Anda di halaman 1dari 13

FENOMENA ORGANISASI BESAR DALAM SEJARAH NASIONAL

INDONESIA
Oleh: Melly Mumtaz

Kelompok Underbow PKI. Inilah pandangan rakyat Indonesia mengenai


organisasi yang berakronim Lembaga Kebudayaan Rakyat ini. Sejarahnya, berdiri
pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan kondisi Indonesia kala itu riuh dengan
pergulatan ideologi. Kepentingan politik juga makin merajai segala bidang
kebudayaan nasional. Maka dengan itu banyak partai politik yang mendirikan
lembaga kebudayaan demi mendulang suara untuk partai. Ditengah kekisruhan itu,
terdapat pula sebuah lembaga kebudayaan besar dan berpengaruh terhadap sejarah
sastra Indonesia. Lembaga inilah yang dinamakan dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (LEKRA). D.N Aidit, Nyoto, M.S. Ashar dan A.S. Dharta merupakan
tokoh-tokoh yang memprakarsai pembentukan organisasi ini. Dengan melihat dari
para pemrakarsanya saja, rakyat sudah bisa mengatakan bahwa lembaga ini
merupakan lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Namun sesungguhnya, apa yang
terjadi?

LEKRA dibentuk setelah 1 tahun proklamator memproklamasikan


kemerdekaan Indonesia atau lebih dekatnya setelah 6 bulan surat kepercayaan
Gelanggang diumumkan. Namun LEKRA menganggap bahwa “Revolusi Agustus
1945” untuk mencapai kemerdekaan secara politik, ekonomi telah gagal, disaat
Gelanggang percaya revolusi 1945 belum selesai. Konsep LEKRA yang paling
terkenal adalah “Seni Untuk Rakyat” dengan mendobrak presepsi “Seni Untuk
Seni”. Terdapat pula prinsip yang dinamakan prinsip 1-5-1 dengan mempertegas
bahwa LEKRA hadir untuk berjuang menjadikan kelas buruh dan tani sebagai
pemimpin. Lekra berpegang teguh bahwa seni adalah rakyat, seni tak bisa
dipisahkan dari rakyat karena rakyatlah yang menciptakan seni. Prinsip itu
bermakna, kerja dalam bidang kebudayaan dan menjadikan unsur politik sebagai
pemimpin dalam lima kombinasi; meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan
mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan
kearifan massa, serta realisme sosial dan romantik revolusioner.

Unsur politik sebagai pemimpin ini, diperkenalkan oleh Nyoto sebagai slogan
baru yang berlaku sebagai komitmen seniman LEKRA atau dengan kata lain
Politik adalah panglima. “Politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita
akan digilas mati olehnya. Oleh sebab itu, dalam hal apapun dan kapanpun, politik
harus menuntut segala kehidupan kita,” kata Nyoto kala itu. Hal ini disebutkan
oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam artikelnya bertajuk “ Realisme Sosialis dan
Sastra Indonesia” memang mengungkap slogan-slogan yang merupakan karya
seni adalah gabungan antara politik dan sastra sekaligus.

Ada lagi, satu syarat pokok yang harus dilakukan oleh setiap seniman
LEKRA yaitu Turba (Turun ke Bawah). Syarat Turba ini dimaksudkan agar
tercapainya hasil karya-karya sesuai dengan formula 1-5-1. Turba didefinisikan
dengan dalam tiga sama: sama-sama bekerja, sama-sama makan, sama-sama tidur
bersama rakyat. Mustahil terdapat karya yang revolusioner tanpa terjun langsung
dalam kehidupan rakyat.

Dengan berbagai prinsip dan syarat yang telah dibuat dan disepakati, maka
dirombaklah struktur organisasi LEKRA pada bagian Lembaga Kreatif. Lembaga
kreativitas ini jaring-menjaring dan melakukan konsolidasi terhadap masalah-
masalah di lingkungan politik dan kebudayaan. Berikut adalah 6 lembaga kreatif
hasil bentukan Lekra : Lesrupa (Lembaga Seni Rupa), LFI (Lembaga Film
Indonesia), Lestra (Lembaga Sastra), LSDI (Lembaga Seni Drama Indonesia),
LMI (Lembaga Musik Indonesia) dan LSTI (Lembaga Seni Tari Indonesia).
Anggota Lekra diwajibkan menjadi salah satu anggota lembaga kreatif dan aktif di
dalamnya. Hal ini diatur dalam anggaran dasar baru hasil Kongres Nasional I Solo.
Periode 1959-1965 adalah periode dimana Indonesia menganut konstitusi
Republik Indonesia Serikat dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi
Terpimpin. Pada periode ini posisi LEKRA semakin solid dan kuat. LEKRA
mendukung segala bentuk kebijakan dan keputusan Soekarno mengenai struktur
pemerintahan yang memungkinkan Indonesia, menurut Bung Karno, mampu
menangani kesulitan-kesulitannya. Gagasan ini dikenal dengan “Konsepsi
Soekarno”. Konsepsi ini pada pokoknya berisi:
1. Sistem Demokrasi Perlementer secara barat tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan sistem
Demokrasi Terpimpin
2. Untuk pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu
kabinet gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan
organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada di masyarakat.
Konsepsi presiden ini mengatakan perlunya pula pembentukan “Kabinet
Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai besar yakni,
PNI, Masyumi, NU dan PKI, turut serta didalamnya untuk menciptakan
kegotong royongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan
fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional ini adalah
memberi nasihat kepada kabinat baik diminta ataupun tidak diminta.

Tidak hanya LEKRA, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dibawah


naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang dibentuk 1959 dan dipimpin Sitor
Situmorang ini pun mendukung segala konsepsi yang disebutkan diatas. Lantas,
apa yang membuat LEKRA menyetujui bahkan mendukung Konsepsi Soekarno?
Jumlah LEKRA diketahui dari perkataan Pram yang menjadi seorang Lekra pada
1963. Ia mengatakan jumlah anggota LEKRA lebih dari 100.000 orang. Banyak
yang berpendapat klaim ini berlebihan karena LEKRA tidak pernah
mengembangkan keanggotaan resmi. Namun dilihat dari kondisi pada waktu itu,
jelas bahwa LEKRA mempunyai anggota yang lebih dari ribuan orang.
Antariksa menulis, kepemimpinan LEKRA dijalankan sebuah kesekretariatan
di tingkat pusat , yang membawahi LEKRA Daerah, LEKRA Cabang dan
LEKRA Ranting. Oleh karena itu, Lekra memiliki pengaruh yang sangat kuat di
berbagai posisi karena mempunyai struktur yang kuat dari pusatnya. Anggotanya
terus bertumbuh dari lembaga-lembaga kreatif yang diharuskan merekrut anggota
untuk masuk ke dalam LEKRA ini.

Apakah hanya dengan perkara jumlah pengikut yang banyak, sehingga


mempunyai perimbangan kekuatan di dalam masyarakat, dapat menyimpulkan
bahwa LEKRA mendukung konsepsi presiden? Apakah LEKRA merupakan alat
politik satu dari empat partai besar yang tergabung dalam “Kabinet Kaki Empat”
yaitu PKI yang diyakini rakyat selama ini?

Pada awal didirikannya LEKRA, petinggi PKI yang memprakarsainya.


Namun, tidak langsung berada dalam naungannya. Kedua petinggi PKI yaitu,
Aidit dan Nyoto pernah berbeda pandangan mengenai status LEKRA. Aidit
berpendapat, bahwa LEKRA sudah menjadi underbouw PKI. Pendapat ini adalah
sebuah usaha Aidit dalam mendulang suara partai. Aidit menilai LEKRA sebagai
keluarga komunis. PKI memberikan fasilitas yang mewah terhadap gerakan
LEKRA. Terlebih di Harian Rakyat, media PKI, karya-karya LEKRA
mendapatkan ruang yang luas. Sebagai kosekuensinya LEKRA harus “mengganti”
hal tersebut dengan memberikan dukungan terhadap garis perjuangan partai.

Berbeda dengan Nyoto. Ia menolak LEKRA bergabung sebagai underbouw


PKI. Akan ada sebuah konsekuensi yang akan diterima LEKRA jika bergabung
dengan PKI, yakni pada garis komando dan instruksi kerja LEKRA
nantinya. Dikutip dari Lekra dan Geger 1965, Nyoto melihat di LEKRA ada pula
seniman non komunis dan bukan anggota partai. Semisal Pramoedya dan Utuy
Tatang Sontani. Membuat LEKRA menjadi komunis tentu berisiko perginya
kedua penulis kawakan itu.
Harian Rakyat merupakan satu media massa yang terlarang untuk
diterbitkan lagi di tengah demokrasi Indonesia dan ruang informasi yang luas
tanpa batas.

Mengatakan Lekra tidak ada hubungan dengan PKI adalah tidak tepat, namun
mengatakan Lekra adalah organisasi turunan PKI juga salah. Fakta sejarah
menyatakan Lekra bukan organisasi underbouw PKI. Terlihat ketika PKI
mengadakan KSSR (Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner). Secara garis
konstitusional Lekra tidak terlibat dengan penyelenggaran KSSR. Namun,
individu-individu Lekra banyak terlibat di konferensi itu. KSSR (27 Agustus - 2
September 1964) sendiri terselenggara dari hasil sidang pleno CC PKI pada akhir
1963 yang menetapkan tentang pentingnya memberikan semacam garis-garis
fundamental bagi penciptaan sastra dan seni yang revolusioner dan berhubungan
dengan pelaksanaan TAVIP. Polemik mengenai “palu arit” pada Lekra sangat
kental ketika anggota-anggota Lekra terlibat dalam KSSR. Namun, di dalam
tubuh lekra sendiri tidak semua anggotanya berpaham komunis.
Pada awal tahun 1990 mantan Sekretaris Umum LEKRA, Joebaar Ajoeb,
menulis Sebuah Macopat Kebudayaan Indonesia, untuk menyambut Kongres
Kebudayaan IV. “Kira-kira menjelang akhir tahun 1964, sebuah gagasan PKI
disampaikan kepada sementara anggota pimpinan pusat LEKRA. Gagasan itu
menghendaki agar LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga punya anggota
non-PKI. Jika LEKRA setuju pada gagasan itu, yang praktis berarti mem-PKI-kan
LEKRA. Maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA menolak
gagasan itu,” tulis Joebaar.

Oey Hay Dien mempertegas di dalam tuan Tanah Kawin Muda, ia


mengatakan bahwa LEKRA dan dirinya menolak. “Karena, tak bisa misalnya
seorang Pram diperintahkan menjadi merah”.

Namun terdapat bantahan dari seorang sastrawan independen yaitu Ajip


Rosidi dalam buku antologinya Lekra Bagian dari PKI. Menurut sastrawan yang
menjadi saksi di masa itu, Joebaar ngibul. “Tidak mustahil tidak dicantumkannya
hubungan keduanya resmi dalam anggaran dasar itu merupakan taktik yang sudah
disepakati sejak awal. Tidak semua organisasi yang dianggap underbouw PKI
mempunyai hubungan organisatoris dengan PKI,” tulis Ajip. Ajip juga
mempersoalkan ketegangan antara Aidit dan Nyoto. Menurutnya, inti dari
pertentangan itu bukan terkait LEKRA yang hendak di”merahkan”. Namun
karena Nyoto sedang didekati Bung Karno yang ingin mendirikan partai
Marhanisme baru dan Nyoto akan dijadikan sebagai Ketuanya. Maka, kesimpulan
dari Ajip, walaupun LEKRA dan PKI terpisah namun mereka mempunyai
landasan garis politik yang sama dengan pemimpin partai itu. Sebenarnya banyak
beberapa versi yang mengungkapkan pendapat mengenai keterkaitan LEKRA
dengan PKI, namun sejarahlah yang lebih berhak untuk mengungkap fenomena
pada masanya, persoalan ini adalah menjadi sebuah landasan untuk mengenali
sejarah kebudayaan generasi-generasi penerus, termasuk kita yang akan berangkat
menuju masa depan.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai kegiatan-kegiatan LEKRA selama
berjaya dalam sejarah sastra Indonesia. Pada awal terbentuknya, organisasi ini
mempunyai beberapa mukadimah atau pengantar yang didalamnya terdapat visi
dan misi LEKRA. Mukadimah yang pertama disebarkan oleh Bakri Siregar di
Medan, LEKRA meminta anak muda dan para seniman Indonesia untuk
bergabung ke dalam LEKRA.

Enam tahun kemudian, mukadimah kedua dipublikasikan. Kali ini, LEKRA


mengusung visi atau ideologi realisme sosialis pada lembaganya. Dalam
mukadimah ini, LEKRA semakin mendesak agar para seniman Indonesia turun
tangan dan merapatkan barisan dengan masyarakat Indonesia. Mukadimah
pertama dan kedua mampu mengokohkan keberadaan LEKRA. Hingga akhirnya
organisasi sarat seniman ini mengadakan konferensi nasional pertama yang
dihadiri oleh Presiden Indonesia, Soekarno di Surakarta, pada 1959. Konferensi
inilah yang membuat LEKRA menjadi lumbung seni terbesar kala itu.

LEKRA semakin besar dan punya banyak pengikut. Atas dasar ideologi
realisme sosialis LEKRA, kebanyakan senimannya menempatkan kehidupan dan
keadaan sesungguhnya rakyat kecil terhadap karya-karyanya. Selain itu, bentuk
perlawanan terhadap imperialisme hingga penindasan petani oleh penguasa tanah
adalah tema kuat yang kerap mengemuka pada karya sastrawan LEKRA.
Organisasi ini membuat para seniman tradisional mendapatkan tempatnya. Seni
kethoprak, ludruk, wayang, yang bersifat kedaerahan menyeruak ke permukaan
karena sering dipentaskan. Organisasi dalam berkesenian LEKRA dijalankan
dengan kuat. Terlebih, ada program kerja bagi pengurus wilayah atau senimannya
untuk melakukan Gerakan Turun ke Bawah (Turba).

Dengan Turba, para pengurus LEKRA atau senimannya menjalani kehidupan


sama seperti rakyat-rakyat petani atau pedagang kecil. Seperti, tidur di permukaan
tanah di rumah petani hingga makan nasi jagung persis seperti apa yang dilakukan
rakyat kecil. Tujuannya, untuk dapat lebih merasakan atau menjiwai kondisi itu
kemudian dijadikan isi atau moral value dalam karya-karyanya.

Para seniman LEKRA berjuang menyuarakan kegelisahan sosial yang terjadi


ketika itu melalui goresan tinta, kuas, koreografi tari, hingga teater. Mereka fokus
berupaya membangun sebuah kesadaran sosial bahwa imperialisme masih ada dan
memiliki sisi buruk bagi kehidupan rakyat Indonesia yang sejatinya telah merdeka.
Semangat itu bukan hanya tertuang pada sebuah buku atau pementasan yang
bersifat seni. Namun, tertuang juga pada Lembar-lembar Harian Rakyat, media
cetak yang terbit pada 1950-1965. Dari sana dapat dibaca upaya para seniman
untuk mengangkat seni budaya Indonesia yang hampir mati hingga menciptakan
gagasan Indonesia yang baru.

Kegiatan LEKRA berpusat di sebuah rumah di Jalan Tjidurian 19, milik Oey
Hay Djoen di kawasan Menteng, Jakarta. Rumah itu juga menjadi tempat
seniman-seniman era 60-an mematangkan ide kreasi mereka. Tjidurian 19
sekaligus menjadi sekretariat LEKRA. Di sana, lukisan dan artikel perjuangan
terpajang. Diskusi demi diskusi juga kerap terdengar.

Seniman LEKRA menyumbangkan karya-karya berkualitas. Seperti Amir


Sidharta, seorang kurator museum sekaligus pengamat seni. Lalu ada sutradara
film, Bachtiar Siagian yang pernah mendapatkan Piala Festival Film Indonesia
sebagai Sutradara Terbaik pada 1960. Kemudian ada patung kayu berkualitas
milik Amrus Natalsya. Patung itu diberi tajuk Keluarga Tandus di Senja.
Sayangnya, patung yang berada di Akademi Sosial Aliarcham, Jakarta, kala itu
dibakar masyarakat yang tidak senang pada tragedi 65. Alasannya tak lain karena
pematungnya adalah anggota LEKRA dan patung itu ditempatkan di gedung milik
PKI.
Pada tahun-tahun sebelum peristiwa 65, seni di Indonesia begitu berpengaruh.
Bukan hanya semangat berkarya para senimannya, namun lebih kepada sikap
politik saat itu. Alhasil, LEKRA akhirnya tidak sendirian. Ada kelompok seniman
dan budayawan lain yang tergabung dalam Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Kelompok ini terdiri dari HB Jassin, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Arief
Budiman dan lainnya.

Kelompok Manikebu yang berdiri pada pertengahan tahun 1963 selalu


berseberangan pandangan mengenai visi berkesenian yang dianut LEKRA. Tak
lain karena seni versi LEKRA dianggap tidak sahih lantaran berdiri di haluan
politik tertentu. Menurut HB Jassin dan kawan-kawan, seni haram dicampurkan
dengan muatan politik.

Atas dasar ideologi LEKRA tersebut, kelompok Manikebu membuat sebuah


petisi yang bernama Manifesto Kebudayaan. Mereka menandatangani pernyataan
tersebut untuk menjelaskan sikapnya dalam berkarya sekaligus sikap oposisi
terhadap LEKRA. Manifesto kebudayaan berisi seperti ini: Bahwa seni dan sastra
sebagai produk humanisme universal, harus dipisahkan sejauh-jauhnya dari unsur
politis.

Perseteruan ideologi berkesenian itu selalu mengemuka dan tidak henti-


hentinya menyurut. Seperti Pada tahun 1962, perseteruan LEKRA dan Manikebu
sempat diperpanas oleh pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang menjabat
redaktur lembaran Lentera di harian Bintang Timur. Ia menuduh Buya Hamka
telah melakukan plagiarisme pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Novel yang terbit pada tahun 1939 itu disebut sebagai plagiat dari novel Al
Majdulin karya sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Novel Al
Majdulin atau Magdalaine atau Magdalena dalam edisi bahasa Indonesia itu juga
merupakan novel saduran dari novel Sous les Tilleuls (Di Bawah Pohon Tilia)
karya sastrawan Prancis. Saat itu, Pramoedya menganjurkan agar Hamka meminta
maaf kepada masyarakat pembaca Indonesia.
HB Jassin dengan jelas menolak tuduhan pagiarisme tersebut. Dalam buku
Kritik Sastra Indonesia Modern karya Rahmat Djoko Pradopo, Jassin beranggapan
bahwa karya itu bukan plagiat atau jiplakan, karena Hamka tidak hanya
menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan
ia menciptakan karya dengan “seluruh kepribadiannya.”

Sayangnya, dengan seiramanya Soekarno dan PKI kala itu, membuat


Manikebu kian terpojok. Terlebih hingga tahun 1964, praktisi intelektual PKI dan
LEKRA telah mencapai 100 ribu orang. Soekarno melarang keberadaan
Manikebu karena tidak ingin ada manifesto politik tandingan selain yang
diusungnya. Soekarno juga menuduh kelompok Manikebu ragu-ragu akan
revolusi. Karya pengarang Manikebu akhirnya dilarang beredar dan dikonsumsi
publik. Akibat pelarangan ini, tulisan-tulisan pengarang yang terlibat dalam
Manikebu menjadi tidak laku. Perseteruan makin menajam dan bukan hanya adu
ideologi. Namun lebih kepada character assasination.

Bentuknya, ketika LEKRA melalui Pramoedya aktif menyerang personal HB


Jassin dan Wiratmo Soekitno melalui Lembaran Kebudayaan Lentera. LEKRA
aktif menyebarkan propaganda jelek terhadap kelompok Manikebu melalui Harian
Rakjat. Dengan kata lain, LEKRA benar-benar menjadi kepanjangan tangan PKI
untuk mendominasi kekuasaan politik pada saat itu.

Buntutnya, LEKRA menyebut Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia


(KKPI) yang dicetus oleh kelompok Manikebu dan sastrawan non komunis
sebagai gerakan makar yang dituduh terlibat pemberontakan bersama Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Lebih jauh, pada tahun 1964, Buya Hamka diadili dan
dipenjara tanpa proses persidangan lantaran difitnah berkomplot membunuh
Soekarno dan menteri agama.
Namun, pada tahun 1965, G30S meletus. Semua sastrawan LEKRA dan
seniman yang berafiliasi dan dituduh sebagai orang PKI ditangkap, dibuang,
dilenyapkan, dan ditahan tanpa pengadilan sekalipun. Musnahlah dominasi
LEKRA. Setelahnya, Manikebu mulai mendominasi lingkup sastra di Indonesia.
Hal ini ditandai dengan terbitnya Majalah Horison yang dipimpin oleh HB Jassin
pada tahun 1966. Hingga muncul Angkatan 66 yang ditasbihkan olehnya.

LEKRA yang dianggap bernaung di bawah PKI, turut dibersihkan. Karya-


karya senimannya digelapkan dan dihilangkan. Ketika itu, tidak ada seniman
LEKRA yang karyanya dibahas, diapresiasi, bahkan dikonsumsi oleh masyarakat.
Karena dianggap terlarang oleh negara. LEKRA lenyap begitu saja pada
perjalanan sejarah seni dan sastra di Indonesia. Baru setelah reformasi, seniman
LEKRA satu per satu muncul ke permukaan.

Beberapa dari mereka adalah seniman yang berhasil melarikan diri ke negara
lain karena terancam keselamatannya. Atau, seniman yang telah bebas dari
hukuman sepanjang rezim orde baru. Karya dari sastrawan LEKRA seperti Putu
Oka Sunanta, Sutikno WS, hingga Pramoedya diproduksi kembali dan dibahas di
berbagai diskusi sastra maupun kajian bersifat akademik. Meskipun karya yang
dibahas itu sebagian kecil dari banyaknya karya-karya seniman LEKRA.
Maka dewasa ini LEKRA tidak diketahui masyarakat banyak. Jika ada yang
mengetahuinya, mungkin sebagian besar dari mereka mengenal LEKRA sebagai
organisasi komunis. Karya-karya seniman LEKRA telah digeneralisir sebagai
karya yang bermuatan paham komunis, Marxisme, hingga Leninisme.

Karenanya, karya-karya seniman LEKRA yang dianggap sebagai bacaan


terlarang dan menyesatkan harus diluruskan kembali. Maka perlu adanya
pemulihan nama LEKRA agar masyarakat tidak salah tangkap terhadap sejarah
Indonesia, karena ini juga manyangkut identitas seni dan sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo, Galih. 2015. Resensi “Lekra tak Membakar Buku” BAB: I Mukadimah
di https://www.kompasiana.com/indosport/550b7d8da33311cf1c2e3ec3/resensi-
lekra-tak-membakar-buku-bab-i-mukadimah. (akses 14 Juli 2019)
KMJurnalistik.com. 2018. Tujuan Serta Era Kejayaan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) di http://kmjurnalistik.com/2018/08/20/tujuan-serta-era-kejayaan-
lembaga-kebudajaan-rakjat-lekra/ (akses 14 Juli 2019)
1001 Sejarah. 2012. Sejarah Lekra di
http://sejarahanda.blogspot.com/2012/11/sejarah-lekra.html (akses 14 Juli 2019)
Rumpun Sastra.com. 2014. Sastra Lekra di
https://www.rumpunsastra.com/2014/09/sastra-lekra.html (akses 14 Juli 2019)
Saputra. Haka. 2016. Sastra Indonesia Pada Masa Orde baru di
https://hakasaputra.blogspot.com/2014/12/sastra-indonesia-pada-masa-orde-
baru.html (akses 14 Juli 2019)
Ruang. Jurnal. 2017. Senyap Setelah Gemuruh Kebudayaan di
https://jurnalruang.com/read/1505195496-senyap-setelah-gemuruh-kebudayaan
(akses 15 Juli 2019)
Dipacok. Kumeoh Memeh. 2017. Konsepsi Presiden Soekarno 21 Februari 1957
di https://kumeokmemehdipacok.blogspot.com/2017/10/konsepsi-presiden-
sukarno-21-februari.html (akses 15 Juli 2019)
ARS. 2016. PKI dan Konsepsi Demokrasi Terpimpin (1): Konsepsi Presiden dan
Mengubah Imbangan Kekuatan di http://g30s-pki.com/pki-dan-konsepsi-
demokrasi-terpimpin-1-konsepsi-presiden-dan-mengubah-imbangan-kekuatan/
(akses 15 Juli 2019)
Ruang. Jurnal. 2017. Senyap Setelah Gemuruh Kebudayaan di
https://jurnalruang.com/read/1505195496-senyap-setelah-gemuruh-kebudayaan
(akses 15 Juli 2019)
Sasmayablog. 2015. Menapaki Jejak Lekra di
https://sasmayablog.wordpress.com/2015/10/08/menapaki-jejak-lekra/ (akses 16
Juli 2019)

Anda mungkin juga menyukai