Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KASUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA

PUTUSAN NOMOR :99/ G / 2012 / PTUN – MDN.

( Parwis Sowaloon HarahapVS Kpl. Kepolosian Daerah Sumut )

PENDAHULUAN :

Indonesia memiliki kekuasaan kehakiman yang terpisah-


pisah dari lembaga-lembaga politik sperti DPR dan Presiden.
Pembatasan yang demikian itu tidak lain merujuk pada teori
Ketenagakerjaan klasik yg dikemukakan Aristoteles, bahwa konsep
Negara Hukum (Rule of Law) merupakan pemikiran yang
dihadapkan (contrasts) dengan konsep rule of man. Kekuasaan
kehakiman di Indoensia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, berikut dasar
hukumnya membuktikan bahwa Indonesia berupaya konsisten
dalam menerapkan prinsip-prinsip sebagai negara hukum.

Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya


merupakan pelaksana kekuasaan kahakiman yang
menyelenggarakan peradilan. Peradilan menunjukkan proses
mengadili, sedangkan pengadilan merupakan lembaga yang
mengadili. Penyelenggaraan peradilan bertujuan menegakkan
hukum dan keadilan.Mengadili mempunyai makna memberikan
perlakuan dan tindakan secara adil. Hasil akhir dari proses
peradilan berupa putusan pengadilan atau disebut pula dengan
putusan hakim.
Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara
dituntut dapat menghasilkan suatu putusan yang bersifat
menyelesaikan sehingga dapat memberikan pengayoman hukum
dan kepastian hukum yang tidak hanya untuk rakyat semata
melainkan juga bagi administrasi negara (badan atau pejabat tata
usaha negara) yaitu adanya keseimbangan kepentingan
masyarakat dengan kepentingan individu, sehingga dengan
demikian keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara diadakan
dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari
keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan
Tata Usaha Negara.
Tata Usaha Negara memiliki karakteristik khusus. Oleh Yos
Johan Utama, kekhususan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dibandingkan dengan putusan pada peradilan yang
lainnya, yaitu dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
tidak memberikan ruang yang luas dengan segala disparitas
keadilannya. Yang mana membatasi hakim untuk memilih antara
menyatakan batalnya obyek gugatan yakni keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat, atau menyatakan keabsahan obyek sengketa
yang digugat tersebut. Menurut Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b
Undang-undang Nomor: 9 Tahun 2004, perubahan atas
Undangundang Nomor: 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, mengadili harus mengutamakan ketentuan hukum.
Ketentuan pasal tersebut secara lengkap berbunyi:
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas asas umum pemerintahan yang baik;
Terjadinya sengketa merupakan sesuatu yang mengganggu
masyarakat, ketentraman masyarakat, tata tertib masyarakat, dan
kedamaian rakyat, sehingga keseimbangan masyarakat tergoncang
karenanya. Sengketa antara kedua pihak sukar didamaikan tanpa
bantuan pihak ketiga yaitu pihak penengah, yang netral/tidak
berpihak, dan tidak berat sebelah, oleh sebab itu pihak penengah
(pengadilan) harus di atas para pihak dan tidak terpengaruh oleh
siapapun, lebih-lebih oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Salah satu sengketa yang ada di peradilan tata usaha Negara


adalah sengketa mengenai pemberhentian anggota POLRI. Sebagai
contoh sengketa mengenai pemberhentian anggota POLRI yang
ditangani Pengadilan Tata Usaha Negara Medan adalah sengketa
tata usaha Negara yang didaftarkan tahun 2012 dengan register
perkara nomor :99/ G / 2012 / PTUN – MDN. Dengan obyek
sengketa
Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Nomor : Kep/531/IX/2012, tentang Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat (PTDH) dari Dinas POLRI atas nama PARWIS SOWALOON
HARAHAP.
KASUS POSISI :

Surat Keputusan Tergugat Nomor : Kep / 531 / IX / 2012


tanggal 21 September 2012 baru diterima Penggugat pada tanggal
1 Oktober 2012 yang diserahkan oleh AIPDA HASIBUAN di Polres
Tapanuli Selatan, yang mana saat itu bapak Kndung penggugat
Yang bernama PARDAMEAN HARAHAP sedang mengurus STNK
Mobil. langsung saat itu diberikan oleh AIPDA HASIBUAN Surat
Keputusan Objek Gugatan tanpa ada tanda terimanya, dan
sesampainya dirumah Surat Keputusan Objek Gugatan dibaca
ternyata surat tersebut adalah Surat Keputusan Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Dinas Polri atas nama Parwis
sowaloon harahap

dengan demikian pengajuan gugatan oleh Parwis sowaloon


harahap atas penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor : Kep /
531 / IX / 2012 tanggal 21 September 2012 Tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) atas nama Bripda
PARWIS SOWALOON HARAHAP, NRP. 84071484,
Jabatan/Kesatuan Ba Polres Tapanuli Selatan masih dalam
tenggang waktu yang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku.
Parwis Sowaloon Harahap mengajukan gugatan yang tertanggal
pada 27 Desekmber 2012 yang diterima dan didaftar di dalam
Register Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan pada
tanggal 27 Desember 2012 dengan NO: 99/G/2012/PTUN-MDN,
yang telah diadakan perbaikan secara formal pada tanggal 16
Januari 2013 .
Dengan keluarnya Surat Keputusan yang menjadi objek
gugatan mengakibatkan Penggugat merasa dirugikan karena tidak
bisa bertugas lagi dan juga tidak menerima gaji untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga Penggugat yang
sudah berkeluarga dan mempunyai satu orang anak dan
akibatnya keadaan rumah tangga Penggugat saat ini morat marit.

Diterbitkannya Surat Keputusan Tergugat Nomor


:Kep/531/IX/2012 atas nama PARWIS SOWALOON HARAHAP,
Pangkat BRIPDA/NRP 84071484,Jabatan/ Kesatuan Ba Polres
Tapanuli Selatan tertanggal 21 September 2012, menjadi dasar
bagi Tergugat ( Dinas POLRI ) menghentikan gaji Penggugat,
dikarenakan bahwa Penggugat pada tanggal 18 Oktober 2011
telah di PTDH dari dinas Polri melalui sidang Komisi Kode Etik
Polri (KKEP) Polres Tapanuli Selatan karena Penggugat
dipersangkakan telah melakukan Pelanggaran sebagimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a PP RI No 1 tahun 2003
dalam hal tidak masuk bertugas selama 115 (seratus lima belas)
hari kerja secara berturut-turut.

PERTANYAAN :

1. Apakah terdapat cacat yuridis dalam penerbitan Surat


Keputusan Objek Sengketa yang bertentangan dengan
peraturan Perundangundangan yang berlaku maupun Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) baik dari segi
prosedural formal maupun dari segi substansi materiil?

Jawaban: berdasarkan ketentuan Bab IV, pasal 15 Peraturan


Pemerintah Nomor : 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dilakukan oleh :
a. Presiden Republik Indonesia untuk pangkat Komisaris Besar
Polisi (Kombes Pol) atau yang lebih tinggi ;

b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pangkat


ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) atau yanglebih rendah ;

Berdasar pada kewenangannya, Kepala Kepolisian Negara


Republik Indonesia mendelegasiakan kewenangannya kepada
Kepala Kepolisian Daerah dalam hal Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
pangkat Ajun Inspektur Polisi satu (Aiptu) kebawah
dikewilayahannya,sebagaimmana diatur dalam point 4 angka 2
Tataran Kewenangan,huruf b,Lampiran Surat Keputusan
No.Pol:Skep/1993/XII/2004 tentang Pedoman Administrasi
Pengakhiran Dinas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Juncto Surat Keputusan Kapolri No.Pol:Kep/74/XI/2003 tanggal
10 Nopember 2003 Tentang Pokok-pokok penyusunan lapis-lapis
sumber daya manusia Polri angka II Pasal 5 huruf b angka 12
menyebutkan Pengakhiran Dinas anggota Polri dengan
kepangkatan Aiptu kebawah yang sifatnya Pemberhentian Tidak
Dengan Hormat (PTDH) dikewilayahannya Kapolri melimpahkan
kewenangannya kepada Kapolda, dan angka 13 menyebutkan
“Surat Keputusan diterbitkan dan ditandatangani oleh Kapolda
dan selanjutnya melaporkannya kepada Kapolri “. oleh karenanya,
baik secara yuridis temporis, locus maupun substansi, Kepala
Kepolisian Negara Daerah Sumatera Utara adalah berwenang
untuk menerbitkan Surat Keputusan Objectum litis.

Dalam putusannya, suatu keputusan diterbitkan harus berpegang


teguh pada Asas Pemberian Alasan dan motivasi artinya bahwa
suatu Keputusan haruslah didukung oleh suatu alasan-alasan
maupun dasar pertimbangan sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan yang dijadikan dasar mengapa badan/pejabat Tata
Usaha Negara menetapkan suatu keputusan, dan dapat dibedakan
secara kumulatif menjadi tiga varian yaitu ;

1. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan ;

2. Ketetapan (Bechicking) harus memiliki dasar fakta yang


teguh, dan ;

3. Pemberian alasan harus cukup dan mendukung ;

Dalam Laporan Polisi No.Pol :LP/01/ I/2011/Sabhara tanggal 17


Januari 2011 tentang tidak masuk dinasnya Bripda Parwis
Sowaloon Harahap di Penjagaan Polres Tapanuli Selatan,
Penggugat disangkakan telah meninggalkan tugas dalam waktu
115 (seratus lima belas) hari kerja secara berturut-turut yang
terhitung sejak tanggal 4 Oktober 2010 sampai dengan 14 Maret
2011. Terkait dengan hal tersebut Penggugat telah pula
membantah absensi tidak masuk bertugas selama 115 (seratus
lima belas hari) adalah absensi yang direkayasa oleh bawahan
Tergugat di Sat.Sabhara Polres Tapanuli Selatan dengan cara
menimpa atau menebalkan keterangan Penggugat Hadir (H)
bertugas, akan tetapi tanda Hadir (H) tersebut ditimpa menjadi
Tanpa Keterangan (TK), dan dalam hal ini Penggugat mengakui
bahwa tidak masuk kerja kurang dari 30 (tiga puluh) hari kerja
dan tidak berturut-turut, dan keberatan Penggugat tersebut tidak
dipertimbangkan dalam persidangan KKEP Polres Tapanuli
Selatan.

Selanjutnya, ketentuan Bab III Pasal 11 Peraturan Pemerintah


Nomor : 1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, mengatur bahwa Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang diberhentikan dengan tidak
hormat apabila :

a. Melakukan Tindak Pidana ;


b. Melakukan Pelanggaran ;

c. Meninggalkan Tugas atau Lain Hal ;

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 1 tahun 2003 tentang


Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Bagian ke tiga meninggalkan Tugas atau hal lain Pasal 14 ayat (1)
menyebutkan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara
Republik Indonesia apabila:

a. Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih


dari 30 hari (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut.

Ayat (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kaitannya juga dengan Surat Nomor : K.189/VI/2011/ Propam


tertanggal 14 Juni 2011 (Vide Bukti T-2 ), Lampiran Pertama,
perihal Resume Pemeriksaan, Terperiksa dalam hal ini Penggugat
menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak masuk dinas di
Penjagaan SPK Polres Tapanuli Selatan dikarenakan mengalami
sakit asam lambung, dan terperiksa menerangkan bahwa selama
sakit tidak ada berobat kedokter kesehatan Polri akan tetapi
berobat ke dokter praktek / umum dan selama sakit Terperiksa
tetap berada dirumah di jalan Letjend Suprapto Gang Sawo
Padangsidempuan. Lebih lanjut, perihal Daftar Absensi Apel
Personil Polres Tapanuli Selatan nomor urut 15 atas nama Parwis
S. Harahap tercatat dalam kurun waktu 4 Nopember 2010 sampai
dengan 1 Maret 2011 yang bersangkutan tidak masuk tugas
dengan Tanpa Keterangan (TK), dan memperhatikan secara cermat
bukti dimaksud dalam kurun waktu Januari sampai dengan Maret
2010 terdapat Keterangan Hadir (H) yang dikoreksi dengan cara
ditimpa menjadi Tidak Hadir (TH) dan terkait fakta dimaksud telah
pula dibantah oleh Penggugat bahwa keterangan tidak hadir
adalah rekayasa karena dalam kurun waktu tersebut Penggugat
Hadir melaksanakan tugas, dan terhadap dalil Penggugat prihal
keabsahan absensi dimaksud Tergugat tidak pula membantahnya

Bukti potocopy tanpa asli yang keabsahannya dibantah oleh pihak


Penggugat, dan terhadap alat bukti dimaksud Tergugat tidak pula
menggunakan alat bukti lainnya untuk memperkuat keabsahan
bukti T-2 dimaksud guna memenuhi batas minimal pembuktian.
Dalam artian, agar alat bukti yang diajukan di persidangan
bernilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan
pembuktian, haruslah terlebih dahulu mencapai batas minimal
(secara kualitas). Jika tidak mencapai batas minimal, maka alat
bukti tersebut dikesampingkan dalam penilaian pembuktian.

Sesuai dengan doktrin/pendapat hukum M.YAHYA HARAHAP, SH


yaitu pengertian batas minimal “Secara teknis dan populer dapat
diartikan, suatu alat bukti yang sah paling sedikit harus
terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk mendukung Kebenaran yang didalilkan atau
dikemukakan; apabila alat bukti yang diajukan di persidangan
tidak mencapai batas minimal dalam hal kualitas, alat bukti itu
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk
membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan
yang dikemukakan.”. Bahwa patokan menentukan batas minimal
pembuktian adalah tidak digantungkan pada faktor kuantitas,
tetapi patokannya\ didasarkan pada faktor kualitas. Menurut
hukum, alat bukti yang berkualitas dan yang sah sebagai alat
bukti adalah: Pertama, alat bukti yang memenuhi syarat formil
dan materil; Kedua, antara kedua syarat itu, yaitu syarat formil
dan materiil, bersifat kumulatif dan tidak bersifat alternatif,
sehingga walaupun terpenuhi syarat formil tetapi syarat materil
tidak, maka mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat
bukti; Ketiga, apabila syarat formil atau syarat materiil yang
melekat pada alat bukti itu lebih dari satu, maka syarat itu
bersifat kumulatif, sehingga harus terpenuhi seluruhnya;
Keempat, untuk menentukan syarat formil dan syarat materiil apa
yang melekat pada suatu alat bukti, harus merujuk kepada
ketentuan undang-undang yang berkenaan dengan alat bukti yang
bersangkutan. Oleh karena tidak sama syarat formil dan materiil
yang melekat pada setiap alat bukti, tetapi saling berbeda antara
alat bukti yang satu dengan yang lainnya.

Alat bukti yang dipergunakan oleh Tergugat berupa absensi


Penggugat tanpa memperlihatkan aslinya, keabsahannya tidak
diakui dan telah pula dibantah oleh Penggugat, maka nilai
pembuktianya menjadi tidak sempurna, karena bila merujuk pada
ketentuan Pasal 311 RBg, pengakuan yang dilakukan oleh pihak
lawan secara pribadi dimuka sidang mempunyai nilai pembuktian
yang sempurna dan mengikat. artinya bukti dimaksud baru
menjadi bukti yang sempurna ketika pihak Penggugat mengakui
keabsahannya. maka Bukti T-2 dimaksud tidak memenuhi unsur
formal suatu alat bukti yang tidak memiliki nilai pembuktian dan
patut untuk dikesampingkan.

Tindakan Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek


sengketa telah bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (AAUPB) khususnya Asas Bertindak Cermat atau Asas
Kecermatan yang menghendaki “Setiap badan/ pejabat tata
usaha negara bertindak cermat dalam melakukan berbagai
aktifitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga
tidak menimbulkan kerugian bagi warga Negara, apabila berkaitan
dengan tindakan pemerintah dalam mengeluarkan keputusan
harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua factor
dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan,
mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan
oleh pihak yang berkepentingan, serta mempertimbangkan akibat
hukum yang muncul dari keputusan tata usaha Negara tersebut,
dan sebelum badan / pejabat tata usaha Negara mengambil
ketetapan, terlebih dahulu meneliti semua fakta yang relevan dan
memasukkan pula semua kepentingan yang relevan dalam
pertimbangannya. Bila fakta-fakta penting kurang diteliti itu
berarti tidak cermat, dan pemerintah tidak boleh dengan mudah
menyimpangi nasihat yang diberi “ (Hukum Admistrasi Negara,
Ridwan H.R, tahun 2002)

2. Apakah Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) tersebut


telah sesuai dengan peraturan yang berlaku?

Jawaban : Berdasarkan ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian


Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Bab V Mekanisme Penanganan Pelanggaran
Bagian Kesatu Penanganan Pelanggaran Kode Etik Pasal 10 Ayat
1. Penanganan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dimulai dengan
adanya laporan atau pengaduan yang diajukan oleh :

a. Masyarakat;

b. Anggota polri ;

c. Sumber lain yang dapat dipertanggung jawabkan

Ayat 2. Penerimaan laporan atau pengaduan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengemban fungsi
propam disetiap jenjang organisasi Polri, yang selanjutnya
melakukan pemeriksaan pendahuluan atas laporan atau
pengaduan dimaksud

Dalam Laporan Polisi No.Pol :LP/01/ I/2011/Sabhara tanggal 17


Januari 2011 tentang tidak masuk dinasnya Bripda Parwis
Sowaloon Harahap di Penjagaan Polres Tapanuli Selatan,
Penggugat disangkakan telah meninggalkan tugas dalam waktu
115 (seratus lima belas) hari kerja secara berturut-turut yang
terhitung sejak tanggal 4 Oktober 2010 sampai dengan 14 Maret
2011.

Terkait dengan hal tersebut Kepala Kepolisian Resort Tapanuli


Selatan telah meminta saran dan pendapat hukum kepada Kepala
Kepolisian Daerah Sumatera Utara berdasarkan Surat Nomor :
K.189/VI/2011/Propam tertanggal 14 Juni 2011, dengan
melampirkan berkas / dokumen pendukung (Vide Bukti T-2) dan
Kabidkum Polda Sumatera Utara telah pula menanggapinya
sebagaimana Surat Nomor: K/398/PH/VII/2011/Bidkum Perihal
Pendapat dan Saran Hukum tertanggal 11 Juli 2011, yang pada
intinya menyarankan terhadap terperiksa Bripda Parwis Sowaloon
Harahap agar dilaksanakan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri
(Vide Bukti T-3) serta Kasi Propam Polres Tapanuli Selatan telah
pula mengusulkan pembentukan Komisi Kode Etik Polri untuk
memeriksa pelanggaran atas nama Bripda Parwis Sowaloon
Harahap, kepada Kepala Kepolisian Resort Tapanuli Selatan ( Vide
Bukti T - 4 ), bersesuaian dengan ketentuan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia Pasal 10 ayat (3) menyebutkan Apabila
hasil Pemeriksaan pendahuluan diperoleh dugaan kuat bahwa
laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud ayat (2) termasuk
dalam kategori pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka
pengemban fungsi Propam mengirimkan berkas perkara serta
mengusulkan kepada Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) untuk membentuk Komisi.

Bahwa dengan adanya usul dimaksud maka Kepala Kepolisian


Resort Tapanuli Selatan telah pula menetapkan Pembentukan
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia
berdasarkan Surat Keputusan Nomor : Skep/30/X/2011
tertanggal 18 Oktober 2011 (Vide Bukti T-5), tindakan dan
kewenangan mana adalah memenuhi ketentuan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol :8 Tahun 2006
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia Bab II Sifat, Pembentukan, dan
Susunan Pasal 2 ayat 2 huruf d menyebutkan Pada tingkat
kewilayahan, Kapolri melimpahkan wewenang kepada Kapolda,
Kapolwil/tabes, Kapoltabes. Kapolres/tro/ta untuk membentuk
Komisi guna memeriksa pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang
dilakukan oleh Perwira Menengah Polri, Perwira Pertama Polri,
Bintara dan Tamtama di kesatuannya.

Selanjutnya terungkap fakta hukum dari pemeriksaan, bahwa


pada saat sidang Komisi Kode Etik tanggal 15 Nopember 2011
dengan agenda tuntutan secara formal tidak pernah ada,
mengingat Surat Tuntutan mana baru ditetapkan pada tanggal 17
Nopember 2011, dimana didalam hukum acara persidangan,
sebelum dijatuhi putusan seseorang yang didakwakan melakukan
suatu pelanggaran harus lah didahului dengan tuntutan terhadap
pelanggaran apa yang di sangkakan kepada terperiksa sebagai
dasar pemeriksaan sidang Komisi Kode Etik.

Terkait dengan hak Terperiksa sebagaimana diatur dalam


ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
No.Pol :8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi
Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab VI Hak dan
Kewajiban Terperiksa Pasal 12 ayat (1) Terperiksa berhak : huruf b
Menunjuk Pendamping, dimana Penggugat mendalilkan bahwa
tidak pernah diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk
menunjuk pendamping, namun telah ditetapkan secara sepihak
oleh Ketua Komisi dengan menunjuk AKP.A.R Siregar sebagai
pendamping.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan dalam procedural


sidang kode etik kepolisian atas Penggugat masihlah banyak
terdapat penyalahgunaan di dalamnya. Dari tanggal agenda sidang
yang banyak ketidaksesuaian dengan fakta dan seharusnya
penggugat berhak memilih pendamping. Tetapi pada
kenyataannya telah ditetapkan sepihak oleh Ketua Komisi.

Anda mungkin juga menyukai