Refrat 1
Refrat 1
406127120
BAB I
PENDAHULUAN
Varisela merupakan penyakit infeksi primer yang akut dan sangat menular, disebabkan
oleh virus varisela-zoster (VVZ). Penyakit ini terutama mengenai anak-anak, dengan erupsi yang
khas berupa vesikel. Lebih dari 90 % kasus terjadi pada usia 1-14 tahun. Pada anak-anak yang
imunokompeten gejala biasanya bersifat ringan, self-limiting disease dan jarang terjadi
komplikasi. Pada anak-anak imunokompromais dapat mengancam jiwa. Pajanan ulang dapat
menyebabkan kambuhan dengan gambaran klinis varisela lebih berat dan lebih lama, serta terjadi
reaktivasi dari VVZ berupa Herpes Zooster. 1
Sebelum vaksin varisela ditemukan, hampir semua orang menderita varisela. Namun,
pada tahun 1974 vaksin varisela ditemukan, kemudian disetujui oleh Unites States Food and
Drug Administration tahun 1995. Sejak saat itu insidensi varisela menurun sebanyak 90 % dari
tahun 1995 sampai 2005 pada usia anak 19 sampai 35 bulan di area survei (Virginia Barat,
Illinois, Texas, Michigan).2
BAB II
VARISELA
II.1 Definisi
Varisela adalah infeksi akut primer oleh virus varisela-zooster yang menyerang
kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama
berlokasi di bagian sentral tubuh. Nama lainnya adalah cacar air atau chicken pox.3
II.2 Epidemiologi
Varisela merupakan penyakit infeksi yang sangat menular dan sering ditemukan
di seluruh dunia. Pada negara empat musim, insiden terutama terjadi pada periode antara
musim dingin dan musim semi. Pada negara tropis dan semi tropis, kecenderungan angka
terjadinya varisela pada usia yang lebih tua dan perbedaan geografis ini belum dapat
diterangkan. Penularan terhadap individu dalam satu rumah sekitar 85-90 %, sedangkan
bila dirawat hampir 70 % menyebabkan infeksi nosokomial.1 Pada awal tahun 1990
sekitar 4 juta orang di Amerika menderita varisela, 10.500- 13.000 dihospitalisasi, dan
sekitar 100-150 meninggal setiap tahun.4 Lebih dari 90 % orang dewasa di Amerika
pernah menderita penyakit ini semasa anak-anak. Sedangkan untuk reaktivitasi virus ini
dalam bentuk Herpes Zoster terjadi pada 1.5 sampai 3.0 kasus per 1000 orang pada
populasi umum.5 Insiden varisela telah menurun sejak ditemukannya vaksinasi terhadap
penyakit ini. Setiap tahun, lebih dari 3,5 juta kasus varisela, 9.000 hospitalisasi, dan 100
kematian dapat dicegah dengan vaksinasi di Amerika.4
II.3 Etiologi
Virus varisela zoster (VVZ) adalah salah satu anggota dari famili herpesvirus.
Pada infeksi primer VVZ menyebabkan Varisela, namun pada reaktivasinya VVZ
menyebabkan Herpes Zooster.3 Anggota pathogen lainnya meliputi HSV-1 dan HSV-2,
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Periode 17 February – 22 Maret 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sumber waras
2
Varisela Melisia
406127120
Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Human Herpes Virus (HHV-6 dan HHV-7) yang
mengakibatkan roseola dan Sarkoma Kaposi terkait virus herpes yang disebut juga HHV-
8. Semuanya dapat dibedakan dari morfologinya.
Gen pada varisela zoster mengkode produk awal yang berupa virus specific
thymidine kinase dan DNA virus polymerase dimana mendukung terjadinya replikasi
virus. Berikutnya pada masa laten mengkode virus structural protein dengan target
antibodi dan respon imun seluler.6
II.4 Patogenesis
Varisela dapat ditularkan melalui airborne droplets dan kontak langsung.
Penularan oleh penderita terjadi 2 hari sebelum sampai 4-5 hari setelah timbul erupsi
kulit. Pada anak imunokompeten, 6 hari setelah timbul erupsi kulit sudah tidak dapat
menularkan penyakit ini, sedangkan pada imunokompromais lebih lama.1,6
VVZ masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran pernapasan atas dan
orofaring. Multiplikasi awal pada port d’ entrée mengakibatkan penyebaran virus melalui
darah dan sistem limfatik, sehingga terjadi viremia primer yang berlangsung subklinis
dan singkat. Virus ini dibersihkan oleh sel-sel sistem retikuloendotelial yang merupakan
tempat replikasi utama virus selama periode inkubasi, virus dihambat sebagian oleh
mekanisme pertahanan tubuh dan respon imun yang timbul. Pada sebagian besar
penderita yang terinfeksi replikasi virus dapat mengalahkan pertahanan tubuh yang
sedang berkembang. Sekitar 2 minggu setelah terinfeksi, terjadi viremia sekunder dalam
jumlah yang lebih banyak. Virus bersikurlasi dalam leukosit mononuclear terutama
limfosit, menyebar ke seluruh tubuh termasuk ke kulit dan membrane mukosa disertai
gambaran klinis varisela. Lokalisasi VVZ di lapisan basal epidermis diikuti oleh replikasi
virus, degenerasi balon dari sel-sel epitel, dan akumulasi cairan edema dengan
pembentukan vesikel. Lesi kulit yang timbul berturut-turut mencerminkan terjadinya
siklus viremia berulang kali. Selama perjalanan penyakit ini, VVZ berpindah dari lesi
kulit menuju ke saraf sensorik, tepatnya ganglia sensorik, mengadakan infeksi laten yang
bila direaktivasi akan menjadi Herpes Zooster.1,6-7
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Periode 17 February – 22 Maret 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sumber waras
3
Varisela Melisia
406127120
Respon imun seluler yang berfungsi protektif terhadap virus varisela lebih
berperan daripada respon imun humoral dalam penyebaran virus varisela dan menetap
bertahun-tahun. Komplikasi yang terjadi disebabkan karena kegagalan respon imun
seluler menghentikan replikasi dan penyebaran virus serta berlanjutnya infeksi. Pada
penderita imunokompeten, imunitas humoral dapat berfungsi protektif terhadap varisela
sehingga pajanan ulang tidak menyebabkan infeksi. Antibodi IgG, IgM, dan IgA spesifik
terhadap VVZ dalam 2-5 hari dapat dideteksi dan mencapai titik tertinggi selama minggu
kedua dan ketiga. Setelah itu, titer menurun, sedangkan IgG lebih lama menetap.
Pada penderita imunokompromais, karena imunitas humoral dan seluler
terganggu maka pajanan ulang dapat menyebabkan kambuhan dan gambaran klinis
berupa varisela yang berlangsung lebih berat dan lama, herpes zooster dengan satu
dermatom atau lebih.1,7
Gambar 1. A. Lesi awal berupa vesikel. B. Terdapat vesikel, pustul, maupun skuama
Trimester pertama:
Jika terjadi pada trimester I kehamilan maka terdapat gangguan pada masa
embriologi. Biasanya terjadi hipoplasia pada lengan dan tungkai, chorioretinits, atrofi
kortikal, dan cutaneus scars (kongenital varisela syndrome). Resiko akan meningkat
pada awal kehamilan minggu ke 20.9
Trimester kedua:
Biasanya terjadi pada pertengahan bulan. Pada saat ini tidak terdeteksi janin juga
akan menderita varisela tetapi mempunyai resiko yang tinggi tekena herpes zoster
setelah lahir.9
Mendekati kelahiran
Jika varisela yang terjadi diderita wanita hamil terjadi pada 2 – 3minggu sebelum
melahirkan maka bayi keadaan bayi dalam sangat berat. Selain itu, janin dan akan
terinfeksi sewaktu dalam kandungan dan akan muncul beberapa lesi beberapai hari
setelah melahirkan biasanya pada 1-4 hari lahir. Antibodi transplasenta melindungi
janin agar infeksi tidak berat dan biasanya tidak parah. Resiko infeksi dan komplikasi
meningkat bila terjadi pada hari ke 5 dan 2 hari sebelum melahirkan. Jika tekena lebih
dari 5 hari sebelum kelahiran maka akan terbentuk antibodi melalui transplasenta.9
Serologi
Serokonversi dapat membuktikan adanya infeksi primer.7 Peningkatan serum IgG
varisela signifikan dari sampel fase akut sampai kovalesen dapat membantu
menegakkan diagnosa secara retrospektif tapi tidak dapat dipercaya pada orang-orang
yang imunokompromais. Pemeriksaan ini tidak cukup sensitive untuk mendeteksi
antibody setelah diberi vaksinasi, dan peningkatan IgG sebanyak 4 kali lipat bisa
tidak ditemukan pada orang yang sudah divaksin
Pemeriksaan serum IgM dengan menggunakan peralatan yang dijual (commercial
kits) untuk tes varisela tidak direkomendasikan, karena metode yang digunakan masih
rendah sensitivitas dan spesifisitasnya. Hasil berupa false-positive IgM umumnya
terjadi bila level IgG tinggi. Hasil IgM negative sebaiknya tidak digunakan untuk
mendiagnosis, dan Igm yang positif tanpa adanya ruam sebaiknya tidak digunakan
untuk menegakkan diagnose.5
Dermatopatologi
Spesimen biopsy kulit berlesi atau visceral memperlihatkan adanya sel epithelial
yang multinukleasi dan besar mengindikasikan HSV-1, HSV-2, atau VVZ.
Pewarnaan imunoperoksidase yang spesifik untuk HSV-1, HSV-2, atau VVZ dapat
mengindentifikasi virus herpes yang spesifik. 7
II.8 Diagnosa
II.10 Penatalaksanaan
a. Nonmedikamentosa:
- Harus berhati – hati bila mandi agar vesikel tidak pecah
- Tidak boleh menggaruk supaya vesikel tidak pecah
- Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah mencapai stadium krustasi
- Rawat bila berat, bayi, usia lanjut dan dengan komplikasi
- Pasien harus diisolasi
b. Medikamentosa:
o Topikal
Untuk mengurangi rasa gatal dan mengurangi resiko infeksi dapat
diberikan kompres dingin atau lotion kalamin. Supaya vesikel tidak mudah pecah
dapat diberikan bedak dapat juga ditambahkan antipruritus yaitu mentol 0,25%.
Jika vesikel sudah pecah atau berbentuk krusta, diberikan salep antibiotik untuk
mencegah infeksi sekunder bakteri pada kulit.6
Untuk penanganan scar yang diakibatkan olehnya pecahnya vesikel
maupun pustule, dapat dipertimbangkan pemberian AHA (Alpha Hydroxy Acids)
dalam bentuk krim maupun moisturizer. Konsentrasi AHA yang dipakai
tergantung dari manfaat yang ingin didapat. Namun perlu diingat bahwa semakin
besar konsentrasi yang dipakai maka kemungkinan untuk timbul iritasi pada kulit
akan semakin besar.
Selain AHA, dapat digunakan juga retinol dalam bentuk krim untuk
menghilangkan scar yang ada. Namun selama penggunaan krim ini sebaiknya
penderita tidak menggunakan obat topical lainnya yang dapat berinteraksi dengan
retinol.
o Antiviral
Analog nukleosid (acyclovir, famciclovir, valacyclovir dan brivudin) dan
analog pirofosfat (foscarnet) menunjukkan efektivitas dalam menyembuhkan
infeksi VVZ. Acyclovir adalah analog guanosine yang difosforilasi secara selektif
oleh thymidine kinase VVZ sehingga konsentrasinya paling tinggi dalam sel yang
terinfeksi. Kedua prodrug yaitu valacyclovir dan famciclovir lebih bagus dan
diabsorpsi lebih baik melalui oral dibandingkan acyclovir. Keduanya
menyebabkan aktivitas antiviral yang lebih tinggi di dalam darah dan memiliki
frekuensi penggunaan yang lebih sedikit dibandingkan acyclovir.
Pada pasien yang imunokompromais, terapi acyclovir intravena yang
dimulai dalam 72 jam setelah munculnya rash dapat menurunkan insiden
komplikasi yang mengancam jiwa.6
II.11 Imunisasi
Pada orang imunokompeten yang sudah pernah terserang penyakit ini sudah
mempunyai imunitas seumur hidup sehingga tidak diperlukan pencegahan. Pencegahan
diberikan kepada penderita beresiko tinggi atau imunokompromais dengan cara
pemberian imunisasi sehingga dapat mencegah dan meringankan gejala yang terjadi.1
a. Imunisasi Pasif
Varisela zoster imun globulin (VZIG) efektif untuk mencegah infeksi serius pada
anak –anak dan dewasa imunocompromised bila diberikan pada pajanan awal. Jika
ibu hamil menderita varisela dalam 5 hari sebelum sampai 2 hari setelah melahirkan
dalam 72 jam-96 jam dapat diberikan VZIG dan terbukti mencegah dan mengurangi
gejala varisela. Selain itu, VZIG juga dapat diberikan kepada:
o Anak dengan imunocompromised
o Neonatus dengan ibu menderita varisela 5 hari sebelum sampai 2 hari setelah
persalinan
o Bayi prematur lahir ≥ 28 minggu atau terpajan dalam masa neonatal dimana
ibunya belum pernah menderita varisela dan herpes zoster.
o Bayi prematur <28 minggu dengan BB <1000 gram, terpajan dalam masa
neonatal walaupun ibu memunyai riwayat pernah varisela atau mendapat
vaksinasi.
o Anak usia< 15 tahun, belum pernah menderita varisela atau herpes zoster atau
tidak mempunyai antibodi VVZ
o Anak yang terpajan melalui kontak di rumah dengan penderita varisela atau
herpes zoster.1,6
b. Imunisasi aktif (vaksinasi)
i. Sasaran
Pemberian vaksin VVZ efektif melindungi terhadap frekuensi terjadi dan
beratnya komplikasi. Pemberian vaksin rutin direkomendasikan pada anak 12-
18 bulan. Pada anak imunokompeten yang rentan usia 1-12 tahun dan belum
pernah menderita varisela diberikan dosis tunggal subkutan, sedangkan anak
usia> 12 tahun, remaja, dewasa yang rentan diberikan 2 dosis dengan jarak 1
bulan. Kekebalan yang didapat dapat bertahan 10 tahun. Cara untuk mencegah
pajanan terutama pada neonates dan orang imunokompromais adalah
menghindari kontak langsung dengan penderita varisela.1,6,8
iv. Peringatan
Penggunaan salisilat dalam waktu 6 minggu sesudah vaksinasi dilarang
untuk menghindari terjadinya sindroma Reye
Donor darah, plasma, maupun immunoglobulin dalam waktu 5 bulan
sebelum atau 3 minggu sesudah vaksinasi akan mengurangi efektifitas
vaksin.11
Pada gambar di bawah ini dapat dibandingkan jumlah lesi antara anak yang
divaksinasi dengan yang tidak divaksinasi
II.12 Komplikasi6
Orang-orang yang memiliki risiko tinggi menderita komplikasi varisela adalah
infant, imunokompromais, wanita hamil.
Scar pada wajah, batang tubuh dan ekstremitas karena pecahnya vesikel maupun
pustule.
Anak – anak jarang sekali terjadi komplikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi
biasanya diakibatkan adanya infeksi sekunder pada lesi kulit oleh bakteri
staphylococcus dan streptococcus seperti impetigo, furunkel, sellulitis, erysipelas, dan
yang jarang gangrene. Infeksi local ini sering mengakibatkan pembentukan skar, dan
septicemia dengan metastase infeksi ke organ-organ lain (jarang)
Pada dewasa biasanya ditemukan gangguan pernapasan seperti batuk, dyspneu,
takipneu, demam yang tinggi, pleuritic chest pain, hemoptysis, sianosis yang muncul
1 – 6 minggu setelah lesi muncul
- Myocarditis
- Glomerulonefritis
- Orchitis
- Pankreatitis
- Gastritis
- Ulkus GIT
- Arthritis
- Vaskulitis Henoch-Schonlein
- Neuritis Optik
- Keratitis
- Iritis
II.13 Prognosis12
Cacar air terhadap anak – anak bersifat ringan sehingga bisa sempurna tetapi
dengan adanya komplikasi yang terjadi maka akan dapat mengakibatkan kejadian yang
fatal.
BAB III
KESIMPULAN
Varisela adalah penyakit infeksi primer yang disebabkan oleh virus varisela zoster.
Penyakit ini sangat menular dan kebanyakan terjadi pada anak – anak.
Penyakit ini dimulai dengan gejala prodormal terlebih dahulu seperti demam, malaise,
menggigil tetapi pada anak – anak imunokompeten biasanya gejala ini sering tidak tampak dan
langsung muncul lesi kulit, yaitu makula, vesikel seperti tetasan embun, pustul, krusta dan
kemudian muncul bercak hiperpigmentasi. Tempat predeleksinya adalah muka dan ekstremitas
serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian atas. Penyebarannya
secara sentrifugal.
Pengobatan diberikan untuk mengurangi gejala symptomatik yang terjadi, yaitu: lotion
untuk mengurangi rasa gatal, antihistamin dan bedak untuk mencegah terjadinya ekskoriasi, serta
analgesik dan antipiretik seperti metampiron atau asetaminofen tetapi dapat diberikan obat
antivirus juga untuk mempercepat penyembuhan. Untuk penyembuhan scar dapat diberikan
AHA maupun retinol
Tindakan pencegahan juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini dan
supaya jika terkena keadaanya tidak buruk. Vaksinasinya yang dapat dilakukan adalah varisela
imunoglobulin (VZIG). Vaksin ini dapat diberikan setelah beberapa hari terpajan dengan VVZ.
Lampiran
*Smallpox
ektima gangrenosum****
DAFTAR PUSTAKA
1. Arline Inne. Etiopatogenesis Serta Penatalaksanaan Varisela Dan Herpes Zoster Pada
Bayi Dan Anak. Dalam: Iktiosis, Infeksi Bakteri dan Virus pada Kulit Bayi dan Anak.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2010: 74-82
2. Lopez A., Schmid S., Bialek S. Manual for the surveillance of vaccine-preventable
diseases.2011 [Internet] [cited : 2014 March 3 ]Available from:
www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt17-varicella
3. Handoko, Ronny P. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Keenam. Jakarta: FKUI.2010: 115-116
4. Centers for Disease Control and Prevention. Chickenpox (varicella); 2012 [Internet]
[cited : 2014 March 3] Available from:
www.cdc.gov/chickenpox/surveillance
5. Pergam SA., Limaye AP. Varicella-zoster virus. 2009 [Internet] [cited : 2014 March 3
]Available from:
www. ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2919834/
6. Straus Stephen E, Oxman Michael N, Schmader Kenneth E. Varisela and Herpes Zoster.
Dalam: Klauss Wolf, dll penyunting. Fitzpatrick’s Clinical Dermatology In General
Medicine. Edisi 7. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008: 1885-1898
7. Wolff K., Johnson R.A., Saavedra A. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical
dermatology. 7th edition. New York: Mc Graw Hill. 2013
8. Price Sylvia A; Wilson, Lorraine M. Infeksi Kulit. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses- Proses Penyakit volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
9. Habif Thomas P. Skin Disease Diagnosis & Treatment .Edisi 3. New York: Elsevier
Saunders. 2011: 230-241
10. Centers for disease control and prevention. [Internet] [cited : 2014 March 4] Available
from: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/varisela.html
11. World Health Organization. Varicella vaccine; 2008 [Internet] [cited : 2014 March 1]
Available from:
www.archives.who.int/vaccines/en/varicella.shtml
12. Mandal, B.K; Wilkins, E.G.L; dll. Ruam, Serta Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak. Dalam:
Lecture Notes Penyakit Infeksi. Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.2008:108
13. Buxton, Paul K; Jones, Rachael Morris. Viral infection. Dalam: ABC of Dermatology 5th
edition. UK: Wiley Blackwell.2003.
14. M. Hales C., R Harpaz, R. Joesoef M., R. Bialek S. Examination of links between herpes
zoster incidence and childhood varicella vaccination. [Internet] [cited : 2014 March 4]
Available from: www. ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24297190