Anda di halaman 1dari 10

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS

REFLEKSI KASUS
MANAJEMEN PERIOPERATIF PASIEN CKD

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Jogja

Diajukan Kepada:
dr. Basuki Rahmat Sp. An.

Disusun oleh :
Gita Maera Nurjanah
20184010132

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019

01
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
I. PENGALAMAN

Seorang pria 61 tahun dirawat inap di bangsal Bougenvile untuk program perencanaan
operasi debridemen ulkus diabetic pedis dextra. Pasien didiagnosis diabetic foot oleh dokter
spesialis bedah mulut. Airway : jalan nafas (orofaring) clear, skor Mallampati 1. Breathing :
nafas spontan, RR 22x/menit, vesikuler +/+ normal, suara tambahan -/-. Circulation : nadi
78x/menit, reguler, tekanan darah 140/90 mmHg, Disability : GCS E4V5M6, kesadaran compos
mentis. Riwayat penyakit dahulu DM (+) dengan insulin 8 IU x 3, hipertensi (+) , gagal ginjal (+)
HD rutin rabu-sabtu, Penyakit jantung, asma dan alergi disangkal. Pemeriksaan penunjang
laboratorium darah pre operasi AL 17.8 (H), Hb 10.7 (L), Ur 80 (H), Cr 6.0 (H),. Diagnosis
status fisik ASA II. Pasien direncanakan menggunakan teknik Regional Anestesi.

II. PERMASALAHAN
Bagaimana manajemen perioperatif pada pasien Cronic Kidney Disease?

III. PEMBAHASAN
A. Definisi Cronic Kidney Disease
Chronic kidney disease (CKD) dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi,
nefrosklerosis, diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.
Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah
GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering
disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan
sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui
arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui kateter yang diimplantasikan.
B. Perubahan pada Chronic Kidney Disease (CKD)
1. Metabolik
Pasien dengan penyakit ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang
multipel termasuk hiperkalemia, hiponatremia, hiperphospatemia, hipermagnesemia,
hiperuricemia, dan hipoalbuminemia. Retensi air dan natrium akan mengakibatkan
pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang berlebihan. Kegagalan untuk

02
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis metabolik dengan
anion gap yang tinggi. Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.
Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada
jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit,
namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh
karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi
kalium). Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat
(umumnya dari antasida yang mengandung magnesium). Hipokalsemia terjadi dengan sebab
yang tidak diketahui. Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam
kondisi alkalosis. Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan
sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama
dialisis peritonium) juga berperan dalam hipoalbuminemia.
2. Hematologik
Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi
hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi
sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Asidosis metabolik juga mengakibatkan
pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi. Fungsi platelet dan sel
darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini
dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi.
Pada pasien dengan penurunan aktivitas 7 platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan
agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari
heparin.
3. Kardiovaskuler
Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada
penurunan kapasitas pembawa oksigen. Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin
angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum
dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi
natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan
hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum.
4. Pulmonary

03
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi
permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik. Cairan ekstravaskular pulmonum
biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan perluasan gradien
alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan
permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru
walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks
menyerupai ”butterfly wings”.
5. Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi
perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan
jarang menggunakannya. Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal
ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan
fraktur. Kelainan metabolisme lemak sering 8 mengakibatkan hipertrigliseridemia dan
kemungkinan berperan dalam atherosklerosis. Peningkatan dari tingkat protein dan
polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini
berhubungan dengan hormon paratiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing
hormone, dan prolaktin.
6. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia.
Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan
saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien. Penundaan pengosongan
lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya aspirasi
perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus
hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.
7. Neurologis
Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik
encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia. Neuropati
autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati
perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah

C. Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anastesi

04
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
1. Agen Intravena
1) Propofol & Etomidate
Secara Farmakokinetik tidak berpengaruh secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal.
2) Barbiturat
Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Asidosis
menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non
ion pada obat.
3) Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit
yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi
pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada
pasien-pasien hipertensi ginjal.
4) Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin.
Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat
pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada
gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.
5) Opioid
Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati,
beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah. Kecuali
morfin dan meferidin, Akumulasi morfin dan metabolit meperidine pernah dilaporkan
memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.
Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-
kejang. Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak
terpengaruh oleh gagal ginjal.
6) Agen-Agen Antikolinergik
Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari
50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi
akumulasi terjadi bila dosis diulang.
7) Phenothiazines

05
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan. Phenothiazines, seperti promethazine
bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh azotemia. Kerja antiemetiknya bisa
berguna untuk penanganan mual preoperative. Semua H2 reseptor bloker sangat
tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah
di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal.
2. Agen-Agen Inhalasi
1) Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak
tergantung pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan
biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Percepatan
induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat ( Hb< 5g/dl). Enflurane dan
sevoflurane (dengan aliran gas < 2Lpm) tidak disarankan untuk pasien-pasien dengan
penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.
2) Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50%
dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.
3. Pelumpuh Otot
1) Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang
dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol
sebaiknya digunakan.
2) Cisatracurium, atracurium & Mivacurium
Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium
didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik
hofman.Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-
pasien dengan gagal ginjal.
3) Vecuronium & Rucoronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat
dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang
sedikit pada pasien renal insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah
dilaporkan.

06
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
4) Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium
Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di
metabolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh
waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus
dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal abnormal.
5) Metocurine, Gallamine & Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus
dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
6) Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine &
pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan ginjal
memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas.
D. Manajemen Perioperatif
Hemodialysis perioperatif : Pasien harus menjalani dialysis dalam 24 jam sebelum operasi
elektif untuk meminimalkan kemungkinan kelebihan cairan tubuh, hyperkalemia dan
perdarahan uremic. Tergantung dari rencana operasi, penggunaan heparin harus dihindari atau
diminimalisir selama hemodialysis preoperative.
E. Evaluasi Preoperatif
Evaluasi preoperative pada pasien dengan CKD meliputi fungsi ginjal, proses patologis yang
mendasari, dan kondisi komorbid. Evaluasi serum kreatinin sangat bermanfaat untuk menilai
fungsi ginjal. Monitoring tandatanda vital (hipotensi ortostatik, takikardia), dan menilai tekanan
pengisian atrial. Pengukuran kadar gula juga perlu dilakukan karena diabetes sering menjadi
penyakit penyerta. Tekanan darah harus terkontrol dengan baik sebelum pembedahan elektif.
Pengobatan anti hipertensi sebaiknya dilanjutkan, tetapi golongan penghambat ACE dan ARB
sebaiknya dihentikan pada hari operasi untuk meminimalisir terjadinya hipotensi intra operatif.
Rekomendasi umum untuk serum kalium tidak melebihi 5.5 mEq/L pada hari operasi. Pasien
harus diperiksa terhadap adanya anemia. Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya
diberikan pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6/7 g/dl) atau ketika kehilangan darah
sewaktu operasi diperkirakan. Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika
ada pertimbangan regional anestesi. Adanya koagulopati preoperative harus ditangani dengan
pemberian desmopressin.

07
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
F. Pertimbangan Intraoperatif
1. Induksi anestesi
a. Banyak pasien dengan ESRD memberikan respon terhadap induksi anestesi seperti pada
pasien yang mengalami hypovolemia. Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan
saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid. Dosis dari zat
induksi harus dikurangi. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering
digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa
digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi. Succinylcholine, 1,5
mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5
meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg)
atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan
hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin.
Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai alternatif, namun efeknya harus
diperhatikan. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan penghambat ACE atau
penghambat ARB berisiko lebih tinggi mengalami hipotensi intra operatif, terutama
pada kondisi kehilangan darah akut selama operasi ataupun pada neuraxial anestesi.
b. Terapi Cairan
Cairan infus ringer laktat ataupun cairan infus lain yang mengandung kalium harus
digunakan secara hati-hati. Menjaga keluaran urine paling sedikit 0.5 mL/kg/jam secara
umum dapat diterima. Penyebab terbanyak terjadinya oliguria adalah tidak cukupnya
volume cairan, pemberian diuretic pada pasien ini akan semakin memperparah fungsi
ginjal. Keluaran urin dapat diganti dengan pemberian NaCl 0.45%. Pasien yang
tergantung pada hemodialisa memerlukan perhatian khusus terhadap manajemen cairan
perioperative. Hilangnya fungsi ginjal menyebabkan sempitnya batas keamanan apakah
cairan yang diberikan kurang atau bahkan berlebihan
G. Manajemen Post Operatif
Walaupun residu dari blok neuromuscular setelah pemberian agen pembalik blockade
neuromuscular jarang terjadi, kejadian ini harus kita pertimbangkan sebagai penyebab
kelemahan otot pada pasien pada saat awal periode post operatif. Perhatian khusus harus
diberikan pada pemberian opioid, karena pada pasien ini dapat terjadi depresi system

08
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
saraf pusat dan hipoventilasi bahkan pada pemberian opioid dosis kecil. Pemberian nalokson
diperlukan bila terjadi efek samping tersebut. Pemilihan opioid yang terbaik adalah yang tidak
memiliki metabolit aktif dan tidak bergantung pada ginjal untuk ekskresinya. Obat golongan
NSAID sebaiknya dihindari karena dapat mengakibatkan hipertensi, mempresipitasi terjadinya
edema dan peningkatan resiko komplikasi kardiovaskular.

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Morgan G.E., Mikhail M.S., Murray M.J., 2013. Clinical Anesthesiology : United States.
Appleton & Lange.
2. Stoelting R.K, et al., 2012. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease, 6th edition.
Elsevier Saunders, Philadelphia
3. Miller R.D., 2010. Miller’s Anesthesia, 7th ed. Elsevier Saunders,Philadephia
4. Jackson M B, Mokherjee S., 2015. The Perioperative Medicine Consult Handbook 2nd edition.
Springer, London.
5. Agasti T K, 2011. Textbook Of Anesthesia For Post Graduates. Jaypee Brothers Medical
Publisher, New Delhi.
6. Craig R G, Hunter J M, 2008. Recent Developments In The Perioperative Management Of
Adult Patients With Chronic Kidney Disease, British Journal of Anaesthesia 101 (3): 296–310
(2008).
7. Rang S T, et al, 2006. Anaesthesia for Chronic Renal Disease and Renal Transplantation, eau -
ebu update series 4 (2006) 246–256
8. Wagener G, Brentjens T E, 2010, Anesthetic Concerns in Patients Presenting with Renal
Failure. Anesthesiology Clin 28 (2010) 39–54
9. Zura M, Sakic L, 2013. Regional Anaesthesia And Chronic Renal Disease. Periodicum
Biologorum, VOL. 115, No 2, 271–273, 2013.
Yogyakarta, Mei 2019
Preceptor,

09
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2019
REFLEKSI KASUS
dr. Ardi Pramono, Sp.An., M. Kes

010

Anda mungkin juga menyukai