PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan,
menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli
(umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki
pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan mujtahid
tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal
teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1
B. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi
1
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
4
5
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa
minuman burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali,
sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis
dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur
dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung yang buas, meskipun
dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidaklah
bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan
menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Adapun
binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan
air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.3
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air
sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi,
yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas
jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci
dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
2
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
3
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
6
melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus
membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istishan seorang dokter
dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.4
2. Istihsan Istishna’i
1) Istihsan bi an-Nashsh
4
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406
7
2) Istihsan Bi al-Ijma’
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah
sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am
(tradisi) yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini
berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat
3) Istihsan bi al-Urf
5
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp,
2014), an-Nisa’, (12).
6
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
7
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
8
4) Istihsan bi ad-Dharurah
8
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
9
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
9
C. Kehujjahan Istihsan
10
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203
10
tersembunyi, yang lebih diungguli dari qiyas yang nyata. Atau sebagai upaya
mengunggulkan suatu qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan dengan
berdasarkan suatu dalil yang bisa diandalkan atau merupakan Istidlal dengan
jalan mashlahah mursalah berdasarkan pengcualian juz’iyyah dari hukum
kulli ( umum), semua ini merupakan istidlal yang sahih.11
11
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 136
12
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 403