INDONESIA
Oleh: Melly Mumtaz
Unsur politik sebagai pemimpin ini, diperkenalkan oleh Nyoto sebagai slogan
baru yang berlaku sebagai komitmen seniman LEKRA atau dengan kata lain
Politik adalah panglima. “Politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita
akan digilas mati olehnya. Oleh sebab itu, dalam hal apapun dan kapanpun, politik
harus menuntut segala kehidupan kita,” kata Nyoto kala itu. Hal ini disebutkan
oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam artikelnya bertajuk “ Realisme Sosialis dan
Sastra Indonesia” memang mengungkap slogan-slogan yang merupakan karya
seni adalah gabungan antara politik dan sastra sekaligus.
Ada lagi, satu syarat pokok yang harus dilakukan oleh setiap seniman
LEKRA yaitu Turba (Turun ke Bawah). Syarat Turba ini dimaksudkan agar
tercapainya hasil karya-karya sesuai dengan formula 1-5-1. Turba didefinisikan
dengan dalam tiga sama: sama-sama bekerja, sama-sama makan, sama-sama tidur
bersama rakyat. Mustahil terdapat karya yang revolusioner tanpa terjun langsung
dalam kehidupan rakyat.
Dengan berbagai prinsip dan syarat yang telah dibuat dan disepakati, maka
dirombaklah struktur organisasi LEKRA pada bagian Lembaga Kreatif. Lembaga
kreativitas ini jaring-menjaring dan melakukan konsolidasi terhadap masalah-
masalah di lingkungan politik dan kebudayaan. Berikut adalah 6 lembaga kreatif
hasil bentukan Lekra : Lesrupa (Lembaga Seni Rupa), LFI (Lembaga Film
Indonesia), Lestra (Lembaga Sastra), LSDI (Lembaga Seni Drama Indonesia),
LMI (Lembaga Musik Indonesia) dan LSTI (Lembaga Seni Tari Indonesia).
Anggota Lekra diwajibkan menjadi salah satu anggota lembaga kreatif dan aktif di
dalamnya. Hal ini diatur dalam anggaran dasar baru hasil Kongres Nasional I Solo.
Periode 1959-1965 adalah periode dimana Indonesia menganut konstitusi
Republik Indonesia Serikat dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi
Terpimpin. Pada periode ini posisi LEKRA semakin solid dan kuat. LEKRA
mendukung segala bentuk kebijakan dan keputusan Soekarno mengenai struktur
pemerintahan yang memungkinkan Indonesia, menurut Bung Karno, mampu
menangani kesulitan-kesulitannya. Gagasan ini dikenal dengan “Konsepsi
Soekarno”. Konsepsi ini pada pokoknya berisi:
1. Sistem Demokrasi Perlementer secara barat tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan sistem
Demokrasi Terpimpin
2. Untuk pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu
kabinet gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan
organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada di masyarakat.
Konsepsi presiden ini mengatakan perlunya pula pembentukan “Kabinet
Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai besar yakni,
PNI, Masyumi, NU dan PKI, turut serta didalamnya untuk menciptakan
kegotong royongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan
fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional ini adalah
memberi nasihat kepada kabinat baik diminta ataupun tidak diminta.
Mengatakan Lekra tidak ada hubungan dengan PKI adalah tidak tepat, namun
mengatakan Lekra adalah organisasi turunan PKI juga salah. Fakta sejarah
menyatakan Lekra bukan organisasi underbouw PKI. Terlihat ketika PKI
mengadakan KSSR (Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner). Secara garis
konstitusional Lekra tidak terlibat dengan penyelenggaran KSSR. Namun,
individu-individu Lekra banyak terlibat di konferensi itu. KSSR (27 Agustus - 2
September 1964) sendiri terselenggara dari hasil sidang pleno CC PKI pada akhir
1963 yang menetapkan tentang pentingnya memberikan semacam garis-garis
fundamental bagi penciptaan sastra dan seni yang revolusioner dan berhubungan
dengan pelaksanaan TAVIP. Polemik mengenai “palu arit” pada Lekra sangat
kental ketika anggota-anggota Lekra terlibat dalam KSSR. Namun, di dalam
tubuh lekra sendiri tidak semua anggotanya berpaham komunis.
Pada awal tahun 1990 mantan Sekretaris Umum LEKRA, Joebaar Ajoeb,
menulis Sebuah Macopat Kebudayaan Indonesia, untuk menyambut Kongres
Kebudayaan IV. “Kira-kira menjelang akhir tahun 1964, sebuah gagasan PKI
disampaikan kepada sementara anggota pimpinan pusat LEKRA. Gagasan itu
menghendaki agar LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga punya anggota
non-PKI. Jika LEKRA setuju pada gagasan itu, yang praktis berarti mem-PKI-kan
LEKRA. Maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA menolak
gagasan itu,” tulis Joebaar.
LEKRA semakin besar dan punya banyak pengikut. Atas dasar ideologi
realisme sosialis LEKRA, kebanyakan senimannya menempatkan kehidupan dan
keadaan sesungguhnya rakyat kecil terhadap karya-karyanya. Selain itu, bentuk
perlawanan terhadap imperialisme hingga penindasan petani oleh penguasa tanah
adalah tema kuat yang kerap mengemuka pada karya sastrawan LEKRA.
Organisasi ini membuat para seniman tradisional mendapatkan tempatnya. Seni
kethoprak, ludruk, wayang, yang bersifat kedaerahan menyeruak ke permukaan
karena sering dipentaskan. Organisasi dalam berkesenian LEKRA dijalankan
dengan kuat. Terlebih, ada program kerja bagi pengurus wilayah atau senimannya
untuk melakukan Gerakan Turun ke Bawah (Turba).
Kegiatan LEKRA berpusat di sebuah rumah di Jalan Tjidurian 19, milik Oey
Hay Djoen di kawasan Menteng, Jakarta. Rumah itu juga menjadi tempat
seniman-seniman era 60-an mematangkan ide kreasi mereka. Tjidurian 19
sekaligus menjadi sekretariat LEKRA. Di sana, lukisan dan artikel perjuangan
terpajang. Diskusi demi diskusi juga kerap terdengar.
Beberapa dari mereka adalah seniman yang berhasil melarikan diri ke negara
lain karena terancam keselamatannya. Atau, seniman yang telah bebas dari
hukuman sepanjang rezim orde baru. Karya dari sastrawan LEKRA seperti Putu
Oka Sunanta, Sutikno WS, hingga Pramoedya diproduksi kembali dan dibahas di
berbagai diskusi sastra maupun kajian bersifat akademik. Meskipun karya yang
dibahas itu sebagian kecil dari banyaknya karya-karya seniman LEKRA.
Maka dewasa ini LEKRA tidak diketahui masyarakat banyak. Jika ada yang
mengetahuinya, mungkin sebagian besar dari mereka mengenal LEKRA sebagai
organisasi komunis. Karya-karya seniman LEKRA telah digeneralisir sebagai
karya yang bermuatan paham komunis, Marxisme, hingga Leninisme.