Anda di halaman 1dari 28

Konsep Pemetaan Risiko Bencana

February 20, 2011 § 1 Comment

Bencana adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari


sistem yang ada di muka bumi, baik secara alamiah ataupun akibat ulah manusia. Indonesia merupakan
Negara yang memiliki banyak sekali potensi bencana karna berdasarkan letaknya Indonesia terletak
diantara pertemuan 3 lempeng besar yaitu Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng
Pasifik. Pertemuan 3 lempeng besar ini menjadikan Negara Indonesia memiliki fenomena alam yang
komplek mulai dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Proses geologi merupakan siklus di bumi
dalam mencapai titik keseimbangan yang sering menjadi fenomena ancaman seperti gempa bumi,
tsunami, longsor, banjir, angin putting beliung, dan sebagainya. Kondisi ini dapat diprediksi berdasarkan
parameter-parameter pemicunya meliputi kondisi geologis dan geomorfologis, sehingga dapat
dipetakan sebaran dan dampaknya terhadap sistem yang ada di bawahnya dengan menggunakan analisis
spasial dan analisis database.

Konsep Peta Risiko

Risiko bencana dapat dinilai tingkatannya berdasarkan besar kecilnya tingkat ancaman dan kerentanan
pada suatu wilayah. Analisis risiko bencana dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya
adalah metode pemetaan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Dewasa ini berbagai pihak telah
mencoba untuk menyusun peta risiko bencana, belum adanya standarisasi dalam metode penyusunan
peta risiko menyebabkan setiap lembaga atau institusi memiliki metode yang berbeda dalam
penyusunan peta risiko. Secara mendasar pemahaman tentang konsep bencana menjadi dasar yang kuat
dalam melakukan pemetaan risiko bencana yang dapat diaplikasikan kedalam Sistem Informasi Geografis
(SIG) yang dapat ditampilkan secara spasial dan menghasilkan peta ancaman, peta kerentanan, peta
kapasitas dan peta risiko bencana.

Peta Ancaman adalah gambaran atau representasi suatu wilayah atau lokasi yang menyatakan kondisi
wilayah yang memiliki suatu ancaman atau bahaya tertentu. Misalnya : Peta KRB Gunungapi Kelud, Peta
KRB Gunungapi Merapi, Peta bahaya longsor, Peta kawasan Rawan Banjir

Peta Kerentanan adalah : gambaran atau representasi suatu wilayah atau lokasi yang menyatakan
kondisi wilayah yang memiliki suatu kerentanan tertentu pada aset-aset penghidupan dan kehidupan
yang dimiliki yang dapat mengakibatkan risiko bencana. Contoh : Peta kerentanan penduduk, peta
kerentanan aset, peta kerentanan pendidikan, peta kerentanan lokasi

Peta Kapasitas adalah : gambaran atau representasi suatu wilayah atau lokasi yang menyatakan kondisi
wilayah yang memiliki suatu kapasitas tertentu yang dapat mengurangi risiko bencana. Contoh : peta
sarana kesehatan, peta alat peringatan dini, peta evakuasi, peta pengungsian, peta jumlah tenaga medis,
peta tingkat ekonomi masyarakat.

Peta Risiko Bencana adalah :gambaran atau representasi suatu wilayah atau lokasi yang menyatakan
kondisi wilayah yang memiliki tingkat risiko tertentu berdasarkan adanya parameter-parameter
ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di suatu wilayah. Contoh : peta risiko bencana banjir, peta
risiko bencana longsor, peta risiko bencana gempa.

Dalam metode análisis risiko dengan menggunakan GIS untuk menghasilkan peta risiko, yang paling
utama adalah pemilihan parameter dan indikator masing-masing análisis risiko

1. Analisis ancaman gempa misalnya : sejarah kejadian gempa, zonasi patahan, struktur geologi,
janis batuan, geomorfologi wilayah, dll

2. Analisis ancaman banjir misalnya : peta rawan banjir, jumlah rata-rata curah hujan, sejarah
kejadian banjir, luasan wilayah yang terkena dampak,jumlah curah hujan, jenis batuan, jenis
tanah, morfologi, kemiringan lereng, densitas sungai dalam suatu DAS, dll

3. parameter ancaman longsor misalnya sejarah kejadian longsor, jenis batuan, kemiringan lereng,
morfologi, jenis tanah, curah hujan, dll

4. parameter kerentanan misalnya : jumlah penduduk, kepadatan penduduk, kepadatan


pemukiman, jumlah KK miskin, jumlah kelompok rentan, jumlah rumah di kawasan rawan
bencana, jumlah KK di kawasan rawan bencana, jauh dekatnya pemukiman dari daerah rawan,
jumlah penduduk tidak bisa baca tulis, penggunaan lahan di kawasan rawan, tingkat mata
pencaharian,dll
5. parameter kapasitas misalnya : jumlah tenaga kesehatan, jumlah sarana kesehatan, jumlah
penduduk yang sekolah, jumlah sekolah, desa yang punya kebijakan PB, desa yang pernah
mendapat pelatihan PB, keberadaan organisasi PB di masyarakat, keberadaan alat peringatan
dini

Sifat Riskmap

1. Dinamis : analisis risiko bukan sesuatu yang mati tetapi suatu anlisis yang dinamis dapat berubah
setiap saat tergantung upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk PRB. Dalam hal ini konsultan
menawarkan bagaimana konsep update able analisis risiko dengan peta risiko bencana di daerah
yang dapat dilakukan setiap saat oleh isntansi yang berwenang di daerah, karna dalam GIS
proses penyusunan database menjadi dasar yang kuat untuk analisis spasial

2. Partisipatif : konsultan menawarkan bukan hanya sekedar hasil peta risiko dan laporan semata,
tapi lebih pada proses yang partisipatif dan berkelanjutan

3. Akuntabel : hasil peta risiko dapat dipertanggungjawakan, data-data yang diperoleh dari seluruh
instansi di kabupaten harus melalui proses validasi dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenaran, sehingga hasil analisis risiko bisa berkelanjutan.

Manfaat Risk Map

1. Terpetakannya sebaran-sebaran ancaman yang ada, kondisi kerentanan dan kapasitas aset
penghidupan dan kehidupan masyarakat (aset alam, aset ekonomi, aset manusia, aset
infrastruktur, dan aset sosial) yang berada di darah rawan bencana

2. Sebagai alat análisis risiko bencana berbasis spasial dan database meliputi análisis ancaman dan
sebarannya, análisis kerentanan dan análisis kapasitas dari masing-masing ancaman yang ada di
suatu wilayah

3. Untuk análisis risiko pada suatu wilayah berdasarkan ancaman yang ada sebagai dasar pijakan
bagi pemerintah dalam membuat perencanaan penanggulangan bencana, meliputi kebijakan PB,
RAD, RPB, Kontinjensi

Metodologi

Penyusunan peta risiko bencana dilandaskan pada formula yang disepakati dalam Hyogo Framework
yang memasukkan parameter ancaman, kerentanan dan kapasitas dengan melakukan penyusunan
database pada setiap komponen-komponen dan memilah data berdasarkan parameter-parameter yang
ditentukan yang diformulasikan kedalam rumus :

Risiko Bencana = Ancaman x Kerentanan/Kapasitas

Penentuan parameter dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masing-masing


parameter yang dipilih. Setiap parameter akan diskor berdasarkan pembagian nilai yang ditentukan oleh
peneliti secara kuantitatif dan dibagi dalam tiga tingkatan : tinggi (3), sedang (2) dan rendah(1). Hasil
skoring ini kemudian dibobot. Besar kecilnya pembobotan dilakukan berdasarkan besar kecilnya faktor
yang mempengaruhi risiko bencana, dimana faktor terbesarnya adalah ancaman akan dibobot lebih
tinggi dan faktor terkecil adalah kerentanan dan kapasitas yang akan dibobot lebih kecil. Semua
parameter yang dipilih akan dihitung skor total dan skor bobot total dan ditumpang susun dengan data
spasial (peta geologi, peta geomorfologi, peta KRB, peta tataguna lahan, peta kelerengan, dan peta
administrasi). Dari analisa spasial menghasilkan peta kerentanan, peta kapasitas, peta ancaman. Peta
risiko bencana didapat dari hasil penggabungan parameter ancaman, parameter kerentanan, parameter
kapasitas dan data spasial dari masing-masing objek dalam aplikasi sistem informasi geografis.

Tahapan Penyusunan Peta Risiko Bencana

1. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder (buku, jurnal, data podes, peta dasar, peta
geologi, peta tatagunalahan, peta tanah, peta morfologi, data demografi dan monografi)

2. Analisis risiko bencana berdasarkan ancaman yang ada sebagai dasar awal untuk melakah dalam
melakukan analisis risiko berbasis peta/GIS

3. Penentuan parameter berdasarkan data-data primer dan sekunder (parameter ancaman,


parameter kerentanan dan parameter kapasitas) dilakukan secara partisipatif dalam suatu FGD

4. Pengambilan data primer di lapangan

5. Penyusunanan database dan data spasial dalam Sistem Informasi Geografis

6. Skoring dan pembobotan pada setiap parameter

7. Pembuatan Peta Tematik dengan metode tumpang susun (overlay) meliputi Peta Ancaman, Peta
Kerentanan, Peta Kapasitas

8. Pembuatan peta risiko bencana dengan metode tumpang susun dari total ancaman, total
kerentanan dan total kapasitas.

9. Deseminasi kepada semua pihak dalam suatu FGD

10. Publikasi dan evaluasi dalam suatu kegiatan seminar hasil

Hubungan Peta Risiko Dengan Kebijakan PB dan Pembangunan Daerah

Peta risiko bencana merupakan alat analisis risiko spasial dan database yang dapat diintegrasikan dalam
perencanaan tataruang untuk mengoptimalkan pembangunan berkelanjutan dalam perspektif
pengurangan risiko bencana. Dalam kontek risiko, bencana dapat memberi peluang terhadap
pembangunan atau dapat memundurkan pembangunan, untuk itu pentingnya pemetaan risiko bencana
dilakukan agar dapat menjadi acuan bagi daerah dalam perencanaan pembangunan yang berperspektif
penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana berbasiskan tataruang. Sasaran kebijakan dan
pembangunan akan menjadi lebih jelas

1. untuk menagani ancaman seperti melakukan mitigasi pada daerah-daerah rawan bencana
2. untuk menangani kerentanan dan kapasitas seperti peningkatan kapasitas lokal, pengamanan
aset penghidupan dan kehidupan, menekan laju pertumbuhan penduduk pada darah rawan,
membangun kesiapsiagaan di masyarakat, membangun sistem peringatan dini, melakukan
rencana aksi PB-PRB

Pendahuluan

Satu tahun sejak peristiwa bencana gempa bumi yang diikuti dengan gelombang pasang tsunami di NAD-
Nias, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik Bangsa Indonesia yaitu: 1) perlunya peningkatkan
kesadaran dan kesiapan seluruh lapisan masyarakat bahwa mereka hidup dalam kawasan yang penuh
bencana, 2) perlunya koordinasi dan penanganan bencana secara terpadu, 3) perlunya penyiapan data
dan informasi geospasial yang baik untuk mendukung penanganan daerah bencana baik untuk masa
darurat maupun masa rehabilitasi dan rekonstruksi.

Perlunya kesadaran bahwa, negara Republik Indonesia termasuk negara kepulauan yang aktif tektonik,
aktif vulkanik, beriklim tropis basah, berpenduduk padat dengan berbagai suku bangsa, sehingga tidak
pernah luput dari risiko terhadap bencana baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia.
Dengan kata lain, di mana saja dan kapan saja masyarakat di Indonesia selalu menghadapi risiko
bencana, baik gempa bumi, letusan gunungapi, tsunami, longsoran, banjir, kekeringan, angin ribut,
kebakaran hutan, dan kerusuhan antar etnik. Masing-masing jenis bencana tersebut mempunyai tingkat
kerawanan dan mengakibatkan korban jiwa dan kerugian harta yang tidak sedikit.

Demikian pula, penanganan bencana tidak akan optimal apabila dilaksanakan secara aksidental, partial,
dan sektoral. Kita terbukti belum memiliki kapasitas dan pengalaman yang tepat dalam merespon
bencana tsunami di NAD secara cepat. Kita pun menyadari perlunya koordinasi lintas sektoral dan
penanganan terpadu serta berkelanjutan dalam satu siklus penanggulangan bencana yaitu: sebelum
terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan sesudah terjadi bencana.

Penyediaan data dan informasi geospasial untuk mendukung analisa risiko bencana, merupakan satu
langkah lebih lanjut dari penentuan tingkat kerawanan bencana. Daerah yang tingkat kerawanan
terhadap satu jenis bencana tinggi, belum tentu mempunyai tingkat risiko yang tinggi, karena
penduduknya jarang atau aktivitas ekonominya rendah. Sedangkan daerah yang tingkat kerawanan
terhadap satu jenis bencana sedang hingga rendah, kemungkinan mempunyai tingkat risiko yang tinggi
karena daerahnya padat penduduk dengan berbagai aktivitas ekonomi yang strategis.

Menumbuhkan kesadaran bersama terhadap daerah bencana alam sebelum benar-benar menjadi
bencana, harus dimulai dari penyediaan informasi tentang kerawanan dan resiko atas bencana Hanya
permasalahannya adalah, apabila informasi tersebut dilakukan secara konvensional lewat pemetaan
langsung di lapangan dengan melibatkan sekitar 3-5 tenaga pemetaan, maka dibutuhkan waktu sekitar
satu sampai dua bulan hingga dapat disajikan dalam bentuk peta. Dengan kata lain, dibutuhkan lebih
dari 3000 tahun untuk menyelesaikan peta rawan dan resiko bencana seluruh wilayah Republik
Indonesia yang memiliki lebih dari 30.000 desa, atau sekitar 100 tahun untuk wilayah NAD. Belum lagi
akibat perubahan yang cukup dinamis di lapangan yang memerlukan pemutahiran informasi

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis (GIS) terbukti mampu
menyediakan informasi data geospasial setiap objek dipermukaan bumi secara cepat. Sekaligus
menyediakan sistem analisa keruangan yang akurat. Maksud tulisan ini adalah memberi masukan dalam
pemetaan rawan bencana dan risiko bencana dengan memanfaatkan teknologi remote sensing dan
sistem informasi geografis. Peta rawan bencana dan resiko bencana ini diharapkan dapat dijadikan acuan
untuk membantu penanganan bencana alam secara cepat sehingga meminimalkan korban dan kerugian
harta benda akibat bencana, terutama dalam menentukan atau mengarahkan daerah yang diprioritaskan
untuk segera ditangani. Selain itu, siapapun dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengantispasi
dampak bencana baik untuk respon darurat, pemulihan pasca bencana, penetapan strategi mitigasi
bencana, ataupun perencanaan penggunaan lahan yang komprehensip dan menggabungkannya dengan
pembangunan berkelanjutan.

Pemetaan Rawan bencana dan risiko bencana

Istilah yang terkait dalam tulisan ini adalah bencana (hazard/disaster), kerawanan (vulnerability) dan
risiko (risk). Pengertian dari bencana, bencana, dan risiko perlu diformulasikan agar terdapat konsistensi
dalam penggunaan dan pembahasannya.

Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa di alam atau di lingkungan buatan manusia yang berpotensi
merugikan kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas bila meningkat menjadi bencana. Banyak
definisi tentang bencana (Lundgreen, 1986; Carter, 1992; UNDP/UNDRO, 1992; Sutikno, 1994; Bakornas
PBP, 1998). Lundgreen (1986) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa/kejadian potensial yang
merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi
ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana alam oleh Carrara
(1984) dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh proses alam atau proses alam yang dipicu oleh
aktivitas manusia, dan merupakan salah satu unsur dalam penilaian risiko bencana. Sementara menurut
UNDP/UNDRO (1992) yang dimaksud dengan bencana adalah semua fenomena atau situasi yang
berpotensi menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada manusia, jasa, dan lingkungan. Menanggapi
banyaknya definisi tentang bencana Carter (1992) menyimpulkan bahwa sebagian besar definisi bencana
(hazard) mencerminkan karakteristik: i) gangguan terhadap kehidupan normal, ii) efek terhadap
manusia, seperti menjadi korban, luka/cacat, gangguan kesehatan, iii) efek terhadap struktur sosial, dan
iv) kebutuhan masyarakat.
Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat,
struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana
atau kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana(Sutikno, 1994; UNDP/UNDRO,
1992). Pada elemen kerentanan terdapat elemen intangibles, pada umumnya tidak diperhitungkan
karena sulit perhitungannya, dan kebanyakan elemen tangible. Tingkat kerentanan bencana menurut
dapat dinilai secara relatif berdasarkan macam dan besaran elemen bencana yang besarnya dinyatakan
dengan skala numerik.

Risiko (Risk) merupakan perkiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana terhadap elemen yang
menghadapi risiko di masa depan dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Risiko
suatu daerah atau suatu objek terhadap suatu jenis dapat diperhitungkan tingkatannya. Perhitungan
risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter umum yang
digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam biaya
ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut kerugian tangible (dapat
diperhitungkan/dinilai), sedang yang tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai uang disebut kerugian
intangible.

Parameter yang digunakan untuk penilaian tingkat bencana alam dan parameter dasar penilaian untuk
identifikasi elemen yang rawan terhadap bencana dan kerugian yang dinilai dalam analisis risiko bencana
secara kualitatif tertera laporan UNDP/UNDRO (1992)

Analisa Data Geospasial untuk Pemetaan Rawan Bencana

Disadari pula bahwa banyak daerah di Indonesia yang rawan terhadap lebih dari satu jenis bencana,
misalnya daerah yang rawan terhadap gempa bumi umumnya juga rawan terhadap bencana longsoran.
Berkaitan dengan variasi kerawanan bencananya tersebut sekaligus membantu dalam menentukan skala
prioritas penanggulangan bencana diperlukan identifikasi macam bencana sebagai bagian dari proses
pemetaan rawan bencana dan resiko bencana. Flax dkk (2002) menggambarkan selain identikasi
bencana terdapat proses lain dalam pemetaan rawan bencana dan resiko terhadap bencana alam yaitu,
analisa bencana, analisa fasilitas infrastruktur, analisa sosial, analisa lingkungan, analisa ekonomi, dan
kegiatan mitigasi.

1. Rawan Bencana Banjir

Secara hidrologis banjir disebabkan oleh banyak faktor, antara lain intensitas hujan yang sangat tinggi,
perubahan koefisien aliran/limpasan air hujan, perubahan alur sungai (Lockwood,1987, dalam
Sudibyakto, 2000). Hujan lebat merupakan salah satu penyebab banjir, yang dapat menyebabkan debit
sungai meningkat dan memungkinkan untuk meluap. Selain itu, hujan dengan intensitas tinggi yang
terjadi secara lokal berperan penting terhadap terjadinya banjir. Pembuatan peta kerawanan banjir
memperhatikan karakteristik DAS sebagai daerah tangkapan air, yaitu :

1. Luas DAS

Luas DAS tidak hanya berpengaruh terhadap waktu konsentrasi tetapi juga berpengaruh terhadap
volume total aliran air sungai. Rumus yang digunakan dalam menentukan luas DAS adalah :

Rumus : Qm = c. Adn

Keterangan :

Qm : Debit Maksimum (m3/hari)

c : Koefisien Aliran

Ad : Luas DAS (Km2)

n : Nilai Faktor

2. Bentuk DAS

Bentuk DAS berpengaruh terhadap bentuk hidrograf aliran pada outlet DAS tersebut. Bentuk hidrograf
aliran tersebut adalah membulat dan memanjang. Bentuk membulat mempunyai waktu konsentrasi
pendek, debit puncak yang tinggi, dan bentuknya meruncing. Bentuk hidrograf aliran memanjang
mempunyai waktu konsentrasi lama, debit puncak rendah dengan bentuk hidrograf yang rata (smooth).

3. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dalam hal ini lereng permukaan dalam DAS atau gradien sungai akan berpengaruh
langsung terhadap gerakan aliran permukaan.

4. Kerapatan Aliran (Drainage Density)


Rumus yang digunakan dalam menentukan kerapatan aliran (Drainage Density) adalah menggunakan
rumus Horton, yaitu :

- Drainase Baik > 2,74 km/km2

- Drainase Sedang 0,73 - 2,74 km/km2

- Drainase Jelek < 0,73

Nilai Dd juga menunjukkan adanya dissection level, perkembangan erosi dan tingkat genangan.

5. Batuan

Batuan berpengaruh terhadap kapasitas storage yang selanjutnya terhadap karakteristik run-off. DAS
dengan batuan impervious, tidak dapat menyimpan atau meresapkan air ke dalam batuan sehingga
direct run off terjadi setelah hujan dan hidrograf dengan puncak tinggi, sedangkan DAS dengan batuan
permeable dapat menyimpan air sementara dalam batuan sehingga run off kecil dan hidrograf yang ada
dengan debit puncak rendah (kecil).

6. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan berpengaruh terhadap penentuan criteria daerah rentan terhadap banjir, seperti
tanah terbuka lebih resiko dibandingkan dengana danya penutup tanaman.

Penentuan Peta Rawan Banjir dihasilkan dari hasil tumpang-susun Peta Kerapatan Aliran, Peta Lereng,
Peta Tutupan Vegetasi, Peta Bentuk Lahan, dan Peta Tanah. Proses tumpang-susun dilakukan dengan
metode perkalian antara skor dari masing-masing peta input/masukan. Klasifikasi akhir hasil tumpang-
susun menjadi klas rawan, sedang, dan tidak rawan pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan
kriteria klasifikasi klas kerawanan banjir tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Klas Kerawanan Banjir


2. Metode penentuan tingkat risiko bencana banjir

2.a). Model I penentuan tingkat risiko bencana banjir.

Model pertama adalah model matematis, yang penilaian risiko didasarkan pada komponen bencana dan
komponen kerentanan. Tiap komponen dijabarkan menjadi faktor penyebab terjadinya sesuatu yang
berkaitan dengan bencana dan kerentanan. Tiap faktor dirinci menjadi indikator atau kelas yang
berpengaruh pada besaran komponen. Fungsi komponen ditentukan besarannya bedasarkan nilai yang
diberikan pada faktor dan indikator. Risiko merupakan gabungan nilai bencana dan kerentanan secara
terintegrasi. Penilaian risiko didasarkan atas perkalian besaran komponen, faktor, dan indikator. Model
matematis pada model ini adalah:

Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen.

R=ixfxk

Dimana : R = risiko

i = indikator, f = faktor, dan k = komponen

2.b). Model II penentuan risiko bencana banjir.

Model kedua adalah model konseptual. Pada konsep ini setiap kejadian di dasarkan pada fungsi faktor
yang berkaitan dengan risiko. Perbedaaan peran digunakan sebagai penentu pemberian bobot dan skor.
Tiap faktor ditinjau fungsi terhadap kejadian, kemudian satu faktor dirinci menjadi kelas. Pada tingkat
fungsi faktor diberi bobot dan pada kelas diberi skor sesuai dengan pengaruh pada satu proses, contoh:
curah hujan menpunyai fungsi lebih besar dari pada lereng, maka bobot curah hujan lebih tinggi dari
lereng dan pada klasifikasi curah hujan, hujan dengan kelas tinggi diberi skor lebih besar dari kelas
dibawahnya. Curah hujan diberi bobot 50, dan lereng 40 sedang lereng 40 % diberi skor 50 dan lereng
25%-40% di beri skor 30 misalnya.
Peran besaran pada tiap faktor dapat dibuat seragam klasifikasinya besar, sedang dan kecil dalam
bentuk angka besar identik dengan 3, sedang 2 dan kecil 1. Dalam pemberian angka ini harus konsisten,
pemberian angka 3 berarti peran besaran pada faktor tertentu tertinggi dan 1 adalah terendah.

Perkiraan bencana banjir dilakukan.

Curah hujan : nilai peran 50,

Klasifikasi Curah hujan :

Besar : 3

Sedang : 2

Kecil : 1

Lereng : Nilai peran 25

Klasifikasi Lereng :

Besar : 3

Sedang : 2

Kecil : 1

Liputan lahan : Nilai peran 15

Klasifikasi Liputan lahan :

Besar : 3

Sedang : 2

Kecil : 1

Tanah : Nilai peran 10

Klasifikasi Tanah :

Besar : 3
Sedang : 2

Kecil : 1

3. Metode dan Analisis Risiko Bencana Longsor

Sementara penyebab longsor dalam artian luas adalah: relief, drainase, batuan induk/batuan dasar,
regolit, kegempaan, iklim dan pengaruh manusia ( Cooke dan Dornkamp, 1990). Variabel yang digunakan
kedua bencana ini relatif hampir sama yaitu : satuan bentuklahan, lereng, tanah, batuan, proses
geomorfik, air tanah, tutupan lahan dan curah hujan, sedangkan variabel sosial ekonominya meliputi
aspek penduduk (jumlah) dan aspek harta benda (sawah, ladang, kebun, ternak, rumah dan isinya,
dalam rupiah).

3.1. Metode penentuan tingkat kerawanan bencana longsor

Analisis longsor secara umum didasarkan pada lima faktor yang menyebabkan terjadinya yaitu : geologi,
morfologi, curah hujan, penggunaan lahan, dan intensitas gempa. Berdasarkan faktor - faktor tersebut
disusun tingkatan kerawanan bencana alam longsor dengan mengacu kriteria pada Sugalang dan Siagian
(1991).

Peta Rawan Longsor dihasilkan dari tumpang-susun antara Peta Geologi, Peta Curah Hujan, Peta Lereng,
Peta Penggunaan Lahan, Peta Tanah dan Peta Bentuklahan. Tumpang-susun dilakukan dengan
mengalikan skor dari masing-masing peta masukan yang digunakan. Pemetaan daerah rawan bencana
longsor ini dilakukan dengan pendekatan morfodinamik. Secara konseptual data yang dibutuhkan untuk
analisis dan menentukan peta rawan bencana longsor adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
Hasil akhir dari proses tumpang-susun diklasifikasi menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Tidak rawan

2. Rawan,

3. Sangat rawan

3.2. Metode penentuan tingkat risiko bencana longsor

Kerangka kerja untuk penilaian risiko bencana longsor didasarkan pada potensi bencana, derajat
kehilangan (vulnerability). Potensi bencana (yang mencakup intensitas atau magnitut dan probalititas
kajadian) yang penilaian didasarkan pada faktor alamiah (yang dapat dikaji melalui observasi,
inventarisasi, akunting dan peta tematik).
3.2.a. Metode I penentuan tingkat risiko bencana longsor.

Penilaian menurut Mark dan Stuart (1977, dalam Lundgreen, 1986) untuk menilai risiko bencana
kemungkinan jebolnya suatu dam di Amerika dengan menggunakan rumus:

R = f pc C(v) ………………………………………………….(2)

dalam hal ini :

R = risiko

fp c = probabilitas dari kejadian spesifik atau konsekuensi

C (v) = nilai konsekuensi akibat bencana

Berdasarkan data hasil perkiraan tersebut, dapat diperhitungkan peta kemampuan lahan untuk tujuan
dan bencana tertentu. Peta kemampuan lahan untuk memperkirakan risiko tersebut dapat menunjukan
biaya tambahan akibat bencana dan kehilangan sumberdaya..

3.2.b). Metode II penentuan tingkat risiko bencana longsor

Metode ke dua menggunakan satuan medan sebagai satuan pemetaan bencana dan satuan evaluasi
risiko. Variabel yang digunakan dipilih variabel selektif yaitu: kemiringan lereng, keterdapatan mata air,
kedalaman muka airtanah, tingkat pelapukan batuan, kejadian longsor sebelumnya, kerapatan kekar,
struktur perlapisan batuan, permeabilitas tanah/batuan, penutup lahan, dan curah hujan; sedang aspek
sosial ekonomi variabel yang digunakan kerugian jiwa dan kerugian ekonomis. Kriteria dari masing-
masing variabel ditentutkan berdasar klasifikasi yang dikembangkan oleh BAKOSURTANAL (2005)

Perhitungan tingkat risiko dengan cara kedua adalah sebagai berikut.

1) Jumlah harkat parameter medan:

· nilai maksimum (risiko tinggi)= 8(jumlah variabel medan) x 4 (nilai harkat maksimum tiap variabel) = 32

· nilai minimum (risiko rendah) = 8 (jumlah variabel medan) x 1 (nilai harkat minimum tiap variabel) = 8
2) Faktor keamanan (Bowles, 1984):

· nilai maksimum (risiko tinggi) = <1 o:p="">

· nilai minimum (risiko rendah) = >1,25

3) Parameter sosial ekonomi:

· nilai harkat maksimum = 1

· nilai harkat minimum = 0,1

4) Penilaian risiko spesifik adalah sebagai berikut:

· nilai risiko spesifik maksimum=32x1,07x1= 34,24 à 34 (dibulatkan)

· nilai risiko spesifik minimum = 8x1,25x0,1= 1

5) Elemen yang berisiko:

· Nilai maksimum yang berisiko = 1

· Nilai minimum yang berisiko = 0

6) Nilai risiko total

· Nilai risiko total maksium = 34 x1 = 34

· Nilai risiko total minimum = 1 x 0 = 0

7) Klas risiko total yang digunakan = 3, klas intervalnya= (34-0)/5= 7

Tingkat risiko totalnya menjadi:

· > 28 : risiko sangat tinggi

· 22 – 28 : risiko tinggi

· 15 – 21 : risiko sedang

· 7 – 14 : risiko rendah

· < 7 : risiko sangat rendah

3.2.c). Metode III penentuan tingkat risiko bencana longsor

Metode ketiga dalam penilaian risiko menggunakan pendekatan satuan medan sebagai satuan
pemetaan, dan evaluasinya menggunakan pembobotan dan pengharkatan, seperti yang dikonsepkan
Sutikno (2002). Penentuan tingkat risiko didasarkan pada nilai obyek bencana dan tingkat jumlah
pekerja/aktifitas manusia dengan cara pengharkatan dan pembobotan. Rincian dari penentuan tingkat
risiko adalah sebagai berikut.

1) Tingkat kerapatan rumah/gedung per satuan medan

a. kerapatan tinggi > 60% à H (tinggi)

b. kerapatan sedang 60-30% à M (sedang)

c. kerapatan rendah < style=""> à L (rendah)

d. Bobot tingkatan (relatif): H:S:R =3:2:1

2) Tingkat jumlah pekerja/aktivitas manusia di satuan pertanian/perkebunan/hutan dengan asumsi:

a. kerentanan dianggap konstan;

b. makin tinggi kerapatan rumah makin padat penduduknya;

c. tingkat aktivitas manusia di permukiman lebih tinggi, kemudian secara berurutan pertanian,
perkebunan dan hutan;

d. nilai relatif bobot infrastruktur dianggap sama dan konstan, tidak mempengaruhi nilai risiko relatif dari
unit bersangkutan.

4. Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan

Berbagai model dikembangkan untuk pemetaan kerawanan kebakaran hutan (Chuvico dan Salas, 1996;
Darmawan dkk, 2001). Secara ringkas terbagi tiga yaitu: model berdasarkan pemilihan senstif index atau
pembobotan dan skoring atas faktor penyebab kebakaran hutan, berdasarkan regresi analysis, dan
berdasarkan standard index.

Pemetaan resiko kebakaran hutan

Kajian risiko kebakaran hutan sebetulnya mirip dengan kajian bencana yang lain, yang membedakan
adalah faktor penyebab, tingkat bencana dan elemen yang terkena menghadapi risiko. Analisa resiko
kebakaran tergantung pada lokasinya apakah di hutan lindung atau di areal perkebunan.
Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen ekonomi dan atau lingkungan.

R=ixfxk

Dimana :

R = risiko

i = indikator

f = faktor

k = komponen

Kesimpulan

Paper ini telah membahas tentang metodologi pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko bencana
dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan teknologi sistem informasi geografis.

Diperlukan kesatuan aktivitas antara pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko bencana untuk
wilayah terkena bencana di Indonesia. Bagi semua tipe bencana, kriteria penentuan tingkat risiko
bencana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. risiko tinggi

b. risiko sedang

c. risiko rendah

Integrasi teknologi penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis sangat membantu dalam
penyusunan pemetaan rawan bencana dan resiko bencana.

Pendahuluan

Satu tahun sejak peristiwa bencana gempa bumi yang diikuti dengan gelombang pasang tsunami di NAD-
Nias, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik Bangsa Indonesia yaitu: 1) perlunya peningkatkan
kesadaran dan kesiapan seluruh lapisan masyarakat bahwa mereka hidup dalam kawasan yang penuh
bencana, 2) perlunya koordinasi dan penanganan bencana secara terpadu, 3) perlunya penyiapan data
dan informasi geospasial yang baik untuk mendukung penanganan daerah bencana baik untuk masa
darurat maupun masa rehabilitasi dan rekonstruksi.

Perlunya kesadaran bahwa, negara Republik Indonesia termasuk negara kepulauan yang aktif tektonik,
aktif vulkanik, beriklim tropis basah, berpenduduk padat dengan berbagai suku bangsa, sehingga tidak
pernah luput dari risiko terhadap bencana baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia.
Dengan kata lain, di mana saja dan kapan saja masyarakat di Indonesia selalu menghadapi risiko
bencana, baik gempa bumi, letusan gunungapi, tsunami, longsoran, banjir, kekeringan, angin ribut,
kebakaran hutan, dan kerusuhan antar etnik. Masing-masing jenis bencana tersebut mempunyai tingkat
kerawanan dan mengakibatkan korban jiwa dan kerugian harta yang tidak sedikit.

Demikian pula, penanganan bencana tidak akan optimal apabila dilaksanakan secara aksidental, partial,
dan sektoral. Kita terbukti belum memiliki kapasitas dan pengalaman yang tepat dalam merespon
bencana tsunami di NAD secara cepat. Kita pun menyadari perlunya koordinasi lintas sektoral dan
penanganan terpadu serta berkelanjutan dalam satu siklus penanggulangan bencana yaitu: sebelum
terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan sesudah terjadi bencana.

Penyediaan data dan informasi geospasial untuk mendukung analisa risiko bencana, merupakan satu
langkah lebih lanjut dari penentuan tingkat kerawanan bencana. Daerah yang tingkat kerawanan
terhadap satu jenis bencana tinggi, belum tentu mempunyai tingkat risiko yang tinggi, karena
penduduknya jarang atau aktivitas ekonominya rendah. Sedangkan daerah yang tingkat kerawanan
terhadap satu jenis bencana sedang hingga rendah, kemungkinan mempunyai tingkat risiko yang tinggi
karena daerahnya padat penduduk dengan berbagai aktivitas ekonomi yang strategis.

Menumbuhkan kesadaran bersama terhadap daerah bencana alam sebelum benar-benar menjadi
bencana, harus dimulai dari penyediaan informasi tentang kerawanan dan resiko atas bencana Hanya
permasalahannya adalah, apabila informasi tersebut dilakukan secara konvensional lewat pemetaan
langsung di lapangan dengan melibatkan sekitar 3-5 tenaga pemetaan, maka dibutuhkan waktu sekitar
satu sampai dua bulan hingga dapat disajikan dalam bentuk peta. Dengan kata lain, dibutuhkan lebih
dari 3000 tahun untuk menyelesaikan peta rawan dan resiko bencana seluruh wilayah Republik
Indonesia yang memiliki lebih dari 30.000 desa, atau sekitar 100 tahun untuk wilayah NAD. Belum lagi
akibat perubahan yang cukup dinamis di lapangan yang memerlukan pemutahiran informasi

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis (GIS) terbukti mampu
menyediakan informasi data geospasial setiap objek dipermukaan bumi secara cepat. Sekaligus
menyediakan sistem analisa keruangan yang akurat. Maksud tulisan ini adalah memberi masukan dalam
pemetaan rawan bencana dan risiko bencana dengan memanfaatkan teknologi remote sensing dan
sistem informasi geografis. Peta rawan bencana dan resiko bencana ini diharapkan dapat dijadikan acuan
untuk membantu penanganan bencana alam secara cepat sehingga meminimalkan korban dan kerugian
harta benda akibat bencana, terutama dalam menentukan atau mengarahkan daerah yang diprioritaskan
untuk segera ditangani. Selain itu, siapapun dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengantispasi
dampak bencana baik untuk respon darurat, pemulihan pasca bencana, penetapan strategi mitigasi
bencana, ataupun perencanaan penggunaan lahan yang komprehensip dan menggabungkannya dengan
pembangunan berkelanjutan.

Pemetaan Rawan bencana dan risiko bencana

Istilah yang terkait dalam tulisan ini adalah bencana (hazard/disaster), kerawanan (vulnerability) dan
risiko (risk). Pengertian dari bencana, bencana, dan risiko perlu diformulasikan agar terdapat konsistensi
dalam penggunaan dan pembahasannya.

Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa di alam atau di lingkungan buatan manusia yang berpotensi
merugikan kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas bila meningkat menjadi bencana. Banyak
definisi tentang bencana (Lundgreen, 1986; Carter, 1992; UNDP/UNDRO, 1992; Sutikno, 1994; Bakornas
PBP, 1998). Lundgreen (1986) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa/kejadian potensial yang
merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi
ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana alam oleh Carrara
(1984) dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh proses alam atau proses alam yang dipicu oleh
aktivitas manusia, dan merupakan salah satu unsur dalam penilaian risiko bencana. Sementara menurut
UNDP/UNDRO (1992) yang dimaksud dengan bencana adalah semua fenomena atau situasi yang
berpotensi menimbulkan kerusakan atau kehancuran pada manusia, jasa, dan lingkungan. Menanggapi
banyaknya definisi tentang bencana Carter (1992) menyimpulkan bahwa sebagian besar definisi bencana
(hazard) mencerminkan karakteristik: i) gangguan terhadap kehidupan normal, ii) efek terhadap
manusia, seperti menjadi korban, luka/cacat, gangguan kesehatan, iii) efek terhadap struktur sosial, dan
iv) kebutuhan masyarakat.

Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat,
struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana
atau kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana(Sutikno, 1994; UNDP/UNDRO,
1992). Pada elemen kerentanan terdapat elemen intangibles, pada umumnya tidak diperhitungkan
karena sulit perhitungannya, dan kebanyakan elemen tangible. Tingkat kerentanan bencana menurut
dapat dinilai secara relatif berdasarkan macam dan besaran elemen bencana yang besarnya dinyatakan
dengan skala numerik.

Risiko (Risk) merupakan perkiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana terhadap elemen yang
menghadapi risiko di masa depan dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Risiko
suatu daerah atau suatu objek terhadap suatu jenis dapat diperhitungkan tingkatannya. Perhitungan
risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter umum yang
digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam biaya
ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut kerugian tangible (dapat
diperhitungkan/dinilai), sedang yang tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai uang disebut
kerugian intangible.

Parameter yang digunakan untuk penilaian tingkat bencana alam dan parameter dasar penilaian untuk
identifikasi elemen yang rawan terhadap bencana dan kerugian yang dinilai dalam analisis risiko bencana
secara kualitatif tertera laporan UNDP/UNDRO (1992)

Analisa Data Geospasial untuk Pemetaan Rawan Bencana

Disadari pula bahwa banyak daerah di Indonesia yang rawan terhadap lebih dari satu jenis bencana,
misalnya daerah yang rawan terhadap gempa bumi umumnya juga rawan terhadap bencana longsoran.
Berkaitan dengan variasi kerawanan bencananya tersebut sekaligus membantu dalam menentukan skala
prioritas penanggulangan bencana diperlukan identifikasi macam bencana sebagai bagian dari proses
pemetaan rawan bencana dan resiko bencana. Flax dkk (2002) menggambarkan selain identikasi
bencana terdapat proses lain dalam pemetaan rawan bencana dan resiko terhadap bencana alam yaitu,
analisa bencana, analisa fasilitas infrastruktur, analisa sosial, analisa lingkungan, analisa ekonomi, dan
kegiatan mitigasi.

1. Rawan Bencana Banjir

Secara hidrologis banjir disebabkan oleh banyak faktor, antara lain intensitas hujan yang sangat tinggi,
perubahan koefisien aliran/limpasan air hujan, perubahan alur sungai (Lockwood,1987, dalam
Sudibyakto, 2000). Hujan lebat merupakan salah satu penyebab banjir, yang dapat menyebabkan debit
sungai meningkat dan memungkinkan untuk meluap. Selain itu, hujan dengan intensitas tinggi yang
terjadi secara lokal berperan penting terhadap terjadinya banjir. Pembuatan peta kerawanan banjir
memperhatikan karakteristik DAS sebagai daerah tangkapan air, yaitu :

1. Luas DAS

Luas DAS tidak hanya berpengaruh terhadap waktu konsentrasi tetapi juga berpengaruh terhadap
volume total aliran air sungai. Rumus yang digunakan dalam menentukan luas DAS adalah :

Rumus : Qm = c. Adn

Keterangan :

Qm : Debit Maksimum (m3/hari)

c : Koefisien Aliran

Ad : Luas DAS (Km2)


n : Nilai Faktor

2. Bentuk DAS

Bentuk DAS berpengaruh terhadap bentuk hidrograf aliran pada outlet DAS tersebut. Bentuk hidrograf
aliran tersebut adalah membulat dan memanjang. Bentuk membulat mempunyai waktu konsentrasi
pendek, debit puncak yang tinggi, dan bentuknya meruncing. Bentuk hidrograf aliran memanjang
mempunyai waktu konsentrasi lama, debit puncak rendah dengan bentuk hidrograf yang rata (smooth).

3. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dalam hal ini lereng permukaan dalam DAS atau gradien sungai akan berpengaruh
langsung terhadap gerakan aliran permukaan.

4. Kerapatan Aliran (Drainage Density)

Rumus yang digunakan dalam menentukan kerapatan aliran (Drainage Density) adalah menggunakan
rumus Horton, yaitu :

- Drainase Baik > 2,74 km/km2

- Drainase Sedang 0,73 - 2,74 km/km2

- Drainase Jelek < 0,73

Nilai Dd juga menunjukkan adanya dissection level, perkembangan erosi dan tingkat genangan.

5. Batuan
Batuan berpengaruh terhadap kapasitas storage yang selanjutnya terhadap karakteristik run-of. DAS
dengan batuan impervious, tidak dapat menyimpan atau meresapkan air ke dalam batuan
sehingga direct run of terjadi setelah hujan dan hidrograf dengan puncak tinggi, sedangkan DAS dengan
batuan permeable dapat menyimpan air sementara dalam batuan sehingga run off kecil dan hidrograf
yang ada dengan debit puncak rendah (kecil).

6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan berpengaruh terhadap penentuan criteria daerah rentan terhadap banjir, seperti
tanah terbuka lebih resiko dibandingkan dengana danya penutup tanaman.

Penentuan Peta Rawan Banjir dihasilkan dari hasil tumpang-susun Peta Kerapatan Aliran, Peta Lereng,
Peta Tutupan Vegetasi, Peta Bentuk Lahan, dan Peta Tanah. Proses tumpang-susun dilakukan dengan
metode perkalian antara skor dari masing-masing peta input/masukan. Klasifikasi akhir hasil tumpang-
susun menjadi klas rawan, sedang, dan tidak rawan pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan
kriteria klasifikasi klas kerawanan banjir tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Klas Kerawanan Banjir

2. Metode penentuan tingkat risiko bencana banjir

2.a). Model I penentuan tingkat risiko bencana banjir.

Model pertama adalah model matematis, yang penilaian risiko didasarkan pada komponen bencana dan
komponen kerentanan. Tiap komponen dijabarkan menjadi faktor penyebab terjadinya sesuatu yang
berkaitan dengan bencana dan kerentanan. Tiap faktor dirinci menjadi indikator atau kelas yang
berpengaruh pada besaran komponen. Fungsi komponen ditentukan besarannya bedasarkan nilai yang
diberikan pada faktor dan indikator. Risiko merupakan gabungan nilai bencana dan kerentanan secara
terintegrasi. Penilaian risiko didasarkan atas perkalian besaran komponen, faktor, dan indikator. Model
matematis pada model ini adalah:
Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen.

R=ixfxk

Dimana : R = risiko

i = indikator, f = faktor, dan k = komponen

2.b). Model II penentuan risiko bencana banjir.

Model kedua adalah model konseptual. Pada konsep ini setiap kejadian di dasarkan pada fungsi faktor
yang berkaitan dengan risiko. Perbedaaan peran digunakan sebagai penentu pemberian bobot dan skor.
Tiap faktor ditinjau fungsi terhadap kejadian, kemudian satu faktor dirinci menjadi kelas. Pada tingkat
fungsi faktor diberi bobot dan pada kelas diberi skor sesuai dengan pengaruh pada satu proses, contoh:
curah hujan menpunyai fungsi lebih besar dari pada lereng, maka bobot curah hujan lebih tinggi dari
lereng dan pada klasifikasi curah hujan, hujan dengan kelas tinggi diberi skor lebih besar dari kelas
dibawahnya. Curah hujan diberi bobot 50, dan lereng 40 sedang lereng 40 % diberi skor 50 dan lereng
25%-40% di beri skor 30 misalnya.

Peran besaran pada tiap faktor dapat dibuat seragam klasifikasinya besar, sedang dan kecil dalam
bentuk angka besar identik dengan 3, sedang 2 dan kecil 1. Dalam pemberian angka ini harus konsisten,
pemberian angka 3 berarti peran besaran pada faktor tertentu tertinggi dan 1 adalah terendah.

Perkiraan bencana banjir dilakukan.

Curah hujan : nilai peran 50,

Klasifikasi Curah hujan :


Besar : 3

Sedang : 2

Kecil : 1

Lereng : Nilai peran 25

Klasifikasi Lereng :
Besar : 3

Sedang : 2
Kecil : 1

Liputan lahan : Nilai peran 15

Klasifikasi Liputan lahan :


Besar : 3

Sedang : 2

Kecil : 1

Tanah : Nilai peran 10

Klasifikasi Tanah :
Besar : 3

Sedang : 2

Kecil : 1

3. Metode dan Analisis Risiko Bencana Longsor

Sementara penyebab longsor dalam artian luas adalah: relief, drainase, batuan induk/batuan dasar,
regolit, kegempaan, iklim dan pengaruh manusia ( Cooke dan Dornkamp, 1990). Variabel yang digunakan
kedua bencana ini relatif hampir sama yaitu : satuan bentuklahan, lereng, tanah, batuan, proses
geomorfik, air tanah, tutupan lahan dan curah hujan, sedangkan variabel sosial ekonominya meliputi
aspek penduduk (jumlah) dan aspek harta benda (sawah, ladang, kebun, ternak, rumah dan isinya,
dalam rupiah).

3.1. Metode penentuan tingkat kerawanan bencana longsor

Analisis longsor secara umum didasarkan pada lima faktor yang menyebabkan terjadinya yaitu : geologi,
morfologi, curah hujan, penggunaan lahan, dan intensitas gempa. Berdasarkan faktor - faktor tersebut
disusun tingkatan kerawanan bencana alam longsor dengan mengacu kriteria pada Sugalang dan Siagian
(1991).
Peta Rawan Longsor dihasilkan dari tumpang-susun antara Peta Geologi, Peta Curah Hujan, Peta Lereng,
Peta Penggunaan Lahan, Peta Tanah dan Peta Bentuklahan. Tumpang-susun dilakukan dengan
mengalikan skor dari masing-masing peta masukan yang digunakan. Pemetaan daerah rawan bencana
longsor ini dilakukan dengan pendekatan morfodinamik. Secara konseptual data yang dibutuhkan untuk
analisis dan menentukan peta rawan bencana longsor adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
Hasil akhir dari proses tumpang-susun diklasifikasi menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Tidak rawan
2. Rawan,

3. Sangat rawan

3.2. Metode penentuan tingkat risiko bencana longsor

Kerangka kerja untuk penilaian risiko bencana longsor didasarkan pada potensi bencana, derajat
kehilangan (vulnerability). Potensi bencana (yang mencakup intensitas atau magnitut dan probalititas
kajadian) yang penilaian didasarkan pada faktor alamiah (yang dapat dikaji melalui observasi,
inventarisasi, akunting dan peta tematik).

3.2.a. Metode I penentuan tingkat risiko bencana longsor.

Penilaian menurut Mark dan Stuart (1977, dalam Lundgreen, 1986) untuk menilai risiko bencana
kemungkinan jebolnya suatu dam di Amerika dengan menggunakan rumus:

R = f pc C(v) ………………………………………………….(2)

dalam hal ini :


R = risiko

fp c = probabilitas dari kejadian spesifik atau konsekuensi

C (v) = nilai konsekuensi akibat bencana

Berdasarkan data hasil perkiraan tersebut, dapat diperhitungkan peta kemampuan lahan untuk tujuan
dan bencana tertentu. Peta kemampuan lahan untuk memperkirakan risiko tersebut dapat menunjukan
biaya tambahan akibat bencana dan kehilangan sumberdaya..

3.2.b). Metode II penentuan tingkat risiko bencana longsor

Metode ke dua menggunakan satuan medan sebagai satuan pemetaan bencana dan satuan evaluasi
risiko. Variabel yang digunakan dipilih variabel selektif yaitu: kemiringan lereng, keterdapatan mata air,
kedalaman muka airtanah, tingkat pelapukan batuan, kejadian longsor sebelumnya, kerapatan kekar,
struktur perlapisan batuan, permeabilitas tanah/batuan, penutup lahan, dan curah hujan; sedang aspek
sosial ekonomi variabel yang digunakan kerugian jiwa dan kerugian ekonomis. Kriteria dari masing-
masing variabel ditentutkan berdasar klasifikasi yang dikembangkan oleh BAKOSURTANAL (2005)
Perhitungan tingkat risiko dengan cara kedua adalah sebagai berikut.

1) Jumlah harkat parameter medan:

· nilai maksimum (risiko tinggi)= 8(jumlah variabel medan) x 4 (nilai harkat maksimum tiap variabel) = 32

· nilai minimum (risiko rendah) = 8 (jumlah variabel medan) x 1 (nilai harkat minimum tiap variabel) = 8

2) Faktor keamanan (Bowles, 1984):

· nilai maksimum (risiko tinggi) = <1 o:p="">

· nilai minimum (risiko rendah) = >1,25

3) Parameter sosial ekonomi:

· nilai harkat maksimum = 1

· nilai harkat minimum = 0,1

4) Penilaian risiko spesifik adalah sebagai berikut:

· nilai risiko spesifik maksimum=32x1,07x1= 34,24 à 34 (dibulatkan)

· nilai risiko spesifik minimum = 8x1,25x0,1= 1

5) Elemen yang berisiko:

· Nilai maksimum yang berisiko = 1

· Nilai minimum yang berisiko = 0

6) Nilai risiko total

· Nilai risiko total maksium = 34 x1 = 34

· Nilai risiko total minimum = 1 x 0 = 0

7) Klas risiko total yang digunakan = 3, klas intervalnya= (34-0)/5= 7

Tingkat risiko totalnya menjadi:

· > 28 : risiko sangat tinggi

· 22 – 28 : risiko tinggi

· 15 – 21 : risiko sedang
· 7 – 14 : risiko rendah

· < 7 : risiko sangat rendah

3.2.c). Metode III penentuan tingkat risiko bencana longsor

Metode ketiga dalam penilaian risiko menggunakan pendekatan satuan medan sebagai satuan
pemetaan, dan evaluasinya menggunakan pembobotan dan pengharkatan, seperti yang dikonsepkan
Sutikno (2002). Penentuan tingkat risiko didasarkan pada nilai obyek bencana dan tingkat jumlah
pekerja/aktifitas manusia dengan cara pengharkatan dan pembobotan. Rincian dari penentuan tingkat
risiko adalah sebagai berikut.

1) Tingkat kerapatan rumah/gedung per satuan medan

a. kerapatan tinggi > 60% à H (tinggi)

b. kerapatan sedang 60-30% à M (sedang)

c. kerapatan rendah < style=""> à L (rendah)

d. Bobot tingkatan (relatif): H:S:R =3:2:1

2) Tingkat jumlah pekerja/aktivitas manusia di satuan pertanian/perkebunan/hutan dengan asumsi:

a. kerentanan dianggap konstan;

b. makin tinggi kerapatan rumah makin padat penduduknya;

c. tingkat aktivitas manusia di permukiman lebih tinggi, kemudian secara berurutan pertanian,
perkebunan dan hutan;

d. nilai relatif bobot infrastruktur dianggap sama dan konstan, tidak mempengaruhi nilai risiko relatif dari
unit bersangkutan.

4. Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan

Berbagai model dikembangkan untuk pemetaan kerawanan kebakaran hutan (Chuvico dan Salas, 1996;
Darmawan dkk, 2001). Secara ringkas terbagi tiga yaitu: model berdasarkan pemilihan senstif index atau
pembobotan dan skoring atas faktor penyebab kebakaran hutan, berdasarkan regresi analysis, dan
berdasarkan standard index.

Pemetaan resiko kebakaran hutan


Kajian risiko kebakaran hutan sebetulnya mirip dengan kajian bencana yang lain, yang membedakan
adalah faktor penyebab, tingkat bencana dan elemen yang terkena menghadapi risiko. Analisa resiko
kebakaran tergantung pada lokasinya apakah di hutan lindung atau di areal perkebunan.

Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen ekonomi dan atau lingkungan.

R=ixfxk

Dimana :
R = risiko

i = indikator

f = faktor

k = komponen

Kesimpulan

Paper ini telah membahas tentang metodologi pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko bencana
dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan teknologi sistem informasi geografis.

Diperlukan kesatuan aktivitas antara pemetaan rawan bencana dan pemetaan resiko bencana untuk
wilayah terkena bencana di Indonesia. Bagi semua tipe bencana, kriteria penentuan tingkat risiko
bencana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. risiko tinggi

b. risiko sedang

c. risiko rendah

Integrasi teknologi penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis sangat membantu dalam
penyusunan pemetaan rawan bencana dan resiko bencana.

Anda mungkin juga menyukai