Part 1
Arya Sang Idola
Arya Ozman. … Cewek mana sih di sekolah ini yang gak kenal nama
itu. Bahkan nama itu dikenal di sekolah-sekolah lain. Dia seorang pemain basket
yang berbakat yang berhasil mengantarkan sekolah ini menjadi semifinalis
Propinsi yang sebelumnya hanya masuk delapan besar Kota.
Tingginya sih biasa-biasa saja, sekitar 170- an gitu. Tapi cewek-cewek
seantero sekolah mengidolakannya seperti seorang artis saja. Dia pendiam,
wajahnya selalu terlihat lesu, jago matematika dan fisika, gak bergaul, tatapan
matanya kosong, gak pernah tersenyum (mungkin!) dan gak enak diajak
ngomong. Begitulah pandangaku terhadap nya.
Lain lagi menurut cewek-cewek lain di sekolah ini, dia itu cowok cool dan
jago basket. Dia adalah tipe cowok impian jika dibandingkan dengan cowok-
cowok yang ada di sekolah ini. Cakep, cool, n jago basket. Tapi kekurangannya
hanya tinggi aja sih.
Dia adalah cowok berdarah campuran Turki Melayu sehingga membuat
statusnya sebagai cowok idola semakin sempurna. Kakek dari pihak Ayahnya
adalah seorang berkebangsaan Turki dan menikah dengan wanita Padang,
sedangkan ibunya adalah orang melayu asal Kuala Lumpur yang menjadi WNI
setelah menikah dengan Ayah Arya.
Sudah setahun berlalu semenjak dia pindah ke sekolah ini saat semester
awal baru dimulai dan berada di kelas 2 – 7. Kini telah duduk di kelas 3 IPA 2 dan
sekelas denganku (surprise banget kan?). Tepatnya mulai dua minggu yang lalu.
Yang lebih surprise lagi, kami sebangku hingga membuat sirik gerombolan
cewek-cewek penggemarnya yang sangat sewot.
Saat istirahat siang dia biasanya hanya duduk di bawah pohon akasia di
belakang sekolah yang rimbun. Berteduh dari teriknya matahari dan membaca
sebuah buku dengan serius sambil mendengarkan discmannya. Ngak ada yang
mengajaknya bicara, ke kantin, bahkan gak ada yang menegurnya di sana. Dia
adalah cowok yang tak terjangkau.
Menurut cewek-cewek sewot di sekolah ini, level-level cewek di sini gak
pantas berdampingan dengannya. Dia hanya boleh dikagumi tapi tidak boleh
dimiliki. Begitulah peraturan yang telah dibuat secara tidak tertulis ini. Yang
mencoba mencari perhatian akan dikerjai oleh gerombolan sewot tadi.
Sudah 2 minggu kami sebangku dan kami berdua seperti seseorang yang
tidak saling mengenal. Dia datang bersamaan dengan bel masuk, gak pernah
say “hi” atau “pagi” padaku. Cewek-cewek lain mengatakan aku sangat
beruntung bisa sebangku dengannya tapi... sama sekali gak menarik. Rasanya
seperti duduk seorang diri. Apalagi tumpukan titipan dari cewek-cewek buat
sang idola yang nggak pernah digubrisnya. Oh my god! Aku nggak tahan!!!
Duh! Apa yang kulakuakan sih? Tugas-tugas ini gak bakalan selesai nih
kalo aku terus-terusan mikirin dia. Ku lihat jam dinding kamarku dan…
APA? Jam dua belas. Duh mati deh aku. Masih ada lima soal lagi. Ayo
semangat Ren! Aku pun bangkit dan mulai mengerjakan soal-soal itu.
Tapi tiba-tiba mataku berkunang-kunang, kepala terasa pusing dan mata
terasa berat. Dan memoriku pun terhapus di situ. Semuanya langsung menjadi
gelap gulita dan aku seakan berada di negeri antah berantah.
Akhirnya aku menghela napas lega setelah duduk di bangku kelas. Masih
ada waktu sekitar sepuluh menit untuk ngerjain PR. Tapi, aku lupa membawa
buku tugas. Sepertinya masih tertinggal di atas meja belajarku di kamar. Kalo
pulang sekarang sih sempat diambil, tapi nggak sempat diselesaikan semua
jawabannya. Mati deh aku.
“Hey!” Ucapan Arya terdengar kemudian sebuah buku disodorkan
padaku.
Oh my God! Kenapa buku tugasku bersamanya. Kuperhatikan sekali lagi
sampul buku itu. Buku tipis berwrna biru langit dengan gambar beruang. Benar,
itu adalah buku tugasku.
“Ada yang ngasih tadi.” Ucapnya tanpa menungguku bertanya.
“Siapa?” Tanya ku.
“Cowok.” Jawabnya simpel.
“Oh!” Pasti Kak Farid. Aku menghentikan pertanyaan padanya, soalnya
dia bukan lawan bicara yang baik.
Setelah itu aku meminjam buku tugas milik Santi, yang duduk di depanku
dan menyalin jawaban yang belum kuselesaikan semalam.
Baru beberapa menit berlalu Pak Sitompul sudah datang lalu
mengumpulkan tugas yang belum sempat kuselesaikan. Mati deh aku…
Saat jam pelajaran Bahasa Inggris, kami sekelas diberi tugas kelompok
menulis lirik sebuah lagu barat dan diterjemahkan, yang dikerjakan bersama
teman sebangku. Dan tentu saja teman sebangku ku adalah Arya. Aku
ngebayangin gimana membosankannya belajar bareng dia.
Akhirnya saat pulang sekolah aku dan Arya mendiskusikan tentang tugas
Bahasa Inggris tadi. Hasilnya duputuskan untuk mengerjakan tugas tersebut
besok sore di rumahku. Nggak etis kan nyuruh cewek datang ke rumah cowok
yang nggak dikenal baik. Kira-kira seperti apa ya kehidupan Arya setelah
sekolah. Membayangkan hal ini, sungguh membuatku menjadi bersemangat.
Sepulang sekolah, aku mengucapkan terima kasih pada Kak Farid yang
telah membawakan Buku tugasku. Ternyata buku itu tertinggal di atas meja
makan karena aku terburu-buru. Kalo soal bagaimana Kak Farid
memberikannya pada Arya, aku nggak peduli. Setelah itu aku mulai
membereskan kamarku yang berantakan. Malu kan kalo Arya melihat kondisi
kamarku yang seperti kandang kuda ini.
Barang-barang yang privat disembunyikan dan tidak boleh sampai
tertangkap oleh pandangan. Nggak banyak barang yang bisa disembunyikan,
tapi kalo Arya nggak mungkin memperhatikan karena sifat cueknya tiada
tandingannya.
Nggak mungkin kan, Arya yang cool itu jadi udik begitu masuk kamar
cewek, lalu melototin semua yang ada di kamar satu-persatu.
Membayangkannya saja nggak kebayang. Beda dengan Erwin, mantan pacarku
dulu. Kalo masuk langsung pegang sana-sini, tanya ini-itu, dan berkomentar
macam-macam.
Sebenarnya aku pingin ngerjain ini di sekolah aja, tapi Arya tuh sepulang
sekolah langsung menghilang kayak ninja. Jadi besok aku, Santi, Rasni dan Arya
akan belajar bareng di sini.