Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-40. Hadits ke-
40 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman ()كتاب اإليمان.
Karena redaksinya menjelaskan sejarah perpindahan kiblat serta memasukkan amal ke dalam
iman, pembahasan hadits ke-40 ini kita beri judul: "Nuansa Iman dalam Sejarah
Perpindahan Kiblat"
Penjelasan Hadits
Sebutan kakek atau paman adalah bahasa kiasan (majaz) untuk menunjukkan hubungan
kekerabatan Rasulullah dengan kaum Ansar. Di mana ibu dari kakek Rasulullah (Abdul
Muthalib) adalah Salma binti Amru yang berasal dari Bani Adi bin Najjar, Yatsrib, yang kini
menjadi kaum Ansar. Saat pertama-tama di Madinah, Rasulullah tinggal di Bani Malik bin
Najjar.
Ketika di Makkah pun sebenarnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis. Hanya saja di sana
bisa 'disiasati' dengan mengambil tempat shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah
berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus
menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka selama 16 atau 17 bulan
beliau menghadap ke Baitul Maqdis, meski Rasulullah lebih suka menghadap Ka'bah. Tapi
inilah ibadah, dan inilah contoh ketundukan Rasulullah kepada perintah Allah. Ibadah harus
sesuai dengan perintah Allah, dan ibadah tak bisa dikalahkan oleh perasaan.
Munculnya angka 16 bulan atau 17 bulan ini adalah keraguan riwayat Zuhair dalam Shahih
Bukhari ini. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dasar perhitungan. Dihitung 16
bulan jika dimulai dari bulan kedatangan Rasulullah hingga perpindahan kiblat. Sedangkan
17 bulan jika memasukkan seluruh bulan dalam rentang itu, sebab keduanya terjadi pada
pertengahan bulan. Rasulullah tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal, sedangkan perpindahan
kiblat ini terjadi pada pertengahan Rajab tahun kedua hijrah.
Inilah sejarah perpindahan kiblat. Ia dimulai pada shalat Asar di hari itu, pertengahan Rajab
tahun 2 H. Itulah untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi, shalat berjamaah menghadap
Ka'bah. Dan seperti turunnya perintah lain melalui wahyu, para sahabat segera
menyebarkannya agar bisa diketahui dan dilaksanakan kaum muslimin dengan segera.
Seseorang yang disebutkan dalam hadits ini, yang segera mengumumkan kepada jama'ah
shalat di tempat lain adalah Abbad bin Bisyr. Jama'ah shalat Asar yang ditemui Abbad dalam
hadits ini adalah Bani Salamah. Dan subhaanallah, mereka pun langsung mengubah arah
kiblatnya, meskipun saat itu dalam kondisi ruku'. Masjid inilah yang kini disebut dengan
Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua kiblat), karena saat itu para sahabat shalat Asar
menghadap baitul maqdis kemudian mengubah arah kiblatnya menghadap ke Ka'bah.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi itu memiliki sifat adil, sehingga hadits
yang dibawanya harus dipercayai, apalagi ketika ia menguatkan ucapannya dengan sumpah.
Ini yang membedakan ahlus sunnah dengan syi'ah. Ahlus sunnah meyakini semua sahabat itu
adil (haditsnya bisa diterima).
Hadits ini sekaligus menunjukkan karakter sahabat yang bersegera dalam beramal. Mereka
memiliki ruhul istijabah yang luar biasa. Menyambut Al-Qur'an sebagaimana prajurit
menyambut instruksi komandan; dinantikan, begitu datang perintah langsung dilaksanakan.
Sahabat bukan generasi yang banyak bicara. Sahabat bukan generasi yang banyak berwacana.
Mereka adalah generasi beramal (qaumun 'amaliyun). Dalam terminologi Sayyid Qutb,
mereka adalah generasi Qur'ani yang unik (jailul Qur'anil farid).
Inilah kondisi ahlul kitab, terutama Yahudi. Mulanya mereka membanggakan diri karena
kaum Muslimin satu kiblat dengan mereka. Mereka merasa bangga, merasa besar, merasa
dicontoh. Namun begitu Allah mengubah kiblat kaum Muslimin, perasaan itu dengan serta
merta berganti dongkol dan benci. Perasaan itu pun meluap ke lisan berbentuk celaan dan
caci maki.
Di sinilah kandungan bab Iman dalam hadits ini. Para sahabat bertanya-tanya tentang shalat
mereka yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Bagaimana hukumnya? Yang mereka
maksud terutama adalah sepuluh Muslim yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Yakni
Abdullah bin Syihab, Muthalib bin Azhar, Sakran bin Amru yang ketiganya dari kalangan
Quraisy. Yang meninggal di Habasyah adalah Huthab bin Harits, Amru bin Umayyah,
Abdullah bin Harits, Urwah bin Abdul Izzi, dan Adi bin Nadhlah. Sedangkan dari kalangan
Ansar adalah Barra' bin Ma'rur dan As'ad bin Zurarah.
Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS. Al Baqarah ayat
143: ُضي َع ِإي َمانَ ُك ْم َّ َ( َو َما َكانAllah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah
ِ َّللاُ ِلي
menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa
amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok
Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek
beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan
lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan
kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya
kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan
bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh
memegang agamanya.
Demikian hadits ke-40 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan
taufiq dari Allah SWT sehingga bersegera dalam beramal sebagaimana karakteristik sahabat
yang tercermin dalam hadits ini. Wallaahu a'lam bish shawab.[]