( Parwis Sowaloon HarahapVS Kpl. Kepolosian Daerah Sumut )
PENDAHULUAN :
Indonesia memiliki kekuasaan kehakiman yang terpisah-
pisah dari lembaga-lembaga politik sperti DPR dan Presiden. Pembatasan yang demikian itu tidak lain merujuk pada teori Ketenagakerjaan klasik yg dikemukakan Aristoteles, bahwa konsep Negara Hukum (Rule of Law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrasts) dengan konsep rule of man. Kekuasaan kehakiman di Indoensia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, berikut dasar hukumnya membuktikan bahwa Indonesia berupaya konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip sebagai negara hukum.
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya
merupakan pelaksana kekuasaan kahakiman yang menyelenggarakan peradilan. Peradilan menunjukkan proses mengadili, sedangkan pengadilan merupakan lembaga yang mengadili. Penyelenggaraan peradilan bertujuan menegakkan hukum dan keadilan.Mengadili mempunyai makna memberikan perlakuan dan tindakan secara adil. Hasil akhir dari proses peradilan berupa putusan pengadilan atau disebut pula dengan putusan hakim. Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara dituntut dapat menghasilkan suatu putusan yang bersifat menyelesaikan sehingga dapat memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum yang tidak hanya untuk rakyat semata melainkan juga bagi administrasi negara (badan atau pejabat tata usaha negara) yaitu adanya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu, sehingga dengan demikian keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara. Tata Usaha Negara memiliki karakteristik khusus. Oleh Yos Johan Utama, kekhususan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dibandingkan dengan putusan pada peradilan yang lainnya, yaitu dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak memberikan ruang yang luas dengan segala disparitas keadilannya. Yang mana membatasi hakim untuk memilih antara menyatakan batalnya obyek gugatan yakni keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, atau menyatakan keabsahan obyek sengketa yang digugat tersebut. Menurut Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undang Nomor: 9 Tahun 2004, perubahan atas Undangundang Nomor: 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengadili harus mengutamakan ketentuan hukum. Ketentuan pasal tersebut secara lengkap berbunyi: Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas asas umum pemerintahan yang baik; Terjadinya sengketa merupakan sesuatu yang mengganggu masyarakat, ketentraman masyarakat, tata tertib masyarakat, dan kedamaian rakyat, sehingga keseimbangan masyarakat tergoncang karenanya. Sengketa antara kedua pihak sukar didamaikan tanpa bantuan pihak ketiga yaitu pihak penengah, yang netral/tidak berpihak, dan tidak berat sebelah, oleh sebab itu pihak penengah (pengadilan) harus di atas para pihak dan tidak terpengaruh oleh siapapun, lebih-lebih oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Salah satu sengketa yang ada di peradilan tata usaha Negara
adalah sengketa mengenai pemberhentian anggota POLRI. Sebagai contoh sengketa mengenai pemberhentian anggota POLRI yang ditangani Pengadilan Tata Usaha Negara Medan adalah sengketa tata usaha Negara yang didaftarkan tahun 2012 dengan register perkara nomor :99/ G / 2012 / PTUN – MDN. Dengan obyek sengketa Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Nomor : Kep/531/IX/2012, tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Dinas POLRI atas nama PARWIS SOWALOON HARAHAP. KASUS POSISI :
Surat Keputusan Tergugat Nomor : Kep / 531 / IX / 2012
tanggal 21 September 2012 baru diterima Penggugat pada tanggal 1 Oktober 2012 yang diserahkan oleh AIPDA HASIBUAN di Polres Tapanuli Selatan, yang mana saat itu bapak Kndung penggugat Yang bernama PARDAMEAN HARAHAP sedang mengurus STNK Mobil. langsung saat itu diberikan oleh AIPDA HASIBUAN Surat Keputusan Objek Gugatan tanpa ada tanda terimanya, dan sesampainya dirumah Surat Keputusan Objek Gugatan dibaca ternyata surat tersebut adalah Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Dinas Polri atas nama Parwis sowaloon harahap
dengan demikian pengajuan gugatan oleh Parwis sowaloon
harahap atas penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor : Kep / 531 / IX / 2012 tanggal 21 September 2012 Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) atas nama Bripda PARWIS SOWALOON HARAHAP, NRP. 84071484, Jabatan/Kesatuan Ba Polres Tapanuli Selatan masih dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku. Parwis Sowaloon Harahap mengajukan gugatan yang tertanggal pada 27 Desekmber 2012 yang diterima dan didaftar di dalam Register Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan pada tanggal 27 Desember 2012 dengan NO: 99/G/2012/PTUN-MDN, yang telah diadakan perbaikan secara formal pada tanggal 16 Januari 2013 . Dengan keluarnya Surat Keputusan yang menjadi objek gugatan mengakibatkan Penggugat merasa dirugikan karena tidak bisa bertugas lagi dan juga tidak menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga Penggugat yang sudah berkeluarga dan mempunyai satu orang anak dan akibatnya keadaan rumah tangga Penggugat saat ini morat marit.
Diterbitkannya Surat Keputusan Tergugat Nomor
:Kep/531/IX/2012 atas nama PARWIS SOWALOON HARAHAP, Pangkat BRIPDA/NRP 84071484,Jabatan/ Kesatuan Ba Polres Tapanuli Selatan tertanggal 21 September 2012, menjadi dasar bagi Tergugat ( Dinas POLRI ) menghentikan gaji Penggugat, dikarenakan bahwa Penggugat pada tanggal 18 Oktober 2011 telah di PTDH dari dinas Polri melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Polres Tapanuli Selatan karena Penggugat dipersangkakan telah melakukan Pelanggaran sebagimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a PP RI No 1 tahun 2003 dalam hal tidak masuk bertugas selama 115 (seratus lima belas) hari kerja secara berturut-turut.
PERTANYAAN :
1. Apakah terdapat cacat yuridis dalam penerbitan Surat
Keputusan Objek Sengketa yang bertentangan dengan peraturan Perundangundangan yang berlaku maupun Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) baik dari segi prosedural formal maupun dari segi substansi materiil?
Jawaban: berdasarkan ketentuan Bab IV, pasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor : 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dilakukan oleh : a. Presiden Republik Indonesia untuk pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) atau yang lebih tinggi ;
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pangkat
ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) atau yanglebih rendah ;
Berdasar pada kewenangannya, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mendelegasiakan kewenangannya kepada Kepala Kepolisian Daerah dalam hal Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pangkat Ajun Inspektur Polisi satu (Aiptu) kebawah dikewilayahannya,sebagaimmana diatur dalam point 4 angka 2 Tataran Kewenangan,huruf b,Lampiran Surat Keputusan No.Pol:Skep/1993/XII/2004 tentang Pedoman Administrasi Pengakhiran Dinas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Juncto Surat Keputusan Kapolri No.Pol:Kep/74/XI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 Tentang Pokok-pokok penyusunan lapis-lapis sumber daya manusia Polri angka II Pasal 5 huruf b angka 12 menyebutkan Pengakhiran Dinas anggota Polri dengan kepangkatan Aiptu kebawah yang sifatnya Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dikewilayahannya Kapolri melimpahkan kewenangannya kepada Kapolda, dan angka 13 menyebutkan “Surat Keputusan diterbitkan dan ditandatangani oleh Kapolda dan selanjutnya melaporkannya kepada Kapolri “. oleh karenanya, baik secara yuridis temporis, locus maupun substansi, Kepala Kepolisian Negara Daerah Sumatera Utara adalah berwenang untuk menerbitkan Surat Keputusan Objectum litis.
Dalam putusannya, suatu keputusan diterbitkan harus berpegang
teguh pada Asas Pemberian Alasan dan motivasi artinya bahwa suatu Keputusan haruslah didukung oleh suatu alasan-alasan maupun dasar pertimbangan sesuai dengan peraturan Perundang- undangan yang dijadikan dasar mengapa badan/pejabat Tata Usaha Negara menetapkan suatu keputusan, dan dapat dibedakan secara kumulatif menjadi tiga varian yaitu ;
1. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan ;
2. Ketetapan (Bechicking) harus memiliki dasar fakta yang
teguh, dan ;
3. Pemberian alasan harus cukup dan mendukung ;
Dalam Laporan Polisi No.Pol :LP/01/ I/2011/Sabhara tanggal 17
Januari 2011 tentang tidak masuk dinasnya Bripda Parwis Sowaloon Harahap di Penjagaan Polres Tapanuli Selatan, Penggugat disangkakan telah meninggalkan tugas dalam waktu 115 (seratus lima belas) hari kerja secara berturut-turut yang terhitung sejak tanggal 4 Oktober 2010 sampai dengan 14 Maret 2011. Terkait dengan hal tersebut Penggugat telah pula membantah absensi tidak masuk bertugas selama 115 (seratus lima belas hari) adalah absensi yang direkayasa oleh bawahan Tergugat di Sat.Sabhara Polres Tapanuli Selatan dengan cara menimpa atau menebalkan keterangan Penggugat Hadir (H) bertugas, akan tetapi tanda Hadir (H) tersebut ditimpa menjadi Tanpa Keterangan (TK), dan dalam hal ini Penggugat mengakui bahwa tidak masuk kerja kurang dari 30 (tiga puluh) hari kerja dan tidak berturut-turut, dan keberatan Penggugat tersebut tidak dipertimbangkan dalam persidangan KKEP Polres Tapanuli Selatan.
Selanjutnya, ketentuan Bab III Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor : 1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengatur bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan dengan tidak hormat apabila :
a. Melakukan Tindak Pidana ;
b. Melakukan Pelanggaran ;
c. Meninggalkan Tugas atau Lain Hal ;
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 1 tahun 2003 tentang
Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Bagian ke tiga meninggalkan Tugas atau hal lain Pasal 14 ayat (1) menyebutkan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila:
a. Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih
dari 30 hari (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut.
Ayat (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kaitannya juga dengan Surat Nomor : K.189/VI/2011/ Propam
tertanggal 14 Juni 2011 (Vide Bukti T-2 ), Lampiran Pertama, perihal Resume Pemeriksaan, Terperiksa dalam hal ini Penggugat menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak masuk dinas di Penjagaan SPK Polres Tapanuli Selatan dikarenakan mengalami sakit asam lambung, dan terperiksa menerangkan bahwa selama sakit tidak ada berobat kedokter kesehatan Polri akan tetapi berobat ke dokter praktek / umum dan selama sakit Terperiksa tetap berada dirumah di jalan Letjend Suprapto Gang Sawo Padangsidempuan. Lebih lanjut, perihal Daftar Absensi Apel Personil Polres Tapanuli Selatan nomor urut 15 atas nama Parwis S. Harahap tercatat dalam kurun waktu 4 Nopember 2010 sampai dengan 1 Maret 2011 yang bersangkutan tidak masuk tugas dengan Tanpa Keterangan (TK), dan memperhatikan secara cermat bukti dimaksud dalam kurun waktu Januari sampai dengan Maret 2010 terdapat Keterangan Hadir (H) yang dikoreksi dengan cara ditimpa menjadi Tidak Hadir (TH) dan terkait fakta dimaksud telah pula dibantah oleh Penggugat bahwa keterangan tidak hadir adalah rekayasa karena dalam kurun waktu tersebut Penggugat Hadir melaksanakan tugas, dan terhadap dalil Penggugat prihal keabsahan absensi dimaksud Tergugat tidak pula membantahnya
Bukti potocopy tanpa asli yang keabsahannya dibantah oleh pihak
Penggugat, dan terhadap alat bukti dimaksud Tergugat tidak pula menggunakan alat bukti lainnya untuk memperkuat keabsahan bukti T-2 dimaksud guna memenuhi batas minimal pembuktian. Dalam artian, agar alat bukti yang diajukan di persidangan bernilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, haruslah terlebih dahulu mencapai batas minimal (secara kualitas). Jika tidak mencapai batas minimal, maka alat bukti tersebut dikesampingkan dalam penilaian pembuktian.
Sesuai dengan doktrin/pendapat hukum M.YAHYA HARAHAP, SH
yaitu pengertian batas minimal “Secara teknis dan populer dapat diartikan, suatu alat bukti yang sah paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung Kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan; apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal dalam hal kualitas, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.”. Bahwa patokan menentukan batas minimal pembuktian adalah tidak digantungkan pada faktor kuantitas, tetapi patokannya\ didasarkan pada faktor kualitas. Menurut hukum, alat bukti yang berkualitas dan yang sah sebagai alat bukti adalah: Pertama, alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materil; Kedua, antara kedua syarat itu, yaitu syarat formil dan materiil, bersifat kumulatif dan tidak bersifat alternatif, sehingga walaupun terpenuhi syarat formil tetapi syarat materil tidak, maka mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti; Ketiga, apabila syarat formil atau syarat materiil yang melekat pada alat bukti itu lebih dari satu, maka syarat itu bersifat kumulatif, sehingga harus terpenuhi seluruhnya; Keempat, untuk menentukan syarat formil dan syarat materiil apa yang melekat pada suatu alat bukti, harus merujuk kepada ketentuan undang-undang yang berkenaan dengan alat bukti yang bersangkutan. Oleh karena tidak sama syarat formil dan materiil yang melekat pada setiap alat bukti, tetapi saling berbeda antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya.
Alat bukti yang dipergunakan oleh Tergugat berupa absensi
Penggugat tanpa memperlihatkan aslinya, keabsahannya tidak diakui dan telah pula dibantah oleh Penggugat, maka nilai pembuktianya menjadi tidak sempurna, karena bila merujuk pada ketentuan Pasal 311 RBg, pengakuan yang dilakukan oleh pihak lawan secara pribadi dimuka sidang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat. artinya bukti dimaksud baru menjadi bukti yang sempurna ketika pihak Penggugat mengakui keabsahannya. maka Bukti T-2 dimaksud tidak memenuhi unsur formal suatu alat bukti yang tidak memiliki nilai pembuktian dan patut untuk dikesampingkan.
Tindakan Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek
sengketa telah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) khususnya Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan yang menghendaki “Setiap badan/ pejabat tata usaha negara bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktifitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga Negara, apabila berkaitan dengan tindakan pemerintah dalam mengeluarkan keputusan harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua factor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, serta mempertimbangkan akibat hukum yang muncul dari keputusan tata usaha Negara tersebut, dan sebelum badan / pejabat tata usaha Negara mengambil ketetapan, terlebih dahulu meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. Bila fakta-fakta penting kurang diteliti itu berarti tidak cermat, dan pemerintah tidak boleh dengan mudah menyimpangi nasihat yang diberi “ (Hukum Admistrasi Negara, Ridwan H.R, tahun 2002)
2. Apakah Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) tersebut
telah sesuai dengan peraturan yang berlaku?
Jawaban : Berdasarkan ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bab V Mekanisme Penanganan Pelanggaran Bagian Kesatu Penanganan Pelanggaran Kode Etik Pasal 10 Ayat 1. Penanganan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dimulai dengan adanya laporan atau pengaduan yang diajukan oleh :
a. Masyarakat;
b. Anggota polri ;
c. Sumber lain yang dapat dipertanggung jawabkan
Ayat 2. Penerimaan laporan atau pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengemban fungsi propam disetiap jenjang organisasi Polri, yang selanjutnya melakukan pemeriksaan pendahuluan atas laporan atau pengaduan dimaksud
Dalam Laporan Polisi No.Pol :LP/01/ I/2011/Sabhara tanggal 17
Januari 2011 tentang tidak masuk dinasnya Bripda Parwis Sowaloon Harahap di Penjagaan Polres Tapanuli Selatan, Penggugat disangkakan telah meninggalkan tugas dalam waktu 115 (seratus lima belas) hari kerja secara berturut-turut yang terhitung sejak tanggal 4 Oktober 2010 sampai dengan 14 Maret 2011.
Terkait dengan hal tersebut Kepala Kepolisian Resort Tapanuli
Selatan telah meminta saran dan pendapat hukum kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara berdasarkan Surat Nomor : K.189/VI/2011/Propam tertanggal 14 Juni 2011, dengan melampirkan berkas / dokumen pendukung (Vide Bukti T-2) dan Kabidkum Polda Sumatera Utara telah pula menanggapinya sebagaimana Surat Nomor: K/398/PH/VII/2011/Bidkum Perihal Pendapat dan Saran Hukum tertanggal 11 Juli 2011, yang pada intinya menyarankan terhadap terperiksa Bripda Parwis Sowaloon Harahap agar dilaksanakan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri (Vide Bukti T-3) serta Kasi Propam Polres Tapanuli Selatan telah pula mengusulkan pembentukan Komisi Kode Etik Polri untuk memeriksa pelanggaran atas nama Bripda Parwis Sowaloon Harahap, kepada Kepala Kepolisian Resort Tapanuli Selatan ( Vide Bukti T - 4 ), bersesuaian dengan ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 10 ayat (3) menyebutkan Apabila hasil Pemeriksaan pendahuluan diperoleh dugaan kuat bahwa laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (2) termasuk dalam kategori pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka pengemban fungsi Propam mengirimkan berkas perkara serta mengusulkan kepada Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) untuk membentuk Komisi.
Bahwa dengan adanya usul dimaksud maka Kepala Kepolisian
Resort Tapanuli Selatan telah pula menetapkan Pembentukan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Nomor : Skep/30/X/2011 tertanggal 18 Oktober 2011 (Vide Bukti T-5), tindakan dan kewenangan mana adalah memenuhi ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab II Sifat, Pembentukan, dan Susunan Pasal 2 ayat 2 huruf d menyebutkan Pada tingkat kewilayahan, Kapolri melimpahkan wewenang kepada Kapolda, Kapolwil/tabes, Kapoltabes. Kapolres/tro/ta untuk membentuk Komisi guna memeriksa pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh Perwira Menengah Polri, Perwira Pertama Polri, Bintara dan Tamtama di kesatuannya.
Selanjutnya terungkap fakta hukum dari pemeriksaan, bahwa
pada saat sidang Komisi Kode Etik tanggal 15 Nopember 2011 dengan agenda tuntutan secara formal tidak pernah ada, mengingat Surat Tuntutan mana baru ditetapkan pada tanggal 17 Nopember 2011, dimana didalam hukum acara persidangan, sebelum dijatuhi putusan seseorang yang didakwakan melakukan suatu pelanggaran harus lah didahului dengan tuntutan terhadap pelanggaran apa yang di sangkakan kepada terperiksa sebagai dasar pemeriksaan sidang Komisi Kode Etik.
Terkait dengan hak Terperiksa sebagaimana diatur dalam
ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab VI Hak dan Kewajiban Terperiksa Pasal 12 ayat (1) Terperiksa berhak : huruf b Menunjuk Pendamping, dimana Penggugat mendalilkan bahwa tidak pernah diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk menunjuk pendamping, namun telah ditetapkan secara sepihak oleh Ketua Komisi dengan menunjuk AKP.A.R Siregar sebagai pendamping.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan dalam procedural
sidang kode etik kepolisian atas Penggugat masihlah banyak terdapat penyalahgunaan di dalamnya. Dari tanggal agenda sidang yang banyak ketidaksesuaian dengan fakta dan seharusnya penggugat berhak memilih pendamping. Tetapi pada kenyataannya telah ditetapkan sepihak oleh Ketua Komisi.