Anda di halaman 1dari 3

Hadits 32: Syirik adalah Kezaliman Terbesar

Written By Admin BeDa on Selasa, 15 November 2011 |


19:30

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki


hadits ke-32, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (‫اإليمان‬ ‫)كتاب‬.

Hadits ini membahas tafsir QS. Al-An'am ayat 83, khususnya istilah zalim pada ayat itu. Para
sahabat mengkhawatirkan diri mereka terancam keimanannya karena sadar bahwa tidak
seorang pun suci dari perbuatan zalim. Kemudian dijelaskanlah kepada mereka apa "zalim"
yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Karenanya, pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-
32 ini kita beri judul "Syirik adalah Kezaliman Terbesar".

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-32:

‫ظ ْل ٍم قَا َل‬
ُ ‫سوا ِإي َمانَ ُه ْم ِب‬ ُ ‫ِين آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْل ِب‬ ِ َ‫َّللاِ قَا َل لَ هما نَ َزل‬
َ ‫ت الهذ‬ َ ‫ع َْن‬
‫ع ْب ِد ه‬
‫ أَيُّنَا لَ ْم يَ ْظ ِل ْم فَأ َ ْن َز َل ه‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬
ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫اب َر‬ ْ َ‫أ‬
ُ ‫ص َح‬
‫ظ ْل ٌم ع َِظي ٌم‬
ُ َ‫إِ هن الش ِْركَ ل‬
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat
bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?" Maka Allah menurunkan ayat
'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"

Penjelasan Hadits
Jika sebelumnya, seluruh hadits mulai dari hadits ke-1 hingga hadits ke-31 kita mendapati
matan (redaksi) nya berbentuk hadits qauli (perkataan Rasulullah), hadits fi'li (perbuatan
Rasulullah yang diceritakan oleh sahabat), atau gabungan keduanya; maka pada hadits ke-32
ini seakan-akan kita tidak melihat matan hadits ini dinisbatkan kepada Rasulullah, baik secara
perkataan maupun perbuatan.

Secara tekstual matan hadits di atas menjelaskan perbuatan para sahabat. Hadits semacam ini
lebih dikenal dengan istilah atsar. Namun yang perlu diingat, setiap atsar yang terjadi ketika
Rasulullah SAW masih hidup (perkataan atau perbuatan sahabat itu diketahui Rasulullah),
lalu Rasulullah SAW mendiamkannya, maka diamnya Rasulullah SAW itu merupakan taqrir
(persetujuan). Selain hadits qauli dan hadits fi'li, hadits taqriri merupakan jenis ketiga.

Kembali ke hadits ke-32 ini, sebenarnya ada hadits lain yang hampir sama namun matannya
berbeda. Diantaranya adalah hadits ke-3360. Ketika kita bertemu hadits itu, kita akan
mendapati di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjawab kekhawatiran mereka
dengan mengingatkan pada QS. Luqman ayat 13.

‫ظ ْل ٍم ) قَا َل‬
ُ ‫سوا ِإي َمانَ ُه ْم ِب‬ ُ ‫ت ( الهذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْل ِب‬
ِ َ‫َّللاِ قَا َل لَ هما نَزَ ل‬ َ ‫ع ْن‬
‫ع ْب ِد ه‬ َ
ْ َ‫ أَيُّنَا لَ ْم ي‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫ظ ِل ْم‬ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫اب َر‬ ُ ‫ص َح‬ْ َ‫أ‬
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat
bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?"

Perhatikanlah hadits ini! Demikianlah para sahabat mengkhawatirkan keimanan mereka. Ada
sikap khauf yang sangat besar pada diri para sahabat, sebagaimana mereka juga memiliki
sikap raja' yang juga besar. Kehati-hatian para sahabat inilah yang membedakannya dengan
generasi kita sekarang.

Para sahabat, meskipun mereka adalah mukmin terbaik, mereka tetap khawatir terjadi sesuatu
dengan iman mereka. Sementara generasi kita saat ini, ada yang sedemikian 'yakin' bahwa
imannya tak akan goyah hingga mengatakan "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan.
Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."

Maka ketika turun ayat ke-82 surat Al-An'am :

َ‫ظ ْل ٍم أُولَئِ َك لَ ُه ُم ْاْل َ ْم ُن َو ُه ْم ُم ْهتَدُون‬ ُ ‫الهذِينَ آ َ َمنُوا َولَ ْم يَ ْل ِب‬


ُ ‫سوا ِإي َمانَ ُه ْم ِب‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman,
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. Al-An'am : 82)

ْ َ‫( "أَيُّنَا لَ ْم ي‬siapakah yang tidak berbuat zalim?). Pertanyaan ini


Para sahabat bersedih. " ْ ‫ظ ِلم‬
mengisyaratkan kekhawatiran para sahabat kalau-kalau mereka tidak mendapatkan jaminan
keamanan dari Allah dan tidak mendapat petunjuk dariNya karena sangat berat menjadi orang
yang benar-benar bersih dari zhulmun (perbuatan zalim).

Lihatlah di sini. Bukankah para sahabat tidak mengklaim diri mereka sebagai orang yang
suci. Para sahabat tidak menyatakan bahwa diri mereka bebas dari kesalahan. Lalu mengapa
kita yang bukan siapa-siapa merasa sebagai orang bersih dan suci?

Pertanyaan sahabat itu juga mengindikasikan bahwa mereka memahami kata "dhulm" pada
ayat di atas sebagai kezaliman secara umum. Kezaliman yang berarti meletakkan
sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia, zalim disepadankan dengan
kata aniaya. Di sini kekhawatiran para sahabat mendapatkan pembenarannya. Bukankah tidak
memenuhi hak diri sendiri (baik jasadiyah, fikriyah maupun ruhiyah) dengan tepat adalah
zalim; zalim terhadap diri sendiri? Bukankah tidak memenuhi hak istri dengan sempurna juga
bisa dikatakan zalim? Bukankah tidak memenuhi hak anak dan orang tua dengan semestinya
juga bisa disebut zalim? Makna zalim secara umum yang semula dipahami sahabat saat itu
juga mendapatkan alasan karena kata "zhulmun" pada ayat di atas dalam bentuk nakirah
(indefinitif).

"Menurut pendapatku," tulis Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, "para sahabat
menafsirkan kata 'zhulmun' secara umum yaitu mencakup syirik dan perbuatan maksiat
lainnya, hal ini juga sebagaimana dikehendaki oleh Imam Bukhari."

‫ظ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬ ْ َ‫ي‬


‫ظ ِل ْم فَأ َ ْنزَ َل ه‬
ُ َ‫َّللاُ ِإ هن الش ِْر َك ل‬
Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang
besar' (QS. Luqman : 13)"

Inilah tafsir ayat QS. Al-An'am : 82 itu. Bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik
(mempersekutukan Allah SWT). Dan inilah langkah pertama dalam metode tafsir bil ma'tsur;
menafsirkan Al-Qur'an dengan ayat lain yang menjelaskannya.

Dijelaskan dalam hadits yang lain bahwa setelah mengetahui bahwa "zhulmun" yang
dimaksudkan adalah syirik, para sahabat menjadi tenang; kesedihannya hilang.

Lalu bagaimana kita mengkorelasikan hadits ini dengan hadits yang lain? Pada hadits ini para
sahabat mengetahui tafsirnya setelah diturunkan QS. Luqman ayat 13, sedangkan pada hadits
yang lain Rasulullah mengingatkan mereka pada ayat tersebut. Di sini dapat disimpulkan
bahwa sesudah QS. Al-An'am : 82 turunlah QS. Luqman : 13. Lalu Rasulullah mengingatkan
para sahabat dengan ayat tersebut sebagai tafsirnya.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah menjadikan keimanan dan permasalahan akhirat
sebagai orientasi hidup mereka. Maka kesedihan maupun ketenangan hidupnya selalu
didasarkan pada kondisi iman;
2. Para sahabat memiliki sikap khauf (takut kepada Allah, mengkhawatirkan akhiratnya) yang
sangat besar;
3. Para sahabat tidak menganggap (mengklaim) diri mereka bersih dan suci dari semua
kesalahan/kezaliman dalam maknanya yang umum;
4. Segala hal yang tidak benar dan tidak tepat menurut syariat bisa disebut zalim. Maka baik
syirik maupun perbuatan maksiat, semuanya masuk dalam istilah zalim secara umum;
5. Kata "zhulmun" dalam QS. Al-An'am ayat 82 maknanya adalah syirik;
6. Syirik adalah kezaliman terbesar;
7. Iman dan syirik (besar) tidak mungkin berkumpul dalam diri seseorang.

Demikian hadits ke-32 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah
SWT dari kezaliman terbesar yaitu syirik serta kezaliman secara umum yaitu segala
perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Allah SWT. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Anda mungkin juga menyukai