Anda di halaman 1dari 19

7

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori
1. Pasien Kritis
a) Definisi pasien kritis
Pasien kritis menurut AACN (American Association of
Critical Nursing) didefinisikan sebagai pasien yang berisiko tinggi
untuk masalah kesehatan aktual ataupun potensial yang
mengancam jiwa. Semakin kritis sakit pasien, semakin besar
kemungkinan untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan
kompleks, membutuhkan terapi yang intensif dan asuhan
keperawatan yang teliti (Nurhadi, 2014).
b) Pendekatan Holistik
Pendekatan holistik pada keperawatan kritis mencakup
keluarga pasien. Keluarga dalam lingkup ini diartikan sebagai
orang yang berbagi secara intim dan rutin sepanjang hari kehidupan
dalam proses asuhan keperawatan. Orang- orang tersebut
mengalami gangguan homeostasisnya oleh karena masuknya pasien
ke area kritis. Siapa saja yang merupakan bagian penting dari pola
hidup normal pasien dipertimbangkan sebagai anggota keluarga. Di
area keperawatan kritis keterlibatan keluarga merupakan bagian
integral dari perawatan pasien di ICU dan telah memiliki kontribusi
positif terhadap kesembuhan pasien (Wardah, 2013).
c) Respon Keluarga Terhadap Kondisi Pasien Kritis
Respon dalam kamus bahasa berarti jawaban, balasan,
tanggapan. Respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makna serta
lingkungan disebut dengan perilaku kesehatan. Respon atau reaksi
manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap)
maupun bersikap aktif (tindakan nyata atau praktis).

7
8

Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok


yaitu: sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan.
Terkait dengan respon keluarga pada anggota keluarga yang
dirawat di ruang intensif, keluarga seringkali merasakan stress
ataupun cemas.
Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus
diambil dalam pengambilan keputusan dan pengobatan yang
terbaik bagi pasien. Respon keluarga terhadap stres bergantung
pada persepsi terhadap stress, kekuatan, dan perubahan gaya hidup
yang dirasakan terkait dengan penyakit kritis pada anggota
keluarga. Pada titik kritis ini, fungsi keluarga inti secara signifikan
berisiko mengalami gangguan (Nurhadi, 2014).
Tugas keluarga pasien kritis yang utama adalah untuk
mengembalikan keseimbangan dan mendapatkan ketahanan.
Menurut Mc. Adam, dkk (2008), dalam lingkungan area kritis
keluarga memiliki beberapa peran yaitu: 1) active presence, yaitu
keluarga tetap di sisi pasien, 2) protector, yaitu memastikan
perawatan terbaik telah diberikan, 3) facilitator, yaitu keluarga
memfasilitasi kebutuhan pasien ke perawat, 4) historian, yaitu
sumber informasi rawat pasien, 5) coaching, yaitu keluarga sebagai
pendorong dan pendukung pasien. Pasien yang berada dalam
perawatan kritis menilai bahwa keberadaan anggota keluarga di
samping pasien memiliki nilai yang sangat tinggi untuk
menurunkan level kecemasan dan meningkatkan level kenyamanan
(Holly, 2012).
d) Teori Stress Keluarga
Respon keluarga terhadap stress yang dirasakan ketika
menghadapi anggota keluarga mendapatkan perawatan kritis, dapat
dijelaskan melalui Stres Keluarga Hill. Teori tersebut dikenal
dengan model ABCX. Kerangka ABCX memiliki dua bagian.
Pertama adalah pernyataan yang berhubungan dengan penentu
9

krisis keluarga: A (Peristiwa dan kesulitan terkait) berinteraksi


dengan B (Sumber berhadapan dengan krisis keluarga) yang
berinteraksi dengan C (definisi yang dibuat keluarga mengenai
peristiwa tersebut) menghasilkan X (krisis).

Sumber
Koping (B)
Stressor Krisis atau
keluarga bukan
(A) krisis

(X)
Persepsi
tentang
stressor (C)

Gambar 2.1. Teori Stres Keluarga menurut Hill (Friedman, 2010)

Gambar 2.1 menampilkan gambar visual mengenai teori


dari adaptasi model Hill. Faktor A adalah stressor yang atau
adanya peristiwa aktual yang memaksa keluarga mempertahankan
dengan cara stereotip yang diikuti oleh mekanisme koping keluarga
(B). Jika keluarga tidak menggunakan sumber dan mekanisme
koping, maka hasilnya sama yakni seolah-olah keluarga tidak
memiliki sumber koping. Intervensi lebih mudah pada kasus ini
karena tidak terlalu sulit untuk membantu keluarga memanfaatkan
pola koping masa lalu dibandingkan membantu keluarga belajar
cara berespon yang baru.

Faktor C merupakan persepsi dan interpretasi keluarga


terhadap stressor atau peristiwa stres. Penilaian keluarga terhadap
stressor mempengaruhi apa upaya koping yang digunakan beserta
hasilnya nanti. Keluarga yang fungsional akan mampu melihat
peristiwa sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan dapat dikelola.
10

Faktor X terkait dengan krisis atau bukan krisis. Terjadinya


kecenderungan krisis menunjukkan bagaimana keluarga mengatasi
faktor B dan C. Ketika keluarga terpajan krisis, maka cenderung
mengalami peristiwa stressor dan keparahan yang lebih besar (A)
serta mendefinisikannya lebih sering sebagai krisis (C). Tipe
keluarga seperti ini lebih rentan terhadap peristiwa stressor karena
kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang mereka
miliki. Selain itu, keluarga yang gagal belajar dari krisis masa lalu,
menyebabkan mereka melihat stressor baru sebagai ancaman dan
pencetus krisis. Faktor X ini, tidak dilihat sebagai hasil akhir
melainkan berpengaruh dalam hubungan dan penampilan peran
anggota keluarga (Friedman, 2010).

e) Koping Keluarga
Koping keluarga merupakan proses aktif saat keluarga
memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan
perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga
dan mengurangi dampak peristiwa hidup yang penuh stres. Strategi
koping keluarga ketika menghadapi stres dapat dilakukan melalui
pencarian dukungan sosial (Nurhadi, 2014).
Dukungan yang diberikan oleh perawat intensif kepada
anggota keluarga pasien merupakan salah satu bentuk dukungan
sosial formal. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga,
teman dan tetangga disebut ‘informational support’ dan dukungan
sosial yang diberikan oleh penyedia layanan formal disebut ‘formal
support’. Ketika kebutuhan pasien dan keluarga bersinergi dengan
kompetensi perawat, maka hasil perawatan pasien akan optimal
(Wardah, 2013).
Dukungan sosial didefinisikan sebagai pertukaran informasi
pada tingkat interpersonal yang memberikan empati dukungan
11

yakni dukungan emosional, harga diri, jaringan, penilaian dan


altruistik. Dukungan emosional merupakan keyakinan bahwa
individu dalam keluarga dicintai dan disayangi. Kebutuhan
emosional ini mencakup kebutuhan akan harapan dan jaminan
dukungan spiritual. Pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan
kebutuhan keluarga oleh tenaga kesehatan profesional pada
perawatan kritis bermanfaat agar keluarga dapat mengontrol pada
situasi rentan dan hal tersebut juga dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan ketika berada pada keadaan yang sama (Brysiewicz,
2006).

2. Dukungan Informasi

a. Pengertian
Dukungan informasi dalam kamus besar Bahasa Indonesia
memiliki definisi sebagai suatu bantuan/ sokongan dalam
pemberian berita, pemberitahuan tentang sesuatu. Pemberian
dukungan informasi merupakan hal yang paling berkaitan erat
dengan kecemasan, dimana informasi dapat mempengaruhi
persepsi positif ataupu negatif terhadap emosi keluarga. Informasi
yang tidak lengkap dapat merupakan salah satu penyebab
pengembangan, kecemasan, depresi, post traumatis syndrome
ataupun ketidak harmonisan hubungan keluarga dengan tim
kesehatan (Mc. Adam, Arai dan Putillo, 2008). Keluarga dengan
kondisi kritis yang disebabkan oleh penyakit kritis anggota
keluarganya membutuhkan bantuan tim kesehatan untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungan (Wardah, 2013).
Petugas kesehatan profesional yang bekerja di ruang
intensif akan dihadapkan dengan banyak perubahan etis karena
komplikasi dalam memberikan perawatan (Elpern dkk, 2005). Pada
kenyataannya karena kondisi pasien yang tidak stabil dan
ketidakseimbangan kondisi mental keluarga, petugas kesehatan
12

profesional cenderung memberikan informasi secara umum dan


informasi yang ambigu mengenai kondisi pasien untuk melindungi
keluarga terhadap kecemasan dan kekhawatiran (Miracle, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chien,
dkk (2006) menunjukkan sebagian besar stres dan kecemasan
keluarga pasien disebabkan tidak terpenuhinya informasi mengenai
prognosis, tindakan dan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi
lingkungan dan peralatan yang rumit di ruang intensif. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Omari (2009) menunjukkan bahwa
sebagian besar kebutuhan yang penting meliputi isi dari informasi
mengenai kondisi pasien, perubahan kondisi pasien dan jaminan
pelayanan yang terbaik bagi pasien. Daaly dan Kloos (2008),
menegaskan bahwa keluarga pasien merasakan ketidakpastian dan
kurangnya informasi adalah faktor penting yang meningkatkan
depresi serta kecemasan mereka.
Dukungan informasi terhadap keluarga pasien di ruang
intensif merupakan alat untuk membantu keluarga pasien dalam
mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam kondisi stress dan
menurunkan tingkat kecemasan (Taylor, 2006). Menggunakan
teknik dan sumber koping dalam pemberian informasi kepada
keluarga pasien di ruang intensif juga membantu mereka dalam
beradaptasi secara lebih baik ketika dihadapkan pada kondisi stress
dan dapat membawa harapan mereka terhadap pasien sesuai
dengan kenyataan (Yaman dan Bulut, 2010).
Peningkatan minat dalam pengembangan, implementasi dan
uji coba dalam intervensi pemberian dukungan informasi kepada
keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif adalah langkah
nyata yang terdapat dalam literatur rawat intensif. Pemberian
leaflet kepada keluarga pasien mengenai informasi serta orientasi
ruang di ruang intensif, kebijakan di ruang intensif, petugas
kesehatan yang ada, dan peralatan yang digunakan di ruang intensif
13

yang secara signifikan berfungsi untuk meningkatkan prognosis


pasien secara menyeluruh (Azouley dkk, 2002).
Kebutuhan informasi yang tidak terpenuhi dengan baik
akan mempengaruhi respon keluarga terhadap perawatan yang
dilakukan. Defisit komunikasi, informasi yang kontradiktif, dan
kurangnya dukungan akan menyebabkan kondisi stres, frustasi,
depresi dan ketidakpuasan pada anggota keluarga (Bailey, 2010).
Strategi dalam pemberian informasi secara verbal dan
tertulis telah menunjukkan keuntungan pada konteks pasien akhir
hayat di ruang intensif, brosur mengenai proses kehilangan
dikombinasikan dengan komunikasi yang proaktif akan secara
signifikan menurunkan gejala klinis kecemasan dan depresi secara
lebih baik pada gangguan stress paska trauma (Lautrette dkk,
2007). Dalam pemberian informasi sangat disarankan disertai
dengan informasi tertulis (Wardah, 2013). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Moult (2004) menyatakan bahwa pasien dan
keluarga mungkin akan melupakan setengah dari informasi dalam
waktu lima menit setelah dilakukan konsultasi kesehatan dan hanya
akan mengingat 20% dari keseluruhan informasi yang telah
diberikan (Moult, 2004).

b. Cara Pengukuran
Perawat merupakan tenaga kesehatan pertama yang
menunjukkan minat terhadap kebutuhan anggota keluarga pasien
yang dirawat di ruang intensif. Pada tahun 1979, seorang perawat
Nancy Molter mengembangkan daftar kebutuhan keluarga
berdasarkan survey mahasiswa keperawatan. Daftar kebutuhan
keluarga tersebut kini dikenal dengan nama Critical Care Family
Needs Inventory (CCFNI). CCFNI memiliki 45 pertanyaan yang
dibagi menjadi lima dimensi: informasi mengenai keadaan pasien
14

yang sesungguhnya, berada didekat pasien, mendapatkan jaminan,


kenyamanan dan dukungan (Fortunatti, 2014).
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Kinrade,
Jackson dan Tomney (2009) menunjukkan bahwa terdapat 9
kebutuhan yang paling penting yang berhasil di identifikasi oleh
keluarga pasien dan perawat, meliputi:
1. Pertanyaan dijawab secara jujur
2. Dapat mengunjungi pasien setiap saat
3. Memiliki perasaan bahwa petugas kesehatan peduli terhadap
pasien
4. Mengetahui fakta yang spesifik mengenai perkembangan pasien
5. Mengetahui hasil yang diharapkan
6. Melihat pasien secara berkala
7. Diberikan jaminan bahwa pasien akan mendapatkan perawatan
sebaik mungkin
8. Mengetahui mengenai kenyataan meskipun menyedihkan
9. Mendapatkan penjelasan mengenai sesuatu yang tidak
dimengerti
Terdapat lima hal yang dianggap kurang penting mengenai
kebutuhan keluarga pasien yang berhasil diidentifikasi, meliputi:
1. Sendirian setiap saat
2. Diberikan informasi mengenai pelayanan rohani
3. Mempunyai seseorang yang peduli dengan kesehatan keluarga
pasien
4. Memperoleh perabot yang nyaman ketika berada di ruang
tunggu
5. Diberikan semangat dan keberanian untuk mengungkapkan
emosi
15

Pada penelitian ini, CCFNI yang digunakan terdiri dari 13 item


pertanyaan yang meliputi:

1. Petugas kesehatan memberikan penjelasan sebelum melakukan


tindakan kepada pasien
2. Petugas kesehatan menjawab pertanyaan yang diajukan keluarga
dengan baik atau menunjukkan kepada seseorang yang dapat
memberikan bantuan
3. Petugas kesehatan menjelaskan tentang peralatan yang dipasang
pada pasien
4. Petugas kesehatan menjelaskan kepada keluarga tentang hasil
tindakan perawatan
5. Petugas kesehatan menjelaskan tentang kondisi pasien
6. Petugas kesehatan membantu keluarga memahami apa yang
terjadi pada pasien
7. Petugas kesehatan menceritakan hasil perkembangan perawatan
pasien
8. Petugas kesehatan menjelaskan tentang rencana perawatan
9. Petugas kesehatan menjelaskan penyebab atau alasan tindakan
tertentu yang dilakukan terhadap pasien
10. Petugas kesehatan menjelaskan rencana pemindahan pasien
11. Petugas kesehatan menjelaskan kepada keluarga tentang
harapan kesembuhan pasien
12. Petugas kesehatan menjelaskan tentang peraturan bagi
penunggu pasien
13. Petugas kesehatan menunjukkan tata letak ruang intensif

Dampak psikologis bagi keluarga pasien ketika berada di


ruang intensif bersifat traumatik dan akan menghasilkan kondisi
krisis bagi keluarga pasien. Pengalaman tersebut kemudian akan
mempengaruhi persepsi keluarga terhadap perawatan kritis.
Kesehatan dan kesejahteraan keluarga pun akan terpengaruh oleh
16

pengalaman emosi dan psikologis ketika berada di lingkungan


rawat intensif dan secara langsung berhubungan dengan dukungan
yang dapat mereka berikan serta kebutuhan terhadap petugas di
ruang intensif (Kinrade, Jackson, dan Tomnay, 2009).

1. Kecemasan
a) Pengertian
Cemas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar
yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya.
Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus cemas.
Kecemasan adalah perasaan tidak senang dan tidak nyaman serta
sebagian besar orang berusaha untuk menghindarinya (Stuart,
2009). Gangguan kejiwaan yang sebagian besar terjadi di Amerika
Serikat adalah gangguan kecemasan dan terjadi antara 15% - 25%
populasi (Rapaport, dkk dalam Stuart, 2010). Cemas yang berhasil
diobservasi merupakan kombinasi dengan emosi lain (Stuart,
2009).
b) Penyebab Kecemasan

Teori penyebab kecemasan (Stuart, 2009) :

Teori Perilaku (Behaviour)

Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan periodik


frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan. Pada teori ini menyatakan
bahwa kecemasan akan meningkat melalui konflik yang terjadi
ketika seseorang mendapatkan pengalaman mengenai dua hal yang
bersaing dan harus memilih salah satu di antaranya. Dengan
demikian terdapat hubungan yang muncul antara kecemasan
dengan konflik. Konflik akan menyebabkan kecemasan dan
kecemasan akan meciptakan persepsi terhadap konflik dengan
memproduksi rasa tidak berdaya (Stuart, 2009).
17

Keluarga dengan anggota keluarga yang dirawat di ruang


intensif berada dalam kondisi penuh kekhawatiran terhadap
keadaan dan prognosis pasien. Keluarga juga mengalami berbagai
risiko gangguan kesehatan fisik dan mental baik selama bahkan
setelah keluar dari ruang intensif. Efek hospitalisasi dapat berupa
kurang tidur, gangguan nafsu makan dan pencernaan, ketakutan,
stress, kecemasan, depresi hingga post traumatic syndrome. Dalam
keadaan ini, keluarga membutuhkan berbagai macam kebutuhan
spesifik yang harus dipenuhi (Wardah, 2013). Hasil dari sebuah
review prioritas kebutuhan anggota keluarga pasien yang dirawat
di ruang intensif menunjukkan bahwa menerima informasi
mengenai pasien adalah kebutuhan yang paling penting yang
diharapkan oleh keluarga (Faharani dkk, 2014).
Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap ansietas (Stuart, 2009)
Sistem tubuh Respon
Kardiovaskuler Palpitasi, tekanan darah meningkat, rasa mau
pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi
menurun, jantung seperti terbakar.

Pernafasan Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada,


nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan,
sensasi tercekik, terengah-engah.

Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan, menolak makan,


ketidaknyamanan abdomen, mual, diare

Traktus urinarius Tidak dapat menahan kencing, sering kencing

Neuromuskuler Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-


kedip, insomnia, tremor, rigiditas, wajah tegang,
kelemahan umum, gerakan yang janggal

Kulit Wajah kemerahan, telapak tangan berkeringat,


gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah
pucat.

c) Tanda dan Gejala Kecemasan


Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau
dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya
atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut (Hawari,
18

2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat


mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004),
antara lain sebagai berikut:

1. Gejala psikologis: pernyataan semas/khawatir, firasat buruk,


takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa
tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
2. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
3. Gangguan konsentrasi daya ingat.
4. Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi
buruk dan menakutkan.
5. Gangguan kecerdasan: sukar konsentrasi, daya ingat menurun
dan daya ingat buruk.
6. Perasaan depresi (murung): hilangnya minat, berkurangnya
kesenangan pada hobi, sedih,terbangun pada saat dini hari dan
perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
7. Gejala somatik/ fisik (otot): sakit dan nyeri di otot, kaku,
kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.
8. Gejala somatik/ fisik (sensorik): tinitus (telinga berdenging),
penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemas dan
perasaan ditusuk-tusuk.

9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah): takikardi,


berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa
lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/
berhenti sekejap.

10. Gejala respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit di


dada, rasa tercekik, sering menarik nafas pendek/ sesak.
19

11. Gejala gastroentinal: sulit menelan, perut melilit, gangguan


pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan
terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, sukar
BAB dan kehilangan berat badan.

12. Gejala urogenital: sering buang air kecil, tidak dapat menahan
BAK, tidak datang bulan (menstruasi), masa haid
berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali
dalam sebulan, ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang dan
impotensi.

13. Gejala autoimun: mulut kering, muka merah, mudah


berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa
sakit dan bulu-bulu berdiri.

14. Tingkah laku/sikap: gelisah tidak tenang, jari gemetar, kening/


dahi berkerut, wajah tegang/mengeras, nafas pendek dan cepat
serta wajah merah.

d) Cara Pengukuran Tingkat Kecemasan

Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat


kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS
(Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan
pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya gejala
pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS
terdapat 14 gejala yang nampak pada individu yang mengalami
kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor
(skala likert) antara 0 sampai dengan 4. Skala HARS pertama kali
digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max
Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran
kecemasan terutama pada berbagai penelitian. Skala HARS telah
dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk
20

melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian yaitu 0,93 dan


0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan
dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid
dan reliable.

Masing-masing kelompok gejala kecemasan diberi penilaian angka


(score) antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut:

Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

Nilai 1 = gejala ringan

Nilai 2 = gejala sedang

Nilai 3 = gejala berat

Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik

Masing- masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala


tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu: total nilai (score) :
kurang dari 14 = tidak ada kecemasan, 14-20 = kecemasan ringan,
21-27 = kecemasan sedang, 28-41= kecemasan berat, 42-56=
kecemasan berat sekali (Hawari, 2004).

e) Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara


respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif
adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi
dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang
paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak
21

mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehinggan


mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Berat sekali

Gambar 2.2. Skema Rentang Respon Kecemasan

f) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Keluarga

1. Umur

Menurut Azwar (2009), semakin tua umur seseorang semakin


konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah
maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur
dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi sadar
kematangan dan perkembangan seseorang.

2. Pendidikan

Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin


mudah menerima informasi. Faktor pendidikan sangat
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan seseorang tentang hal
baru yang belum pernah dirasakan atau sangat berpengaruh
terhadap perilaku seseorang terhadap kesehatannya.

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama


untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi merupakan cara
22

mencari nafkah yang memiliki banyak tantangan (Nursalam,


2001).

4. Informasi

Informasi adalah pemberitahuan yang dibutuhkan keluarga dari


staf ruang intensif mengenai semua hal yang berhubungan
dengan pasien yang dirawat di ruang intensif. Kebutuhan akan
informasi meliputi informasi tentang perkembangan penyakit
pasien, penyebab atau alasan suatu tindakan tertentu dilakukan
pada pasien, kondisi sesungguhnya mengenai perkembangan
penyakit pasien, kondisi pasien setelah dilakukan tindakan/
pengobatan, perkembangan kondisi pasien dapat diperoleh
keluarga paling sedikit sehari sekali, rencana pindah atau
keluar ruangan, dan informasi mengenai peraturan di ruang
intensif (Nurhadi, 2014).

Menurut Peni (2014) terdapat beberapa penyebab lain


kecemasan yang terjadi pada keluarga pasien yang dirawat di
ruang intensif, antara lain:

1. Terpisah secara fisik dengan keluarga yang dirawat di


ruang intensif.

2. Merasa terisolasi secara fisik dan emosi dari


keluarganya yang lain, dukungan lain yang tidak
adekuat atau keluarga lain yang tidak dapat berkumpul
karena bertempat tinggal jauh.

3. Takut kematian atau kecacatan tubuh terjadi pada


keluarga yang sedang dirawat.
23

4. Kurangnya informasi dan komunikasi dengan staf di


ruang intensif sehingga tidak mengetahui
perkembangan kondisi pasien.

5. Tarif di ruang intensif yang mahal.

6. Masalah keuangan, terutama jika pasien adalah satu-


satunya pencari nafkah dalam keluarga.

7. Lingkungan di ruang intensif yang penuh dengan


peralatan canggih, bunyi alarm, banyaknya selang yang
terpasang di tubuh pasien. Jika pasien diintubasi atau
adanya gangguan kesadaran, sulit atau tidak bisa
berkomunikasi diantara pasien dengan keluarganya.
Jam kunjung yang dibatasi, ruang intensif yang sibuk
dan suasananya yang serba cepat membuat keluarga
tidak merasa disambut atau dilayani dengan baik (FK.
Unair, RSUD Dr. Soetomo dalam Peni, 2014)
24

B. Kerangka Teori

Pada sub bab ini, penulis akan mengemukakan kerangka teori yang
menjadi dasar penelitian. Berdasarkan tentang teori, konsep dan hasil
penelitian yang terkait, berikut penulis paparkan kerangka teori yang
menjadi acuan dalam penelitian yang akan dilakukan.

Pasien Kritis

Terjadi risiko kecacatan


dan kematian

Ruang intensif, Keluarga


menjadi
- Terpisah secara fisik krisis
dengan pasien (muncul
- Merasa terisolasi secara
kecemasan)
fisik dan emosi
- Takut kecacatan dan
kematian terjadi pada
pasien
- Kurangnya informasi
dan komunikasi
- Tarif mahal
- Masalah keuangan
- Lingkungan dengan
peralatan canggih

Gambar 2.3. Kerangka Teori Penelitian (Peni, 2014)


25

C. Kerangka Konsep

Dukungan informasi Kecemasan

Keterangan: garis lurus merupakan area penelitian.


Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.4. menunjukkan kerangka konsep penelitian yang akan


digunakan oleh peneliti. Area penelitian yang akan diteliti adalah
hubungan dukungan informasi terhadap kecemasan yang dialami oleh
keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif.

Anda mungkin juga menyukai