Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang

sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert,

1985). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam

rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan

mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kesedihan adalah reaksi normal

ketika mengalami kehilangan sesuatu atau seseorang yang di cintai (davies, 1998).

Pada saat kita kehilangan sesuatu pasti amat sulit bagi kita untuk dapat menerimanya

dengan lapang dada dan kita akan mengalami kesedihan, begitu juga dengan pasien atau klien

yang mengalami kehilangan seperti kehilangan anggota tubuh karena pihak medis

mengharuskannya untuk amputasi, pasti sangat berat baginya untuk dapat menerima keadaannya

tersebut.

Oleh sebab itu perawat harus memahami apa yang di rasakan pasien, harus empati,

mencoba mengatasi masalah pasien tersebut agar setidaknya pasien tidak mengalami rasa

kehilangan yang berlebihan.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Tujuan di buatnya makalah ini adalah untuk dapat memahami asuhan keperawatan pada

pasien dengan masalah kehilangan anggota tubuh.

1
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengertian kehilangan anggota tubuh (amputasi)

b. Untuk mengetahui etiologi amputasi

c. Untuk mengetahui jenis- jenis amputasi

d. Untuk mengetahui patofisiologi amputasi

e. Untuk mengetahui tingkatan amputasi

f. Untuk mengetahui penatalaksanaan amputasi

g. Untuk mengetahui apa-apa saja dampak amputasi pada system tubuh

h. Untuk mengetahui bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan

masalah kehilangan anggota tubuh.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Amputasi adalah tindakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh. Amputasi

berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”. Amputasi dapat diartikan

sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan

ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ

yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik

lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh

atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.

B. ETIOLOGI

Indikasi utama bedah amputasi adalah karena :

1. Iskemia karena penyakit reskularisasi perifer, biasanya pada orang tua, seperti klien

dengan artherosklerosis, Diabetes Mellitus.

2. Trauma amputasi, bisa diakibatkan karena perang, kecelakaan, thermal injury seperti

terbakar, tumor, infeksi, gangguan metabolisme seperti pagets disease dan kelainan

kongenital.

3. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.

4. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.

5. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.

6. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.

3
7. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.

8. Deformitas organ.

C. JENIS AMPUTASI

Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :

1. Amputasi selektif/terencana

Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan

yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu

tindakan alternatif terakhir.

2. Amputasi akibat trauma.

Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.

Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki

kondisi umum klien.

3. Amputasi darurat

Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan

tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang

multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

4
Jenis amputasi yang sangat dikenal adalah :

1) Amputasi terbuka

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan

pada tulang dan otot pada tingkat yang sama

2) Amputasi tertutup.

Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat

skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5

sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan

pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah

terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan

intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ). Berdasarkan

pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat

memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya.

D. PATOFISIOLOGI

Dilakukan sebagian kecil sampai dengan sebagian besar dari tubuh, dengan dua metode :

1. Metode terbuka (guillotine amputasi).

Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-

benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak

terinfeksi.

2. Metode tertutup (flap amputasi)

Pada metode ini, kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang

diamputasi.

5
3. Tidak semua amputasi dioperasi dengan terencana, klasifikasi yang lain adalah karena

trauma amputasi.

E. TINGKATAN AMPUTASI

1. Ekstremitas atas

Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan

dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang

lainnya yang melibatkan tangan.

2. Ekstremitas bawah

Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari kaki

yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.

Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak

amputasi yaitu :

a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).

Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan

inschemic limb.

b. Amputasi diatas lutut

Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit

vaskuler perifer.

6
3. Nekrosis.

Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil

dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.

4. Kontraktur.

Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta melakukan

latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama

diistirahatkan atau tidak di gerakkan.

5. Neuroma.

Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehingga melengket dengan

kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari

stump sehingga tertanam di dalam otot.

6. Phantom sensation.

Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut

disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi terhadap saraf dan

juga dengan cara kombinasi.

7
F. PENATALAKSANAAN AMPUTASI

Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi. Ada 2

cara perawatan post amputasi yaitu :

1. Rigid dressing

Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi. Pada

waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi atau tidak. Bila tidak

diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi

stump dan memasang balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol.

Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi berdiri.

Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah

7 – 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 – 3 minggu, setelah stump sembuh dan

mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia,

kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan prosthetist serta

kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi program perawatan. Rigid

dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 post operasi untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan

cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.

2. Soft dressing

Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut steril

yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup. Harus diperhatikan

penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan konstriksi pada stump. Ujung stump

dielevasi dengan meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal

pada stump tidak baik sebab akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan

8
dan drain dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien

diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya jahitan

dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut, penderita diperingatkan

untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah

terjadinya kontraktur.

G. DAMPAK MASALAH TERHADAP SISTEM TUBUH

Adapun pengaruhnya meliputi :

1. Kecepatan metabolisme.

Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada

fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan

kecepatan metabolisme basal.

2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari

anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan

pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang

rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi

klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke

hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi

peningkatan diuresis.

9
3. Sistem respirasi

a. Penurunan kapasitas paru

Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot

intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi

maksimal dan ekspirasi paksa.

b. Perubahan perfusi setempat

Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio

ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi

peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.

c. Mekanisme batuk tidak efektif

Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga

sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu

gerakan siliaris normal.

4. Sistem Kardiovaskuler

a. Peningkatan denyut nadi

Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan

mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien

dengan immobilisasi.

b. Penurunan cardiac reserve

Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan

waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.

10
c. Orthostatik Hipotensi

Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior dan

venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada

vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah

yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk

memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan

pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.

5. Sistem Muskuloskeletal

a. Penurunan kekuatan otot

Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2

dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa

metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.

b. Atropi otot

Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi

persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.

c. Kontraktur sendi

Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan

gerak.

11
d. Osteoporosis

Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik

dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.

6. Sistem Pencernaan

a. Anoreksia

Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi

kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan

kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.

b. Konstipasi

Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus

menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan

faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar.

7. Sistem perkemihan

Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam

keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak

menahan urine sehingga dapat menyebabkan:

Akumulasi endapan urinedi renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.

Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman

dan dapat menyebabakan ISK.

12
8. Sistem integlument

Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan

tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika hal

ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan

dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

13
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH KEHILANGAN ANGGOTA

TUBUH (AMPUTASI)

Pengkajian

Yang harus dikaji adalah :

 kesehatan fisik pasien

 kesehatan mental

 tahap perkembangan

 factor genetic

 pengalaman masa lalu

 struktur kepribadian

 adanya stressor perasaan kehilangan

 lingkungan ( budaya dan kepercayaan spiritual)

 kondisi sosial ekonomi

Diagnosa Keperawatan

Untuk klien dengan amputasi diagnosa keperawatan yang lazim terjadi adalah :

1. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kehilangan anggota tubuh.

2. Gangguan konsep diri ; body image berhubungan dengan perubahan fisik.

3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dan otot.

4. Gangguan pemenuhan ADL; personal hygiene kurang berhubungan dengan kurangnya

kemampuan dalam merawat diri.

14
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.

6. Potensial kontraktur berhubungan dengan immobilisasi.

7. Potensial infeksi berhubungan dengan adanya luka yang terbuka.

Perencanaan

1. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kehilangan anggota tubuh.

a. Tujuan :

 Jangka Panjang: mobilisasi fisik terpenuhi

 Jangka Pendek :

 Klien dapat menggerakkan anggota tubuhnya yang masih ada.

 Klien dapat merubah posisi dari posisi tidur ke posisi duduk.

 ROM, tonus dan kekuatan ototterpelihara.

 Klien dapat melakukan ambulasi.

Intervensi :

1) Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur pengobatan dan

catat persepsi klien terhadap immobilisasi.

Rasional : Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi

klien terhadap immobilisasi akan dapat menemukan aktivitas mana saja yang perlu

dilakukan.

2) Latih klien untuk menggerakkan anggota badan yang masih ada.

Rasional : Pergerakan dapat meningkatkan aliran darah ke otot, memelihara

pergerakan sendi dan mencegah kontraktur, atropi.

15
3) Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan kursi roda.

Rasional : Dengan ambulasi demikian klien dapat mengenal dan menggunakan alat-

alat yang perlu digunakan oleh klien dan juga untuk memenuhi aktivitas klien.

4) Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodic.

Rasional : Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya kontraktur.

5) Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.

Rasional : Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk dan turun

dari tempat tidur.

2. Gangguan konsep diri ; body image berhubungan dengan perubahan fisik.

a. Tujuan :

 Jangka Panjang :

Klien dapat menerima keadaan fisiknya.

 Jangka Pendek :

 Klien dapat meningkatkan body image dan harga dirinya.

 Klien dapat berperan serta aktif selama rehabilitasi dan self care.

3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dan otot.

a. Tujuan:

 Jangka Panjang :

Nyeri berkurang atau hilang.

 Jangka Pendek :

16
 Ekspresi wajah klien tidak meringis kesakitan.

 Klien menyatakan nyerinya berkurang.

 Klien mampu beraktivitas tanpa mengeluh nyeri.

Intervensi :

1) Tinggikan posisi stump

Rasional : Posisi stump lebih tinggi akan meningkatkan aliran balik vena, mengurangi

edema dan nyeri.

2) Evaluasi derajat nyeri, catat lokasi, karakteristik dan intensitasnya, catat perubahan

tanda-tanda vital dan emosi.

Rasional : Merupakan intervensi monitoring yang efektif. Tingkat kegelisahan

mempengaruhi persepsi reaksi nyeri.

3) Berikan teknik penanganan stress seperti relaksasi, latihan nafas dalam atau massase

dan distraksi.

Rasional : Distraksi untuk mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri karena

perhatian klien dialihkan pada hal-hal lain, teknik relaksasi akan mengurangi

ketegangan pada otot yang menurunkan rangsang nyeri pada saraf-saraf nyeri.

4) Kolaborasi pemberian analgetik

Rasional : Analgetik dapat meningkatkan ambang nyeri pada pusat nyeri di otak atau

dapat membloking rangsang nyeri sehingga tidak sampai ke susunan saraf pusat.

4. Gangguan pemenuhan ADL

17
Personal hygiene kurang berhubungan dengan kurangnya kemampuan dalam merawat

diri.

a. Tujuan :

 Jangka Panjang : Klien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri.

 Jangka Pendek :

 Tubuh, mulut dan gigi bersih serta tidak berbau.

 Kuku pendek dan bersih.

 Rambut bersih dan rapi.

 Pakaian, tempat tidur dan meja klien bersih dan rapih.

 Klien mengatakan merasa nyaman.

b. Intervensi :

1) Bantu klien dalam hal mandi dan gosok gigi dengan cara mendekatkan alat-alat

mandi, dan menyediakan air di pinggirnya, jika klien mampu.

Rasional : Dengan menyediakan air dan mendekatkan alat-alat mandi maka akan

mendorong kemandirian klien dalam hal perawatan dan melakukan aktivitas.

2) Bantu klien dalam mencuci rambut dan potong kuku.

Rasional : Dengan membantu klien dalam mencuci rambut dan memotong kuku maka

kebersihan rambut dan kuku terpenuhi.

3) Anjurkan klien untuk senantiasa merapikan rambut dan mengganti pakaiannya setiap

hari.

Rasional : Dengan membersihkan dan merapihkan lingkungan akan memberikan rasa

nyaman klien.

18
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.

a. Tujuan :

 Jangka Panjang : Klien dapat sembuh tanpa komplikasi seperti infeksi.

 Jangka Pendek :

 Kulit bersih dan kelembaban cukup.

 Kulit tidak berwarna merah.

 Kulit pada bokong tidak terasa ngilu.

b. Intervensi :

1) Kerjasama dengan keluarga untuk selalu menyediakan sabun mandi saat mandi.

Rasional : Sabun mengandung antiseptik yang dapat menghilangkan kuman dan

kotoran pada kulit sehingga kulit bersih dan tetap lembab.

2) Pelihara kebersihan dan kerapihan alat tenun setiap hari.

Rasional : Alat tenun yang bersih dan rapih mengurangi resiko kerusakan kulit dan

mencegah masuknya mikroorganisme.

3) Anjurkan pada klien untuk merubah posisi tidurnya setiap 3 – 4 jam sekali.

Rasional : Untuk mencegah penekanan yang terlalu lama yang dapat menyebabkan

iritasi.

6. Resiko tinggi terhadap kontraktur berhubungan dengan immobilisasi.

a. Tujuan :

 Jangka Panjang : Kontraktur tidak terjadi.

 Jangka Pendek :

 Klien dapat melakukan latihan rentang gerak.

19
 Setiap persendian dapat digerakkan dengan baik.

 Tidak terjadi tanda-tanda kontraktur seperti kaku pada persendian.

b. Intervensi :

1) Pertahankan peningkatan kontinyu dari puntung selama 24 – 48 jam sesuai pesanan.

Jangan menekuk lutut, tempat tidur atau menempatkan bantal dibawah sisa tungkai,

tinggikan kaku tempat tidur melalui blok untuk meninggikan puntung.

Rasional : Peninggian menurunkan edema dan menurunkan resiko kontraktur fleksi

dari panggul.

2) Tempatkan klien pada posisi telungkup selama 30 menit 3 – 4 kali setiap hari setelah

periode yang ditentukan dari peninggian kontinyu.

Rasional : Otot normalnya berkontraksi waktu dipotong. Posisi telungkup membantu

mempertahankan tungkai sisa pada ekstensi penuh.

3) Tempatkan rol trokanter disamping paha untuk mempertahankan tungkai adduksi.

Rasional : Kontraktur adduksi dapat terjadi karena otot fleksor lebih kuat dari pada

otot ekstensor.

4) Mulai latihan rentang gerak pada puntung 2 – 3 kali sehari mulai pada hari pertama

pasca operasi. Konsul terapist fisik untuk latihan yang tepat.

Rasional : Latihan rentang gerak membantu mempertahankan fleksibilitas dan tonus

otot.

7. Potensial infeksi berhubungan dengan adanya luka yang terbuka.

a. Tujuan :

20
 Jangka Panjang : Infeksi tidak terjadi.

 Jangka Pendek :

 Luka bersih dan kering.

 Daerah sekitar luka tidak kemerahan dan tidak bengkak.

 Tanda-tanda vital normal.

 Nilai leukosit normal (5000 – 10.000/mm3)

Intervensi :

1) Observasi keadaan luka

Rasional : Untuk memonitor bila ada tanda-tanda infeksi sehingga akan cepat

ditanggulangi.

2) Gunakan teknik aseptik dan antiseptik dalam melakukan setiap tindakan

keperawatan.

Rasional : Tehnik aseptik dan antiseptik untuk mencegah pertumbuhan atau

membunuh kuman sehingga infeksi tidak terjadi.

3) Ganti balutan 2 kali sehari dengan alat yang steril.

Rasional : Mengganti balutan untuk menjaga agar luka tetap bersih dan dengan

menggunakan peralatan yang steril agar luka tidak terkontaminasi oleh kuman

dari luar.

4) Monitor LED

Rasional : Memonitor LED untuk mengetahui adanya leukositosis yang

merupakan tanda-tanda infeksi.

5) Monitor tanda-tanda vital

21
Rasional : Peningkatan suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi dan penurunan tekanan

darah merupakan salah satu terjadinya infeksi.

IMPLEMENTASI

Adapun implementasinya terbagi beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Pengingkaran

a. Memeberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaanya

b. Menunjukkan sikap menerima dengan ikhlas

c. Mendorong klien untuk berbagi rasa

2. Tahap Marah

a. Mengizinkan klien untuk mengungkapakan rasa marahnya

b. Membiarakan klien untuk menangis

c. Mendorong klien untuk menceritakan kemarahannya

3. Tahap Tawar-Menawar

a. Membantu klien mengungkapkan rasa bersalahnya

b. Mendorong klien untuk membicarakan rasa bersalahnya

4. Tahap Depresi

a. Membantu klien untuk mengidentifikasi rasa bersalahnya

b. Membantu klien mengurangi rasa bersalahnya

5. Tahap Penerimaan

a. Membantu klien menerima kahilangan sebagai sesuatuyang tidak dapat untuk

dihindari.

22
EVALUASI

1. Menilai kemampuan untuk menghadapiatau memaknai arti kehilangan

2. Reaksi klien terhadap kehilangan yang dihadapinya

3. Prilaku klien yang muncul dalam menghadapiproses kehilangans

4. Mengidentifikasi prilaku sesuai dengan tahap kehilangan.

23
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

 Amputasi merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir

manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat

diperbaiki dengan menggunakan teknik lain.

 Terhadap pasien yang mengalami pasien ini, maka akan mengalami rasa

kehilangan yang amat berat. Kesedihan adalah reaksi normal ketika mengalami

kehilangan sesuatu atau seseorang yang di cintai (davies, 1998).

 Pengaruh dari amputasi dapat berdampak pada system tubuh lain nya misalnya

system kardiovaskuler, system integlument, system respirasi, system pencernaan

dan lain-lain.

 Sehingga peran perawat disini memberi asuhan keperawatan untuk dapat

mengatasi permasalahan yang di alami pasien setelah mengalami amputasi.

B. SARAN

 Makalah ini digunakan sebaik-baiknya agar mampu memahami asuhan

keperawatan pada pasien yang kehilangan anggota tubuh.

 Sebagai calon perawat kita harus mampu memahami keadaan klien atau pasien

yang mengalami kehilangan anggota tubuh.

 Sebagai calon perawat kita harus mampu berempati dan menenangkan pasien

untuk lebih ikhlas dan sabar menghadapi kenyataan yang di alaminya.

24

Anda mungkin juga menyukai