Anda di halaman 1dari 10

PANCASILA

“PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH”

Disusun Oleh
Susi Sulistyawati A S
141221095
BKI/C

FAKULTAS USHULUDIN DAN DAKWAH


PROGRAM PENDIDIKAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2014/2015
Kata Pengantar
Puji dan syukur hanya kita haturkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang hanya
Kepadanyalah kita harus menghadapkan diri, solawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Uswatun Khasanah pangeran padang pasir Nabi Muhammad SAW, keluarga serta sahabatnya dan
akhirnya kepada kita yang sebagai umat yang tunduk terhadap ajaran yang dibawanya.

Syukur alhamdulillah pada kesempatan ini saya masih diberi kesempatan untuk
mempresentasikan makalah “Pancasila” dalam rangka untuk memenuhi Tugas Tengah Semester
(UTS) sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Dan semoga makalah ini bermanfaat, bukan
hanya bagi mahasiswa, namun juga bagi masyarakat luas yang berminat membacanya. Saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi kita semua.
Amin.

Surakarta,12 November 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang
merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi
segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam
memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan
berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari,
dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik
Indonesia.

Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia
yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai,
menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya
pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini.
Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari Pancasila ?


2. Sebutkan beberapa tokoh filsafat ?
3. Jelaskan pengertian dari Filsafat Pancasila ?

BAB II
PEMBAHASAN

C. Pengertian
Secara etimologis istilah ”filsafat“atau dalam bahasa
Inggrisnya“philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang
secara lazim diterjemahkan sebagai“cinta kearifan” kata philosophia tersebut
berakar pada kata “philos” (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan
pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa
juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti
cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari
filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup
yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi
peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula
dipakai oleh Herakleitos.(Bagus, 1996: 242).

Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai


pengetahuan bijaksana, karena itu yang mencarinya adalah oreang yang
mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari
setiap filosof dari dahulu sampai sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu,
filosof mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya (merenung).
Hasil filsafat (berpikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat
sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang
paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.

Beberapa tokoh-tokoh filsafat menjelaskan pengertian filsafat adalah sebagai


berikut:
1. Socrates (469-399s.M) Filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang
bersifat reflektif atau berupa perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan
yang adil dan bahgia. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikembangkan
bahwa manusia akan menemukan kebahagiaan dan keadilan jika mereka
mampu dan mau melakukan peninajauan diri atau refleksi diri sehingga
muncul koreksi terhadap diri secara obyektif.
2. Plato (472-347 s.M) Dalam karya tulisnya “Republik” Plato menegaskan bahwa
para filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth).
Dalam pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan
tak berubah. Dalam konsepsi Plato filsafat merupakan pencarian yang bersifat
spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran.
Filsafat Plato ini kemudian digolongkan sebagai filsafat spekulatif.
3. Aristoteles (384 SM - 322SM) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki sebab dan asas
segala benda;
4. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) filsafat adalah pengetahuan tentang
sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya;

D. Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk
mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu :
1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Di larang membunuh.
2. Jangan mengambil barang orang lain/Di larang mencuri.
3. Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah.
4. Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5. Jangan minum yang menghilangkan akal/Dilarang minum minuman keras.

E. Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional
tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan
tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan
menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan
hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan olehthe founding
fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998).

Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955


sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu Soekarno selalu
menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil
dari budaya dan tradisi Indonesia, serta merupakan akulturasi budaya India
(Hindu-Buddha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila menurut
Soeharto telah mengalami Indonesianisasi. Semua sila dalam Pancasila adalah
asli diangkat dari budaya Indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi lebih
rinci ke dalam butir-butir Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga
filsafat Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya
atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud
filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari
(way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat
mencapai kebahagiaan lahir dan bathin, baik di dunia maupun di
akhirat (Salam, 1988: 23-24).

F. Dasar ontologis Pancasila


Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa
Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang
jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status
istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta
kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat
memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis.
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki
hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya
Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila
secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak yaitu terdiri atas susunan kodrat,
raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72).

Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk memberi lima dasar


negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad Yamin
meskipun menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak
sampai memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didalamnya duduk Soekarno
sebagai anggota, menggunakan istilah Pancasila yang diperkanankan Soekarno
menjadi nama resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari lima sila,
tidak seperti yang diusulkan Soekarno melainkan seperti rumusan PPKI yang
tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Berhubung dengan pengertian Pancasila merupakan kesatuan, menurut


Notonagoro (1983: 32), maka lebih seyogyanya dan tepat untuk menulis istilah
Pancasila tidak sebagai dua kata “Panca Sila”, akan tetapi sebagai satu kata
“Pancasila”. Penulisan Pancasila bukan dua kata melainkan satu kata juga
mencerminkan bahwa Pancasila adalah sebuah sistem bukan dua buah sistem.

Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar negara Indonesia


adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 di depan
sidang BPUPKI, bukan Pancasila yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang
ada dalam Piagam Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan


bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling
bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu
substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau
kesatuan organik (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh
pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu
tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa
Indonesia itu akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan
perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan, 2002: 129).

Arti isi dari Pancasila yang abstrak itu hanya terdapat atau lebih tepat
dimaksudkan hanya terdapat dalam pikiran atau angan-angan, justru karena
Pancasila itu merupakan cita-cita bangsa, yang menjadi dasar falsafah atau
dasar kerokhanian negara. Tidak berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau
angan-angan saja, tetapi ada hubungannya dengan hal-hal yang sungguh-
sungguh ada. Adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah tidak bisa
dibantah. Notonagoro (1983: 39)

Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam


hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka hubungan
hierarkhis piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila
mengandung empat sila lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya.
Untuk kelengkapan hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang
dipersatukan dengan rumusan hierarkhis piramidal tersebut, berikut
disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling
mengkualifikasi.
a. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
berkeadila sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d. Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
e. Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975: 43-44)
BAB III
PENUTUP

G. KESIMPULAN
Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian
sebagai hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara (the
founding fathers) ketika berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan
dasar negara untuk di atasnya didirikan negara Republik Indonesia. Hasil
perenungan itu secara resmi disahkan bersamaan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan


bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling
bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu
substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau
kesatuan organik (organic whole). Nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia itu
akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan
bangsa Indonesia.

H. SARAN
Warga atau masyarakat Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup
dan tinggal di negara Indonesia.
Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau
mempercayai, menghormati, menghargai menjaga, memahami dan
melaksanakan segala hal yang telah dilakukan oleh para pahlawan, khususnya
dalam pemahaman bahwa falsafah Pancasila adalah sebagai dasar falsafah
negara Indonesia.
Sehingga kekacauan yang sekarang terjadi ini dapat diatasi dan lebih
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani, Ruslan, 1998, Pancasila dan reformasi, Makalah Seminar


Nasional KAGAMA, Yogyakarta
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia
Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset,
2002, Filsafat Pancasila,Yogyakarta:Paradigma Offset
Notonagoro,1967,Beberapa hal mengenai Falsafah Pancasila,Jakarta:Bina
Aksara
Salam, H. Burhanuddin, 1998, Filsafat Pancasilaisme,Jakarta:Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai