ADDIN
Media Dialektika Ilmu Islam
ADDIN
Media Dialektika Ilmu Islam
u 4 n 1 Januari Juni 1 4 4
Jurna i r i an
PELINDUNG
u a n i ian an
ua u u n a ian a ara a
PENANGGUNG JAWAB u u ia na
an u ua u an a i an n ri a
ia ar a u i uai
PEMIMPIN UMUM n an a u urna
r a u ui r u ai u an
r u un an n n i u
PEMIMPIN REDAKSI ia an a a aan
a an u i a a an i iri a ar
i i ra i i ar a a an
SEKRETARIS REDAKSI a i1 ra i aa
a ni i nu i an n an u an
a ar u a a a ai
DEWAN REDAKSI u rr r n i a i
irin r a r ai i u unan
i i an a i a an a ru a i i
r r u i an an i ua
PENYUNTING AHLI
u a a i
a a a i
u i ir u u
u a a J n ar
1 1 4 1 a
TATA USAHA
441 1 u u
ari a a ai
i a i ani a an u i 1 ai
ur i
i r i an
u a n i ian an n a ian a ara a
iv
PENGANTAR REDAKTUR
Bismillahirrahmanirrahim
Mentradisikan bersyukur menjadi ajaran Islam yang
perlukita uri-uri, sebagai bentuk penghambaan hamba kepada
Tuhandengan ucapan hamdalah. Tidak bedanya, sebagai umat
yangmenghormati junjungan-Nya, kita bersalawat kepada Nabi
SAWsemoga mendapat syafaat di hari pembalasan. Pada edisi
Januari-Juni 2012 Jurnal addin STAINKudus yang memuat
artikel atau naskah khususnya bernuansakeagamaan berbagai
topik, sebagai bentuk kepedulian ilmuandalam mewacanakan
ide yang dibakukan dalam jurnal selaluditunggu redaktur pada
edsi Juli-Desember 2012.Berbagai topik tersusun dalam edsi ini
dengan harapanmenambah khasanah keilmuan bagi pembaca.
Hanya berbekalsemangat juang di bidang keilmuan, naskah edisi
ini perludisongsong dengan ide segar, dikhususkan lagi dalam
membidikhal-hal yang kontroversial agar tebaran persoalan
dalamkehidupan dapat terurai, meskipun sebatas ide yang
terwacanakandalam terpublikasikan.Jurnal ini terbit setiap enam
bulan sekali, edisi Januari - Junidan Juli - Desember. Redaktur
menunggu dan mengharap kepadapembaca untuk berkiprah lebih
optimal lagi melalui ide segarnya.Hal tersebut dapat dilakukan
dengan silaturahim ke PusatPenelitian dan Pengebdian kepada
Masyarakat (P3M) SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Kudus Jalan Conge-Ngembalrejo, Kudus atau berdunia maya
dengan alamate-mail: saekan.Muchit61@gmail.com.
v
Demikian Pengantar redaksi, naskah yang tertera
dalamjurnal ini menggugah kita untuk semangat kembali
mengkajirealitas yang menyimpan problematika, semoga
bermanfaat untukkita semua. Nuwun, maturnuwun.
vi
DAFTAR ISI
vii
ADAH MUHAKKAMAH, SINERGI AGAMA DAN BUDAYA, UPAYA
MENUJU KEARIFAN LOKAL
Oleh: Jamal Ma'mur Asmani ~ 119 - 133
viii
HUBUNGAN KEBERMAKNAAN HIDUP DAN
DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN
KESEHATAN MENTAL NARAPIDANA
(Studi Kasus Nara Pidana Kota Semarang)
Baidi Bukhori
(Dosen IAIN Walisongo Semarang)
Email address
Abstract
Abstrak
A. Pendahuluan
Kesehatan mental merupakan permasalahan yang selalu
menarik perhatian masyarakat. Berita-berita tentang peningkatan
jumlah pasien rumah sakit jiwa akibat musibah bencana alam di
berbagai daerah, siswa bunuh diri karena belum bisa membayar
SPP, narapidana1 bunuh diri akibat stress, dan sebagainya. Beberapa
kasus tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa diabaikan
begitu saja.
Ketidaksehatan mental bisa dialami oleh semua orang
tak terkecuali narapidana, apalagi narapidana yang hidup dalam
kamar hunian dalam waktu yang cukup lama, bisa beberapa tahun,
kadang-kadang sampai puluhan tahun bahkan seumur hidup. Di
dalam lembaga pemasyarakatan2 (Lapas) seorang narapidana
akan mengalami berbagai persoalan dan penderitaan. Secara
teoritis sebenarnya derita yang akan dialami oleh narapidana satu-
satunya adalah hilangnya kemerdekaan bergerak. Namun ternyata
ada derita-derita sertaan sebagai akibat hilangnya kemerdekaan
bergerak, yaitu: 1). Hilangnya kesempatan hubungan seksual. 2).
Kehilangan hak pribadi. 4). Kehilangan mendapatkan kebaikan
1
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7).
2
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995
tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 2).
3
Tarsono, Pengaruh besarnya Kelompok Terhadap Perilaku Prososial dan
Agresifitas Narapidana, Tesis (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada, 2002), h. 94-
95.
4
E. Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi Victor Fankl, (Yogyakarta: Kanisius,
1992), h. 58.
5
H.D. Bastaman, Integrasi Psikologi dalam Islam, Menuju Psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 55.
6
F.E. Frankl, Logoterapi; Terapi Psikologi MelaluiPemahaman Eksistensi,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h. 4.
7
D. Tresnowati, Kecemasan Terhadap Kematian pada Pasien Hemodialysis
Ditinjau dari Dukungan Sosial Keluarga. Tesis (Yogyakarta: Pascasarjana
Universitas Gadja Mada, 2004), h. 5.
B. Kebermaknaan Hidup
Kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap
keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang dianggap penting,
dirasakan berharga, dan dapat memberikan arti khusus yang
menjadi tujuan hidup sehingga membuat individu menjadi berarti
dan berharga9. Menurut Ancok10 kehidupan yang bermakna akan
dimiliki seseorang apabila dia mengetahui apa makna dari sebuah
pilihan hidupnya. Makna hidup adalah hal-hal yang memberikan
arti khusus bagi seseorang, yang apabila berhasil dipenuhi akan
menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga,
sehingga akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness)11
Menurut Frankl12 ada tiga komponen kebermaknaan hidup,
yakni 1). kebebasan berkehendak, 2). kehendak hidup bermakna,
8
Ibid.
9
Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi, , h. 58.
10
Frankl, Logoterapi; Terapi, h. 7.
11
P. Budiharjo, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), h. 153.
12
F.E. Frankl, The Will to Meaning, Foundations dan Aplications of
Logotherapy, (New York: Meridian, 1988), h. 16.
16
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 197.
17
Tresnowati, Kecemasan, h. 5.
18
I.G. Sarason, Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire.
(Journal of Personality and Social Psychology, 1983), h. 127.
19
D. Etzion, Moderating Effect of Social Support on The Stress-Burnout
Relationship, (Journal of Applied Psychology, 1984), h. 615.
D. Kesehatan Mental
Daradjat20 menyatakan bahwa ada banyak definisi tentang
kesehatan mental yang diberikan para ahli, sesuai dengan
pandangan dan bidangnya masing-masing. Definisi tersebut
antara lain: 1). Kesehatan mental adalah terhindarnya orang
dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala
penyakit jiwa (psychose). 2). Kesehatan mental adalah kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain
dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. 3). Kesehatan
mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari
gangguan dan penyakit jiwa. 4). Kesehatan mental adalah
terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-
fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif
kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Menurut Bastaman21, kesehatan mental adalah terwujudnya
keserasian yang sungguh-sunguh antara fungsi-fungsi kejiwaan
dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya
dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat.
Beberapa ahli yang berusaha merumuskan tolok ukur
kesehatan mental seseorang, salah satunya adalah Bastaman22. Ia
20
Z. Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2001),
h. 4-6.
21
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 133.
22
Ibid., h. 134.
23
Darajat, Kesehatan Mental, h. 9.
24
Tarsono, Pengaruh besarnya Kelompok Terhadap Perilaku Prososial dan
Agresifitas Narapidana, Tesis (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada, 2002), h. 88.
25
Ibid.
26
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 196.
27
D.C. Ganster, M.R. Fusilier, dan B.T. Mayes, Role of Social Support in The
Experience of Stress at Work, (Journal of Applied Psychology: 1986), h. 102.
28
T.N. Rohman, N. Prihartanti, dan H.F. Rosyid, Hubungan antara
Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat Putri di Rumah Sakit Swasta,
Jurnal Psikologi, Vol. ?, No. ? (Month, 1997), h. 56.
29
Frankl, Logoterapi; Terapi, h. 4.
30
K. Sadrayuni, Hubungan Kebermaknaan Hidup dengan Penerimaan
Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Skripsi (Semarang: Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2004), h. 5.
31
Ibid.
35
Burnout merupakan keadaan internal negatif yang ditandai dengan
tiga simtom: simtom fisik, emosional, dan mental.
36
Rahman, Hubungan antara, h. 56.
E. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi positif
yang signifikan antara kebermaknaan hidup dan dukungan
sosial keluarga dengan kesehatan mental narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Semarang. Semakin tinggi kebermaknaan
hidup dan dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi kesehatan
ABSTRACT
A. Pendahuluan
Pesantren dikenal sebagai institusi transmisi Islam yang
paling tua di Jawa sudah tidak asing lagi. Keberadaannya telah
membawa transformasi sosial baik di lingkungan umat Islam sendiri
maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Para kyai sebagai figur
kunci dalam pesantren juga telah memberikan kontribusi yang tidak
sedikit dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh para
kyai pengasuh pesantren di Jawa seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan
Kyai Abdul Wahab Hasbullah Jombang, Kyai Bisyri Syansur dari Tayu,
Kyai Raden Asnawi dari Kudus dan sejumlah kyai liannya adalah
bukti kongrit upaya para kyai pesantren untuk menggerakkan
umat agar lebih beradab (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 178-221).
Pesantren di tengah kolonialisme Belanda juga telah menjadi basis
perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan sehingga atas
parakarsa para intelektual pesantren telah mendorong terjadinya
pergeseran teologi Islam di Indonesia. Hal ini bisa dicermati dengan
munculnya teologi kebangsaan pada saat bangsa Indonesia sedang
dihadapkan perjuangan yang masih sporadis sehingga kurang
mampu memukul mundur penjajah saat itu.
Namun ketika teologi kebangsaan mulai dirajut oleh para
santri muda di bawah doktrin hubbul wathān min al īmān tanpa
memandang latar belakang budaya dan agama, spirit Islam
untuk melawan penjajah semakin menemukan momentumnya.
Perlawanan terhadap penjajah mulai menyatu dan memposisikan
penjejah sebagai lawan bersama yang harus dienyahkan dari muka
bumi. Hal ini diperkuat dengan beredarnya kitab yang provokatif
Fadhā’il al-Jihād (Keutamaan Jihad), yang dimotori oleh Syekh
Abd al Shomad al-Palimbani, seorang ulama dan pemikir tasawuf
yang beraliran al Ghozaly (Nur Said, 2005: 34-49). Kitab ini telah
membawa pengaruh yang cukup besar bagi kaum Muslim secara luas
karena sengaja ditulis dengan bahasa Arab. Terdiri atas tujuh bab,
E. Kesimpulan
Beberapa uraian di atas dapat diringkas dalam beberapa
kesimpulan penting sebagai berikut;
a. Tradisi pesantren di Jawa yang sekarang dikenal sebagai
akar pendidikan tradisional yang salaf (berorientasi pada
R. Aris Hidayat
IAIN Syeh Nurjati Cirebon
Email:
Abstrak
A. Pendahuluan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
khas Indonesia. Pondok pesantren juga dapat dianggap sebagai
warisan sekaligus kekayaan kebudayaaan intelektual nusantara.
Lembaga pendidikan ini tumbuh dan berkembang ditengah-tengah
1
Azyumardi Azra, dalam Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. xiii
C. Pengarang Kitab
Pergeseran literatur pada aspek pengarang kitab terjadi
pada masa setelah kemerdekaan Indonesia (tahun 1945-sekarang).
Pergeseran pada masa itu dibedakan atas dua periode yakni periode
tahun 1945-1970 dan periode tahun 1971-2005. Pergeseran yang
terjadi pada periode 1945-1970 berupa pengembangan kitab-kitab
yang digunakan oleh para santri, yakni selain kitab yang dikarang
oleh Ulama Timur Tengah (Arab) para santri juga menggunakan kitab
yang dikarang oleh ulama Jawi, terutama kitab-kitab yang berkenaan
dengan bidang Ilmu Fikih. Nama-nama ulama Jawi (Ulama Asia
Tenggara) seperti Syeh Nawawi dari Banten, Syeh Ahmad Khatib
dari Minangkabau, Imam Syafi’i dari Sumatra, Mahmud Yunus dari
Sumatra, dan Syeh Banjari dari Kalimantan, merupakan sederet
ulama Jawi yang sangat besar peranannya dalam pengembangan
Ilmu Agama Islam di Indonesia. Perlu juga dikemukakan bahwa pada
periode 1945-1970 seiring munculnya toko-toko kitab di beberapa
daerah di Indonesia, maka mulai bermunculan pula pengarang-
pengarang lokal yang mengarang kitab, menyalin secara utuh,
atau menyalin kitab dengan memberikan tambahan keterangan di
dalamnya.
Pada periode 1971-2005 pergeseran yang terjadi berupa
pengembangan pengarang kitab dari periode sebelumnya. Pada
D. Penerbit
Pergeseran literatur pada aspek penerbit terjadi pada
periode sesudah kemerdekaan. Pergeseran yang terjadi berupa
penggunaan kitab-kitab yang diterbitkan oleh penerbit dari dalam
negeri. Dahulu pada periode awal sampai dengan menjelang
kemerdekaan, para santri relatif lebih banyak menggunakan kitab-
kitab yang diterbitkan oleh penerbit asing, misalnya Dar Ibn Katsir
Beirut, Dara al-Fikr Beirut, Dara al-Kutb Mesir, ‘Alam al-Kutb Beirut,
Qasm al-‘Ibadat Beirut, Dar al-Ihya Mesir, Bombai, dan Wikalat Al-
Muthawa’at Kuwait. Namun pada periode sesudah kemerdekaan,
para santri banyak yang menggunakan kitab-kitab yang diterbitkan
oleh penerbit lokal, misalnya Thoha Putra Semarang, Menara Kudus,
Pustaka Al-Awaliyah Semarang, Dara al-Fikr Surabaya, Syarkat al-
Ma’arif Bandung, Nur Asia Jakarta, dan Pustaka Progresif Jakarta.
E. Bidang Ilmu
Pergeseran literatur pada aspek bidang ilmu terjadi sejak
periode awal abad ke-20 hingga sekarang. Pada awal masa abad
ke-20 bidang ilmu yang dikaji mengalami pergeseran dari bidang
Ilmu Nahwu/ Sharaf dan tasawuf ke bidang Ilmu Fikih dan nahwu/
saraf. Pergeseran bidang ilmu yang dikaji ini sangat berkaitan erat
dengan kemampuan atau penguasaan bidang ilmu dari pimpinan
pesantren itu. Disamping itu, pergeseran ini juga terjadi akibat
tuntutan perkembangan jaman dan trend pasar yang ada pada saat
itu.
Bidang Ilmu Nahwu/Sharaf masih tetap dijadikan kajian
pokok, karena bidang ilmu ini sangat penting dan menjadi dasar
untuk penguasaan kitab-kitab selanjutnya. Santri yang lemah
penguasaan nahwu/Sharafnya akan mengalami kesulitan untuk
mempelajari, memahami, dan mendalami kitab-kitab dari bidang
ilmu lainnya. Sebaliknya, santri yang kuat penguasaan nahwu/
F. Penggunaan Kitab
Pergeseran literatur pada aspek penggunaan kitab meliputi
pergeseran pada jenis kitab yang digunakan, pergeseran pada
rumpun kitab yang digunakan, pergeseran pada cara atau tehnik
mengajarkan kitab.
1. Jenis Kitab
Pergeseran literatur berkenaan dengan jenis kitab yang
digunakan terjadi sejak awal abad ke-20 tetapi sangat jelas terlihat
setelah kemerdekaan. Pergeseran itu ditandai dengan mulai
digunakannya kitab-kitab yang bukan kitab kuning, yakni kitab-kitab
yang ditulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
Pada masa awal berdiri, pengasuh pesantren al-Anwariyyah tidak
pernah menggunakan kitab-kitab lain selain kitab kuning, baik
yang menggunakan bahasa Arab maupun yang menggunakan
bahasa Jawa. Kitab yang bukan kitab kuning digunakan oleh para
santri untuk memperluas pengetahuan dan wawasannya agar tidak
tertinggal dari dunia luar pesantren, khususnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sesuai dengan ajaran Islam.
2. Rumpun Kitab
Pada aspek rumpun kitab ini, pergeseran yang ditemukan
hanya pada rumpun Kitab Fikih. Sebagaimana dijelaskan oleh
Mudzar (1992:32), rumpun Kitab Fikih yang banyak digunakan oleh
pengasuh pesantren di Indonesia bermuara pada empat rumpun
kitab yakni kitab yang bermuara atau termasuk rumpun kitab Al-
Muharrar karya Imam Rafi’i, rumpun Kitab Taqrib karya abu Syuja’,
rumpun Kitab Muqaddimat Al-Hadramiyyah karya Ba Fadhal, dan
rumpun Kitab Qurrah Al-‘Ain.
K. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa,
(1) Di Pesantren Slafiyah Al-Anwariyah desa Tegalgubug Lor,
Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, telah
terjadi pergeseran literatur secara terbatas. Pergeseran yang terjadi
mencakup perubahan pada aspek kepengarangan, kepenerbitan,
bidang keilmuan, dan penggunaan kitab. Pergeseran pada aspek
kepengarangan kitab berkenaan dengan keasalan kepengarangan
kitab, yakni dari pengarang kitab asing ke pengarang kitab dalam
negeri (lokal). Pergeseran pada aspek kepenerbitan juga berkenaan
dengan keasalan penerbit kitab, yakni dari penerbit asing ke penerbit
dalam negeri (lokal). Pergeseran pada aspek bidang keilmuan
berkenaan dengan jenis bidang ilmu yang menjadi penekanan,
yakni dari bidang ilmu tasawuf dan nahwu/saraf. Pergeseran aspek
penggunaan kitab berkenaan dengan jenis kitab yang digunakan,
rumpun kitab yang digunakan, dan cara atau tehnik pengajaran
kitab oleh guru/ustadz/pengasuh kepada santri. Pergeseran pada
Fadullah
Instansi Paris
Email: hamnam@llkk
Abstract
A. Pendahuluan
Daerah Cilegon sesuai namanya merupakan tanah rawa
yang belum banyak dirambah dan dihuni orang. Namun pada masa
keemasan kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-
1672) dilakukan pembukaan lahan pertanian di daerah Serang dan
Cilegon, dengan merubah rawa menjadi persawahan. Sejak itu
1
Sartono Kartodirjdo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984), h. 54
2
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 248
3
Ibid. h. 53
4
Halwani Michrob dan A. Mudjahid Chudhairi, Catatan Masa Lalu Banten,
(Serang: Saudara, 1993), h. 194
5
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 21
C. Tujuan Pesantren
Pesantren memiliki dinamika dan perkembangan yang khas,
mulai dari pengajian al-Qur’an, pondok rombeng, dan kemudian
muncul madrasah. Atas dasar dinamika dan perkembangan
pesantren terebut, dirumuskan tujuan pendidikan pesantren di
kota Cilegon sebagai berikut:
1. Mendidik muslim yang dapat melaksanakan syari’at agama
(Islam). Lulusan pesantren harus mempunyai kemampuan
melaksanakan syari’at agama (Islam) secara nyata dalam rangka
mengisi, membina, dan mengembangkan suatu peradaban
Islam, walaupun tidak tergolong pada predikat “ulama” yang
menguasai ilmu-ilmu syari’at secara khusus.
2. Pendidikan pesantren pada tahap ini mementingkan aspek
praktis dari ajaran Islam. Materi pengajian bersifat aplikatif
yang dituntut pengalamannya dalam kehidupan sehari-
hari, bukan pada banyaknya materi (subject matter) yang
dikuasasi secara kognitif. Dalam konteks ini paling tidak santri
harus memahami dan menghayati materi keimanan, ibadah
(shalat, zakat, puasa, haji), dan akhlak (tata krama) serta fikih
munakahat dan mawaris, karena materi-materi tersebut terkait
langsung dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehari-
hari.
3. Mencetak ulama yang menguasai ilmu-ilmu syari’at; mendidik
santri yang mampu berijtihad. Pada tingkat kompetensi ini,
lulusan pesantren dicanangkan menjadi pengawal umat, yang
memberi peringatan dan pendidikan kepada masyarakat di
D. Fungsi Pesantren
Pesantren lebih dikenal sebagai institusi pendidikan.
Walaupun dalam kenyataannya, pesantren juga berfungsi sebagai
lembaga sosial dan penyiaran agama serta aktif dalam kegiatan
bela Negara dengan semangat jihad fi sabilillah. Hal ini dibuktikan
dengan gerakan kyai-santri bersama rakyat pada zaman perang
kemerdekaan dan pada zaman revolusi untuk mempertahankan
kemerdekaan. Tidak sedikit pesantren yang dijadikan markas
perjuangan, tempat berunding dan menyusun strategi, bahkan
gudang rahasia untuk menyimpan rahasia.
Ciri sistem pendidikan pesantren adalah berasrama
(boarding scool) dan proses pembelajarannya diorientasikan
untuk menanamkan keimanan lewat aktivitas peribadatan serta
mengembangkan khazanah intelektual muslim zaman klasik melalui
kitab kuning, sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan
E. Doktrin Pesantren
Para pendidik di kalangan pesantren percaya bahwa
kualitas pribadi diperoleh dengan kesungguhan, dengan prinsip
man jadda wajadda. Landasan dan sekaligus indikator kualitas
kesungguhan ini dirumuskan dalam terma Ju-H-Dun: mujahadah,
ijtihad dan jihad. Kualitas rohani diukur dengan kesanggupannya
melakukan mujahadah kepada Allah; kualitas intelek (akal) diukur
dengan kesanggupannya melakukan ijtihad dalam merespon dan
menjawab problem kehidupan masyarakat; dan kualitas jasad
diukur dengan kemampuannya melaksanakan jihad fi sabilillah,
memimpin gerakan dalam membela kelompok masyarakat yang
lemah dan yang tertindas.
6
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),
h. 21
I. Kesimpulan
Daerah Cilegon dihuni oleh pendatang yang berasal dari
Demak dan Cirebon. Juru dakwah dari Demak seperti Ki Abu
Sholeh dan Mas Burhan tinggal dan mengembangkan dakwah
di Bojonegara, distrik Cilegon. Dari kedua juru dakwah itu lahir
keturunan yang bergiat mendirikan pesantren: Al-Khairiyah dan
klan Abu Sholeh dan al-Jauharatunnaqiyah dari klan Maas Burhan.
Pesantren di Cilegon bermula dari pengajian kitab dirumah kyai
atau masjid. Ketika jumlah santri bertambah dan diantara santri
berasal dari rantau, maka ada keprluan pemondokan untuk tempat
tinggal. Karena itu, masjid, rumah kyai, dan majelis ta’lim itu
9
Halwani Michrob dan A. Mudjahid Chudhairi, Catatan Masa Lalu Banten,
(Serang: Saudara, 1993), h. 197-198
Asqalani, Ahmad bin Ali Ibn Hajar. Fath Al-Bari bi Syarh al-Bukhari,
Birut: Dar al-Fikr, 1994
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1994
Kartodirjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984
Madjid, Nurkholis. Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina,
1997
Madjid, Nurkholis. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 1992
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS,
1994
Michrob, Halwani & Chudhari, A. Mudjahid. Catatan Masa Lalu
Banten, serang: Saudara, 1993
Stenbrink, Karel, A. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994
Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani
Press, 1997
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat,
Bandung: Mizan, 1999
Zakiyah
Email: zakiyah_elwa@@yahoo.com
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Ajaran-ajaran agama tumbuh dan berkembang bersama
perkembangan manusia. Beberapa ahli sejarah agama menyebutkan
bahwa agama ada sejak manusia pertama muncul di dunia, dari
masyarakat primitif sampai masyarakat modern, dari belahan bumi
barat maupun belahan bumu timur. Kenyataan ini menunjukan
bahwa manusia memiliki potensi dasar atau instink agama yaitu
manusia sebagai “homo divians” (makhluk ber-Tuhan) atau “homo
religious” (makhluk beragama). Sejalan dengan hal tersebut,
manusia baik secara kelompok maupun perseorangan selalu
memiliki agama, meski corak dan bentuknya tidak selalu sama.1
Selain itu agama besar yang telah disebutkan (yakni Islam, Kristen,
Yahudi) dan ajaran Taoisme, Kun Fu Tse, Hindu dan Budha, masih
banyak lagi ajaran atau kepercayaan masyarakat terhadap tuhan
atau dewa dibanyak wilayah di dunia yang keberadaannya terbatas
pada daerah tertentu. Beberapa diantara agama tersebut adalah
Zarathustra yang berkembang di Persia, dan agama Mesir kuno yang
memiliki corak polytheisme, animism dan kadang-kadang Toteisme
yaitu memuja dewa-dewa, ruh-ruh, dan binatang yang dianggap
suci. Sementara itu, di Indonesia juga terdapat banyak ajaran atau
agama yang muncul dari masyarakat lokal yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke.
Sistem kepercayaan masyarakat lokal (kemudian disebut
agama lokal) ini dalam beberapa kajian dan penelitian sering
dimasukkan dalam sub bahasan kebudayaan. Hal ini mungkin
2
J. Danadjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”, dalam
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1988).
3
B. Rudito, “Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatra”, dalam
Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993).
4
J. Danadjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”.
5
Ibid.
10
R. A. Hidayat, “Orang Dayak dan Budaya Kaharingan Studi Orientasi
Keagamaan Masyarakat Dayak Penganut Agama Hindu Kaharingan”, Makalah
dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif, Balai Litbang Agama Semarang, 19
September 2007.
11
J. Sou’yb, Agama Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1983).
12
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.
13
Ibid.
14
P. Suparlan, “Kebudayaan Timor”.
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar; H. Smith,
15
19
Ibid.
20
Ibid.
E. Penutup
Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga
Negara berhak memluk dan menjalankan agama dan kepercayaan
masing-masing, namun hal ini belumlah cukup karena pada
kenyataannya tidak semua agama dan keyakinan mendapatkan
pengakuan secara formal oleh Negara. Peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dengan jelas membatasi ruang gerak agama lokal.
Selain hal tersebut, keberadaan religi pribumi juga mengalami
keterdesakan yang disebabkan oleh beberapa hal yakni: (1) adanya
23Ibid.
Kisbiyanto
Dosen STAIN Kudus
Email:
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Kecenderungan madrasah diniyah sistem klasikal bertingkat
‘ula (pertama), wustho (menengah), ‘ulya (tinggi) kurang diminati
dan kurang diperhatikan masyarakat dari pada Taman Pendidikan
al-Qur’an (TPQ). Pada umumnya, sebagian orang tua lebih memberi
perhatian anak-anak kecil mereka untuk belajar membaca al-Qur’an
di TPQ pada siang/sore hari sebagai pendidikan tambahan setelah
pagi hari belajar di sekolah formal misalnya madrasah ibtidaiyah
(MI) atau sekolah dasar (SD).
Penyelenggara utama pendidikan nasional adalah
Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pusat dan dinas
pendidikan pada propinsi dan kabupaten/kota. Namun, dalam
pelaksanaannya, banyak departemen lain menyelenggarakan
C. Budaya Organisasi
Budaya organisasi menurut Owens didefinisikan sebagai
“…the body of solution to external dan internal problems that
has worked consistenly for a group and that is therefore taught
to new members as the correct way to perceive, think about and
feel in relation to those problem…”
Jadi budaya organisasi dipahami sebagai pola pemecahan
masalah eksternal dan internal yang diterapkan secara konsisten
bagi suatu kelompok dan karenanya diajarkan kepada anggota-
anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang,
memikirkan dan merasakan masalah yang dihadapi. Selanjutnya
Owens juga menjelaskan bahwa budaya organisasi berarti filsafat,
ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan
norma-norma bersama yang mengikat atau mempersatukan suatu
komunitas (Eko S, 2003:11).
Jadi budaya organisasi sangat terkait dengan sistem nilai
yang diyakini dalam suatu organisasi yang dengan nilai-nilai itu
komunitas organisasi bersikap, berperilaku dan mengerjakan
tugas-tugas keorganisasian untuk mencapai tujuan. Dengan kata
E. Analisis Data
Analisis dan pembahasan dalam penelitian ini menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa sistem
nilai di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.
2. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa
kepemimpinan di madrasah diniyah adalah dalam kategori
baik.
3. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa budaya
organisasi di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.
4. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa sistem nilai
berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di
madrasah diniyah di Kudus.
5. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa kepemimpinan
berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di
madrasah diniyah di Kudus.
Madrasah diniyah sebaiknya segera memperbaiki diri dengan
meningkatkan pengembangan sistem nilai dan kepemimpinan yang
semakin relevan dengan perkembangan pendidikan keagamaan
agar budaya organisasi di madrasah diniyah semakin lama
semakin membaik dan meningkat sebagai organisasi atau lembaga
pendidikan yang baik.
Email: jamil_makmur@yahoo.com
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Salah satu kaedah sumber hukum Islam yang aspiratif,
akomodatif, dan fleksibel adalah ‘adah muhakkamah1 ,yakni suatu
tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber
1
Syeh Jalaluddin al-Syuyuti, Asybah Wa Al-Nadhori, h. 63
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 119
penetapan hukum. Tradisi suatu masyarakat dapat berkembang,
berbeda, dan berubah sesuai dengan tingkat peningkatan ekonomi,
sosial, pendidikan, dan politik warganya. Perubahan semacam ini
membuat hukum harus proaktif mengikutinya, sehingga tidak out
of date. Kaedah ini dalam rangka menghantarkan substansi aplikasi
hukum Islam yang harus membawa misi vitalnya, yaitu menciptakan
masholihul ibad, kemaslahatan hamba Allah. Kemaslahatan
adalah sesuatu yang mendorong kepada kebaikan (positif)
dan menghindari kejelekan (negatif). Salah satu indikator dan
parameter maslahah bagi manusia adalah tercukupinya kebutuhan
primer, sandang, pangan, dan papan. Dalam bahasa agama, indikator
keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak
dasar manusia, yaitu menjaga kebebasan beragama (fidzu al-din),
melindungi keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga keamanan
harta (hifdzu al-mal), menajaga kebebasan berfikir (hifdzu al-
aqli), menjaga kelangsungan keturunan dan prestise (hifdzu al-
nasli wa al-irdh). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam
mempunyai banyak instrument. Qoshos di syari’atkan untuk
menjaga keselamatan jiwa, orang murtad di bunuh untuk menjaga
agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh
zina dihukum untuk menjaga harga diri, mencuri dihukum untuk
menjaga harta, dan minum-minuman keras dihukum untuk menjaga
akal2.
Dasar kaedah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Ma
raahu al muslimuna hasanan fahuwa indallahi hasanun sesuatu
yang dianggap bagus oleh banyak umat muslim, maka sesuatu
tersebut bagus menurut Allah. ‘Adah adalah sesuatu yang berulang-
ulang. Sama dengan ‘adah adalah urf, yaitu sesuatu yang menjadi
kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik ucapan,
melakukan perbuatan, atau meninggalkannya. Sebagian ahli fiqh
mengatakan, bahwa ‘adah lebih umum daripada urf, artinya semua
urf adalah adah, dan tidak semua adah adalah urf3 .
Salah satu contoh kaedah ‘adah muhakkamah ini adalah
batas minimal-maksimal haidh, minimal usia wanita haidh,
mengambil buah yang runtuh, menjaga harta yang dicuri, transaksi
2
Hasyiah Ianatut Tholibin, Juz 4, h. 142
3
Ali Sabbak, Al-Syariatu wa al-Tasyri’, h. 96
B. PEMBAGIAN ADAH
‘Adah/ urf dibagi dalam beberapa aspek.
Dari aspek ucapan dan tindakan, adah atau urf dibagi dua.
Pertama, urf qauli (kebiasaan yang berupa ucapan), misalnya
kebiasaan manusia menggunakan kata ‘waladun’ pada anak laki-
laki, bukan perempuan, walaupun kata ‘waladun’ secara bahasa bisa
digunakan untuk keduanya (laki-laki dan perempuan), misalnya
firman Allah Swt. Yushikum Allahu fi auladikum li al-dzakari mistlu
hadz il untsayain. Allah memberikan wasiat kamu semua dalam
masalah anak-anakmua semua, bagi laki-laki seprti bagian dua
orang perempuan (Qs. Al-Nisa :11). Kedua, urf amaly (kebiasaan
berupa pekerjaan), misalnya kebiasaan manusia membeli tanpa
ada transaksi (ijab-qabul), tapi langsung memeberikan uang (dalam
khazanah ilmu fiqh dinamakan bai’ mu’athoh).
Dari aspek keumumannya, ‘addah/ urf dibagi menjadi dua.
Pertama, urf am (kebiasaan umum), yaitu kebiasaan manusia
dalam semua Negara di satu waktu, misalnya kebiasaan manusia
dalam masalah mandi, kebersihan, tanpa dibatasi hitungan dalam
seminggu, dan kebiasaan memakai pakaian. Kedua, urf khos
(kebiasaan khusus), yaitu kebiasaan manusia yang ada pada sebagian
penduduk Negara, misalnya pada sebagian daerah ada kebiasaan
mempercepat pemberian mas kawin dan sebagian daerah lainnya
menundanya; kebiasaan ahli perdagangan memberikan tambahan
pada pembeli melebihi ukuran jual beli.
Dari aspek sah dan rusaknya, urf dibagi menjadi dua.
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 121
Pertama, urf shohih (kebiasaan yang sah), yaitu kebiasaan yang
tidak bertentangan dengan ketentuan nash dari beberapa nash
syari’at dan tidak juga bertentangan dengan satu kaedah dari
beberapa kaedah syari’at, walupun dalam masalah tersebut
tidak ada nsh khusus. Kedua, urf fashid (kebiasaan rusak), yaitu
kebiasaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syari’at
dan kaedah-kaedahnya yang tetap, misalnya kebiasaan manusia
melakukan banyak kemungkaran, seperti transaksi riba, minuman
Khamr (minuman keras), judi, dan sejenisnya.
Tradisi di masyarakat dalam berhutang, ketika
mengembalikannya dengan jumlah yang lebih banyak daripada
jumlah hutangnya, dalam konteks ini, tradisi masyarakat tersebut
tidak bisa dijadikan syarat (pijakan hukum tetap), sehingga haram
memberikan pinjaman hutang tersebut. Tradisi itu biarlah berjalan
secara alamiyah, artinya, kalau mereka mengembalikan dengan
cara lebih baik, tapi kalau suatu saat, karena keterbatasan ekonomi,
mereka mengembalikannya dengan jumlah yang sama, tidak apa-
apa.
Yang menjadi masalah dalam kaedah ini adalah apabila
tradisi yang berkembang dimasyarakat tersebut bertentangan
dengan ajaran prinsip agama, misalnya tradisi animisme dan
dinamisme, yang menyebabkan kekufuran dan kemusyrikan, maka
jelas, kaedah ini tidak termasuk. Kapanpun Islam menentang segala
bentuk kemaksiatan dan kemungkaran. Tradisi yang menyimpang
adalah sasaran utama Islam. Barang siapa membolehkannya
sedangkan ia tahu status keharamannya, maka ia dihukum kafir
dan murtad dan ia berhak masuk neraka selamanya. Ia tetap
diharamkan agama, cara merubahnya harus bertahap. Hal ini
sesuai dengan tehnik penyebaran dan pembumian ajaran agama
Islam yang terkenal dengan mabadi amah (dasar-dasar umum),
yang terdiri dari lima hal.
Pertama, gradualisasi (tadrij). Ketika Nabi di Makkah,
konsentrasi beliau adalah meluruskan keyakinan, aqidah
mensyaratkan jahiliyah yang menyimpang, tidak pada hal-hal yang
teknis-operasional, baru ketika di Makkah, beliau menata masyarakat
sampai pada aspek-aspek yang detail, pemerintahan, politik, militer
dan lain-lain. Kedua, minimalisasi undang-undang (taqlil min al-
taqnin). Hukum yang disyari’atkan disesuaikan dengan kebutuhan
C. Kearifan Lokal
Kaidah ‘adah muhakkamah ini dalam praktisnya mengakui
budaya lokal dan memberikan sinaran dan sentuhan keagamaan
pada tradisi tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam
satu ritual budaya, ada nilai lokalitas budaya dan universalitas
ajaran Islam yang sudah bersinergi dan terinternalisir dalam
budaya tersebut. Dalam konteks ini, kaidah ‘adah muhakkamah
ini menjadi bukti kepedulian Islam melestarikan budaya leluhur
dengan strategi islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan
budaya lokal dengan memunculkan budaya murni arab, atau
‘Arabisasi’ yang berpotensi ditolak warga setempat.
Contoh aplikasi kaedah ini sebagai metode efektif
penyebaran agama Islam di Indonesia. Para ulama nusantara telah
mencoba mengadopsi budaya lokal secara selektif, sistem sosial,
kesenian dan pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 123
adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam.
Hal ini yang memungkinkan budaya nusantara tetap beragam,
walupun Islam telah menyatukan wilayah ini secara agamis. Dari
segi cara berpakaian, mereka masih memakai pakaian adat, dan
oleh ulama setempat dianggap telah cukup memenuhi syarat untuk
menutup aurat. Kalangan ulama perempuan dan istri para kyai
memakai pakaian adat, sebagaimana masyarakat setempat yang
lain. Strategi ini dijalankan disamping memperakrab Islam dengan
lingkungan setempat, juga memberikan peluang bagi industri
pakaian adat untuk terus berkembang, sehingga secara ekonomi
mereka tidak terganggu dengan kehadiran Islam, kalau bisa justru
dikembangkan. Pada periode ini Islam sangat kental dengan warna
lokal, sehingga setiap daerah Islam bisa menampilkan keislamannya
secara khas berdasarkan adat mereka.
Salah satu aktor integrasi keislaman dan kebudayaan
lokal tersebut adalah Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang
setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun
lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-
unsur upacara Islam popular menghasilkan tradisi sekatenan di
pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta
dan Solo. Juga misalnya tradisi peringatan untuk orang-orang yang
baru meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut
selamatan (acara memohon salamah satu akar dengan kata Islam
dan salam yakni kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu
juga kemudian disebut tahlilan (dari kata tahlil), yakni, membaca
lafal La ilaha illa allah secara bersama-sama, sebagai suatu cara
yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan
suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental
(penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau
pengajaran).
Sunan Bonang mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang mendorong
kecintaan pada kehidupan transendental. Tembang “Tombo Ati”
adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan,
Sunan Bonang mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa di tafsirkan Sunan
Bonang sebagai peperangan antara naïf (peniadaan) dan istbat
(peneguhan). Sementara Sunan Kudus mendekati masyrakat
D. Pribumi Islam
Implementasi kaedah ‘adah muhakkamah ini dalam konteks
Indonesia pernah dilontarkan oleh KH. Abdurrahman Wahid yang
akrab di panggil Gus Dur dengan ide progresifnya Pribumisai Islam.
Gus Dur membolehkan al-salamu’alaikum diganti dengan selamat
pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam. Memakai pakaian
tidak harus ala makkah, memakai jubah. Pribumisasi Islam ala Gus
dur dilakukan dengan cara mengambil spirit dan nilai instrinsik
yang ada pada suatu ajaran, misalnya, ajaran sedekah pada waktu
bulan ramadhan. Di Jawa sudah berlaku selamatan, maka diadakan
selamatan berupa “maleman”, sebelum ramadhan ada tradisi
selametan namanya “megengan”. Juga ketika mendoakan setahun
sekali pada waktu sedekah bumi. Semua tradisi itu dilestarikan,
dengan memberikan sentuhan ketauhidan. Akhirnya, tradisi
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 125
tersebut menjadi media efektif bagi pemasukan nilai-nilai tauhid.
Menurut Zainul Milal Bizawie, dalam melakukan Pribumisasi
Islam, langkah-langkah metodologis yang harus ditempuh adalah4 :
Pertama, mendudukan secara paralel antara tradisi kultural
Arab dan tradisi lokal, antara agaa Islam dengan agama lain sebagai
sebuah entitas yang saling menggeluti pemaknaan hidup, sehingga
memungkinkan dialektika antara tradisi dan melahirkan tradisi
baru atau bentuk keberagaman yang baru. Pribumisasi Islam yang
dinamis adalah sebuah proses pergulatan dan interaksi antar
berbagai kultur, dimana mengandaikan terjadinya proses-proses
dominasi dan hegemoni. Dalam konteks inilah, nafas pergerakan
suara lokalitas melakukan formulasi-formulasi alternative sebuah
efek dari hegemoni.
Kedua, pendekatan praktis dan wacana. Pendekatan praktis
dikembangkan oleh Piere Bourdieu. Pokok pikiran pendekatan
praktis yang paling relefan dalam pembahasan ini adalah bahwa
konsep praktis Bourdieu dibedakan dari konsep tindakan Weber.
Jika Weber lebih cenderung melihat tindakan sebagai pencerminan
ide-ide yang terkandung dalam kebudayaan si pelaku, konsep
praktis menekankan adanya hubungan timbal balik antara si
pelaku dan struktur obyektif atau kebudayaan sebagai keseluruhan
pengetahuan yang diwariskan dari generasi kegenerasi dalam
bentuk simbolik. Implikasi utama dari konsep praktis kubadayaan
adalah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu
kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena
keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya yang
berada pada konteks sosial tertentu, yang mempunyai kepentingan
tertentu. Dengan demikian, kebudayaan bukan sekumpulan sesuatu
yang harus diterima dan dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu
yang ‘dibentuk’, suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan
kepentingan maupun kekuasaan yang sedang berjalan. Pendekatan
ini meniscayakan hubungan saling membentuk, saling belajar, dan
saling mengambil dalam Pribumisasi Islam sebagai hubungan
dialektis antara subyek dan struktur obyektif. Benar, jika tidak
dapat lepas dari struktur obyektif itu, namun dalan praksis juga
4
Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural, Pijakan Historis dan
Antropologis Pribumisasi Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar”, h. 64-67
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 127
tapi justru menggalinya, mensosialisasikannya, memberikan
interpretasi kritis-proyektif, melakukan gerakan penyadaran
dan mengobarkan semangat perjuangan mencapai hidup yang
lebih baik sesuai perintah Allah.
2. Dakwah ala KH. Abdullah Gymnastiyar (Aa’ Gym) yang
mengandalkan keteladanan, pemberdayaan, dan kemuliaan
akhlaq. Aa’ Gym mampu membuat bendera dan lagu kebangsaan
Darut Tauhid, yaitu Majemen Qalbu (MQ) dan lagu Jagalah
Hati………. Aa’ Gym memberikan contoh dengan berwirausaha
dengan kejujuran, kekuatan tawakal pada Allah, memberikan
yang terbaik buat konsumen, menjaga kepercayaan, dan selalu
berinovasi, berkreasi, dan berkompetisi secara dinamis. Aa’
Gym dalam materi dakwahnya fokus pada pembersihan hati
dari segala macam penyakit dan penyulut semangat hidup
menuju masa depan yang prospektif. Tasawuf adalah materi
utama Aa’ Gym, sehingga ia berhasil keluar dari formalitas
dan regiditas fiqh dan permisifisme dan liberalisme budaya
dunia modern. Contoh paling jelas adalah ketika film “Buruan
Cium Gue” ditayangkan di televisi, dengan keras Aa’ Gym
mendesak pemerintah menutup film itu. Dalam sebuah diskusi
di sebuah setasion televisi, di antara banyak pembicara, Aa’
Gym memberikan alasan yang rasional dan akseptabel, yaitu
hancurnya moral remaja bangsa ini pasca penayangan film itu.
Aa’ Gym tidak menggunakan bendera demokrasi, kebebasan,
dan skularisme yang kadang menghancurkan pondasi moral
bangsa. Strategi jitu Aa’ gym ini membawanya ke se-antero
Indonesia dan luar negeri.
3. Fiqh sosial ala KH. Sahal Mahfudz Kajen Pati. Kyai Sahal
menjadikan fiqh bukan sebagai alat pembasmi budaya lokal,
kyai Sahal tidak banyak menyentuh masalah sensitif, beliau lebih
memprioritaskan pengentasan kemiskinan, pemberdayaan
pendidikan, dan pelayanan kesehatan dengan kaca mata fiqh.
Fiqh yang selama ini identik dengan hukum halal-haram,
dirubah kyai Sahal sebagai alat mentransformasi sosial-
ekonomi masyarakat. Karena itulah, fiqh ala kyai Sahal disebut
dengan fiqh sosial, fiqh yang berorientasi pada penyelesaian
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 129
6. Nasyid. Lagu ala Melayu ini sangat digemari anak-anak muda,
karena dikemas secara modern dan kontekstual. Pesan-pesan
keagamaan dan moral ia selipkan dalam bait-bait lagunya,
sehingga dengan enak orang mendengarkan dan meresapi
kandungan maknanya.
7. Rebana Modern. Rebana model ini dilengkapi alat modern
seperti orjen. Walaupun menurut para ulama fiqh, alat ini
digolongkan haram, namun, sebagai bentuk dakwah, ia
meruapakan terobosan yang positif-konstruktif. Justru, sering
terjadi kyai juru dakwah yang tidak menggunakan rebana ini,
tapi melarangnya dengan keras, didemo para penggemarnya.
Ini menunjukan ketidak dewasaan psikologis sang kyai dalam
melihat pluralitas budaya masyarakat. Rebana modern adalah
bentuk kompromi antar budaya tradisional dan perkembangan
musik dan masyarakat yang menuntut inovasi dan kreasi yang
tidak ketinggalan zaman. Disatu sisi membawa pesan moral,
disisi lain menghibur.
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 131
teringat sejarah lama, bahwa Negara-negara eropa dahulu banyak
yang sudah Islam, tapi karena Islamnya dibawa oleh kekuatan
militer dan kekuasaan politik, pada saat kekuatan militer dan
kekuasaan politik runtuh, Islam juga runtuh.
Contoh kreasi tradisi kontemporer diatas adalah teladan
dan tantangan bagi kader muda Islam untuk aktif-kreatif-produktif
menciptakan atau meneruskan langkah-langkah yang sudah dirintis
para pendahulu tersebut.
Wali Songo mampu menciptakan kreasi yang luar biasa,
diteruskan generasi sesudahnya, lalu apa yang sudah kita
sumbangkan untuk penyebaran dan internalisasi nilai Islam di
era modern sekarang ini? Atau kita hanya bisa membanggakan
generasi masa lampau, tanpa mau menciptakan tradisi baru yang
spektakuler dan eksponsional yang bisa kita jadikan ‘peninggalan
berharga’ untuk generasi yang akan datang?
Ingat firman Allah, Tilka ummatun qad kholat, laha ma
kasabat wa lakum ma kasabtum, wala tusaluna amma kanu
yamalun, itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang
diusahakannya, dan bagimu apa kamu usahakan, dan kamu tidak
akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka
kerjakan. (al-Baqarah 1: 141) [21]
Semoga kita senantiasa mampu melestarikan tradisi lama
yang positif dan mampu membuat tradisi baru yang lebih inovatif-
progresif, sesuai kaedah Al-muhafadzatu bi al-jadidi al-ashlah,
amin.
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 133
134 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012
KAJIAN KRITIS TERHADAP AJARAN DAN GERAKAN
AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Kemunculan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah di paruh
akhir 2007 ini dapat dikatakan sebagai aliran keagamaan yang
fenomenal. Kemunculannya yang tiba-tiba melalui media massa,
langsung mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan di
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 135
masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini karena kelompok al-
Qiyadah al-Islamiyah meresahkan masyarakat dengan ajaran-
ajarannya yang dipandang sesat dan dapat menyesatkan umat
Islam dari kebenaran ajaran agama Islam. Diantara ajaran yang
dinilai sesat tersebut adalah pandangan bahwa masih ada Nabi
Rasul setelah Nabi Muhammad saw., padahal Nabi Muhammad saw.
bagi umat Islam dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir
(khatam al-anbiya). Nabi dan Rasul yang dimaksud oleh al-Qiyadah
al-Islamiyah ini adalah al-Masih al-Maw’ud atau Imam Agung
yang ditunggu-tunggu, yaitu pimpinan aliran ini sendiri, Ahmad
Mushaddeq, yang memploklamirkan diri sejak tanggal 23 juli 2006
di Gunung Bunder Bogor.
Oleh karena keyakinan al-Qiyadah al-Islamiyah tentang
keRasulan semacam ini maka, merekapun memiliki syahadat
dengan versi yang berbeda dengan lafal yang lazim diucapkan
umat Islam. Syahadat yang lazim yaitu asyhadu alla ilaaha illallah
waasyhadu anna muhammadar Rasulullah. Sedangkan syahadat
mereka, asyhadualla ilaaha illallah waasyhadu anna Al-Masih
Al-Maw’ud Rasulullah. Selain itu pengikut jamaah al-Qiyadah al-
Islamiyah ini juga meyakini bahwa ibadah-ibadah dalam agama
Islam belum wajib untuk dilakukan, yakni salat, puasa, zakat dan
haji karena dalam pandangan mereka ibadah-ibadah itu akan
dilakukan bila agama Islam telah tegak dimuka bumi, sementara
sekarang ini dianggap belum.
Fenomena al-Qiyadah al-Islamiyah tidak hanya ajarannya
saja yang di nilai menyesatkan, tetapi juga sangat mengejutkan
ketika al-Qiyadah al-Islamiyah ini mengklaim bahwa jumlah
pengikut mereka telah berjumlah 41.000 orang se Indonesia
sehingga sangat menarik untuk mengetahui tentang ajaran al-
Qiyadah al-Islamiyah. Meskipun pada akhirnya ajaran dan aliran
al-Qiyadah al-Islamiyah ini dilarang oleh kejaksaan, bahkan Ahmad
Mushaddeq juga telah dihukum 4 tahun dengan tuduhan penodaan
agama, kajian mengenai ajaran dan gerakan al-Qiyadah al-Islamiyah
ini tetap menarik mengingat keberhasilannya mempengaruhi
banyak kalangan umat Islam untuk bergabung.
Kajian ini didasarkan pada wawancara dengan tokoh-
tokoh al-Qiyadah al-Islamiyah di Yogayakarta serta kajian terhadap
dokumen-dokumen modul pembelajaran mereka. Diantara
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 137
mana sementara agama juga tetap eksis dianut oleh pemeluknya.
Maka menurut pandangan al-Qiyadah, para Nabi dan Rasul yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak untuk menyebarkan
agama tetapi mengajarkan al-Dien. Dien adalah jalan hidup dari
Allah yang mana sistem tersebut hanya menjadikan Allah satu-
satunya Rabb (Pengatur), Malik (Penguasa), dan Ilah/Ma’bud (Yang
ditaati). Oleh karena itu terdapat tiga dimensi dalam Dien Islam,
yaitu aturan, kekuasaan dan ketaatan. Dalam Dien Islam menuntut
4 hal untuk mewujudkan pengabdian kepada Allah, yaitu:
a. Kesatuan umat yang diikuti oleh kesatuan akidah dan visi
hidup.
b. Tegaknya sultan yaitu kekuasaan politik yang kokoh (ulil
amri);
c. Sempurnanya hukum yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia;
d. Basis teritorial yang mewujudkan cita-cita Islam sebagai
khalifah fil ardi.
Dengan demikian Dien Islam intinya pada syari’at atau
hukum yang baru dapat dikatakan sempurna jika didukung oleh
sarana hukum, aparat hukum dan legitimasi umat Islam. Umat Islam
yang dimaksud adalah umat manusia yang telah bersedia untuk
masuk kedalam Dien Islam secara Kaffah, yakni komunitas umat
yang mengikat diri dengan tauhid kepada Allah dan mewujudkan
pengabdian kehidupan ini hanya kepada Allah sebagai Rabb, Malik
dan Ilah. Komunitas atau umat diluar kategori ini berarti umat
Thaghut atau umat musyrik dan kafir.
2. Sunatullah dan 6 Fase Perjuangan
Ketetapan Allah dalam alam semesta dan kehidupan
manusia yang tidak pernah berubah, inilah yang dimaknai sebagai
sunatullah oleh al-Qiyadah. Pada alam semesta tergambarkan
dalam rotasi pergantian siang dan malam, dan siklus hidup dari
lahir hingga mati. Di alam insan atau peradaban manusia, terlihat
dari kejayaan dan keruntuhan suatu bangsa, termasuk didalamnya
adalah tegaknya Dien Islam laksana siang dengan cahaya Allah dan
kemudian runtuh digantikan oleh Dien Thaghut seperti zulumat atau
kegelapan. Keadaan ini akan bergulir berganti-gantian, demikian
sudah menjadi ketetapan Allah, karena sebelum menciptakan alam
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 139
marhalah (tahapan) menegakkan Dien Islam harus dilakukan sesuai
koridor sunatullah tersebut, yaitu 6 fase perjuangan: sirran, jahran,
hijrah, qital, fathul makkah dan madinah munawaroh, sebagaimana
yang dilakukan pula oleh Nabi Muhammad dalam menegakkan
Dien Islam.
3. KeNabian dan Al-Masih Al-Maw’ud
Berdirinya Dien Islam tidak bisa lepas dari peran para Rasul
yang ditunjuk oleh Allah. Al-Qiyadah meyakini semua Nabi yang
diyakini oleh umat Islam, bahkan seringkali mengutip perjuangan
Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Isa dan sebagainya.
Dengan kesatuan misi keRasulan yaitu menegakan Dien Islam, semua
Nabi-nabi tersebut diyakini semuanya adalah mukmin. Tidak ada
istilah Yahudi, dan Nasrani, karena Allah tidak menurunkan Agama
Yahudi dan Nasrani, yang ada adalah ajaran millata Ibrahim hanifa.
Nabi-nabi itu menyeru kepada umat manusia untuk mentauhidkan
Allah, yakni utama mengajarkan dan mengenalkan Allah sebagai
Rabbul alamin, pengatur, penguasa dan yang harus ditaati oleh
semua manusia.
Pengertian Nabi berasal dari kata naba’a artinya berita,
Nabiyyun artinya penyampai berita yakni berita dari Allah. Kata
Rasul berasal dari rasala atau arsala yang artinya mengutus, kata
Rasulan yang berarti utusan dan kata mursil yang artinya pihak yang
mengutus. Dengan pemaknaan bahasa ini, al-Qiyadah menunjukkan
bahwa dalam al-Quran banyak kalimat yang menunjukan bahwa
Rasul itu bisa siapa saja, seperti dalam QS. al-Qamar: 27, onta
betina; QS. al-Maidah: 31; burung gagak; QS. al-A’raf: 57, angin; QS.
al-Mulk: 17, badai; bahkan QS. Maryam: 83, syaitan yang dikirim
untuk menghasut orang-orang berbuat maksiat.
Dengan dasar itu, menurut al-Qiyadah siapa saja dapat
menjadi Nabi. Istilah Nabiyullah adalah kata majemuk atau idafah
yang artinya siapa saja diutus membawa berita oleh Allah. Sedang
istilah Rasulullah adalah nama bagi seorang yang telah behasil
membawa Dien al-Haq menjadi tegak berkuasa diatas Dien-dien
yang lainnya yang ada di dunia. Nabi Muhammad sendiri sebelumnya
adalah manusia biasa, ana basyara mitslukum, “sesungguhnya aku
ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diberi wahyu.”1
1
QS. Al-Kahfi (18): 110.
2
QS. Al-Ahzab (33): 40)
3
Al-Kitab Yohanes (14): 10-17.
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 141
Al-Quran mereka menggunakan pedoman dari tafsir wa ta’wil al-
Quran yang disusun oleh al-Qiyadah, dengan menekankan metode
tafsir ayat dengan ayat (menurut Buddie Thamtomo alias Ahmad
Mushaddeq Tsany, ketua al-Qiyadah di Yogyakarta, bahwa yang
paling tepat menafsirkan ayat al-Quran adalah dengan ayat al-Quran
Karena yang mampu memberi makna atau tafsir yang paling tepat
hanya Allah, yaitu melalui firmannya Al-Quran tanpa menggunakan
keterangan dari riwayat dan hadis Nabi Muhammad). Oleh karena
itu pula maka al-Qiyadah tidak mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj
sebagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad, karena
peristiwa yang disebutkan dalam QS. al-Isra’: 1 tersebut langsung
berhubungan dengan ayat-ayat selanjutnya yang berisi riwayat
Nabi Musa. Jadi menurut al-Qiyadah, Isra’ Mi’raj ini merupakan
simbol dari kejayaan Bani Israil dalam menegakan Dien pada masa
Nabi Musa sehingga diangkat oleh Allah menjadi pemimpin dunia.
Hadis Nabi yang sekarang ini ada diragukan kebenarannya, karena
baru disusun beberapa abad setelah Nabi Muhammad wafat Ahmad
Mushaddeq mengatakan, “Hadis yang ada sekarang disusun 350
tahun setelah Nabi wafat. Dari 500 ribu hadis terkumpul 500 hadis,
sehingga Bukhari harus diperiksa. Buat apa menghabiskan waktu
untuk sesuatu yang tidak pasti padahal dalam al-Quran semuanya
sudah ada.”4
Kajian terhadap al-Quran terutama melakukan tafsir ta’wil,
yaitu mempelajari makna ruh dalam ayat-ayat al-Quran. Bagi al-
Qiyadah, kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ahli tafsir selama
ini sudah tidak lagi aktual, karena belum mampu membangkitkan
minat manusia untuk menjadikan al-Quran ini suatu kitab yang
“Hidup” yang dipandang sebagai wahyu “instruksi” Allah yang
aktual pada hari ini kepada orang-orang yang membacanya.
Al-Quran maknanya adalah al-Kitab, yaitu suatu kumpulan
firman Allah yang dikodifikasikan menjadi Mushaf atau buku.
Sedangkan didalam bacaan ada yang menjadi esensi, yaitu wahyu.
Karena itu hakikat wahyu berbeda dengan al-Quran. Wahyu yang
diberikan kepada manusia melalui para Rasul itu bisa dicabut atau
dilenyapkan kembali oleh Allah. Keberadaan ruh Allah atau wahyu
inilah yang membedakan Rasul dengan manusia biasa. Menurut
4
Majalah Tempo, 11 November 2007.
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 143
illaha illallah wa asyhadu anna al-masih al-maw’ud Rasulullah, saya
bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa
al-masih al-maw’ud adalah Rasul utusan Allah.
Al-Qiyadah merubah syahadat Rasul juga berdasarkan
pada paradigma yang diyakininya, bahwa masa kerasulan Nabi
Muhammad telah selesai dengan jatuhnya Dien Islam, yakni
diberlakukannya sistem dan hukum Islam akibat jatuhnya
peradaban Islam di Baghdad oleh pasukan Mongol.5 Maka dengan
runtuhnya Dien Islam tersebut, maka masuklah umat manusia ini
ke era zulumat (kegelapan) dan dalam rentang waktu tertentu yang
diyakini sebagai sunatullah, maka akan kembali lagi zaman cahaya
dimana Dien Islam akan kembali tegak berdiri, dan tentunya itu
diperlukan Nabi yang baru, yaitu Ahmad Mushaddeq, yang selam
ini telah menjadi al-Masih al-Maw’ud.
Berdasarkan keyakinan tersebut, maka perubahan syahadat
menjadi konsekuensi yang dipandang logis. Untuk menguatkan
syahadat versi al-Qiyadah ini, diberikan alasan lain, yaitu orang yang
bersaksi harus berada di TKP (tempat kejadian perkara) artinya
bahwa seseorang yang bersaksi benar-benar menyaksikan karena
berada dalam masa yang sama. Oleh karena itu dianggap tidak sah
bersaksi terhadap kerasulan Muhammad sedang Nabi Muhammad
berada di era yang sangat jauh di belakang, dan yang paling tepat
adalah bersaksi terhadap Rasul yang hari ini hadir dan masih hidup
yaitu al-Masih al-Maw’ud.
2. Pengertian Salat
Sebagaimana diterangkan di depan, bahwa al-Qiyadah
belum mewajibkan pelaksanaan salat lima waktu dan ibadah ritual
lainnya karena berpandangan pada masa ini sama dengan fase
makkiyah pada masa Nabi Muhammad di mana masa itu belum
turun perintah menjalankan kewajiban-kewajiban ritual tersebut.
Namun tidak hanya berdasarkan hal itu saja al-Qiyadah tidak
memberi perhatian pada pelaksanaan ritual salat, tetapi al-Qiyadah
memiliki pandangan yang tersendiri tentang makna salat yang
masih terkait dengan konsep besarnya tentang Dien Islam.
Berangkat dari sebuah hadis sahih yang artinya “salat itu
tiang Dien, barang siapa menegakkan salat maka dia menegakkan
6
QS. Al-Hajj (22): 18.
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 145
a. Qiyamul Lail
Ibadah salat yang wajib menurut al-Qiyadah hanya
salat di waktu malam hari saja. Salat malam atau Qiyamul
lail telah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
pada awal kenabian beliau, yaitu pada surat kedua yang
turun, surat al-Muzammil (73) yaitu ayat 1-6. Karena itu
salat malam menjadi kewajiban bagi pengikut al-Qiyadah.
b. Hafiz Quran
Dengan program ini, maka al-Quran tidak hanya
dikaji, tetapi sekaligus juga dihafalkan. Bagian al-Quran
yang paling utama untuk dihafalkan adalah surat dalam juz
29, serta ayat-ayat lainnya yang secara praktis berhubungan
dengan doktrin ajaran al-Qiyadah (para rain atau mukmin
mubalig yaitu pengikut al-Qiyadah yang telah memenuhi
syarat untuk menyampaikan ajaran-ajaran al-Qiyadah pada
umumnya mampu hafal dalil-dalil al-Quran yang sesuai
dengan materi yang disampaikan pada umat atau orang
yang tertarik pada al-Qiyadah) melalui tafsir wa ta’wil al-
Quran yang disusun oleh Ahmad Mushaddeq (al-Masih al-
Maw’ud).
c. Talwiyah
Makna talwiyah adalah menyampaikan, yang
dimaksud adalah aktivitas untuk menyampaikan ajaran
al-Quran ini kepada orang lain agar tertarik untuk masuk
menjadi pengikut al-Qiyadah. Aktivitas Talwiyah ini hanya
diperuntukkan bagi pengikut al-Qiyadah yang sudah
mencapai taraf pengaderan tertentu yaitu rain atau mu’min
muballig. Bagi para pemula atau anggota baru belum boleh
menyampaikan ajaran al-Qiyadah kepada orang lain (hal ini
dengan maksud untuk melindungi pengikut pemula yang
belum kokoh keyakinan dan pengetahuannya tentang ajaran
al-Qiyadah kalau dibantah atau didebat yang menyebabkan
keraguan terhadap al-Qiyadah).
d. Ta’liman
Kegiatan ta’liman atau keilmuan adalah kegiatan
pengaderan yang sifatnya rutin dan gradual yang dilakukan
oleh dan untuk semua anggota al-Qiyadah. Termasuk
pemula, setelah melalui tahapan misaq akan mendapatkan
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 147
yaitu ummah muslim dan ummah kafir atau musyrik. Ummah muslim
adalah mereka yang bersedia untuk menerima ajaran dari sang
rasul, mengikuti perintah Allah melalui rasul-Nya, tidak musyrik,
berhujjah dengan al-Quran dan mengikuti fitrah bersatu yang karena
itu mereka akan mendapatkan pahala dan surga. Sedangkan ummah
musyrik dan kafir disebut dengan zalamah ba’ida (kesesatan yang
nyata), yakni mereka yang melampaui batas, bergolong-golong
atau bercerai berai, mengambil hukum selain hukum Allah. Bagi
al-Qiyadah, kelompok ini akan mendapatkan kemurkaan Allah dan
kelak akan masuk neraka.
Antara ummah muslim dan ummah musyrik terdapat garis
pembeda atau furqan. Dalam praktiknya yang dimaksud ummah
yang masih musyrik adalah mereka yang tidak bersedia untuk masuk
ke dalam al-Qiyadah. Pada saat seseorang menyatakan bersedia
bergabung dengan al-Qiyadah maka saat itu dianggap berhijrah
kepada Islam dan menjadi muslim. Kesediaan ini diwujudkan
dalam bentuk inisiasi atau baiat yang berisi pengucapan perjanjian
dengan Allah atau misaq. Dengan demikian pembeda dan garis
pemisah antara dua ummah tersebut adalah pengambilan janji atau
misaq ini.
Namun demikian, pengikut al-Qiyadah dalam menjalin
hubungan dengan lingkungannya atau relasi sosialnya cukup baik.
Para pengikut al-Qiyadah dituntut untuk tampil dengan baik, necis,
modis dan trendi. Perilaku inklsuif secara sosial, penampilan yang
rapi, keren, modis dan tidak menunjukkan sebagai aktivis agama
dengan dandanan yang menyimbolkan agama seperti baju koko,
jilbab, panggilan ustadz atau kiai. Bahkan dalam penyampaian
materi juga tidak mengucapkan salam, tapi cukup basmalah agar
mudah diterima oleh masyarakat, khusunya kalangan muda. Dalam
relasi sosial ini mereka membangun kelompok yang berpenampilan
inklusif dimana memungkinkan mereka bebas bergerak
mendekati orang yang hendak direkrut menjadi pengikutnya.
Dalam penampilan sehari-hari al-Qiyadah tidak menampakkan
sikap yang eksklusif atau berbeda dengan orang lain, mereka
berpenampilan biasa. Hanya mereka memiliki tradisi bersalaman
yang khas, yaitu setelah berjabat tangan dengan cara yang biasa,
lalu segera dilakukan dengan berjabat dengan agak keras. Jabatan
tangan semacam ini biasa dilakukan oleh olah ragawan atau militer.
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 149
Al-Qiyadah tidak mendasarkan bentuk keorganisasiannya
berdasarkan teritorial, melainkan berbasis pada ummat. Hal ini
mirip dengan sistem di gereja yang jamaah gereja tidak didasarkan
pada wilayah teritorial tertentu, tetapi pada institusionalisasi
hubungan pendeta/pastur dengan jamaat. Struktur al-Qiyadah
juga berdasarkan juga penguasaan Roin kepada Ummat, sehingga
seorang Roin bisa saja mengembalakan ummat diluar wilayah
teritorinya. Secara teknis struktur keorganisasiannya meliputi:
Misbah, merupakan level paling bawah dan ujung tombak
pengembangan al-Qiyadah untuk melakukan talwiyah yaitu
perekrutan masa pengikut. Buruj, level yang mengkoordinir misbah-
misbah, sekaligus menyelenggarakan taklim (kajian keilmuan) bagi
ummat di level ini. Siraj, level di atas buruj, dan Tariq, merupakan
struktur tertinggi yang berada di Jakarta dan berlevel nasional yang
pimpinannya adalah Ahmad Mushaddeq yang mengaku sebagai al-
Masih al-Maw’ud yang ditunjuk oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul.
Masing-masing level struktur tersebut, terdapat
kepengurusan yang terdiri dari Mala Awwal atau pimpinan
tertinggi/ketua. Mala Tsany atau wakil ketua, wazir atau sekertaris,
seksi-seksi bidang yang disebut qismul. Qismul dalam satu struktur
organisasi paling sederhana meliputi qismul maliyah (bidang
keuangan), qismul tarbiyah (bidang pendidikan), qismul mu’azah
(bidang umum), qismul khiswah (bidang perlengkapan) dan qismul
difa’ (bidang keamanan). Dalam struktur yang lebih lengkap lagi
ditambah dengan qismul ummah (bidang sumber daya manusia)
dan pengurus perwakilan daerah atau jazirah.
Jumlah pengikut al-Qiyadah menurut versi mereka adalah
41.000 orang se Indonesia dengan rincian di Padang, Sumatera
Barat 1306 orang, Lampung 1467 orang, Batam 2.320 orang, DKI
Jakarta 8.972 orang, Tegal Jawa Tengah 511 orang, Cilacap Jawa
Tengah 1.446 orang, Yogyakarta 5.114 orang, Makasar Sulawesi
Selatan 4.101 orang, dan Surabaya 2.710 prang. Dari jumlah tersebut
60% pengikut al-Qiyadah adalah Mahasiswa (Suara Merdeka 31
Oktober 2007). Posisi Yogyakarta menduduki jumlah pengikut
terbanyak kedua setelah Jakarta, yaitu 5114 orang (Data dari media
nampaknya bersumber dari kepolisian, sedangkan menurut Budie
Thamtomo 23 November 2007), yang 90% di antaranya adalah
Mahasiswa dan pelajar. Jumlah perempuan yang ikut Al-Qiyadah di
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 151
kepada ajaran tauhid, mengesakan Allah dalam pengertian ketaatan
mutlak pada-Nya. Proses dari awal melakukan pendekatan hingga
pemberian materi ini disebut talwiyah, yaitu berdakwah pada
orang lain untuk masuk ke dalam kelompoknya. Biasanya sang
calon akan ditanya persetujuannya dengan materi ini, jika setuju
maka akan diminta untuk melakukan misaq atau perjanjian awal
yang isinya tentang moral dan tidak ada yang kontroversial dengan
pandangan umat Islam. Sebagaimana materi musyrik tersebut juga
tidak menimbulkan perdebatan karena isinya hal yang sudah umum
dipahami. Pembacaan misaq ini menjadi tanda masuknya calon
anggota menjadi anggota atau umat al-Qiyadah. Pasca misaq ini
umat pemula akan memasuki masa ‘uzlah atau hijrah pola pikir dan
aqisah atau tazkiyyah yakni pembersihan kalbu dari segala budaya
musyrik melalui pendalaman terhadap sembilan materi, musyrik,
dienul Islam, furqan, penciptaan manusia, sittati ayyam, sunnatullah,
fase dakwah, iman dan ibadah, kegiatan ini disebut dengan ta’lim
atau pengilmuan. Istilah ta’lim ini untuk membedakan dengan
talwiyah. Talwiyah diperuntukkan bagi calon ummat, kalau ta’lim
untuk penyampaian materi atau kajian bagi anggota al-Qiyadah.
Setelah sembilan materi ini disampaikan dengan tuntas,
maka tahap berikutnya umat akan dikirim dalam suatu kegiatan
selama dua hari yaitu, kegiatan Tarqiyatul Khas bil khas (TKBK).
Dalam kegiatan ini, ummat akan di tes dan diajak sharring tentang
sembilan materi yang disampaikan sehingga materi tersebut
semakin dipahami dan dihayati. Selain itu, di dalam TKBK ini
keanggotaan ummat akan diteguhkan lagi dengan melakukan misaq
kedua yang intinya perjanjian untuk ketaatan terhadap kelompok,
menjalankan amanah dan tanggung jawab sebagai anggota al-
Qiyadah. Dalam misaq kedua ini syahadatnya sudah berbeda
dengan syahadat yang umum, yaitu ashadu alla ilaha illallah wa
ashadu anna al-masih al-maw’ud Rasulullah. Dengan misaq kedua
ini yang disebut misaq amanah, umat benar-benar menjadi anggota
al-Qiyadah, dan mendapat kewajiban untuk melakukan talwiyah
sebagai ra’in atau mu’min muballig (sebelum memasuki TKBK,
yakni dalam masa ‘uzlah, para umat pemula tidak diperbolehkan
untuk menyampaikan kegiatan atau meteri al-Qiyadah kepada
orang lain, karena ditakutkan kalau ada perdebatan akan kalah
dapat menurunkan mental dan kepercayaan kepada al-Qiyadah).
E. Analisis Kritis
Pemikiran al-Qiyadah berfokus pada serangkain konsep-
konsep antara lain: Dien Islam, Sunatullah, KeNabian al-Masih
al-Maw’ud dan Wahyu. Keempat konsep ini terjalin dalam suatu
kerangka pikir yang melahirkan bangunan pemikiran, doktrin
dan konsekuensi religius maupun sosial bagi penganutnya. Secara
umum, kerangka pikir al-Qiyadah ini menggunakan pendekatan
politik (sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan atau
upaya pencapainnya secara praktis), sehingga setiap kerangka
mengandung muatan politik tertentu.
Dengan konsep ajaran al-Qiyadah, kehidupan di dunia
ini, termasuk peristiwa alam semesta dan sejarah umat manusia,
terikat dalam suatu pola tertentu, tetap dan berlaku sebagai
blueprint Allah dalam menjalankan roda kehidupan semesta ini
termasuk kehidupan manusia yang disebut dengan sunatullah.
Penjelasan tentang sunatullah ini “diseret” oleh al-Qiyadah dengan
pola kesejarahan politik Nabi-Nabi, yang hasilnya adalah bahwa ada
suatu pola tertentu dan baku dalam perjalanan Nabi-Nabi tersebut
hingga Nabi Muhammad. Pada sunatullah dari kesejarahan Nabi-
Nabi itu mencakup tegak dan runtuhnya Dien Allah atau Dien Islam,
sebagaimana sunatullah terjadi pergantian siang dan malam.
Untuk membawa Dien Islam kembali tegak, maka
dibutuhkan seorang Nabi atau Rasul yang ditunjuk oleh Allah
untuk memimpin umat Islam mencapai Darussalam. Oleh Karena
sunatullah memiliki pola yang tetap dan kontinyu, maka setelah
Nabi Muhammad berhasil menegakkan Dien Islam, kemudian
mengalami keruntuhan, maka akan tiba saatnya Dien Islam itu akan
bangkit kembali dan dipimpin oleh seorang Rasul yang dipilih Allah.
Dengan demikian adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad
adalah suatu keniscayaan dan sunatullah. Dan Rasul yang ditunjuk
oleh Allah adalah al-Masih al-Maw’ud, untuk membebaskan umat
manusia dari kekuasaan Thaghut untuk kembali dalam Dien Allah
atau Dien Islam.
Dien Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari aturan
Allah, maka al-Masih al-Maw’ud untuk menegakkan Dien Islam
akan mengemban wahyu dari Allah yaitu Al-Quran. Umat Islam
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 153
dan Dien Islam dapat hidup karena mendapatkan Ruh dari Allah,
ruh ini adalah Al-Quran itu sendiri. Ketika Dien Islam itu runtuh,
pada saat itu ruh Al-Quran dicabut kembali oleh Allah, sehingga al-
Quran yang ada sekarang ini hanyalah kitab kosong yang tidak ada
ruhnya. Dengan datangnya masa kebangkitan Islam, maka Allah
menurunkan kembali ruh-Nya yaitu ruh al-Quran kepada al-Masih
al-Maw’ud. Ruh al-Quran itulah ruh yang suci atau Ruhul Qudus
(ruh al-Quds) atau Malaikat Jibril. Maka sesungguhnya Malaikat
Jibril adalah ruh al-Quran itu sendiri.
Al-Masih al-Maw’ud dalam menegakkan Dien Islam
membutuhkan komitmen dari umatnya dalam bentuk kesaksian
berupa syahadat dan pernyataan kesaksian (misaq) kepada Allah
untuk menjalankan amanah yang ditetapkan olehnya. Tanda
komitmen dan kesetiaan ini harus diwujudkan dalam bentuk enam
ibadah, yang sesungguhnya adalah upaya memberi dukungan
terhadap upaya menegakkan Dien Islam. Fase-fase dakwah yang
dilakukan menyesuaikan dengan tahapan dakwah yang dilakukan
Nabi Muhammad yang dipandang sesuai dengan sunatullah yang
dimaksud (sittati ayyam). Enam fase dakwah tersebut adalah fase
sirran, fase jahran, fase hijrah, fase qital, fase fathu makkah, dan fase
madinah munawarah. Dengan berbagai hal ini maka Dien Islam
diyakini akan dapat tegak berdiri. Dari kerangka yang demikian ini,
muncul konsekuensi-konsekuensi ajaran yang dalam pandangan
umat Islam pada umumnya dianggap menyimpang.
1. Tafsir Politis Al-Qiyadah: Kelemahan Metodologi
Penafsiran yang dilakukan al-Qiyadah ini lebih cenderung
pada tafsir politik, yakni penafsiran terhadap teks-teks al-Quran
dengan maksud-maksud menguatkan argumentasi politik tertentu.
al-Qiyadah menafsirkan al-Qura’an untuk kepentingan argumentsi
pandangan politik mereka yaitu tegaknya Dien Islam sebagai
kekuasaan politik Islam.
Penafsiran al-Qiyadah terhadap ayat-ayat al-Quran yang
disebutnya tafsir wa ta’wil, sebenarnya bukan hal yang baru dalam
metode penafsiran al-Quran yang selama ini sudah dilakukan oleh
mufassir. Berbagai aspek penafsiran dengan metode-metode tafsir
yang ada tersebut juga sudah pernah dilakukan, termasuk ta’wil.
Dengan demikian anggapan al-Qiyadah bahwa ilmu-ilmu tafsir yang
9
Nasrudin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001). h. 267
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 155
cukup kuat, karena kurangnya bukti-bukti sejarah tersebut.
Konsep Dien Islam yang hendak dicapai oleh al-Qiyadah juga
merupakan suatu konsep yang utopis karena tidak mendasarkan
konsep ini pada aspek kesejarahan dan sosiologis. al-Qiyadah
menggambarkan bahwa Dien Islam akan tegak dengan jalan
berdirinya suatu kekhalifahan atau daulah atau Negara bangsa
yang menganut aturan Islam, kekuasaan Islam dan ketaatan
umat Islam. Ditinjau dari sejarah, perjalanan politik Islam sampai
sekarang ini belun ada kesepakatan para ulama dan cendekian
muslim sehubungan dengan politik Islam pada level praktis. Bentuk
kekuasaan politik Islam, bentuk Negara dan sistem pemerintahan
yang selama ini berjalan tidak memiliki suatu bentuk baku.
Pemikiran atas umat yang unggul, juga sangat utopis
belaka karena pluralis manusia juga sebenarnya suatu sunatullah.
Penyeragaman umat Islam, suatu hal yang tidak dapat dipikirkan
dan diterima. Menjadi persoalan besar untuk menyatukan manusia
dalam suatu tatanan kehidupan yang serba tunggal dan seragam.
Persoalan lebih lanjut, adalah bagaimana orang-orang itu akan dapat
bersedia, karena dalam wilayah yang sangat luas dan masyarakat
yang besar, mengakomodir kepentingan bersama bukanlah suatu
hal yang ringan.
Ketidakpercayaan al-Qiyadah terhadap otentisitas hadis
juga bisa dijawab melalui keilmuan hadis yang sangat ketat dalam
penyelidikan kesahihan suatu hadis.10 Pengakuan al-Qiyadah
menolak hadis-hadis Nabi Muhammad saw. juga kontradiksi
dengan anjuran untuk meneladani Nabi Muhammad, sebagaimana
dilakukannya dalam menyusun enam fase perjuangan. Ajaran-ajaran
Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, tidak
tentang peribadahan terlebih lagi dengan kemasyarakatan selalu
berhubungan konteks sosial masyarakat Arab pada waktu itu, maka
menafikkan hadis dan sunah, mencabut Islam dari konteksnya.
Pemikiran yang tidak berlandaskan pada sumber-sumber
kesejarahan pasti akan a-historis dan tidak dapat membumi.
Fase-fase dakwah tersebut kalau dicoba “dibayang-
terapkan” dalam konteks sekarang ini, fase sirran dan jahran
10
Ahmad Husnan, Kajian Hadits Metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1993), h. 35.
11
Martin Van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam
Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya” “Sectarian Movements in Indonesian
Islam: Social and Cultural Background”), Ulumul Qur’an, Vol. III No. 1, 1992, h.
16.
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 157
seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah maupun Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, sebagai lembaga bentukan
pemerintahan, MUI sangat mendominasi ortodoksi ini, sehingga
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam memberikan fatwa sesat
atau tidak sesat.12
Fatwa MUI No. 4 tanggal 3 Oktober 2007 menetapkan 10
kriteria ajaran yang termasuk kriteria sesat, yaitu:
1. Mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam
2. Mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i
yaitu al-Quran dan Sunnah
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran
4. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi ajaran al-
Quran
5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan
kaedah-kaedah tafsir
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber
ajaran Islam
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para
Nabi dan Rasul
8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan
Rasul terakhir
9. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-
pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’at seperti
haji tidak ke baitullah, misalnya salat fardu tidak lima
waktu.
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i
seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan
kelompoknya.
Terlepas dari persoalan “kesesatan” al-Qiyadah, kelompok
ini memiliki perhatian besar terhadap perkembangan sosial
yang terjadi di masyarakat. Kemunculan suatu gerakan sosial di
masyarakat tidak pernah lepas dari konteks masyarakat itu sendiri.
Hal ini mengungkapkan pertanyaan yang muncul tentang mengapa
di Yogyakarta muncul al-Qiyadah dan mengapa pula pengikutnya
kebanyakan adalah kelompok muda yaitu pelajar dan mahasiswa.
Melihat kota-kota besar sebagai basis pengikut al-Qiyadah,
12
Ibid.
13
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h. 205.
14
Martin Van Bruinessen, h. 160.
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 159
malah menampilkan sikap yang inklusif secara sosial. Pengikut-
pengikutnya tampil modis, trendy, rapi dan terbuka untuk menjalin
hubungan dengan orang kelompoknya. Hal ini pula yang menjadi
daya dukung cukup kuat bagi penyebaran al-Qiyadah di kalangan
generasi muda.
Kebutuhan al-Qiyadah terhadap aktualisasi sumber religius
ke dalam dunia obyektif, menuntut adanya otoritas tafsir atas sabda
Tuhan tersebut. Otoritas ini oleh al-Qiyadah diserahkan kepada al-
Masih al-Maw’ud, sang pembebas umat dari penjajahan umat “Dien
Thaghut” yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia merasa sebagai
sang messias atau al-mahdi yang akan membawa umat manusia
menuju zaman dan negeri kesempurnaan yang diistilahkan al-
Qiyadahdengan Dien Islam. Gerakan messianisme sebenarnya juga
bukan hal yang baru, tradisi masyarakat ditemukan kepercayaan
datangnya sang penolong yang memberi harapan eskatologis dan
kebahagiaan di masa yang akan datang. Di masyarakat Jawa dikenal
istilah Ratu Adil; di tradisi Yahudi-Nasrani ada istilah messias dan
millennium; ditradisi Islam dikenal istilah al-Mahdi, orang yang
ditunjuk oleh Allah untuk membebaskan manusia dari pengaruh
Dajjal dan akan menegakkan syari’at Islam.
Dari gambaran tersebut, Nampak al-Qiyadahjuga memiliki
visi millenialistik (millennium= 1000 tahun; konsep yang biasanya
pada tradisi Yahudi-Kristen, tetapi secara figurative dapat
diterapkan pada setiap konsep mengenai era yang sempurna di
mana datang)15, memunculkan sosok sebagai messias, sang ratu adil,
juru selamat atau imam mahdi, bahkan sebagai Rasul Allah. Ajaran
messianistik al-Qiyadahini menarik karena: pertama, terjadinya
deprivasi (perampasan hak), dalam konteks ini, situasi sosial
Sleman, dan kota-kota urban lainnya, terjadi tingkat kemiskinan
yang mencolok, berkurangnya akses lapangan kerja, penindasan
budaya dan sebagainya yang dimaknai sebagai penghalang bahkan
perampasan terhadap hak pribadi untuk menjadi sejahtera, bahagia
dan sebagainya. Kedua, pertentangan-pertentangan kronis di
antara pemimpin-pemimpin masyarakat, dan tokoh-tokoh agama,
mengakibatkan kritis figur.
15
Sylvia L.Thrumpp, (ed), Gerakan Kaum Mahdi, (Bandung: Pustaka,
1984), h. 84.
F. Penutup
Al-Qiyadah Al-Islamiyah beberapa waktu ini menyita
perhatian masyarakat karena beberapa ajarannya dipandang sesat
oleh kalangan umat Islam. Beberapa hal dari pandangan Al-Qiyadah
yang dipandang sesat diantaranya adalah Al-Qiyadah mengakui
adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad; Al-Qiyadah
mempercayai Ahmad Mushaddeq atau Al-Masih Al-Maw’ud sebagai
Rasul yang baru; Al-Qiyadah tidak mewajibkan pengikutnya untuk
melaksanakan ibadah sebagaimana yang ada dalam Rukun Islam;
al-Qiyadah tidak menganggap orang lain di luar kelompok sebagai
orang kafir atau musrik; dan Al-Qiyadah tidak menggunakan hadis
dan sunah sebagai sumber ajaran atau ingkar sunnah. Pandangan
Al-Qiyadah dianggap sesat tersebut tidak lepas dari kerangka yang
dibangun melalui penafsiran terhadap Al-Quran secara bebas dalam
perspektif politis yang difokuskan pada penegakan Dien Islam atau
kekuasaan “politik Islam” dengan prasyarat adanya Nabi baru yaitu
Al-Masih Al-Maw’ud. Karena itu dari sisi ajarannya ini, Al-Qiyadah
memiliki kecenderungan fundamentalis-revivalis-messiantik yang
dapat berpotensi menjadi aliran radikal.
Ajaran-ajaran Al-Qiyadah menarik bagi kelompok muda
yang tengah mencari identitas dan komunitas, didukung pula
oleh situasi masyarakat yang berada dalam kancah urbanisasi dan
modernisasi, dimana mobilitas penduduk yang cepat, hubungan
tradisional terpinggirkan, terjadinya polarisasi, marginalisasi
dan proses atomisme mengakibatkan gerakan yang memberikan
harapan kehidupan yang sempurna, harapan eskatologis menjadi
sangat menarik.
16
Ibid., h. 29
Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 161
DAFTAR PUSTAKA
Mubasyaroh
Dosen STAIN Kudus
Email: Muba_syira@yahoo.com
ABSTRAK
1
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995, hlm.94
A. Pendahuluan
Agama Islam adalah agama dakwah. Berhasil atau tidaknya
umat Islam dalam mencapai kualitas hidup baik kehidupan dunia
maupun akhirat adalah karena sejauh mana dakwah bisa mengajak
umat untuk berbuat kebaikan, memperkuat akidah, akhlak, dan
kualitas muamalah yang bisa memberi manfaat untuk sesama.
Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini masih banyak umat
Islam yang belum mampu memahami Islam itu dengan benar
sehingga berdampak pula pada kualitas kehidupan umat itu
sendiri. Masih banyak para juru dakwah yang terjebak pada bentuk
dakwah yang hanya sering menyalahkan, cenderung keras dan suka
memvonis atau mengecam. Padahal dakwah itu sendiri sebaiknya
disampaikan dengan bahasa yang baik, santun dan menyentuh
langsung pada masalah sehari-hari yang dihadapi umat.
Dari segi populasi pun, umat Islam itu setiap hari bertambah
jumlahnya. Jadi tak bisa dikatakan dakwah itu gagal. Cuma kita
cemas, ada sesuatu yang terabaikan dari prinsip asas dakwah itu.
Prinsip asas dakwah itu adalah fikih akhlak. Dari sejarah Islam
sendiri kalau kita coba pahami, fikih akhlak adalah sesuatu yang
utama dalam dakwah. Inilah yang ditanamkan Rasulullah dalam
dakwahnya yaitu iman dan akhlak. Ibadah adalah implementasi
dari iman dan akhlak itu.
Pada sisi lain banyak orang yang beribadah tapi akhlaknya
tidak baik yaitu shalat, tapi dia juga korupsi. Dia shalat, tapi
ucapannya tidak baik, suka menyinggung dan menyakiti orang
lain. Hal ini terjadi karena kita mengabaikan fikih akhlak. Yang
dilakukan Rasulullah dengan risalahnya (zaman kerasulan
Muhammad) adalah memperbaiki akhlak; “Aku diutus adalah
untuk memperbaiki akhlak.” Inilah yang menjadi pijakan bagi
Rasulullah untuk membentuk masyarakat yang kemudian disebut
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam
penelitian ini adalah model dakwah seperti apakah yang dilakukan
oleh da’i pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro
Kudus?
C. Metode Penelitian
1. Metode penelitian
Penelitian ini adalah field Research atau penelitian lapangan
yaitu jenis penelitian yang menggunakan data lapangan sebagai
sumber utama, sehingga penelitian ini akan menangkap gejala dari
obyek atau perilaku yang diamati . Adapun metode yang digunakan
adalah metode penelitian kualitataif yaitu metode peneltian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
instrumen kunci.2
Alasan pemilihan metode ini adalah:
1) Untuk memahami makna dibalik data yang nampak. Gejala
sosial sering tidak bisa dipahami berdasarkan apa yang
diucapkan dan dilakukan orang karena setiap ucapan dan
tindakan orang sering mempunyai makna tertentu.
2) Untuk memahami interaksi sosial. Interaksi sosial yang
kompleks hanya dapat diurai kalau peneliti melakukan
penelitian dengan metode kualitatif. Dengan demikian
akan dapat ditemukan pola-pola hubungan yang jelas.
3) Untuk memastikan kebenaran data, karena data sosial
sering sulit dipastikan kebenarannya. Dengan metode
2
Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang,
1990,hlm.57
3
Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting
Qualitative Research, Kendall/Hunt Publishing Company Dubuque, Iowa, 1988,
p.89.
4
Sugiyono, Op.cit., halm.322-324. Lihat juga Patton dalam.Qualitative
Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage Publication Inc 1980, hlm207-211.
Menurutnya ; sebelum peneliti melakukan wawancara harus mempersiapkan
paling tidak 6 jenis pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku,
pendapat atau nilai, perasaan, pengetahuan, indra dan latar belkang atau
demografi
F. Kerangka Teori
1. Konsepsi Dakwah Islam
Berda’wah berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain
yang bersifat mengajak untuk merubah suatu keadaan yang tidak
baik kepada yang baik dan terpuji. Da’wah Islamiyah memerlukan
teknik penerapan yang akurat sesuai dengan keadaan dan
perkembangan zaman, terutama di kalangan masyarakat pedesaan
yang dinamis dan berkembang. Change to progress merupakan
watak dari masyarakat yang menunjukkan sesuatu kepada
kemajuan. Terhadap masyarakat berkategori ini, metode berda’wah
merupakan salah satu alternatif yang harus diperhitungkan dan
dipersiapkan sebaik mungkin.
Dakwah dalam arti proses penyebaran ajaran Islam telah
dinyatakan sebagai disiplin ilmu memiliki onyek, ciri-ciri dan
5
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja
Rosdakarya Bandung, 2001, hlm. 194-195
G. Pengertian Da’wah
Da’wah menurut pengertian secara etimologis adalah ajakan,
seruan, panggilan dan undangan. Sedangkan menurut pengertian
terminologis secara umum, da’wah adalah : “Suatu pengetahuan yang
mengajarkan cara-cara atau metode untuk menarik perhatian umat
manusia, agar mengikuti suatu ideologi atau ajaran tertentu”. Istilah
lainnya menyebutkan, bahwa ilmu da’wah adalah pengetahuan
6
Terminologi dakwah yang dimaksud adalah suatu ilmu yang dapat
digunakan dalam berbagai upaya untuk menyampaikan pesan maupun ajaran
Islam kepada umat manusia dengan muatan akidah, syari’ah (ibadah) dan akhlak.
Lihat Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab al-
Misyri, 1987, hlm. 10
7
Yang dimaksud dengan sistem dakwah adalah hubungan antara faktor
dakwah yang terdiri dari subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah,
media dakwah, materi dakwah dan tujuan dakwah. Jaringan sistematik ini
bermuara pada tujuan dakwah. Lihat Bisri Affandi dalan “Metodologi Penelitian
Dakwah:Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Slo 1991,
hlm.9. Sebagaimana dikutip oleh Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah
Sebagai Metode Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006, hlm.
85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006
Rasulullah Bersabda :
“Siapa diantaramu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia
merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah
dengan lisannya, jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya,
dan itulah iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim).
8
Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis
Naharong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 31-69
9
Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, hlm. 406-407
16
Menurut Wolf, seperti dikutip Horikoshi, konsep mediator ini dapat
didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok yang menempati posisi
penghubung dan perantara antara masyarakat dan sistem nasional yang bercorak
perkotaan. Bergantung pada posisi strukturnya dalam jaringan masyarakat
yang kompleks, mediator ini dapat diperankan oleh pemimpin tradisional
yang membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang meghubungkan sistem
lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan serng bertindak sebagai
penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan,
menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan
bagi kegiatan-kegiatan mereka. Lihat Hiroko, Loc.Cit.hlm5
17
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002,hlm.142
18
Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,
hl.202-205
19
66 Dikutip dari papan monografi Balai Desa Hadipolo pada tanggal 25
Oktober 2008
20
Wawancara peneliti dengan Syafii, Hanafi dan K. Ahmad Yasin warga
desa Hadipolo, pada Juli 2008.
I. Materi dakwah
Sebagaimana kita ketahui bahwa materi dakwah dapat
dibago tiga yaitu:
- Aqidah
- Syari’ah
- Akhlak
Secara inci dapat penulis sebutkan materi dakwah di Dukuh
argopuro adalah sebagai berikut:
a. Pengajian malam Jum’at, materi pokoknya adalah:
1. Pendalaman aqidah islamiyah
2. Pendalaman kaifiyah ubudiyah
3. Pendalaman ahlussunnah waljama’ah
b. Fashalatan, materi pokoknya adalah:
1. Memberikan contoh-contoh gerakan shalat
2. Memberikan makna gerakan shalat
3. Mengontrol gerakan-gerakan shalat
4. Mengontrol ucapan-ucapan (hafalan) do’a dalam shalat
21
Wawancara dengan Bapak Sumarto, dai /mualligh Dukuh Argopuro,
pada tanggal 5 Nopember 2008
J. Penutup
Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan
manusia sebagai individu, kare na individu merupakan dasa bagi
terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur, berkeadilan dan
damai. Suatu masyarakat tidak akan sejahtera, damai, aman dan
berkeadilan, jika tidak ditanamkan sedini mungkin makna dari
nilai-nilai kedamaian, keadilan dan kesejahteraan kepada setiap
individu dari masyarakat, karena masyarakat pada hakekatnya
komunitas yang terdiri dari individu-individu yang hidup di suatu
daerah yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk
saling dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia
tidak akan mampu bertahan hidup hanya dengan kesendirian
(individual) tanpa bantuan orang lain.
Sikap dan tingkah laku da’i merupakan salah satu faktor
keberhasilan dakwah yang dilakukan, masyarakat pelaku dakwah
senantiasa mengamati dan meniru sikap yang dimiliki da’i. Sebagai
seorang da’i sikapnya haruslah merupakan cerminan dari tingkah
lakunya sehari-hari.
Keberhasilan dakwah yang dilakukan di Kampung
Pecinan Argopuro Kudus diantaranya dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu; metode yang digunakan, profil dai dan materi yang
disampaikan sesuai dengan kondisi mad’u, serta sesuai dengan
situasi dan kondisi yang terdapat pada masyarakat tersebut.
22
Wawancara dengan Sumarto, mubaligh Dukuh Argopuro dan
berdomisili ditempat tersebut pada 26 Oktober 2008
Shobirin
Dosen STAIN Kudus
Email: Sabirin_78@yahoo.com
ABSTRAK
1
Rahman, 1996: 5)
(Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Manfaat), (Semarang: Aneka
Ilmu, 2003) hlm. 18.
3
Stephan P. Robbins, Organizational Behavior, terj. Hayana Pujatmaka
(……1996) hlm. 160
4
Endah Prameswari, Peran Keluarga dalam Pendidikan Taruna di
Akademi TNI-AL, dalam T.O Ihromi, (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) hlm. 69.
5
Ibid. 80
6
Ibid. 67-68
7
Ibid. 68
8
Ibid. 68
13
(Sumber Sekdes, 28-9-2007) .
14
(Daftar Isian Potensi Desa, 2005 : 5).
15(
wawancara Muzaed, 26-9-2007).
16
(Wawancara, Mujazin, 26-9-2007).