Skripsi
Disusun Oleh:
Hidayatul Mufid
NIM: 1113033100018
FAKULTAS USHULUDDIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H. / 2018 M.
i
ABSTRAK
PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Tulisan ini fokus pada pemikiran tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani yang
tertuang dalam sejumlah karyanya. Diantara karya-karyanya yaitu Salâlim al-
Fudalâ, Nasâ‟ih al-„Ibâd, dan Qâmi‟Tughyân yang semuanya ini menjadi sumber
primer penulis dalam mengkaji konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani. Buku-
Buku tersebut berisi nasehat-nasehat, petunjuk, serta bimbingan untuk dapat
menjalankan perintah agama dengan baik. Meninggalkan segala perilaku buruk,
dan menanamkan dalam hati segala sifat terpuji.
Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan
praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, karakterstik pemikirannya serta
relevansi pemikirannya dengan zaman modern. Poin yang dapat diambil dari
konsep pemikirannya yakni Syekh Nawawi merupakan tokoh seperti al-Ghazali di
era modern, karena ia mampu menyatukan kebekuan antara fiqih dan tasawuf.
Selain itu dalam pemikirannya ia lebih menekankan kepada pengamalan yakni
mulai dari syariat, tarekat dan hakekat serta wasiat-wasiat jalan spiritualnya untuk
sampai kepada kedudukan yang lebih dekat dengan Allah yakni, taubat, qanaah,
zuhud, mempelajari ilmu syariat, menjaga sunnah rasul, tawakal, ikhlas, uzlah,
memperhatikan waktu dan ma‟rifat. Dari semua konsep pemikirannya ini ia
mencoba menyeimbangkan antara hubungan manusia dengan Tuhan dengan
hubungan manusia dengan manusia yang lain. Adapun corak yang tergambar dari
konsep tasawufnya yakni tasawuf Sunni yang mana seluruh ajarannya
disandarkan kepada al-Qur‟an dan Hadits serta orientasinya kepada pembentukan
akhlak yang baik.
Tujuan dari penelitian praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ini
adalah untuk mengenalkan kembali kepada khalayak umum tentang konsep
tasawufnya yang mungkin juga menjadi solusi dari keadaan moral generasi
bangsa saat ini yang semakin terdegradasi. Dengan adanya tulisan ini semoga
menjadi pedoman untuk kehidupan yang lebih terarah dan dapat menciptakan
masyarakat madani yang memiliki akhlak dan hati nurani yang Islami.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr. wb
dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan
pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak terlepas dari
bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan
terimakasih kepada:
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam dan Abdul Hakim, S.H.I, M.A., selaku Sekertaris Program
5. Abi Sofan dan Umi Suheti, kedua orang tua yang selalu memberikan
manapun penulis berada, serta kakak dan adik-adik tercinta yang selalu
vi
vii
6. K.H Bahrudin S.Ag (Abi) dan Hj. Tutik Rosmaya SE (Umi) selaku
Filsafat kelas A yang selalu menemani suka duka dan selalu mendengar
8. Untuk seseorang yang selalu memberikan banyak hal kepada penulis, baik
saat galau tanpa mengenal lelah yakni Siti Nurhidayah. Semoga tetap
penulis.
11. Terimakasih atas semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
Tentu terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini, baik secara tekstual
mapupun kontekstual, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan
ABSTRAKSI ............................................................................................................v
ix
x
A. Kesimpulan ....................................................................................................85
x
xi
ك K ka
ل L el
م M em
ن N en
و W we
ه H ha
ء „ apostrof
ي Y ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal
َ A fathah
َ I kasrah
َ U Dammah
َي Ai a dan i
َو Au a dan u
xii
Vokal Panjang
سا
َ Ȃ A dengan topi di atas
سي
ِ Ȋ I dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (َ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang
sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t). Namun, jika
huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang semakin modern dan serba canggih ini banyak
yang sebatas hanya untuk memenuhi hawa nafsu pribadi. Pada dasarnya,
ke arah yang lebih baik dengan harapan tercapai suatu kehidupan yang maju dan
tersebut sehingga mereka kehilangan jati diri dan terlantarnya kebutuhan spiritual.
Bahkan, sampai mereka tidak mengetahui posisi dan hubungannya dengan Sang
pergaulan para remaja dan pelajar yang kini kian memprihatinkan perlu juga
menjadi perhatian khusus. Pergaulan yang sudah tidak lagi mengindahkan norma-
norma agama maupun sosial masyarakat dan mengarah kepada pergaulan bebas
1
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h.
270.
1
2
saat ini sudah mewabah di kalangan remaja dan pelajar. Remaja atau ABG (anak
baru gede) adalah subjek yang paling banyak menjadi korban dalam pergaulan
bebas, bahkan saat ini sudah menular kepada anak-anak sekolah dasar. Ini bisa
dipahami, karena kebanyakan anak muda seusia mereka memang masih sangat
labil. Mereka kadang susah membedakan sesuatu yang baik dan buruk bagi
bahwa berbagai krisis menimpa kehidupan manusia modern, mulai dari krisis
sosial, krisis struktural sampai krisis spiritual. Semuanya itu bermuara pada
kian menumpuk, tetapi jiwa mengalami kekosongan. Seiring dengan logika dan
orientasi yang kian modern, pekerjaan dan materi lantas menjadi aktualisasi
Selain itu, keadaan ekonomi yang mulai bersaing baik di tingkat perdesaan
Kecenderungan dan cinta terhadap materi merupakan bagian faktor yang dapat
2
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. viii.
3
Akibatnya, jika terkena problem yang tidak dapat dipecahkan dirinya, ia akan
stres dan frustasi. Pada dasarnya, berusaha untuk mencari harta sangatlah
dianjurkan oleh Allah agar tetap dapat menyambung hidup dan agar dapat
menjalankan segala kewajiban dengan baik. Akan tetapi, mencari harta akan
dosa seperti sombong, serakah, dengki, congkak, tamak dan sifat-sifat buruk
lainnya.3
Meskipun demikian, dari segala pelik persoalan ini masih ada upaya untuk
kehidupan modern ini harus mempunyai landasan yang kuat, yaitu akidah Islam
yang bersumber dari Al-Qur‟an dan hadis. Dengan cara seperti ini maka akan
terbangun kehidupan yang seimbang antara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi,
serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi roh bagi
3
Sudirman Tebba, Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari, (Ciputat: Pustaka
irVan, 2008), h. 119.
4
Adlin Sila dkk, Sufi Perkotaan, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta, 2007), h. ix-x.
4
sebagai bentuk pencarian jati diri dan pendekatan diri kepada Sang Maha
Pencipta. Maka jalan tasawuf juga menjadi salah satu solusi jalan untuk
akan keterpisahan dari sumber dan tempat kembali kita yang sejati. Tetapi,
tasawuf juga menjelaskan kepada kita dari mana kita berasal dan kemana kita
akan kembali. Dengan demikian, dalam arti tertentu tasawuf telah memberikan
maka salah satu solusinya adalah kembali kepada agama dengan membumikan
yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan
kehidupan, di masa mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan hati mereka, serta tidak membuat mereka
mengingkari Tuhannya.6
Itulah yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf. Untuk
mengatasi masyarakat modern saat ini. Tasawuf dapat dijadikan salah satu
5
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 272.
6
Al-Tafthazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi‟ Usmani,(Bandung:
Pustaka ITB, 1985), h. 54.
.
5
انتصىف تصفيت انمهىب حتى اليعاودها ضعفهاانذاتى ومفارلت اخالق انطبيعيت واخماد صفاث
Selain itu, tasawuf tidak dipahami hanya sebatas pembersihan hati akan
tetapi juga sebagai proses pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui amalan-
amalan seperti dzikir, „uzlah dan berakhlak dengan akhlak Tuhan sebagai salah
satu pelatihan manusia agar dapat merasakan kehadiran Allah di dalam kehidupan
membentuk kepribadian Muslim agar memiliki keyakinan dan akidah yang lurus,
memiliki sikap peduli terhadap problematika yang sering dihadapi kaum Muslim
Jadi dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis
kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak
mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas
makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas
7
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), h. 11.
8
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global Upaya Membangun
Karakter Muslim, (Jakarta: Trans Pustaka, 2012), h. 177-178.
6
Islam, ladang kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta
Ada beberapa alasan mengapa saya tertarik mengangkat tokoh ini. Pertama, dia
adalah maha guru yang telah melahirkan tokoh-tokoh pembesar Islam khususnya
di tanah Jawa seperti K.H. Hasyim „Asy‟ari, K.H. Khalil, K.H Asnawi dan masih
banyak lagi. Kedua, Syekh Nawawi adalah tokoh dari tanah Jawa yang sangat
mudah dipahami oleh masyarakat umum. Ketiga, isi dari pemikiran Syekh
Nawawi khususnya dalam bidang tasawuf yang sangat relevan sehingga menjadi
satu pembahasan skripsi dengan judul: “ Praktik Tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani”.
tasawufnya, karena Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang pemikir Islam dari
ini ?
ini.
Hidayatullah Jakarta.
b. Sebagai salah satu tambahan referensi dalam bidang keilmuan atau juga
D. Tinjauan Pustaka
pustaka dari beberapa karya ilmiah. Dalam bidang akademis, ditemukan karya
ilmiah yang secara khusus mengkaji karya dan pemikiran Syekh Nawawi baik
dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi, tesis, maupun disertasi dari
berbagai sisi dan perspektif, mulai dari pemikiran teologis, fiqih, pendidikan,
Beberapa karya ilmiah yang penulis temukan yang memiliki keterkaitan yang erat
Dalam karya ilmiah Sri Mulyati menulis tesis yang berjudul Sufism in
mendasar lain dengan karya ilmiah ini yaitu, dalam karya ilmiah Sri Mulyati
hanya menganalisis tasawuf Syekh Nawawi dari satu karya tasawufnya saja yaitu
Salâlim al-Fudalâ. Sedangkan dalam karya ilmiah ini akan dibahas tasawuf Syekh
Nawawi dari tiga karya tasawufnya yakni Salâlim al-Fudalâ, Nasâ‟ih al-„Ibâd
Penelitian yang dilakukan oleh Rifya Mahmudin pada tahun 2015 Fakultas
Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
Penelitian yang dilakukan oleh Setya Pambudi pada tahun 2013 Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN Surakarta
dengan skripsi berjudul Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd
konsep pendidikan akhlak pada murid terhadap guru pada kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd
pendidikan akhlak terhadap guru dalam kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd ditinjau dari 3
(tiga) aspek yaitu : 1. Ruang Lingkup pendidikan akhlak terhadap guru 2. Metode
Dari hasil penelitian di atas yang penulis temukan hanya sedikit yang
Bantani. Maka dari itu, dari karya-karya tasawufnya penulis akan menganalisis
lebih kritis lagi untuk menemukan praktik tasawuf dari Syekh Nawawi al-Bantani
ini.
E. Metode Penelitian
Nawawi al-Bantani itu sendiri, yaitu Nasâ‟ih al-„Ibâd, Salâlim al-Fudalâ dan
Qami‟ al-Tughyân.
10
Tasawuf oleh Dr. Mustafa Zahri yang diterbitkan oleh PT Bina Ilmu Tahun 1976,
Ilmu Tasawuf oleh Drs. Samsul Munir Amin yang diterbitkan oleh Amzah Tahun
2012, skripsi, jurnal atau makalah yang berkaitan dengan tema yang dibahas oleh
gunakan dalam penulisan skripsi ini mengacu pada buku yang sama yaitu
Jakarta.
F. Sistematika Pembahasan
Bab I: Pendahuluan, yaitu signifikasi tema yang meliputi latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
Bab II: Pada bab ini penulis membahas gambaran umum mengenai konsep
tasawuf dengan sub-bab antara lain pengertian dan tujuan tasawuf, sejarah dan
Bab III: Pada bab ini merupakan sebuah upaya mengenal biografi tokoh. Hal ini
Nawawi al-Bantani.
Bab IV: Pada bab ini penulis membahas praktik dari tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani dengan sub-bab antara lain praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani,
corak dan karakteristik dari pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dan relevansi
Bab V: Pada bab ini akan diberikan sebuah kesimpulan akhir sebagai jawaban
dari rumusan masalah yang diajukan dalam skripsi ini dan disertakan pula saran-
dengan akhlak Tuhan, tidak terlena dengan kenikmatan dunia yang sesaat dan
harus selalu berintrospeksi diri serta berusaha untuk dekat dengan Allah.
dapat berakhlak mulia dan agar selalu berada di dalam garis yang sudah
ditentukan-Nya.1
Secara etimologi kata “Tasawuf” berasal dari kata “ahl al-Suffah” ( اهم
)انصفتyang berarti sekelompok orang yang tidak memiliki apapun, yang hidupnya
masjid di Madinah yang mana mereka ikut berhijrah bersama Nabi dari Makkah
ke Madinah. Di masjid Nabi ini mereka tinggal di atas bangku dengan berbantal
Ada yang berpendapat lain bahwa tasawuf berasal dari kata “saff” yang
berarti “barisan ketika shalat”. Alasannya, karena shalat adalah pangkal atau tiang
agama ()انصالةعماداندين, selain itu orang yang memiliki iman yang kuat atau murni
kebatinannya pasti memilih barisan yang paling terdepan dalam shalat, agar hati
1
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 6-7.
2
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 57.
3
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 3.
12
13
Kemudian, ada juga yang mengartikan bahwa tasawuf berasal dari kata
“sûf” yang berarti “bulu domba” atau “kain yang terbuat dari bulu yaitu wol”.
Pada waktu itu, pakaian yang terbuat dari kain wol adalah salah satu simbol dari
pakaian yang berbahan kain wol ini sebagai bukti penafian kaum sufi terhadap
duniawi serta menjadi langkah untuk bersikap tawadhu.4 Dalam satu riwayat
dikatakan dari Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa, pakaian yang terbuat dari bulu
itu adalah pakaian kaum fakir, orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang
berdosa.5
Dari manapun kata tasawuf itu berasal, dari bahasa Arab atau Yunani, dari
semua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, tasawuf adalah suatu
upaya yang mengajak manusia untuk selalu dekat dengan Tuhannya, selalu
keduniawian yang bersifat semu, rela berkorban dalam hal kebaikan dan selalu
bawah ini penulis akan menjelaskan beberapa pendapat dari sufi terkemuka
mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Barang siapa yang belum
bertasawuf.6
4
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 4-5.
5
Ahmad Daudy, Kuliah Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 20.
6
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 6.
14
adalah moral/akhlak.
Abu Hasan Nuri menegaskan kembali bahwa, Tasawuf tidak bisa hanya
dikatakan terdiri dari praktik-praktik saja karena jika tasawuf terdiri dari itu saja ia
bisa didapatkan hanya melalui usaha semata, dan jika ia terdiri atas ilmu-ilmu
akhlak yang tidak dapat diperoleh dengan hanya pelajaran dan praktik formalitas
Tuhan.7
tasawuf, dalam penjelasannya banyak menyerupai pendapat dari Imam Junaid al-
Baghdâdi yang menekankan pada penyucian hati, menjauhi dari segala bentuk
penyakit hati seperti dengki, riya, ingin dipuji, sombong, angkuh, tamak, kikir dan
menurutnya mengajarkan seseorang untuk melihat pada dirinya sendiri atau selalu
berintropeksi dan memperbaiki diri dengan tuntunan Nabi dan pedoman al-
Qur‟an, serta menghiasi diri dengan sifat-sifat yang dicontohkan oleh Nabi
7
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi (Bandung: Mizan
Pustaka, 1992), h. 51.
15
selalu bertaubat serta jalan-jalan lain menuju Allah yang akan dijelaskan oleh
Adapun tujuan terpenting yang ingin dicapai dari tasawuf ini adalah agar
salah satu yang menjadi akhir dari perjalanan seorang sufi adalah mengenal Tuhan
dengan jalan yang sesuai tuntunan yang sudah dijelaskan dari al-Qur‟an dan hadits
Nabi. Oleh karena itu, tidak ada tujuan lain bagi seorang sufi selain mendekatkan
diri kepada Allah melalui târiqah atau jalan-jalan menuju Allah dalam tasawuf
Secara terperinci terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dari tasawuf yaitu:
1. Pembinaan moral
2. Mencapai ma‟rifatullah
Selain itu, ada tujuan yang pasti menjadi tujuan semua manusia di bumi
yaitu menjadi manusia yang sempurna atau dalam tasawuf dikenal dengan insân
kâmil. Meskipun ada sajak Arab yang mengatakan bahwa al-insân makân al-khata
wa al-nisyân (manusia tidak akan pernah luput dari lupa dan kesalahan) akan
tetapi jika manusia mau berusaha untuk mengenal dirinya sendiri dan berakhlak
dengan akhlak Tuhan serta mengikuti Sunnah Nabi maka ia akan memperoleh
8
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 10-11.
9
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,
2005), h. 257-258.
16
oleh setiap agama tidak hanya dalam Islam. Tasawuf bahkan hadir di tengah
masyarakat Yunani seperti istilah asketis atau di dalam tasawuf dikenal dengan
Secara umum, banyak teori yang mengatakan bahwa tasawuf lahir atas
pengaruh dari luar Islam. Harun Nasution menjelaskan dalam bukunya Falsafah
dan Mistisisme dalam Islam bahwa tasawuf lahir atas beberapa pengaruh dari luar
yakni:
yang dapat terindra merupakan pancaran dari Tuhan yang Maha Esa.
10
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-45.
17
menjadi poin utama di setiap ajaran. Kesamaan itu ialah perintah untuk hidup
tidak terikat dengan hal keduniawian dan melakukan penyucian diri. Akan tetapi,
semua ini sebatas hipotesa paham dari luar yang mempengaruhi munculnya
Tasawuf yang merupakan refleksi dari peradaban Islam baik dari zaman
dahulu sampai sekarang dalam hal mental maupun spiritual tidak luput dari
serangan kaum orientalis. Mereka berpendapat bahwa tasawuf lahir dari kompilasi
sumber-sumber di luar Islam seperti Kristen, India maupun yang lain. Sebenarnya,
tasawuf tumbuh dan berkembang sendiri dari ajaran-ajaran Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. Dr. Ahmad Amin berpendapat secara jelas dan
terpecaya bahwa tasawuf lahir dari rahim Islam, dan rukun tasawuf dimulai
11
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 44-45.
18
wara‟ dan lain sebagainya sebagai petunjuk dan tuntunan umat Islam dan
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari kelahiran tasawuf ini.
Pada abad ke-5 H, Imam al-Ghazâli tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang
dianggapnya tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah dalam sebuah upaya
pendidikan jiwa dan pembentukan moral.13 Sebagian kaum sufi dari kalangan
Islam yang lain juga menolak bahwa ajaran atau isi dari tasawuf ini merupakan
Budha dan taqlid pada kaum Kristen. Ajaran atau isi dari tasawuf ini memiliki
landasan yaitu al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Tasawuf ini merupakan representasi
dari al-Qur‟an dan Hadits yang diperuntukkan untuk manusia untuk hidup lebih
baik dan lebih dekat dengan Tuhannya. Jadi, tasawuf merupakan refleksi dari
ajaran al-Qur‟an dan Hadits yang di dalamnya tercantum berbagai perintah untuk
salah satu sumber tasawuf dalam Islam. Meskipun secara langsung kata sufi tidak
terdapat dalam al-Qur‟an akan tetapi apabila lebih diteliti dan dipahami secara
seksama pada ayat al-Qur‟an, maka banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits
atas, meskipun ada yang berpendapat bahwa tasawuf terpengaruh dari ajaran-
12
Dr. Muhammah Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 21.
13
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009), h. 49.
14
Dr. Muhammah Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, h. 24.
19
ajaran luar akan tetapi pada dasarnya Islam sendiri memiliki pedoman dan
tuntunan yang jelas dan pasti dari Allah dan Nabi Muhammad.
Selain itu, ada sumber lain dalam Islam yang menjadi penyebab
tumbuhnya tasawuf, yaitu berasal dari perilaku Salaf al-Sâlih yakni sahabat-
sahabat Nabi, para tabiin, dan orang-orang sesudah itu. Dengan berperilaku
Allah dan berpaling atau tidak terikat dengan hal-hal keduniawian baik dari
ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad. Dengan membaca ayat-ayat al-
Qur‟an dan memahami maksudnya serta mencontoh kehidupan dan perilaku Nabi
bersama para Sahabat, menjadi salah satu sumber kuat tasawuf yang dijadikan
1. Tasawuf Akhlaqi
mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat kepada
Allah, dengan metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki biasa juga
disebut dengan istilah tasawuf Sunni. Tasawuf model ini berusaha untuk
mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari
15
Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. h,
19-20.
16
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 31.
20
dikembangkan para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazâli dan
para pengikutnya dari syekh-syekh tarekat, yaitu tasawuf yang berwawasan moral
manusia
pengobatan jiwa dengan cara riyâdah dan langkah takhali, tahalli dan
tajalli.18
akhlaki ini di antaranya yaitu, Hasan Basri, al-Muhasibi, Abu Hamid al-Ghazâli,
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ibn „Athaillah as-Sakandari, dan Imam al-Qusyairi.19
2. Tasawuf Falsafi
Sesuai dengan namanya, dalam tasawuf falsafi ini mulai memadukan visi
mistis dengan visi rasional atau tasawuf dengan filsafat. Berbeda dengan tasawuf
17
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia,( Depok: Pustaka Iman, 2009), h. 51.
18
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,
2005), h. 265.
19
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 32.
21
mengkolaborasikan antara tasawuf dengan filsafat atau suatu bentuk tasawuf yang
yang ada di dalam tasawuf dengan istilah-istilah filsafat yang sulit untuk dipahami
dominasi dari kandungan filsafat pada setiap terminologi tasawuf falsafi, selain itu
pemikiran tasawuf Ibnu „arabi yang banyak terpengaruh filsafat Plato dan Plotinus
lain al-Hallaj (244-309 H/ 858-922 M), Ibn Arabi (560 H.-638 H.), al-Jili (767 H.-
805 H.), Ibn Sab‟in (lahir tahun 614 H) dan Suhrawardi.23 Sedangkan tokoh-tokoh
Ronggowarsito di Jawa.24
20
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 263.
21
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 70.
22
Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat, terjemah.Ija Suntana dan & Edi
Kusdian, (Bandung, Pustaka Hidayah; 2002), h. 144.
23
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 71.
24
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iman, 2009), h. 58.
22
3. Tasawuf Irfani
kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau
itu diperoleh karena seorang sufi berupaya melakukan tasfiyat al-qalb. Dengan
hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batin dengan Tuhan, sehingga
memiliki dua aspek yaitu praktis dan teoritis. Aspek praktis „irfan adalah bagian
dunia dan Tuhan. Irfan praktis ini disebut pula al-Sair wa al-Suluk. Bagian ini
secara sistematis, dan keadaan jiwa yang akan dialaminya sepanjang perjalanan
Dengan demikian, „irfan ini menyerupai teosofi (falsafah Ilahi) yang juga
25
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 92.
23
untuk menjelaskannya.26
Adawiyah (96 H. – 185 H.), Dzunnun al-Misri (180 H.-246 H.), Imam Junaid al-
Baghdâdi (W. 297 H.), Abu Yazid al-Bustâmi (200 H.-261 H, al-Hallâj (244 H-
309 H).27
paling tinggi atau paling dekat dengan Tuhan harus melewati maqâmât dan ahwâl.
“Maqâmât” yang merupakan bentuk jamak dari kata “maqâm” berarti “sebuah
tingkatan perjalanan spiritual yang diusahakan oleh seorang sufi”. Sementara itu,
“ahwâl” yang merupakan bentuk jamak dari kata “hâl” berarti “suatu keadaan
mental yang dialami oleh sufi di dalam perjalanan spiritualnya” dan hâl ini
merupakan sebuah anugerah atau pemberian dari Tuhan yang tidak didapatkan
melalui usaha seorang sufi. Meskipun keduanya sama-sama dicapai dan dialami
dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan, akan tetapi secara mendasar keduanya
26
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 92-93.
27
Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, h.
181-193.
28
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 179-
180.
24
perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu
yang merupakan musuh terbesar dalam diri manusia dan juga menjadi kendala
Selain dari cara memperoleh maqâm oleh seorang sufi, penting juga
diketahui bahwa pengalaman spiritual dari seorang sufi juga lah yang
seorang sufi inilah yang menyebabkan deskripsi nama dan urutan maqâmât dari
seorang sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini penulis
menurut al-Ghazâli:
a. Taubat
tiga hal yaitu ilmu, keadaan, dan perbuatan. Jadi dengan ilmu maka
sehingga dari pengetahuan ini akan muncul suatu keadaan di dalam hati,
ini, seseorang akan selalu bertaubat dan memperbaiki diri dari kesalahan
yang lalu. Maka dari itu, jelaslah bahwa taubat adalah meninggalkan dosa
29
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 43-44.
25
dan kasih sayang Tuhan karena dosa tersebut, kemudian bertekad untuk
dengan Tuhan.31 Jadi pada maqâm ini seorang sufi diwajibkan untuk
membersihkan diri terlebih dahulu dari segala bentuk dosa dan menahan
b. Sabar
menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji jika dijalani sesuai dengan syariah.
menahan diri dari syahwat dan terlepas dari pengaruhnya. Alasan yang
30
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, (Jakarta: Mizan, 1997), h. 306.
31
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 197-198.
32
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 198.
26
c. Kefakiran
d. Zuhud
tingkatan bagi sufi untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi atau
33
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 316.
34
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 334.
35
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 198-199.
27
padanya”.37
tidak bergembira dengan yang ada atau bersedih dengan sesuatu yang
cinta Allah.38
e. Tawakal
lebih taat dan lebih dekat dengan Allah, maka pada tahap ini diperintahkan
segalanya kepada Allah. Karena kita sadar bahwa Dialah yang Maha
membuat hati kita lebih yakin dan percaya untuk lebih taat kepada-Nya.
36
Al-Ghazali, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 339.
37
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.
49.
38
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 199.
28
yaitu:
perhatian-Nya.
kepadanya.
Allah, karena Dialah Sang Penggerak, yang Maha Mengetahui dan Pemilik
dari segalanya.40 Akan tetapi bukan berarti dalam tawakal seseorang tidak
dianjurkan untuk melakukan ikhtiar atau usaha, hanya saja fungsi dari
39
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 51-52.
40
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 200.
29
kepada usaha dan ikhtiar karena jika mengandalkan usaha dan ikhtiar tak
f. Makrifat
ucapan syahadat.
pengetahuan yang hakiki, karena ma‟rifat hanya terdapat pada kaum sufi
yang mana bisa melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Jadi, ma‟rifat
keraguan lagi, jika yang dimaklumi adalah dzat Allah dan sifat-sifat-Nya.
41
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 59-60.
30
Bagi al-Ghazâli ma‟rifat melampaui ilmu. Jika ilmu bagaikan melihat api,
tersebut.42
g. Mahabbah
cinta ini merupakan salah satu hasil dari ketaatan seorang sufi dalam
perjalanan spiritualnya. Akan tetapi jika cinta yang tidak didasarkan atas
ilmu dan ketaatan dalam perintah atau sesuatu yang berkaitan dengan
Allah, maka itu adalah cinta yang dilakukan karena kebodohan dan kurang
bahwa, cinta terbagi menjadi dua bagian yakni cinta Tuhan kepada
manusia dan cinta manusia kepada Tuhan. Adapun bentuk cinta Tuhan
pahala untuk di akhirat, membuatnya aman dari segala mara bahaya dan
Tuhan adalah meyakini dalam hati yang beriman bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, selalu mengingat-Nya dalam bentuk dzikir atau selalu taat
42
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 53.
43
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 366.
44
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 55.
31
h. Rida
yang sebelumnya yakni mahabbah atau cinta, karena jika cinta itu sudah
tertanam di hati seorang sufi maka akan menimbulkan rasa rida atas semua
Ta‟rifât bahwa rida adalah senangnya rasa hati ketika menerima takdir
yang buruk. Jadi pada maqâm ini, seseorang diukur dari seberapa jauh
seorang sufi bisa menerima semua takdir yang diberikan oleh Allah, dan
jika seseorang telah berhasil meraih kedudukan ridha ini maka hatinya
akan selalu tenang dan tentram dengan segala putusan takdir yang datang.
adalah orang yang paling kaya karena dialah orang yang paling gembira
dan tentram, terjauh dari perasaan susah, resah, marah dan menggerutu.
45
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 56.
46
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 57.
47
Syeikh Abdul Qadir Isa, Cetak Biru Tasawuf:Spiritualitas Ideal dalam Islam, h. 232.
32
banyak harta akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan hati yang
Seperti yang dikatakan Harun Nasution bahwa hâl adalah keadaan mental sepeti
perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, rendah hati, patuh, ikhlas dan
sebagainya.48 Selain itu, hâl diperoleh bukan atas usaha, keinginan atau undangan
seorang sufi akan tetapi hâl merupakan sebuah anugerah dan rahmat Allah yang
tidak terbatas yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang sufi, dan hâl ini bersifat
serangkaian latihan mental seperti riyâdah, uzlah, murâqabah, dan maqâmât yang
sudah penulis jelaskan di atas sebagai salah satu latihan seorang sufi agar lebih
48
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 49.
49
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 205.
BAB III
Nama Syekh Nawawi al-Bantani sudah tidak asing lagi bagi umat Islam di
dengan imam mazhab seperti Imam Syâfi‟i. Melalui karya-karyanya yang tersebar di
Syekh Nawawi ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan
Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menghasilkan
karya tulis, tetapi juga dikenal dengan Maha Guru. Syekh Nawawi juga turut banyak
pesantren-pesantren di Indonesia.
Syekh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abd al-Muti‟ Muhammad Ibn
Umar Ibn „Arabi al-Tanari al-Nawawi al-Bantani al-Jawi. Ia lebih masyhur dipanggil
sebutan Abu Abdul Mu‟thi. Syekh Nawawi lahir di Desa Tanara, Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Indonesia pada tahun 1230 H/ 1813 M
dan meninggal di umur 84 tahun pada tahun 1314 H/ 1897 M di Makkah di mana
33
34
Nabi yang berada di Ma‟la. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam Jawa dan juga
memperingati hari wafatnya pada malam jum‟at dan sabtu pada akhir Syawal setiap
tahunnya di Tanara Banten.1 Syekh Nawawi wafat pada saat sedang menyusun
sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhâj al-Thâlibîn karya
Syekh Nawawi hidup dalam lingkungan ulama. Ia adalah putra dari seorang
penghulu3 ternama di daerah Tanara yakni Umar bin Arabi dan Ibunya Zubaidah
yang merupakan penduduk asli Tanara yang sangat religius, perhatian dan penuh
kasih sayang.4 Dari segi nasab Syekh Nawawi masih keturunan Sultan Maulana
Hasanuddin, putra dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati dari
Cirebon) yang mana ia juga merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Banten.
Nasabnya melalui jalur ini sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Ia adalah saudara
tertua dari lima bersaudara, yakni Ahmad Syihabuddin, Said Tamim Abdullah, dan
dua saudara perempuan yakni Syakila dan Syahriya. Semasa kecilnya Syekh Nawawi
saudaranya, mereka mempelajari ilmu bahasa Arab (nahwu dan sarf), fiqih dan
1
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 941.
2
A Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia atas Karya-Karya Klasik, (Bandung:
Mizan, 1987), h. 44.
3
Menurut Snouck Hurgronje, pada masa itu penghulu memliki banyak fungsi yakni sebagai
seorang qâdhi, mufti pengatur pernikahan, petugas zakat administrator dan nâdir atau imam masjid.
Akan tetapi fungsi penghulu mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan saat ini fungsinya hanya
sebatas pengatur pernikahan.
4
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 110.
35
tafsir.5 Dari lima bersaudara, hanya Syekh Nawawi yang meneruskan memperdalam
studi keulamaan. Sedangkan kedua saudara laki-lakinya Said Tamim Abdullah, lebih
suka menjadi agen jamaah haji dan Ahmad Syihabuddin mengikuti jejak ayahnya
ditulis oleh Rafiudin Ramli, berikut adalah urutan silsilah Syekh Nawawi dari garis
ayah yaitu; Syekh Nawawi bin Umar bin Arabi, bin Ali bin Jamad, bin Janta, bin
Masbuqil, bin Masqun, bin Maswi, bin Tajul Arsy (Pangeran Suryararas), bin
Maulana Hasanuddin, bin Ali Nuruddin, bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain, bin
Imam Sayid Ahmad Syah Jalal, bin Abdullah Malik, bin Sayyid Alwi, bin Sayyid
Muhammad Shahib Mitbath, bin Sayyid Ali Khali Qasim, bin Sayyid Alwi, bin Imam
„Ubaidillah, bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi, bin Imam Isa an-Naqib, bin Imam
Muhammad Naqib, bin Imam Muhammad al-Baqir, bin Imam Ali Zainal Abidin, bin
Saw. Sedangkan urutan silsilah Syekh Nawawi dari garis keturunan ibu yaitu Syekh
5
Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka,(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 144.
6
Abdul Malik dkk, Jejak Ulama Banten, (Serang: Biro Humas dan Protokol Setda Banten,
2014), h. 10.
7
Rafi‟udin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kyai Muhammad Nawawi Tanara,
(Banten: Yayasan Syekh Nawawi al-Bantani 1399 H), h. 13.
36
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah
dan tinggal di sana selama 3 tahun.8 Ia gunakan waktu tersebut untuk menuntut ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadist, tafsir terutama fiqih. Guru-guru dari
Syekh Nawawi yang terkenal di Makkah ialah Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid
Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhammad Khatib al-Hambali. Dari
tokoh-tokoh inilah karakter Syekh Nawawi terbentuk dan sangat berpengaruh dalam
corak pemikirannya.9
pesantren ayahnya yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara,
kemudian, ia kembali lagi ke Makkah karena situasi tanah air yang tidak
menguntungkan. Pada saat itu, Belanda dalam keadaan menjajah Indonesia serta
untuk membangkitkan perjuangan. Maka dari sinilah, Syekh Nawawi selalu ditekan
dan dipojokkan oleh para tentara Belanda yang pada akhirnya Syekh Nawawi
memutuskan untuk kembali ke Makkah. Syekh Nawawi tidak pernah lagi kembali ke
tanah air sampai akhir hayatnya. Selama di Makkah, ia memulai karirnya untuk
mengajar dan mengarang dengan kecerdasan yang ia miliki dengan cepat ia mendapat
adalah K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim Asy‟ari (Jawa Timur), K.H. Asnawi
8
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 354.
9
Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka,
h. 145.
37
(Jawa Timur), K.H. Asy‟ari (Bawean), sedangkan yang berasal dari Jawa Barat
adalah K.H. Tubagus Muhammad Asnawi, K.H. Najihun, K.H. Ilyas, K.H. Abdul
Syekh Nawawi memiliki dua orang istri keturunan Arab yang bernama
Nasimah dan Hamdanah. Dari istri yang pertama, Syekh Nawawi memperoleh tiga
orang anak perempuan yaitu Maryam, Nafisah dan Ruqayyah. Sementara dari
Syekh Nawawi merupakan salah satu tokoh ternama di Nusantara yang telah
menghasilkan berbagai karya tulis di berbagai bidang keilmuan Islam, dan karyanya
Nawawi ilmu kalam, nahwu, tafsir dan fiqih.12 Setelah mendapat bimbingan langsung
dari ayahnya, ia kemudian berguru kepada Kiyai Sahal, Banten dan kemudian
ibadah haji. Namun setelah menunaikan ibadah haji, hanya Syekh Nawawi yang tidak
10
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), h. 841.
11
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
12
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 110.
13
Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka,
h. 144.
38
kembali ke tanah air dan tinggal di tanah suci selama kurang lebih tiga tahun. Ini
keislamannya di tanah suci Makkah. Sampai sekitar tahun 1833, Syekh Nawawi
Melihat Syekh Nawawi sebagai sosok „alim dan simpatik, banyak para
Banten tidak lah lama. Ada beberapa faktor yang menjadikan Syekh Nawawi tidak
menjadi obsesi bagi banyak Muslim Jawa untuk tinggal sampai mengakhiri hidupnya
di sana. Karena pada abad XIX di Jawa, kota Makkah dan Madinah telah menjadi
pusat kaum Muslim dunia. Ka‟bah telah menjadi kiblat yang sesungguhnya dan
merupakan simbol kota suci dan kota perdamaian Nabi. Kedua, situasi kehidupan
Syekh Nawawi yang pada masa itu banyak diwarnai dengan intervensi pemerintah
sebuah tradisi panjang yang dimulai sejak periode Abdul Samad al-Palimbani dan
mengajar komunitas Jawi, yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah, yang
14
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 354.
39
hendak menuntut ilmu kepadanya.15 Namun terlepas dari itu semua, perjalanan Syekh
Nawawi ke Makkah bisa juga didorong oleh inspirasi pribadinya sebagai hamba ilmu
akan ilmu pengetahuan meskipun ia telah dipandang sebagai seorang „alim dan maha
dalam berbagai cabang ilmu keislaman ia kemudian banyak berguru dan mengadakan
Makkah. Dimulai dari Makkah dia berguru kepada Ahmad Nahrâwî, Ahmad Dimyâtî,
Ahmad Zaynî Dahlân, Khatib Sambas dan Abd al-Ghani Bima. Setelah itu ia juga
pergi ke beberapa negara lain dan belajar pada guru-guru yang berbeda misalnya
ketika ia di Madinah dan masih banyak lagi guru-guru yang mungkin tidak dapat
ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, dan menurut pandangannya bahwa mencari
ilmu itu sudah menjadi satu kewajiban dan bahkan sudah menjadi karakter dasar dari
Syekh Nawawi.
Selain itu, kegemaran lain dari antusiasnya Syekh Nawawi dalam menuntut
ilmu yang patut dicontoh yakni mengajarkan semua ilmu yang sudah didapat. Di
Makkah, dia selalu mengajar mulai dari pagi hingga siang hari dan murid-muridnya
15
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 112-114.
16
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
40
banyak yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sekitar tahun 1860-1870 dan setelah
lebih dari 15 tahun untuk mengajar di Hijaz. Ini berarti bahwa jumlah keseluruhan
muridnya sudah mencapai ribuan Muslim yang sebagian besar berasal dari Indonesia.
Haram, Syekh Nawawi dikenal sebagai guru yang simpatik, yang menyampaikan
Cara mengajar Syekh Nawawi tidak seperti lazim yang sering kita temui, di
mana guru memiliki otoritas penuh dan murid harus mengikuti semua apa yang
diajarkannya. Akan tetapi, Syekh Nawawi percaya pada potensi aktif dan kekhasan
individual. Sikap mengajar Syekh Nawawi ini didasarkan atas pengalaman pribadinya
sebagai pelajar pengelana dari Jawa yang ada di pusat-pusat pendidikan utama. Dia
selalu menemukan sebuah pola transmisi interaktif yakni para guru menyampaikan
17
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
18
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 122-123.
19
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 123.
41
Syekh Nawawi dikenal oleh murid-muridnya sebagai seorang guru yang baik
hati yang memaparkan pelajaran dengan jelas dan mendalam, dan berkomunikasi
rendah hati dan amat penolong. Di antara murid-muridnya dari Indonesia terdapat
orang-orang yang kemudian menjadi tokoh besar dan menjadi pemimpin religius
terpandang ketika mereka kembali ke Nusantara antara lain: KH. Hasyim Asy‟ari dari
Tebuireng Jombang, Jawa Timur dan KH. Khalil dari Bangkalan, Madura. Jumlah
muridnya yang lebih besar di Haramain adalah berasal dari lingkungannya sendiri
yakni Banten. 20
Syekh Nawawi merupakan tokoh terkemuka dari tanah Banten yang memiliki
1. Bidang Tafsir
Salah satu yang sangat diunggulkan dari pemikiran yang dimiliki Syekh
Nawawi yakni di dalam bidang tafsirnya. Berkat prestasi yang diperoleh Syekh
Nawawi dalam bidang tafsir, para ulama menganugerahkan kepadanya gelar Sayyid
Ulama‟ al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Salah satu karya tafsir yang sangat
20
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
42
Ma‟âlim at-Tanzîl atau dalam judul lain disebut Marâh Labîd Tafsir an-Nawawi.21
Kontribusi utama Syekh Nawawi dalam bidang tafsir ini adalah bahwa dia
telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
munculnya revitalisasi tradisi klasik Islam. Kekhasan karya Syekh Nawawi terletak
Selain daripada itu, sisi penting yang ditekankan oleh Syekh Nawawi dalam
(keimanan) dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuknya. Di samping itu, Syekh
Nawawi juga tidak akan pernah lupa menyampaikan pesan amar ma‟ruf nahi munkar
21
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, h. 143.
22
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
(Jakarta: Kencana, 2006). h, 131-133.
23
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 130-131.
43
Dalam bidang tasawuf dan akhlaknya, Syekh Nawawi tidak akan pernah jauh
pemikirannya dari pengaruh gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi. Konsep
yang dilakukan oleh gurunya. Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi adalah seorang
kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu sufi seperti Imam al-Junaid al-
Baghdâdi yang merupakan pangeran sufisme dalam arti teoritis maupun praktis.24
Selain itu, secara umum Syekh Nawawi tidak pernah memaksa untuk mengikuti
tarekat sebagai salah satu jalan menuju Allah, karena ia memiliki pandangan bahwa
keterkaitan antara praktik tarekat, syariat dan hakikat erat sekali. Pandangan ini
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.25
Salah satu tujuan yang menjadikan Syekh Nawawi menulis di bidang tasawuf
yakni untuk manfaat umat Muslim dalam beribadah, bagi kehidupannya di akhirat
kelak dan supaya memperoleh pahala dari Tuhan. Melalui karya-karyanya lah
diharapkan kaum Muslim bisa memperoleh hikmah ilmu pengetahuan Islam dalam
24
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 135.
25
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 150.
44
Selain itu, dalam bidang tasawuf ini Syekh Nawawi menekankan pada
atau secara sederhana tasawuf diartikan sebagai pembinaan etika. Karena jika
seseorang hanya menguasai ilmu lahir saja tanpa mempelajari ilmu batinnya juga,
hanya mengusai ilmu batinnya saja tanpa dibarengi dengan ilmu lahir maka ia akan
tergolong orang zindik. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pembinaan etika
atau moral.26
Syekh Nawawi adalah seorang penganut mazhab Syafi‟i dan merupakan tokoh
yang sangat penting dalam menjaga dan mengembangkan ajaran Syafi‟i di kalangan
Muslim di Jawa. Salah satu alasan yang menjadikan Syekh Nawawi menjadi pengikut
dari Mazhab Syafi‟i yakni dalam menentukan setiap hukum pasti harus melalui satu
mazhab yang sudah diyakini kebenaran serta alasannya. Tingkatan orang yang berada
di dalamnya adalah para ulama yang memiliki maqâm khusus yang sudah hafal
sumber, asbab al-nuzul, „illah atau dari segi fiqih, ushul al-fiqh, tafsir, ta‟wil, mantiq
dan ilmu-ilmu alat yang lainnya, sehingga dapat dengan jelas dalam menentukan satu
hukum dari sebuah permasalahan yang ada. Adapun di luar dari golongan Mujtahidîn
26
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 151.
45
yang sudah ada) kepada salah satu mazhab baik itu Syafi‟i, Maliki, Hanafi atau
Hambali.27
kekurangan tersendiri. Akan tetapi, mazhab Syafi‟i dikenal lebih terpercaya dan dapat
diandalkan, Maliki lebih bersifat tengah-tengah, Abu Hanifah lebih bersifat massive,
sedangkan Hambali dipandang lebih saleh. Bagi Syekh Nawawi, ilmu fiqih adalah
jenis ilmu pengetahuan Islam yang sangat signifikan, karena jika ilmu ini tidak
Sebuah prinsip yang disampaikan oleh Syekh Nawawi untuk para muridnya
dan masyarakat umum yang teramat penting yakni menjadi muqallid yang terus
melakukan kajian kritis. Jadi tidak hanya sebatas mengikuti perbuatan-perbuatan para
„alim-ulama dengan tidak mengetahui hukum atau maksud dari suatu pekerjaan, akan
tetapi Syekh Nawawi menekankan untuk mencari tahu dan lebih kritis tentang
4. Bidang Tauhid
Syekh Nawawi adalah seorang teolog Sunni yang mendukung sebagian besar
27
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 141-143.
28
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 143-146.
29
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 144.
46
kedua kelompok itu termasuk golongan filsuf yang lebih cenderung menggunakan
Hadis. Di samping itu, orang juga bisa mengenal Syekh Nawawi melalui karya-
karyanya seperti Fath al-Majîd, Sullâm al-Taufîq dan masih banyak lagi yang sampai
sekarang ini dalam bidang teologi digunakan secara luas di kalangan pesantren dan
madrasah.30
Dalam ilmu tauhid ini Syekh Nawawi memperkenalkan teori ada tidaknya
Tuhan, dan untuk menunjukkan ada tidaknya Tuhan ini Syekh Nawawi menggunakan
teori Daur Tasalsul yang berarti lingkaran yang tidak ada ujungnya. Secara bahasa,
kata “Daur Tasalsul” terdiri dari dua suku kata Arab yakni kata “Daur” berarti
“sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara”, dan
“Tasalsul” berarti “rangkaian tak terhingga”. Dari kedua kata ini memiliki maksud
yang berbeda. Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri
dengan satu atau beberapa perantara. Sedangkan maksud dari tasalsul adalah satu
rangkaian tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tidak akan pernah
berhenti pada sebab pertama sebagai contoh wujud (A) adalah akibat dari wujud (B)
dan wujud (B) adalah akibat dari wujud (C) dan seterusnya hingga tak terbatas dan
tak berakhir.31
haruslah menggunakan dalil-dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal). Akan tetapi jika
30
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 150.
31
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka,h. 149-150.
47
terdapat penggabungan antara keduanya maka yang harus diutamakan adalah dalil
naqli (wahyu), karena Syekh Nawawi meyakini bahwa kewajiban setiap orang untuk
meyakini sesuatu yang berhubungan dengan wajib, mustahil dan mungkin dari
eksistensi Tuhan adalah sebagai salah satu perintah dari syariat bukan dari akal.32
Syekh Nawawi merupakan representasi ulama Jawa abad XIX yang berupaya
menyegarkan kembali ajaran Islam abad pertengahan di bidang teologi dan untuk
meninggalkan apa yang tengah terjadi di negeri yang jauh itu tentang kemutlakan
Allah melalui konsep tawakkal billah. Salah satu tema pokok dari karya-karya tulis
Syekh Nawawi dalam bidang tauhid ini adalah kemutlakan Tuhan. Akan tetapi Syekh
Nawawi tidak sejalan dengan kemutlakan ajaran Jabariyah yang mengingkari bahwa
suatu perbuatan menjadi atribut bagi seorang individu, namun berasal dari Tuhan.
Kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi sebagian besar adalah kitab-kitab
komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit untuk dipahami. Ada beberapa alasan yang menjadikan syekh Nawawi banyak
menulis syarh dari karya-karya tokoh sebelumnya yaitu karena permintaan saudara
32
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 152-153.
33
Abdurrahman Mas‟ud, dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, h.
153-154.
48
mengarang. Tercatat dari karya-karya yang dihasilkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani
sehingga Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai seorang yang prolifik (penulis
yang 40 itu ke dalam beberapa bidang kajian Islam. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya yaitu35:
Ibrâhîm al-Bâjûrî.
34
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara. h, 149.
35
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
49
karya Imâm Abî al-Layts ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrâhîm al-
Hanafi al-Samarqandî.
Ahmad Nahrâwî.
karya al-Ghazâlî.
36
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, h. 154-155.
50
al-Zâhid karya dari salah satu tokoh Indonesia Mustofa ibn Usman al-
Jawi al-Qaruti.
Sâlim ibn Samîr dari Sihr Sullamu al-Taufîq yang ditulis oleh
komentar atas kitab Mawlîd karya Ja‟far ibn Hasan Abd al-Karîm ibn
kitab Mawlîd al-Nabî atau dikenal juga dengan Al‟arûs karya ibn al-
„Ilm al-Bayân komentar atas kitab Risâlat al-„Isti‟ârât karya Husayn al-
Nawawî al-Mâlikî.
Selain dari pada tujuh bidang keilmuan dari karya Syekh Nawawi yang
disebutkan di atas ditemukan pula karya Syekh Nawawi yang lain yaitu37:
b. Nihâyat al-Zayn
c. Nasâih al-„Ibâd
d. Al-Futuhât al-Madaniyyah
37
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 944-945.
52
g. Al-Riyâd al-Fawliyah
h. Suluk al-Jaddah
i. Al-Nahjât al-Jayyidah
j. Fath al‟Ȃrifin.
BAB IV
Tasawuf menjadi salah satu cara bagi manusia untuk lebih dekat kepada
Tuhannya. Inti tasawuf adalah berakhlak, yakni dengan mensucikan jiwa agar
terbentuk jatidiri manusia yang baik dan menjauhi sifat-sifat buruk. Tasawuf diartikan
oleh Syekh Nawawi adalah pembinaan moral.1 Dalam karya-karya tasawufnya, Syekh
Nawawi mengajarkan berbagai cara manusia agar lebih mendekatkan diri kepada
Allah dengan segala ketaatan seperti cara beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
Rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk. Syekh Nawawi juga
kepada pemahaman yang hakikat seperti yang dituangkan dalam kitab Nasâ‟ih al-
„Ibâd-nya. Selain itu, sejalan dengan arti tasawufnya, Syekh Nawawi juga banyak
adab berbicara, adab murid kepada guru, adab dalam keseharian dan masih banyak
lagi. Semuanya itu tertuang dalam kitab Tanqih al-Qaul dan Qâmi‟ al-Tughyân.
Jalan-jalan lain yang diajarkan Syekh Nawawi dalam mendekatkan diri kepada Allah
dalam ranah eksoterik adalah jalan spiritual dalam tasawuf dan keutamaan-
keutamaannya dijelaskan dalam Salâlim al-Fudalâ. Selain itu, jika diperhatikan dari
1
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarya: Diva Press, 2016), h. 151.
53
54
yakni dalam konsep pengamalan syariat, tarekat dan hakikat.2 Berikut penulis akan
jelaskan beberapa konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani yang penulis temukan,
serta beberapa wasiat Syekh Nawawi untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam
amaliyah.
ma‟rifatullah (mengetahui Allah). Ketiga jalan ini menjadi ciri khas dari Syekh
keseharian umat Muslim, sebab ketiga ini merupakan dasar-dasar dari agama Islam.
Syariat adalah hukum, dan tarekat adalah jalan bagi seorang sufi sementara hakikat
adalah hasil dari syariat dan tarekat. Maka dalam proses pengamalannya, syariat dan
tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.4 Sebagaimana segala yang ada di dalam al-
Qur‟an dan Sunnah Nabi merupakan substansi dari syariat berupa aturan-aturan dan
norma-norma hukum yang memberikan arahan dan tujuan agar ibadah penyerahan
diri manusia kepada Allah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-
2
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.
3
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.
4
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, Penerjemah Nasrullah dan Zainal Arifin
Yahya, (Jakarta; Pustaka Mampir, 2006), h. 14.
55
Nya. Karena ibadah yang seperti itulah yang mampu membawa dampak pada
mengamalkan syariat ini amatlah penting bagi seorang Muslim dalam menempuh
jalan spiritual, karena menjadi salah satu proses mensucikan jiwa dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah, selain itu juga memberikan manfaat sosial yakni
dapat membangun solidaritas yang erat. Sebagai agama Islam yang sempurna, Islam
memberikan ruang bagi pemeluknya untuk tidak hanya menjalankan ibadah yang
bersifat vertikal, tetapi harus melaksanakan ibadah yang bersifat horizontal juga atau
segala perintah Allah yang berhubungan dengan manusia baik yang lahir seperti
mu‟amalah, zakat, sholat dan batin seperti iman, ikhlas, dan niat. Dengan demikian
syariat adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah lahir maupun batin.
Dalam hal ini Dr. Farouk Abu Zeid juga menjelaskan bahwa, syariat ialah apa-apa
penting, karena dengan syariatlah segala tata cara beribadah atau cara berhubungan
dengan Allah dapat diketahui. Akan tetapi, jika dalam perjalanan spiritualnya tidak
dilandaskan sesuai dengan apa yang telah syariatkan dalam Islam, maka ia telah
5
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, (Jakarta: Trans Pustaka 2012),
h. 37.
6
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 2-4.
56
keluar dari jalan yang benar.7 Sebagaimana yang dikatakan Moh. Rifa‟i dalam
bukunya Ilmu Fiqih Islam Lengkap bahwa, fiqih mengatur pola kehidupan manusia,
mulai dari hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallâhi) seperti shalat,
puasa, haji, dan hubungan dengan sesama manusia (hablun minannâsi) seperti
muamalah dalam jual beli, utang piutang, kerjasama, nikah, waris, serta hubungan
manusia dengan lainnya di luar kegiatan muamalah di atas seperti pemanfaatan tanah,
peternakan, dan perkebunan.8 Selain itu, Syekh Nawawi juga mengutip dari salah
satu tokoh mazhab terkenal yakni Imam Malik yang mengatakan bahwa:
من تصىف ونم يتفمه فمد تزندق ومن تفمه ونم يتصىف فمد تفسك ومن جمع بينهما فمد تحمك
Dalam hal ini, Imam Malik menjelaskan bahwa keterpaduan antara tasawuf
dengan syariat sangatlah penting. Karena dari penjelasan di atas menerangkan jika
seorang Muslim tidak mempelajari salah satunya baik itu tasawuf ataukah syariat
maka akan terjebak kedalam pelanggaran agama. Jadi, keterpaduan keduanya ini
merupakan salah satu jalan proses pembersihan jiwa dan mendekatkan diri kepada
Allah seperti halnya sholat, zakat, haji dan yang lainnya, dan jika antara syariat
dengan tasawuf terpisah maka semua amalan seorang Muslim akan menjadi sia-sia.10
7
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al- Fudalâ, h. 18.
8
Muhammad Rifa‟i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978, h. 5.
9
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2015), h. 170.
10
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 151.
57
Maka dari itu, kombinasi antara fiqih dan tasawuf sangatlah dibutuhkan dan
tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya selain sebagai syarat sebagai terlaksananya
syariat juga dibutuhkan dalam upaya pembentukan etika dan moral, juga akan
melahirkan pribadi yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan lahir dan
batin, antara kehidupan individu dan sosial, serta kehidupan yang berorientasi dunia
dan akhirat.11 Adapun ciri-ciri orang yang telah memadukan antara syariat dengan
tasawuf dengan baik dan benar akan tercermin gaya hidup seperti berikut :
sehari-hari menjadi bukti ketaatan seorang Muslim atas segala perintah dan larangan
Allah yang ditegaskan dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Yang kemudian dilanjutkan
11
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 26.
12
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 26-27.
58
Dengan demikian, mengamalkan syariat yang baik dan benar yang dipadukan
dengan pengamalan tasawuf yang bersumber pada al-Qur‟an dan Sunnah, merupakan
Selanjutnya, setelah seorang Muslim mengetahui apa saja yang disyariatkan dalam
Islam dan amaliahnya, sesuai tata cara yang sudah dijelaskan dalam bidang ilmu fiqih
atau bidang ilmu yang terkait dengan amalan syariat tersebut, serta dapat
Menurut Syekh Nawawi tarekat adalah menghayati terhadap hal yang lebih
hati-hati seperti wara‟ dan berkemauan yang teguh seperti riyâdah (latihan jiwa)
meninggalkan duniawi untuk beribadah kepada Allah. Maksud dari tarekat ini adalah
jiwa seperti dengan menyedikitkan makan, minum dan tidur dan menghindari sikap
13
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 38.
14
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al- Fudalâ, h. 18-19.
59
dalam bentuk kecil dan selalu ingat Allah dalam hal apapun dan kapanpun.15 Dalam
membahas tarekat ini, Syekh Nawawi tidak memberikan penjelasan khusus terhadap
mengikuti tarekat tertentu, akan tetapi hanya menyarankan kepada setiap Muslim
khususnya kepada murid-muridnya untuk mengikuti salah satu dari tarekat, selama
tarekat itu tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Karena tarekat memiliki
dengan sungguh-sungguh, sampailah kepada hasil dari perjalanan itu semua yakni
hakikat. Syekh Nawawi memberikan arti hakikat berdasarkan apa yang ia kutip
yakni:
Jadi, hakikat menurut Syekh Nawawi adalah buah dari syariat dan tarekat.
Berarti hakikat ini adalah pencapaian yang diraih sufi dalam perjalanan spiritualnya
membuahkan penyaksian terhadap rahasia-rahasia Tuhan dengan jelas tanpa ada hijab
15
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 13.
16
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.
17
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 15-16.
60
panjang yang harus dijalani dengan ketekunan dan kesabaran. Karena bagi seorang
sâlik, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan harus dengan membawa segudang
Salâlim al-Fudalâ dan Qâmi‟ Tughyân, banyak memberikan nasehat, petunjuk, serta
tata cara dalam menempuh jalan spiritual untuk lebih dekat dengan Allah. Berikut
beberapa wasiat yang disampaikan oleh Syekh Nawawi untuk ditempuh agar dapat
1. Taubat
perjalanan spiritualnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam tahapan ini,
seorang sufi terlebih dahulu membersihkan hati, fikiran dan perbuatannya dari
segala dosa. Syekh Nawawi membagi taubat menjadi tiga bagian. Pertama,
Taubah (penyesalan) yakni bertaubat karena takut akan siska. Kedua, Inâbah
(konsisten dalam ketaatan) yakni bertaubat karena mengharap pahala dari Allah.
Ketiga, Aubah (kembali suci dari dosa) yakni bertaubat karena menjaga atau
61
konsisten melakukan ibadah bukan karena mengharap pahala dan bukan karena
terancam siksa.18
Selain itu menurutnya taubat adalah kunci dari segala ketaatan dan landasan
segala kebaikan. Jika seorang Muslim diuji dengan kelalaian atau kesulitan di
berharap hanya untuk meraih ridho dan ampunan Allah. Adapun jalan untuk
yang tidak berpanjangan, dengan tekad meninggalkan dosa dan kesalahan yang
lalu. Selain itu dengan selalu bermuhasabah, berintrospeksi diri agar tercegah dari
terulangnya kesalahan yang lalu dan yang terpenting menurutnya adalah menjaga
mata, lisan dan seluruh anggota badan agar terhindar dari segala keburukan yang
18
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 23.
19
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, (Semarang: Toha Putra), h. 4.
62
2. Qana‟ah
Menurut Syekh Nawawi qana‟ah adalah ridho dengan apa yang telah ditentukan.
Ridho untuk meninggalkan sesuatu yang tidak penting dan hanya mengupayakan hal-
hal yang penting. Tidak diperkenankan bagi kita untuk mencari hal yang melebihi hal
yang penting. Hal yang penting itu berbentuk kebutuhan yang memiliki nilai manfaat
bagi kecukupan kita di dunia dan sebagai bekal di akhirat. Sedangkan sesuatu yang
tidak penting yaitu hal-hal yang memancing manusia melebihi kebutuhan yang ada
seperti mencari jabatan, permainan-permainan atau segala hal yang tidak memiliki
manfaat di akhirat. Menurutnya, cukuplah atas apa yang dimiliki saat ini dari segala
yang Allah berikan.21 Jadi, maksud dari qana‟ah ini adalah untuk ridho bagi orang-
orang yang menginginkan jalan akhirat dengan meninggalkan segala hal yang dapat
yang berlebihan dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jadi berusaha dan
3. Zuhud
Syekh Nawawi dalam kitab Nasâ„ih al-„Ibâd mengutip dari Ibnu „Abbas
menjelaskan dua makna dari kata zuhud. Pertama¸ yaitu kata zuhud terdiri dari tiga
20
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, Penerjemah Fuad Saifudin Nur, (Jakarta: Wali
Pustaka, 2006), h. 252.
21
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, h. 5.
22
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34.
63
huruf zâi, hâ‟, dâl. Huruf zâi berarti zâd li al-ma‟âd (bekal untuk akhirat, yakni
ketakwaan). Huruf hâ‟ berarti hudan li al-dîn (petunjuk untuk mengikuti agama
Islam). Huruf dâl berarti dawâm „ala al-tâ‟ah (konsisten dalam ketaatan). Kedua,
makna yang diberikan oleh Ibn „Abbas pada kata zuhud juga memberikan arti pada
setiap hurufnya yaitu huruf zâi berarti tarku al-zînah (meninggalkan kemewahan dan
gemerlap dunia). Huruf hâ‟ berarti tarku al-hawâ (meninggalkan hawa nafsu). Huruf
Secara mendasar pondasi zuhud itu adalah menjauhi segala larangan atau dosa,
baik yang kecil maupun yang besar. Dari sikap ini akan melahirkan sikap selektif dan
lebih berhati-hati dalam bertindak. Tindakan ini pula merupakan bentuk konsistensi
dari pelaku tobat sehingga ia akan tetap dalam kebenaran dan mendapatkan
Seorang zâhid yang sudah sampai pada tingkatan ini, maka ia di dunia dengan
fisiknya, sedangkan ruh dan akalnya ada di akhirat.25 Selain itu juga, seorang zâhid
akan disibukkan pada satu hal yang sangat penting di samping kesibukannya
menghindari kemewahan di dunia, yaitu berdo‟a dengan sepenuh hati kepada Allah.
Seorang zâhid haruslah selalu merendah di hadapan Allah dan memohon kebaikan
yang diridhai-Nya. Karena tujuan dari seorang zâhid adalah mengharapkan pahala
23
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 92-93.
24
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 95.
25
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 38.
26
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 37.
64
Dalam penjelasan lain, Syekh Nawawi menjelaskan hakikat zuhud itu sendiri
melalui hadits Nabi yang ia kutip yakni, diriwayatkan oleh Abu Dzâr al-Ghifari
mengatakan bahwa:
Dari kutipan di atas, Syekh Nawawi mengingatkan agar manusia tidak terjebak
dengan kesenangan dunia, sehingga melupakan hubungan dengan Allah, karena
kesenangan dunia tersebut tidak kekal. Maka dari itu, agar manusia tidak terjerumus
kepada kelalaian yang menjadikan manusia lupa akan Tuhan berikut Syekh Nawawi
memberikan pegangan untuk zâhid pada tiga tanda yakni:
3. Merasa senang bersama dengan Allah ta‟âla dan hatinya didominasi rasa
manis ketaatan.28
Pada konsep ini, Syekh Nawawi menganjurkan untuk mempelajari ilmu syariat
syariatnya seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Karena seorang sâlik yang
menjalankan syariat tanpa mengetahui landasan hukum yang dijalaninya maka dinilai
sia-sia. Selain itu, mempelajari ilmu yang dapat mengesahkan akidah adalah wajib,
27
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 216-217.
28
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 40.
65
agar terhindar dari keserupaan para pelaku bid‟ah dan untuk menghilangkan keraguan
dalam hati. Serta anjuran Syekh Nawawi untuk mempelajari ilmu yang dapat
membersihkan hati dari segala penyakitnya seperti dengki, riya dan sombong. Ketiga
macam ilmu di atas haruslah dipelajari bagi umat Muslim, bahkan hukum dalam
Harapan setiap orang yang menuju Allah adalah kemampuan memahami ilmu-
ilmu-Nya yang menjadi pelita perjalanan. Karena ilmu itu sebagai jembatan untuk
mencapai ibadah yang sempurna. Amal ibadah juga bisa jadi jembatan untuk meraih
ilmu-ilmu yang ada pada rahasia Allah. Namun untuk menyentuh rahasia ruhani yang
halus dan penuh metafor, maka harus melalui tahapan pembersihan hati dan jiwa dari
Menjaga Sunnah-sunnah Rasul adalah anjuran yang ditekankan juga oleh Syekh
Nawawi dalam bertasawuf. Karena Sunnah Rasul merupakan salah satu sumber
tasawuf dan menjadi sandaran penting bagi seorang sufi dalam bertasawuf. Sebab
tidak ada petunjuk jalan menuju Tuhan kecuali mengikuti Sunnah Rasul yang
Secara makna, Sunnah adalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala
dan jika ditinggalkan tidaklah berdosa. Selain itu, Sunnah juga bisa diartikan dengan
segala sesuatu yang sumbernya berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan,
29
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 45-46.
66
perbuatan dan akhlak.30 Menjaga Sunnah Rasul dengan bentuk selalu istiqamah
dalam pengamalan dari segala Sunnah-Sunnah Rasul, karena apa yang telah datang
darinya berupa sabda, perintah, serta uswah hasanah darinya yang merupakan budi
pekerti yang luhur yang wajib untuk diikuti. Budi pekerti ini adalah segala hal yang
dipuji, berupa ucapan dan tindakan terutama dari segala akhlak yang dicontohkan
oleh Rasul, karena diutus Rasul tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.
Sebagaimana Syekh Nawawi mengutip dari Ibnu „Athoilah bahwa budi pekerti adalah
1. Syar‟iy (sesuai adab keagamaan Islam) yaitu melakukan segala hal yang
nafas.32
mempelajari dan menjaga budi pekerti luhur yang diajarkan oleh Rasul amatlah
penting. Selain itu, untuk meraih syafâ‟ah (pertolongan) dari Rasul di akhirat nanti
30
Mahmud Toha, Mustalah al-Hadits,(Kuwait: Haromain, 1985), h. 15.
31
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 47.
32
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 47.
67
6. Tawakal
Menurut Syekh Nawawi, tawakal bukan berarti tidak berusaha dan menyerahkan
seluruhnya kepada takdir Allah. Akan tetapi, dengan berusaha merupakan salah satu
bentuk tawakal seorang hamba, dengan rela terhadap rizki yang telah ditentukan oleh
Allah dan tidak memunculkan keinginan memiliki yang lebih dari bagiannya itu.33
Imam al-Ghazali yang menjadi salah satu pengaruh dari pemikiran gurunya Syekh
ketua kepada wakilnya, karena ia yakin bahwa wakilnya dapat dipercaya dan bisa
Syekh Nawawi mengutip sebuah pendapat dari Syekh Ali al Jaizy dalam Tuhfatu
al-Khawwâs bahwa, siasat yang berhasil untuk memperoleh tawakal itu adalah
33
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 59.
34
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1305.
68
berkurang selamanya.35
7. Ikhlas
Ikhlas menurut Syekh Nawawi tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah,
ikhlas dalam ketaatannya kepada Allah tanpa dicampuri maksud lain seperti ingin
mendapatkan pujian, kemewahan dunia, kedudukan tinggi di mata manusia atau yang
lainnya, selain hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu yang
menjadi penyakit dalam keikhlasan ini adalah riya atau ingin dipuji oleh orang lain.
Syekh Nawawi mengutip dari kitab Tuhfatu al-Khawwâs bahwa riya adalah
menghasilkan harta, pangkat atau pujian. Perbuatan ini termasuk dosa-dosa besar dan
setiap perbuatan yang tercampur dengan riya maka perbuatan itu batal lagi ditolak.38
Dalam hal ini, Muzakkir berpendapat sama mengenai ikhlas dalam bukunya Tasawuf
Jalan Mudah Menuju Ilahi yang mengutip perkataan dari Al-Sûsiy tokoh sufi besar
yakni:
35
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 60-61.
36
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 65-66.
37
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, h. 8-9.
38
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 68.
69
Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Barang siapa masih
menyaksikan keikhlasan dan ikhlasnya, maka keihklasannya masih membutuhkan
keikhlasan lagi. Sama seperti seorang mengatakan, saya ikhlas, pada dasarnya ia
belum ikhlas karena ikhlas tidak bisa disebut dengan ungkapan.39
manusia bahwa engkau adalah orang taat dalam menjalankan perintah Allah. Akan
tetapi, jika tujuan dari memperlihatkan itu adalah untuk mengajak dan agar manusia
senang dalam kebaikan, maka itu lebih utama dari pada melakukannya secara
8. Uzlah
Maksud uzlah menurut Syekh Nawawi yaitu menjauhkan diri atau menyendiri
dari orang-orang yang dapat memberikan dampak buruk. Hal itu dilakukan agar
terhindar dari keburukan mereka. Jika menemani orang-orang yang baik dan soleh,
maka itu sangat dianjurkan karena berharap akan terbawa dalam kebaikan mereka.40
Jadi maksud dari uzlah ini adalah bukan untuk mengasingkan diri atau
aktivitas sebagaimana manusia biasa, namun dalam hatinya tetap menyendiri dan
melakukan segala hal karena Allah. Namun uzlah dalam bentuk menyendiri
diutamakan apabila zaman telah rusak atau takut dari fitnah-fitnah, khawatir
tergelincir kepada yang syubhât terlebih lagi kepada yang haram, maka uzlah menjadi
39
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 48.
40
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 76.
70
lebih utama. Syekh Nawawi mengutip dari pendapat al-Ghazali menjelaskan bahwa
melarang kemungkaran.
agama.
9. Memperhatikan waktu
ketaatan kepada Allah dalam setiap waktu yang dimiliki. Jangan sampai ada waktu
41
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 77-78.
71
orang dengan berbagi ilmu atau dengan mendidik dan mengkaji kitab-kitab.
10. Makrifat
Makrifat ini merupakan salah satu maqâm seorang suluk yang sudah sampai
tersingkapnya hijab antara makhluk dengan Tuhan. Seorang sâlik setelah mengetahui
secara langsung semua rahasia-rahasia di balik penglihatan manusia biasa, dalam hal
ini Syekh Nawawi memberikan penjelasan bahwa, bagi seorang Muslim yang telah
antaranya:
Yang dimaksud dengan rasa malu kepada Allah yaitu, malu melakukan
di mana pun seorang sufi berada pasti rasa murâqabah (selalu merasa diawasi oleh
Allah) pasti ada sehingga sulit dan enggan untuknya melakukan perbuatan maksiat.
42
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 84-85.
72
Jika seorang sufi telah mengetahui seluruh rahasia yang Allah miliki, maka rasa
kecintaan seorang sufi kepada Tuhannya akan meningkat, sampai rasa kecintaan ini
berlanjut kepada maqâm mahabbah, yang tidak memberikan ruang kecintaan dalam
hatinya selain Allah. Setelah rasa cinta itu ada dalam hati dan ingin selalu dekat dan
selalu berdua dengan-Nya, maka akan timbul rasa rindu jikalau terpisah dan ingin
Akibat yang diperoleh bagi seorang sufi yang telah sampai pada maqâm ini yaitu
tidak akan merasakan nikmat bergaul dengan makhluk-Nya, tidak menyukai hal-hal
keduniawian, tidak pernah terlibat dalam sengketa karena telah mengetahui hakikat
dari keadilan. Berikut Syekh Nawawi memberikan beberapa ciri seorang yang telah
a. Selalu mencintai-Nya.
Syekh Nawawi adalah salah satu tokoh Nusantara yang tetap mempertahankan
dengan situasi sekarang. Selain itu, ia juga terkenal dan dihormati karena keahliannya
dalam syarh dan hasyiyah atau menjelaskan ulang dari karya-karya tulis tokoh
43
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 105-106.
44
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 110-113.
73
pendahulunya yang dianggap sulit agar mudah dipahami dan dipelajari, serta
Nawawi merupakan salah satu tokoh Muslim Jawa yang sangat produktif dalam
menghasilkan karya-karya tulis, seperti dalam fiqih, tauhid, hadits, tafsir, dan
tasawuf.
Yang membuat Syekh Nawawi tertarik dalam menuntut ilmu adalah karena
Syekh Nawawi dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat dan hidup di
lingkungan ulama. Selain itu ayahnya pun merupakan salah satu tokoh agama yang
sangat dipandang di daerahnya pada saat itu.45 Adapun selanjutnya yang menjadi
menghasilkan berbagai karya tulis yang dapat diterima di semua kalangan yakni,
berasal dari guru-gurunya pada setiap bidang keilmuan Islam yang digeluti oleh
Syekh Nawawi. Khusus dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi banyak terpengaruh
dari Syekh Ahmad Khatib Sambas, meskipun ketika di Indonesia Syekh Nawawi
sempat berguru pada pamannya sendiri. Akan tetapi, dari karya-karya yang ditulisnya
banyak menggambarkan corak dari pemikiran gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib
Jika dilihat dari karakteristik umum tasawuf Syekh Nawawi yang tidak hanya
mengutamakan aktivitas spiritualnya untuk lebih dekat dengan Allah, akan tetapi ia
45
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 144.
46
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 46-47.
74
untuk mencapai derajat yang paling tinggi dalam perjalanan spiritual seperti dalam
bersifat lahiriah atau syariat. Segala bentuk syariat yang ada memiliki peran penting
sebagai penghantar untuk sampai kepada tingkatan jalan spiritual yang paling
tinggi.47
Selain itu Syekh Nawawi juga memiliki pendirian yang khas yakni dalam
sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun ia lebih suka
jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang
kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka
sekalipun dengan orang kafir. Begitulah mulianya akhlak dari Syekh Nawawi yang
pemikiran dan amaliah yang ia contohkan, serta ciri khasnya dalam memecahkan
tasawuf akhlaki atau sunni. Adapun yang menjadi bukti dari tasawuf akhlaki ini
47
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 145-147.
48
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
1994), h. 24.
75
seperti yang tergambar dari akhlaknya Syekh Nawawi yang tidak membeda-bedakan
manusia dalam derajat akhlak. Menurutnya, semua manusia layak diperlakukan dan
disikapi dengan akhlak yang terpuji sekalipun ia nonMuslim. Selain itu, pemikiran
yang menggambarkan tentang corak tasawuf akhlaki yakni pada perpaduan antara
tasawuf dan fiqih, yakni tentang ilmu lahir dan batin karena secara hakikat manusia
tersusun atas dua unsur yakni jasmani dan rohani. Untuk mengusai ilmu lahir maka
cukuplah dengan belajar dan berguru saja sehingga mencapai derajat „âlim,
sedangkan untuk meraih ilmu batin maka haruslah menjalani proses dzikir,
murâqabah dan musyâhadah sehingga sampai kepada derajat „ârif, oleh karena itu
menurutnya keterkaitan dari keduanya ini amatlah penting. Selain itu, amalan syariat
jika hanya dikerjakan secara formalitas saja akan tetapi tidak diresapi hati maka akan
hilang ruhnya. Kesemuanya itu menjadi cara bagi Syekh Nawawi untuk membentuk
jati diri manusia yang lebih baik dengan menguasai segala ilmu lahir maupun batin.49
Corak tasawuf Syekh Nawawi yang berorientasi pada akhlak ini jika
diperhatian banyak mengajarkan tentang bagaimana tahalli atau mengisi hati yang
telah kosong dari sifat-sifat tercela dengan amalan-amalan terpuji seperti taubat,
menanamkan rasa ikhlas, qana‟ah, rida, selalu berintropeksi diri agar tidak terjatuh
dalam kesalahan yang sama, mempelajari ilmu syari‟at, menjaga Sunnah Nabi dengan
mengamalkannya, memperhatikan waktu, dan uzlah dari hal-hal yang membuat hati
kotor. Semuanya itu mengarah kepada pembentukan jatidiri yang lebih baik dengan
49
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 151.
76
hal-hal kebaikan. Ini merupakan salah satu ciri dari tasawuf akhlaki yang dalam
pembentukannya harus melalui tiga tahap yakni takhalli (mengosongkan diri dari
akhlak tercela), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan tajalli (hilangnya
hijab atau terungkapnya nur ghaib) karena secara tujuan utama dari corak tasawuf
akhlaki adalah tazkiyatu al-Nafs (membersihkan hati) dan menanamnya dengan sifat-
sifat terpuji.50
Selain itu, corak tasawuf Syekh Nawawi juga termasuk kepada tasawuf amali
atau irfani, yang mencoba mengungkap hakikat kebenaran dan ma‟rifat tidak hanya
melalui logika, akan tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Maka dari itu,
Syekh Nawawi menekankan pengamalan syariat, tarekat dan hakikat ini agar seorang
antara makhluk dengan Tuhan. Selain itu, Syekh Nawawi juga memerintahkan agar
mempelajari dua unsur keilmuan yakni lahir dan batin atau syari‟at dan tasawuf serta
yang sangat penting sebagaimana yang sudah dijelaskan pada Subbab sebelumnya.
Dilihat dari corak tasawuf akhlaki Syekh Nawawi ini memiliki karakter yang
moderat, karena segala pemikiran moderat terjauh dari pemikiran dan perilaku
ekstrim sehingga mudah untuk diterima oleh banyak orang. Terbukti dari berbagai
kalangan umum. Tidak hanya itu, bukti dari kemoderatan tasawuf akhlaki ini
tergambar pada diri Syekh Nawawi dalam kehidupan kesehariannya yang merupakan
50
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 212-220.
77
sosok yang tawadhu, banyak disegani dan dihormati oleh setiap kalangan karena
akhlak dan keilmuannya yang luhur, sehingga menjadi satu panutan tersendiri bagi
umat Muslim dan murid-muridnya. Selain itu, refleksi dari tasawuf akhlaki ini juga
bisa dilihat dari kepasrahan dan kepatuhannya kepada agama. Bentuk karakter ini
Syekh Nawawi dijuluki sebagai tokoh Nusantara yang sangat produktif, sehingga
mampu memberikan sumbangan yang begitu besar bagi peradaban Islam di dunia dan
perkembangan hukum di Indonesia.52 Maka dari itu, dengan adanya tulisan ini,
semoga dapat lebih memperkenalkan kembali kepada khalayak umum tentang Syekh
sehari-hari.
51
M Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf;Dalam Kontruksi Piramida Ilmu Islam, (Malang:
Madani Media, 2015), h. 276.
52
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 156.
78
ditekankan oleh Syekh Nawawi, maka berikut relevansi tasawuf Syekh Nawawi pada
yang kurang baik, dan selalu berdzikir kepada Allah sebagai segala sumber nilai yang
dijadikan acuan dalam hidup agar selalu berada di dalam sunnatullâh dan sirât al-
bagian untuk menghubungkan tasawuf Syekh Nawawi dengan zaman modern ini,
1. Takhalli
Pengosongan hati dari sifat-sifat tercela dengan taubat dan zuhud. Pada tahapan
pengosongan hati ini menjadi kunci untuk menghapus keburukan dan memulai
Syekh Nawawi bahwa taubat merupakan kunci ketaatan. Seseorang yang bertobat
berarti menyesali dan meninggalkan segala perbuatan buruk yang sudah diperbuat,
kecil ataupun besar kesalahan yang diperbuat jika manusia hendak bertobat maka
saja yang memohon kepada-Nya, dengan kesungguhan dan ketaatan. Berhenti dari
53
Muzakkir, Membumikan Tasawuf; Dari Paradigma Ritual Formal Menuju Aksi Sosial,
(Jakarta: Kultura Jakarta, 2011), h. 89.
79
segala kebiasaan buruk seperti pergaulan bebas, free sex, narkoba, tawuran dan
bertekad tidak mengulanginya. Selain itu, Syekh Nawawi selalu menganjurkan untuk
selalu beritrospeksi diri atau bermuhasabah dari segala aktifitas yang sudah
dilakukan, agar terhindar dari keburukan yang sudah dilakukan dengan tanpa
disadari.
Setelah hati seseorang bersih dan berniat untuk lebih taat kepada Allah, maka
berlanjut kepada maqâm selanjutnya yaitu zuhud. Pada maqâm ini manusia bukan
diharuskan menjauhi keduniawian, akan tetapi manusia dituntut harus lebih selektif
keduniawian yang membuat manusia lupa dengan identitasnya selaku makhluk yang
berkewajiban beribadah sepenuhnya kepada Allah. Karena hakikat dari zuhud ini
menurut Syekh Nawawi adalah keyakinan yang ada di tangan jangan sampai melebihi
keyakin kepada Tuhan.54 Artinya, apapun yang dimiliki saat ini baik berupa harta
yang banyak, jabatan yang tinggi, istri yang cantik, anak yang pintar, jangan sampai
kesemuanya itu membuat lupa bahwa semua itu adalah berasal dari Allah. Karena
penyakit yang timbul dari sifat zuhud ini adalah riya dan sombong, membanggakan
diri sendiri bahwa apa yang dimilikinya saat ini semata-mata adalah berkat usaha dan
Maka dari itu, dengan kedua poin wasiat yang diajarkan oleh Syekh Nawawi ini
menjadi solusi untuk benar-benar membersihkan hati dari sifat, kebiasaan dan sesuatu
54
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 38-42.
80
hal yang jelek, serta mengkosongkan hati dengan tidak terikat dengan sesuatu apapun
yang berbentuk semu dan mulai menanaminya dengan bibit kebaikan dan ketaatan.
2. Tahalli
Upaya pengisian hati dengan sifat-sifat terpuji seperti qanaah, ikhlas, tawakal,
mempelajari ilmu syariat, menjaga Sunnah, dan uzlah. Keseluruhan amalan ini
merupakan wasiat yang dibawa oleh Syekh Nawawi yang memiliki relevansi
tersendiri pada saat ini. Pada tahapan ini, setelah hati seseorang kosong dan mulai
berarti ridho dengan apa yang telah ditentukan.55 Maksud dari ridho di sini adalah
ridho untuk meninggalkan segala hal yang dapat mengantarkan pada puncak
kedudukan duniawi dan meninggalkan segala yang terbaik dari sudut pandang
duniawi, baik makanan, minuman dan tempat hunian. Maka cukup untuk mencari
hal-hal yang penting saja, yakni segala hal yang dapat mendatangkan manfaat untuk
dirinya atau untuk agamannya dan meninggalkan segala yang tidak penting, yakni
Amalan selanjutnya dari Syekh Nawawi adalah ikhlas. Dengan ikhlas ini dapat
membersihkan segala kotoran yang melekat di hati, sedikit atau banyak sehingga
tujuan mendekatkan diri benar-benar murni karena Allah, bukan yang lain, dan nilai
yang diharapkan pun hanyalah ridha Allah. Hal ini hanya akan datang dari seorang
55
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34.
56
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34-36.
81
yang mencintai Allah dan menggantungkan seluruh harapannya di akhirat, yang tidak
semuanya dikerjakan dengan ikhlas dan niat yang benar. Seorang yang dipenuhi oleh
kecintaan kepada Allah dan akhirat, maka seluruh aktifitas hariannya merupakan
sebaliknya, orang yang telah dikalahkan oleh gemerlap dunia, status sosial, pangkat
dan segala sesuatu selain Allah, maka seluruh aktivitas hariannya pun merupakan
cerminan dari harapan-harapannya, sehingga shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah
lainnya tidak dikerjakan dengan ikhlas, yang ada hanya sebatas menggugurkan
kewajiban dirinya.57 Jadi kunci dari keikhlasan tersebut adalah, kita harus yakin
bahwa Allah yang Maha membalas, Allah yang Maha Menyaksikan dan Allah yang
Kemudian dari sikap ini akan melahirkan sikap tawakal kepada Allah.
ketentuan qadâ dan qadâr Allah atau menyerahkan seluruh hasil dari apa yang ia
seluruhnya kepada Allah tanpa adanya usaha, akan tetapi sebenarnya tawakal adalah
kepasrahan yang didasarkan atas usaha dan kerja keras. Sehingga seseorang yang
menyandarkan dan meyakinkan semuanya kepada Allah terhadap baik atau buruknya
hasil yang ia terima akan terhindar dari sikap-sikap buruk yang kemungkinan akan
57
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 47.
58
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 58.
82
seluruhnya hasil yang ia terima adalah yang terbaik di mata Allah yang mungkin ada
Melihat realita kehidupan saat ini, tidak sedikit manusia kehilangan kepercayaan
dirinya dan muncul sikap ragu-ragu. Salah satu faktor yang menjadi penyebab dari
ketidak-percayaan diri atau keraguan ini muncul didasarkan karena kurangnya ilmu
lakukan benar ataukah salah. Maka dari itu, salah satu wasiat yang diajarkan oleh
Syekh Nawawi adalah untuk mempelajari ilmu syariat Islam, guna mengabsahkan
segala ibadah yang dilakukan. Karena seseorang yang mengetahui tata cara, manfaat
dan tujuan dari satu ibadah maka sempurnalah pahala yang didapatkan. Selain itu,
dengan mempelajari ilmu syariat dengan baik maka akan terhindar dari sikap saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, atau menganggap bahwa ajaran yang di luar dari
pemikirannya adalah salah. Sedangkan, pada hakikatnya segala syariat yang diajarkan
„âlamîn.
Amalan selanjutnya adalah menjaga Sunnah atas segala sesuatu yang disandarkan
dikatakan dalam sebuah hadits bahwa diutusnya Nabi Muhammad tidak lain adalah
dalamnya terdapat kecacatan yang mungkin tidak disadari. Oleh karena itu, dengan
mengerjakan Sunnah-Sunnah Nabi serta menjaganya agar tetap bisa istiqomah dalam
wajib, serta menjadi penyempurna bagi Muslim terutama dalam perjalanan spiritual
tentang uzlah bahwa, uzlah bukan berarti mengasingkan diri dari hidup bersosial.
Akan tetapi, uzlah menurut Syekh Nawawi adalah tetap melaksanakan segala aktifitas
sosialnya dengan senantiasa memelihara hati agar tidak terdistorsi hal-hal negatif.
3. Tajalli
Tajalli ini bermakna pencerahan atau tersingkapnya segala hijab yang menutupi
antara makhluk dengan segala rahasia Tuhan. Wujud akhir sebagai puncak dari segala
melakukan segala ketaatan bukan karena kewajiban atau perintah dari Tuhan, akan
tetapi ia sudah mengetahui rahasia di balik itu semua dari kenikmatan yang akan
bagi seorang sâlik dalam menjalankan segala syariat Islam. Sungguh akan menjadi
terbebani dengan itu, akan tetapi karena mereka tahu manfaat dan hasil yang ada di
Jadi jelaslah bahwa tanggung jawab tasawuf terhadap sosial bukanlah melarikan
diri dari kehidupan dunia dengan segala tipu daya dan muslihatnya, akan tetapi ia
adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru, yang
akan membentengi diri saat menghadapi problem hidup dan kehidupan yang serba
PENUTUP
Kesimpulan
penulis akan kemukakan beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari praktik
dengan zaman modern ini. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis temukan dari
berbagai referensi, khususnya referensi primer yang penulis ambil dari karya
Syekh Nawawi al-Bantani yang berkaitan dengan tasawuf yaitu Salālim al-
Fuḍalā, Nasâ‟ih al-„Ibâd, dan Qâmi‟ Tughyân serta kitab-kitab sekunder lainnya,
sampai mendapatkan kesimpulan bahwa inti dari tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani adalah pengamalan dari syariat, tarekat dan hakikat, karena ketiga unsur
ini sangat penting dan memiliki keterkaitan diantaranya sehingga tidak bisa
dipisahkan.
Jalan pertama yang harus dilalui seorang Muslim untuk lebih dekat dengan
Allah adalah syariat. Menurut Syekh Nawawi syariat adalah mematuhi berbagai
hukum dan aturan dari Allah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits berbentuk
wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Kemudian seorang Muslim harus
Sunnah dan menghindari perilaku makruh dan mubah, serta dengan merutinkan
amalan-amalan khusus dan dzikir (riyāḍah). Dalam menjalani tarekat ini, Syekh
85
86
Syekh Nawawi membebaskan untuk memilih mursyīd dan tarekat apa pun, selama
Setelah melalui syariat dan tarekat, maka seorang penempuh jalan spiritual
akan menemukan hakikat. Menurut Syekh Nawawi, orang yang sampai kepada
Adapun satu kesatuan lainnya dari konsep syariat, tarekat dan hakikat diturunkan
ke dalam sepuluh wasiatnya untuk menempuh jalan spiritual atau dapat diterapkan
agar sampai kepada pencapaian maqâm yang terdekat dengan Allah di dunia
1. Taubat
2. Qana‟ah
3. Zuhud
5. Menjaga sunnah-sunnah
6. Tawakal
7. Ikhlas
8. Uzlah
9. Memperhatikan waktu
10. Ma‟rifat
tasawuf akhlaki atau Sunni yang banyak mengajarkan tentang cara tahalli
87
berlandaskan pada al-Qur‟an dan Sunnah. Selain itu konsep tasawuf Syekh
Nawawi juga termasuk dalam corak tasawuf amali karena berusaha mencari
pemberian Tuhan (mauhibah) dengan jalan penerapan syariat, tarekat dan hakikat,
sehingga menjadi satu jalan untuk mencapai tingkatan terdekat dengan Tuhan.
Secara karakteristik pemikiran yang paling menjadi identitas dari Syekh Nawawi
adalah karya tulisnya yang berbentuk syarh atau penjelasan ulang atas karya dari
dalam keseharian. Sehingga manusia dapat memiliki orientasi hidup yang jelas
dan terarah dengan konsep yang diajarkan. Seperti halnya perintah untuk
menanamkan sifat qanaah, ikhlas, ridha agar terhindar dari penyakit-penyakit hati,
Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012).
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi (Bandung:
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993).
Hajjaj, Dr. Muhammah Fauqi, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011).
Isa, Syeikh Abdul Qadir, Cetak Biru Tasawuf:Spiritualitas Ideal dalam Islam,
88
89
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo:
Amzah, 2005).
Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2015).
2006).
Malik, Abdul dkk, Jejak Ulama Banten, (Serang: Biro Humas dan Protokol Setda
Banten, 2014).
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2012).
1973).
Putra).
90
Ramli, Rafi‟udin, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kyai Muhammad Nawawi
Rifa‟i, Muhammad, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1978).
Rusli, Ris‟an, Tasawuf dan Tarekat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).