Anda di halaman 1dari 18

TUGAS SHARING JURNAL KEPERAWATAN

Extracorporeal Life Support and New Therapeutic Strategies for Cardiac Arrest
Caused by Acute Myocardial Infarction a Critical Approach for a Critical Condition

disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen pengampu : Ns. Tina Handayani Nasution, M.Kep.

Oleh kelompok 2:

1. VINSENSUS JOKO 185070209111008


2. SIRILA NGESTI PURNANI 185070209111011
3. ENAH NURJANAH 185070209111017
4. CHANDRA MASLIKHA 185070209111032
5. MUHAMMAD SYAIFULLOH M 185070209111036
6. ELLY SURYATI 185070209111041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2019

0
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akut miokard infark merupakan penyakit yang harus segera ditangani


karena termasuk dalam kondisi kritis yang mengancam jiwa. Infark miokard
akut merupakan masalah kesehatan utama karena prevalensi, angka
kematian, dan biaya perawatannya. Untuk menangani kondisi kritis dan
emergency Basic Life Support (BLS) dengan melakukan penilaian terhadap
airway, breathing dan circulation merupakan hal utama yang harus dikuasai
baik oleh tenaga medis maupun non-medis (Roshana, S., Batajoo, KH.,
Piryani, RM and Sharma MW., 2012). Penilaian pada tiga hal tersebut
merupakan hal dasar yang harus diketahui dan dipahami sehingga setiap
penolong wajib mengetahuinya. Penilaian sirkulasi dilakukan dengan
memerikasa nadi dan tensi dan jika tidak didapatkan dapat dilakukan cardio
pulmonary Resucitation (CPR). Pada pasien emergency normalnya CPR
dilakukan dengan perbandingan 30 kali kompresi dan 2 kali napas dan
penilaian terhadap nadi dilakukan setiap 5 kali siklus terlewati (AHA, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di United Kingdom keselamatan
seseorang yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit dan dilakukan
CPR mencapai 3%-16,3% jika dilakukan di dalam rumah sakit angka
keselamatannya mencapai 18% pada dewasa dan 36% pada pediatri. Di
Amerika dari insiden sebesar 359.400 pada 2013 yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit, dilakukan CPR 40,1% dan angka keselamatan
sebesar 9,5%. Untuk henti jantung yang terjadi di rumah sakit sebesar
209.000 dilakuakn CPR 23,9% (Peter, AM et al. 2013). Di Indonesia,
melakukan CPR pada pasien yang sudah henti nadi dan henti napas dapat
meningkatkan harapan hidup sebesar 10,5% (Basbeth, F. dan Sampurna, B.,
2009). Angka keselamatan pasien ditentukan oleh kualitas CPR. Kualitas
CPR selama resusitasi memiliki akibat yang signifikan pada keselamatan
pasien. Hal ini disebabkan karena CPR hanya memberikan aliran darah ke
otak sebesar 10%-30% dan ke jantung 30-40%. Selain kualitas, pada

1
penanganan dengan CPR, kemampuan klinisi akan mempengaruhi dalam
menurunkan komplikasi (Peter, AM et al. 2013).
Extracorporeal Life Support (ECLS) merupakan suatu tindakan medis
yang dilakukan untuk mempertahankan oksigenasi dan eliminasi dari
karbondioksida yang adekuat untuk mengembalikan fungsi pernapasan yang
sudah terganggu. ECLS terdiri dari beberapa jenis, yaitu Extracorporeal lung
assist (ECLA), Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO),
Extracorporeal carbon dioxide removal (ECOO 2R), and Extracorporeal
cardiopulmonary resuscitation (ECPR). Henti jantung mendadak/cardiac
arrest menjadi salah satu indikasi dilakukannya ECLS dengan teknik ECMO
dan ECPR, hal ini dikaitkan dengan tingkat kematian yang sangat tinggi
meskipun ada kemajuan besar dalam pengembangan terapi baru. Hasil untuk
pasien yang menderita serangan jantung di luar rumah sakit (OHCA) tetap
buruk dibandingkan dengan pasien dengan serangan jantung di rumah sakit
(IHCA) dengan adanya inisiasi cepat resusitasi kardiopulmoner (CPR) dan
akses awal ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas pendukung. Meskipun ada
kemajuan yang signifikan baru-baru ini dalam menurunkan angka kematian
dan laju perubahan neurologis setelah henti jantung, tingkat kelangsungan
hidup setelah henti jantung tetap buruk. Oleh karena itu, strategi pendukung
baru yang maju diperlukan untuk lebih meningkatkan tingkat keberhasilan
setelah resusitasi henti jantung di semua kategori pasien, termasuk pasien
AMI.
Strategi pendukung baru termasuk penggunaan perangkat untuk
kompresi dada mekanis (resusitasi mekanis), yang memberikan bantuan
untuk resusitasi yang lebih efektif dalam kasus dengan durasi yang lama, dan
perubahan untuk resusitasi kardiopulmoner ekstrakorporeal (ECPR), yang
memastikan pemeliharaan sirkulasi dan perfusi organ vital. Ulasan ini
merangkum perkembangan terbaru dalam memberikan langkah-langkah
pendukung lanjutan untuk resusitasi kardiopulmoner, dan hasil yang diperoleh
dengan menggunakan terapi baru ini pada pasien dengan henti jantung yang
disebabkan oleh AMI. Juga, pendekatan baru untuk pasien AMI disajikan
seperti konsep ECPR, intervensi koroner perkutan intra-penangkapan, atau
model regional untuk sistem perawatan yang bertujuan untuk mengurangi

2
waktu kritis dari henti jantung menjadi inisiasi ECPR dan revaskularisasi
koroner.

1.2 Tujuan Umum


Melakukan kajian implikasi resusitasi kardiopulmoner ekstrakorporeal pada
kasus henti jantung pasien dengan Infark Miokard Akut.

1.3 Tujuan Khusus


1. Mengetahui dan memahami konsep dasar Infark miokard akut
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar resusitasi kardiopulmoner
ekstrakorporeal
3. Menganalisa keefektifan pemberian resusitasi kardiopulmoner
ekstrakorporeal pada kasus henti jantung pasien dengan Infark Miokard
Akut

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari review penelitian ini adalah untuk menambah wawasan
dan pengetahuan terhadap kemajuan teknologi beserta strategi penanganan
yang baru dalam usaha menurunkan angka kematian dan laju perubahan
neurologis setelah henti jantung khususnya pada pasien Infark Miokard Akut.
Selain itu juga sebagai pengenalan konsep pendekatan baru untuk pasien
AMI dengan ECPR dan PCI (percutaneous coronary intervention) untuk
strategi perawatan yang bertujuan untuk mengurangi masa kritis dari henti
jantung menjadi inisiasi ECPR dan revaskularisasi koroner.

3
BAB II
KONSEP DASAR

2.1 Akut Miokard Infark


2.1.1 Definisi
Akut miokard infark atau sering disebut Infark miokard akut adalah
nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu (Suyono,
1999). Infark miokard akut mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung
akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah coroner
berkurang (Smetzler Suzanne C & Brenda, 768:2002).
Infark miokard akut terjadi secara tiba-tiba oklusi arteri koroner,
biasanya akibat dari pecah atau erosi atheromatus yang rentan plak coroner
dan kejadian ini sering terjadi pada situs luminal di mana tingginya
persentase penyempitan koronary, sebagaimana ditentukan oleh angiografi
coroner. Pada 40% korban koroner mendadak terjadi kematian, studi otopsi
mengidentifikasi lokasi plak pecah pada tingkat lesi koroner yang
menghasilkan lebih sedikit dari stenosis. Dalam keadaan seperti itu, henti
jantung bisa merupakan manifestasi pertama dari atonia koroner sclerosis
dan pada sebagian besar kasus ini terjadi karena di luar rumah sakit.

2.1.2 Etiologi
Etiologi infark miokard akut secara garis besar dapat disebabkan oleh:
1. Ateriosklerosis: kondisi yang dikarakteristikkan dengan adanya akumulasi
abnormal dari substansi lemak dan jaringan fibrosis dalam dinding
pembuluh darah.
2. Spasme pembuluh darah kororner
3. Penyumbatan coroner akibat emboli atau thrombus

2.1.3 Manifestasi klinis:


1. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus menerus tidak
mereda, seperti tertusuk-tusuk yang menjalar ke bahu dan terus ke bawah
menuju lengan.
2. Hasil laboratorium enzim jantung meningkat:

4
a. CPK/CKMB sebagai isoenzim yang ditemukan pada otot jantung
meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam dan kembali
normal dalam 36-48 jam.
b. LDH meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama untuk
kembali normal.
c. AST-SGOT meningkat dalam 6-12 jam, memuncak dalam 24 jam dan
kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
3. Pemeriksaan EKG: pada fase awal adanya gel.T tinggi dan simetris,
kemudia terdapat elevasi segmen ST dilanjutkan adanya gelombang
Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.

2.1.4 Pemeriksaan diagnostic


Beberapa pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan sebagai
penunjang dalam penegakan diagnosa antara lain:
1. EKG: menunjukkan pola cidera iskemik dan gangguan konduksi
2. Monitor Holter (EKG 24 jam): menentukan lokasi disritmia dan
mengevaluasi fungsi obat antidisritmia dan pacu jantung
3. Foto thorak: menunjukkan pembesaran bayangan jantung terkait disfungsi
ventrikel
4. CT Scan thorak: menunjukkan area iskemik miokard
5. Tes stress latihan: mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan
disritmia
6. Pemeriksaan elektrolit: peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan
magnesium dapat menyebabkan disritmia

2.1.5 Komplikasi:
1. Edema paru akut, Gagal jantung
2. Syok kardiogenik
3. Disritmia
4. Tamponade jantung

2.1.6 Penatalaksanaan:
1. Pemberian obat-obat aritmia: quinidine, mexiletine, propranolol,amiodaron,
verapamil
5
2. Terapi medis:
a. Kardioversi: pemberian kejut listrik untuk menghentikan disrtimia
b. Defibrilasi: kardioversi asinkronis yang digunakan dalam kondisi gawat
darurat
c. defibrillator kardioverter implantable: alat untuk mendeteksi dan
mengakhiri episode ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi yang
mengancam jiwa
d. pace maker: alat listrik yang mampi menghasilkan stimulus listrik
berulang ke otot janting untuk mengontrol frekuensi jantung

2.2 ECPR ( Ekstracorporeal Cardio Pulmonary Resuscitation )


2.2.1 Definisi
Resusitasi kardiopulmonary ekstra-corporeal (ECPR) adalah
sebuah temuan baru teknologi masa depan sebagai salah satu teknik
penyediaan aliran darah yang lebih besar dan pengiriman suplai oksigen
selama serangan jantung daripada kompresi dada secara tertutup. ECPR
sebagian besar dipandang sebagai terapi penyelamatan pada pasien dengan
serangan jantung atau syok kardiogenik. Penerapan cepat ECPR untuk
sementara waktu dapat mendukung pasien dengan kolaps kardiovaskular dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Setelah pasien dinyatakan henti jantung,
resusitasi kardiopulmoner dimulai sesuai dengan algoritma. Dengan bantuan
layanan medis darurat dan dalam tim resusitasi rumah sakit akan menilai
semua pasien baik OHCA dan IHCA untuk kelayakan mereka dilakukan
ECPR. Beberapa kriteria, khusus untuk setiap situs ECMO diterapkan saat
kompresi jantung dilanjutkan.
Riwayat klinis pasien ditinjau untuk menilai kemungkinan penyebab
reversibel terkait dengan penegakan diagnosa henti jantung. Pasien juga
ditinjau untuk adanya kontraindikasi seperti gangguan neurologis yang sudah
ada sebelumnya atau keterbatasan signifikan dalam kemampuan untuk
melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari. Pasien yang dianggap tidak cocok
untuk ECPR akan dilanjutkan protokol ALS standar atau sesuai dengan
arahan perawatan lanjutan yang sudah ada.
Konsep ECPR didasarkan pada pemanfaatan sistem oksigenasi
membran ekstracorporeal (ECMO) yang meliputi oxygenator membran yang
6
terhubung ke pompa sentrifugal dan penukar panas, saling berhubungan
melalui bypass yang dimasukkan secara perkutan ke dalam arteri dan vena
femoralis. Pada pasien dengan syok atau henti jantung, insersi veno-arteri
ekstra sistem oksigenasi membran korporeal dapat sangat berguna dalam
memberikan dukungan peredaran darah yang cepat, dan staf medis harus
dilatih untuk mengatur dan memulai perangkat ECMO dalam sepuluh menit.
Kemajuan terbaru dalam teknologi medis telah menghasilkan sebuah
perangkat ECPR yang digunakan untuk ECLS dengan ukuran yang
memungkinkan untuk membawa perangkat ke tempat pasien dalam kasus
henti jantung di luar rumah sakit (OHCA).

2.2.2 Indikasi ECPR:


1. Pasien yang sebelum ditemukan dalam kondisi umum sehat, masih ada
tanda-tanda vital selama CPR berlangsung, hal ini membutuhkan
penilaian global yang cepat namun menyeluruh oleh dokter perawatan
kritis yang berpengalaman.
2. Tujuan terapi secara keseluruhan bersifat kuratif.
3. Patologi kausal henti jantung dianggap masih dapat diatasi dengan
intervensi medis atau bedah yang tersedia.
4. Serangan jantung di luar rumah sakit (OHCA) dan serangan jantung di
rumah sakit (IHCA)

2.2.3 Persiapan ECPR:


Setelah seorang pasien dianggap sesuai indikasi untuk ECPR, tim
ECPR akan disiapkan . Pasien akan tetap dilakukan CPR menggunakan
alat kompresi mekanis, Autopulse (TM ZOLL Inc, MA USA) kemudian juga
disiapkan larutan infus 2L saline dingin dalam upaya untuk menginduksi
hipotermia, kemudian pasien diintubasi untuk mendapatkan dukungan
ventilasi, sementara semua anggota tim ECPR mempersiapkan prosedur
kanulasi.

2.2.4 Prosedur Kanulasi:


Setelah mengkonfirmasi bahwa pasien sesuai indikasi untuk
ECPR, tim serta peralatan ECPR lengkap dan siap maka proses kanulasi
7
dimulai. Dengan jeda singkat dalam kompresi dada, teknik Modified
Seldinger digunakan untuk mengakses arteri femoral dan vena femoralis
dengan bantuan ultrasound. Kanula arteri diarahkan sampai ke aorta
descending, sedangkan kanula ke vena cava inferior. Posisi masing-masing
kawat pemandu dikonfirmasi dengan rontgen dada.

2.2.5 ECMO (extracorporeal membrane oxygenation)


Setelah kanulasi berhasil dikonfirmasi, 5000 unit Heparin intravena
diberikan. Kanula pasien melekat pada sirkuit ECMO dengan target aliran
darah 3L/min dan aliran darah oksigen 3L/min. Gas darah arteri digunakan
untuk menilai keberhasilan oksigenasi dan peningkatan metabolisme setelah
dimulainya ECMO. Setelah pasien distabilkan pada sirkuit ECMO, mereka
dipindahkan untuk pengelolaan patologi kausal lebih lanjut, misalnya ke
laboratorium kateterisasi jantung untuk angiogram koroner atau ke radiologi
untuk trombektomi.
Dalam upaya untuk menghindari iskemia tungkai akan dipasang
kanula ketiga. Kanula ketiga ini diarahkan ke distal ke arteri femoralis untuk
memastikan perfusi ekstremitas bawah. Kemudian dilanjutkan dengan
hipotermia terapeutik yaitu pemberian suhu target 33 ° C dipertahankan
selama 24 jam pertama setelah dimulainya ECMO, dengan penghangatan
secara bertahap setelah pasien stabil.

8
BAB III
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS JURNAL

3.1 Identifikasi Jurnal


 Judul : Extracorporeal Life Support and New Therapeutic Strategies
for Cardiac Arrest Caused by Acute Myocardial Infarction a Critical
Approach for a Critical Condition
 Penulis : Theodora Benedek, Monica Marton Popovici, Dietmar
Glogar
 Jurnal : The Journal of Critical Care Medicine 2016;2(4):164-174

3.1.1 Tujuan Penelitian


Review beberapa penelitian ini bertujuan untuk memberikan strategi
terapi yang paling tepat, berdasarkan pendekatan beberapa tindakan
sekaligus yaitu PCI, pendinginan dan ECPR untuk pasien henti jantung di luar
rumah sakit (OHCA) dengan dugaan penyebab asal adalah iskemik, dimana
data awal menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang sangat rendah pada
pasien paska henti jantung dan berimbas pada penurunan fungsi system
neurologis.

3.1.2 Hasil Review Penelitian


1. Dalam penelitian CHEER pasien kelompok dengan dilakukan ECPR
menunjukkan 87% tingkat non-rekanalisasi selama angiografi koroner
dibandingkan dengan kelompok non ECPR sebesar 58%. Pendekatan
kompleks terkait ECPR pada henti jantung diduga berasal dari kondisi
iskemik. Pendekatan komprehensif pada pasien dengan henti jantung
yang reversibel disebabkan oleh infark miokard akut telah dilakukan PCI
(intervensi koroner perkutan), dan terapi hipotermi untuk memastikan
perlindungan saraf dan pemeliharaan fungsi organ sampai pemulihan.
Penelitian CHEER juga mempelajari pendekatan kompleks termasuk CPR
mekanik, ECMO dan hipotermia terapi menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup 54% dengan pemulihan neurologis penuh pada
pasien dengan henti jantung refrakter terhadap CPR konvensional.

9
2. Penelitian OHCA Praha menunjukkan peran pendekatan hiper-invasif,
termasuk perangkat kompresi dada mekanik, terapi hipotermi, ECLS dan
pendekatan revaskularisasi invasif awal, pada pasien dengan OHCA yang
diduga berasal dari kasus henti jantung. Hasil awal dari penelitian ini
menunjukkan data yang menggembirakan, dengan tingkat kelangsungan
hidup 20% dan kategori kinerja otak 75% dari yang selamat. Namun,
tingkat kelangsungan hidup pada pasien yang dirawat di bawah CPR yang
sedang berlangsung hanya 30% . Pada pasien OHCA dengan takikardia
ventrikel / fibrilasi ventrikel seperti yang ditunjukkan pada
elektrokardiogram awal, perawatan kompleks termasuk ECPR, hipotermia
terapi, dan penyisipan pompa balon intra-aorta secara signifikan
meningkatkan hasil neurologis. Namun, pada pasien tanpa pra-rumah
sakit dengan sirkulasi spontan, penerapan ECPR tidak mengarah pada
hasil yang jauh lebih baik.
3. Penelitian lain yang melibatkan 86 pasien dengan ACS yang tidak
responsif terhadap CPR konvensional, PCI dilakukan pada 71% kasus,
yang menyebabkan kembalinya detak jantung spontan dalam semua
kasus. Pada mereka yang bertahan 30 hari, tingkat PCI lebih tinggi (p =
0,04) dan interval waktu dari henti jantung ke inisiasi ECPR lebih pendek
(p = 0,002). Dalam penelitian ini, penyisipan pompa balon intra-aorta
dilakukan pada 83% kasus sementara hipotermia terapeutik ringan
diindikasikan hanya pada 37% kasus. Pasien yang menerima PCI memiliki
hasil yang lebih baik, seperti tingkat ROSC yang berkualitas (p <0,001),
persentase penyapihan yang lebih tinggi dari ECMO (p = 0,009), tingkat
peningkatan kelangsungan hidup 30-hari (p = 0,03) dan kondisi sistem
neurologis yang terbukti lebih baik (p = 0,005). Studi ini menunjukkan
bahwa PCI beserta ECPR dapat menurunkan angka kematian pada
pasien henti jantung yang tidak responsif terhadap CPR.
4. ECPR pada infark miokard akut dengan syok kardiogenik. Dalam review
kasus kritis ini, ECPR dapat berfungsi sebagai jembatan menuju
transplantasi, untuk implantasi alat bantu jangka panjang atau untuk
pemulihan, sementara penyisipan pompa balon intra-aorta dapat
memberikan dukungan hemodinamik tambahan selama periode bridging.
Dalam kasus syok kardiogenik dan infark miokard akut, kunci untuk
10
bertahan hidup adalah sistem transportasi pasien ke pusat tersier dengan
pelayanan khusus jantung. Dalam program Cardiac-RESCUE, delapan
puluh tujuh pasien berturut-turut dengan OHCA dan syok kardiogenik
refrakter menerima dukungan ECPR diikuti oleh transportasi darurat ke
pusat tersier. Tiga puluh dua pasien (36,8%) selamat dari rumah sakit, dan
prediktor independen yang paling kuat dari angka kematian adalah inisiasi
ECPR (p <0,0001)
5. Dalam studi lain 955 pasien dengan RJP pasien IHCA menunjukkan
tingkat yang jauh lebih tinggi tingkat kelangsungan hidup dibandingkan
dengan pasien OHCA (p <0,0001). Dalam studi 5 tahun terakhir ECPR
untuk OHCA refraktori, persentase pasien yang berhasil disapih dari
sistem mencapai 11,7% sementara hanya 8,8% dari pasien bertahan
hidup untuk keluar [35]. Semua data ini menunjukkan bahwa ECPR
dianggap layak sebagai alternatif terutama dalam kasus kritis ketika CA
terjadi pada pasien rawat inap.

3.2 Analisis Hasil Penelitian


1. Masalah etika yang terkait dengan penggunaan ECPR dibahas dalam
beberapa publikasi, terutama ECPR indikasi transplantasi organ harus
dipertimbangkan terlebih dahulu dimulainya prosedur donasi organ apapun,
karena pasien mungkin telah diselamatkan melalui ECPR dan menjadi
keterbatasan dalam protocol donasi organ.
2. ECPR terbukti bermanfaat terutama bagi pasien IHCA sementara hasilnya
kurang menguntungkan bagi pasien OHCA, ini berhubungan dengan waktu
pengambilan keputusan yang lebih cepat dan inisiasi ECPR pada pasien
IHCA. Dalam meta-analisis 38.160 pasien dengan hasil neurologis sebagai
titik akhir, ECPR menunjukkan hasil yang jauh lebih baik daripada CPR
konvensional untuk pasien IHCA, sedangkan untuk pasien OHCA perbedaan
antara ECPR dan CPR standar adalah tidak signifikan secara statistik.
3. Hasil neurologis setelah henti jantung adalah penentu utama dari prognosis
masa depan dan kualitas hidup. Dengan pemulihan neurologis yang dicapai
akan mengarah kepada stabilisasi cepat status hemodinamik pada pasien
kritis.

11
4. Interval waktu kritis dalam ECPR dig dengaambarkan dengan istilah "door to
needle" dan "door to balon " untuk menggambarkan waktu dari kedatangan
pasien di rumah sakit sampai dengan implantasi sistem ECMO di kateterisasi
laboratorium selama PCI. Studi-studi menunjukkan bahwa waktu kurang dari
tiga puluh menit secara signifikan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup
pada tiga puluh hari, pada pasien dengan OHCA. Interval waktu optimal untuk
resusitasi di tempat kejadian seperti telah dibahas dalam analisis ROSC
menunjukkan bahwa penggunaan waktu enam belas menit resusitasi
mempunyai prognosis yang lebih baik. Penelitian lain merekomendasikan
untuk memperbaiki waktu transportasi 8 hingga 24 menit untuk menyingkirkna
factor pemberat.
5. Perkembangan teknologi baru dengan menggunakan system resusitasi
mekanik secara otomatis telah digunakan dalam upaya membantu
penyelamatan dengan system kompresi yang efisien, konsisten dan
berkelanjutan. Perangkat ini berfungsi sebagai support selama transportasi
dengan tanpa mengganggu sistem pendukung ECPR dapat dipasang
dengan hati-hati selama kompresi dada menuju lab.kateterisasi dengan
kemampuanya dapat mempertahankan oksigenasi otak selama resusitasi
sehingga system neurologis paska henti jantung minimal terganggu.
6. Terapi hipotermi dengan ECPR dilakukan tidak secara rutin selama
perawatan di rumah sakit, hanya untuk kasus dengan prognosis baik.
Protokol kompleks terapi hipothermia dan ECPR menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup 54% terkait dengan pemulihan neurologis penuh.

3.3 Implikasi Keperawatan


Rekomendasi yang diperbarui secara signifikan dari AHA 2015
Extracorporeal CPR (ECPR) dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk CPR
konvensional pada pasien tertentu yang mengalami serangan jantung dan pada
pasien dengan dugaan etiologi serangan jantung yang berpotensi reversible.
Strategi resusitasi baru seperti ECPR memberikan keputusan untuk mencegah
tindakan resusitasi menjadi lebih rumit. Pembaruan AHA 2015 memberikan
pedoman bagi tim penentu kebijakan rumah sakit dalam system layanan gawat
darurat untuk kasus henti jantung di dalam rumah sakit (IHCA) dan di luar rumah
sakit (OHCA). Perawat sebagai bagian dari tim layanan gawat darurat
12
memegang peranan penting dalam pemberian tindakan secara cepat dan tepat
serta mampu menggunakan semua dukungan teknologi dalam menangani kasus
henti jantung, terlebih yang terjadi di luar rumah sakit.
Pendekatan implementasi terapi baru di Indonesia mengarah pada
peningkatan yang signifikan tingkat kelangsungan hidup disertai dengan kondisi
system neurilogis yang baik. Misalnya, implementasi pendekatan seluruh sistem
untuk pasien OHCA, termasuk terapi hipotermia untuk pasien koma, inisiasi dari
ECPR, angiografi koroner langsung di kasus dengan dugaan etiologi iskemik
jantung dan pemberian defibrilasi darurat di pra-rumah sakit dan rumah sakit.
Peran perawat dalam hal ini khususnya perawat gawat darurat yang melayani
pre-rumah sakit (pre hospital service) diharapkan dapat meningkatkan
ketrampilan dan kewaspadaan dalam penanganannya seiring dengan
perkembangan teknologi untuk mengatasi henti jantung pasien di luar rumah
sakit. Seperti halnya tenaga perawat professional di Kanada dituntut mempunyai
kinerja tinggi dalam system perawatan orang dewasa dengan OHCA non-
traumatik menunjukkan bahwa integrasi program ECPR memiliki dampak
signifikan pada pasien, hasil akhir 68% pasien OHCA bertahan hidup masuk
rumah sakit dan 42% pulang dengan selamat.
Penerapan teknik ECPR di Indonesia sebagai pertolongan pertama
pada pasien henti jantung belum banyak dilakukan untuk kejadian di luar rumah
sakit (OHCA) belum ada literature yang memaparkan hal tersebut. ECPR lebih
pada metode ECMO yaitu ekstracorporeal membrane oxigenasi yang dilakukan
pada pasien-pasien episode refraktori jika intervensi operasi segera tidak
memungkinkan seperti pada kasus-kasus pediatrik dengan resiko kegagalan efek
samping operasi yang besar misalnya TOF yang dikawatrikan terjadi spell
berulang, maka dapat dilakukan ECMO terlebih dahulu. Di Indonesia telah
banyak dikembangkan system layanan gawat darurat pre-hospital, akan tetapi
belum sampai kepada tindakan alternative ECPR karena harus melibatkan tim
yang besar, SDM yang ahli serta peralatan yang selalu siap 24 jam.

13
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, akan disajikan
beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Kelangsungan hidup pasien dengan henti jantung disebabkan oleh infark


miokard akut sangat tergantung pada implementasi yang tepat dari terapi
yang memadai untuk memberikan dukungan peredaran darah yang
memadai. Peran perawat khususnya layanan gawat darurat dan kritis dituntut
untuk dapat mengaplikasikan penanganan keperawatan secara cepat dan
komprehensif.
2. Resusitasi kardiopulmonary ekstra-corporeal (ECPR) menjadi salah satu
teknik penyediaan aliran darah yang lebih besar dan pengiriman suplai
oksigen selama serangan jantung daripada kompresi dada secara tertutup.
ECPR sebagian besar dipandang sebagai terapi penyelamatan pada pasien
dengan serangan jantung atau syok kardiogenik.
3. Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) merupakan upaya untuk
menyelamatkan seseorang dari keadaan yang emergency diharapkan dapat
dikuasai baik oleh tenaga medis maupun no-medis. CPR yang efektif di
tentukan oleh kuantitas dan kualitas CPR itu sendiri. AHA (American Heart
Assosiation) merupakan asosiasi yang terus mengupdate sekuens CPR
terbaru. Dengan mengetahui sekuens CPR terbaru diharapkan operator CPR
dapat melakukan CPR yang berkualitas sehingga kesempatan hidup pasien
menjadi lebih tinggi. Ekstracorporeal Cardiopulmonary Resucitation (ECPR)
sebagai temuan baru teknik CPR terbukti dikaitkan dengan penurunan yang
signifikan pada mortalitas bila dilakukan dengan tepat waktu dalam pemilihan
yang baik kasus OHCA maupun IHCA. Perawat sebagai bagian dari tim
khusus menjadi pemegang peran yang penting untuk dapat menguasai
teknologi pendukung tindakan ECPR.

14
4.2 Saran

Adapun saran-saran dalam sharing jurnal kali ini adalah mulai


ditingkatkan dan dikembangkan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai
pendekatan ECPR terutama di rumah sakit pendidikan agar dapat menghasilkan
suatu standar prosedur keperawatan yang terkini. Peningkatan pengetahuan
yang selalu update dan ketrampilan bagi tenaga perawat ruang gawat darurat
dan ruang perawatan intensif dapat dilakukan dengan diadakan workshop,
pelatihan maupun seminar khususnya perawatan pre hospital.

15
DAFTAR PUSTAKA

AHA 2015, CPR, ECG Guideline-highlight Indonesia


http://ecgguidelines.heart.org/2015 diunduh pada tgl. 15 April 2019

Brunner & Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12, EGC, Jakarta,
2013

ECMO E-Journal undip, http://ejournal.undip.ac.id/index.php/janesti diunduh


pada tgl.13 April 2019

F.Perdhana, Laporan kasus penanganan perioperative, 2018,


http://ejournal.undip.ac.id/index.php/janesti diunduh pada tgl.15 April 2019

Laila Tul, Askep Miokard Infark Akut, http:// www.academia.edu/10667737


diunduh pada tgl.13 April 2019

What’s new on AHA 2015, http://simdos.unud.ac.id/upload/file diunduh


pada tgl.17 April 2019

16
17

Anda mungkin juga menyukai