Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

HISTOLOGI SISTEM PERNAFASAN

Disusun Oleh :

1. KURNIA SARI
2. INDAH KUSUMA DEWI

KELOMPOK 13
SEMESTER II

UNIVERSITAS MH THAMRIN

Jl. Raya Pondok Gede No. 23 – 25 Kramat Jati – Jakarta Timur 13550 Telp. (021)
8096411 Fax (021) 8092235. E-mail : info@thamrin.ac.id

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmatnya kami
dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa kami mengucapkan terimakasih
kepada Dr. Dra. Sy. Miftahul El Jannah T.M.Biomed yang telah memberikan tugas ini
kepada kami sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan
berpengetahuan.
Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami ber terimakasih kepada semua yang telah membantu
dalam menyelasaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, untuk itu kami mengharapkan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.

Jakarta, 25 Juni 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai makhluk hidup kita masih hidup sampai saat ini karena setiap saat kita
selalu bernafas menghirup udara. Makhluk hidup, di dunia ini, baik itu hewan maupun
manusia akan mati (wafat) jika sudah tidak dapat bernafas lagi. Sebenarnya bagaimana
sistem pernafasan yang terdapat dalam tubuh kita ? maka dari itu penulis ingin
mengetahui lebih banyak tentang sistem pernapasan pada mammalia khususnya
manusia.
Sistem pernapasan secara garis besarnya terdiri dari paru-paru dan susunan saluran
yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, tekak, pangkal
tenggorok, tenggorok, cabang tenggorok.
Metabolisme normal dalam sel-sel makhluk hidup memerlukan oksigen dan karbon
dioksida sebagai sisa metabolisme yang harus dikeluarkan dari tubuh. Pertukaran gas
O2 dan CO2 dalam tubuh makhluk hidup di sebut pernapasan atau respirasi. O2 dapat
keluar masuk jaringan dengan cara difusi.
Pernapasan atau respirasi dapat dibedakan atas dua tahap. Tahap pemasukan oksigen
ke dalam dan mengeluarkan karbon dioksida keluar tubuh melalui organ-organ
pernapasan disebut respirasi eksternal. Pengangkutan gas-gas pernapasan dari organ
pernapasan ke jaringan tubuh atau sebaliknya dilakukan oleh sistem respirasi. Tahap
berikutnya adalah pertukaran O2 dari cairan tubuh (darah) dengan CO2 dari sel-sel
dalam jaringan, disebut respirasi internal.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat diperoleh beberapa rumusan masalahnya yaitu
antara lain:
1. Apa saja bagian-bagian saluran pernafasan?
2. Bagaimana struktur histologi dari masing-masing bagian tersebut?
3. Bagaimana mekanisme pernapasan pada manusia?
4. Apa macam-macam kelainan pernapasan pada manusia?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil beberapa tujuan, diantaranya:
1. Untuk mengetahui tentang bagian-bagian saluran pernafasan.
2. Untuk mengetahui struktur histologi masing-masing bagian saluran pernafasan.
3. Untuk mengetahui tentang mekanisme bernapas.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. HIDUNG

Gambar 1. Anatomi Hidung.2

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: Pangkal
hidung (bridge), batang hidung, (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela,
dan lubang hidung (nares anterior).1

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; serta tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.1

Udara memasuki hidung dan melewati permukaan konka nasal (nasal turbinates) yang
luas. Permukaan yang luas dan bergelombang ini berfungsi untuk menghangatkan,
melembabkan, dan menyaring udara yang masuk.3

Bagian dari rongga hdung atau kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial (septum nasi), dinding
lateral (terdapat 4 buah konka), dinding inferior dan superior.1

Batas Rongga Hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung1

Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh
konka media dan lamina papirasea. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan
tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila,
etmoid, frontal.

Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior
dan a. palatine mayor, yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area).1

Persarafan Hidung

Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1

2. FARING

Gambar 2. Anatomi Faring.

1) Nasofaring
Batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal.4
2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adala palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.4
Dinding Posterior Faring

1
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut.4

Tonsil
Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kapsul didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid),
tonsil palatine dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer.4

3) Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esophagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.4

Ruang Faringal

1. Ruang Retrofaring (Retropharyngeal Space)


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa
faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Abses retrofarin sering ditemukan
pada bayi atau anak.4
2. Ruang Parafaring (Fosa Faringo-maksila)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasar tengkorak dekat foramen jugularis dna
puncaknya pada kornu mayus os hyoid.4

3. LARING

Gambar 3.

Anatomi Laring.2

Laring merupakan
bagian yang terbawah
dari saluran napsa bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan
bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu
tulang, yaitu tulang hyoid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti
huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak tendo
dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke
atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan
membantu menggerakan lidah.5

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid. Kartilago
krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea.
Kartilago krikoid dihbungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk
kartilago krikoid berupa lingkaran.5

Gambar 4. Anatomi Laring (Kartilago)

1
Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior,
lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior,
ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hyoid lateral, ligamentum hiotiroid medial,
ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang
menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.5

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-
otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara kesulruhan,sedangkan otot-otot intrinsic
menyebabkan gerak bagian-bagian laring tertentu yang berhubungan dengan pita suara.

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid (suprahioid), m. digastrikus,
m. geniohioid. Otot intrinsik laring ialah m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika.5

Gambar 5. Anatomi Laring (Muskulus)

Rongga Laring

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare, maka
tebentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). 1 Bidang
antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plika
ventrikularis, disebut rima vestibule.5

Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum
laring (supraglotik), glotik dan subglotik (rongga laring yang terletak dibawah plika vokalis).
Rima glottis terdiri 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago. Bagian
intermembran ialah ruang anatara kedua plika vokalis, dan terletak di bagian anterior,
sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak
di bagian posterior.5
Gambar 6. Anatomi Laring dan Pita Suara.2

Epiglotis membantu melindungi laring saat proses menelan dengan mengarahkan makanan
kea rah esophagus. Kartilago aritenoid yang membantu proses pembukaan dan penutupan
glotis kurang jelas terlihat pada anak dibandingkan orang dewasa. Ruang subglotis
menyempit kea rah krikoid yang meruupakan bagian dari trakea. Pada anak usia kurang dari
3 tahun, cincin krikoid (cincin trakea pertama yang berbentuk lingkaran utuh) merupakan
bagian tersempit jalan napas, sementara pada anak besar atau dewasa, glotis merupakan
bagian tersempit.5

1
Histologi Sistem Saluran Pernapasan Atas

I. HIDUNG

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratified
collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.1

Mukosa olfaktorius dan konka superior, yaitu salah satu sekat bertulang dalam ronngga
hidung. Epitel olfaktorius dikhususkan untuk menerima rangsang baud an karenanya,
berbeda dengan epitel respiratorius; epitel ini adalah bertingkat semu silindris tinggi tanpa
sel goblet. Epitel olfaktorius terdapat di rongga hidung, pada kedua sisi septum, dan di
dalam konka nasal superior.6

Dibawah lamina propria terdapat kelenjar olfaktoris tubuloasinar (kelenjar Bowman).


Kelenjar ini menghasilkan secret serosa, berbeda dengan sekret campur mukosa dan
serosa yang dihasilkan kelenjar di bagian lain rongga hidung.6

II. FARING

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak
berlapis yang mengandung sel goblet. Orofaring, dan laringofaring, karena fungsinya
untuk saluran cerna , epitelnya gepeng berlapis tidak bersilia.4 Di sepanjang faring dapat
ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang
termasuk dalam sistem retikuloendotelial.4

III. LARING

Pita suara superior, atau pita suara palsu laring dibentuk oleh mukosa dan diteruskan
sebagai permukaan posterior epiglottis. Epitel pelapisnya adalah epitel bertingkat semu
silindris bersilia dengan sel goblet.6 Dibawah epitel, yaitu di dalam lamina propria,
terdapat kelenjar campur yang terutama terdiri dari mukosa. Duktus ekskretorius yang
bermuara di permukaan epitel, terlihat antara asini kelenjar. Limfonoduli terlettak di
dalam lamina propria pada sisi ventricular pita suara.6

Ventrikel adalah lekukan atau ceruk dalam memisahkan pita suara palsu dengan pita suara
sejati. Mukosa pada dinding lateral ventrikel serupa dengan mukosa pada pita suara
palsu.6

Mukosa pita suara sejati terdiri atas epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan lamina
proopria padat dan tipis tanpa kelenjar, jaringan limfoid, maupun pembuluh darah. Pada
apeks pita suara sejati terdapat ligamentum vocal yang terdiri atas serabut elastin padat
menyebar ke dalam lamina propria dan otot rangka vocal didekatnya. 6 Otot rangka
tiroaritenoid dan tulang rawan tiroid membentuk sisa dindingnya.
Epitel laring bagian bawah berubah menjadi epitel bertingkat semu silindris bersilia, dan
lamina propria dibawahnya mengandung kelenjar campur. Tulang rawan krikoid adalah
tulang rawan paling bawah laring.

Fisiologi Sistem Saluran Pernapasan Atas

A. HIDUNG
 Fungsi Respirasi
Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik
ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasofaring.
Fungsi pengatur suh dimungkinkan oleh banyak pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri
dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut pada
vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.1
 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum.1
 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).1
 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti.1
B. FARING
 Fungsi Menelan
Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disengaja. Fase
faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini
tidak disengaja. Fase esofagal, bolus makanan bergerak secara peristaltik di
esophagus menuju lambung.4
 Fungsi Faring dalam Proses Bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring.4

C. LARING
 Fungsi Proteksi
Mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan.5
 Fungsi Respirasi

1
Mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi
akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral,
sehingga rima glotis terbuka (abduksi).5
 Fungsi Fonasi
Membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada
diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m.
krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi
kartilago aritenoid.

TRAKEA
Trakea adalah saluran dengan panjang 12–14 cm dan di lapisi mukosa respiratorik
(Gambar 17-5). Di lamina propia, terdapat sejumlah besar kelenjar seromukosa
menghasilkan mucus encer dan di submukosa, 16-20 cincin kartilago hialin berbentuk C
menjaga agar lumen trakea tetap terbuka terbuka dari cincin kartilago ini terbadap di
permukaan posterior trakea, menghadap esophagus dan di hubungkan oleh suatu berkas
otot polos (m.trakealis) dan suatu lembar jaringan fibro elastis yang melekat pada
perikondrium. Keseluruhan organ dikelilingi oleh lapisan adventisia.

Gambar 17-5. Trakea. Dinding trakea dilapisi oleh epitel respiratorik (E) khas yang terletak di bawah
jaringan ikat (CT) dan kelenjar seromukosa (G) pada lamina propria. Submukosa memiliki cincin kartilago
hialin (C) berbentuk huruf C yang dilapisi oleh perikondrium (P). Cairan mukosa encer yang dihasilkan sel
goblet dan kelenjar membentuk suatu Iapisan yang memungklnkan pergerakan silia mendorong partikel
asing secara kontinu keluar dari sistem pernapasan di eskalator mukosiliar. Pintu masuk pada cincin
kartilago berada pada permukaan posterior, yang berhadapan dengan esofagus, dan memiliki otot polos
dan jaringan elastis. Hal ini memungkinkan distensi lumen trakea ketika sebagian makanan melewati
esofagus. M. trachealis di pintu masuk kartilago C juga berkontraksi selama refleks batuk untuk
menyempitkan lumen trakea dan menghasilkan dorongan udara dengan kuat dan mengeluarkan mukus dari
saluran napas. 50x. H&E.

Trakea menjadi rileks selama menelan untuk mempermudah pasase makanan dengan
memiungkinkan esophagus menonjol ke dalam lumen trakea, dengan lapisan elastis yang
mencegah peregangan berlebih di lumen. Pada refleks batuk, otot berkontraksi untuk
menyempitkan lumen trakea dan meningkatkan kecepatan pengeluaran udara dan
melonggarkan materi pada pasase udara.

PERCABANGAN BRONKUS & PARU


Trakea terbagi menjadi 2 bronkus primer yang memasuki paru di hilus beserta arteri,
vena, dan pembuluh limfe. Setelah memasuki paru, bronkus primer menyusur ke
bawah dan keluar dan membentuk 3 bronkus sekunder (lobaris) dalam paru kanan dan
2 buah di paru kiri (Gambar 17-6), dan masing-masing memasok sebuah lobus paru.
Bronkus lobaris ini terus bercabang dan membentuk bronkus tersier (segmental).
Setiap bronkus tersier, beserta cabang kecil yang dipasoknya, membentuk segmen
bronkopumonal – sekitar 10-12% setiap paru dengan simpai jaringan ikat dan suplai
darahnya sendiri. Keberadaan segmen paru semacam itu mempermudah reseksi
jaringan paru yang sakit melalui pembedahan tanpa mempengaruhi jaringan sehat di

sekitarnya.

1
Gambar 17-6. Percabangan bronkus. Trakea bercabang sebagai bronkus primer kanan dan kiri yang
memasuki hilus di sisi posterior setiap paru sepanjang pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf paru.
(a): Di dalam setiap paru,bronkus bercabang lebih lanjut membentuk percabangan bronkus, komponen
terakhir sistem hantaran udara. (b): Diagram memperlihatkan kode warna cabang utama percabangan
bronkus.

Bronkus tersier membentuk bronkus yang semakin kecil dengan cabang terminal yang
di sebut bronkiolus. Setiap brokiolus memasuki sebuah lobulus paru tempat bronkiolus
tersebut bercabang membentuk 5 hingga 7 bronkiolus terminalis. Lobulus paru berbentuk
piramida dengan apeks yang berhadapan langsung dengan hilus paru. Setiap lobulus
dibatasi oleh suatu septa jaringan ikat tipis, yang paling jelas terlihat pada fetus. Pada
orang dewasa, septa ini sering tidak utuh sehinggas batas lobulus paru menjadi tidak jelas.
Melalui bronkus dan bronkiolus yang semakin kecil menuju komponen respiratorik,
susunan histologis epitel dan lamina propria di bawahnya semakin sederhana.

Bronkus
Setiap bronkus primer bercabang cabang dengan setiap cabang yang mengecil
sehingga tercapai diameter sekitar 5 mm. mukosa bronkus besar secara struktural mirip
dengan mukosa trakea, kecuali pada susunan kartilago dan otot polosnya (Gambar 17-7).
Di bronkus primer, kebanyakan cincin kartilago sepenuhnya mengelilingi lumen
bronkus, tetapi dengan seiring mengecilnya diameter bronkus, cincin kartilago secara
perlahan digantikan lempeng kartilago hialin. Sejumlah besar kelenjar mukosa dan serosa
juga ditemui dengan saluran yang bermuara ke dalam lumen bronkus. Di lamina propria
bronkus, terdapat berkas menyilang otot polos yang tersusun spiral (Gambar 17-7 dan
17-8), yang menjadi lebih jelas terlihat di cabang bronkus yang lebih kecil kontraksi
lapisan otot ini bertanggung jawab atas tampilan berlipat mukosa bronkus yang diamati
pada sediaan histologis.
Gambar 17-7. Bronkus (segmental) tersier. Pada potongan melintang bronkus besar, lapisan epitel
respiratorik (E) dan mukosa terlipat akibat kontraksi otot polosnya (SM). Pada tahap ini di percabangan
bronkus, dindingnya juga dikelilingi oleh banyak bagian kartilago hialin (C) dan memiliki banyak kelenjar
seromukosa (G) di submukosa yang bermuara ke dalam lumen. Pada jaringan ikat yang mengelilingi
bronkus dapat terlihat arteri dan vena (V), yang juga bercabang sebagai pembuluh kecil yang mendekati
bronchiolus respiratorius. Semua bronkus dikelilingi oleh jaringan paru khas (LT) yang memperlihatkan
banyak ruang kosong di alveoli paru. 56x. H&E.
Lamina propria juga mengandung serat elastin dan juga memiliki banyak kelenjar
serosa dan mukosa (Gambar 17-8), dengan saluran yang bermuara ke dalam lumen
bronkus. Banyak limfosit ditemukan baik di lamina propria dan di antara sel-sel epitel.
Terdapat kelenjar getah bening dan terutama banyak dijumpai di tempat percabangan
bronkus. Serat elastin, otot polos, MALT relatif bertambah banyak seiring dengan
mengecilnya bronkus dan berkurangnya kartilago dan jaringan ikat lain.

Gambar 17-8. Dinding bronkus. (a): Pandangan dengan pembesaran kuat bronkus memperlihatkan
epitel (E) yang terutama berupa sel silindris bersilia bertingkat. Lamina propria (LP) mengandung lapisan
otot polos (SM) yang mengelilingi seluruh bronkus. Submukosa adalah tempat kartilago (C) penyangga
dan adventisia mencakup pembuluh darah (V) dan saraf (N). Jaringan paru (LT) secara langsung
mengelilingi adventisia bronkus. 140x. H&E. (b): Mikrograf ini memperlihatkan epitel bronkus yang
lebih kecil dengan epitel yang terutama berupa sel kolumnar dengan silia (panah), dengan lebih sedikit
sel goblet. Lamina propria memiliki otot polos (SM) dan kelenjar serosa

1
kecil (G) di dekat kartilago (C). 400x. H&E.

Bronkiolus
Bronkiolus, yaitu jalan nafas intralobular berdiameter 5 mm atau kurang, terbentuk
setelah generasi ke 10 percabangan dan tidak memiliki kartilago maupun kelenjar dalam
mukosanya (Gambar 17-9). Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya masih epitel
bertingkat silindris bersilia, tetapi semakin memendek dan sederhana sampai menjadi
epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid di bronkiolus terminalis yang lebih
kecil. Sel goblet menghilang selama peralihan ini, tetapi epitel bronkiolus terminalis juga
mengandung sejumlah besar sel kolumnar lain: sel bronkiolar eksokrin, yang lazim
disebut sel Clara (Gambar 17-10). Sel yang aktif bermitosis ini menyekresi komponen
surfaktan dan memiliki berbagai fungsi pertahanan yang penting. Sebaran sel neuro
endoktrin juga dijumpai, yang menghasilkan serotonin dan peptida lain yang membantu
mengatur tonus otot polos setempat. Kelompok sel serupa, yang disebut badan
neuroepitel, dijumpai di sejumlah bronkiolus dan pada tingkat yang lebih tinggi di
percabangan bronkus. Badan ini dipersarafi oleh serabut saraf sensoris dan autonom serta
sejumlah sel tampaknya berfungsi sebagai reseptor kemosensorik dalam memantau kadar
O2 udara. Sel punca epithelial juga dijumpai pada kelompok sel-sel tersebut.

Gambar 17-9. Bronkiolus. Percabangan bronkus berdiameter lebih kecil dari 5 mm tidak memiliki
kartilago penyangga dan disebut bronkiolus. (a): Sebuah bronkiolus besar memiliki epitel respiratorik (E)
yang terlipat dan otot polos yang mencolok (panah), tetapi disangga hanya oleh jaringan ikat fibrosa (C)
tanpa kelenjar. 140x. H&E. (b): Pemulasan serat elastin memperlihatkan kandungan elastin yang tinggi
dalam otot polos (mata panah) yang berhubungan dengan otot bronkiolus yang lebih kecil (B) dengan
epitel berupa epitel kolumnar. Serat elastin yang terpulas gelap juga ditemukan di tunica media arteriol
besar (A) di dekatnya dan dalam jumlah yang lebih sedikit di venula (V) penyerta. Jaringan ikat
mencakup banyak limfosit (L) MALT dan nodul limfoid juga umum ditemukan pada tingkat ini. 180x.
pulasan elastin. (c): Di bronkiolus yang sangat kecil, epitel (E) berkurang menjadi epitel kolumnar rendah
selapis dan sejumlah lapisan sel otot polos (panah) membentuk sebagian besar dinding. 300x. H&E.

Lamina propria bronkiolus sebagian besar terdiri atas otot polos dan serat elastin.
Otot-otot bronkus dan bronkiolus berada di bawah kendali nervus vagus dan system
saraf simpatis, selain pengaruh peptida neuroendokrin. Stimulasi nervus vagus
mengurangi diameter struktur-struktur tersebut : stimulasi simpatis menghasilkan efek
sebaliknya.

Bronkiolus Respiratorius

Setiap bronkiolus terminalis bercabang menjadi 2 lebih bronkiolus respiratorius yang


berfungsi sebagai daerah peralihan antara bagian konduksi dan bagian respiratorik sistem
pernafasan (Gambar 17-10). Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik
dengan mukosa bronkiolus terminalis kecuali dindingnya yang diselingi oleh banyak
alveolus tempat terjadinya pertukaran gas. Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh
epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus
menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng (sel alveolus tipe I). Semakin ke distal di
sepanjang bronkiolus ini, jumlah alveolusnya semakin banyak, dan jarak diantaranya
semakin pendek. Diantara alveolus, epitel bronkiolusnya terdiri atas epitel kuboid
bersilia. Otot polos dan jaringan ikat elastis terdapat di bawah epitel bronkiolus
respiratorius.

1
Gambar 17-10. Bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, dan alveoli. Bronchiolus terminalis
bercabang menjadi bronchiolus respiratorius, yang kemudian bercabang lebih lanjut menjadi ductus
alveolaris dan setiap alveoli. Bronchiolus respiratorius mirip dengan sebagian besar bronchiolus terminalis
kecuali adanya sebaran alveoli di sepanjang permukaannya. (a): Diagram memperlihatkan hubungan
percabangan, dan pembuluh darah paru yang berjalan dengan bronkiolus dan lapisan padat percabangan
kapiler yang mengelilingi setiap alveolus untuk pertukaran gas antara darah dan udara. (b): Mikrograf
memperlihatkan sifat percabangan bronkiolus dalam dua dimensi. 60x. H&E. (c): SEM memperlihatkan
hubungan tiga-dimensi alveoli terhadap bronchioles terminalis dan bronchiolus respiratorius. 180x

Ductus Alveolaris
Semakin ke distal pada bronkiolus respiratorius, jumlah muara alveolus ke dalam
dinding bronkiolus semakin banyak. Bronkiolus respiratorius bercabang menjadi saluran
yang disebut ductus alveolaris yang sepenuhnya dilapisi oleh muara alveoli (Gambar 17-
11). Ductus alveolaris dan alveolus dilapisi oleh sel alveolus gepeng yang sangat halus.
Di lamina propria yang mengelilingi tepian alveolus terdapat anyaman sel otot polos,
yang menghilang di uiung distal ductus alveolaris. Sejumlah besar matriks serat elastin
dan kolagen memberikan sokongan pada duktus dan alveolusnya. Duktus alveolaris
bermuara ke dalam atrium di dua saccus alveolaris atau lebih (Gambar 17-11). Serat
elastin dan reticular membentuk jalinan rumit yang mengelilingi muara atrium, saccus
alveolaris, dan alveoli. Serat-serat elastin memungkinkan alveolus mengembang sewaktu
inspirasi dan berkontraksi secara pasif selama ekspirasi. Serat-serat retikular berfungsi
sebagai penunjang yang mencegah pengembangan berlebih dan kerusakan kapiler-
kapiler halus dan septa alveolar yang tipis. Kedua serabut tersebut menunjang jaringan
ikat yang menampung jalinan kapiler di sekitar setiap alveolus.
Gambar 17-11. Bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris dan alveoli. Jaringan paru memiliki
struktur berbusa karena banyaknya kantong dan saluran udara yang disebut alveoli. (a): lrisan jaringan paru
yang meliputi banyak bronkiolus, dan beberapa di antaranya berupa bronchiolus respiratorius (RB) yang
terpotong memanjang, dan memperlihatkan kontinuitas percabangan dengan ductus alveolaris (AD) dan
saccus alveolaris (AS). Bronchiolus respiratorius masih memiliki lapisan otot polos dan sejumlah regio
epitel kuboid, tetapi ductus alveolaris memiliki untaian otot polos dan epitel yang terdiri atas serangkaian
alveoli yang berdekitan. Serabut otot polos berbentuk
seperti sfingterdan tampak seperti tonjolan di antara alveoli yang berdekatan. Setiap alveolus (A) terbuka
ke dalam saccus atau ductus. Bronchiolus respiratorius berjalan di sepanjang cabang a. pulmonalis (A)
yang berdindingtipis, yang memiliki dinding yang relatif tipis, sementara cabang v. pulmonalis (V) berjalan
di tempat lain di parenkim. 14x. H&E. (b): Pembesaran kuat memperlihatkan hubungan alveoli (A) bulat
berdinding tipis dengan ductus alveolaris (AD). Ductus alveolaris berakhir dalam dua atau lebih kumpulan
alveoli yang disebut saccus alveolaris (AS). Alveoli tersebut yang terlihat di sini dan tidak menampakkan
pintu masuk ke ductus atau saccus, memiliki hubungan dengan bagian lain dalam bidang yang berdekatan.
140x. H&E.

Alveolus

Merupakan evaginasi mirip kantong (berdiameter sekitar 200 µm) di bronkiolus


respiratorius, duktus alveolaris, dan saccus alveolaris. Alveoli bertanggung jawab atas
terbentuknya struktur berongga dalam paru (Gambar 17-10 dan 17-11). Secara structural,
alveolus menyerupai kantong kecil yang terbuka di satu sisinya, yang mirip dengan
sarang lebah. Di dalam struktur mirip mangkuk ini, berlangsung pertukaran O2 dan CO2
antara udara dan darah. Struktur dinding alveolus dikhususkan untuk memudahkan dan
memperlancar difusi antara lingkungan luar dan dalam. Umumnya, setiap dinding
terletak di antara 2 alveolus yang bersebelahan sehingga disebut sebagai septum
interalveolus. Satu septum interalveolar memiliki sel dan matriks ekstrasel jaringan ikat,
pertama serat elastin dan kolagen, yang diperdarahi oleh sejumlah besar jaringan kapiler
tubuh (Gambar 17-10).

Udara dalam alveolus dipisahkan dari darah kapiler oleh tiga komponen yang secara
kolektif disebut sebagai membran respiratorik atau sawar darah-udara:

1
. Lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus,
. Lamina basal yang menyatu dari sel alveolus dan sel endotel kapiler, dan
. Sitoplasma sel endotel (Gambar 17-12, 17-13, dan 17-14).

Gambar 17-12. Alveoli dan sawar darah-udara. Pertukaran udara antara udara dan darah terjadi di sawar
bermembran di antara setiap alveolus dan kapiler yang mengelilinginya. Area total pada sawar darah-udara
di setiap paru diperkirakan mencapai sekitar 70 m2. (a): Diagram ini memperlihatkan hubungan antara
kapiler dan dua atau lebih alveoli yang menyerupai kantong. (b): Sawar darah-udara terdiri atas sel alveolar
tipe l, sel endotel kapiler, dan membran basalnya yang menyatu. Oksigen berdifusi dari udara alveolar ke
dalam darah kapiler dan karbon dioksida bergerak dalam arah berlawanan. Lapisan internal alveoli dilapisi
oleh selapis surfaktan, yang tidak tergambar disini, yang menurunkan tegangan permukaan cairan dan
membantu mencegah kolapsnya alveoli.

Tebal keseluruhan ketiga lapisan ini bervariasi dari 0,1 sampai 1,5 µm. Di dalam
septum interalveolus, anastomosis kapiler paru ditunjang oleh jalinan serat retikular dan
elastin, yang merupakan penyangga struktural utama alveolus. Makrofag dan leukosit
lain dapat juga ditemukan di dalam interstisium septum (Gambar 17-12 dan 17-13).
Lamina basal sel endotel kapiler dan sel epitel (alveolar) bersatu sebagai satu struktur
bermembran (Gambar 17-12 dan17-14).
Gambar 17-l3. Dinding alveolus. Dinding antara alveoli (A) mengandung sejumlah tipe sel. Seperti
terlihat di sini. Kapiler (C) mengandung eritrosit dan leukosit. Alveoli terutama dilapisi oleh sel alveolar
skuamosa tipe I (l), yang melapisi hampir seluruh permukaan alveolus dan tempat terjadinya pertukaran
gas. Sel alveolar tipe ll melapisi setiap alveolus dan merupakan sel bulat, yang sering menonjol ke dalam
alveolus (ll). Sel tipe ll ini memiliki banyak fungsi sel Clara, termasuk produksi surfaktan. Makrofag
alveolar (A) juga ditemukan pada gambar ini, terkadang disebut sel debu, yang dapat berada di alveoli dan
septa interalveolar.

Pori berdiameter 10-15 µm dijumpai pada septum interalveolus (Gambar 17-13) dan
menghubungkan alveolus yang berdekatan dan bermuara ke berbagai bronkiolus. Pori-
pori tersebut menyetarakan tekanan udara di alveolus dan meningkatkan sirkulasi
kolateral udara ketika sebuah bronkiolus tersumbat.
O2 dari udara alveolus masuk ke darah kapiler melalui sawar udara-darah; CO2
berdifusi ke arah yang berlawanan. Pembebasan CO2 dari H2CO3 dikatalisis oleh enzim
karbonat anhidrase yang terdapat dalam eritrosit. Sekitar 300 juta alveoli dalam paru
menambah luas permukaan internal paru-paru untuk berlangsungnya pertukaran gas,
yang diperkirakan mencapai 140 m2.

1
Gambar 17-14. Ultrastruktur sawar darah-udara. TEM potongan transversal kapiler (C) di septum
interalveolar memperlihatkan area pertukaran gas antara darah dan udara di ketiga alveolus (A). Endotel
sangat tipis tetapi tidak bertingkap dan lamina basalnya bersatu dengan lamina basal sel alveolar. Sebuah
fibroblas (F) dapat terlihat di septum dan regio inti tebal pada kedua sel endotel (E) juga tampak. lnti di
bagian bawah gambar adalah inti sel endotel atau leukosit yang beredar. 30.000x

Sel endotel kapiler sangat tipis dan sering disalah-tafsirkan sebagai sel epitel alveolus
tipe I. Lapisan endotel kapiler bersifat kontinu dan tidak bertingkap (Gambar 17-14).
Berkumpulnya inti dan organel lain menyebabkan sisa daerah sel menjadi sangat tipis
sehingga efisiensi pertukaran gas meningkat. Ciri utama sitoplasma di bagian sel yang
tipis adalah banyaknya vesikel pinositotik.
Sel alveolus tipe I (juga disebut pneumosit tipe I atau sel alveolar skuamosa)
merupakan se1 yang sangat tipis yang melapisi permukaan alveolus. Sel tipe I menempati
97% dari
permukaan alveolus (sisanya ditempati sel tipe II). Sel-sel ini begitu tipisnya (kadang-
kadang hanya setebal 25 nm) sehingga pembuktian dengan mikroskop elektron bahwa
semua alveolus ditutupi oleh suatu lapisan epitel, diperlukan (Gambar 17-14). Organel-
organel seperti retikulum endoplasma, apparatus Golgi, dan mitokondria berkumpul di
sekitar inti sehingga sebagian besar daerah sitoplasma hampir bebas dari organel dan
mengurangi ketebalan sawar darah-udara. Sitoplasma di bagian tipis mengandung banyak
vesikel pinositotik, yang dapat berperan pada pergantian surfaktan dan pembuangan
partikel kontaminan kecil dari permukaan luar. Selain desmosom, semua sel epitel tipe I
memiliki taut kedap yang berfungsi mencegah perembesan cairan jaringan ke dalam
ruang udara alveolus (Gambar 17-15). Fungsi utama sel ini adalah membentuk sawar
dengan ketebalan minimal yang dapat dilalui gas dengan mudah.

Gambar 17-15. Ultrastruktur sel alveolar tipe ll. TEM sel alveolar tipe ll yang menonjol ke dalam lumen
alveolus memperlihatkan gambaran sitoplasma yang tidak biasa. Panah menunjukkan badan lamelar yang
menyimpan surfaktan paru yang baru disimpan pemrosesan setelah komponennya di RE kasar (RER) dan
apparatus Golgi (G). Badan multivesikular yang lebih kecil dengan vesikel intraluminal juga sering
dijumpai. Mikrovili pendek juga dijumpai dan sel tipe ll melekat melalui kompleks taut (Jc) dengan sel
epitel tipe I yang sangat tipis Matriks ekstrasel mengandung serat retikular (RF) yang mencolok. 17.000x.
(Diproduksi ulang atas-izin dari Dr. Mary c. williams, Pulmonary center and Department of Anatomy,
Boston University school of Medicine.)

Sel alveolus tipe II (pneumosit tipe II) tersebar di antara sel-sel alveolus tipe I dengan
taut kedap dan desmosom yang menghubungkannya dengan sel tersebut (Gambar 17-15).
Se1 tipe II berbentuk bundar yang biasanya berkelompok dengan jumlah dua atau tiga di
sepanjang permukaan alveolus di tempat pertemuan dinding alveolus. Sel ini berada di
membrane basal dan merupakan bagian dari epitel, dan memiliki asal yang sama dengan
sel tipe I yang melapisi dinding alveolus. Sel-sel ini membelah dengan cara mitosis untuk
mengganti populasinya sendiri dan juga mengganti populasi sel tipe I. Pada sediaan
histologi, sel-sel tipe II menampilkan ciri sitoplasma bervesikel yang khas atau berbusa.
Vesikel ini disebabkan adanya badan lamela (Gambar 17-15 dan 17-16) yang tetap

1
terpelihara dan terdapat dalam jaringan yang dipersiapkan untuk studi mikroskop
elektron. Badan lamela, yang berdiameter rerata 1-2 µm, mengandung lamela konsentris
atau paraiel yang dibatasi oleh suatu membran unit. Kajian histokimia memperlihatkan
bahwa badan-badan ini, yang mengandung fosfolipid, glikosaminoglikan, dan protein
diproduksi secara kontinu dan dilepaskan di permukaan apikal sel. Badan berlamel
menghasilkan materi yang menyebar di atas permukaan alveolus berupa surfaktan paru
membentuk lapisan ekstrasel yang menurunkan tegangan permukaan.

Gambar 17-16. Fungsi sel alveolar tipe ll. Diagram memperlihatkan sekresi surfaktan oleh sel tipe ll.
Surfaktan mengandung kompleks lipid-protein yang awalnya disintesis dalam retikulum endoplasma dan
kompleks Golgi, dengan pemrosesan dan penyimpanan lebih lanjut pada organel besar yang disebut badan
lamela. Badan multivesikular merupakan organel yang lebih kecil dari kebanyakan badan lamelar yang
sering terlihat pada sel alveolar tipe ll. Badan ini terbentuk ketika komponen membran endosom tahap awal
dipilih, berinvaginasi, dan terlepas dalam bentuk vesikel kecil ke dalam lumen endosom. Badan
multivesikular berinteraksi dengan kompleks Golgi, dengan beberapa atau sebagian besar komponen
vesikel intraluminal yang mengalami ubikuitinasi untuk degradasi sementara komponen lain dan membran
sekitarnya didaur ulang ke membran sel, atau pada kasus sel alveolar tipe ll, mula-mula ditambahkan ke
kandungan badan lamelar. Surfaktan disekresi secara kontinu melalui eksositosis dan membentuk selapis
lipid monomolekular yang menutupi hipofase aquosa yang mengandung protein. Taut kedap di bagian tepi
sel epitel mencegah bocornya cairan jaringan ke dalam lumen alveolus

PEMBULUH DARAH & SARAF PARU


Sirkulasi dalam paru mencakup pembuluh nutrien (sistemik) maupun pembuluh
fungsional (pulmonal). Arteri-arteri dan vena-vena paru menggambarkan sirkulasi
fungsional dan arteri tersebut memiliki dinding yang tipis akibat tekanan yang rendah (25
mmHg sistolik dan 5 mmHg diastolik) di dalam sirkulasi paru. Di dalam paru, a.
pulmonalis bercabang mengikuti percabangan bronkus (Gambar 17-10 dan 17-11),
dengan cabang-cabang yang dikelilingi adventisia bronkus dan bronkiolus. Di tingkat
ductus alveolaris, cabang-cabang arteri ini membentuk jalinan kapiler di dalam septum
interalveolus dan berkontak erat dengan alveolus. Paru-paru mempunyai jalinan kapiler
yang paling berkembang di dalam tubuh, dengan kapiler di antara semua alveoli,
termasuk kapiler dalam bronchiolus respiratorius.
Venula yang berasal dari jalinan kapiler ditemukan satu-satu di dalam parenkim, dan
agak menjauh dari jalan napas (Gambar 17-10 dan 17-11), yang ditopang oleh selapis
tipis jaringan ikat. Setelah meninggalkan lobulus, vena mengikuti percabangan bronkus
ke arah hilus. Pembuluh nutrien mengikuti percabangan bronkus dan mendistribusikan
darah ke sebagian besar paru sampai pada bronchiolus respiratorius, di tempat pembuluh
ini beranastomosis dengan cabang-cabang kecil dari a. pulmonalis. Pembuluh limfe
muncul di iaringan ikat bronkiolus. Pembuluh ini mengikuti bronkiolus, bronkus dan
pembuluh-pembuluh pulmonal serta semuanya mencurahkan isinya ke dalam kelenjar
getah bening di daerah hilus. Jalinan limfatik ini disebut jalinan dalam untuk
membedakannya dari jalinan superfisial pembuluh limfe di pleura viseral. Kedua jalinan
tersebut bermuara menuju hilum, baik dengan mengikuti pleura maupun setelah
memasuki jaringan Paru melalui septa interlobularis. Pembuluh limfe tidak ditemukan di
bagian
terminal percabangan bronkus atau di luar ductus alveolaris. Serabut saraf simpatis
maupun parasimpatis menginervasi paru dan serabut aferen viseral umum, yang
membawa sensasi nyeri yang kurang terlokalisasi. Kebanyakan saraf terdapat dalam
jaringan ikat di sekitar saluran napas besar.

PLEURA
Permukaan luar paru dan dinding internal rongga toraks dilapisi oleh suatu membran
serosa yang disebut pleura (Gambar 17-17). Membran yang melekat pada jaringan paru
disebut pleura viseralis dan membran yang melapisi dinding toraks adalah pleura
parietalis. Kedua membran tersebut menyatu di hilum dan keduanya terdiri atas sel-sel
mesotel skuamosa selapis yang berada pada lapisan jaringan ikat tipis yang mengandung
serat kolagen dan elastin. Serat-serat elastin pleura viseral menyatu dengan serat elastin
parenkim paru.

1
Gambar 17-17. Pleura. Pleura merupakan membran serosa yang berhubungan dengan setiap paru dan
rongga toraks. (a): Diagram ini menggambarkan pleura parietalis yang melapisi permukaan internal
rongga toraks dan pleura viseralis yang melapisi permukaan eksternal paru. Di antara kedua lapisan
tersebut, terdapat celah sempit rongga pleura. (b): Kedua lapisan serupa secara histologis dan terdiri atas
mesotel skuamosa selapis (M) atau pada selapis tipis jaringan ikat, seperti yang diperlihatkan pada
gambar ini untuk pleura viseralis yang melapisi alveoli (A). Jaringan ikat kaya akan serat kolagen dan
elastin serta mengandung pembuluh darah (V) dan pembuluh limfe (L). 140x.

Rongga pleura yang sempit (Gambat 17-17) di antara lapisan parietal dan viseral
seluruhnya dilapisi sel-sel mesotel yang normalnya membentuk suatu lapisan cairan
serosa tipis yang bekerja sebagai pelumas, yang memudahkan pergeseran antar
permukaan pleura selama gerakan pernapasan.
Pada keadaan patologis tertentu, rongga pleura dapat mengandung cairan atau udara.
Seperti dinding rongga peritoneal dan perikardial, serosa rongga pleura cukup permeabel
untuk air dan cairan yang keluar melalui eksudasi dari plasma darah sering menumpuk
(berupa efusi pleura) dalam rongga ini dalam keadaan abnormal
BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Sistem pernapasan secara garis besarnya terdiri dari paru-paru dan susunan saluran
yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, tekak, pangkal
tenggorok, tenggorok, cabang tenggorok.
Metabolisme normal dalam sel-sel makhluk hidup memerlukan oksigen dan karbon
dioksida sebagai sisa metabolisme yang harus dikeluarkan dari tubuh. Pertukaran gas
O2 dan CO2 dalam tubuh makhluk hidup di sebut pernapasan atau respirasi. O2 dapat
keluar masuk jaringan dengan cara difusi.
Pernapasan atau respirasi dapat dibedakan atas dua tahap. Tahap pemasukan oksigen
ke dalam dan mengeluarkan karbon dioksida keluar tubuh melalui organ-organ
pernapasan disebut respirasi eksternal. Pengangkutan gas-gas pernapasan dari organ
pernapasan ke jaringan tubuh atau sebaliknya dilakukan oleh sistem respirasi. Tahap
berikutnya adalah pertukaran O2 dari cairan tubuh (darah) dengan CO2 dari sel-sel
dalam jaringan, disebut respirasi internal.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Damayanti Soetjipto, Endang Mangunkusumo, Retno S. Wardani. Sumbatan Hidung.


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th edition.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p. 96-100.
2. Boediman, Muljono Wirjodiardjo. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respiratorik. Buku
Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008
3. Edward R. Carter, Susan G. Marshall. In: Darmawan Bs, Rifan Fauzle, editor. Sistem
Respiratori. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. 6th edition. Singapura: Elsevier;
2011
4. Rusmarjono, Bambang Hermani. Nyeri Tenggorok. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2012. p. 190-194.
5. Bambang Hermani, Syahrial M Hutauruk. Disfonia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2012. p. 209-214.
6. Victor P. Eroschenko, Ph.D. Sistem Pernapasan. Atlas Histologi di Fiore dengan
Korelasi Fungsional. 9th edition. Jakarta: EGC; 2003

Anda mungkin juga menyukai