Journal Reading OCT
Journal Reading OCT
Authors :
Dimuat di :
https://www.ajo.com/article/S0002-9394(15)00130-0/fulltext
Diunduh dari :
https://www.ajo.com/article/S0002-9394(15)00130-0/fulltext
1
ABSTRAK
Tujuan
Untuk menggambarkan Optical Coherence Tomography (OCT) di mata dengan skleritis anterior
aktif dan membandingkan dengan episkleritis dan normal kontrol.
Desain
Metode
Kami memasukkan total 30 mata dari 30 pasien dengan unilateral anterior sklera atau
peradangan episkleral. 30 mata kontralateral tanpa penyakit okular aktif sebagai kontrol. OCT
dilakukan di atas anterior sklera di area yang meradang pada semua kasus. Gambar OCT
dianalisis untuk menentukan ketebalan sklera dan ada atau tidaknya daerah hiporeflektif skleral
menunjukkan edema intraskleral.
Hasil
Ada 17 pasien pria dan 13 pasien wanita. Usia rata-rata adalah 43 tahun dengan rentang usia 21–
77 tahun. 18 pasien mengalami skleritis anterior dan 12 pasien menderita episkleritis. Rata-rata
ketebalan transconjunctival skleral adalah 747 mm (SD ± 68.97) dengan kisaran 616–877 mm
pada mata normal, 882 mm (SD ± 87.35) dengan kisaran 773-1089 mm pada pasien dengan
skleritis, dan 825 mm (SD ± 85,57) dengan kisaran 718–949 mm pada pasien dengan episkleritis.
Kesimpulan
Pasien dengan anterior skleritis aktif menunjukkan peningkatan ketebalan dari sclera dan adanya
daerah hiporeflektif intrascleral edema oleh OCT dibandingkan dengan pasien dengan
episkleritis dan mata normal. OCT menambahkan informasi kualitatif dan kuantitatif untuk
diagnosis dan pemantauan pasien dengan skleritis.
Keyword
Scleritis, episcleritis, diagnosis
2
Definisi Operasional
Sklera adalah lapisan kolagen yang memberikan integritas struktural ke dunia. Keterlibatan
sklera karena peradangan dapat menimbulkan variabel manifestasi klinis mulai dari episode
selflimiting ringan ke bentuk skleritis yang lebih parah. Secara klinis skleritis anterior mungkin
memiliki beberapa pola yang berbeda termasuk skleritis difus, skleritis nodular, dan nekrosis
skleritis (dengan atau tanpa peradangan). Mayoritas kasus nekrosis skleritis biasanya disebabkan
oleh autoimun atau infeksi yang mendasari. Mengobati penyebab yang mendasari dapat
mengubah secara umum serta prognosis okular pada pasien-pasien ini. Perbedaan antara
episkleritis dan skleritis penting untuk diagnosis dan manajemen tatalaksana. Perjalanan klinis
dan prognosis visual mungkin berbeda. Pasien dengan diagnosis skleritis dapat dikaitkan dengan
penyakit sistemik yang mendasarinya, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa kasus.
Perbedaan antara 2 bentuk peradangan, skleritis dan episkleritis, dapat diperoleh dari riwayat
penyakit dan melakukan pemeriksaan klinis yang tepat. Namun dalam beberapa kasus,
perbedaan antara skleritis dan episkleritis mungkin sulit. Karena metode yang terbatas untuk
membedakan satu dari yang lain dan tidak adanya tes obyektif untuk menetapkan diagnosa.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengkarakterisasikan hasil dari Optical Coherence Tomography
(OCT) di mata dengan peradangan skleral dan membandingkan dengan normal kontrol. Kami
memutuskan untuk menggunakan diagnostik noninvasif tes oleh OCT untuk membedakan antara
skleritis dan episkleritis.
3
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian :
2. Populasi : 30 pasien bersedia mengikuti penelitian
3. Waktu : Juni 2012 – Desember 2013
4. Sampel : 30 pasien dengan diagnosis peradangan sklera atau episkleral
5. Jenis Data : Kuantitatif
6. Prosedur Penelitian :
Pasien diberikan inform consent untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Total 30 mata
pasien secara berurutan masuk dalam kriteria inklusi. Semua pasien memiliki diagnosis
klinis peradangan pada skleral atau episklera unilateral pada periode dari Juni 2012
hingga Desember 2013. Kontralateral 30 mata tanpa penyakit okular aktif berfungsi
sebagai kontrol. Diagnosis episkleritis terdiri dari gejala akut nyeri ringan pada mata
atau nyeri sesekali yang terlokalisasi ke mata dengan nyeri ringan superfisial episkleral
hiperemia. Diagnosis klinis skleritis dibuat berdasarkan onset gejala yang bertahap dari
mata yang lebih berat rasa sakit yang menyebar ke jaringan sekitarnya, nyeri sedang
hingga rasa nyeri yang berat, fotofobia, dan pengaburan visus dan tanda-tanda sumbatan.
Kongesti maksimal dalam jaringan episkleral yang mendalam dengan beberapa kongesti
di jaringan superfisial episkleral, dengan kedua pemeriksaan eksternal siang hari dan
slit-lamp biomicroscopy. Pasien telah menjalani pemeriksaan mata lengkap. Evaluasi
medis oleh internis dilakukan sesuai kebutuhan dan pemeriksaan laboratorium dilakukan
setiap kali diindikasikan. Penyebab lain mata merah dieksklusikan. Kriteria inklusi
adalah pasien di atas usia 18 tahun dengan tanda-tanda klinis skleritis anterior atau
episkleritis. Kriteria eksklusi terdiri dari pasien yang mempunyai penyebab lain dari
peradangan permukaan mata seperti keratitis atau konjungtivitis, pterigia dan pingekula,
dan pasien 18 tahun atau lebih muda. OCT dari sklera anterior di bagian yang meradang
dilakukan pada semua kasus menggunakan spectral domain OCT (3D OCT-2000;
Topcon Corp, Tokyo, Japan). Untuk mencapai pengukuran yang akurat, kami meminta
semua pasien untuk melihat target fiksasi untuk memastikan bahwa orientasi area yang
diinginkan tegak lurus ke gelombang cahaya yang masuk dari mesin OCT. Orientasi
sinar yang sama digunakan untuk mata dengan skleritis anterior serta mata kontrol.
4
Gambar OCT dinilai untuk mendeteksi ada atau tidaknya area hiporeflektif sklera yang
menunjukkan edema intraskleral. Ketebalan dan konsistensi konjungtiva, episklera, dan
sklera diukur dalam semua kasus. Inklusi dari jaringan yang menutupi sklera dalam
pengukuran ketebalan yaitu karena ketidakmampuan untuk mengidentifikasi secara tepat
perbatasan sklera dari episklera yang menyatu di atasnya. Pengukuran ketebalan
dilakukan dengan memperoleh rata-rata dari 3 bacaan, yang dilakukan pada sklera yang
radang di tengah antara limbus dan tempat insersi dari otot rektus (Gambar 1).
Pengukuran dilakukan pada bagian difus menghindari daerah ireguler atau tampak
nodular. Daerah yang sama persis digambarkan di mata kontrol dan gambar yang sesuai
dibandingkan dengan mata penelitian.
5
HASIL
Ada total 30 pasien. Semua pasien mempunyai diagnosis klinis peradangan skleral anterior atau
pradangan episkleral. Ada 17 pasien pria dan 13 pasien wanita. Usia rata-rata 43 tahun dengan
rentang usia 21-77 tahun. Gejala utama yang muncul pada pasien dengan episkleritis adalah
kemerahan dan nyeri mata ringan, yang terlokalisasi ke mata; pada pasien dengan skleritis gejala
utama yang timbul adalah nyeri mata sedang sampai berat yang menyebar ke bagian alis dan
sinus, nyeri berat, kemerahan, fotofobia, penurunan ketajaman visus. Secara klinis, pada kasus
episkleritis kongesti maksimal dicatat secara superfisial dan dalam kasus skleritis kongesti
maksimal dicatat lebih dalam. OCT dari sklera di 30 mata normal kontrol menunjukkan
ketebalan skleral 747 mm (kisaran; 616–877, SD 6 68.97) (Gambar 1). Pada 18 pasien dengan
diagnosis klinis skleritis, scan OCT dari sklera mengungkapkan hiporeflektif daerah yang
menggambarkan edema intraskleral (Gambar 2). Mata dengan keterlibatan sklera menunjukkan
peningkatan ketebalan sklera dari OCT dengan ketebalan rata-rata 882 mm (rentang: 773–1089,
SD 6 87.35) (P ¼ .001). Dari 12 pasien dengan diagnosis klinis episkleritis, OCT menunjukkan
keterlibatan episklera yang dominan tanpa keterlibatan sklera pada bagian hiporeflektif (Gambar
3) dan ketebalan rata-rata 825 mm (kisaran: 718–949, SD 6 85.57) (P ¼ .003).
6
DISKUSI
Perbedaan epikleritis dan skleritis adalah sangat dibutuhkan dalam keadaan klinis dan mungkin
memiliki implikasi dalam follow up dan manajemen. Episkleritis jarang membutuhkan terapi
sistemik, sedangkan skleritis membutuhkan terapi sistemik. Diagnosis yang tepat penting dalam
manajemen, untuk menghindari penundaan terapi dan kehilangan penglihatan atau
memberitahukan pasien supaya tidak memerlukan terapi sistemik. Ada keterbatasan diagnostik
tes untuk menetapkan diagnosis yang tepat. Segmen anterior angiografi fluorescein telah
ditemukan untuk menampilkan karakteristik pada episkleritis dan skleritis, untuk membantu
diagnosis. Angiografi fluoresens, adalah prosedur invasif dan memiliki keterbatasan dalam
mendiagnosis skleritis.
7
Optical coherence tomography adalah diagnostik noninvasif teknik untuk resolusi tinggi,
pencitraan cross-sectional dari jaringan okuler dengan mengukur cahaya backscattered. OCT
memiliki banyak aplikasi dalam praktek modern ophthalmology karena sifatnya yang tidak
invasif, mudah digunakan, dan kualitas gambar yang tinggi. OCT telah digunakan secara luas
untuk diagnosis penyakit retina. Saat ini, OCT telah diterapkan untuk pencitraan segmen anterior
mata. Segmen anterior OCT selalu memungkinkan dekat pencitraan tingkat video perolehan;
memberikan penetrasi yang lebih besar melalui jaringan dengan pencar cahaya tinggi, seperti
sklera dan limbus; dan memungkinkan visualisasi kornea, iris, badan siliaris, sulkus siliaris, dan
lensa anterior. OCT telah digunakan untuk menggambarkan pasien skleritis sebelumnya,
meskipun hanya laporan kasus yang muncul dalam literatur. Di penelitian kami, kami
menggunakan teknologi OCT spektral-domain memvisualisasikan sklera anterior dalam kasus-
kasus peradangan skleral. Kami menilai kemampuan OCT segmen anterior untuk dideteksi
lapisan anatomi keterlibatan maksimal sklera oleh edema dan untuk mengukur ketebalan skleral
8
pada kondisi normal dan sklera yang radang. Ketebalan rata-rata sklera normal 747 mm
(SD668.97). Lapisan anatomi dari sklera itu terlihat jelas dengan pengaturan teratur lapisan
scleral tanpa edema yang mengganggu. Mata dengan predominan Keterlibatan sklera terungkap
meningkatkan ketebalan sklera dibandingkan dengan mata normal. Disini kami menggambarkan
kantong hiporeflektif di hiperreflektif stroma skleral pada skleritis, yang kami anggap dapat
mewakili edema scleral (Gambar 2). Kehadiran garis-garis ini membagi dua lamellae skleral
menyarankan keterlibatan sklera oleh proses inflamasi dan diagnosis skleritis menjadi lebih
mungkin. Di sisi lain, pasien dengan keterlibatan episklera yang dominan menunjukkan
peningkatan episklera dan jaringan di atasnya tanpa perubahan reflektifitas sklera (Gambar 3).
Ketebalan skleral pada pasien dengan episkleritis jauh lebih tinggi daripada rata-rata untuk
kelompok normal tetapi kurang dari pasien dengan skleritis. OCT membantu menunjukkan
penurunan ketebalan sklera dengan resolusi skleritis berikut pengobatan (Gambar 4 dan 5). Kami
mendemonstrasikan hal itu OCT dapat berfungsi sebagai alat untuk menindaklanjuti respons dan
resolusi perawatan berikut. Segmen anterior OCT tampaknya menjadi alat yang menjanjikan di
pencitraan sklera. Dalam studi ini, sklera menebal pada skleritis anterior aktif dibandingkan
dengan mereka dengan episkleritis. Namun, perbedaan skleritis dan episkleritis tidak boleh
hanya didasari pada ketebalan total dari sklera dan episklera, pada skleritis banyak ketebalan
yang lebih besar. Meskipun ini mungkin berlaku untuk mayoritas kasus skleritis, ini mungkin
tidak selalu membantu, karena beberapa kasus episkleritis nodular mungkin memiliki ketebalan
yang lebih besar daripada kasus skleritis difus. Untuk alasan inilah kami akan melakukannya
hati-hati terhadap penggunaan ketebalan sebagai penanda untuk menentukan kondisi peradangan
yang muncul. Kuncinya adalah mencari untuk kantong edema di sklera. Deteksi dari adanya
edema intraskleral oleh OCT menunjukkan keterlibatan dari sklera oleh proses inflamasi dan
diagnosis skleritis. Memperluas penggunaan OCT dalam praktek mata saat ini memungkinkan
untuk penerapan teknologi ini untuk diagnosis peradangan sklera. Sampai saat ini, tidak ada
protokol OCT spesifik untuk menggambarkan sklera dan ada tidak ada algoritma segmentasi
otomatis untuk membedakannya dari jaringan di atasnya. Baru-baru ini, suatu algoritma yang
disesuaikan untuk segmen anterior OCT memungkinkan pencitraan resolusi tinggi dari sklera.
Algoritma baru untuk segmen anterior Pencitraan OCT memungkinkan membedakan nekrosis
dari skleritis non-nekrosis. Biomikroskopi ultrasound frekuensi tinggi (UBM) telah digunakan
untuk membedakan penyakit skleral dan episkleral. Teknologi UBM, awalnya dikembangkan
9
oleh Pavlin, Sherar, dan Foster, didasarkan pada 50- hingga 100-MHz transduser dimasukkan ke
pemindai klinis B-mode.
Kenyataannya, gambar yang diterbitkan dari studi Pavlin dan rekan-rekannya pada awal tahun
1990 cukup luar biasa karena seluruh ketebalan sklera dapat digambarkan, termasuk bagian
bawah koroid, yang terkadang terlibat. Unit yang tersedia secara komersial menyediakan lateral
dan aksial resolusi fisik masing-masing sekitar 50 mm dan 25 mm. Penetrasi jaringan kira-kira
4–5 mm. OCT spektral domain memiliki keuntungan resolusi jauh yang lebih tinggi, tetapi
memiliki penetrasi yang sangat buruk melalui opaque, jaringan terhidrasi. OCT time domain,
yang beroperasi pada panjang gelombang 1310 nm, secara teoritis seharusnya menembus
jaringan lebih baik daripada sebuah OCT spektral domain panjang gelombang 830 nm; bagian
yang lebih dalam dari sklera mungkin lebih baik diakses dengan time domain OCT. Namun,
resolusi aksial dari time domain OCT lebih buruk daripada OCT spektral domain dan time
domain OCT memiliki rasio signal-to-noise (SNR) yang lebih buruk, jadi OCT time domain
tidak dipertimbangkan untuk pencitraan segmen anterior. Keterbatasan penelitian kami termasuk
jumlah pasien yang relatif rendah dan segmentasi gambar manual. Selanjutnya, kami mengukur
seluruh ketebalan bagian OCT dari konjungtiva ke perbatasan bagian dalam sklera karena
definisi jaringan yang buruk di bagian atas sklera dan jarak dekat sklera ke jaringan episkleral.
Kekuatan penelitian termasuk reproduktifitas pencitraan dan data klinis yang baik. Beberapa
penerapan OCT dalam mendiagnosis kondisi skleralnya dapat dipercaya. Di masa depan, OCT
mungkin bisa membantu dalam menunjukkan daerah skleral yang menipis dan prolaps uvea
dalam kasus nekrosis skleritis. Jika bisa dibuktikan jika satu itu dapat dengan jelas membedakan
antara pemadatan skleral dan jaringan yang hilang karena peradangan, informasi ini berguna
dalam menghindari ketidak perluan dalam penempatan graft tektonik. Pada pasien dengan
perforasi skleromalasia, bisa jadi menunjukkan bahwa ketebalan bagian atas sklera dapat
dimonitor dari waktu ke waktu untuk mengetahui perkembangan penyakit. Kita percaya bahwa
dengan munculnya teknologi OCT akan menjadi praktik diagnostik yang baik. Singkatnya, OCT
spectral domain dapat digunakan sebagai alat diagnostik tambahan dalam merawat pasien
dengan episkleritis. Kemajuan dalam teknologi OCT dapat membantu dalam memberikan
gambaran beresolusi lebih tinggi dan definisi yang lebih baik dari jaringan skleral itu sendiri.
10
KESIMPULAN
Pasien dengan anterior skleritis aktif menunjukkan peningkatan ketebalan dari sclera dan adanya
daerah hiporeflektif intrascleral edema oleh OCT dibandingkan dengan pasien dengan
episkleritis dan mata normal. OCT menambahkan informasi kualitatif dan kuantitatif untuk
diagnosis dan pemantauan pasien dengan skleritis.
11
TINJAUAN PUSTAKA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari
kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat
transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan
jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan
dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen,
yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak,
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis
optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan
sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa
vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan.
12
Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun
melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat
pada sklera.3
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata
posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk
bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan
otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung
dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk
suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat
optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga
Gambar 2. Sklera
Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
13
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus
optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran
seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 μm dan lebar 100-
140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
I.2. FISIOLOGI
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa
menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya
aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang
terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera
dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan
yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering
terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai
II. Skleritis
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1
14
II.2. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94%
adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset
perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena
daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi
yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan
disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan
pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal,
15
II. 4. Patofisiologi Skleritis
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen kasus)
berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara
polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama
dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien
yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus
dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat
16
disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG
dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi
sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen
kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor
dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi
dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I,
secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan
kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan
deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan
oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi
menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam
lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah
oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat.
Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu
memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,
kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T
tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan
17
juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel
mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu
48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang
paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan
makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik
dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum
merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks
imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon
kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari
sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun
pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan skleritis
membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan meningkatnya TNF
pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini melaporkan bahwa untuk pertama
kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam serum pasien dengan tipe skleritis non infeksius. 10
18
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi
19
Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan beberapa protein dari
segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan, khususnya pada kejadian
uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang melaorkan autoantibodi pada idiopatic
skleritis. Akhir-akhir ini diperlihatkan autoantibodi secara langsung melawan dua polipeptida
yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini berhubungan dan memunculkan kemungkinan
Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis
memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit T CD-4, yang mana
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi
kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).
Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis akibat dari
operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke dalam mata dibawah
proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas
1. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%
dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar
14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan
20
penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari
suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih
1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada
21
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul
3.
Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien
dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan
operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina.
Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau
limbus.11(1050pdf)
Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai
22
Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien yang sudah
2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari
pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat
di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior
dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.
Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan
sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
II.6. Diagnosis
23
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.8
a. Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat
penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu
pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,
fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..
Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi.
Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,
rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat
hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis
tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh
perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,
Gambar 7. Skleritis
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik,
24
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular disorder. Ciri-
cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi kortikosteroid, dan
merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses kembalinya ketajaman visus
ibandronate.
9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya
terhadap pengobatan.
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam
penglihatan.11
25
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan apabila
Pemeriksaan Sklera10
o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan,
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan
aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan
beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan
posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema.
episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.2
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan
26
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga
dapat dilakukan.
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.
c. Pemeriksaan Penunjang
8.
B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.5
27
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi
cairan pada kapsul tenon
a. Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva
dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari
infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya
mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit
reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses
peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan
dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.
28
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal.
Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran
benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila
benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul
rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil
bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
29
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.
30
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis
II. 8. Penatalaksanaan
terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga.10
Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,
pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai
31
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat
Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan
NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine,
pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator seperti infliximab
o Necrotizing scleritis
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses
32
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan
imunosupresif.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi
langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai
penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat
peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi
trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea atau
telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum, atau material
lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada ulkus kornea yang berat
atau keratolisis.7,11,12
Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi
tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberia kemoterapi.11
33
Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis
34
Skema Panduan Penatalaksanaan Pasien dengan Skleritis
35
B.9.Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina
alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.
Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering
disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau
keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka
dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis
sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis
sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi
akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi
neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi
jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat
B.10.Prognosis
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe
skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener
adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis
nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah
tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
36
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun.
Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes
mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan
penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih
buruk.
37
BAB III
PENUTUP
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit
sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis,
skleritis anterior dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri,
mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi
granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis
38
Daftar Pustaka
2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o Congress Catalog.
1988; 111-6
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. 118-20
4. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with rheumatoid arthritis
and with other systemic immune-mediated diseases. Ophthalmology. 1994.
5. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic vasculitic
diseases. Ophthalmology. 1995.
6. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Clinical
Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and Episcleritis.
Ophthalmology 2012;119:43–50
7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
8. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R. Antineutrophil
Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch Ophthalmol. 2008;126(5):651-
655
9. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and Scleritis:
Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469–476
10. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A. Sclera-Specific and
Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with Non-Infectious
Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
11. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol
1999;83:410–413
39
12. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare sclera excision of
pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:1050–1052
13. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile and
Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
14. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and scleritis
associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9
40