Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh :
Ahmad Muhtar 1740312619
Yola Anggraini 1740312617
Yudi Putra Wardhana 1740312622

Preseptor :

Dr.dr. Roni Eka Saputra, Sp.OT(K)-Spine

KEPANITERAAN KLINIK FOME III FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan/atau faktor endogen, menyebabkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,

skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu terjadi

bersamaan, dapat hanya satu jenis (oligomorfik). Dermatitis cenderung kronik dan

residif.1,2

Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar tubuh (eksogen), misalnya bahan

kimia (contoh: deterjen, asam, basa, oli, semen), mikroorganisme (bakteri, jamur);

dan dapat pula dari dalam tubuh (endogen), misalnya dermatitis atopi. Sebagian

lagi etiologinya tidak diketahui dengan pasti.1,2

Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi

yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis

kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA). Keduanya dapat bersifat

akut maupun kronik. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit

non-imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses

pengenalan/sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada

seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan

penyebab/alergen.1,3

2
Seiring dengan banyaknya jumlah produk yang mengandung bahan kimia

yang dipakai oleh masyarakat, penderita dermatitis kontak iritan dan dermatitis

kontak alergi semakin meningkat. Data terbaru dari Amerika menunjukkan bahwa

dermatitis kontak akibat kerja cukup tinggi yaitu berkisar antara 50-60%. Dalam

menegakkan suatu dermatitis kontak alergi tidak lah gampang, seorang dokter

memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat untuk

menegakkan diagnosis tersebut.1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dan manfaat penulisan Case report se ini adalah untuk menambah

pengetahuan tentang epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, manifestasi

klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana dan prognosis dari dermatitis

kontak alergik.

1.3 Metode Penulisan

Metode Penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan

dari berbagai literatur.

3
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi. DKA

merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV,

dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang

menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.4, 5

1.2 Epidemiologi

Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari

penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat. 1 Berdasarkan

beberapa studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi

oleh alergen-alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan

(18,8%) ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun,

harus dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA dalam populasi

(yaitu, jumlah individu yang potensial menderita DKA bila terkena alergen), dan

ini bukan merupakan angka insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita DKA

setelah jangka waktu tertentu).3 Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi

dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun berdasarkan penelitian pada penata

rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek samping kosmetik, dimana

25, 4 persen dari angka itu menderita DKA.4

Usia

Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18

sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk terjadi

4
dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi reaksi imun yang dimediasi sel T

pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini masih menganggap bahwa anak-

anak jarang mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh yang belum

matang, namun Strauss menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang jelas pada

anak-anak mungkin karena terbatasnya paparan dan bukan karena kurangnya

imunitas. Dengan demikian, reaksi alergi terlihat terutama pada pasien anak yang

lebih tua dan yang terjadi sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel, atau

wewangian.3

Pola Paparan

Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi bervariasi tidak

hanya pada usia, tetapi juga dengan faktor sosial, lingkungan, kegemaran, dan

pekerjaan. Meskipun sebagian besar variasi yang berkaitan dengan jenis kelamin

dan geografis pada DKA telah dikaitkan dengan faktor-faktor sosial dan

lingkungan, kegemaran dan pekerjaan memiliki efek yang lebih menonjol.3

Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta yang sering adalah gangguan yang terkait dengan

defisiensi imun, seperti AIDS atau imunodefisiensi berat, penyakit yang beragam

seperti limfoma, sarkoidosis, kusta lepromatosa, dan dermatitis atopik telah

dikaitkan dengan kurangnya reaktivitas atau anergy.3

Pekerjaan yang Umumnya Terkait dengan DKA

Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan DKA dan hal itu

berkaitan dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan tertentu. Ada

pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja konstruksi, elektronik dan industri

lukisan, rambut, industri sektor makanan dan logam, dan industri produk

5
pembersih.2,6,7,8,9

1.3 Etiologi

Sekitar 25 bahan kimia yang tampaknya memberi pengaruh terhadap

sebanyak setengah dari semua kasus DKA. Ini termasuk nikel, pengawet,

pewarna, dan parfum. Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat

molekul rendah (<100 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat

reaktif, dan dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis

bagian dalam. Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya

potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama

pajanan, oklusi, suhu, dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Selain itu,

faktor individu juga berpengaruh, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak

(keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis) dan status imun. 1, 10

1.4 Patofisiologi

Fase sensitisasi

Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel

Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human

Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks yang diekspresikan pada

permukaan sel Langerhans. Sel Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik

ke kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T

dengan CD4-positif. Kompleks antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor

T-sel tertentu (TCR) dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan

Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T

mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini

6
menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di

seluruh tubuh dan kembali ke kulit.2

Tahap elisitasi

Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau

memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar

melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit. Ketika antigen kontak pada

kulit, antigen akan diproses dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada

permukaan sel Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4

spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi dimulai.

Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik

untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi

sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R

oleh sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan

mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage colony-

stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel

Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,

kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik

untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi

aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan

histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan chemoattractant,

sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang teraktivasi

juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-

DR, yang memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah.2

1.5 Histopatologi

7
Gambaran histologis pada DKA mengungkapkan bahwa dermis diinfiltrasi

oleh sel inflamasi mononuklear, terutama pada pembuluh darah dan kelenjar

keringat. Epidermisnya hiperplastik dengan invasi sel mononuklear. Sering

vesikel intraepidermal terbentuk, yang bisa bergabung menjadi lepuh yang besar.

Vesikula dipenuhi dengan granulosit yang mengandung serosa dan sel

mononuklear. Dalam sensitivitas kontak Jones-Mote, selain akumulasi fagosit

mononuklear dan limfosit, basofil ditemukan. Ini merupakan perbedaan penting

dari reaksi hipersensitivitas tipe TH1, di mana basofil benar-benar tidak ada.12

1.6 Diagnosis

Riwayat Penyakit

Perempuan lebih sering mengalami DKA dari pada laki-laki, dan ada

peningkatan insiden dengan bertambahnya usia. Riwayat awal pasien terkena

penyakit ini yang pada akhirnya akan dievaluasi sebagai DKA merupakan

standar anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai dengan diskusi tentang penyakit

ini dan fokus pada tempat timbulnya masalah dan agen topikal yang digunakan

untuk mengobati masalah. Riwayat penyakit kulit, atopi, dan kesehatan umum

juga secara rutin diselidiki. Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis alergen

yang menyebabkan. Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen

tetapi penyebaran dermatitis juga mungkin terjadi. Dalam anamnesis riwayat

pasien, penting untuk mempertimbangkan pekerjaan, rumah tangga, dan

kemungkinan paparan terhadap alergen saat bepergian, dan juga tentu saja

waktu, lokalisasi, alergen sebelumnya diidentifikasi, diatesis topik, perawatan

kulit, kosmetik, dan obat topikal maupun sistemik.2,5

Pemeriksaan Fisik

8
Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan

durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan makula dan papula

eritema, vesikel, atau bula, tergantung pada intensitas dari respon alergi. Namun,

dalam DKA akut di daerah tertentu dari tubuh, seperti kelopak mata, penis, dan

skrotum, eritema dan edema biasanya mendominasi dibandingkan vesikel. Batas-

batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada wajah dapat mengakibatkan

pembengkakan periorbital yang menyerupai angioedema. Pada fase subakut,

vesikel kurang menonjol, dan pengerasan kulit, skala, dan lichenifikasi dini bisa

saja terjadi. Pada DKA kronis hampir semua kulit muncul scaling, lichenifikasi,

dermatitis yang pecah-pecah (membentuk fisura), dengan atau tanpa

papulovesikelisasi yang menyertainya. DKA tidak selalu tampak eksema, ada

varian noneksema yang mencakup lichenoid kontak, eritema multiformis (EM),

hipersensitivitas kontak kulit seperti selulitis, leukoderma kontak, purpura

kontak, dan erythema dyschromicum perstans. Dari jumlah tersebut, varian

lichenoid dan EM terlihat paling sering.

Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam kemudahan tersensitisasi.

Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan faktor yang tampaknya

meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan alat kelamin adalah salah

satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan telapak tangan, telapak kaki,

dan kulit kepala lebih resisten.3,12

1.7 Pemeriksaan Penunjang

Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)

Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat

yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan

9
korektif dapat diambil. Uji tempel merupakan pemeriksaan untuk konfirmasi dan

diagnostik tetapi hanya dalam kerangka anamnesis dan pemeriksaan fisik, uji

tempel ini jarang membantu jika tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik. Uji

tempel dapat diadministrasikan dengan thin-layer rapid-use epicutaneous

(TRUE) atau dengan ruang aluminium yang disiapkan tersendiri (Finn) dimana

dipasang pada tape Scanpor. Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas,

meskipun jika hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat

digunakan. 13 Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah

atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu

dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul

sebelumnya.

Provocative Use Test

Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang mendekati

positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik. Pemeriksaan ini juga

digunakan untuk menguji produk-produk untuk kulit. Bahan digosok ke kulit

normal pada bagian dalam lengan atas beberapa kali sehari selama lima hari.10

Uji Photopatch

Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi kontak terhadap

zat seperti sulfonamid, fenotiazin, p-aminobenzoic acid, oxybenzone, 6-metil

kumarin, musk ambrette, atau tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar

diterapkan selama 24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari

ultraviolet-A dan dibaca setelah 48 jam.10

1.8 Diagnosis banding

Kondisi kulit yang paling sering membingungkan adalah dermatitis

10
seboroik, dermatitis atopik, psoriasis, dan dermatitis iritan primer. Pada

dermatitis seboroik, ada kecenderungan umum ke arah kulitnya yang sifatnya

berminyak, predileksi lesi ini adalah kulit kepala, zona T pada wajah, dada

tengah, dan lipatan inguinal. Dermatitis atopik sering onsetnya pada masa bayi

atau anak usia dini. Kulit tampak kering dan meskipun pruritus merupakan fitur

yang menonjol, pruritus akan muncul sebelum lesi, bukan setelah lesi.

Daerah yang paling sering terlibat adalah permukaan fleksura. Batas

dermatitis tidak tegas, dan perkembangan dari eritema ke papula dan ke vesikel

tidak terlihat. Dermatitis psoriatik ditandai oleh plak eritematosa berbatas tegas

dengan sisik warna putih keperakan. Lesi sering didistribusikan secara simetris

di atas permukaan ekstensor seperti lutut atau siku. Dermatitis iritan primer

mungkin hampir tidak bisa dibedakan dalam penampilan fisiknya dari DKA.

Perlu ditekankan bahwa mungkin ada kondisi-kondisi kulit lainnya yang

menyertai. Hal ini tidak biasa untuk melihat DKA disebabkan oleh obat topikal

yang digunakan sebagai pengobatan dermatitis atopik maupun dermatitis

lainnya.12 DKA harus dibedakan dari urtikaria kontak di mana ruam muncul

dalam beberapa menit setelah pemaparan dan memudar dalam beberapa menit

sampai beberapa jam. Reaksi alergi terhadap lateks adalah contoh terbaik dari

urtikaria kontak alergi.14

1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal dari semua jenis DKA diduga terdiri dari reduksi

atau, jika memungkinkan, eliminasi semua alergen yang dicurigai dan

penggunaan steroid topikal atau - terutama di wajah - inhibitor kalsineurin

topikal untuk mengembalikan kulit menjadi normal.5

11
Pencegahan

Menghindari Alergen

Setelah kemungkinan penyebab masalah dermatologi pasien telah

ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk menyampaikan informasi ini

kepada pasien dengan cara yang mudah dimengerti. Ini melibatkan penjelasan

cermat terhadap bahan yang mengandung alergen.5

Namun, untuk beberapa bahan kimia (seperti nikel dan kromium logam),

penghindaran langsung setelah sekali sensitisasi tidak selalu menghasilkan

perbaikan gejala. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat kerja ini

buruk. Dengan demikian, menghindari alergen yang sudah pernah terpapar sekali

adalah pencegahan yang tidak memadai. Selain itu, menasihati pekerja dengan

DKA untuk meninggalkan posisi mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik,

terutama jika perubahan pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang

signifikan buruk.3

Pengotan Terapi Gejala

Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium asetat

bermanfaat untuk vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi

likenifikasi paling baik ditangani dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol

dengan antipruritus topikal atau antihistamin oral, antihistamin topikal atau

anestesi sebaiknya dihindari karena risiko merangsang alergi sekunder pada kulit

yang sudah mengalami dermatitis. Pengobatan dengan agen fisikokimia yang

mengurangi respon juga mungkin diperlukan. Glukokortikoid, macrolaktam, dan

radiasi ultraviolet yang paling banyak digunakan. Individu dengan DKA akibat

kerja yang secara ekonomi tidak mampu untuk berhenti bekerja dengan alergen

12
dan yang juga tidak dapat bekerja dengan sarung tangan atau krim pelindung,

dapat mengambil manfaat dari terapi UVB atau PUVA.3

Pelindung Fisikokimia

Pencegahan DKA yaitu menghindari alergen, namun karena berbagai

alasan, terutama ekonomi, hal ini tidak selalu dapat dilakukan. Banyak bahan

kimia, terutama molekul organik, cepat dapat menembus sarung tangan berbahan

vinyl atau karet lateks yang alami maupun sintetik, dan pekerja mungkin tidak

dapat menghindari kontak setiap hari dengan alergen. Orang-orang ini mungkin

dapat menggunakan sarung tangan plastik yang terbuat dari laminasi proprietary.

Di masa depan, krim pelindung mungkin tersedia untuk membantu pasien

tersebut. Namun, krim ini tersedia untuk alergen tertentu saja (terutama poison

ivy dan poison oak), dan hanya efektif jika area yang dilindungi dicuci dalam

beberapa jam setelah kontak dengan alergen, dan pantas bagi banyak pasien oleh

karena konsistensinya yang berminyak.3

1.10 Prognosis

Individu dengan dermatitis kontak alergi dapat memiliki dermatitis

persisten atau kambuh, terutama jika bahan yang mereka alergi tidak dapat

diidentifikasi atau jika mereka terus menggunakan perawatan kulit yang tidak

lagi sesuai (yaitu, mereka terus menggunakan bahan kimia untuk mencuci kulit

merekadan tidak menggunakan emolien untuk melindungi kulit mereka).

Semakin lama seorang individu mengalami dermatitis yang parah, semakin lama

dermatitis dapat disembuhkan setelah penyebabnya terindentifikasi. Beberapa

individu memiliki dermatitis persisten diikuti dermatitis kontak alergi, yang

tampaknya benar terutama pada individu yang alergi terhadap krom. Masalah

13
yang khusus adalah neurodermatitis (lichen simpleks chronicus), di mana

individu berulang kali menggosok atau menggaruk daerah awalnya terpengaruh

oleh dermatitis kontak alergi. Tes TRUE dapat memberikan informasi dasar yang

akurat tentang alergen yang sering menyebabkan DKA.15,16

14
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. WY

Umur : 28 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tukang Cuci Kendaraan

Alamat : Jln. Perjuangan V No 31 Rt 5 RW 3, Naggalo,


Padang

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Suku : Minang

Negara Asal : Indonesia

Nomor telefon : 082174176101

Tanggal Pemeriksaan : 2 September 2019

II. ANAMNESIS

Seorang pasien laki-laki usia 28 tahun datang ke poliklinik Puskesmas

Nanggalo dengan keluhan

Keluhan Utama

Bercak berwarna merah kehitaman disertai luka lecet dan pus yang terasa

semakin gatal di kedua punggung kaki.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Awalnya, 5 bulan yang lalu pasien datang berobat dengan keluhan gatal-

gatal dan adanya pus pada sela jari ibu kiri. Kemudian pasien diberi obat

dan sembuh.

15
 Dua bulan kemudian, pasien datang lagi berobat dengan keluhan gatal-

gatal pada kedua punggung kaki disertai luka lecet dan skuama diatasnya.

Kemudian pasien didiagnosa menderita dermatitits kontak alergi karena

sandal jempit. Kemudian pasien diberi obat dan keluhan hilang.


 Dua setengah bulan kemudian, yaitu hari ini, pasien datang dengan

keluhan lebih hebat dari sebelumnya yaitu gatal pada kedua punggung

kaki, disetai luka lecet akibat garukan, pustul dan pus yang mongering

diatasnya.
 Pasien datang dengan memakaisandal jepit dan mengaku memang

memakai sandal jepit lagi setelah penyakit sebelumnya sembuh.


 Keluhan terasa nyeri, pedih, dan rasa terbakar di bagian kedua punggung

kaki. Kaki juga tampak membengkan sehingga susah bergerak.


 Pasien sehari-hari bekerja di tempat pencucian mobil sehingga kaki sering

basah
 Tidak ada keluhan kulit dengan bercak kemerahan dan terasa gatal pada

bagian tubuh yang lain.


 Tidak ada kebiasaan memakai kaos kaki basah dan sepatu lembab

sebelumnya.
 Tidak ada riwayat kebiasaan berkebun tidak memakai alas kaki.

Riwayat Penyakit Dahulu:

• Pasien pernah mengalami keluhan ini 5 bulan yang lalu setelah 1 bulan

memakai sandal jepit karet, namun keluhan tersebut sembuh setelah pasien

berobat ke dokter umum. Namun pasien tidak mematuhi anjuran dokter.

Riwayat Penyakit keluarga

• Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti pasien.

• Riwayat atopi keluarga tidak diketahui

16
Riwayat pengobatan

• Pasien pernah berobat ke puskesmas nanggalo ini sebelumnya dan

sembuh.

Riwayat Atopi

• Riwayat bersin-bersin lebih dari 6 kali pada pagi hari tidak ada

• Riwayat kaligata ada.

• Riwayat alergi makanan tidak ada

• Riwayat alergi obat tidak ada

• Riwayat asma tidak ada

• Riwayat eksim tidak ada

• Riwayat mata merah dan terasa gatal tidak ada

• Riwayat biring susu tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Sakit ringan

Kesadaran : CMC

Berat badan : 85 kg

Tinggi badan : 165 cm

IMT : 31 kg/m2

Status gizi : Obesitas

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 81 x/ menit

Nafas : 20 x/ menit

Suhu : 36,7 ºC

17

Pemeriksaan paru : Dalam batas normal

Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal

Pemeriksaan jantung : Dalam batas normal

Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal

STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi : punggung kaki kanan dan kiri

Distribusi : terlokalisir, bilateral

Bentuk : khas, menyerupai tali sandal jepit

Susunan : tidak khas

Batas : tegas hingga tidak tegas

Ukuran : secara keseluruhan plakat

Efloresensi :Papul hiperpigmentasi, Plak
hiperpigmentasi dengan erosi, pustul dan
pus yang telah mengering di atasnya

18
STATUS VENEREOLOGIKUS : Tidak dilakukan pemeriksaan

Diagnosa Kerja

Dermatitis Kontak Alergi ec susp. Bahan karet pada sandal jepit


Diagnosa Banding

Dermatitis Kontak Iritan ec susp. Bahan karet pada sandal jepit


Tinea Pedis
Neurodermatitis sirkumskripta
Pemeriksaan penunjang
-
Pemeriksaan Anjuran

Kerokan lesi dengan KOH 10%


Patch test/ uji temple

19
TATALAKSANA

1. Umum

• Edukasi mengenai penyakit, perjalanan penyakit, jenis pengobatan, dan


prognosis penyakit
• Edukasi bahwa ini merupakan kelainan alergi dan dapat hilang jika faktor
pencetus dihindari
• Penyuluhan higiene personal dan lingkungan untuk mencegah infeksi
sekunder
• Hentikan pemakaian sandal jepit berbahan karet
• Edukasi pasien untuk tidak menggaruk lesi karena akan memperparah
peradangan yang terjadi dan memperlambat penyembuhan
• Anjuran penggunaan pelembab kulit
2. Khusus

Sistemik

- Certirizin tab 1 x 10mg/hari

- Deksamethason tab 2 x 0,5 mg/hari

- Vitamin C tab 1 x 1

Topikal

-Krim kortikosteroid: bethamethasone tube 10 gram 2 x sehari

PROGNOSIS

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Quo ad vitam : bonam

Quo ad kosmetikum : bonam

Quo ad functionam : bonam

20
Resep

dr. MA
Praktek Umum
SIP : 1740312619
Hari : Senin- Jumat
Jam: 18.00 – 21.00
Alamat : Jl Nanggalo No 9
No Telp : (0751) 14045

Padang, 2 September 2019

R/ Cetirizin Tab 10 mg No X

S1dd tab 1

R/ deksamethason Tab 0,5 mg No XII

S 2dd tab 1

R/bethametason tube 10 gram No I

S uc

R/Vitamin C No X

S 1dd tab 1

Pro : Tn WY
Umur : 28 Tahun
Alamat : Jln. Perjuangan V No 31 Rt 5 RW 3, Naggalo, Padang

BAB IV

21
DISKUSI

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki umur 28 tahun di Poliklinik

Puskesmas Naggalo pada tanggal 2 September 2018 dengan keluhan bercak

merah kehitaman disertai lecet dan pustul yang terasa gatal di kedua punggung

kaki.

Dari anamnesis pasien mengeluhkan bercak merah kehitaman disertai lecet

yang terasa semakin gatal di kedua punggung kaki sejak beberapa minggu hari

yang lalu. Bercak merah yang disertai gatal ini sesuai dengan manifestasi dari

peradangan kulit (dermatitis). Pada pasien, bercak merah yang terasa gatal

tersebut muncul setelah memakai sandal jepit dalam jangka waktu lama. Pasien

berkontak dengan sandal jepit karet tersebut sejak 2,5 bulan yang lalu. Hal ini

sesuai dengan etiologi dermatitis kontak dimana terdapat bahan/subtansi yang

menempel pada kulit yang berperan sebagai alergen.

Gejala klinis yang muncul setelah penggunaan sandal jepit selama ± 2,5

bulan sesuai dengan patogenesis dari dermatitis kontak alergi berupa reaksi

hipersensitifitas tipe lambat. Hipersensitifitas tipe lambat terdiri dari dua fase,

yakni fase sensitisasi dan elisitasi. Fase sensitisasi berlangsung selama ± 3

minggu, sementara untuk fase elisitasi umumnya berlangsung selama 2 hari

dimana terjadi pajanan ulang dari alergen yang sama. Namun pada kasus ini,

pasien sebelumnya telah mengalami keadaan yang sama sehingga pada

kejadianyang kedua ini lebih parah. Dalam prosesnya banyak histamin yang

dilepaskan kejaringan epidermis selain sitokin proinflamasi sehingga keluhan

subyektif yang dominan dikeluhkan pasien berupa gatal.

22
Riwayat atopi merupakan salah satu presdiposisi dari dermatitis kontak

alergi. Riwayat atopi menggambarkan suatu reaksi hipersensitivitas. Seseorang

yang memiliki riwayat atopi memiliki kerentanan terhadap efek iritasi dengan

terjadinya abnormalitas sawar kulit atopi dan menurunnya ambang iritasi. Hal ini

mendukung diagnosa dermatitis kontak alergi pada pasien yang mana terdapat

riwayat rinitis alergi dan urtikaria pada keluarganya. Sebelummnya pasien pernah

berobat dengan dokter umum dan di berikan salap kortikosteroid, setelah itu

keluhan pasien berkurang. Pada dermatitis kontak alergi terjadi peradangan karena

faktor eksogen dan endogen. Kortikosterosteoid berfungsi untuk mengatasi

peradangan.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan lesi di punggung kaki kanan dan kiri,

terlokalisir, bilateral, bentuk khas, menyerupai karet sandal jepit, susunan tidak

khas, batas tegas sampai tidak tegas, ukuran keseluruhan plakat, dan efloresensi

papul hiperpigmentasi, plak hiperpigmentasi dengan erosi dan skuma tebal di

atasnya. Efloresensi yang polimorfik ini merupakan ciri khas dari dermatitis.

Pada dermatitis kontak alergik akan tampak efloresensi polimorfik akibat

peradangan zat alergen, dan bentuk lesi menyerupai benda atau zat yang dicurigai

sebagai alergen tersebut.

Pada pasien mungkin sebaiknya dilakukan pemeriksaan patch test untuk

memperjelas dan membantu diagnosa, karena patch test merupakan gold standar

dermatitis kontak. Pemeriksaan patch test dilakukan pada pasien yang sudah

stabil, karena jika dilakukan uji ketika lesi masi aktif, maka akan memperparah

penyakitnya. Patch test dilakukan minimal 1 minggu setelah pemakaian

kortikosteroid sistemik terakhir, dan selama pemeriksaan pasien tidak boleh mandi

23
membasahi bagian punggu yang sedang ditempeli oleh finn chamber. Patch test

digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan dermatitis kontak

alergi serta memastikan apakah lesi tersebut suatu lesi dermatitis kontak alergi

atau dermatitis kontak iritan.

Pada pasien diberikan penatalaksanaan umum dan khusus.

Penatalaksanaan umum bertujuan untuk menghindari eksaserbasi dengan cara

menghindari agen penyebab alergi. Pada kasus ini yang dicurigai adalah sandal

jepit berbahan karet. Mengurangi menggaruk daerah gatal tersebut karena akan

menimbulkan perlukaan dan lesi baru berupa erosi, sehingga proses penyembuhan

terjadi semakin lama. Penatalaksanaan khusus bertujuan untuk mengurangi

proses inflamasi, dan rasa gatal. Pada pasien dialkukan redressing luka dengan

cara membuang jaringan mati dan kotor. Obat sistemik yang diberikan berupa

citirizine 1 x 10mg yang berfungsi sebagai antihistamin untuk mengurangi

keluhan gatal pasien. Steroid oral deksamethason oral 2 x 0,5 mg perhari selama

5 hari dianjurkan pemberiannya pada kasus yang sudah kronis. Vitamin c 1 x 1 tab

selama 10 hari untuk mempercepat pembentukan kolagen sehingga luka cepat

sembuh. Untuk obat topikal nya dapat diberikan obat kortikosteroid potensi tinggi

sampai superpoten berupa bethametason salep dioleskan pada lesi 2 kali sehari

maksimal 2 minggu pemakaian. Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam

bonam, quo ad sanactionam dubia ad bonam, quo ad functionam bonam, dan quo

ad kosmetikum bonam.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, SA..Soebaryo RW. 2015. Dermatitis. Dalam: Sri Linuwih;


KusmarinahBramono; WrestiIndriatmi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Edisi 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 161-165
2. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h. 20-
33.
3. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3 rd
ed.USA: Mosby Inc; 2002. h. 3-33.
4. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-Hill;
2003. h. 1164-1179.
5. Fransisca SK, Kurniawan DS, Suryawati N, Sumedha P, Wardhana M. Efek
Samping Kosmetika Pada Pekerja Salon Di Denpasar. Denpasar: 2012
[Diakses November 2012] Diunduh dari:
http://madewardhana.com/artikel/efek-samping-
kosmetika-pada-pekerja-salon-kecantikan-di-denpasar.html
6. Holgate S, Church MK, Lichtenstein LM. Allergy. 3rd ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2006. h.118-127.
7. Hamman CP, Rodgers PA, Sullivan K. Allergic Contact Dermatitis in Dental
Professionals: Effective Diagnosis and Treatment. J Am Dent Assoc. 2003;
134: 185-194.
8. Maiphetlho L. Allergies in the Workplace: Contact Dermatitis in the Textile
Industry. Current Allergy and Clinical Immunology. 2007; 20: 28-35.
9. Chang T, Lee LJ, Wang J, Shie R, Chan C. Occupational Risk Assessment
on Allergic Contact Dermatitis in a Resin Model Making Process. J Occup
Health. 2004; 46: 148-152.
10. Sanja, Maaike J, Maarten M. Individual Susceptibility to Occupational
Contact Dermatitis. Industrial Health. 2009; 47: 469-478.
11. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h.91-112.
12. Racheva S. Etiology of Common Contact Dermatitis. Journal of IMAB.
2006; 3: 14- 17.
13. Scheman AJ. Contact Dermatitis. In: Grammer LC, Greenberger PA (eds).

25
Patterson’s Allergic Disease. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2002. h. 387-401.
14. Morris A. ABC of Allergology: Contact Dermatitis. Current Allergy and
Clinical Immunology. 2004; 17: 190-191.
15. DermNet NZ. Allergic Contact Dermatitis. New Zealand: 2009 [Diakses
2010 January]. Diunduh dari: http://www.dermnetnz.org/dermatitis-
contactallergy.html
16. Schnuch A, Aberer W, Agathos M, Becker D, Brasch J, Elsner P, Frosch PJ,
Fuchs T, Geier J, Hillen U, Loffler H, Mahler V, Richter G, Szliska C. Patch
Testing with Contact Allergens. JDDG; 2008: 9: 770-775.

26

Anda mungkin juga menyukai