangunan-bangunan besar
dan megah juga terlihat didirikan pada periode tersebut terutama di kota-kota besar skala
metropolitan, seperti: Medan, Jarakta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit
bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh
penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah
yang dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut.
Bertolak belakang dengan diketahuinya indonesia yang kaya akan sejarah dan budaya,
ternyata masih banyak bangsa Indonesia yang tidak menyadari akan hal itu. Banyak
sekali fenomena-fenomena yang terjadi dan meninbulkan keprihatinan terutama dalam
bidang arsitektur bangunan di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Budihardjo
(1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak
nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka
disulap menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama
halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi
masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah
dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri,
sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh
karena itu, konservasi bangunan bersejarah sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga
cagar budaya yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita.

Tinjauan Konservasi Arsitektur


Konservasi Secara Umum
Secara umum konservasi mempunyai arti pelestarian yaitu melestarikan/mengawetkan
daya dukung, mutu fungsi, dan kemampuan lingkungan secara seimbang (MPL, 2010;
Anugrah, 2008). Konservasi lahir akibat adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan
sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi mutu secara tajam. Dampak
degradasi tersebut menimbulkan kekhawatiran dan kalau tidak diantisipasi akan
membahayakan umat manusia, terutama berimbas pada kehidupan generasi
mendatang. Konservasi merupakan upaya perubahan atau pembangunan yang tidak
dilakukan secara drastis dan serta merta, merupakan perubahan secara alami yang
terseleksi. Ada beberapa nilai yang terkandung dalam konsep konservasi, yaitu
menanam, melestarikan, memanfaatkan, dan mempelajari.
Sebagaimana diketahui, kesinambungan masa-lampau masa-kini masa-depan, yang
mengejawantahkan dalam karya-karya arsitektur setempat, merupakan faktor kunci
dalam penimbuhan rasa harga diri, percaya diri, dan jati diri, atau identitas. Keberadaan
bangunan kuno yang mencerminkan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya, dan
peradaban masyarakat, memberikan peluang bagi generasi penerus untuk menyentuh
dan menghayati perjuangan nenek moyangnya.
Bangunan yang menjadi obyek konservasi dipertahankan persis seperti keadaan aslinya.
Sasarannyapun lebih terbatas pada benda peninggalan arkeologis. Konsep yang statis
tersebut kemudian berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis,
dengan cakupan yang lebih luas pula. Sasarannya tidak terbatas pada obyek arkeologis
saja, melainkan meliputi karya arsitektur lingkungan atau kawasan dan bahkan kota
bersejarah. Konservasi lantas merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap
kegiatan pelestarian lingkungan binaan, yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi,
rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi.
Snyder & Catanese (1979) mengatakan bahwa kegiatan preservasi dan konservasi
bangunan bersejarah pada dasarnya merupakan bagian yang bersatu dengan
perencanaan kota atau ”the urban planning‟. Preservasi dan konservasi terhadap
bangunan bersejarah pada dasarnya juga terkait erat dengan tiga hal penting, yaitu: (a)
sejarah perkembangan kota, (b) kawasan atau lingkungan kota lama bernilai sejarah dan
(c) konteks ragam “arsitektur kota‟ dan ragam gaya arsitektur pada bangunan lama
bersejarah. Karena itu pada kegiatan preservasi dan konservasi selalu ada benang
merah antara peninggalan karya arsitektur dengan nilai-nilai budaya yang berlangsung
pada masyarakatnya di masa lampau.
Isue budaya dan sejarah perkembangan kota pada suatu kawasan kota pada dasarnya
dapat dilihat sejak kawasan kota menjadi kawasan yang didiami dan dihuni oleh
kelompok masyarakat dengan corak perkotaan. Sejarah perkembangan kota dilalui
menapaki bentuk-bentuk budaya masyarakat kota mulai dari yang paling sederhana
hingga budaya masyarakat kota yang paling canggih. Bentuk budaya masyarakat kota
ini akan melahirkan atau meninggalkan karya-karya arsitektur berupa bangunan-
bangunan lama bernilai sejarah. Karena itu bagi kotakota besar yang berumur lama,
pengaruh budaya masyarakat kota di suatu kawasan akan bernilai penting dalam aspek
nilai-sejarah dan nilai-budaya bagi masyarakat di kemudian hari. Kawasan kota lama
pada umumnya memiliki artifak karya arsitektur berupa bangunan-bangunan lama
bersejarah.
Dalam menangani atau mengelola kawasan kota lama, yang didalamnya terdapat banyak
artifak atau peninggalan budaya kota, maka pihak Pemerintah Kota perlu sedari dini
menaruh perhatian terhadap bentuk-bentuk usaha terkait kegiatan pelestarian dan
pemeliharaan dari objek-objek bernilai sejarah-budaya (Marville, 1995). Kegiatan
preservasi dan konservasi pada bangunan lama bernilai sejarah dapat dikemas dan
diwadahi dalam bingkai “kawasan kota lama bernilai sejarah‟. Perhatian yang tinggi dari
pihak Pemerintah Kota terhadap kegiatan ini pada dasarnya adalah bentuk apresiasi
terhadap: (a) nilai arsitektural pada bangunan lama, (b) nilai sejarah dan budaya pada
sejarah kota, (c) nilai pendidikan (edukasi) pada generasi mendatang dan (e)
penghargaan akan kegiatan pariwisata dan rekreasi dalam kawasan kota.

Definisi dan Tujuan Konservasi


Menurut Danisworo (1995): ”Konservasi adalah upaya untuk melestarikan, melindungi
serta memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti gedung-gedung tua yang
memiliki arti sejarah atau budaya, kawasan dengan kepadatan pendudukan yang ideal,
cagar budaya, hutan lindung dan sebagainya”. Berarti, konservasi juga merupakan upaya
preservasi dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu seperti kegiataan asalnya
atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat membiayai sendiri
kelangsungan eksistensinya.
Sementara itu, Piagam Burra menyatakan bahwa pengertian konservasi dapat meliputi
seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh
karena itu, kegiatan konservasi dapat pula mencakupi ruang lingkup preservasi, restorasi,
rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996; Al-vares,2006).
Tujuan dari konservasi adalah mewujudkan kelestarian seumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Dengan demikian, konservasi merupakan
upaya mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih
baik dan bekesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi terdapat
alur memperbaharui kembali (renew) , memanfaatkan kembali (reuse), mengurangi
(reduce), mendaur ulang kembali (recycle), dan menguangkan kembali (refund).

Jenis-jenis Konservasi
Menurut (Marquis-Kyle dan Walker, 1996; Al vares, 2006), konservasi dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu:
1. Preservasi
Preservasi adalah mempertahankan (melestarikan) yang telah dibangun disuatu tempat
dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan dan mencegah penghancuran.
2. Restorasi
Restorasi adalah pengembalian yang telah dibangun disuatu tempat ke kondisi semula
yang diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau membangun kembali komponen-
komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
3. Rekontruksi
Rekontruksi adalah membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin dengan kondisi
semula yang diketahui dan diperbedakan dengan menggunakan bahan baru atau lama.
4. Adaptasi
Adaptasi adalah merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang dapat
digabungkan.
5. Revitalisasi
Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan
kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang
tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai