Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN AKTIVITAS BERMAIN VIDEO GAME DENGAN SCHOOL

MYOPIA PADA SISWA-SISWI SD ASY SYIFA 1 BANDUNG

Anisa Suangga1Helwiyah Ropi1Ai Mardhiyah1


1
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

School myopia adalah kondisi mata minus yang baru timbul di masa anak-
anak, dimana faktor lingkungan berperan lebih besar dalam menyebabkan mata minus
dibanding faktor genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan
antara aktivitas bermain video game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy
Syifa 1 Bandung. Penelitian dirancang dengan metode korelasional dengan
pendekatan kuantitatif. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan alat
pemeriksaan visus dasar. Sampel penelitian sejumlah 85 orang. Analisis bivariat
dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan dari kedua variabel. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video
game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung.
Kemungkinan ini berarti peran video game dalam mengakibatkan school myopia
tidak banyak. Meski demikian, tetap dibutuhkan dukungan dari orang tua, guru,
maupun perawat untuk mencegah terjadinya school myopia.

Kata kunci : aktivitas bermain video game, school myopia, anak-anak

ABSTRACT

School myopia is a minus eye condition arising in childhood, in which


environmental factors play a greater role in causing minus eye than genetic factors.
The aims of study is to identification the correlation between the activity of playing
video games and school myopia of students at Asy Syifa 1 Elementary School
Bandung. The study was designed with the correlational method with quantitative
approach. The instrument used was questionnaire and visual acuity screening tools.
Samples of the study was 85 people. Bivariate analysis was done to identification the
correlation of these two variables. The result showed that there was no significant
correlation between the activity of playing video games and school myopia of
students at Asy Syifa 1 Elementary School Bandung. It is means possible that the role
of video games not much causing school myopia. However, the support from parents,
teachers, and school nurses to prevent myopia is still needed.

Key words: activity of playing video games, school myopia, children

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
1
PENDAHULUAN

Permainan anak yang dulu hanya dapat dilakukan secara tradisional dan

sederhana, seperti menata puzzle di atas papan sederhana, kini dapat dilakukan di

depan layar komputer dengan pilihan permainan yang lebih variatif. Pilihan

permainan yang lebih banyak inilah yang menyebabkan sebagian besar anak-anak

beralih dari permainan tradisional ke permainan di depan layar komputer, atau lebih

dikenal dengan sebutan video game.

Kirriemuir and McFarlane (2006) mendefinisikan video game/digital game

sebagai sesuatu yang menyediakan informasi digital dalam bentuk visual kepada satu

pemainnya atau lebih; menerima masukan data dari pemainnya; memproses data yang

masuk sesuai peraturan yang telah diprogram; dan mengubah informasi digital yang

disesuaikan untuk pemain. Video game sendiri telah berkembang jauh sebelum tahun

1970-an.

Menjamurnya penggemar video game menyebabkan perusahaan-perusahaan

game semakin gencar dalam bersaing untuk memasarkan produknya. Kini, beberapa

jenis video game dapat dimainkan pada beberapa perangkat elektronik, seperti ponsel,

game watch, komputer, dan beberapa perangkat video game bermerek, seperti

Playstation, Nintendo, Atari, Sega MegaDrive, GameBoy, Xbox, dan lain-lain

(Kertamuda dan Permanadi, 2009). Selain itu, ada juga Playstation Portable (PSP)

dan beberapa pengembangan dari PSP lainnya yang lebih praktis dengan perangkat

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
2
portable-nya (Rini, 2011). Video game-pun bisa dimainkan secara offline maupun

online.

Berdasarkan frekuensi bermain, Fromme (2003) membagi gamers (istilah

untuk individu yang bermain video game) ke dalam tiga jenis. Pertama adalah regular

gamers, dikarakteristikkan dengan bermain lebih dari satu kali sehari, setiap hari, atau

paling sedikit sekali seminggu. Kedua, casual gamers yang bermain seringkali pada

hari libur, satu atau dua kali sebulan, atau sesekali tapi mungkin berjam-jam. Dan

yang ketiga ialah non-gamers, yaitu individu yang tidak pernah bermain video game,

atau individu yang pernah mencoba bermain video game akan tetapi tidak

meneruskannya, atau individu yang dahulunya adalah pemain video game tetapi

sekarang tidak bermain lagi.

Anak-anak bermain, baik itu permainan tradisional maupun permainan

modern seperti video game, sudah menjadi suatu kewajaran. Bermain adalah

pekerjaan anak. Dalam bermain anak secara kontinyu mempraktikkan proses hidup

yang rumit dan penuh stress, komunikasi, dan mencapai hubungan yang memuaskan

dengan orang lain. Bermain memiliki peran dalam perkembangan, dimana fungsi

bermain diantaranya: untuk perkembangan sensorimotor, perkembangan intelektual,

sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri, manfaat terapeutik, dan nilai moral (Wong,

2010).

Bermain merupakan suatu proses pembelajaran. Seorang manusia mulai

belajar sejak dini. Sudah selayaknya setiap orang dapat tumbuh dan berkembang

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
3
secara optimal sejak masa anak-anak. Sedikit saja ada kelalaian pada proses tumbuh-

kembang anak, maka akan berdampak jangka panjang bahkan menetap hingga

dewasa.

Berkaitan dengan hal di atas, Wong (2010) menyebutkan bahwa salah satu

faktor yang mempengaruhi perkembangan anak adalah pengaruh media massa,

diantaranya pengaruh media komputer/internet. Dalam Rini (2011) disebutkan

beberapa pengaruh buruk game bagi anak, yaitu terhadap kesehatan, kepribadian,

pendidikan/prestasi, serta terhadap keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang

memiliki kebiasaan bermain game, beresiko mengalami stres, RSI (Repetitive Strain

Injury), kerusakan mata, maag, dan epilepsi. Pada perkembangan kepribadiannya,

anak bisa menjadi agresif hingga melakukan tindakan kekerasan dalam hubungannya

dengan keluarga atau masyarakat. Sedangkan dalam pendidikannya, anak yang suka

bermain game berlama-lama memiliki masalah konsentrasi saat menerima pelajaran.

Walaupun bermain video game juga dapat memberi pengaruh positif, namun

tanpa pengawasan yang cukup justru akan lebih banyak memberi pengaruh negatif.

Griffiths (dalam Broto, 2006) mengemukakan bahwa anak-anak mulai tertarik pada

video game pada usia sekitar tujuh tahun; sepertiga anak usia awal belasan tahun

bermain video game setiap hari, dan 7% dari mereka bermain video game paling

sedikit 30 jam per minggu. Artinya, mereka dapat bermain game, duduk di depan

layar komputer dengan mata terbuka, lebih dari empat jam setiap harinya. Dengan

bermain game selama itu maka anak tersebut kemungkinan beresiko mengalami

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
4
kelainan refraksi pada mata, terutama rabun jauh (myopia) akibat aktivitas berjarak

pandang dekat tersebut.

Menurut Damayanti, B. (2010), myopia atau yang dikenal dengan sebutan

mata minus adalah kondisi organ bola mata lebih panjang dari ukuran normal

sehingga bayangan sinar tidak sampai tepat di pusat penglihatan (makula), melainkan

jatuh di depan makula (vitreus). Berdasarkan onset atau waktu timbulnya, myopia

dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu: congenital myopia, school myopia,

dan adult onset myopia. Khusus pada school myopia, dimana kondisi minus timbul di

masa kanak-kanak, faktor lingkungan (aktivitas-aktivitas dengan jarak pandang dekat,

diantaranya main game di komputer) berperan lebih besar dalam menyebabkan mata

minus dibanding faktor genetik (Damayanti, B., 2010).

Berkaitan dengan myopia di Asia, Lam and Goh (1991) menemukan bahwa

dari 383 anak sekolah dari usia 6 sampai 17 tahun, prevalensi myopia bertambah dari

30% pada usia 6-7 tahun, menjadi 70% pada usia 16-17 tahun. Saw (1996)

mengungkapkan adanya peningkatan prevalensi myopia seiring dengan peningkatan

umur, dari 4% dari umur 6 tahun sampai 40% pada umur 12 tahun. Lebih dari 70%

dari umur 17 tahun dan lebih dari 75% pada umur 18 tahun. Di Indonesia, dari

seluruh kelompok umur (berdasarkan sensus penduduk tahun 1990), kelainan refraksi

(12,9%) merupakan penyebab low vision/penglihatan terbatas kedua setelah katarak

(61,3%) (Saw, 2003).

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
5
Data aktual lainnya peneliti dapat dari studi pendahuluan. Hasil observasi

terhadap lima sekolah dasar yang terdapat di daerah perkotaan (Margahayu,

Bandung) dan termasuk dalam satu gugus, yaitu SDN Rancabolang 1, SDN

Rancabolang 2, SDN Rancabolang 3, SDN Rancabolang 4, dan SD Asy Syifa 1,

menemukan bahwa SD Asy Syifa 1 merupakan SD yang paling banyak memiliki

siswa yang berkacamata. Dari hasil wawancara terhadap 15 siswa laki-laki di SD Asy

Syifa 1, seluruhnya menyatakan suka bermain video game. Tiga diantaranya

mengalami myopia dan sudah memakai kacamata.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa myopia pada anak merupakan

masalah kesehatan yang menjadi sorotan di masyarakat saat ini. Namun,

hubungannya dengan aktivitas bermain video game masih belum dapat dibuktikan

sepenuhnya. Dalam hal ini seharusnya perawat dilibatkan dalam mendorong orang

tua untuk mengetahui aktivitas internet (termasuk aktivitas video game) anak mereka

sambil memberikan aktivitas belajar yang tepat dengan komputer (Wong, 2010). Oleh

karena itu, peneliti tertarik mengangkat judul penelitian sebagai berikut: “Hubungan

Aktivitas Bermain Video Game dengan School Myopia pada Siswa-Siswi SD Asy

Syifa 1 Bandung”.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara

aktivitas bermain video game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1

Bandung. Sedangkan tujuan khususnya, yaitu untuk mengidentifikasi distribusi

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
6
frekuensi untuk frekuensi bermain video game dan mengidentifikasi kejadian school

myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dirancang dengan metode penelitian korelasional dimana

penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mencari hubungan antara satu variabel

dengan variabel lainnya. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif.

Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah aktivitas bermain video game

pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung. Sedangkan variabel dependennya adalah

school myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung.

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-

siswi SD Asy Syifa 1 Bandung tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 559 orang.

Populasi dibagi berdasarkan frekuensi bermain video game, yaitu non-gamers, casual

gamers, dan regular gamers yang kemudian dijadikan dasar penarikan sampel.

Sampel diambil menggunakan teknik proportionate stratified random sampling;

berjumlah 85 orang; terdiri dari siswa kelas 1 sampai kelas 6 SD.

Pengumpulan data untuk penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu

pengumpulan data tahap I dan tahap II. Pada tahap I, peneliti membagikan kuesioner

mengenai aktivitas bermain video game kepada populasi dan sebelumnya diberikan

informed consent. Pada tahap II, Peneliti melakukan pemeriksaan tajam penglihatan

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
7
bekerja sama dengan Refraksionis Optisien/Optometris. Kemudian hasilnya dicatat

untuk dilakukan pengolahan data.

Pengolahan data dikerjakan melalui beberapa tahapan, diantaranya: editing

(penyuntingan), coding (pengkodean), data entry (pemindahan data ke komputer),

data output (penyajian data), dan tahapan yang terakhir yaitu data analyzing

(penganalisisan data). Dalam penelitian ini digunakan analisis univariat berupa

distribusi frekuensi data dari variabel independen dan variabel dependen. Kemudian

dilanjutkan dengan analisis bivariat yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan

antara aktivitas bermain video game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy

Syifa 1 Bandung. Pengujiannya menggunakan rumus Chi-Square dan sebelumnya

telah ditentukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video game

dengan school myopia;

Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video game

dengan school myopia.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Bermain Video Game pada Siswa-Siswi


SD Asy Syifa 1 Bandung (n=85)
Frekuensi Bermain
f %
Video Game
Non-Gamers 6 7
Casual Gamers 44 52
Regular Gamers 35 41
Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
8
Tabel 2 Distribusi Frekuensi School Myopia pada Siswa-Siswi
SD Asy Syifa 1 Bandung (n=85)
School Myopia f %
Myopia (-) 54 64
Myopia (+) 31 36

Tabel 3 Hubungan Aktivitas Bermain Video Game dengan School Myopia


pada Siswa-Siswi SD Asy Syifa 1 Bandung (n=85)

School Myopia
Aktivitas Bermain
f % p value
Video Game
Myopia (-) Myopia (+)
f % F %
Non-Gamers 4 5 2 2 6 7
Casual Gamers 27 32 17 20 44 52 0,911
Regular Gamers 23 27 12 14 35 41

Gamers berdasarkan frekuensi bermain video game dalam penelitian ini

dibagi dalam tiga kelompok, yaitu non-gamers, casual gamers, dan regular gamers.

Dari hasil penelitian, teridentifikasi bahwa lebih dari setengah responden adalah

casual gamers. Artinya mereka bermain video game seringkali hanya pada hari libur,

satu atau dua kali sebulan, atau hanya sesekali, tapi bisa berjam-jam. Hasil tersebut

sedikit berbeda dengan hasil penelitian Fromme (2003) yang mengambil sampel dari

anak-anak sekolah berusia 7 sampai 14 tahun sebanyak 1.111 orang. Fromme

mendapatkan lebih dari setengah anak laki-laki (55,7 %) dan sekitar 29 % anak

perempuan merupakan regular gamers; sekitar 40 % anak laki-laki dan 51 % anak

perempuan merupakan casual gamers; dan sekitar 6 % anak laki-laki dan 20 % anak

perempuan merupakan non-gamers. Terdapat perbedaan pada frekuensi bermain


Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
9
game antara anak laki-laki dan perempuan pada penelitiannya ini, dimana anak laki-

laki bermain game lebih sering dan lebih regular daripada anak perempuan.

Menurutnya, hal tersebut mengindikasikan adanya perbedaan gaya penggunaan media

bermain/jenis permainan dan perbedaan penggunaan waktu luang antara anak laki-

laki dan anak perempuan.

Walau demikian, baik penelitian di SD Asy Syifa 1 maupun penelitian yang

dilakukan oleh Fromme menunjukkan bahwa sebagian besar responden merupakan

casual gamers. Hal ini kemungkinan terjadi karena gamers pada anak usia sekolah

dasar masih pada fase awal pengenalan game.

Dari sebaran frekuensi regular gamers, dapat diinterpretasikan bahwa kurang

dari setengah responden, yaitu sebanyak 35 orang (41 %) bermain secara regular,

artinya responden bermain lebih dari satu kali sehari, atau setiap hari, atau paling

sedikit sekali seminggu. Dan dari sebaran frekuensi non-gamers jumlahnya sangat

kecil yaitu hanya 6 orang responden (7 %). Non-gamers ialah individu yang tidak

pernah bermain video game, atau individu yang pernah mencoba bermain video game

akan tetapi tidak meneruskannya, atau individu yang dahulunya adalah pemain video

game tetapi sekarang tidak bermain lagi. Jika ditarik secara garis besar, maka hampir

seluruh responden adalah gamers, baik itu casual gamers, maupun regular gamers;

sangat sedikit responden yang termasuk non-gamers.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, Griffiths (dalam Broto, 2006)

mengemukakan bahwa anak-anak mulai tertarik pada video game pada usia sekitar

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
10
tujuh tahun; sepertiga anak usia awal belasan tahun bermain video game setiap hari,

dan 7% dari mereka bermain video game paling sedikit 30 jam per minggu. Padahal,

semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin

besar kemungkinan mengalami myopia karena organ mata sedang berkembang

dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan (Curtin, 2002). Sinar terang di sini

salah satunya bisa berasal dari pancaran layar komputer dan perangkat elektronik

lainnya. Keadaan tersebut tentu seharusnya dapat dicegah jika orang tua tidak terlalu

dini memfasilitasi anaknya dengan perangkat-perangkat elektronik.

Tingkat kejadian school myopia yang ada pada tabel 2 menunjukkan bahwa

pada anak usia sekolah dasar belum terdapat prevalensi myopia yang tinggi.

Rendahnya prevalensi tersebut dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan formal

responden, dimana responden seluruhnya belum menamatkan 6 tahun pendidikan

dasar. Seperti data yang didapat dari penelitian Morgan and Rose (2005), tingkatan

edukasi juga berpengaruh terhadap kejadian myopia dengan persentase 20 % kejadian

myopia dan kurang dari 5 % kejadian high myopia pada anak usia sekolah dasar. Data

tersebut merupakan hasil penelitian di Singapura yang merupakan salah satu dari

beberapa penelitian di dunia yang dirangkum oleh Morgan and Rose.

Penelitian Morgan and Rose membuktikan bahwa faktor utama peningkatan

prevalensi myopia di dunia adalah perubahan lingkungan, termasuk di dalamnya

bermain video game. Begitu pula pada school myopia, faktor genetik memiliki

peranan terhadap kejadian school myopia namun perannya sangat kecil dibandingkan

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
11
dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini diantaranya adalah aktivitas jarak

dekat, kegiatan belajar, televisi, komputer/video game, lamanya bermain outdoor,

pencahayaan abnormal, tingginya indeks glikemik, dan blurred vision. Tidak

seluruhnya faktor-faktor lingkungan tersebut memiliki hubungan yang signifikan

dengan school myopia. Mutti et al. (2002) dan Quek et al. (2004) membuktikan

bahwa variabel-variabel seperti televisi, video games, atau home computers

berpengaruh secara minimal. Hal ini diujikan pada negara-negara maju yang memiliki

lingkungan yang relatif homogen dalam hal sosial ekonomi dan edukasi, seperti

Amerika dan Singapura (dalam Morgan and Rose, 2005)

Pada analisis bivariat, dimana variabel independen (aktivitas bermain video

game) dihubungkan dengan variabel dependen (school myopia), didapatkan

kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut.

Ini berarti aktivitas bermain video game berpengaruh minimal terhadap school

myopia; sejalan dengan penelitian Mutti et al. (2002) dan Quek et al. (2004). Ini

menunjukkan bahwa kondisi myopia yang terjadi pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1

Bandung dalam kaitannya dengan aktivitas bermain video game perlu dijelaskan

melalui mekanisme yang lain. Misalnya, dengan melihat hubungan lama bermain

video game dengan school myopia.

Perkembangan teknologi yang semakin canggih menyajikan berbagai fasilitas

untuk mempermudah akses video game, memungkinkan anak-anak untuk lebih dini

terpapar pengaruh video game. Tentunya hal ini harus dicegah sedini mungkin.

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
12
Karena aktivitas anak-anak masih dalam pengawasan orang dewasa, maka

pencegahan terhadap pengaruh negatif dari video game dapat didukung baik oleh

orang tua, tenaga pendidik, maupun oleh tenaga kesehatan khususnya perawat

komunitas. Pencegahan dari orang tua bisa dengan mengawasi aktivitas bermain anak

dan menentukan waktu yang tepat dimana anaknya baru boleh memainkan video

game. Hal itu juga didukung dengan tidak terlalu dini memfasilitasi anak dengan

perangkat-perangkat elektronik. Dalam hal ini, perawat harus dilibatkan dalam

mendorong orang tua untuk mengetahui aktivitas bermain video game yang dilakukan

anak mereka sambil memberikan aktivitas belajar yang tepat dengan komputer.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 85 orang siswa-siswi

SD Asy Syifa 1 Bandung yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas

bermain video game dengan school myopia di SD tersebut, maka didapatkan

kesimpulan sebagai berikut.

1. Sebagian besar siswa SD Asy Syifa 1 Bandung merupakan casual gamers yaitu

sebanyak 44 orang (52 %).

2. Sebagian besar siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung tidak mengalami myopia

yaitu sebanyak 54 orang (64 %) dan 31 orang (36 %) mengalami myopia.

3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video game dengan

school myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung.

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
13
SARAN

Dari kesimpulan di atas, peneliti memberikan beberapa saran bagi SD Asy

Syifa 1 Bandung, perawat komunitas, dan peneliti lain sebagai berikut:

1. Bagi pihak Sekolah Dasar Asy Syifa 1 Bandung diharapkan membuat poster

mengenai aktivitas bermain video game yang sehat, bahaya dari aktivitas bermain

video game yang berlebihan, dan juga cara-cara untuk mencegah bertambahnya

ukuran dioptri pada anak yang sudah mengalami school myopia. Pendidik dapat

pula menghimbau para orang tua siswa untuk mengatur jadwal aktivitas bermain

video game yang baik bagi anak-anaknya.

2. Bagi perawat komunitas diharapkan dapat membuat rancangan program

komunitas dalam program kesehatan mata anak, khususnya upaya pencegahan

kejadian school myopia, mengingat pentingnya permasalahan ini.

3. Bagi peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian berkaitan dengan

penelitian ini, misalnya penelitian dengan judul: “Hubungan Lama Bermain Video

Game dengan Kejadian School Myopia”. Lama bermain video game disini bisa

dilihat dari waktu yang dihabiskan responden mulai dari pertama kali bermain

video game sampai waktu penelitian dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Broto, R. A. 2006, 17 Januari. Dampak Video Game pada Anak Perlu


Diwaspadai. Kolumnis: Rab A. Broto.

Curtin, B. J. 2002. The Myopia. Philadelphia: Harper & Row.


Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
14
Damayanti, Bangkit. 2010. School Myopia. Tangerang. Betterhealth: Eka Hospital.

Fromme, J. 2003. Computer Games as a Part of Children’s Culture. The


International Journal of Computer Game Research : Game Studies.

Kertamuda, F. E. dan Permanadi, R. 2009. Perbedaan Motivasi Berprestasi


antara Siswa Pemain Video Game dengan Siswa Non Pemain Video
Game. Forum Kependidikan, Vol. 29, No. 1, Hal. 8-13.

Kirriemuir, J. and McFarlane, A. 2006. Report 8: Literature Review in Games and


Learning. United Kingdom. Futurelab.

Lam, C. S. and Goh, W. S. 1991. The Incidence of Refractive Errors among


Schoolchildren in Hong Kong in Relationship with The Optical Components.
Clin. Exp. Optom., 74:97-103.

Morgan, I. and Rose, K. 2005. How Genetic is School Myopia? Progress in Retinal
and Eye Research 24 (2005) 1-38.

Rini, A. 2011. Menanggulangi Kecanduan Game Online pada Anak. Jakarta.


Pustaka Mina.

Saw Seang-Mei, Katz J., Schein O. D., et al. 1996. Epidemiology of Myopia.
Epidemiol Rev 1 8:2.

Saw Seang-Mei, Husain R., Gazzard G. M., et al. 2003. Causes of Low Vision and
Blindness in Rural Indonesia British Journal of Ophthalmology 87(9):
1075-1078.

Wong, D. L., et al. 2010. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Alih bahasa: Agus
Sutarna, Neti Juniarti, H. Y. Kuncara; editor edisi bahasa Indonesia: Egi
Komara Yudha, dkk. Jakarta. EGC.

Anisa Suangga. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran.


Jl. Raya Bandung – Sumedang, KM. 21, Sumedang.
Email: anisasuangga@yahoo.co.id. 085659224363.
15

Anda mungkin juga menyukai