Anda di halaman 1dari 40

Optical Coherence Tomography dalam Diagnosis Skleritis dan Episkleritis

Kata kunci pencarian :

scleritis, episcleritis, diagnosis

Dipilih jurnal dengan judul asli :

Optical Coherence Tomography in the Diagnosis of Scleritis and Episcleritis

Authors :

Samir S. Shoughy, Mahmoud O. Jaroudi, Igor Kozak, and Khalid F. Tabbara

Dimuat di :

Am J Ophthalmol. 2015 March ; :.e1.

https://www.ajo.com/article/S0002-9394(15)00130-0/fulltext

Diunduh dari :

https://www.ajo.com/article/S0002-9394(15)00130-0/fulltext

Pada tanggal 14 September 2018 Pukul 20.00 WIB

1
ABSTRAK

Tujuan

Untuk menggambarkan Optical Coherence Tomography (OCT) di mata dengan skleritis anterior
aktif dan membandingkan dengan episkleritis dan normal kontrol.
Desain

Evaluasi prospektif dari tes diagnostik.

Metode

Kami memasukkan total 30 mata dari 30 pasien dengan unilateral anterior sklera atau
peradangan episkleral. 30 mata kontralateral tanpa penyakit okular aktif sebagai kontrol. OCT
dilakukan di atas anterior sklera di area yang meradang pada semua kasus. Gambar OCT
dianalisis untuk menentukan ketebalan sklera dan ada atau tidaknya daerah hiporeflektif skleral
menunjukkan edema intraskleral.

Hasil

Ada 17 pasien pria dan 13 pasien wanita. Usia rata-rata adalah 43 tahun dengan rentang usia 21–
77 tahun. 18 pasien mengalami skleritis anterior dan 12 pasien menderita episkleritis. Rata-rata
ketebalan transconjunctival skleral adalah 747 mm (SD ± 68.97) dengan kisaran 616–877 mm
pada mata normal, 882 mm (SD ± 87.35) dengan kisaran 773-1089 mm pada pasien dengan
skleritis, dan 825 mm (SD ± 85,57) dengan kisaran 718–949 mm pada pasien dengan episkleritis.

Kesimpulan

Pasien dengan anterior skleritis aktif menunjukkan peningkatan ketebalan dari sclera dan adanya
daerah hiporeflektif intrascleral edema oleh OCT dibandingkan dengan pasien dengan
episkleritis dan mata normal. OCT menambahkan informasi kualitatif dan kuantitatif untuk
diagnosis dan pemantauan pasien dengan skleritis.

Keyword
Scleritis, episcleritis, diagnosis

2
Definisi Operasional

Sklera adalah lapisan kolagen yang memberikan integritas struktural ke dunia. Keterlibatan
sklera karena peradangan dapat menimbulkan variabel manifestasi klinis mulai dari episode
selflimiting ringan ke bentuk skleritis yang lebih parah. Secara klinis skleritis anterior mungkin
memiliki beberapa pola yang berbeda termasuk skleritis difus, skleritis nodular, dan nekrosis
skleritis (dengan atau tanpa peradangan). Mayoritas kasus nekrosis skleritis biasanya disebabkan
oleh autoimun atau infeksi yang mendasari. Mengobati penyebab yang mendasari dapat
mengubah secara umum serta prognosis okular pada pasien-pasien ini. Perbedaan antara
episkleritis dan skleritis penting untuk diagnosis dan manajemen tatalaksana. Perjalanan klinis
dan prognosis visual mungkin berbeda. Pasien dengan diagnosis skleritis dapat dikaitkan dengan
penyakit sistemik yang mendasarinya, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa kasus.
Perbedaan antara 2 bentuk peradangan, skleritis dan episkleritis, dapat diperoleh dari riwayat
penyakit dan melakukan pemeriksaan klinis yang tepat. Namun dalam beberapa kasus,
perbedaan antara skleritis dan episkleritis mungkin sulit. Karena metode yang terbatas untuk
membedakan satu dari yang lain dan tidak adanya tes obyektif untuk menetapkan diagnosa.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengkarakterisasikan hasil dari Optical Coherence Tomography
(OCT) di mata dengan peradangan skleral dan membandingkan dengan normal kontrol. Kami
memutuskan untuk menggunakan diagnostik noninvasif tes oleh OCT untuk membedakan antara
skleritis dan episkleritis.

3
METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian :
2. Populasi : 30 pasien bersedia mengikuti penelitian
3. Waktu : Juni 2012 – Desember 2013
4. Sampel : 30 pasien dengan diagnosis peradangan sklera atau episkleral
5. Jenis Data : Kuantitatif
6. Prosedur Penelitian :

Pasien diberikan inform consent untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Total 30 mata
pasien secara berurutan masuk dalam kriteria inklusi. Semua pasien memiliki diagnosis
klinis peradangan pada skleral atau episklera unilateral pada periode dari Juni 2012
hingga Desember 2013. Kontralateral 30 mata tanpa penyakit okular aktif berfungsi
sebagai kontrol. Diagnosis episkleritis terdiri dari gejala akut nyeri ringan pada mata
atau nyeri sesekali yang terlokalisasi ke mata dengan nyeri ringan superfisial episkleral
hiperemia. Diagnosis klinis skleritis dibuat berdasarkan onset gejala yang bertahap dari
mata yang lebih berat rasa sakit yang menyebar ke jaringan sekitarnya, nyeri sedang
hingga rasa nyeri yang berat, fotofobia, dan pengaburan visus dan tanda-tanda sumbatan.
Kongesti maksimal dalam jaringan episkleral yang mendalam dengan beberapa kongesti
di jaringan superfisial episkleral, dengan kedua pemeriksaan eksternal siang hari dan
slit-lamp biomicroscopy. Pasien telah menjalani pemeriksaan mata lengkap. Evaluasi
medis oleh internis dilakukan sesuai kebutuhan dan pemeriksaan laboratorium dilakukan
setiap kali diindikasikan. Penyebab lain mata merah dieksklusikan. Kriteria inklusi
adalah pasien di atas usia 18 tahun dengan tanda-tanda klinis skleritis anterior atau
episkleritis. Kriteria eksklusi terdiri dari pasien yang mempunyai penyebab lain dari
peradangan permukaan mata seperti keratitis atau konjungtivitis, pterigia dan pingekula,
dan pasien 18 tahun atau lebih muda. OCT dari sklera anterior di bagian yang meradang
dilakukan pada semua kasus menggunakan spectral domain OCT (3D OCT-2000;
Topcon Corp, Tokyo, Japan). Untuk mencapai pengukuran yang akurat, kami meminta
semua pasien untuk melihat target fiksasi untuk memastikan bahwa orientasi area yang
diinginkan tegak lurus ke gelombang cahaya yang masuk dari mesin OCT. Orientasi
sinar yang sama digunakan untuk mata dengan skleritis anterior serta mata kontrol.

4
Gambar OCT dinilai untuk mendeteksi ada atau tidaknya area hiporeflektif sklera yang
menunjukkan edema intraskleral. Ketebalan dan konsistensi konjungtiva, episklera, dan
sklera diukur dalam semua kasus. Inklusi dari jaringan yang menutupi sklera dalam
pengukuran ketebalan yaitu karena ketidakmampuan untuk mengidentifikasi secara tepat
perbatasan sklera dari episklera yang menyatu di atasnya. Pengukuran ketebalan
dilakukan dengan memperoleh rata-rata dari 3 bacaan, yang dilakukan pada sklera yang
radang di tengah antara limbus dan tempat insersi dari otot rektus (Gambar 1).
Pengukuran dilakukan pada bagian difus menghindari daerah ireguler atau tampak
nodular. Daerah yang sama persis digambarkan di mata kontrol dan gambar yang sesuai
dibandingkan dengan mata penelitian.

7. Analisis Data : ANOVA tes dipakai untuk membandingkan mata.

5
HASIL

Ada total 30 pasien. Semua pasien mempunyai diagnosis klinis peradangan skleral anterior atau
pradangan episkleral. Ada 17 pasien pria dan 13 pasien wanita. Usia rata-rata 43 tahun dengan
rentang usia 21-77 tahun. Gejala utama yang muncul pada pasien dengan episkleritis adalah
kemerahan dan nyeri mata ringan, yang terlokalisasi ke mata; pada pasien dengan skleritis gejala
utama yang timbul adalah nyeri mata sedang sampai berat yang menyebar ke bagian alis dan
sinus, nyeri berat, kemerahan, fotofobia, penurunan ketajaman visus. Secara klinis, pada kasus
episkleritis kongesti maksimal dicatat secara superfisial dan dalam kasus skleritis kongesti
maksimal dicatat lebih dalam. OCT dari sklera di 30 mata normal kontrol menunjukkan
ketebalan skleral 747 mm (kisaran; 616–877, SD 6 68.97) (Gambar 1). Pada 18 pasien dengan
diagnosis klinis skleritis, scan OCT dari sklera mengungkapkan hiporeflektif daerah yang
menggambarkan edema intraskleral (Gambar 2). Mata dengan keterlibatan sklera menunjukkan
peningkatan ketebalan sklera dari OCT dengan ketebalan rata-rata 882 mm (rentang: 773–1089,
SD 6 87.35) (P ¼ .001). Dari 12 pasien dengan diagnosis klinis episkleritis, OCT menunjukkan
keterlibatan episklera yang dominan tanpa keterlibatan sklera pada bagian hiporeflektif (Gambar
3) dan ketebalan rata-rata 825 mm (kisaran: 718–949, SD 6 85.57) (P ¼ .003).

6
DISKUSI

Perbedaan epikleritis dan skleritis adalah sangat dibutuhkan dalam keadaan klinis dan mungkin
memiliki implikasi dalam follow up dan manajemen. Episkleritis jarang membutuhkan terapi
sistemik, sedangkan skleritis membutuhkan terapi sistemik. Diagnosis yang tepat penting dalam
manajemen, untuk menghindari penundaan terapi dan kehilangan penglihatan atau
memberitahukan pasien supaya tidak memerlukan terapi sistemik. Ada keterbatasan diagnostik
tes untuk menetapkan diagnosis yang tepat. Segmen anterior angiografi fluorescein telah
ditemukan untuk menampilkan karakteristik pada episkleritis dan skleritis, untuk membantu
diagnosis. Angiografi fluoresens, adalah prosedur invasif dan memiliki keterbatasan dalam
mendiagnosis skleritis.

7
Optical coherence tomography adalah diagnostik noninvasif teknik untuk resolusi tinggi,
pencitraan cross-sectional dari jaringan okuler dengan mengukur cahaya backscattered. OCT
memiliki banyak aplikasi dalam praktek modern ophthalmology karena sifatnya yang tidak
invasif, mudah digunakan, dan kualitas gambar yang tinggi. OCT telah digunakan secara luas
untuk diagnosis penyakit retina. Saat ini, OCT telah diterapkan untuk pencitraan segmen anterior
mata. Segmen anterior OCT selalu memungkinkan dekat pencitraan tingkat video perolehan;
memberikan penetrasi yang lebih besar melalui jaringan dengan pencar cahaya tinggi, seperti
sklera dan limbus; dan memungkinkan visualisasi kornea, iris, badan siliaris, sulkus siliaris, dan
lensa anterior. OCT telah digunakan untuk menggambarkan pasien skleritis sebelumnya,
meskipun hanya laporan kasus yang muncul dalam literatur. Di penelitian kami, kami
menggunakan teknologi OCT spektral-domain memvisualisasikan sklera anterior dalam kasus-
kasus peradangan skleral. Kami menilai kemampuan OCT segmen anterior untuk dideteksi
lapisan anatomi keterlibatan maksimal sklera oleh edema dan untuk mengukur ketebalan skleral

8
pada kondisi normal dan sklera yang radang. Ketebalan rata-rata sklera normal 747 mm
(SD668.97). Lapisan anatomi dari sklera itu terlihat jelas dengan pengaturan teratur lapisan
scleral tanpa edema yang mengganggu. Mata dengan predominan Keterlibatan sklera terungkap
meningkatkan ketebalan sklera dibandingkan dengan mata normal. Disini kami menggambarkan
kantong hiporeflektif di hiperreflektif stroma skleral pada skleritis, yang kami anggap dapat
mewakili edema scleral (Gambar 2). Kehadiran garis-garis ini membagi dua lamellae skleral
menyarankan keterlibatan sklera oleh proses inflamasi dan diagnosis skleritis menjadi lebih
mungkin. Di sisi lain, pasien dengan keterlibatan episklera yang dominan menunjukkan
peningkatan episklera dan jaringan di atasnya tanpa perubahan reflektifitas sklera (Gambar 3).
Ketebalan skleral pada pasien dengan episkleritis jauh lebih tinggi daripada rata-rata untuk
kelompok normal tetapi kurang dari pasien dengan skleritis. OCT membantu menunjukkan
penurunan ketebalan sklera dengan resolusi skleritis berikut pengobatan (Gambar 4 dan 5). Kami
mendemonstrasikan hal itu OCT dapat berfungsi sebagai alat untuk menindaklanjuti respons dan
resolusi perawatan berikut. Segmen anterior OCT tampaknya menjadi alat yang menjanjikan di
pencitraan sklera. Dalam studi ini, sklera menebal pada skleritis anterior aktif dibandingkan
dengan mereka dengan episkleritis. Namun, perbedaan skleritis dan episkleritis tidak boleh
hanya didasari pada ketebalan total dari sklera dan episklera, pada skleritis banyak ketebalan
yang lebih besar. Meskipun ini mungkin berlaku untuk mayoritas kasus skleritis, ini mungkin
tidak selalu membantu, karena beberapa kasus episkleritis nodular mungkin memiliki ketebalan
yang lebih besar daripada kasus skleritis difus. Untuk alasan inilah kami akan melakukannya
hati-hati terhadap penggunaan ketebalan sebagai penanda untuk menentukan kondisi peradangan
yang muncul. Kuncinya adalah mencari untuk kantong edema di sklera. Deteksi dari adanya
edema intraskleral oleh OCT menunjukkan keterlibatan dari sklera oleh proses inflamasi dan
diagnosis skleritis. Memperluas penggunaan OCT dalam praktek mata saat ini memungkinkan
untuk penerapan teknologi ini untuk diagnosis peradangan sklera. Sampai saat ini, tidak ada
protokol OCT spesifik untuk menggambarkan sklera dan ada tidak ada algoritma segmentasi
otomatis untuk membedakannya dari jaringan di atasnya. Baru-baru ini, suatu algoritma yang
disesuaikan untuk segmen anterior OCT memungkinkan pencitraan resolusi tinggi dari sklera.
Algoritma baru untuk segmen anterior Pencitraan OCT memungkinkan membedakan nekrosis
dari skleritis non-nekrosis. Biomikroskopi ultrasound frekuensi tinggi (UBM) telah digunakan
untuk membedakan penyakit skleral dan episkleral. Teknologi UBM, awalnya dikembangkan

9
oleh Pavlin, Sherar, dan Foster, didasarkan pada 50- hingga 100-MHz transduser dimasukkan ke
pemindai klinis B-mode.
Kenyataannya, gambar yang diterbitkan dari studi Pavlin dan rekan-rekannya pada awal tahun
1990 cukup luar biasa karena seluruh ketebalan sklera dapat digambarkan, termasuk bagian
bawah koroid, yang terkadang terlibat. Unit yang tersedia secara komersial menyediakan lateral
dan aksial resolusi fisik masing-masing sekitar 50 mm dan 25 mm. Penetrasi jaringan kira-kira
4–5 mm. OCT spektral domain memiliki keuntungan resolusi jauh yang lebih tinggi, tetapi
memiliki penetrasi yang sangat buruk melalui opaque, jaringan terhidrasi. OCT time domain,
yang beroperasi pada panjang gelombang 1310 nm, secara teoritis seharusnya menembus
jaringan lebih baik daripada sebuah OCT spektral domain panjang gelombang 830 nm; bagian
yang lebih dalam dari sklera mungkin lebih baik diakses dengan time domain OCT. Namun,
resolusi aksial dari time domain OCT lebih buruk daripada OCT spektral domain dan time
domain OCT memiliki rasio signal-to-noise (SNR) yang lebih buruk, jadi OCT time domain
tidak dipertimbangkan untuk pencitraan segmen anterior. Keterbatasan penelitian kami termasuk
jumlah pasien yang relatif rendah dan segmentasi gambar manual. Selanjutnya, kami mengukur
seluruh ketebalan bagian OCT dari konjungtiva ke perbatasan bagian dalam sklera karena
definisi jaringan yang buruk di bagian atas sklera dan jarak dekat sklera ke jaringan episkleral.
Kekuatan penelitian termasuk reproduktifitas pencitraan dan data klinis yang baik. Beberapa
penerapan OCT dalam mendiagnosis kondisi skleralnya dapat dipercaya. Di masa depan, OCT
mungkin bisa membantu dalam menunjukkan daerah skleral yang menipis dan prolaps uvea
dalam kasus nekrosis skleritis. Jika bisa dibuktikan jika satu itu dapat dengan jelas membedakan
antara pemadatan skleral dan jaringan yang hilang karena peradangan, informasi ini berguna
dalam menghindari ketidak perluan dalam penempatan graft tektonik. Pada pasien dengan
perforasi skleromalasia, bisa jadi menunjukkan bahwa ketebalan bagian atas sklera dapat
dimonitor dari waktu ke waktu untuk mengetahui perkembangan penyakit. Kita percaya bahwa
dengan munculnya teknologi OCT akan menjadi praktik diagnostik yang baik. Singkatnya, OCT
spectral domain dapat digunakan sebagai alat diagnostik tambahan dalam merawat pasien
dengan episkleritis. Kemajuan dalam teknologi OCT dapat membantu dalam memberikan
gambaran beresolusi lebih tinggi dan definisi yang lebih baik dari jaringan skleral itu sendiri.

10
KESIMPULAN

Pasien dengan anterior skleritis aktif menunjukkan peningkatan ketebalan dari sclera dan adanya
daerah hiporeflektif intrascleral edema oleh OCT dibandingkan dengan pasien dengan
episkleritis dan mata normal. OCT menambahkan informasi kualitatif dan kuantitatif untuk
diagnosis dan pemantauan pasien dengan skleritis.

11
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Sklera

I.1. ANATOMI SKLERA

Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari

kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat

transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan

jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan

dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen,

yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak,

sklera tampak sebagai garis kuning.3

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis

optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan

sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa

vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan.

12
Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera

mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun

melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat

pada sklera.3

Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata

posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk

bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan

otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati

foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung

dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk

suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat

optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga

0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4

Gambar 2. Sklera

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6

 Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat

meletaknya kornea pada sklera.

13
 Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus

optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran

seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut

saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas

jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 μm dan lebar 100-

140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat

mirip dengan struktur kornea.

I.2. FISIOLOGI

Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.

Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa

menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya

aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang

terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera

dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan

yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering

terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai

pembungkus sklera dan episklera.3

II. Skleritis

II.1. Definisi Skleritis

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh

destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1

14
II.2. Epidemiologi

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian

diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94%

adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada

penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset

perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan

insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena

daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,

dengan usia rata-rata 52 tahun.2

II.3. Etiologi Skleritis7,8

Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi

yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan

disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan

pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal,

misalnya bedah katarak dan operasi pterigium.1

15
II. 4. Patofisiologi Skleritis

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen kasus)

berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara

lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus,

polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama

dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien

yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus

dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat

16
disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe

III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).9,10

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG

dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi

sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen

kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor

dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi

dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I,

secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi

sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan

kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan

deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan

oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi

menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan

membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam

lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah

komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.11

Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan

oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat.

Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu

memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,

kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T

tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan

17
juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel

mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu

48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang

paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu

dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.11

Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan

makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa

berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan

perforasi dari bola mata.12

Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik

dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum

merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks

imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon

kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari

sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun

pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post

kapiler dan respon imun sel perantara.7

Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan skleritis

membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan meningkatnya TNF

pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini melaporkan bahwa untuk pertama

kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam serum pasien dengan tipe skleritis non infeksius. 10

18
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi

Tabel 2. Sklera spesifik autoantibodi

19
Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan beberapa protein dari

segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan, khususnya pada kejadian

uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang melaorkan autoantibodi pada idiopatic

skleritis. Akhir-akhir ini diperlihatkan autoantibodi secara langsung melawan dua polipeptida

yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini berhubungan dan memunculkan kemungkinan

adanya proses autoimun organ spesifik.10

Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis

memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit T CD-4, yang mana

biasanya tidak ditemukan pada sklera normal.10

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi

kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).

Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau

bagian posterior mata.

Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis akibat dari

operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke dalam mata dibawah

proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas

humoral dan seluler.10

II. 5. Klasifikasi Skleritis

Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior:13,14

1. Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%

dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar

14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan

20
penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari

suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih

nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan

gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.

Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis


2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Ditandai dengan

adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada

sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

21
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul
3.
Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau

komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien

dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan

operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina.

Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau

limbus.11(1050pdf)

Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

 Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis.

Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai

dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.

22
 Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien yang sudah

lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul

rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

2. Skleritis Posterior

Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.

Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari

pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat

di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem

makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior

dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.

Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan

sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina

eksudatif, edema makular, dan papiledema.3

Gambar 6. Skleritis Posterior

II.6. Diagnosis

Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

23
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8

a. Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat

penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu

pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,

fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.

Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..

Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi.

Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,

rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat

hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis

tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh

perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,

uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.2,3,4,8

Gambar 7. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik,

trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti :2

24
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat

2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular disorder. Ciri-

cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi kortikosteroid, dan

merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses kembalinya ketajaman visus

biasanya baik pada beberapa kasus.410

3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)

4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata

5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan

ibandronate.

6. Post pembedahan pada mata

7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,

8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya

terhadap pengobatan.

b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

 Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam

penglihatan.11

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

25
 Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan apabila

dicurigai adanya penyakit sistemik.

 Pemeriksaan Sklera10

o Pemeriksaan Daylight

Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan,

akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan

aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut

akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah,

dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

o Pemeriksaan slit – lamp10,11

Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi

yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.

Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan

beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan

posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema.

Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial

episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.2

o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan

episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera.

o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada

sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.

26
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga

dapat dilakukan.

 Pemeriksaan skleritis posterior11

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis

posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan

perdarahan atau ablasio retina.17

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa

pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL

7. Serum asam urat

8.
B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5

27
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi
cairan pada kapsul tenon

II.7. Diagnosa Banding

a. Episkleritis

Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva

dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari

infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya

mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit

reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses

peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan

konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan

dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam

penglihatan.

28
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal.

Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran

benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila

benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul

rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan

melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil

bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera

tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.

Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.

29
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.

30
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis

II. 8. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang

terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.10

Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,

pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai

ada penyakit sistemik yang menyertai.

31
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat

imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi.

Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan

penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

 Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2 jenis

NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau

omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

 Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,

dipertahankan menggunakan NSAIDs.

 Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat digunakan.

Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine,

mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan

Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah

pilihan utama.

 Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator seperti infliximab

atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

 Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan pertama,

kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.

 Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.


Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses

nekrosis yang terjadi.

32
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa

antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak

boleh digunakan.

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan

konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi

imunosupresif.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau

kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi

langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai

penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat

peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi

trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea atau

telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum, atau material

lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada ulkus kornea yang berat

atau keratolisis.7,11,12

Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi

tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberia kemoterapi.11

33
Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis

34
Skema Panduan Penatalaksanaan Pasien dengan Skleritis

35
B.9.Komplikasi

Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina

eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan

alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.

Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering

disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka

dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid. 1,8

Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau

keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka

dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis

sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis

sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi

akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi

neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi

jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat

pada keratitis sklerotikan. 3,8

B.10.Prognosis

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada

spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe

skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener

adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis

nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah

tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada

36
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun.

Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes

mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan

penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih

buruk.

37
BAB III

PENUTUP

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh

destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.

Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit

sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis,

skleritis anterior dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri,

mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi

terapi medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma,

granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis

skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.

38
Daftar Pustaka

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.


Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o Congress Catalog.
1988; 111-6

3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20

4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with rheumatoid arthritis
and with other systemic immune-mediated diseases. Ophthalmology. 1994.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic vasculitic
diseases. Ophthalmology. 1995.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch Ophthalmol. 2008;126(5):651-
655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and Scleritis:
Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469–476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-Specific and
Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with Non-Infectious
Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol
1999;83:410–413

39
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare sclera excision of
pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:1050–1052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile and
Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and scleritis
associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9

40

Anda mungkin juga menyukai