Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan pembelajaran yang dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari siswa. Ciri-ciri pembelajaran kontekstual, yaitu mengaitkan topik
atau konsep yang dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari anak dan perkembangan
psikologisnya. Apabila dikaitkan dengan konteks hobi dan kebutuhannya, siswa akan mudah
tertarik untuk memerhatikan konsep yang sedang dipelajari, karena belajar dalam konteks CTL
bukan hanya sekadar mendengarkan dan mencatat, tetapi juga belajar dengan proses berpengalam
secara langsung. Belajar melalui CTL diharapkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang
dipelajarinya.
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama di sekolah. Dalam proses ini siswa
membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajar mengajar
hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal secara lancar dan
termotivasi. Suasan belajar yang diciptakan guru harus melibatkan siswa secara aktif.
Di situlah pentingnya guru mengaitkan apa yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari
(konstektual dengan kehidupan keseharian) dan dengan menggunakan Bahasa yang dapat
dimengerti oleh siswa (konstektual dengan perkembangan kognitif mereka). Dengan cara
demikian, siswa akan memahami makna apa yang dipelajari bagi dirinya sehingga akan
menumbuhkan motivasi belajarnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari pembelajaran CTL ?


2. Bagaimana konsep dasar strategi pembelajaran CTL ?
3. Apa saja komponen-komponen pembelajaran dalam CTL ?
4. Apa saja prinsip pembelajaran CTL ?
5. Bagaimana penerapan dari pembelajaran CTL ?
1.3 Tujuan

1. Untuk memahami pengertian pembelajaran CTL.


2. Untuk mengetahui konsep dasar strategi dalam pembelajaran CTL.
3. Untuk mengetahui komponen-komponen dalam pembelajaran CTL.
4. Untuk mengetahui prinsip pembelajaran CTL.
5. Untuk mengetahui penerapan dari pembelajaran CTL.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembelajaran Konstektual

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Menurut Suryanto (2002: 20-21) pendekatan pembelajaran konstektual adalah suatu


pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran konstektual, yaitu pembelajaran yang
menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memecahkan berbagai masalah, baik
masalah nyata maupun masalah simulasi, baik masalah yang berkaitan dengan pelajaran lain di
sekolah.

Johnson (2002: 25), menyatakan bahwa the CTL system is an educational process that aims
to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic
subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal social and
cultural circumstances. Artinya, sistem CTL dalam proses pendidikan memiliki tujuan membantu
siswa melihat arti dari materi akademik yang mereka pelajari, yang mana mengaitkan materi
pelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari.

Trianto (2007: 101), menyatakan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
memeberikan sinyal dalam implementasinya menggunakan strategi dengan menekankan pada
aspek kinerja siswa (Contextual Teaching and Learning). Jadi dalam hal ini, peran guru hanya
sebagai mediator, siswa lebih proaktif untuk merumuskan sendiri tentang fenomena yang berkaitan
dengan fokus kajian dengan secara kontekstual bukan tekstual. CTL merupakan suatu konsepsi
yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
memotivasi siswa membuat hubungan antar pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
2.2 Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Konstektual

Dari pengertian CTL, ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama.CTL menekankan kepada
proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorintasikan pada
proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar
siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata.

Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL
bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

2.3 Komponen-Komponen Pembelajaran Konstektual

Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat
makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-sbjek
akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks pribadi,
sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut meliputi komponen berikut:
membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan
berkembang, mencapai standar tinggi dan menggunakan penilaian autentik (Johnson, 2009: 67).

Terdapat 7 (tujuh) komponen pembelajaran kontekstual yaitu konstruktivisme, penemuan,


bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian otentik.
1. Konstruktivisme (Constructivism).
Konstruktivisme adalah mengembangkan pemikiran siswa akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya. Menurut Sardiman, teori atau aliran ini merupakan landasan
berfikir bagi pendekatan kontekstual (CTL). Pengetahuan riil bagi para siswa adalah sesuatu
yang dibangun atau ditemukan oleh siswa itu sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta, konsep atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus merekonstruksi pengetahuan
itu kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata.
2. Menemukan (Inquiry).
Menemukan atau inkuiri adalah proses pembelajaran yang didasarkan pada proses
pencarian penemuan melalui proses berfikir secara sistematis, yaitu proses pemindahan dari
pengamatan menjadi pemahaman sehingga siswa belajar mengunakan keterampilan berfikir
kritis.
Menurut Lukmanul Hakiim, guru harus merencanakan situasi sedemikian rupa, sehingga
para siswa bekerja menggunakan prosedur mengenali masalah, menjawab pertanyaan,
menggunakan prosedur penelitian/investigasi, dan menyiapkan kerangka berfikir , hipotesis,
dan penjelasan yang relevan dengan pengalaman pada dunia nyata.
3. Bertanya (questioning).
Bertanya, yaitu mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui dialog interaktif melalui
tanya jawab oleh keseluruhan unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Dengan penerapan
bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang
lebih luas dan mendalam. Dengan mengajukan pertanyaan, mendorong siswa untuk selalu
bersikap tidak menerima suatu pendapat, ide atau teori secara mentah. Ini dapat mendorong
sikap selalu ingin mengetahui dan mendalami (curiosity) berbagai teori, dan dapat mendorong
untuk belajar lebih jauh.
4. Masyarakat Belajar (learning community).
Konsep masyarakat belajar (learning community) ialah hasil pembelajaran yang diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain. Guru dalam pembelajaran kontekstual (CTL) selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Siswa
yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah tahu memberi tahu yang belum tahu, dan
seterusnya.
Dalam praktiknya “masyarakat belajar” terwujud dalam pembentukan kelompok kecil,
kelompok besar, mendatangkan ahli ke kelas, bekerja sama dengan kelas paralel, bekerja
kelompok dengan kelas di atasnya, bekerja sama dengan masyarakat.
5. Pemodelan (modeling).
Dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, perlu ada model yang bisa
ditiru oleh siswa. Model dalam hal ini bisa berupa cara mengoperasikan, cara melempar atau
menendang bola dalam olah raga, cara melafalkan dalam bahasa asing, atau guru memberi
contoh cara mengerjakan sesuatu.
Guru menjadi model dan memberikan contoh untuk dilihat dan ditiru. Apapun yang
dilakukan guru, maka guru akan bertindak sebagai model bagi siswa. Ketika guru sanggup
melakukan sesuatu, maka siswapun akan berfikir sama bahwa dia bisa melakukannya juga.
6. Refleksi (reflection).
Refleksi merupakan upaya untuk melihat, mengorganisir, menganalisis, mengklarifikasi,
dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari.
Realisasi praktik di kelas dirancang pada setiap akhir pembelajaran, yaitu dengan cara
guru menyisakan waktu untuk memberikan kesempatan bagi para siswa melakukan refleksi
berupa : pernyataan langsung siswa tentang apa-apa yang diperoleh setelah melakukan
pembelajaran, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai
pembelajaran hari itu, diskusi, dan hasil karya.
7. Penilaian Otentik (authentic assessment).
Pencapaian siswa tidak cukup hanya diukur dengan tes saja, hasil belajar hendaknya
diukur dengan assesmen autentik yang bisa menyediakan informasi yang benar dan akurat
mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas
program pendidikan.
Penilaian otentik merupakan proses pengumpulan berbagai data untuk memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Data ini dapat berupa tes tertulis, proyek (laporan
kegiatan), karya siswa, performance (penampilan presentasi) yang terangkum dalam
portofolio siswa.

2.4 Prinsip Pembelajaran Konstektual

Pembelajaran dengan CTL menggunakan beberapa prinsip yaitu prinsip


kesalingbergantungan, prinsip diferensiasi, dan prinsip pengaturan diri (Johnson, 2009: 68).
Berikut ini penjelasannya.

a. Prinsip kesalingbergantungan ini maksudnya ada keterkaitan antara siswa dengan beberapa
komponen sekolah seperti siswa lain, guru lain, tukang kebun, tukang sapu, pegawai
administrasi, sekretaris, orangtua, dan masyarakat di lingkungan sekitar sekolah.
b. Prinsip difernsiasi memberi kesempatan kepada siswa untuk menggali bakat dan
memunculkan cara belajar mereka sendiri karena setiap individu siswa itu unik.
c. Prinsip pengaturan diri menuntut guru untuk mendorong setiap siswa mengeluarkan seluruh
potensinya.

2.5 Proses Pendekatan Pembelajaran Kontekstual

Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan karena siswa mengalami
bagaimana alamiah dalam bentuk kegiatan karena siswa mengalami bagaimana bekerja dan
mengalami secara langsung, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Pendekatan pembelajaran kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran


tentang belajar sebagai berikut :

Proses belajar

Proses belajar sangat berpengaruh kepada hasil belajar seorang siswa, maka dari itu
proses belajar harus benar-benar diperhatikan, seperti di bawah ini :

 Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di jiwa
mereka.
 Anak belajar dari mengalami dan praktik. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari
pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
 Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki siswa itu terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang suatu persoalan.
 Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang
terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
 Tiap siswa mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
 Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
 Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus
seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan siswa.
Proses transfer belajar

Transfer belajar harus sesuai dengan materi yang di ajarkan karena pada dasarnya seorang
siswa hanya menerima apa yang di sampaikan guru dan siswa harus mengalami sendiri dari
prosesnya secara langsung. Contohnya :

 Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
 Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi
sedikit)
 Penting bagi siswa mengetahui alasan dia belajar dan bagaimana ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu

2.6 Implementasi Pembelajaran Kontekstual di Kelas

Pembelajaran berbasis konstekstual dengan sendirinya akan membawa implikasi-implikasi


tertentu ketika guru menerapkannya di dalam kelas. Menurut Zahorik (Nurhadi, 2002: 7) terdapat
lima elemen penting yang harus diperhatikan oleh guru dalam praktek pembelajaran kontekstual,
yaitu:

1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)


2. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge), yaitu dengan cara memperlajari
secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun konsep
sementara atau hipotesis, melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan
atau validasi dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi atau dikembangkan.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut.

2.7 Penilaian Pembelajaran Kontekstual

Berkaitan dengan proses pembelajaran kontekstual, sistem evaluasi yang digunakan adalah
penilaian autentik, yaitu evaluasi kemampuan siswa dalam konteks dunia yang sebenarnya,
penilaian kinerja (performance), penilaian portofolio (kumpulan hasil kerja siswa), observasi
sistematik (dampak kegiatan pembelajaran terhadap sikap siswa), dan jurnal (buku tanggapan).
Menurut Enoh (2004: 23) dijelaskan bahwa evaluasi dalam pembelajaran kontekstual dilakukan
tidak terbatas pada evaluasi hasil (ulangan harian, cawu, tetapi juga berupa kuis, tugas kelompok,
tugas individu, dan ulangan akhir semester) tetapi juga dapat dilakukan evaluasi proses. Dengan
demikian akan diketahui kecepatan belajar siswa, walau akhirnya akan dibandingan dengan
standar yang harus dicapai. Adapun metode penilaian yang digunakan dalam pembelajaran
pendekatan kontekstual adalah:

1. Diskusi: kemampuan siswa berbicara, mengemukakan ide, dsb.


2. Wawancara: kemampuan siswa dalam memahami konsep dan kedalamannya.
3. Paper & Pencil Test: berbagai jenis tes dengan tingkat pemikiran yang tinggi.
4. Observasi: menilai sikap dan perilaku siswa.
5. Demonstrasi: kemampuan mentransformasikan ide-ide ke dalam sesuatu yang konkret
dan dapat diamati melalui penglihatan, pendengaran, seni, drama pergerakan, dan atau
musik.

2.8 Peran Guru dan Siswa dalam CTL

Setiap siswa mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Ada tiga tipe gaya belajar siswa,
yaitu, tipe visual, auditorial, dan kinestetis. Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat,
artinya siswa akan lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indra penglihatannya. Tipe
auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarannya; sedangkan tipe
kinestetis adalah tipe belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh.
Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia
siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL.
1. Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang berkembang.
Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan
pengalaman yang dimilikinya. Peran guru bukanlah sebagai instruktur “penguasa” yang
memaksakan kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka bisa belajar
sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan.
Oleh karena itulah belajar bagi mereka adalah mencoba memecahkan setiap persoalan yang
menantang. Dengan demikian, guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang
dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
3. Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal
yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian, peran guru adalah
membantu agar setiap siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru
dengan pengalaman sebelumnya.
4. Belajar bagi anak adalah proses menyempurnakan skema yang telah ada (asimilasi) atau
proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru hanya
memfasilitasi agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan, M. Idrus. 2014. Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching Learning), 5 [03
Desember 2018]

Hasnawati. 2006. Pendekatan Contextual Teaching Learning Hubungannya dengan Evaluasi


Pembelajaran, 80 [03 Desember 2018]

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks: Convin Press, Inc.

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.

Sofan Amri & Iif Khoiru Ahmadi. 2010. Proses Pembelajaran Inovatif dan Kreatif dalam Kelas.
Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.

Suprihatiningrum, Jamil. 2016. Strategi Pembelajaran: Teori & Aplikasi. Jogjakarta: Ar-ruzz
Media

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik: Konsep,


Landasan Teoretis Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Anda mungkin juga menyukai