Anda di halaman 1dari 219

ii

ADDIN
Media Dialektika Ilmu Islam

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS


JAWA TENGAH - INDONESIA
iii
Jurnal

ADDIN
Media Dialektika Ilmu Islam

u 4 n 1 Januari Juni 1 4 4

Jurna i r i an
PELINDUNG
u a n i ian an
ua u u n a ian a ara a
PENANGGUNG JAWAB u u ia na
an u ua u an a i an n ri a
ia ar a u i uai
PEMIMPIN UMUM n an a u urna
r a u ui r u ai u an
r u un an n n i u
PEMIMPIN REDAKSI ia an a a aan
a an u i a a an i iri a ar
i i ra i i ar a a an
SEKRETARIS REDAKSI a i1 ra i aa
a ni i nu i an n an u an
a ar u a a a ai
DEWAN REDAKSI u rr r n i a i
irin r a r ai i u unan
i i an a i a an a ru a i i
r r u i an an i ua

PENYUNTING AHLI
u a a i
a a a i
u i ir u u
u a a J n ar
1 1 4 1 a
TATA USAHA
441 1 u u
ari a a ai
i a i ani a an u i 1 ai
ur i

i r i an
u a n i ian an n a ian a ara a

iv
PENGANTAR REDAKTUR

Bismillahirrahmanirrahim
Mentradisikan bersyukur menjadi ajaran Islam yang
perlukita uri-uri, sebagai bentuk penghambaan hamba kepada
Tuhandengan ucapan hamdalah. Tidak bedanya, sebagai umat
yangmenghormati junjungan-Nya, kita bersalawat kepada Nabi
SAWsemoga mendapat syafaat di hari pembalasan. Pada edisi
Januari-Juni 2012 Jurnal addin STAINKudus yang memuat
artikel atau naskah khususnya bernuansakeagamaan berbagai
topik, sebagai bentuk kepedulian ilmuandalam mewacanakan
ide yang dibakukan dalam jurnal selaluditunggu redaktur pada
edsi Juli-Desember 2012.Berbagai topik tersusun dalam edsi ini
dengan harapanmenambah khasanah keilmuan bagi pembaca.
Hanya berbekalsemangat juang di bidang keilmuan, naskah edisi
ini perludisongsong dengan ide segar, dikhususkan lagi dalam
membidikhal-hal yang kontroversial agar tebaran persoalan
dalamkehidupan dapat terurai, meskipun sebatas ide yang
terwacanakandalam terpublikasikan.Jurnal ini terbit setiap enam
bulan sekali, edisi Januari - Junidan Juli - Desember. Redaktur
menunggu dan mengharap kepadapembaca untuk berkiprah lebih
optimal lagi melalui ide segarnya.Hal tersebut dapat dilakukan
dengan silaturahim ke PusatPenelitian dan Pengebdian kepada
Masyarakat (P3M) SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Kudus Jalan Conge-Ngembalrejo, Kudus atau berdunia maya
dengan alamate-mail: saekan.Muchit61@gmail.com.

v
Demikian Pengantar redaksi, naskah yang tertera
dalamjurnal ini menggugah kita untuk semangat kembali
mengkajirealitas yang menyimpan problematika, semoga
bermanfaat untukkita semua. Nuwun, maturnuwun.

Billahitaufiq wal hidayah


Ihdinassyirotol Mustaqim

vi
DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ~ v-vi


Daftar Isi ~ vii-viii

 HUBUNGAN KEBERMAKNAAN HIDUP DAN DUKUNGAN SOSIAL


KELUARGA DENGAN KESEHATAN MENTAL NARAPIDANA
(Studi Kasus Nara Pidana Kota Semarang)
Oleh: Baidi Bukhori ~ 1 - 19

 TRADISI BERFILSAFAT DALAM KARYA SASTRA PESANTRAN


(Kajian Filologis Atas Naskah Dewi Maleka)
Oleh: Nur Said ~ 21 - 41

 PERGESERAN LITERATUR DI PESANTREN SALAFIYAH


(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Anwariyah, Tegalgubug
Lor, Cirebon)
Oleh: R. Aris Hidayat ~ 43 - 68

 DOKTRIN DAN GERAKAN PESANTREN DI CILEGON BANTEN


Oleh: Fadullah ~ 69 - 87

 AGAMA LOKAL Ter (di) pinggirkan di antara Agama Besar


Oleh: Zakiyah ~ 89 - 105

 PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH : Sistem Nilai dan


Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi pada Madrasah
Diniyah Di Kudus
Oleh: Kisbiyanto ~ 107 - 117

vii
 ADAH MUHAKKAMAH, SINERGI AGAMA DAN BUDAYA, UPAYA
MENUJU KEARIFAN LOKAL
Oleh: Jamal Ma'mur Asmani ~ 119 - 133

 KAJIAN KRITIS TERHADAP AJARAN DAN GERAKAN AL-


QIYADAH AL-ISLAMIYAH
Oleh: Joko Tri Haryanto ~ 135 - 162

 DAKWAH PADA MASYARAKAT MARGINAL DI KAMPUNG


PECINAN ARGOPURO KUDUS
Oleh: Mubasyaroh ~ 163 - 189

 MAKNA PENDIDIKAN BAGI ANAK MENURUT KELUARGA


NELAYAN DI DESA WEDUNG KECAMATAN WEDUNG KABUPATEN
DEMAK
Oleh: Shobirin ~ 191 - 210

viii
HUBUNGAN KEBERMAKNAAN HIDUP DAN
DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN
KESEHATAN MENTAL NARAPIDANA
(Studi Kasus Nara Pidana Kota Semarang)

Baidi Bukhori
(Dosen IAIN Walisongo Semarang)
Email address

Abstract

Convicts during being kept in socializing institutions lose


their freedom of mobility and accompanying sufferings
such as the loss of opportunity to have sexual intercourse,
of private rights, of getting goodness and help, of their
secrecy from bad prejudice from society, and being suffered
from infantilism. Convicts also have to do duties, to adapt
themselves, to obey socializing institutions’ regulations and
all regulations formed secretly which apply among occupants
of socializing institutions beyond officers’ reach.
In facing life which was hard and full of problems, part of
convicts still had healthy mental conditions, who showed
determination, survival, and even they helped their fellow
convicts. In contrast, part of convicts suffered from unhealthy
mental conditions, who showed desperation, apathy, and
a condition of losing their life spirit, even there were some
convicts who committed suicide in order to free themselves
from their sufferings.
Among factors assumed as having influences on the condition
were the meaningfulness of life and the social support of the
family. By the meaningfulness of life, convicts were assumed
as being able to take the appropriate attitudes so that the
tragic experiences could reduce; even they could produce
deeper meaning. Blessing and valuable lessons could be taken
from those incidents which help the process of maturity and
give contributions to the goodness in the future.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 1


This research was a quantitative research which aimed
at testing empirically the correlation between the
meaningfulness of life and the social support of the family
and convicts’ mental health.
The subjects of this research were convicts of Kedungpane
Semarang First Class Socializing Institution. The technique
of taking samples used in this research was random
sampling, namely a technique of choosing randomly the
existing individuals (407 convicts). By using the technique,
104 convicts were chosen in this research.
Keywords: the meaningfulness of life, the social support of the
family, mental health, convicts, and socializing institution.

Abstrak

Narapidana selama di lembaga pemasyarakatan kehilangan


kemerdekaan bergerak dan derita-derita yang menyertai
seperti hilangnya kesempatan hubungan seksual, kehilangan
hak pribadi, kehilangan mendapatkan kebaikan dan bantuan,
kehilangan kerahasiaannya dari akibat prasangka buruk dari
masyarakat, dan kepedihan dari proses infantilisasi atau
menganak kecilkan orang yang sudah dewasa. Narapidana
juga harus menjalankan kewajiban, menyesuaikan diri,
mematuhi dan mentaati peraturan lembaga pemasyarakatan,
dan segala peraturan yang terbentuk secara tersembunyi
yang berlaku antar sesama penghuni di luar jangkauan
petugas.
Dalam menghadapi kehidupan yang sulit dan penuh
problema tersebut ada sebagian narapidana tetap sehat
mentalnya, yang menunjukkan sikap tabah, bertahan
bahkan berusaha membantu sesamanya. Namun dipihak
lain, sebagian tahanan mengalami ketidaksehatan mental,
yang menunjukkan sikap putus asa, apatis, dan kehilangan
semangat hidup, bahkan ada yang melakukan bunuh diri
guna membebaskan diri dari penderitaannya.
Di antara faktor yang diasumsikan berpengaruh terhadap
kondisi tersebut adalah kebermaknaan hidup dan dukungan
sosial keluarga. Dengan kebermaknaan hidup, narapidana
diasumsikan dapat mengambil sikap yang tepat sehingga
pengalaman-pengalaman tragis itu dapat berkurang, bahkan
dapat menimbulkan makna yang lebih berarti. Dari peristiwa
tersebut dapat mengalir berkah dan pelajaran berharga
yang justru membantu proses kematangan dan memberi
sumbangan bagi kebaikan di masa mendatang.

2 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang
bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan
kebermaknaan hidup dan dukungan sosial keluarga dengan
kesehatan mental narapidana.
Subjek dalam penelitian ini adalah narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah random sampling, yaitu memilih individu-
individu yang ada (407 narapidana) secara acak. Dengan
menggunakan teknik tersebut terpilih 104 narapidana
sebagai subjek penelitian.
Kata kunci: Kebermaknaan hidup, dukungan sosial
keluarga, kesehatan mental, narapidana, dan lembaga
pemasyarakatan.

A. Pendahuluan
Kesehatan mental merupakan permasalahan yang selalu
menarik perhatian masyarakat. Berita-berita tentang peningkatan
jumlah pasien rumah sakit jiwa akibat musibah bencana alam di
berbagai daerah, siswa bunuh diri karena belum bisa membayar
SPP, narapidana1 bunuh diri akibat stress, dan sebagainya. Beberapa
kasus tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa diabaikan
begitu saja.
Ketidaksehatan mental bisa dialami oleh semua orang
tak terkecuali narapidana, apalagi narapidana yang hidup dalam
kamar hunian dalam waktu yang cukup lama, bisa beberapa tahun,
kadang-kadang sampai puluhan tahun bahkan seumur hidup. Di
dalam lembaga pemasyarakatan2 (Lapas) seorang narapidana
akan mengalami berbagai persoalan dan penderitaan. Secara
teoritis sebenarnya derita yang akan dialami oleh narapidana satu-
satunya adalah hilangnya kemerdekaan bergerak. Namun ternyata
ada derita-derita sertaan sebagai akibat hilangnya kemerdekaan
bergerak, yaitu: 1). Hilangnya kesempatan hubungan seksual. 2).
Kehilangan hak pribadi. 4). Kehilangan mendapatkan kebaikan

1
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7).
2
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995
tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 2).

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 3


dan bantuan. 5). Kehilangan kerahasiaannya dari akibat prasangka
buruk dari masyarakat. 6). Kepedihan dari proses infantilisasi atau
menganak kecilkan orang yang sudah dewasa3.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan
mental narapidana adalah kebermaknaan hidup. Kebermaknaan
hidup adalah penghayatan individu terhadap keberadaan dirinya,
memuat hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, dan
dapat memberikan arti khusus yang menjadi tujuan hidup sehingga
membuat individu menjadi berarti dan berharga4. Salah satu cara
untuk mencapai kebermaknaan hidup adalah dengan nilai bersikap,
yaitu cara individu menunjukkan keberanian dalam menghadapi
penderitaan serta bagaimana individu memberikan makna pada
penderitaan yang dihadapi5. Betapa penting kebermaknaan hidup
bagi seseorang, Ancok6 menyatakan bahwa kehidupan yang sehat
adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang
baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri
sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kerusakan moral dan gangguan
jiwa adalah karena orang tidak memiliki makna hidup yang baik.
Selain faktor kebermaknaan hidup, faktor yang diasumsikan
berhubungan dengan kesehatan mental narapidana adalah
dukungan sosial keluarga. Sears dkk.7 mengatakan bahwa dukungan
sosial adalah suatu hubungan interpersonal di mana individu
memberikan bantuan kepada individu lain dan bantuan yang
diberikan berupa partisipasi, emansipasi, motivasi, penyediaan
informasi, dan penghargaan atau penilaian terhadap individu.
Dukungan sosial keluarga merupakan variabel lingkungan
yang diasumsikan memiliki hubungan positif dengan kesehatan

3
Tarsono, Pengaruh besarnya Kelompok Terhadap Perilaku Prososial dan
Agresifitas Narapidana, Tesis (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada, 2002), h. 94-
95.
4
E. Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi Victor Fankl, (Yogyakarta: Kanisius,
1992), h. 58.
5
H.D. Bastaman, Integrasi Psikologi dalam Islam, Menuju Psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 55.
6
F.E. Frankl, Logoterapi; Terapi Psikologi MelaluiPemahaman Eksistensi,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h. 4.
7
D. Tresnowati, Kecemasan Terhadap Kematian pada Pasien Hemodialysis
Ditinjau dari Dukungan Sosial Keluarga. Tesis (Yogyakarta: Pascasarjana
Universitas Gadja Mada, 2004), h. 5.

4 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


mental. Narapidana akan membutuhkan dukungan yang lebih dari
keluarga dan cara-cara yang efektif dalam menghadapi masalah
yang sedang dihadapi8. Dukungan tersebut diharapkan berasal
dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan
lingkungan yang terdekat dengan narapidana. Dukungan sosial
keluarga bagi narapidana diperlukan untuk menghilangkan rasa
ketakutan dan kecemasan akan masalah-masalah yang dihadapi.
Upaya yang dilakukan keluarga yang berada di sekitar narapidana
untuk memberikan semangat dapat menjadi salah satu jalan keluar
yang positif bagi narapidana untuk menerima dengan tenang atas
beban penderitaan yang dialami.
Pada kenyataannya, di lembaga pemasyarakatan ada
narapidana yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya.
Bila keluarga tidak dapat memberikan dukungan terhadap masalah-
masalah yang dihadapi narapidana, bahkan mengabaikan, maka
hal tersebut dapat mengakibatkan narapidana semakin menderita
bahkan bisa terganggu kesehatan mentalnya.

B. Kebermaknaan Hidup
Kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap
keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang dianggap penting,
dirasakan berharga, dan dapat memberikan arti khusus yang
menjadi tujuan hidup sehingga membuat individu menjadi berarti
dan berharga9. Menurut Ancok10 kehidupan yang bermakna akan
dimiliki seseorang apabila dia mengetahui apa makna dari sebuah
pilihan hidupnya. Makna hidup adalah hal-hal yang memberikan
arti khusus bagi seseorang, yang apabila berhasil dipenuhi akan
menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga,
sehingga akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness)11
Menurut Frankl12 ada tiga komponen kebermaknaan hidup,
yakni 1). kebebasan berkehendak, 2). kehendak hidup bermakna,

8
Ibid.
9
Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi, , h. 58.
10
Frankl, Logoterapi; Terapi, h. 7.
11
P. Budiharjo, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), h. 153.
12
F.E. Frankl, The Will to Meaning, Foundations dan Aplications of
Logotherapy, (New York: Meridian, 1988), h. 16.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 5


3). makna hidup. Kebebasan berkehendak adalah kebebasan yang
dimiliki seseorang untuk menentukan pilihan di antara alternatif-
alternatif yang ada, dan oleh karenanya seseorang mengambil
peranan yang besar dalam menentukan nasibnya sendiri.
Kehendak hidup bermakna adalah hasrat yang memotivasi
setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-
kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya berharga dan
dihayati secara bermakna. Jadi sebagai motivasi utama manusia,
kehendak hidup bermakna mendambakan seseorang menjadi
pribadi yang penting dan berharga serta memiliki tujuan hidup yang
jelas dan sarat dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna pula13.
Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar,
dan didambakan serta memberi nilai khusus bagi seseorang. Bila
berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan
ini dirasakan demikian berarti dan berharga serta dapat dijadikan
tujuan hidupnya14.
Menurut Crumbaugh dan Maholich15 aspek-aspek
kebermaknaan hidup yaitu: 1). tujuan hidup, 2). kepuasan hidup,
3). kebebasan memilih, 4). gairah hidup, dan 5). tanggung jawab.
Mereka yang menghayati hidup bermakna dapat digambarkan
sebagai berikut:
Mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh
semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa.
Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka
pendek maupun tujuan jangka panjang. Kegiatan-kegiatan mereka
pun menjadi terarah. Selain itu mereka juga merasakan sendiri
kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai. Tugas-tugas dan
pekerjaan sehari-hari bagi mereka merupakan sumber kepuasan
dan kesenangan tersendiri sehingga mereka mengerjakannya
dengan bersemangat dan bertanggung jawab. Hari demi hari
mereka menemukan beraneka ragam pengalaman baru dan hal-hal
menarik yang semuanya menambah pengalaman hidup mereka.
Mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti
menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasan-
batasan itu mereka dapat menentukan sendiri apa yang paling baik
13
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 194
14
Ibid.
15
Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi, h. 176.

6 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


untuk mereka lakukan. Mereka juga menyadari bahwa makna hidup
dapat ditemukan dalam kehidupan, betapapun buruknya keadaan.
Kalaupun mereka pada suatu saat mengalami penderitaan, mereka
akan menghadapinya dengan sikap tabah. Mereka sadar bahwa
senantiasa ada makna dan hikmah di balik penderitaannya itu.
Mereka benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena
mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu senantiasa
menawarkan makna yang harus mereka penuhi. Mereka menganggap
bahwa usaha memenuhi makna hidup itu secara bertanggung
jawab merupakan tantangan. Mereka juga mampu mencintai dan
menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa cinta
kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup ini indah.
Mereka adalah orang-orang yang benar-benar menghayati bahwa
hidup dan kehidupan mereka bermakna16.

C. Dukungan Sosial Keluarga


Sears dkk.17 mengatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu
hubungan interpersonal di mana individu memberikan bantuan
kepada individu lain dan batuan yang diberikan berupa partisipasi,
emansipasi, motivasi, penyediaan informasi, dan penghargaan atau
penilaian terhadap individu. Sarason dkk.18 mengemukakan bahwa
dukungan sosial merupakan suatu keadaan yang bermanfaat bagi
individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya.
House19 menyatakan bahwa, dukungan sosial sebagai suatu
bentuk transaksi antar pribadi yang melibatkan: 1). perhatian
emosional, 2). bantuan instrumental, 3). pemberian informasi,
dan 4). adanya penilaian. Pertama: Perhatian emosional. Individu
membutuhkan empati. Bilamana seseorang dapat menghargai,
mempercayai, dan mengerti dirinya lebih baik, ia akan menjadi
terbuka terhadap aspek-aspek baru dari pengalaman hidupnya.
Kedua: Bantuan instrumental. Penyediaan piranti guna menunjang
kelancaran kerja, secara langsung akan meringankan beban yang

16
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 197.
17
Tresnowati, Kecemasan, h. 5.
18
I.G. Sarason, Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire.
(Journal of Personality and Social Psychology, 1983), h. 127.
19
D. Etzion, Moderating Effect of Social Support on The Stress-Burnout
Relationship, (Journal of Applied Psychology, 1984), h. 615.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 7


ditanggung seseorang. Ketiga: Pemberian informasi. Pemberian
informasi, maksudnya agar informasi dapat digunakan untuk
mengatasi masalah pribadi maupun masalah pekerjaan. Keempat:
Penilaian. Penilaian meliputi dukungan pekerjaan, prestasi, dan
peran sosial yang terdiri atas umpan balik, perbandingan sosial,
dan afirmasi (persetujuan menyatakan “ya”).

D. Kesehatan Mental
Daradjat20 menyatakan bahwa ada banyak definisi tentang
kesehatan mental yang diberikan para ahli, sesuai dengan
pandangan dan bidangnya masing-masing. Definisi tersebut
antara lain: 1). Kesehatan mental adalah terhindarnya orang
dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala
penyakit jiwa (psychose). 2). Kesehatan mental adalah kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain
dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. 3). Kesehatan
mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari
gangguan dan penyakit jiwa. 4). Kesehatan mental adalah
terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-
fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif
kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Menurut Bastaman21, kesehatan mental adalah terwujudnya
keserasian yang sungguh-sunguh antara fungsi-fungsi kejiwaan
dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya
dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat.
Beberapa ahli yang berusaha merumuskan tolok ukur
kesehatan mental seseorang, salah satunya adalah Bastaman22. Ia

20
Z. Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2001),
h. 4-6.
21
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 133.
22
Ibid., h. 134.

8 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


memberikan tolak ukur kesehatan mental sebagai berikut:
1) Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
2) Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan
hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan
menyenangkan.
3) Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat,
kemampuan, sikap, sifat, dan sebagainya) yang baik dan
bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
4) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berupaya
menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-
hari.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental itu


secara garis besar ada dua yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal ini antara lain meliputi: kepribadian, kondisi
fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis,
keberagamaan, sikap menghadapi problema hidup, kebermaknaan
hidup, dan keseimbangan dalam berfikir. Adapun yang termasuk
faktor eksternal antara lain: keadaan sosial, ekonomi, politik, adat
kebiasaan dan sebagainya23.
Menurut Daradjat kedua faktor di atas, yang paling dominan
adalah faktor internal. Ia mengungkapkan bahwa ketenangan
hidup, ketenangan jiwa atau kebahagiaan batin itu tidak banyak
tergantung pada faktor-faktor dari luar seperti keadaan sosial,
ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Akan tetapi lebih
tergantung pada cara dan sikap menghadapi faktor tersebut.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th.1995
tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 7). Menurut Gunakarya24
narapidana adalah orang yang terbukti melakukan tindak pidana
dan kemudian oleh pengadilan dijatuhi hukuman atau pidana.
Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang Pemasyarakatan

23
Darajat, Kesehatan Mental, h. 9.
24
Tarsono, Pengaruh besarnya Kelompok Terhadap Perilaku Prososial dan
Agresifitas Narapidana, Tesis (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada, 2002), h. 88.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 9


Pasal 1 ayat 2). Perlakuan terhadap narapidana didasarkan pada
sistem pemasyarakatan.
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir
dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (UU RI No. 12
Th. 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat17).
Narapidana selama hidup di Lembaga Pemasyarakatan
menghadapi kehidupan yang sulit dan penuh problema sehingga
dituntut untuk memiliki ketahanan mental, agar tetap sehat
mentalnya. Salah satu hal yang mempengaruhi ketahanan mental
narapidana adalah kebermaknaan hidup. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Daradjat25, bahwa sesungguhnya ketenangan
hidup, ketenteraman jiwa atau kebahagiaan batin seseorang, lebih
tergantung kepada cara dan sikap menghadapi permasalahan yang
ia hadapi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber utama
kesehatan mental adalah bagaimana cara dan sikap seseorang
dalam menghadapi persoalan hidup yang ia hadapi.
Tidak jauh berbeda dengan kesehatan mental, kebermaknaan
hidup seseorang juga bersumber dari bagaimana sikapnya dalam
menghadapi persoalan hidup. Menurut Bastaman26salah satu
sumber kebermaknaan hidup adalah nilai-nilai sikap. Nilai sikap
merupakan sikap yang diberikan individu terhadap kondisi-kondisi
tragis yang telah terjadi, seperti penyakit, penderitaan, dan kematian.
Situasi-situasi yang buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan
tampak tanpa harapan dapat memberikan kesempatan yang sangat
besar bagi individu dalam menemukan makna hidupnya. Dengan
mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman-pengalaman
tragis itu dapat berkurang, bahkan dapat menimbulkan makna
yang lebih berarti. Dari peristiwa tersebut dapat mengalir berkah
dan pelajaran berharga yang justru membantu proses kematangan
dan memberi sumbangan bagi kebaikan di masa mendatang.
Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa sehat
atau tidaknya mental seseorang dan bermakna atau tidaknya hidup
seseorang sangat tergantung pada bagaimana sikap seseorang

25
Ibid.
26
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 196.

10 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


dalam menghadapi problema kehidupan yang mereka hadapi. Jika
seseorang bisa bersikap positif terhadap problema yang mereka
hadapi maka kesehatan mental dan kebermaknaan hidup akan
mereka dapatkan.
Kesehatan mental narapidana selain dipengaruhi oleh
kebermaknaan hidup juga dipengaruhi oleh faktor yang lain yang
tak kalah penting, yakni dukungan sosial. Salah satu sumber
dukungan sosial menurut Ganster dkk.27 adalah keluarga. Keluarga
merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan seseorang,
kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikis mula-mula terpenuhi dari
lingkungan keluarga. Sehingga keluarga termasuk kelompok yang
terdekat dengan individu. Individu sebagai anggota keluarga akan
menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat bercerita,
tempat bertanya, dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan
bilamana individu sedang menghadapi permasalahan. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa keluarga dapat menjadi sumber dukungan
sosial bagi anggota yang tengah menghadapi persoalan-persoalan.
Dukungan sosial keluarga bagi narapidana merupakan hal
yang amat penting, hal tersebut sejalan dengan kodratnya sebagai
makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya
selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Interaksi timbal
balik ini pada akhirnya akan menciptakan hubungan ketergantungan
satu sama lain. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi
seseorang begitu diperlukan. Individu membutuhkan dukungan
orang-orang terdekat terutama dari keluarga. Dukungan diharapkan
berasal dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan
pertama dan lingkungan yang terdekat dengan narapidana.
Bentuk dukungan sosial dapat berupa kesempatan bercerita,
meminta pertimbangan, bantuan, atau mengeluh bilamana
sedang mengalami persoalan pribadi28. Seorang narapidana akan
mengembangkan perasaan dicintai, dihargai, dan dimanusiakan
keberadaannya dan ditolong oleh sumber-sumber dukungan
sosial tersebut, sehingga dapat menjalani kehidupan di lembaga

27
D.C. Ganster, M.R. Fusilier, dan B.T. Mayes, Role of Social Support in The
Experience of Stress at Work, (Journal of Applied Psychology: 1986), h. 102.
28
T.N. Rohman, N. Prihartanti, dan H.F. Rosyid, Hubungan antara
Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat Putri di Rumah Sakit Swasta,
Jurnal Psikologi, Vol. ?, No. ? (Month, 1997), h. 56.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 11


pemasyarakatan dengan wajar. Bila mana hubungan ini terjadi maka
narapidana dapat melalui hari-harinya dengan baik dan tingkat
kesehatan mentalnya meningkat. Akan tetapi bilamana narapidana
tidak memperoleh dukungan sosial, maka ia akan merasa resah,
mengalami kebingungan, dan merasa tidak mempunyai sandaran
untuk mengadukan permasalahannya. Keadaan yang demikian
tentu akan berdampak negatif pada narapidana, dan akan tercermin
pada penurunan tingkat kesehatan mentalnya.
Dari review pustaka di atas, maka dapat diajukan hipotesis:
Ada hubungan positif yang signifikan antara kebermaknaan
hidup dan dukungan sosial keluarga dengan kesehatan mental
narapidana.
Dari hasil analisis data diperoleh suatu kesimpulan bahwa
ada korelasi positif yang signifikan antara kebermaknaan hidup dan
dukungan sosial keluarga dengan kesehatan mental narapidana.
Dari hasil analisis juga ditemukan adanya korelasi positif yang
signifikan antara kebermaknaan hidup dengan kesehatan mental,
serta adanya korelasi yang signifikan antara dukungan sosial
keluarga dengan kesehatan mental.
Adanya korelasi positif yang signifikan antara kebermaknaan
hidup dengan kesehatan mental, sejalan dengan pendapat Ancok29
yang menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan
yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan
menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi
juga untuk orang lain. Kerusakan moral dan gangguan jiwa adalah
karena orang tidak memiliki makna hidup yang baik. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Lazarus dan DeLongis30 menyatakan bahwa
makna hidup ikut berperan dalam proses pengelolaan stres dan
coping. Antonovsky’s,31 juga menyatakan bahwa adanya dimensi
kebermaknaan hidup dalam diri seseorang merupakan “senjata”
potensial untuk melawan stressor yang berhubungan dengan
kesehatan mental.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan bahwa kebermaknaan

29
Frankl, Logoterapi; Terapi, h. 4.
30
K. Sadrayuni, Hubungan Kebermaknaan Hidup dengan Penerimaan
Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Skripsi (Semarang: Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2004), h. 5.
31
Ibid.

12 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


hidup sangat penting bagi terwujudnya kesehatan mental. Senada
dengan hasil penelitian ini, penelitian Rahman (1996) menunjukkan
adanya hubungan kebermaknaan hidup dengan daya tahan terhadap
stres pada remaja. Sementar itu, Haitami (2000) menyimpulkan
bahwa pemahaman terhadap konsep kebermaknaan hidup akan
menurunkan stres kerja sebesar 20%. Penelitian Zainurrofiqoh
(2000) menunjukkan kontribusi kebermaknaan hidup sebesar 63,5
% terhadap tingkat harga diri mahasiswa.
Keterkaitan antara kebermaknaan hidup dan kesehatan
mental dapat ditelusuri dari sumber utama kebermaknaan hidup
dan kesehatan mental itu sendiri. Keduanya bersumber bagaimana
cara dan sikap seseorang dalam menghadapi persoalan hidup. Salah
satu cara untuk mencapai kebermaknaan hidup adalah dengan
nilai bersikap, yaitu cara individu menunjukkan keberanian dalam
menghadapi penderitaan serta bagaimana individu memberikan
makna pada penderitaan yang dihadapi32.
Daradjat33 menyatakan bahwa sesungguhnya ketenangan
hidup, ketenteraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak banyak
tergantung kepada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial,
ekonomi, politik, adat kebiasaan, dan sebagainya; akan tetapi
lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor
tersebut.
Keterkaitan antara kebermaknaan hidup dengan kesehatan
mental dapat dipahami juga dari ajaran Logoterapi. Logoterapi
mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan
raga-jiwa-rohani yang tak terpisahkan. Seorang psikoterapis tidak
mungkin dapat memahami dan melakukan terapi secara baik
apabila mengabaikan dimensi rohani yang justru merupakan salah
satu sumber kekuatan dan kesehatan manusia. Selain itu logoterapi
memusatkan perhatian pada kualitas-kualitas insani, seperti hasrat
untuk hidup bermakna, hati nurani, kreativitas, dan tanggung jawab.
Frankl memanfaatkan dan mengaplikasikan kualitas-kualitas itu
dalam terapi dan pengembangan kesehatan mental, termasuk
penyembuhan mental yang sakit34.
Adanya korelasi positif yang signifikan antara dukungan
32
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 196.
33
Darajat, Kesehatan Mental, h. 9.
34
Bastaman, Integrasi Psikologi, h. 77.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 13


sosial keluarga dengan kesehatan mental sejalan dengan hasil
penelitian Rohman, Prihartanti, dan Rosyid (1997) yang menemukan
bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dengan
burnout35 pada perawat putri. Semakin tinggi dukungan sosial
semakin rendah gejala burnout yang dialami. Semakin rendah
dukungan sosial, maka semakin tinggi burnout.
Narapidana yang hidup dalam kamar hunian dalam
waktu yang cukup lama, bisa beberapa tahun, kadang-kadang
sampai puluhan tahun bahkan seumur hidup. Di dalam lembaga
pemasyarakatan seorang narapidana akan mengalami berbagai
persoalan dan penderitaan. Dalam kondisi yang demikian,
narapidana membutuhkan dukungan sosial. Dukungan sosial
merupakan hubungan membantu, bermanfaat, dan diperoleh dari
orang-orang terdekat, salah satunya adalah dari keluarga.
Keluarga merupakan tempat pertumbuhan dan
perkembangan seseorang, kebutuhan-kebutuhan fisik dan
psikis mula-mula terpenuhi dari lingkungan keluarga. Sehingga
keluarga termasuk kelompok yang terdekat dengan individu.
Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga
sebagai tumpuan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya, dan
tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana individu sedang
menghadapi permasalahan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa
keluarga dapat menjadi sumber dukungan sosial bagi anggota yang
tengah menghadapi persoalan-persoalan.
Dukungan sosial keluarga bagi narapidana merupakan hal
yang amat penting, hal tersebut sejalan dengan kodratnya sebagai
makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya
selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Interaksi timbal
balik ini pada akhirnya akan menciptakan hubungan ketergantungan
satu sama lain. Diharapkan, kebersamaan bersama sesama
ini menjadi jalur buat pelepasan emosi sehingga ketegangan-
ketegangan yang ada bisa mengendor dan tidak mengganggu
kehidupan kejiwaan seseorang.
Selain hal tersebut di atas, seseorang membutuhkan orang
lain karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan fisik

35
Burnout merupakan keadaan internal negatif yang ditandai dengan
tiga simtom: simtom fisik, emosional, dan mental.

14 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


dan psikisnya secara sendirian. Individu membutuhkan dukungan
orang-orang terdekat terutama dari keluarga. Dukungan diharapkan
berasal dari keluarga karena keluarga merupakan lingkungan
pertama dan lingkungan yang terdekat dengan narapidana.
Bentuk dukungan sosial dapat berupa kesempatan bercerita,
meminta pertimbangan, bantuan, atau mengeluh bilamana
sedang mengalami persoalan pribadi36. Seorang narapidana akan
mengembangkan perasaan dicintai, dihargai, dan dimanusiakan
keberadaannya dan ditolong oleh sumber-sumber dukungan
sosial tersebut, sehingga dapat menjalani kehidupan di lembaga
pemasyarakatan dengan wajar. Bila mana hubungan ini terjadi maka
narapidana dapat melalui hari-harinya dengan baik dan tingkat
kesehatan mentalnya meningkat. Akan tetapi bilamana narapidana
tidak memperoleh dukungan sosial, maka ia akan merasa resah,
mengalami kebingungan, dan merasa tidak mempunyai sandaran
untuk mengadukan permasalahannya. Keadaan yang demikian
tentu akan berdampak negatif pada narapidana, dan akan tercermin
pada penurunan tingkat kesehatan mentalnya.
Berdasarkan hasil wawancara pada akhir bulan Agustus
2007 terhadap informan A, B, C yang memiliki kebermaknaan
hidup, dukungan sosial, dan kesehatan mental tinggi, didapatkan
bahwa mereka benar-benar bisa memetik hikmah selama hidup
di lembaga pemasyarakatan. Hikmah tersebut antara lain: bisa
lebih tenang dan terfokus untuk memahami dan menyelami apa
yang mereka perbuat atas kesalahan dan keteledoran yang mereka
lakukan, adanya kesadaran dalam menjalani kehidupan supaya lebih
baik lagi dalam kedepannya, bisa lebih khusuk dalam beribadah,
dapat mengetahui karakter orang yang ada di lapas terutama dalam
satu blok, dapat bekerjasama dengan sesama warga binaan dalam
satu kamar, dan dapat mengetahui apa arti hidup sebenarnya.
Selain mereka dapat mengambil hikmah selama hidup
di lapas, mereka menyatakan bahwa keluarga sangat memberi
dukungan selama mereka di lapas. Bentuk dukungan yang mereka
terima antara lain: keluarga sering mengunjungi mereka dengan
memberikan bantuan baik itu material maupun spiritual, selalu
memperhatikan dan mau ikut berperan serta dalam menyelesaikan

36
Rahman, Hubungan antara, h. 56.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 15


permasalahan yang mereka hadapi, keluarga mau mendengarkan
keluhan yang mereka sampaikan dengan senang hati dan berusaha
membantu dan memperhatikan mereka.
Dengan kebermaknaan hidup, dan dukungan sosial yang
mereka miliki ternyata berhubungan dengan kesehatan mental
mereka. Hal tersebut ditandai antara lain: Meskipun mereka hidup
di lapas mereka jarang sekali merasa putus asa. Ketika rasa putus
asa itu muncul mereka bisa mengatasinya dengan berbagai kegiatan
yang positif baik itu beribadah, mengikuti kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh lapas, atau kegiatan-kegiatan positif lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara pada akhir bulan Agustus
2007 terhadap informan D, E, F yang memiliki kebermaknaan
hidup, dukungan sosial, dan kesehatan mental rendah, didapatkan
informasi bahwa mereka sering sekali merasa putus asa, tidak
memiliki gairah hidup, sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan,
serta hal-hal negative lainnya. Keadaan tersebut berkaitan erat
dengan ketidakmampuan mereka dalam memetik hikmah selama
hidup di lembaga pemasyarakatan. Ia tidak bisa menerima bahwa ia
harus hidup di lembaga pemasyarakatan, sehingga hidupnya merasa
tidak tenang, sering merasa putus asa, serta sulit mendapatkan
kebahagiaan.
Selain mereka kurang bisa mengambil hikmah selama
hidup di lapas, mereka kurang mendapat perhatian dari keluarga
mereka. Dengan kondisi tersebut, mereka merasa hidup sendirian,
dan tidak ada tempat untuk mecurahkan keluhan-keluhan yang
mereka miliki, sehingga berpengaruh negative terhadap kehidupan
mereka.
Dengan uraian tersebut dapat ditarik benang merah
bahwa kesehatan mental narapidana sangat berkaitan erat dengan
bagaimana kebermaknaan hidup narapidana dan bagaimana
dukungan social keluarga terhadap mereka.

E. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi positif
yang signifikan antara kebermaknaan hidup dan dukungan
sosial keluarga dengan kesehatan mental narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Semarang. Semakin tinggi kebermaknaan
hidup dan dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi kesehatan

16 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


mental narapidana. Sebaliknya semakin rendah kebermaknaan
hidup dan dukungan sosial keluarga, maka semakin rendah
kesehatan mental narapidana. Kebermaknaan hidup dan dukungan
sosial keluarga secara bersama-sama mampu mempengaruhi
variabel terikat (kesehatan mental) sebesar 41,4 %. Kebermaknaan
hidup dan dukungan sosial keluarga dapat dijadikan prediktor
kesehatan mental narapidana, sedangkan sisanya sebesar 58,6
dijelaskan oleh prediktor lain dan kesalahan-kesalahan lain (eror
sampling dan non sampling).

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 17


DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, H. D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam; Menuju


Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Budiharjo, P. 1997. Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir.
Yogyakarta: Kanisius.
Daradjat, Z. 2001. Kesehatan Mental. Jakarta: PT Toko Gunung
Agung.
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman RI. 1996. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan, Jakarta: Ditjen Hukum dan
Perundang-undangan.
Etzion, D. 1984. Moderating Effect of Social Support on the Stress-
Burnout Relationship. Journal of Applied Psychology. 69.
615-621.
Frankl, F.E. 1988. The Will to Meaning, Foundations and Applications
of Logotherapy. New York: Meridian
---------2003. Logoterapi; Terapi Psikologi Melalui Pemahaman
Eksistensi. Penterjemah M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi
Wacana
---------2004. Man’s Search for Meaning, Mencari Makna Hidup,
Hakekat Kehidupan, Makna Cinta, Makna Penderitaan.
Penterjemah: Lala Hermawati Dharma. Bandung: Yayasan
Nuansa Cendikia
Ganster, D.C., Fusilier, M.R., & Mayes, B.T.1986. Role of Social
Support in The Experience of Stress at Work. Journal of
Applied Psychology. 71. 102-110.
Haitami, M.R. 2000. Hubungan Antara Pemahaman Kebermaknaan
Hidup Dengan Stres Kerja Karyawan. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas psikologi UGM.
Koeswara, E. 1992. Logoterapi, Psikoterapi Victor Frankl.
Yogyakarta: Kanisius.

18 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


Rahman, A.A. 1996. Hubungan antara Kebermaknaan Hidup dan
Daya Tahan Stress Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas psikologi UGM.
Rogers, C.R. 1987. Antara Engkau dan Aku. Terjemahan Agus C.
Jakarta: Gramedia
Rohman, T.N., Prihartanti, N., dan Rosyid, H.F. 1997. Hubungan
Antara Dukungan Sosial Dengan Burnout Pada Perawat
Putri di Rumah Sakit Swasta, Jurnal Psikologika, 4, 51-59.
Sadyaruni, K. 2004. Hubungan Kebermaknaan Hidup dengan
Penerimaan Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Ringkasan
Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
Sarason, I.G., Levine, H.M., Basham, R.B., & Sarason, B.R. 1983.
Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire.
Journal of Personality and Social Psychology. 44. 1. 127-
139.
Tarsono. 2002. Pengaruh Besarnya Kelompok Terhadap Perilaku
Prososial dan Agresifitas Narapidana. Tesis (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Pascasajana Universitas Gadjah
Mada.
Tresnowaty, D. 2004. Kecemasan Terhadap Kematian pada Pasien
Hemodialysis Ditinjau dari Dukungan Sosial Keluarga.
Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas
Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata.
Zainurrofiqoh. 2000. Hubungan Antara Kebermaknaan Hidup
dengan Harga Diri Pada Mahasiswa UGM. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas psikologi UGM.

Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial... (Baidi Bukhori) 19


Halaman ini bukan sengaja dikosongkan

20 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No.1, Januari-Juni 2012


TRADISI BERFILSAFAT DALAM KARYA
SASTRA PESANTRAN
(Kajian Filologis Atas Naskah Dewi Maleka)
Nur Said
Dosen STAIN Kudus
Email: nursaid@ymail.com

ABSTRACT

Pesantren (Islamic boarding school) with a strong tradition


often get this claim as a conservative institution, traditional,
and as far from the ratio so counter to the philosophy. This short
paper will try to discuss a number of markers that boarding
schools are also familiar with the problems of philosophical
discourse as expressed in the ancient manuscript Dewi
Maleka known as part of the Islamic literary of pesantern.
This article discusses only two issues: (1) The description
of Dewi Maleka manuscript in terms of its codicology?; (2)
What kind of philisophical values in the content of of Dewi
Maleka manuscript? The paper was analysed by philological
approach through many steps: (a) Inventory of manuscripts
for consideration in the determination of the manuscript,
(b) Creating a text description in the frame of codicology, (c)
study of the text that relefan to the current social context,
will be a concern in the process. This paper concludes: (1)
The Dewi Maleka manuscript is part of pesantren literature
that containing moral teachings and wisdom of life in Islamic
nuances. Therefore it can be used as an alternative to the basic
framework of the development of Islamic philosophy; (2) The
philosophical discourse often seems a bit complicated and
heavy, but through the Dewi Maleka manuscript, life wisdom
teachings delivered through dialogue, full of touching
stories, entertaining and not patronizing, (3) The stories
that illustrated in the Dewi Maleka manuscript also can be
used as an alternative children’s moral education, so that the
moral values of life can be internalized into one’s personal

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 21


with no coercion (doctrinal), but rather with awareness
(conscientization) in the form of stories.
Keywords: Dewi Maleka Manuscript, Pesantren literature,
Pholosophicl Tradition

A. Pendahuluan
Pesantren dikenal sebagai institusi transmisi Islam yang
paling tua di Jawa sudah tidak asing lagi. Keberadaannya telah
membawa transformasi sosial baik di lingkungan umat Islam sendiri
maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Para kyai sebagai figur
kunci dalam pesantren juga telah memberikan kontribusi yang tidak
sedikit dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh para
kyai pengasuh pesantren di Jawa seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan
Kyai Abdul Wahab Hasbullah Jombang, Kyai Bisyri Syansur dari Tayu,
Kyai Raden Asnawi dari Kudus dan sejumlah kyai liannya adalah
bukti kongrit upaya para kyai pesantren untuk menggerakkan
umat agar lebih beradab (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 178-221).
Pesantren di tengah kolonialisme Belanda juga telah menjadi basis
perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan sehingga atas
parakarsa para intelektual pesantren telah mendorong terjadinya
pergeseran teologi Islam di Indonesia. Hal ini bisa dicermati dengan
munculnya teologi kebangsaan pada saat bangsa Indonesia sedang
dihadapkan perjuangan yang masih sporadis sehingga kurang
mampu memukul mundur penjajah saat itu.
Namun ketika teologi kebangsaan mulai dirajut oleh para
santri muda di bawah doktrin hubbul wathān min al īmān tanpa
memandang latar belakang budaya dan agama, spirit Islam
untuk melawan penjajah semakin menemukan momentumnya.
Perlawanan terhadap penjajah mulai menyatu dan memposisikan
penjejah sebagai lawan bersama yang harus dienyahkan dari muka
bumi. Hal ini diperkuat dengan beredarnya kitab yang provokatif
Fadhā’il al-Jihād (Keutamaan Jihad), yang dimotori oleh Syekh
Abd al Shomad al-Palimbani, seorang ulama dan pemikir tasawuf
yang beraliran al Ghozaly (Nur Said, 2005: 34-49). Kitab ini telah
membawa pengaruh yang cukup besar bagi kaum Muslim secara luas
karena sengaja ditulis dengan bahasa Arab. Terdiri atas tujuh bab,

22 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


yang menguraikan keutamaan-keutamaan perang suci menurut Al
Qur’an dan Hadits. Buku ini diakhiri dengan doa pendek yang akan
membuat kaum mujāhidīn kebal tak terkalahkan (Azyumardi Azra,
1999: 282-292). Maka dengan semangat jihad fī sabīlillāh akhirnya
penjajah berhasil terusir dibumi nusantara hingga mengantarkan
bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Illustrasi di atas
hanyalah sedikit gambaran betapa pesantrean telah meletakkan
landasan tradisi menulis yang cukup kuat bahkan mampu
memberikan inspirasi bagi para pembacanya untuk membakar
spirit perjuangan.
Pesantren dengan kyainya juga telah dikenal sebagai
pialang budaya (cultural broker) sehingga selalu mampu bertahan
meski di tengah derasnya benturan arus modernitas, sehingga Gus
Dur menyebut pesantren sebagai sub-kultur. Sebuah sub-kultur
akan memiliki pola-pola reproduksi dan resistensi budaya yang
kuat melekat pada pesantren. Salah satu polanya yang khas adalah
dialektika antara tiga elemen penting dari pesantren yaitu: kyai,
kitab kuning, dan santri.
Sebagian besar kitab kuning yang dikaji di pesantren berisi
tentang bermacam-macam fiqh, ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf,
balaghah), tauhid, tasawuf, Al Qur’an dan Hadits. Maka kultur santri
yang menonjol sebagai fuqohā (ahli feqh) dan sufi (ahli tasawuf).
Filsafat di kalangan pesantren masih sangat tabu dan asing. Para
kyai yang dikenal ketat (wirā’i) bahkan sampai mengharamkannya,
bahkan mereka yang mengkaji filsafat digolongkan sebagai
mu’tazilah yang dikecam sebagai “pembangkang” Islam. Tabunya
filsafat di pesantren juga tak lepas dari perdebatan Al Ghazaly
sebagai representasi dari ahlussunnah waljamā’ah dan Ibnu Rush
sebagai representasi dari filosof muslim.
Konflik antara Al Ghazaly dengan Ibnu Rush ini seringkali
dijadikan legitimasi di kalangan pesantren bahwa Al Ghazaly
adalah menolak filsafat secara total. Padahal kalau direnungkan
secara mendalam fenomena tersebut justru menunjukkan
bahwa Al Ghazaly adalah seorang filosof. Al Ghazaly tidak akan
mampu berdebat dengat Ibnu Rush kalau tidak dibarengi dengan
pendekatan filsafat yang mumpuni karena materi perdebatannya
juga terkait dengan problem filsafat seperti tentang alam semesta,
jiwa dan raga, hingga konsep Al Qur’an.

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 23


Bahkan Al Ghazaly telah memberi teladan kepada umat Islam
bagaimana berpolemik secara santun dan ilmiah. Kitab Al Ghazaly
Tahāfut al Falāsifah adalah karya nyata hasil polemik dengan Ibnu
Rush ketika berargumentasi tentang kerancuan dari pemikiran
filosof. Al Ghozaly tidak dengan “debat kusir” yang tak berujung
dalam menolak pemikiran filsafat Ibnu Rush, tetapi dengan menulis
kitab yang menghasilkan naskah yang hidup hingga sekarang.
Demikianlah, naskah telah memberikan bukti kepada
generasi berikutnya bahwa para tokoh Islam panutan bersikap bijak
dalam menghadapai perbedaan pendapat (khilafiyah) di bidang
filsafat ataupun di bidanag yang lainnya. Demikian juga yang terjadi
dalam dunia feqh sehingga di kalangan Ahlussunah waljamā’ah
mengenal empat madzhab besar; Malikiyyah, Syafi’iyyah,
Khambaliyyah dan Khanafiyyah. Tradisi mengkaji feqh adalah yang
paling menonjol di pesantren, beda sekali dengan wilayah filsafat.
Sulit bisa menemukan ruang di pesantren untuk mengkaji wacana
filsafat. Filsafat nyaris terabaikan dalam dunia pesantren. Padahal
kalau merunut sejarah panjang pergulatan Islam dan tradisi, cukup
banyak naskah-naskah klasik yang substansi bahasannya bernuansa
satrawi dan sekaligus filosofis. Hal ini antara lain tercermin dalam
naskah Maleka Dewi yang akan menjadi pokok bahasan paper ini.
Menurut Poerbatjaraka sebagaimana dikutip oleh Pudji Astuti
naskah Maleka Dewi termasuk naskah sastra pesantren (Titik
Pujiastuti, 2006: 90-91).
Agar tulisan ini tak terlalu melebar maka kajian ini hanya
menfokuskan pada dua persoalan: P ertama, bagaimana deskripsi
naskah Maleka Dewi ditinjau dari kodikologinya? Kedua, bagaimana
nilai-nilai falsafati dalam naskah Maleka Dewi? Dalam proses
penulisannya, paper ini menggunakan pendekatan filologis, karena
itu tahapan riset filologi yang meliput: (1) Inventarisasi naskah
sebagai pertimbangan dalam penentuan naskah, (2) Membuat
deskripsi naskah dalam bingkai kodikologi, (3) Edisi teks, dan (4)
Kajian terhadap teks yang relefan bagi konteks sosial terkini, akan
menjadi perhatian dalam prosesnya (Titik Pudjiastuti, 2006; 161).
Namun karena singkatnya tulisan, paper ini tidak melakukan edisi
teks, tetapi hanya mengutip beberapa teks yang sudah ditransliterasi
yang isinya relefan dengan tema bahasan.

24 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


B. Deskripsi Naskah
Naskah Dewi Maleka yang penulis teliti adalah naskah yang
terdapat pada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI)
dengan kode BR.No.16. Menurut katalog Pigeaud seperti dikutip
oleh Titik Pujiastuti naskah Dewi Maleka juga terdapat pada di
Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteits-Bibliotheek)
dengan nomor Lor 7562 yang merupakan salinan dari naskah
Priangan yang ditulis pada 1866 A.D. Pigeaud mengelompkkan
cerita naskah Dewi Maleka ke dalam sastra didaktik yang mendapat
pengaruh Islam bahkan banyak diantaranya berupa ajaran mistik
berupa suluk (Titik Pujiastuti, 2006: 90-91).
Naskah Dewi Maleka dengan kode Br 16 merupakan koleksi
J. L. Brandes (Behrend, 1998). Teksnya ditulis dengan aksara Arab
(pegon) dalam Bahasa Jawa. Naskah yang berukuran 21 x 16 cm
tersebut memiliki bingkai baca dalam bentuk garis dobel warna
hitam berukuran 16 X 12 cm. Teks tertulis dengan tinta warna
hitam setebal 95 halaman dengan perincian, halaman pertama dan
kedua tediri dari 10 baris, halaman 1 - 94 terdiri dari 12 baris dan
pada halaman 95 terdiri 12 baris dengan ukuran teks perhalaman
rata-rata 14 x 11,7 cm.
Teks tersusun dalam bentuk tembang macapat (puisi klasik
Jawa) yang terdiri dari 6 pupuh (bab), yaitu; Asmarandana, Pangkur,
Dhanddanggula, Srinata, Asmarandana, dan Dhanddanggula. Tiap
lembar terdapat nomor halaman yang terletak pada sudut pias
atas kiri dan kanan menggunakan angka Arab. Di halaman pertama
dan kedua bagian atas terdapat illuatrasi berupa gambar kubah
masjid dengan ornamin bunga teratai di dalamnya. Disamping kiri
dan kanan kubah terdapat terlukis gambar bunga dengan motif
tanaman sulur.
Ciri lain yang bisa dikenali adalah setiap ganti pupuh diberi
tanda dengan tinta merah (rubrikasi) dengan dilengkapi juga
custode (kata penjaga) sehingga kesinambungan teks lebih terjaga.
Jenis kertas nahkah tersebut tidak bisa diketahui secara pasti tidak
ada watermark, chain line maupun laid lines, namun pada halaman
pelindung terdapat tanda cap bertuliskan gouvernementseigendom.
Naskah dijilid dengan isolasi warna hitam dengan sampul berupa
kertas tebal (hard cover) warna coklat dan menunjukkan sampul
hanyalah sampul penjaga bukan bukan sampul aslinya.

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 25


Kondisi umum naskah masih baik, teks bisa dibaca dengan
jelas meskipun ada beberapa halaman hampir terlepas. Dalam teks
terdapat tanda ‫( ﺀ‬hamzah) terlingkari dengan tinta merah sebagai
tanda bahwa satu baris macapat berhenti. Di tiap pinggir halaman
terdapat angka angka yang menunjukkan nomor dari tiap pada
(bait) dalam tembang. Menurut Wieringa (1998) seperti dikutip
oleh Zakiyah cerita Dewi Maleka merupakan transplantasi dari
buku tentang seribu pertanyaan untuk tanah Jawa, yang didasarkan
pada sumber-sumber Persia ataupun sumber sumber Perso-Urdu
(Zakiyah, 2007; 5).

C. Naskah Dewi Maleka Sebagai Sastra Pesantren


Sejarah panjang pesantren di Jawa telah membawa
perubahan dan pergeseran sosial yang cukup signifikan bagi
masyarakat agama dalam segala aspeknya. Maka cukup beralasan
kalau banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa pesantren sebagai
lembaga pendidikan,dakwah, dan agen pembangunan masyarakat
yang berbasis pada wawasan dan wacana keislaman. Pada posisi
seperti ini Azyumardi tidaklah berlebihan menyatakan bahwa:
“Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren
diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat
pada masyarakat itu sendiri (people-entered development)
dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan
yang berorientasi pada nilai (value-oriented development)…
Pesantren dengan kyainya memainkan peran sebagai “cultural
brokers” (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya”
(Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”
dalam Nurcholish Madjid, 1997; xxv-xxvi)
Penilaian Azyumardai tersebut sekaligus mendukung tesis
Gus Dur yang menyebut pesantren sebagai sub-kultur. Setidaknya
ada beberapa unsur yang menguatkan pesantren sebagai sub-kultur
yaitu; (1) tradisi kehidupan yang jelas khas/unik, berbeda dengan
kehidupan di luar pesantren, misalnya model pendidikan Islam yang
turun menurun dengan metode badongan, sorogan dan wetonan, (2)
ruang pendukung yang khas di pesantren berupa asrama, masjid
dan dalem kyai sehingga interaksi tiga elemen pesantren antara
kyai, santri dan kitab kuning berjalan secara intensif sehingga
memungkinkan terjadinya proses pembentukan tata nilai sebagai

26 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


way of life di pesantren, (3) Kuatnya sistem “barokah”, yaitu sebuah
kesadaran spiritual terhadap dampak khidmah (pengabdian)
dan ketaatan terhadap kyai aka membuahkan efek positif bagi
tercapainya cita-cita santri. Karena itu jalan sufistik di kalangan
pesantren berkembang dengan baik, (4) terbangunnya komunikasi
produktif antara pesantren dengan masyarakat sekitar sehingga
dalam dialektikanya akan melahirkan tata nilai Islami pada
masyarakat tersebut; (5) adanya teknologi disiplin yang kuat di
pesantren dengan dukungan kharisma kyai yang kuat, pengatuaran
struktur ruang yang terkendali serta tata aturan yang ketat dan
terkontrol (Nur Said, 2006).
Keunikan sub-kultur di pesantren seperti itu bukan
berarti pesantren anti perubahan, tetapi tetap terbuka menerima
perubahan meski dengan selektif dengan prinsip; al muhāfadhah
‘alal qo dīmi al shāleh wa al akhdzu bi aljadīdi al ashlah. Dengan
prinsip ini pesantren akan tetap memelihara nilai-nilai lama yang
baik dan melestarikan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Bahkan kecenderungan pesantren yang menekankan aspek
terjemahan dengan metode halaqoh (badongan, sorogan dan juga
wetonan) dengan sistem makna gandul (jenggot) ke dalam bahasa
Jawa dari beberapa kitab berbahasa Arab, hal ini mendorong
sebagian santri menungakan kembali hasil renungannya dalam
bentuk nadhom puji-pujian dalam bahasa Jawa baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan. Hal ini telah melahirkan sejumlah karya
sastra yang beragam di berbagai pesantren (Edi Sedyowati, dkk,
eds, 2001: hal. 111-113).
Maka kalau pada awalnya pesantren justru memiliki tradisi
membaca dan menulis yang sangat kuat terutama di bidang sastra,
sampai sekarang pun berbagai puji-pujian yang dilantunkan
menjelang shalat jamaah di masjid-masjid atau di jam’iyyah-
jam’iyyah dan masjlis taklim sangat berbau sastra dan sangat
memperhatikan sajak. Sehingga di lingkungan pesantrenlah
justru karya sastra Islam menjadi hidup karena sering dibaca dan
dilantunkan mengiringi shalawat Nabi. Tentu masih sering kita
dengar syair berikut:
“Eman temen wong ganteng ora sembanyyang/Nabu Yusuf
luwih ganteng tur sembahyang// Iman temen wong ayu ora
sembahyang/Siti Zulaikha lueih ayu tur sembahyang/…

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 27


Gusti kanjeng Nabi lahire ana ing Mekkah/dinten isnen
rolas maulud tahun gajah/…”

Syair-syair sejenis itu masih sangat bertebaran di kalangan


santri, dan memang dalam banyak kasus belum terbukukan dengan
baik bahkan tidak diketahui siapa pengarangnya. Namun masih bisa
ditemukan beberapa karya sastra pesantren yang berhasil ditulis
meski dengan sangat sederhana. Misalnya naskah Sya’ir Kiamat
Thaba’ul Khoir yang dikarang Kyai Soemardi, seorang ulama dari
kampung Kauman-Kudus sempat juga penulis temukan di PNRI.
Syair tersebut juga ditulis dalam bentuk sajak pendek mengupas
tentang rahasia hari kiamat. Misalnya ketika mendeskripsikan
betapa dahsyatnya hari kiamat, Kyai Soemardi menuliskan sebagai
berikut:
“Allah Ta’ala anekaaken/ Sedaya makhluk denkumpulaken//
Makhloek kang kuno lan makhluk kang akhir/ pada kumpulan
ing dina akhir// Ing arah boemi kang banget panase/ kabeh
makhluk pileng endase// Srengenge adoh den gawe perak/
temboes ing goeloe iku genine//” (Soemardi, 1347 H.)
Sastra pesantren yang menonjol sebagaiman juga contoh di
atas banyak berisi tentang ajaran moral, tauhid, tasawuf dan juga
filsafat hidup. Namun materi tentang filsafat di kalangan pesantren
tampaknya memang kurang begitu ditonjolkan, meskipun
sebenarnya bisa kita temukan sejumlah naskah sastra pesantren
yang berorientasi filsafat meski masih sangat terbatas. Dari yang
terbatas tersebut tanpaknya naskah Dewi Maleka justru lebih kental
nuansa filsafatnya. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai dialog yang
menjurus pada berbagai pertanyaan yang membutuhkan jawaban
mendasar/mengakar dan radikal berkaitan dengan asal-usul alam
(kosmologi), tujuan hidup (teleologis), penegahuan tentang realitas
(epistemologi), amal baik dan buruk (aksiologis) dan seterusnya.
Karena muatan isinya yang unik dan filosofis tersebutlah,
penulis merasa penting mengaktualkan kembali dan sekaligus
mengukuhkan bahwa wacana filsafat di dunia (sastra) pesantren
sebenarnya juga ada akarnya, hanya saja belum dikembangkan
dengan baik sehingga terkesan terabaikan.

28 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


D. Dimensi Filsafat Muatan Teks Dewi Maleka

Salah satu daya tarik muatan cerita Dewi Maleka gaya


penulisannya yang naratif-dialogis sehingga tak ada kesan
menggurui sama sekali. Dewi Maleka sebagai teks menjadi bebas
ditafsirkan oleh pembaca. Apalagi teks ini juga tidak diketahui secara
pasti pengarangnya. Bahkan meskipun diketahui pengarangnya
bagi Roland Barthes, seorang pakar semiotok, sesungguhnya
pengarang sudah tidak lagi mempunyai tempat lagi bagi seoarang
author, yaitu pihak atau lembaga yang dianggap memiliki otoritas
dalam menentukan makna final (paling otentik). Dalam hal ini teks
sudah tidak lagi membutuhkan otoritas (authority) karena makna
final tidak dibutuhkan lagi. Maka sebagai institusi, sesungguhnya
“pengarang” telah mati (as institution, the author is dead) (Roland
Barthes, 1975: 27). Demikain juga dengan kehadiran teks dalam
naskah Dewi Maleka ini.
Cerita Dewi Maleka berawal dari kehadairan Raja Rum yang
bernama Maharaja Sarialam yang memiliki seorang putri yang
dikenal dengan cantik-menawan, adil, bijaksana dan shalehah.
“dewi maleka namaknya ‫ ﺀ‬wongayu madeyo utomo ‫ ﺀ‬awas
barangkaryane ‫ ﺀ‬atetep ngibadahe ‫ ﺀ‬sabar kalih wicaksono
‫ ﺀ‬abangkit ing barang ngilmu ‫ ﺀ‬usul suluk jawa arab»
(asmarandana) ‫ﺀ‬

kawiryan wibowo mukti ‫ ﺀ‬sasedayan ingkang romo ‫ ﺀ‬sang soyo


wuh baktine ‫ ﺀ‬wong ayu tanpo tanding ‫ ﺀ‬serpati yen ngendiko
‫ ﺀ‬piniharso manis arum ‫ ﺀ‬kadingalapeno jiwo» (Transliterasi
Zakiyah, 2007).

Ketika baginda raja tersebut wafat Dewi Maleka


menggantikannya sebagai ratu. Rakyat dan para menteri pun
sangat mendukung, menghormati dan sayang kepadanya. Namun
yang menjadi keprihatinan punggawa, rakyat dan juga orang-
orang sekelilingnya adalah karena Sang Ratu belum bekenan
untuk menikah, padahal sudah banyak “sang Arjuna” yang sudah
mengajukan lamarannya. Keadaan ini menjadikan Sang Ratu Dewi
Maleka (baca; Sang Dewi) menjadi bahan pembicaraan di sekitar
istana.

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 29


Mendengar hal ini lalu Sang Dewi memanggil patih dan
menterinya agar mereka semua bisa mendengarkan mengapa alasan
Sang Dewi belum juga mau menikah. Di hadapan mereka Sang Dewi
menjelaskan bahwa bukan berarti beliau tidak mau menikah, tetapi
beliau hanya mau menikah kepada orang yang bukan saja pandai
dan bijaksana tetapi juga harus shaleh dan berkepribadian baik.
Dengan pertimbangan itu, maka Sang Dewi membuka sayembara,
siapa saja asalkan lelaki sudah dewasa dan mampu menjawab
dengan tepat dan masuk akal atas 100 pertanyaannya, maka ia
berhak mengawini Sang Dewi dan bahkan mendapatkan kerajaan
Rum. Namun apabila tidak mampu menjawabnya maka ia akan
mendapatkan hukum pancung.
Sayembara tersebut akhirnya disebarluaskan ke berbagai
daerah hingga ke pelosok negeri bahkan sampai terdengar di negeri
tetangga Mesir. Sampailah berita sayembara ini kepada sosok santri
muda dari daerah Turkustan, Mesir. Dia dikenal sosok pemuada
yang tampan dan berbudi baik, yaitu Abdul Ngalim. Ngalim begitu
mendengar sayembara tersebut langsung sangat tergerak untuk
mengikutinya. Maka Sang Ngalim yang sebenarnya Pangeran
Turkustan tersebut langsung berangkat ke Rum untuk menghadap
Sang Dewi. Begitu sampai di Rum Sang Ngalim melalui Ki Patih
dipertemukan dengan Sang Dewi. Begitu ketemu tampaknya Sang
Dewi langsung menaruh hati dan terkesan dengan Sang Ngalim.
Namun karena konsistensi Sang Dewi akhirnya Sang Ngalim tetap
diperlakukan sebagaimana peserta sayembara yang lainnya (Pupuh
satu).
Maka mulailah tanya jawab sebanyak 100 pertanyaan itu
berlangsung dengan berbagai masalah yang sangat rumit dan
membutuhkan nalar yang masalah yang dipertanyakan dalam
seratus pertanyaan termasuk masalah yang sangat berkaitan erat
dengan problem filsaat, yaitu antara lain:
1. Masalah Kosmologi
Kosmologi dalam filsafat merupakan ilmu (logos) tentang
asal-usul dan struktur alam semesta. Seluk beluk pertanyaan
mendasar tentang alam semesta sebagai suatu sistem yang
rasional merupakan bagian dari bahasan kosmologi dalam filsafat.
Terkadang kosmologi juga disepadankan dengan kosmogoni yaitu

30 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


teori tentang asal muasal alam semesta (Lorens Bagus, 1996:
499). Masalah kosmologi merupakan problem pertama-tama yang
muncul dalam filsafat Yunani. Ternyata hal ini juga menjadi materi
penting yang dipertanyakan oleh Sang Dewi. Beberapa dialog antara
Sang Dewi dengan Sang Ngalim yang menyangkut kosmologi anta
lain (Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):
a. Apa yang lebih dulu dijadikan Tuhan? Huruf Kaf dan Nun
yaitu Kun fayakun.
b. Darimana asalmu? Jawab: dari Bapak ketika menetes (dan)
berada di air (saking labete bapa duk tumetes dumunung
aneng ing banyu).
c. Apa yang dijadikan lebih dulu kelak? Jawab: khalaqnahu
minannar (Pupuh 2).
d. Berapa jumlah unsur yang menjadikan manusia? Jawab:
enam belas, yaitu: yang dari Allah: roh, nafas, budi, iman.
Yang menurut kitab Topah: pendengaran, penglihatan,
pengabu (?), dan pengeras. Yang dari ayah; tulang, otot,
kulit, dan otak. Yang dari ibu; daging, darah, isi perut, dan
sumsum (Pupuh 5).

Dengan mencermati dialog di atas, kita akan menemukan


asal-usul “alam besar” yaitu semesta raya dan “alam kecil” yaitu
manusia. Keberadaan alam semesta ini tak lepas dari campur tangan
“The Real” yang benar-benar Ada dan Mengada. Ada (wujud) pada
dirinya sendiri dan Mengada menjadikan segalanya yang awalnya
belum ada menjadi ada. Penetapan kun fayakun (jadilah, maka jadi)
adalah sebentuk penyadaran adanya sabda Tuhan di balik segala
kejadian. Maka hal ini sekaligus menandaskan bahwa causa prima
(sebab dari segala sebab) adalah yang benar-benar “Real”, yaitu
Tuhan (baca: Allah).
Namun dalam dialog tersebut juga menunjukkan pentingnya
proses dalam setiap kejadian, termasuk dalam kejadian manusia.
Misalnya jawaban atas asal manusia, disitu dijelaskan dengan
singkat; “dari Bapak ketika menetes (dan) berada di air”. Secara
implisit dalam perkembangan ilmu biologi hal tersebut adalah suatu
proses reproduksi dan pembuahan yang terjadi antara sperma dan
sel telur. Bahkan secara lebih rinci juga dijelaskan dalam dialog
bagian akhir bahwa unsur pembentuk manusia ada enam belas

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 31


yang terpetakan menjadi tiga sumber yakni dari Allah, bapak, dan
ibu. Artinya dialog tersebut memberikan penegasan bahwa proses
ilmiah dalam kejadian manusia itu ada yaitu unsur dari ayah dan
ibu, namun dengan tidak menafikan asepek yang transenden yaitu
Allah.
2. Masalah Ontologi:
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
hakekat ada (wujud dan maujud). Ontologi akan mengulas ciri-
ciri esensial dari “Yang Ada” dalam dirinya sendiri. Ontologi juga
menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti yang luas dengan
menggunakan kategori-kategori seperti; ada/menjadi, aktualitas/
potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/
noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada,
ketergantugan pada diri sendiri, hal-hal yang terakhir, dasar (Lorens
Bagus, 1996: 746). Beberapa masalah ontologis yang disinggung
dalam dialog antara Sang Dewi dengan Sang Ngalim antara lain
(Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):
a. Amal apa yang paling baik bagi kita? Jawab: yang berasal
dari hati.
b. Apa yang disebut tunggal? Jawab: Allah
c. Apa yang disebut empat jisim? Jawab: api, angin, tanah, dan
air.
d. Amal yang bagaimana yang baik? Jawab: amal yang
memancar cahayanya, yaitu malaikat.
e. Apa kepala iman, hatinya, badannya, cahanya,
kegelapannya, manisnya, hikmahnya, syariatnya, benihnya,
akarnya, rumahnya, daunnya, kulitnya, tujuannya, dan
pekerjaannya? Jawab: kepala iman adalah la ilaha illallāh,
Muhammadarrarsūlullāh, membaca Al Qur’an adalah hatinya,
banyak berdzikir adalah badannya, cahaya iman adalah hati
yang bersih dan ucapan yang jujur, gelapnya iman adalah
hati yang ingkar, manisnya iman adalah hati yang tulus suci,
pohon iman adalah zakat fitrah, hikmah iman adalah takut
kepada Allah yang artinya menjalankan perintah yang fardlu
dan sunnah, syariat iman adalah menghalalkan yang halal
dan mengharamkan yang haram, benih iman adalah ilmu,
rumah iman adalah bakti, daun iman adalah menghadap

32 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Allah, kulit iman adalah malu kepada Allah Yang Maha Suci,
otak iman adalah doa, akar iman adalah hati yang ikhlas
hanya kepada Allah, rumah iman adalah hati mukmin, dan
nyawa iman adalah sembahyang sunah (Pupuh 2 dan 3).
Mencermati kutipan dialog di atas setidaknya ada tiga
problem ontologis yang setidaknya mendapatkan ulasan yang bisa
diterima nalar. Pertama adalah hakekat amal yang baik, yakni amal
yang benar-benar tulus berangkat dari kesadaran hati yang (ikhlas).
Dengan demikian amal yang sesungguhnya bermakna adalah amal
yang sedari awal memiliki niat yang tulus-ikhlas. Sehingga tidak
karena riya, terpaksa atau karena supaya dianggap wah. Dan perlu
diingat tempat bersemayamnya niat adalah ada di hati. Maka ulasan
amal yang baik adalah amal yang dari hati bisa dimaknai amal yang
dilandasi niat yang tulus dan ikhlas. Amal yang seperti inilah yang
akan tetap memancarkan cahaya bagai malaikat.
Masalah ontologis kedua adalah tentang hakekat yang tunggal.
Problem ini sebenarnya sebuah pertanyaan yang pada akhirnya
memasuki wilayah yang transenden dan sekaligus memberikan
suatu penegasan Yang Tunggal hanyalah Sang Pencipta, yaitu Allah.
Di semesta ini hanya satu sumber otoritas yang paling Mutlak
karenanya Yang Tunggal tersebut akan bebas sebebasnya untuk
menciptakan yang mungkin ataupun meninggalkannya (fi’lu kulli
mumkinin au tarkuhu). Masalah ini sekaligus mengajak pembaca
untuk memasuki wilayah tauhid sebagai the core of Islam.
Masalah ontologis ketiga hakekat iman. Pada saat orang
dibingungkan dengan problem iman yang hakiki, Naskah Dewi
Maleka memberikan ulasan iman dengan pendekatan rasional yang
cukup menarik. Di situ dijelaskan hakekat iman adalah kalimah
tauhid, sebuah pengakuan jalan hidup hanya dari Allah dan
menuju Allah, serta kesadaran bahwa Nabi SAW adalah utusannya.
Disamping itu iman juga harus dibarengi dengan kemauan menelaah
dan menyerap muatan Al Qur’an sumber risalah Nabi yang paling
otentik dan terjaga kesuciannya. Iman juga harus ada kemauan
menjaga hati agar tetap bercahaya diisi dengan dzikir dan pikir
yang produktif. Dengan iman manusia akan terdorong untuk amar
ma ‘rūf nahi munkar (humanisasi, liberasi dan transensensi). Yang
tak kalah menarik iman juga ditandai dengan cintai kepada ilmu,

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 33


semangat pengabdian dan solidaritas sosial, serta kemauan untuk
berdoa dan berusaha.
Kalau selama ini iman cenderung dipahami secara pasif
sebagai kata benda hanya percaya dan meyakini, ternyata konsep
iman menurut Sang Ngalim tersebut harus dibarengi dengan proses
aktif dan kreatif sehingga membuahkan hal-hal baru yang lebih
produktif dan memiliki nilai kemaslahatan bagi umat manusia.
3. Masalah Epistemologi:
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mebicarakan
tentang sumber-sumber, batas-batas dan verifikasi (pemeriksaan
nilai kebenaran) ilmu pengetahuan (Haidar Baqir, 2006: 13). Maka
sering juga disebut dengan teori pengatahuan, karena ia merupakan
pengetahuan tentang pengetahuan (Lorens Bagus, 1996: 212).
Masalah epistemologi yang disinggung dalam tanya jawab Sang
Dewi dan Sang Ngalim antara lain (Transliterasi Titik Pujiastuti,
2006):
a. Di mana ‘tempat aksara (buku) tanpa tulisan’? Jawab:
penglihatan orang cerdik pandai atau para wali.
b. Apa arti ‘dian yang menyala tanpa api, tanpa minyak dan
tanpa sumbu’? Jawab: sumbunya adalah dzat Allah.
c. Apa yang dimaksud ‘daun hijau selamanya’? Jawan: hidup
manusia yang sejati.
d. Jelaskan mengapa ada tanggal satu, bulan purnama, dan
gerhana, apakah yang disebut arasy kursi? Jawab: semuanya
penghulu surga dijaga oleh malaikat. Adapun matahari itu
besarnya 360 hari, tempatnya di langit keempat. Di dalam
matahari terdapat sebuah pedati. Pedati itu memiliki
telinga yang jumlahnya 360, setiap telinga mempunyai dada
360. Setiap dada pedati ditarik 360 malaikat. Jika matahari
sedang gerhana, itu tanda sedang masuk ke bahrut, karena
malaikatnya terperosok jalannya ke lautan zat. Sebab ketika
sedang berjalan mata mereka melihat orang di dunia yang
durhaka kepada Allah, mereka kasihan dan memohonkan
ampun kepada Allah. Adapun besarnya bulan adalah 60
dunia, tempatnya di langit yang pertama. Sesunggunya ia
tak mau sujud kepada Allah, ia bisa besar dan kecil karena
dihukum Allah.

34 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Kutipan dialog di atas memberikan landasan epistemologis
berkaitan tentang pengetahuan kita tentang wali, dzat Allah, hidup
sejati dan kejadian berubahnya tanggal pada bulan, dan bulan
pada tahun. Wali termasuk di dalamnya para cerdik pandai itu
bagaikan buku yang tanpa aksara, sehingga siapapun yang ingin
mengembangkan ilmu dan membuka cakrawala dunia maka harus
dekat-dekat dengan buku, karena buku adalah jendela dunia. Dan
salah satu buku yang unik adalah buku yang tanpa teks (aksara), yaitu
para wali dan cerdik pandai. Maka pesan yang ingin dimunculkan
adalah cintailah buku, agar terjauh dari kebodohan dan kesesatan.
Kemudian tentang Dzat Allah, meskipun dalam Islam
ada pesan yang terkenal tafakkaru fi khalqillah wala tafakkaru fi
dzatillah, yaitu cukuplah manusia berfikir pada ciptaanNya saja,
jangan sampai berfikir pada DzatNya. Namun dialog tersebut
memberikan gambaran Dzat Allah tidak dengan definitf karena
memang tidak bisa didefinisikan, namun kekuatan Dzat Allah
digambarkan mampu menyalakan api, tanpa minyak dan tanpa
sumbu. Maka pembaca melalui dialog tersebut diajak untuk
berkontemplasi spiritual betapa dahsyatnya kekuatan dan
kekuasaan Sang Pencipta. Selanjutnya diserahkan pembaca untuk
mencerapnya sesuai dengan pengalaman spiritualnya masing-
masing yang sangat personal.
Di dalam dialog tersebut di atas juga disinggung bagaimana
memahami orang yang mencapai hidup sejati. Hidup sejati
digambarkan sebagai hidup yang istiqomah (dalam merawat
imannya) yang diandaikan bagai daun hijau yang tetap hijau.
Tidak gambang dipengaruhi kelompok akidah/ideologi di luar
Islam. Hidup yang istiqomah adalah hidup yang memiliki prinsip
sebagaimana Islam memiliki 5 pilar rukun Islam dan 6 rukum iman,
bagaimana hal ini istiqomah dijalankan dan diresapi baik secara
lahir maupun batin sehingga mampu melahirkan character building
dalam dirinya.
Kemudian yang terakhir terkait tentang terjadinya
perubahan pada bulan mulai tanggal satu, bulan purnama hingga
terjadinya gerhana bulan, fenomena tersebut tak lepas dari kejadian
yang ada di dunia, termasuk ambruknya tatanan moral yang terjadi
dalam kehidupan manusia, durhaka kepada Allah. Misalnuya
terjadinya gerhana juga tak lepas dari perilaku manusia yang lalai,

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 35


termasuk lalai karena tidak peduli terhadap lingkungan, sehingga
malaikat prihatin dengan kejadiannya itu, sampai-sampai malaikat
juga memintakan ampun kepada Allah. Namun Allah memberinya
peringatan dengan hadirnya ketidakstabilan struktur dan posisi
bulan. Dampaknya tatanan struktur alam yang tidak sempurna
sehingga gerhana terjadi karean yang “tidak sujud”. Sedikit saja
alam tidak menjalankan tugasnya sesuai hukum alam, maka
bencana akan terjadi, termasuk bencana banjir yang akhir-akhir
ini sering terjadi, akibat faktor keseimbangan alam yang samakin
tidak diperhatikan.
4. Masalah Aksiologi:
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan
analisis nilai-nilai yang mencakup arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria
dan status epistemologi dari nilai-nilai. Karenanya aksiologi
merupakan studi filosofis tentang hakekat nilai-nilai. Paradigma
ini berangkat dari asumsi bahwa nilai-nilai merupakan esensi-
esensi logis dan dapat diketahui melalui akal (Lorens Bagus, 1996:
212). Dimensi aksiologis dalam muatan teks Dewi Maleka dapat
ditemukan dalam tanya-jawab berikut:
a. Apa yang ‘sangat buruk’? Jawab: menyekutukan Allah.
b. Apakah yang ‘sangat baik’? Jawab: orang yang langgeng
imannya kepada Allah.
c. Apa yang ‘sangat pahit’ dan apa yang ‘paling manis’? Jawab:
yang sangat pahit adalah hati orang miskin, sedangkan yang
manis adalah hati orang kaya.
d. ‘Desa manakah yang terindah’? Jawab: desa yang terindah
adalah akhirat.
e. ‘Desa manakah yang paling buruk’? Jawab: desa yang paling
buruk adalah dunia.
f. Apa yang lebih berat dari gunung? Jawab: kata-kata yang
baik, yang setiap kalimat menyebut Allah.
g. ‘Gelap lebih dari malam, terang lebih dari siang,’ apakah itu?
Jawab: yang gelap dari malam adalah orang yang tak tahu
syara’ dan yang terang dari siang hati orang yang sudah
alim.
h. Apa yang ‘lebih dingin’ dari air dan ‘lebih keras dari batu’?
Jawab: yang lebih dingin dari air adalah hati orang yang

36 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


sabar, dan yang lebih keras dari batu adalah hati orang
kafir.
i. Apa yang ‘lebih berat dari gunung’ dan ‘yang tajam lebih
dari keris’? Jawab: ‘yang lebih berat’ dari gunung adalah
orang yang sopan santun terhadap sesama dan ‘lebih tajam’
dari keris adalah hati para pendeta dan ulama yang arif.

Sangat jelas sekali kutipan di atas memberikan gambaran


hakekat nilai-nilai baik dan buruk (etika) yang bisa dijadika rujukan
dalam beretika. Nilai-nilai baik dan buruk yang menempati urutan
pertama ukurannya pada iman yang sejati sebaliknya keburukan
yang sangat adalah kemusrikan sebagai representasi yang kafir.
Hubungan vertikal manusia dengan Allah menempati posisi yang
paling unggul. Nalai baik berikutnya adalah moralitas manusia
ketika berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungannya
sehingga bersifat horizontal. Hal ini ditunjukkan dengan
perumpamaan bahwa kata-kata yang baik dan sopan santun itu
lebih berat daripada gunung.
Sementara nilai-nilai keindahan (estetika) dalam dialog
tersebut hakekatnya ada pada kehidupan setelah dunia (akhirat).
Sementara keindahan yang terlihat di dunia hanyalah semu, namun
manusia sering terperdaya. Hal ini sekaligus memperingatkan
kepada manusia nikmatilah keindahan di dunia sekedarnya, jangan
berlebihan, karena ada keindahan yang lebih hakiki yaitu ketika di
akhirat nantinya.
Dialog di atas juga menegaskan nilai-nilai kemuliaan yang
sesungguhnya adalah bagi mereka yang berilmu. Mereka yang
berilmu inilah bagai penerang yang mencerahkan lebih terang
daripada sinar mentari pada siang hari. Bahkan kearifan orang
yang berilmu (pendeta, ulama) itu lebih tajam dari keris, karena
kecemerlangan dzikir dan pikirnya.
5. Masalah Teologi dan Teleologis:
Teologi dalam filsafat pertama kali diusung oleh Aristoteles
sebagai suatu disiplin seraya mengidentikkan dengan filsafat
pertama, yang tertinggi dari semua ilmu teoritis. Teologi kajian
yang berhubungan dunia ilahi dengan dunia realitas. Studi ini juga
sering dikenal dengan metafisika (Lorens Bagus, 1996: 1090-91).
Sementara Telelologis kajian filsafat yang berhubungan dengan

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 37


fenomena yang menampakkan keteraturan, desain, tujuan, akhir,
cita-cita, tendensi, sasaran dan arah (Haidar Baqir, 2006: 17).
Diantara materi tanya jawab yang berhubungan dengan
materi teologi dan teleologi dapat dicermati pada kutipan sebagai
berikut:
a. Bagaimana perincian sifat dua pulu (Allah)? Jawab; Wujūd,
Qidām, Baqa’, Mukhālafatu lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih,
Wahdaniat, Qudrat, Irādat, Ilmu , Hayyat, Sama’, Bashar,
Kalām, Qadīran, Murīdan, ‘Alīman, Hayyan, Samī’an, Murīdan,
‘Alīman, Mutakalliman.
b. Apa maksud kata-kata Allah itu ada dalam asya? Jawab:
Maha Suci Allah Yang Qodim, yang tidak berzaman tidak
bermaqam, tidak di bawah tidak di atas, tidak dimasukkan
dan tidak dikeluarkan, tidak berpisah dan tidak bercampur,
adalah segala yang tercipta.
c. Nyawa orang mati ke mana perginya, berkumpul atau
berpisah? Jawab: tidak berpisah, masih bersanding tetapi
seperti layang-layang putus.
d. Apa sebab mayat dimandikan, dikubur di tanah,
disembahyangkan, dan disedekahkan 3, 7, 40, sampai
1000 hari? Jawab: mayat dimandikan karena berasal dari
air, dikubur dalam tanah karena asal manusia berasal dari
tanah, disembahyangkan karena berasal dari mu’adim
wujud, disyahadati mayit mendapat kemudahan dan
menurut NabiMuhammad agar mendapat syafa’at di kubur,
agar ingat kepada Allah, Muhammad, malaikat, Qur’an, hari
akhir, tahu ka’bah sebagai kiblatnya, saudaranya, ingat Islam
sebagai agamanya, dan imannya. Adapun disedekahkan
maksudnya sebagai lambang mati hidupnya rezeki jangan
hanya belas kasihan persaudaraan.
Kutipan di atas cukup bisa mengenal hakikat wujud Allah
dengan dua puluh sifatnya yang terinci tersebut. Kesemua sifat 20
tersebut memberikan petunjuk yang detail bahwa sesungguhnya
Allah itu segalanya, Maha Mengetahui, Hidup, Melihat, Mendengar,
Berkehendak, Kuasa atas segala sesuatu, namun tidak seperti sifat-
sifat yang dimiliki oleh manusia atau makhluk lainnya (Mukhālafatu
lilhawādits). Sehingga tak bisa terbayangkan secara pasti, namun

38 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


yang jelas Tunggal dan mutlak Wujudnya. Tak berawal, tak berakhir
(baqa’). Sifat-sifat Allah itu sangat rasional karena Dia sebagai Sang
Khaliq tentu memiliki kelebihan dengan makhluknya dan jelas
berbeda dengan makhluknya. Karena Dia yang menciptakan, Dia
pula bebas berkehendak (Irādat) karena Dia Maha Kuasa (Qadīran).
Ini sekaligus menunjukkan yang metafisik (tidak tampak), menjadi
terpikirkan secara rasional, sehingga iman menjadi semakin kuat
karena landasan logiknya dimunculkan.
Sedangkan aspek telologisnya meliputi pembahasannya
tentang jiwa dan raga setelah mati kemana mereka bersemayam.
Di sini dijelaskan bahwa nyawa tidak akan berpisah tetapi tetap
bersanding bagai layang-payang putus yang susah ditebak dimana
dan kemana arahnya karena senantiasa melayang-melayang. Hal
ini juga sekaligis menjelskan problem eskatologis yang merupakan
bagian dari bahasan penting dalam tradisi agama-agama langit.
Demikian juga yang menyangkut tradisi perawatan jenazah yang
selama ini sudah biasa dilakukan oleh orang Islam, ternyata oleh
Sang Dewi juga ditanyakan alasannya. Dan Sang Ngalim juga
memberikan penjelasan yang cukup bisa masuk akal, bukan
jawaban dalil-dalil yang tekstual.
Alasan mayat dimandikan karena ia berasal dari air, ia dikubur
karena asal manusia berasal dari tanah dan disembahyangkan
karena berasal dari mu’adim wujud sebagai wujud sangkan paraning
dumadi. Mayit juga biasa disyahadatkan terutama ketika momentum
talqin dimaksudkan agar mayit mendapatkan kemudahan dan
syafa’at di kubur, tetap ingat kepada Allah, Muhammad, malaikat,
Qur’an, hari akhir, tahu ka’bah sebagai kiblatnya, ingat Islam
sebagai agamanya, dan imannya. Hal ini sekaligus sebagai wujud
tuntutan ilmu (thalab al ilmi) yang terakhir kalinya di liang lahat
seperti dalam sebuah sabda Nabi SAW; thalab al ‘ilmu min al mahdi
ila allahdi, menuntut ilmu itu (harus berproses terus) mulai dari
lahir hingga di liang lahat, life long education.

E. Kesimpulan
Beberapa uraian di atas dapat diringkas dalam beberapa
kesimpulan penting sebagai berikut;
a. Tradisi pesantren di Jawa yang sekarang dikenal sebagai
akar pendidikan tradisional yang salaf (berorientasi pada

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 39


ulama-ulama kuno) menyimpan karya sasta yang khas
pesantren yang ditandai dengan kentalnya nilai-nilai Islam
dengan berbagai macam tema bahasan mulai dari fiqh,
tasawuf, tauhid, dan juga filsafat.
b. Meskipun wacana filsafat di pesantren sekarang terkesan
tabu dibicarakan di pesantren, namun pada periode awal
pesantren justru masalah filsafat diangkat di pesantren
sebagai endapan renungan dengan bahasa yang ringan,
dialogis dan menghibur, seperti yang terdapat dalam naskah
Dewi Maleka.
c. Naskah Dewi Maleka adalah bagian dari sastra pesantren
yang berisi ajaran-ajan moral dan kearifan hidup yang
bernuansa Islam sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif
kerangka dasar pengembangan filsafat Islam.
d. Wacana filsafat yang seringkali terkesan rumit dan berat,
tetapi melalui naskah Dewi Maleka, ajaran-ajaran kearifan
hidup disampaikan secara dialogis, penuh kisah yang
mengharukan, menghibur dan tidak menggurui.
e. Apa yang dituangkan dalam naskah Dewi Maleka dapat
dijadikan sebagai alternatif penyadaran moral anak, sehingga
nilai-nilai kearifan hidup bisa terinternalisasikan ke dalam
pribadi seseorang dengan tanpa paksaan (adoktriner),
tetapi justru dengan penyadaran (conscientization) dalam
bentuk cerita dan kisah.

40 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


DAFTAR PUSTAKA

Naskah Dewi Maleka, (kode BR.No.16), di Perpustakaan Nasional


Republik Indonesia (PNRI).
Azra, Azyumardi, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996)
Barthes, Roland, , The Pleasure of The Text, (New York: Hill and
Wang, 1975)
Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2006)
Pudjiastuti, Titik, “Dewi Maleka, Sebuah Model Karya Sastra Islam-
Jawa” dalam Naskah dan Studi Naskah, (Jakarta: Akademia,
2006)
Soemardi, Sya’ir Kiamat Thaba’ul Khoir, PNRI
Sedyawati, Edi, dkk (eds), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001)
Zakiyah, Dewi Maleka; Sebuah Deskripsi Naskah Islam Jawa,
(Jakarta: Laporan Penelitian Pelatihan Penelitian Naskah
Keagamaan 1 November – 6 Desember 2007)

Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 41


halaman ini bukan sengaja dikosongkan

42 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


PERGESERAN LITERATUR DI PESANTREN
SALAFIYAH
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Anwariyah,
Tegalgubug Lor, Cirebon)

R. Aris Hidayat
IAIN Syeh Nurjati Cirebon
Email:

Abstrak

Pesantren merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia.


Namun peran pesantren di masyarakat tidak hanya sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai agent of change dan
agent of human development. Seiring dengan perkembangan
zaman, tantangan yang dihadapi pondok pesantren semakin
berat, kompleks, dan mendesak sebagai akibat meningkatnya
kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tantangan itu menyebabkan terjadinya
pergeseran-pergeseran di lingkungan pesantren. Salah satu
pergeseran yang cukup penting yang perlu diketahui secara
mendalam yaitu pergeseran literatur di Pesantren Salafiyah.
Pergeseran literatur di Pesantren Salafiyah Al-Anwariyah,
Tegalgubug Lor, Cirebon terjadi pada aspek kepengarangan
kitab, dan pemaknaan atau pemberian makna/arti.
Pergeseran itu berdampak pada hubungan kyai-santri,
pemikiran/pemahaman keagamaan, dan pelaksanaan ritual
keagamaan.
Kata kunci: Pergeseran, Literatur, Pesantren, Salafiyah

A. Pendahuluan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
khas Indonesia. Pondok pesantren juga dapat dianggap sebagai
warisan sekaligus kekayaan kebudayaaan intelektual nusantara.
Lembaga pendidikan ini tumbuh dan berkembang ditengah-tengah

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 43


masyarakat Indonesia serta telah teruji kemandiriannya sejak
berdiri hingga sekarang.
Pada perkembangannya, pondok pesantren menjelma
menjadi sebuah lembaga sosial yang memberikan warna khas bagi
perkembangan masyarakat sekitarnya. Peran pesantren mengalami
perubahan menjadi agen pembaharuan (agent of change) dan agen
pembangunan masyarakat (agent of human development ). Meskipun
demikian, dalam konteks perkembangan kebudayaan, pesantren
memiliki peran yang cukup menonjol yakni tetap berkonsentrasi
dan menjadi pelopor dalam mepertahankan dan melestarikan
ajaran-ajaran Islam ala Sunni (ahl as-Sunnah wa al-jama’ah) serta
mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah
berbagai kitab kuning (al-kutb al-qadimah) dengan tujuan utama
untuk memperdalam agama (tafaqqul ad-din).
Pondok pesantren secara kuantitatif mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Pondok pesantren ini pada
umumnya tumbuh dan berkembang di daerah pedesaan dan
perkotaan. Berdasarkan data Departemen Agama pada tahun 1987-
1988 jumlah seluruh pondok pesanren di Indonesia tercatat 6.579
buah dengan jumlah santri mencapai 1.213.739 orang. Selanjutnya,
data ditempat yang sama pada tahun 2002 menunjukkan bahwa
jumlah pesantren diseluruh Indonesia meningkat cukup pesat
menjadi 14.067 buah, dengan rincian 8.905 buah pondok pesantren
salafiyah, 878 buah pondok pesantren modern atau khalafiyah/
asrifayah, dan 4.284 buah pondok pesantren campuran atau
kombinasi. Demikian pula jumlah santri mengalami peningkatan
yang cukup pesat dari 1.213.739 orang pada tahun 1987-1988
menjadi 3.200.000 orang pada tahun 2002.
Perkembangan pondok pesantren tidak bisa dilepaskan
dari keterkaitannya dengan perkembangan sistem pendidikan di
Indonesia. Pada awalnya, pondok pesantren menyelenggarakan
kegiatan pendidikan keagamaan di masjid dengan beberapa
orang santri. Sejalan dengan peningkatan jumlah santri yang ingin
menuntut ilmu di pondok pesantren, mulailah dibangun pondok-
pondok sebagai tempat tinggal mereka. Pada saat bersamaan
Pemerintah Kolonial Belanda juga mendirikan “Volkschoollen”,
sekolah rakyat, atau sekolah desa/Nagari dengan masa belajar tiga
tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak sekitar tahun 1870-

44 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


an. Hal itu dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam
rangka menerapkan politik “ethics”, yaitu memberi kesempatan
kepada penduduk pribumi untuk memperoleh atau mengenyam
pendidikan sekolah. Program itu dilakukan pada paruh ke dua abad
ke-19.
Pada kenyataannya program itu secara umum tidak
mendapat sambutan yang baik dari penduduk pribumi-kecuali di
Minangkabau karena menurut mereka mutu pengajaran di sekolah-
sekolah rakyat itu rendah. Di samping itu, adanya sikap apriori
dari masyarakat khususnya masyarakat Jawa yang menganggap
program itu sebagai upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk
“membelandakan anak negeri”. Di Minangkabau program itu direspon
secara baik oleh penduduk pribumi, terbukti dengan banyaknya
surau yang berubah menjadi sekolah nagari. Menurut Azyumardi,
perbedaan respon penduduk itu disebabkan oleh perbedaan watak
kultural dan pengalaman historis masing-masing masyarakat, baik
berkenaan dengan proses dan perkembangan islamisasi maupun
dalam berhadapan dengan kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda. Penduduk Indonesia lebih memilih menuntut ilmu di
pesantren daripada di sekolah rakyat atau sekolah nagari, karena
pesantren menurut mereka tidak hanya sebagai lembaga transmisi
dan transfer ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga sebagai pemelihara
tradisi Islam dan sebagai lembaga reproduksi ulama.1
Respon yang cukup positif ditunjukan oleh kelompok-
kelompok Islam moderat, yang memunculkan lembaga-lembaga
pendidikan Islam dengan berbagai model. Model pertama, berupa
sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan
Islam, misalnya sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah
Ahmad di Padang pada tahun 1909. Model kedua, berupa lembaga
pendidikan Islam yang menggunakan sistem madras (sistem kelas
dan tingkat pendidikan), misalnya sekolah Diniyah Zainuddin
Labay al-Yunusiyah, Sumatera Thawalib, Madrasah Jami’atul Khair,
dan Manba’ul Ulum Surakarta. Model ketiga, berupa lembaga
pendidikan Islam bebrbentuk salafiyah, yaitu pondok pesantren
yang menggunakan metode mengajar secara tradisional dengan

1
Azyumardi Azra, dalam Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. xiii

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 45


sistem sorogan (bimbingan individual), bandongan (semacam
ceramah umum), dan halaqah (musyawarah). Berkenaan dengan
sistem salafiyah ini, Mastuhu berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan salafiyah bukan terletak pada sistem pengajarannya
melainkan memiliki arti atau ciri pada substansi ajarannya, yaitu
ajaran Islam yang murni sesuai dengan ajaran Nabi Saw.
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan yang
dihadapi pondok pesantren semakin berat, kompleks, dan
mendesak, sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan
pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tantangan itu menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran di
lingkungan pesantren. Salah satu pergeseran yang cukup penting
yang perlu diketahui secara mendalam yaitu pergeseran literatur di
pesantren salafiyah. Penelitian tentang pondok pesantren selama
ini sudah cukup banyak, namun penelitian yang khusus mengkaji
tentang pergeseran literatur di pondok pesantren salafiyah masih
sangat sedikit. Ulil Abshar Abdala dan Marzani Anwar pada tahun
1985 pernah mengadakan kajian tentang kitab kuning berkenaan
dengan masalah fiqhiyah, namun hasilnya hanya terbatas pada
sejumlah kitab saja dan tidak disertai motif dan latar belakangnya.
Bruinessen juga telah mengadakan inventarisasi kitab-kitab kuning
terpopuler yang digunakan di pesantren-pesantren tanah air, tetapi
fokus kajiannya hanya terbatas pada tingkat penggunaan atau
pemakain saja, sehingga aspek latar atau motif yang mendukung
penggunaan kitab-kitab kuning tersebut belum terungkap dengan
jelas. Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur keagamaan
pada tahun 2004 di delapan pondok pesantren salafiyah di Jawa
menyimpulkan bahwa sangat sulit menemukan kasus pergeseran
literatur di pondok pesantren salafiyah karena pada umumnya
penjenjangan kitab yang diajarkan di pondok pesantren salafiyah
itu bersifat tetap (tsawabit) dan isi kitab lanjutan hampir semua
bersifat pengulangan dari kitab sebelumnya (tikrari). Di dalam
perjalanannya ditemukan adanya pergeseran literatur yang antara
lain disebabkan oleh pergantian pengasuh, pengembangan wawasan,
adanya lembaga kajian seperti bahsul masail dan sebagainya, namun
hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui
lebih jauh mengenai pergeseran literatur di pondok pesantren,
penulis mengambil lokasi penelitian di Pesantren al-Anwariyyah

46 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


di desa Tegalgubug Lor, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten
Cirebon.

B. Aspek-aspek Pergeseran Literatur


Pergeseran literatur yang terjadi di Pesantren Al-Anwariyyah
Desa Tegalgubug Lor, Cirebon ini meliputi aspek kepengarangan
kitab, dan pemaknaan atau pemberian makna/ arti. Pergeseran
pada aspek penggunaan kitab mencakup pergeseran pada jenis
kitab yang digunakan, rumpun kitab yang digunakan, dan cara
atau tehnik mengajarkan kitab. Pergeseran pada aspek jenis kitab
yang digunakan mencakup perubahan penggunaan kitab dari kitab
kuning ke kitab bukan kitab kuning, perubahan penggunaan kitab
dari kitab yang menggunakan huruf Arab ke kitab yang ditulis
bukan menggunakan huruf Arab, serta perubahan dari kitab yang
non-mukhtashor ke kitab yang mukhtashor.

C. Pengarang Kitab
Pergeseran literatur pada aspek pengarang kitab terjadi
pada masa setelah kemerdekaan Indonesia (tahun 1945-sekarang).
Pergeseran pada masa itu dibedakan atas dua periode yakni periode
tahun 1945-1970 dan periode tahun 1971-2005. Pergeseran yang
terjadi pada periode 1945-1970 berupa pengembangan kitab-kitab
yang digunakan oleh para santri, yakni selain kitab yang dikarang
oleh Ulama Timur Tengah (Arab) para santri juga menggunakan kitab
yang dikarang oleh ulama Jawi, terutama kitab-kitab yang berkenaan
dengan bidang Ilmu Fikih. Nama-nama ulama Jawi (Ulama Asia
Tenggara) seperti Syeh Nawawi dari Banten, Syeh Ahmad Khatib
dari Minangkabau, Imam Syafi’i dari Sumatra, Mahmud Yunus dari
Sumatra, dan Syeh Banjari dari Kalimantan, merupakan sederet
ulama Jawi yang sangat besar peranannya dalam pengembangan
Ilmu Agama Islam di Indonesia. Perlu juga dikemukakan bahwa pada
periode 1945-1970 seiring munculnya toko-toko kitab di beberapa
daerah di Indonesia, maka mulai bermunculan pula pengarang-
pengarang lokal yang mengarang kitab, menyalin secara utuh,
atau menyalin kitab dengan memberikan tambahan keterangan di
dalamnya.
Pada periode 1971-2005 pergeseran yang terjadi berupa
pengembangan pengarang kitab dari periode sebelumnya. Pada

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 47


masa ini pergeseran literatur juga ditandai oleh perubahan
penggunaan kitab beserta pengarangnya akibat perubahan sistem
pendidikan yang diterapkan di pesantren itu, yakni dari sistem
pengajaran tradisional menjadi sistem pengajaran modern melalui
lembaga sekolah/madrasah dengan sistem klasikal. Sistem ini
menuntut adanya penataan terhadap kitab-kitab yang digunakan,
dan waktu penyampaian kitab-kitab itu kepada santri.

D. Penerbit
Pergeseran literatur pada aspek penerbit terjadi pada
periode sesudah kemerdekaan. Pergeseran yang terjadi berupa
penggunaan kitab-kitab yang diterbitkan oleh penerbit dari dalam
negeri. Dahulu pada periode awal sampai dengan menjelang
kemerdekaan, para santri relatif lebih banyak menggunakan kitab-
kitab yang diterbitkan oleh penerbit asing, misalnya Dar Ibn Katsir
Beirut, Dara al-Fikr Beirut, Dara al-Kutb Mesir, ‘Alam al-Kutb Beirut,
Qasm al-‘Ibadat Beirut, Dar al-Ihya Mesir, Bombai, dan Wikalat Al-
Muthawa’at Kuwait. Namun pada periode sesudah kemerdekaan,
para santri banyak yang menggunakan kitab-kitab yang diterbitkan
oleh penerbit lokal, misalnya Thoha Putra Semarang, Menara Kudus,
Pustaka Al-Awaliyah Semarang, Dara al-Fikr Surabaya, Syarkat al-
Ma’arif Bandung, Nur Asia Jakarta, dan Pustaka Progresif Jakarta.

E. Bidang Ilmu
Pergeseran literatur pada aspek bidang ilmu terjadi sejak
periode awal abad ke-20 hingga sekarang. Pada awal masa abad
ke-20 bidang ilmu yang dikaji mengalami pergeseran dari bidang
Ilmu Nahwu/ Sharaf dan tasawuf ke bidang Ilmu Fikih dan nahwu/
saraf. Pergeseran bidang ilmu yang dikaji ini sangat berkaitan erat
dengan kemampuan atau penguasaan bidang ilmu dari pimpinan
pesantren itu. Disamping itu, pergeseran ini juga terjadi akibat
tuntutan perkembangan jaman dan trend pasar yang ada pada saat
itu.
Bidang Ilmu Nahwu/Sharaf masih tetap dijadikan kajian
pokok, karena bidang ilmu ini sangat penting dan menjadi dasar
untuk penguasaan kitab-kitab selanjutnya. Santri yang lemah
penguasaan nahwu/Sharafnya akan mengalami kesulitan untuk
mempelajari, memahami, dan mendalami kitab-kitab dari bidang
ilmu lainnya. Sebaliknya, santri yang kuat penguasaan nahwu/

48 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Sharafnya maka mereka akan relatif mudah untuk mempelajari,
memahami, dan menguasai bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun
demikian, para pengasuh pondok pesantren al-Anwariyyah
sepakat bahwa tujuan utama pendidikan di pesantren itu bukan
penguasaan nahwu/ Sharaf semata tetapi tujuan utamanya adalah
agar santri dan seluruh warga pesantren itu memiliki akhlak mulia,
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penguasaan
bidang fikih sangat diperlukan dan ditekankan dalam proses
pembelajaran di pesantren itu.

F. Penggunaan Kitab
Pergeseran literatur pada aspek penggunaan kitab meliputi
pergeseran pada jenis kitab yang digunakan, pergeseran pada
rumpun kitab yang digunakan, pergeseran pada cara atau tehnik
mengajarkan kitab.
1. Jenis Kitab
Pergeseran literatur berkenaan dengan jenis kitab yang
digunakan terjadi sejak awal abad ke-20 tetapi sangat jelas terlihat
setelah kemerdekaan. Pergeseran itu ditandai dengan mulai
digunakannya kitab-kitab yang bukan kitab kuning, yakni kitab-kitab
yang ditulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
Pada masa awal berdiri, pengasuh pesantren al-Anwariyyah tidak
pernah menggunakan kitab-kitab lain selain kitab kuning, baik
yang menggunakan bahasa Arab maupun yang menggunakan
bahasa Jawa. Kitab yang bukan kitab kuning digunakan oleh para
santri untuk memperluas pengetahuan dan wawasannya agar tidak
tertinggal dari dunia luar pesantren, khususnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sesuai dengan ajaran Islam.
2. Rumpun Kitab
Pada aspek rumpun kitab ini, pergeseran yang ditemukan
hanya pada rumpun Kitab Fikih. Sebagaimana dijelaskan oleh
Mudzar (1992:32), rumpun Kitab Fikih yang banyak digunakan oleh
pengasuh pesantren di Indonesia bermuara pada empat rumpun
kitab yakni kitab yang bermuara atau termasuk rumpun kitab Al-
Muharrar karya Imam Rafi’i, rumpun Kitab Taqrib karya abu Syuja’,
rumpun Kitab Muqaddimat Al-Hadramiyyah karya Ba Fadhal, dan
rumpun Kitab Qurrah Al-‘Ain.

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 49


Di Pesantren Al-Anwariyyah, pada masa awal berdiri
sampai dengan pertengahan abad ke-20 para pengasuh lebih
banyak menggunakan Kitab-kitab Fikih yang bermuara kepada
Kitab Taqrib tetapi mereka juga menggunakan sebagian dari
rumpun kitab lainnya, seperti Syarah ‘Ala Ba Fadhal. Hal ini
sangat dipengaruhi oleh orientasi politik kyai Anwar yang ingin
membebaskan masyarakat dari tekanan penjajah. Kyai Anwar
menyadari benar dampak negatif dari politik Devide et impera
yang diterapkan penjajah pada masa itu, sehingga ia menganggap
perlu membentengi masyarakat dari upaya memecah belah itu
dengan memperkuat kesadaran perlunya mempertebal rasa
percaya diri dan nasionalisme yang tinggi pada diri masyarakat,
khususnya masyarakat Tegalgubug. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan mengajarkan Kitab-kitab Fikih yang memuat ajaran
tentang perlunya mempertebal rasa percaya diri dan cinta tanah
air, agama dan bangsanya, dan jenis kitab yang dipilih adalah kitab-
kitab yang termasuk dalam rumpun tersebut, misalnya Kitab Fath
Al-Qarib, Kifayat Al-Akhyar, dan Hasyiyah Al-Bajuri.
Namun pada perkembangannya, ada pergeseran literatur
yang digunakan. Pergeseran yang terjadi berupa pengembangan
jenis kitan dari rumpun yang berbeda. Rumpun kitab yang
digunakan oleh para pengasuh sesudah Indonesia merdeka
bertambah dengan digunakannya kitab-kitab dari rumpun Qurrah
Al-‘ain, seperti Kitab Fath Al-Mu’in, Nihayah Az-zain, dan I’anah
Ath-Thalibin. Kitab-kitab itu dianggap lebih tepat untuk diajarkan
kepada santri, khusunya dalam rangka membangun kepercayaan
dan kepatuhan yang tinggi kepada guru, pengasuh, dan orang-orang
terhormat, baik yang ada di dalam maupun diluar pesantren.
3. Cara/Tehnik Pengajaran Kitab
Pergeseran pada cara atau tehnik pengajaran kitab terjadi
pada tahun 1970-an, sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan
sistem madras di pesantren itu. Pemberlakuan sistem madras
menuntut adanya pengelompokan-pengelompokan siswa menurut
kategori tertentu, misalnya menurut jenis kitab yang dipelajari,
menurt waktu tertentu, dan menurut ketentuan yang disyaratkan
di pesantren itu. Hal ini membuat tugas pengasuh menjadi

50 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


semakin berat apabila disuruh sendiri. Apalagi ditambah dengan
kemampuan penguasaan kitab dari masing-masing pengasuh yang
berbeda dan yang lebih penting lagi adalah dengan pengaturan
jadwal yang ketat dan padat, sangat tidak mungkin untuk
dikerjakan sendiri. Dengan demikian, mau tidak mau pengasuh
harus menyerahkan sebagian kewenangan mengajarnya kepada
para ustadz atau santri senior yang dianggap mampu. Hal itu tentu
saja sangat berpengaruh terhadap materi pelajaran yang diberikan
kepada santri, karena kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh
masing-masing ustadz atau santri senior berbeda-beda, khususnya
dalam hal kemampuan memahami, dan menafsirkan isi kitab yang
dibebankan kepadanya.
Pendelegasian wewenang mengajar dari pengasuh ke para
ustadz atau santri senior ini, pada masa awal pendirian pesantren ini
sampai menjelang tahun 1970-an tidak pernah terjadi secara jelas.
Alasan yang bisa dikemukakan di antaranya jumlah santri yang ada
pada waktu itu terlalu banyak, dan jadwal pengajaran tidak terlalu
padat, sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh pengasuh. Namun
demikian, tidak berarti bahwa pengasuh tidak pernah menyuruh
santrinya untuk membantu mengajar. Pengasuh sangat selektif
untuk memberikan kesempatan kepada santrinya yang dianggap
mampu untuk membantu mengajar, karena pengasuh khwatir
terjadi salah pemahaman akibat salah penjelasan.

G. Dampak Pergeseran Literatur terhadap Hubungan


Kyai-Santri, Pemikiran/Pemahaman Keagamaan, dan
Pelaksanaan Ritual Keagamaan.
Ajaran agama pada dasarnya bersumber pada teks-teks suci.
Berupaya mengenal, mengetahui, memahami, dan mengamalkan
ajaran agama berarti berusaha mengenal, mengetahui, memahami,
dan mengamalkan isi dari teks-teks suci tersebut. Ajaran agama
pada umumnya diabadikan dalam bentuk lektur keagamaan.
Dengan demikian, memahami lektur keagamaan dapat dikatakan
memahami lektur dari teks-teks suci. Sehingga dapat dipahami
apabila lektur keagamaan memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan
keberagamaan seseorang atau masyarakat.
Budaya masyarakat pada kenyataannya tidak pernah

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 51


statis dalam kondisi tertentu secara terus menerus. Cepat atau
lambat perubahan pasti terjadi. Perubahan yang terjadi pada
bidang keagamaan pada umumnya bukan perubahan yang bersifat
struktural atau perubahan yang mendasar, melainkan perubahan
dalam proses atau sekedar modifikasi dari ajaran yang sudah ada,
karena pada dasarnya perubahan menyeluruh pada ajaran agama
itu tidak pernah ada. Perubahan yang mungkin terjadi adalah
perubahan dalam hal penafsiran atau pemahaman. Perubahan
pemahaman atau penafsiran ajaran agama yang sering terjadi
hanya pada bidang mu’amalah atau aspek hubungan antar sesame
manusia, sedangkan dalam bidang ritual sangat jarang ditemui
adanya perubahan penafsiran. Perubahan yang terjadi hanyalah
berupa perbedaan penafsiran.
Perbedaan penafsiran itu sangat bergantung pada
kemampuan menafsirkan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas
untuk itu, misalnya, kyai, pengasuh, dan ustadz. Manakala mereka
melakukan penafsiran baru atau melakukan elaborasi pemahaman
atau memilih referensi baru sebagai rujukan, maka sudah
barang tentu dengan sendirinya akan diikuti oleh para santri dan
masyarakat pengikutnya. Kyai merupakan tokoh sentral atau tokoh
panutan bagi santri dan masyarakat disekitarnya. Sementara itu,
kyai juga sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal tersebut adalah latar belakang kehidupan keluarga,
latar belakang pendidikan, latar belakang sosio-kultural, dan daya
nalarnya, sedangkan faktor eksternal berupa kondisi lingkungan,
kondisi politik, ekonomi, paham yang dianut, tuntutan masyarakat,
trend pasar, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
sebagainya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut
para pemuka agama, ulama, kyai di pesantren untuk menentukan
sikap dan memberikan respon terhadap perkembangan tersebut.
Karena keterbatasan sumber rujukan dan pengetahuan yang
dimiliki maka mau tidak mau mereka harus mencari sumber rujukan
lain atau melakukan upaya reinterpretasi terhadap referensi
yang dimiliki, untuk dijadikan pedoman dalam pengetahuan,
pemahaman, dan pengamalan keagamaan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memacu
pertumbuhan literatur keislaman, yang ditandai dengan samakin

52 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


banyaknya buku-buku yang diterbitkan, baik yang tulis oleh
pengarang luar maupun dalam negeri. Selain itu, juga semakin
banyak karya-karya klasik (dalam hal ini kitab-kitab kuning)
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan daerah untuk
memudahkan pembaca dalam memahaminya. Agar kitab-kitab
yang diajarkan di pesantren dapat dikontrol dengan baik, maka para
ulama Nadliyyin mendirikan Lajnah Ta’lif Wa an-Nasyr. Lembaga
ini bertugas melakukan sensor terhdap kitab-kitab kuning yang
diajarkan di pesantren, agar hanya menggunakan kitab-kitab yang
berpaham sunni, yakni pada bidang fikih meliputi, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali, pada bidang akidah meliputi ajaran Asy-ariyah dan
Maturidiyah, dan pada bidang tasawuf merujuk pada ajaran Al-
Junaid dan Al-Ghazali. Kitab-kitab di luar itu ditolak.
Walaupun demikian, pada perkembangannya para pengelola
pesantren dihadapkan pada berbagai persoalan yang menuntut
untuk dijelaskan secara baik berdasarkan rujukan kitab-kitab
yang ada. Oleh karena berbagai keterbatasan yang ada padanya
seringkali mereka harus melakukan penafsiran-penafsiran baru atas
kitab yang menjadi rujukannya atau mencari di dalam kitab-kitab
yang lain. Tuntuta perkembangan zaman yang semakin kuat dan
kompleks, serta trend pasar yang berkembang di kalangan santri,
telah “memaksa” pengelola pesantren melakukan penyesuasian-
penyesuaian agar tetap eksis di tengah persaingan global yang
semakin ketat.

H. Dampak Pergeseran Literatur Terhadap Hubungan Santri


dan Pengasuh
Pergeseran literatur yang terjadi di Pesantren Al-Anwariyyah
ini ternyata telah menimbulkan dampak terhadap hubungan santri
dan pengasuh atau sebaliknya. Hal itu dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pada masa awal berdiri, pesantren Al-Anwariyyah dipimpin
oleh Kyai Anwar Salifah (Asyaikh al-Alim al-Fadhil Kyai Haji Anwar
Salifah). Pada masa kepemimpinan KH. Anwar Salifah itu, menurut
penuturan pengasuh pesantren dan para ustadz, jarak hubungan
santri dan pengasuh cukup jauh. Gejala itu dirasakan oleh para
santri yang pernah “Mondok” ditempat itu. Hal itu terjadi karena
kultur masyarakat pada masa itu, yang masih sangat kental dengan
warisan Hindu-Jawa, dan sistem pembelajaran yang masih bersifat

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 53


tradisional.
Kultur masyarakat Jawa yang masih menerapkan sistem
stratifikasi sosial ala Hindu-Jawa, menjadi figur kyai sebagai tokoh
sentral yang sangat dihormati. Kyai dianggap sebagai orang yang
paling dekat dengan Tuhan sehingga doanya lebih didengar Tuhan
dibandingakan dengan doa orang biasa. Oleh karena itu pada kultur
masyarakat Hindu-Jawa, sosok kyai menempati posisi paling atas
dan sangat dihormati. Selain itu, sistem pembelajaran yang masih
tradisional, menempatkan figur kyai menjadi sangat penting dan
sentral.
Sikap penghormatan yang berlebihan kepada kyai pada
masa itu ternyata telah menumbuhkan sikap “paternalistik” yang
sangat kuat di kalangan santri. Di Pesantren Al-Anwariyyah hal
itu semakin diperkuat oleh kelebihan yang dimiliki KH. Anwar
Salifah di bidang supranatural (kadigjayaan). Sikap penghormatan
yang tinggi itu kemudian diwariskan secara terus-menerus
kepada generasi berikutnya. Salah satu media pewarisan kultur
“paternalistik” yang sangat strategis adalah dengan literatur KH.
Anwar Salifah menggunakan literatur berupa kitab-kitab tertentu
untuk membentuk sikap dan perilaku santri, termasuk sikap
penghormatan yang tinggi kepada kyai dan pengasuh lainnya.
Kitab-kitab yang digunakan oleh KH. Anwar Salifah untuk
membentuk sikap dan perilaku santri agar senantiasa hormat
terhadap kyai dan pengasuh lainnya, di antaranya adalah Kitab
Ta’lim Muta’alim, Fathul Mu’in, Fathul Qarib, Sulam Al-Taufiq, Safinah,
Bidayat al-Mijtahid, Bafadhal, Risalatul Mahidl, Qawaid al-I’rab,
Munjiat al-Qulub, Tafsir Jalalain, dan sebagainya. Meskipun kitab-
kitab itu ada yang tidak secara jelas memuat tentang keharusan
santri hormat kepada kyai, tetapi secara tersirat telah dipahami
bahwa isi kitab itu ada tuntutan untuk menghormati kyai. Selain
itu, KH. Anwar Salifah juga mempergunakan kitab yang ditulis
sendiri berupa kitab berbahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon)
yang diambil dari berbagai sumber kitab-kitab klasik, di antaranya
Kitab Sabil al-Hidayat dan Kitab Fasholatan. Kitab ini pada awalnya
masih berupa tulisan lepas, kemudian oleh putranya yang bernama
Muhammad Arsyad Amir, tulisan-tulisan itu dikumpulkan menjadi
satu kitab yang oleh KH. Anwar Salifah diberi nama Sabil al-Hidayat.
Kitab-kitab tersebut diajarkan oleh KH. Anwar dengan metode

54 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


sorogan dan bandongan.
Dampak dari diajarkannya kitab-kitab itu, para santri di
Pesantren Al-Anwariyyah menjadi sangat tawadhu’ (patuh) kepada
kyai dan pengasuh lainnya. Para santri tidak berani mengkritisi isi
kitab yang sedang diajarkan oleh kyai. Pada umumnya para santri
menganggap hal itu sudah baku atau hadisi, sehingga tidak boleh
dikritisi oleh siapapun. Bahkan, dampak lain dari penerapan ajaran
dalam kitab-kitab itu di kalangan santri berupa rasa takut untuk
merangkap sekolah di sekolah umum karena ada larangan, bahkan
intimidasi, dari pengasuh atau ustadz di pesantren itu kepada
santri yang ingin sekolah di sekolah umum. Di kalangan pesantren
pada masa itu berkembang image atau anggapan bahwa sekolah
umum adalah milik pemerintah Belanda, yang identik dengan milik
orang kafir, sehingga orang muslim dilarang masuk sekolah umum.
Anggapan seperti itu masih ada hingga sesudah kemerdekaan
(sekitar tahun 60-an). Disamping itu, karena KH. Anwar Salifah juga
memiliki ilmu kedigjayaan atau kesaktian, maka tidak ada santri
yang berani untuk menentangnya.
Sejak berdiri hingga kemerdekaan Indonesia, di pondok
pesantren Al-Anwariyyah telah terjadi empat kali pergantian
pengasuh. Pengasuh pengganti dari KH. Anwar Salifah adalah
KH.R. Rafi’i bin KH. Idris. Dia adalah menantu KH. Anwar Salifah.
Pengganti berikutnya adalah KH. Abdullah bin KH. Anwar Salifah,
kemudian dilanjutkan oleh KH. Muhammad Arsyad Amir bin KH.
Anwar Salifah (adik KH. Abdullah). Pada masa kepemimpinan KHR.
Rafi’i, KH. Abdullah, dan KH. Muhammad Arsyad, hubungan santri
dan pengasuh masih relatif sama dengan masa sebelumnya dilihat
dari tingkat ketawadlu’annya kepada kyai, karena kitab-kitab yang
digunakan oleh KHR. Rafi’i, KH. Abdullah, dan KH. Muhammad
Arsyad, juga hampir sama dengan kitab-kitab yang digunkan pada
masa KH. Anwar Salifah.
Pergeseran yang terjadi pada masa itu hanya pada
penambahan jenis kitab yang dikaji oleh para ustadz dan pengasuh.
Pada masa kepemimpinan KH. Anwar, jenis kitab yang dikaji
ditekankan Kitab-kitab Fikih dan Kitab-kitab Tasawuf, namun
dalam perkembangannya Kitab-kitab Tasawuf kurang mendapat
penekanan oleh penerusnya dan lebih menekankan pada Kitab-
kitab Fikih. Hal berdasarkan anggapan bahwa Kitab-kitab Fikih

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 55


lebih diperlukan untuk membangun akhlak mulia pada para santri
dan umat Islam pada umumnya. Pemakaian Kitab-kitab Tasawuf
oleh KH. Anwar Salifa adalah sebagai penghargaan pada gurunya
KH. Kholil dari Bangkalan, Madura yang telah membekali dirinya
dengan ilmu-ilmu tasawuf. Selain itu, KH. Anwar sangat menyadari
bahwa sebagian dari ajaran tasawuf itu memang sangat diperlukan
untuk membangun semangat berjuang melawan penjajah, yakni
dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu kekebalan atau
kesaktian.
Hubungan santri dan pengasuh di Pesantren al-Anwariyyah
mulai mengalami sedikit pergeseran sejak masa kepemimpinan KH.
Sofwan, KH. Ahmad Amin, KH. Zaini Siradj, dan KH. Rahmatullah
(sekarang). Pada masa kepemimpinan kyai-kyai tersebut, pola
pendidikan di pesantren telah mengalami perubahan. Apalagi
pada masa sebelumnya kegiatan pembelajaran dilakukan dengan
pola diniyah (keagamaan) murni salaf atau tradisional, maka pada
masa kepemimpinan kyai-kyai tersebut mulai mengadopsi sistem
pembelajaran sekolah dengan ciri-ciri siswa dikelompokkan secara
klasikal dalam satu jenjang tertentu, dan kurikulumnya disusun
dalam kurun waktu tertentu (tahunan dan semester), dan dimulai
kajian-kajian. Dampak dari hal tersebut terhadap hubungan santri
dan pengasuh adalah pemberlakuan sistem sekolah memberikan
ruang gerak yang lebih luas kepada santri untuk mengembangkan
diri dan mengurangi ketergantungan dirinya terhadap pengasuh.
Walaupun demikian, hal itu tidak serta merta terjadi begitu saja
namun melalui proses yang sangat panjang dan memerlukan
keberanian dari para santri untuk melakukannya. Kualitas
pengembangan diri santri sangat ditentukan oleh keberanian
dirinya untuk mencari referensi literatur kitab yang berbeda dengan
kitab yang menjadi rujukan para pengasuhnya, misalnya dalam
kegiatan kajian atau bahsul masail. Dengan demikian, secara singkat
dapat dikatakan bahwa pemberlakuan sistem sekolah menjadikan
hubungan santri dan pengasuh menjadi semakin longgar.
Pergeseran hubungan santri dan pengasuh itu juga terjadi
pada sistem sekolah dengan tuntutan adanya sistem pembagian
waktu yang cukup ketat dan pemberian materi yang cukup
beragam, yang tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pengasuh.
Dengan demikian, perlu adanya pendelegasian kewenangan dari

56 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


pengasuh kepada para ustadz atau guru-guru lainnya. Hal ini dapat
mempengaruhi terhadap cara penafsiran dan tafsiran atas kitab
yang menjadi rujukan pengasuh terdahulu, karena latar belakang
kemampuan dan pengetahuan ustadz atau guru yang berbeda.
Perbedaan cara penafsiran dan tafsiran atas kitab rujukan itu
menurut pengasuh dan para ustadz sekarang bukan sesuatu yang
dilarang tetapi diperbolehkan karena dengan demikian justru akan
memperkaya khasanah keilmuan santri dan akan memperluas
cakrawala pengetahuan mereka. Hal itu pada gilirannya akan
merubah pola hubungan santri dengan pengasuh, dari pola tawadhu’
yang membabi buta menjadi tawadhu’ yang rasional.
Perubahan pola hubungan santri dan pengasuh ini juga
terkait dengan perubahan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi
di luar pondok. Sejak masa kepemimpinan KH. Shofwan, tepatnya
ketika Desa Tegalgubug dipimpin oleh kepala desa atau kuwu
KH. Munaji bin KH. Muqayyim, perkembangan perekonomian
masyarakat semakin meningkat. Perlu dikemukakan bahwa
mayoritas masyarakat Tegalgubug pada masa itu hingga sekarang
memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Pada mulanya
masyarakat berdagang kipas dari kain, kemudian berkembang
menjadi berdagang kain atau sandang “BS”6, dan sekarang
masyarakat mulai mengembangkan usahanya menjadi pengusaha
kain dan sandang, yang sudah dikenal di berbagai pelosok Indonesia.
Bahkan, pasar sandang di desa ini, menurut masyarakat setempat,
merupakan pasar tradisional khusus sandang tingkat desa terbesar
di Asia Tenggara.
Peningkatan perekonomian masyarakat desa tersebut
ternyata mempengaruhi orientasi kehidupan masyarakat,
khususnya masyarakat yang tinggal di lingkungan pesantren.
Pada masa sebelumnya, orientasi kehidupan masyarakat terfokus
pada pengembangan kehidupan pokok pesantren namun sejak
perekonomian masyarakat maningkat fokus orientasi kehidupan
masyarakat terpecah menjadi dua. Sebagian anggota masyarakat
yang secara genealogis dan intelektual terkait langsung dengan
tanggung Jawab atas keberlangsungan pondok pesantren maka ia
lebih menekuni upaya pengembangan pondok pesantren. Adapun
sebagian anggota masyarakat lainnya yang kurang memiliki
kemampuan dalam bidang keagamaan dan tidak memiliki hubungan

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 57


geneologis dangan pendiri atau pengasuh pondok pesantren maka
ia lebih memilih menekuni bidang ekonomi. Walaupun demikian,
di antara mereka saling membantu dan bersama-sama berusaha
menjaga citra dan nama baik pondok pesantren di mata orang
luar.
Santri “nduduk” atau santri pribumi, banyak yang terlibat
dalam kegiatan perekonomian bersama dengan para ustadz dan
pengasuh. Para santri-santri tersebut bukan sebagian pemain utama
tetapi hanya sebagai pembantu, misalnya membantu menjaga
barang dagangan, membantu mengangkat atau menurunkan
barang, membantu mengantarkan barang dagangan ke konsumen
dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit santri yang dipercaya ustadz
atau pengasuh untuk mengurus pengelolaan barang dagangan,
mulai dari mencari barang dagangan atau kulakan (JW), dan
menjual kembali barang dagangan itu. Peran santri disesuaikan
dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki para santri itu. Para
santri senior pada umumnya memiliki kemampuan yang lebih baik
dan waktu luang yang lebih banyak untuk membantu kegiatan
ekonomi pengasuh atau ustadz dibandingkan dengan santri yunior.
Oleh karena itu, hubungan santri senior relatif lebih intens (akrab)
dengan para pengasuh atau ustadz dibandingkan dengan santri
yunior. Hal itu sangat berbeda dengan pengasuh atau dengan
para ustadz pada masa kepemimpinan KH. Anwar hingga sebelum
kemerdekaan.
Ada fenomena menarik dari konteks hubungan santri dan
pengasuh atau ustadz di Pesantren Al-Anwariyyah. Santri atau
ustadz (lokal maupun pendatang) yang sudah merasa berhasil
dalam bidang ekonomi maka dia kurang tertarik untuk bersaing
memperebutkan kursi kepemimpinan dalam kepengurusan di
pesantren. Sebagian di antara mereka justru lebih tertarik untuk
menekuni bidang ekonomi daripada menjadi pemimpin di pesantren.
Alasannya, menjadi pemimpin pesantren harus mencurahkan
waktu dan perhatiannya untuk pesantren, sehingga hampir tidak
ada waktu untuk menekuni bidang ekonomi. Meskipun demikian,
karena pada umumnya mereka memiliki harta yang cukup dan
memiliki hubungan geneologis dengan pengasuh pesantren maka
mereka lebih senang membantu untuk kepentingan pesantren tanpa
mengharapkan imbalan baik materi maupun non materi. Bahkan

58 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


menurut salah seorang informan, apabila disuruh memilih menjadi
pengasuh tetapi tidak boleh berkecimpung dalam bidang ekonomi
dengan menjadi pelaku ekonomi maka ia lebih memilih menjadi
pelaku ekonomi. Fenomena tersebut di satu sisi menggembirakan
karena pesantren memiliki sumber dana yang kuat tetapi di sisi lain
sangat memprihatinkan karena mengganggu proses pengkaderan
untuk keberlangsungan pondok pesantren itu.

I. Dampak Pergeseran Literatur terhadap Pola Pemikiran/


Pemahaman Keagamaan
Pergeseran penggunaan literatur di Pesantren Al-Anwariyyah
Tegalgubug Lor, Cirebon ini juga berdampak pada aspek pemikiran
atau pemahaman keagamaan dari para santri di daerah itu. Dampak
yang dirasakan dari adanya pergeseran penggunaan literatur itu
berupa terbukanya peluang yang semakin luas bagi santri untuk
mengembangkan pemikiran/pemahamannya tentang isi kitab-kitab
klasik yang dipelajarinya untuk menjawab berbagai permasalahan
yang dihadapi. Di kalangan santri mulai tumbuh kesadaran bahwa
pemikiran dan pemahaman yang disampaikan oleh pengasuh
bukan satu-satunya pilihan untuk diyakini kebenarannya. Mereka
mulai memiliki keberanian untuk mencari rujukan lain selain
rujukan yang dipergunakan oleh pengasuh. Hal itu terutama terjadi
di kalangan santri senior karena mereka telah diberi keleluasaan
oleh pengasuh untuk mengembangkan kemampuannya dalam hal
memahami isi kitab.
Pergeseran penggunaan literatur juga berdampak secara
terbatas pada sikab santri dalam memahami isi kitab-kitab klasik.
Santri menjadi semakin kritis dalam menafsirkan isi atau kandungan
kitab-kitab yang dipelajarinya, termasuk Kitab Suci Al-Qur’an. Salah
satu contoh sikap kritis itu diperlihatkan ketika membahas tafsir
dalam bahtsul masa’il, misalnya ketika menafsirkan kata quru’
dalam QS. Al-Baqarah [2]:288 yang arti selengkapnya, “wanita-
wanita yang dicerai hendaklah menahan dirinya (menunggu)
tiga kali quru’….”. di dalam ayat ini kta quru’ berifat ambigu atau
masytarakah (mempunyai arti lebih dari satu). Kata itu bisa
berarti menstruasi (haydh) dan dapat pula berarti dalam keadaan
suci (thuhr). Untuk mencari pemahaman atas kata itu mereka
merujuk kepada para ahli terdahulu. Umar ibn Khattab, Ali bin

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 59


Abi Thalib, Ibn Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asy’ari, menafsirkan kata
“aqra” (bentuk tunggal, mufrad dari kata quru’) dengan tafsiran
menstruasi (haydh). Tafsiran itu juga dipegangi oleh Sa’id Al-
Musayyab, Atha’, dan beberapa kelompok tabi’in serta sejumlah ahli
hukum Islam lainnya. Di pihak lain, Aisyah, Zayd Ibn Tsabit dan Ibn
Umar meriwayatkan bahwa mereka menafsirkan kata “aqra” yang
terdapat pada ayat di atas dengan tafsiran masa suci serta di antara
menstruasi (athhar). Perbedaan tafsiran mengenai ayat hukum di
atas berakibat terjadinya perbedaan dalam penentuan masa iddah
(menunggu) bagi seorang wanita yang dicerai. Menurut tafsiran
pertama, masa iddah itu adalah setelah usainya menstruasi ketiga,
sedangkan menurut tafsiran kedua, masa iddah selesai dengan
dimulainya menstruasi ke tiga. Menyikapi perbedaan pendapat ini,
para santri senantiasa berusaha mencari rujukan yang lebih kuat
dalam kitab-kitab yang ada, meskipun dalam praktek seringkali
pada akhirnya harus mengikuti pendapat kyai atau pengasuh.
Contoh lainnya yakni dalam menyikapi persoalan adzan dan iqamat
bagi mayat yang akan dikubur. Di beberapa daerah di Jawa masih
banyak warga masyarakat yang melakukan adzan dan iqomat ketika
mengubur mayat. Mereka yang melaksanakan hal itu berpendapat
bahwa tidak ditemukan larangan untuk melakukannya selama niat
melakukan hal itu untuk kebaikan si mayat dan orang yang melayat,
sedangkan pihak yang tidak melaksanakannya berpendapat bahwa
melakukan hal itu termasuk Bid’ah (melakukan sesuatu yang tidak
ada dasarnya) dan ada larangan melakukan hal-hal yang bersifat
bid’ah. Perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat akibat
perbedaan penafsiran terhadap kitab-kitab rujukan itu menuntut
adanya sikap kritis santri dalam memberikan penjelasan dan
kepastian hukum atas berbagai persoalan yang dihadapinya.
Dalam menyikapi perbedaan penafsiran terhadap isi kitab
itu para santri tidak hanya mencari rujukan dari kitab-kitab yang
bermadzhab Syafi’i (dalam hal Fikih) tetapi juga mencari kitab-kitab
yang bermadzhab lain, misalnya Madzhab Hanbali (Imam Ahmad
Bin Hanbal), Hanafi (Imam Abu Hanifah), dan Imam Maliki (Imam
Malik). Sikap itu diperbolehkan oleh pengasuh selama hanya dalam
tataran wacana pemikiran atau pemahaman. Sikap itu diperlukan
santri untuk pengayaan pengetahuan dan keilmuan.
Sikap kritis santri di Pesantren Al-Anwariyah juga terlihat

60 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


ketika memilih pengarang kitab, penerbit, bidang studi/ilmu yang
ditekuni, jenis kitab yang dipelajari, penggunaan bahasa, rumpun
kitab yang dipelajari, dan tehnik mempelajari kitab-kitab klasik.
Dahulu ketika pesantren ini di pimpun oleh KH. Anwar Salifa,
kitab-kitab yang dipelajari santri hampir seluruhnya dikarang oleh
pengarang-pengarang asing (Arab), sebab pada masa itu belum
banyak kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang lokal (Indonesia)
dan ada kesulitan bagi santri untuk memperolehnya. Pada saat
sekarang, kitab-kitab yang dibutuhkan santri sudah tersedia cukup
banyak di toko-toko kitab. Dengan cukup tersedianya berbagai
kitab klasik dan kontemporer itu, ternyata sebagian santri terutama
santri yunior lebih tertarik untuk mencari kitab-kitab yang dikarang
oleh pengarang dalam negeri. Alasan mereka terutama karena
kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang lokal atau dalam negeri
harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan kitab-kitab yang
dikarang oleh pengarang asing. Selain itu, mereka menganggap
bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang lokal relatif
lebih mudah diperoleh di toko buku/kitab. Demikian pula dalam
hal penerbit, sebagian santri khusunya santri yunior juga lebih
tertarik untuk mencari kitab yang diterbitkan oleh penerbit dalam
negeri, misalnya Thoha Putra Semarang, Menara Kudus, Dar Al-
Fikr Surabaya, Pustaka Al-Alawiyah Semarang, Pustaka Progresif
Jakarta, dan sebagainya.
Pergeseran penggunaan literatur di pesantren ini juga
berpengaruh terhadap pemahaman santri dalam bidang studi/
ilmu yang dipelajarinya. Pada masa kepemimpinan KH. Anwar
Salifa, kitab/literatur yang digunakan lebih banyak berkaitan
dengan bidang ilmu tasawuf sedangkan pada masa sekarang
(kepemimpinan KH. Rahmatullah) kitab/literatur yang digunakan
lebih banyak berkaitan dengan bidang Ilmu Fikih. Perubahan
bidang ilmu yang menjadi pusat perhatian pengasuh ini menjadikan
perhatian santri juga terpengaruh. Perhatian santri yang pada masa
lalu lebih terfokus pada bidang tasawuf, pada saat ini berubah
menjadi lebih banyak mempelajari Kitab-kitab Fikih. Dengan
demikian, santri pada saat sekarang tentunya lebih menguasai Ilmu
Fikih dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Kitab-kitab Tasawuf
menurut para santri relatif lebih sulit dipahami, sebaliknya Kitab-
kitab Fikih selain lebih mudah dipelajari juga dianggap lebih

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 61


penting oleh mereka. Di samping itu, mereka juga menganggap
bahwa Kitab-kitab Nahwu dan Sharaf merupakan kitab-kitab yang
penting, karena hanya dengan kitab-kitab tersebut para santri dapat
mempelajari isi kitab-kitab klasik lainnya, namun pada umumnya
mereka menganggap mempelajari Ilmu Fikih lebih penting karena
ilmu tersebut dapat menuntun perjalanan hidup manusia agar
selamat di dunia dan akhirat.
Dalam hal penggunaan bahasa, menurut sebagian santri,
yang penting dapat dengan mudah dipahami. Penggunaan bahasa
yang mudah dipahami lebih diminati daripada penggunaan bahasa
yang berbelit-belit, tanpa mengurangi esensi dari isi kitab yang
dipelajari. Pada masa awal berdiri, pengasuh (KH. Anwar Salifa)
lebih sering menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab
dengan penjelasannya menggunakan bahasa Jawa, sedangkan pada
masa sekarang, para pengasuh atau ustadz masih menggunakan
kitab-kitab berbahasa Arab tetapi penjelasannya kadang-kadang
menggunakan bahasa Indonesia. Adapun di kalangan santri
sekarang, untuk santri yunior, kadang-kadang menggunakan kitab
terjemahan dan penjelasannya menggunakan bahasa Indonesia dan
Jawa. Hanya sebagian kecil saja yang masih menggunakan bahasa
Jawa.
Dalam hal rumpun kitab yang dipelajari, ada kecenderungan
dari pengasuh untuk menggunakan kitab-kitab dari rumpun yang
disepakati oleh penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam
bidang fikih, misalnya, pengasuh di Pesantren Al-anwariyah lebih
memilih menggunakan kitab-kitab dari rumpun Al-Muharra karya
Imam Rafi’i, rumpun Taqrib karya Abu Syuja’, rumpun Muqaddimat
Al-Hadramiyah, dan rumpun Qurrah Al-‘Ain karya Zainuddin Al-
Malibari. Meskipun demikian, tidak semua Kitab-kitab Fikih dari
keempat rumpun itu digunakan, misalnya, Kitab Tuhfah al-mahtaj,
mughni al-muhtaj, taqrir, dan tuhfah al-habib.

J. Dampak Pergeseran Literatur pada Pelaksanaan Ritual


Keagamaan
Terjadinya pergeseran literatur dalam berbagai aspek itu,
selain berdampak pada hubungan santri dengan pengasuh atau
sebaliknya, dan pada pemikiran atau pemahaman keagamaan santri,
juga ada yang berdampak pada pelaksanaan ritual keagamaan.

62 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Dampak pergeseran itu dapat berupa perubahan perilaku dalam
melaksanakan praktek ritual keagamaan, misalnya praktek
peribadatan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah.
Perubahan dalam pelaksanaan shalat wajib akibat
pemahaman yang berubah, misalnya ketika membaca Surat al-
Fatihah pada awal masing-masing rakaat. Dahulu ada pemahaman
bahwa membaca Surat al-Fatihah boleh dilakukan secara terus-
menerus atau bersambung, namun setelah mereka mempelajari
isi Kitab Sabilul Hidayah karya Muhammad Arsyad Amir, ternyata
cara membaca seperti itu tidak benar, sehingga sejak saat itu para
imam dan makmum di Pesantren al-Anwariyah selalu membaca
al-Fatihah dengan cara membaca ayat demi ayat secara terpisah
atau tidak bersambung. Mereka menyatakan bahwa membaca al-
Fatihah harus memenuhi syarat yakni berhenti karena ada tanda
qolla atau alwaqfu ‘aula yang artinya utama diam di akhir ayat.
Perubahan pemahaman tentang cara membaca Surat al-Fatihah
yang diikuti dengan perubahan perilaku tersebut menunjukkan
adanya pergeseran dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang
disebabkan oleh pergeseran dalam pemahaman isi literatur.
Selain itu, perubahan perilaku pada pelaksanaan ritual
shalat juga terjadi ketika ada halangan, yakni ketika belum selesai
dalam membaca Surat al-Fatihah sampai membaca amin kemudian
mengalami bersin. Dahulu memiliki pemahaman bahwa ketika
sedang membaca al-Fatihah kemudian mengalami bersin maka
sebaiknya segera mengucapkan “alhamdulillah” lalu melanjutkan
membaca ayat lainnya yang belum selesai. Namun pemahaman itu
berubah karena di dalam Kitab Sabilul Hidayah dijelaskan bahwa
apabila sedang membaca al-Fatihah kemudian mengalami bersin
maka tidak dibenarkan mengucapkan kata-kata yang lain, misalnya
kata “alhamdulillah”, subhanallah, “innalillah”, dan sebagainya.
Jadi, seandainya ada seseorang sedang melakukan shalat dan dia
membaca surat al-fatihah kemudian dia mengalami bersin atau
lainnya, dan dia mengucapkan “alhamdulillah”, maka bacaan Surat
al-Fatihahnya tidak sah dan harus diulang. Perubahan perilaku
tersebut menunjukkan adanya dampak dari terjadinya pergeseran
literatur pada aspek pemahaman isi kitab.
Dampak pergeseran literatur terhadap pelaksanaan ritual
keagamaan lainnya adalah dalam pelaksanaan Shalat Tarawih.

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 63


Dilihat dari jumlah rakaatnya, ada perbedaan pelaksanaan Shalat
Tarawih di lingkungan pesantren ini. Dahulu semua santri, ustadz
dan pengasuh di pesantren ini melaksanakan Shalat Tarawih dengan
dua puluh rakaat ditambah wirid tiga rakaat atau lima rakaat atau
tujuh rakaat sehingga menjadi dua puluh tiga rakaat, atau dua puluh
lima rakaat, atau dua puluh tujuh rakaat, tetapi kebanyakan para
santri di pesantren ini melaksanakan Shalat Tarawih dua puluh
rakaat ditambah Shalat Witir tiga rakaat sehingga menjadi dua puluh
tiga rakaat. Akibat dari berkembangnya pemahaman keagamaan di
kalangan santri, khususnya tentang pelaksanaan Shalat Tarawih,
maka di kalangan santri sekarang ada yang melaksanakan Shalat
Tarawih dengan delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat, sesuatu
hal yang tidak lazim dilakukan oleh santri di pesantren salafiyah
pada umumnya. Pelaksanaan Shalat Tarawih yang dilakukan oleh
penghuni pesantren pada umumnya adalah sebagaimana yang
dilakukan kebanyakan orang yang berpaham Ahlussunnah wal
Jamaah dari organisasi Nahdhatul Ulama. Dengan demikian, hal itu
menunjukkan adanya pergeseran perilaku ritual keagamaan akibat
adanya pergeseran pemahaman terhadap isi literatur di pesantren
ini.

K. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa,
(1) Di Pesantren Slafiyah Al-Anwariyah desa Tegalgubug Lor,
Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, telah
terjadi pergeseran literatur secara terbatas. Pergeseran yang terjadi
mencakup perubahan pada aspek kepengarangan, kepenerbitan,
bidang keilmuan, dan penggunaan kitab. Pergeseran pada aspek
kepengarangan kitab berkenaan dengan keasalan kepengarangan
kitab, yakni dari pengarang kitab asing ke pengarang kitab dalam
negeri (lokal). Pergeseran pada aspek kepenerbitan juga berkenaan
dengan keasalan penerbit kitab, yakni dari penerbit asing ke penerbit
dalam negeri (lokal). Pergeseran pada aspek bidang keilmuan
berkenaan dengan jenis bidang ilmu yang menjadi penekanan,
yakni dari bidang ilmu tasawuf dan nahwu/saraf. Pergeseran aspek
penggunaan kitab berkenaan dengan jenis kitab yang digunakan,
rumpun kitab yang digunakan, dan cara atau tehnik pengajaran
kitab oleh guru/ustadz/pengasuh kepada santri. Pergeseran pada

64 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


jenis kitab mencakup pergeseran dari jenis kitab kuning ke kitab
bukan kuning (kontemporer) dan pergeseran dari kitab berbahasa
Arab ke kitab berbahasa Jawa atau Indonesia. Pergeseran pada
rumpun kitab berkenaan dengan pergeseran pada rumpun Kitab
Fikih, mencakup pergeseran dari Kitab al-Muharrar karya Imam
Rafi’i, Taqrib karya Abu Syuja’, dan Muqadimat al-Hadramiyah,
ke rumpun Kitab Qurrah al-‘Ain karya Zainuddin al-Malibari.
Meskipun demikian, pergeseran itu tidak mencakup semua jenis
kitab dari rumpun-rumpun tersebut melainkan hanya jenis-jenis
kitab tertentu. Pergeseran pada cara atau tehnik mengajarkan kitab
mencakup pergeseran dalam pemberian arti, yakni dari bahasa
daerah ke bahasa Indonesia, dan pergeseran dalam penggunaan
kitab, yakni dari kitab asli ke kitab terjemahan. Kedua pergeseran
itu hanya terbatas pada santri yunior atau tingkat dasar. (2)
Pergeseran literatur di Pesantren Al-Anwariyah terjadi dalam
rentang waktu yang cukup panjang. Pergeseran itu secra umum
dikelompokkan dalam empat periode atau fase perubahan, yakni
periode pertama, yakni periode awal berdiri (1809) sampai akhir
abad ke-19 (1899). Periode kedua, yakni periode awal abad ke-20
(1900) samapai menjelang kemerdekaan (1945). Periode ketiga,
yakni periode awal kemerdekaan sampai tahun 1970-an. Periode
ke empat, yakni periode sesudah berlakunya sistem madras tahun
1970 sampai sekarang (2005). (3) pergeseran literatur di Pesantren
Al-anwariyah disebabkan oleh paling tidak tiga hal, yakni pergantian
kepemimpinan di pesantren itu, tuntutan perkembangan zaman, dan
trend pasar yang berkembang pada saat itu. Pergantian pimpinan
di Pesantren Al-Anwariyah telah terjadi berkali-kali. Nama-nama
Pimpinan Pesantren Al-Anwariyah sejak pertama hingga hingga
terakhir adalah KH. Anwar Salifah (pendiri), KH. Rafi’i (menantu
KH. Anwar Salifah), KH. Abdullah (putra KH. Anwar Salifah), KH.
Muhammad Arsyad Amir (putra KH. Rafi’i), KH. Ahmad Amin (putra
KH. Muhammad Arsyad Amir), KH. Shofwan (adik KH. Ahmad Amin,
putra KH. Muhammad Arsyad Amir,), KH. Zaini Siradj (menantu
KH. Muhammad Arsyad Amir), dan KH. Rahmatullah (sekarang).
Tuntutan perkembangan zaman menghendaki agar pesantren itu
melakukan penyesuaian-penyesuaian, khsusnya tentang sistem
pendidikan yang diterapkan agar pesantren itu tetap diminati oleh
masyarakat. Selain itu, trend pasar juga menghendaki agar santri

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 65


tidak hanya dibekali dengan ilmu-ilmu keagamaan dari kitab-kitab
klasik tetapi juga diberi materi tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi agar kelak bila mereka keluar dari pesantren itu telah
memiliki bekal ilmu agama dan ketrampilan yang cukup untuk bisa
hidup ditengah-tengah masyarakat.
Pergeseran literatur di Pesantren Al-Anwariyyah telah
berdampak pada empat aspek, yakni aspek hubungan santri dengan
pengasuh atau sebaliknya, aspek pemikiran atau pemahaman
keagamaan santri, aspek pelaksanaan ritual keagamaan,
pemahaman isi kitab, menyebabkan terjadinya perubahan secara
terbatas sikap santri terhadap pimpinan dan pengasuh pesantren.
Sikap santri berubah dari tawadlu’ yang asal taat/patuh menjadi
tawadlu’ yang rasional. Penambahan pengetahuan atau penafsiran
isi berbagai kitab yang dibaca/dikaji juga menyebabkan terjadinya
pengembangan pemikiran atau pemahaman santri terhadap
berbagai permasalahan aktual yang terjadi di mayarakat. Pergeseran
literatur juga berdampak pada pelaksanaan ritual keagamaan di
pesantren itu, misalnya dalam praktek pelaksanaan peribadatan
shalat, baik wajib maupun sunah. Di samping itu, pergeseran
literatur juga berdampak pada tanggapan santri atas terjadinya
pergeseran itu. Pada umumnya santri menanggapi positif terjadinya
pergeseran itu, karena terjadinya pergeseran itu membuat santri
semakin leluasa menentukan pilihan dan semakin tidak tergantung
pada salah satu sumber belajar yaitu pengasuh saja melainkan juga
dari referensi-referensi lain yang dapat dibaca atau diperolehnya
dengan mudah.

66 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo:


Penerbit Ramadhani, 1985
Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren Asal-Usul dan
Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan,
2004.
Azra, Azyumardi dalam Nurcholis Madjid. Bilik-bilik Pesantren,
Jakarta, Paramadina, 1997.
Bagian Data dan Informasi Pendidikan Ditjen Kelembagaan Agama
Islam, Statistik Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun
2002-2003, Jakarta, 2003.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Penerbit
Mirzan, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Djunaedi, Mahbub. Nahdlatul Ulama: Sejarah dan Politik. Bandung,
PT Remadja Rosda Karya, 1993.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
1981.
Ismail, Muhammad Syuhudi, Prof. Dr. Paradigma Baru Memahami
Hadits Nabi. Jakarta: Kerjasama Penerbit Insan Cemerlang
dan PT Inti Media Ciptanusantara, tt.
Kartodirdjo, Sartono. Protest Movement in Rural Java. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1978.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS,
1994.
Mudzar, Atho’. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. IV, 2002.
Proyek Peningkatan Pondok Pesantren Ditjen Pembinaan

Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 67


Kelembagaan Agama Islam. Direktori Pondok Pesantren.
Jakarta, 2000
Rahardjo, Dawam. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta, LP3ES,
1980.
Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogayakarta: Penerbit
Teras, 2005.
Wahid, Marzuki, dkk. Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah,
1999.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta:
Penerbit Mutiara Sumber Widya, 1995.

68 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


DOKTRIN DAN GERAKAN PESANTREN
DI CILEGON BANTEN

Fadullah
Instansi Paris
Email: hamnam@llkk

Abstract

Pesantren merupakan lembaga pendidikan umat Islam di


Indonesia dengan tujuan membangun sumber daya manusia
untuk menjadi para ulama, karena itu mengadakan gerakan
moral dan spiritual yang di wadahi organisasi tarekat.
Adapun doktrin yang disampaikan pesantren ada tiga
yaitu mujahadah, ijtihad dan jihad. Mujahadah merupakan
landasan gerakan moral dan spiritual yang diwadahi
dengan gerakan tarekat yang banyak terdapat di Pesantren
Indonesia, tidak terkecuali pesantren di Cilegon. Doktrin
kedua adalah ijtihad sebagai landasan gerakan intelektual
yang member bekal kemampuan pada para santri agar
bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi
dengan berlandaskan pada al qur’an dan sunnah. Sementara
itu, doktrin ketiga adalah jihad sebagai landasan gerakan
sosial dan radikalisme politik.
Kata kunci:

A. Pendahuluan
Daerah Cilegon sesuai namanya merupakan tanah rawa
yang belum banyak dirambah dan dihuni orang. Namun pada masa
keemasan kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-
1672) dilakukan pembukaan lahan pertanian di daerah Serang dan
Cilegon, dengan merubah rawa menjadi persawahan. Sejak itu

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 69


banyak pendatang yang menetap di perkampungan kecil Cilegon.
Penduduk daerah ini, menurut Sartono Kartodirjo merupakan
keturunan orang-orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon
dan dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda,
Bugis, Melayu, dan Lampung. Mereka adalah kelompok-kelompok
perantau yang cerdas, lebih sadar diri dalam hal agama, fanatik,
agresif, dan bersemangat memberontak, serta hampir tak terdapat
ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa, serta penetrasi Islam sangat
mendalam1.
Penduduk Cilegon taat dalam melaksanakan berbagai
kewajiban syari’at, sehingga diasosiasikan secara dekat dengan
militansi Islam2. Militansi Islam ini tidak terlepas dari peran ulama
(Pakih Najmuddin) melalui institusi qadhi, pesantren dan gerakan
tarekat. Keberadaan pesantren di Cilegon tidak terlepas dari kerja
dakwah ulama pengembara asal Demak Jawa Tengah. Ia adalah Ki
Abu Sholeh (1768-1809) dan Mas Burhan. Abu Sholeh menetap
dan dikubur di gunung Santri. Beliau memberi pengaruh terhadap
dakwah dan gerakan sosial di Bojonegara. Dari iklan Ki Abu Sholeh
mendirikan perguruan Islam “al-Khairiyah” Tjitangkil oleh KH.
Syam’un, cucu KH. Wasyid Beji. Sedangkan Mas Burhan menetap
di Cibeber, berdakwah dan menyebarkan Islam, serta membangun
pondokan yang digunakan untuk mengajarkan agama Islam kepada
masyarakat sekitarnya. Hal ini berlangsung sekitar 1779-1813,
kemudian pindah dan menetap sampai akhir hayatnya di kampung
Pangsoran Bojonegara. Dari iklan Mas Burhan mendirikan madrasah
Al-Jaharatunnqiyah Tjibeber oleh KH. Abdul Latif.
Daerah Cilegon lambat laun berkembang sangat pesat dan
menjadi heterogen, sehingga pada tahun 1816 berubah status
menjadi Kewedanan (districh). Pada tahun 1892 kewedanan
Cilegon tercatat sebagai daerah yang paling padat penduduknya
sewilayah Banten3. Kewedanan Cilegon ini meliputi tiga kecamatan,
yaitu kecamatan Cilegon, Kecamatan Bojanegara, dan Kecamatan
Pulomerak. Kantor Kewedanan (disrich) Cilegon masih ada dan

1
Sartono Kartodirjdo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984), h. 54
2
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 248
3
Ibid. h. 53

70 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


berdiri dengan kokoh hingga sekarang (sekarang menjadi kator
dinas Pendapatan kota Cilegon).
Kota Cilegon berkembang sebagai daerah pesantren
yang lekat dengan gerakan tarekat, Kiai mempunyai pengaruh di
kalangan rakyat, tidak saja di bidang keagamaan, tetapi juga dalam
bidang gerakan sosial-politik (pemerintahan) dan kemasyarakatan.
Bahkan, pesantren dan gerakan tarekat di Cilegon berubah menjadi
gerakan ideologis yang radikal, seperti terlihat dalam peristiwa
jihad “Geger Cilegon” pimpinan KH. Wasid 18884. Para ulama beserta
santri dan rakyat menentang penindasan kolonial belanda yang
telah merampas hak-hak rakyat, dan mengubah sepihak tatanan
politik yang mengarah pada keuntungan penjajah. Pesantren
dan gerakan tarekat merupakan pembela rakyat, terutama kaum
petani, dan bercita-cita mengembalikan kejayaan Negara dengan
didasarkan pada nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan keadilan.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, para ulama melalui
pesantren dan gerakan tarekat perguruan Islam “Al-Khairiyah”
Citangkil, “al-Jauharatunnaqiyah” Cibeber, dan “al-Athfal” di
Cubling Cigading sangat aktif memobilisasi gerakan rakyat. Mereka
belajar militer kepada Jepang. Ketika Jepang terusir dari Indonesia
oleh sekutu yang diboncengi Belanda, laskar ulama santri terdidik
kemiliteran Jepang ini menolak dan melawan Belanda yang datang
lagi untuk menjajah. Pada masa revolusi fisik, tahun 1945-1949,
para ulama mengisi kekosongan jabatan pemerintahan dan militer.
Kyai Ahmad Khatib sebagai residen Banten, KH. Syam’un (pimpinan
perguruan Islam “Al-Khairiyah” Citangkil Cilegon) sebagai panglima
Devisi seribu merangkap Bupati Kabupaten Serang, Kyai Tb. Abdul
Halim sebagai bupati Pandeglang, dan Kyai Muhammmad Hasan
sebagai bupati Lebak, Syeh H. syukur Alwan sebagai kepala polisi
daerah Banten, Lurah Kamid sebagai kepala polisi daerah Serang,
KH. Sayuthi sebagai kepala polisi daerah Cilegon, KH. Suhaimi
sebagai Wedana Cilegon, KH. Juhri (Jaha Anyar) sebagai Wedana
Anyar, H. mukmin sebagai Wedana Ciomas, KH. Juhri (Pontang)
sebagai Wedana Pontang, Abdul Latif sebagai Camat Bojanegara,
KH. Ali Jaya sebagai Camat Cinangka, KH. Mahmud sebagai Camat

4
Halwani Michrob dan A. Mudjahid Chudhairi, Catatan Masa Lalu Banten,
(Serang: Saudara, 1993), h. 194

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 71


Ciomas, KH. Abdul Halim (Mancak) sebagai camat Mancak, KH.
Abdul Jalil sebagai Camat Grogol, Tahir Hanafi sebagai Camat Ciruas,
H. ahmad Hudain sebagai camat Cirenang, H. Muhammad Sanan
sebagai Camat Tirtayasa, H. Jala Ruha sebagai camat Keroncong, Ki
Kabir sebagai camat Petir, H. Abdul Hamid sebagai camat Cikande,
dan KH. Sohari (Cibeber) sebagai camat Cilegon.
Fakta sejarah ini membuktikan bahwa agama (Islam)
merupakan kekuatan revolusioner yang memimpin gerakan sosial
untuk mengubah masyarakat. Ini merupakan peran signifikasi
pesantren dan tarekat sebagai pranata agama untuk melawan
penjajah Belanda, dan membuktikan efektifitas pesantren
dalam membina kader untuk pengadaan satuan-satuan laskar/
barisan perjuangan kemerdekaan. Pesantren dan gerakan
tarekat menempatkan posisi kepemimpinan ulama (Kyai) dalam
keduduan yang terhormat sebagai Mursyid. Dalam posisi itu,
para ulama berhasil memanfaatkan semua potensi sumber daya
daerah, termasuk kekuatan jawara, dengan memposisikan jawara
sebagai subordinat (pengawal gerilya) ulama (Kyai) dalam usaha
membebaskan Negara dari segala penjajah, menegakkan kebenaran,
dan etika kesusilaan Islam.
Bertolak dari latar belakang masalah diatas, signifikansi
pesantren dan gerakan tarekat dalam mendorong gerakan sosial
politik. Persoalan yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah
apakah ajaran atau doktrin yang mendorong para santri melakukan
mobilisasi sosial, modernisasi dan pembaruan? Kajian memusatkan
diri pada penelaahan terhadap beberapa variabel: pesantren
sebagai the agen of sosial change (agen perubahan sosial), dan cita-
cita sosial yang menggerakkan individu dan institusi melakukan
perubahan.

B. Asal Usul Pesantren


Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan
pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Menurut
Professor Johns istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti
guru mengaji, sedang C.C. berg berpendapat bahwa istilah tersebut
berasal dari kata shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama Hindu, ajaran ahli kitab suci Hindu.
Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci,

72 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Makna pesantren dalam tradisi Islam berarti tempat
belajar kitab suci dari seorang Kyai yang ahli dalam bidang agama
dengan segala tata nilai kesopanan, kesederhanaan pola hidup, dan
kesetaraan pola hidup, dan kesetaraan sosial yang melingkupinya
selalu berkonotasi langsung dengan ajaran Islam. Bentuk pesantren
sebagai hasil cipta akal budi tetap dan khas, tetapi isinya diganti
dengan spirit Islam. Karena itu, pesantren dikenal sebagai lembaga
pendidikan tradisional umat Islam Indonesia untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari.
Pendidikan pesantren merupakan kelanjutan dari pengajian
al-Qur’an tingkat dasar di rumah Guru Ngaji5. Bermula pada
waktu anak-anak berumur kira-kira 5 tahun menerima pelajaran
menghapal beberapa surat pendek Juz ‘Amma dari orang tuanya
atau belajar dirumah guru ngaji tetangganya. Setelah mereka
berumur 7 atau 8 tahun belajar nglalar (membaca alphabet Arab
dan secara bertahap diajar untuk dapat membaca Al-Qur’an sesuai
makhrij al-huruf dan tajwid). Pengajian al-Qur’an itu berupa belajar
membaca beberapa bagian al-Qur’an mulai surat al-Fatihah dan
kemudian surat-surat pendek dalam Juz ‘Amma (terdiri dari surat
78 [an-naba’] sampai surat 144 [an-nas]). Di samping itu, diajarkan
pula perukunan, yang berisi peraturan dan tata cara bersuci, wudlu,
shalat, dan beberap do’a. Pada tingkat tertentu pengajian pengajian
ditambah dengan pelajaran berjanzi dan qasidah yang memang
mendukung kelestarian dan pengembangan tradisi keislaman
masyarakat. Setelah pengajian itu selesai, biasanya diadakan
upacara tamatan atau selamatan khataman. Acara ini dilengkapi
dengan khitanan (sunatan) untuk murid laki-laki dan diberi hadiah
bekakak ayam plus ketan punar. Perisiwa ini sekaligus menandai
perubahan status murid dari anak-anak menjadi akil baligh (dewasa
secara biologis) dan wajib melaksanakan ibadah, seperti shalat,
puasa, dan sebagainya.
Bagi beberapa anak yang berbakat dari keluarga tertentu
dapat melanjutkan pelajaran pada tingkat kedua ngaji kitab. Aktifitas

5
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 21

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 73


ngaji kitab dimaksud berupa membaca dan menerjemahkan kitab-
kitab kuning yang elementer ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian
dari mereka mempunyai niat menjadi ulama, sehingga setelah
berkenalan dengan beberapa kitab elementer, mereka memperdalam
bahasa Arab sebagai alat untuk dapat memperdalam buku-buku
tentang fiqh, ushul fiqh, hadits, adab, tarikh, akhlak, dan tasawuf. Para
santri yang haus akan ilmu akan dapat mengembangkan kualitas
keilmuannya dengan mengikuti program ngaji pasaran setiap bulan
ramadhan, mulud, dan rajab ke pesantren yang disukai.

C. Tujuan Pesantren
Pesantren memiliki dinamika dan perkembangan yang khas,
mulai dari pengajian al-Qur’an, pondok rombeng, dan kemudian
muncul madrasah. Atas dasar dinamika dan perkembangan
pesantren terebut, dirumuskan tujuan pendidikan pesantren di
kota Cilegon sebagai berikut:
1. Mendidik muslim yang dapat melaksanakan syari’at agama
(Islam). Lulusan pesantren harus mempunyai kemampuan
melaksanakan syari’at agama (Islam) secara nyata dalam rangka
mengisi, membina, dan mengembangkan suatu peradaban
Islam, walaupun tidak tergolong pada predikat “ulama” yang
menguasai ilmu-ilmu syari’at secara khusus.
2. Pendidikan pesantren pada tahap ini mementingkan aspek
praktis dari ajaran Islam. Materi pengajian bersifat aplikatif
yang dituntut pengalamannya dalam kehidupan sehari-
hari, bukan pada banyaknya materi (subject matter) yang
dikuasasi secara kognitif. Dalam konteks ini paling tidak santri
harus memahami dan menghayati materi keimanan, ibadah
(shalat, zakat, puasa, haji), dan akhlak (tata krama) serta fikih
munakahat dan mawaris, karena materi-materi tersebut terkait
langsung dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehari-
hari.
3. Mencetak ulama yang menguasai ilmu-ilmu syari’at; mendidik
santri yang mampu berijtihad. Pada tingkat kompetensi ini,
lulusan pesantren dicanangkan menjadi pengawal umat, yang
memberi peringatan dan pendidikan kepada masyarakat di

74 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


mana ia tinggal untuk bersikap, berpikir, berperilaku, serta
berkarya sesuai dengan ajaran Islam.
4. Lulusan pesantren diharapkan dapat mengemban tugas
ulama sebagai pewaris Nabi yang sanggup mengarahkan dan
memimpin masyarakat keluar dari situasi kritis yang dilematis
dengan keputusan dan tindakan nyata yang tegas sesuai prinsip-
prinsip syari’at. Oleh karena itu, mereka diharakan menguasai
ilmu-ilmu syari’at tidak hanya sebagai nilai-nilai universal yang
normatif, tetapi juga menguasai tata cara implementasi niali-
nilai tersebut dalam suatu mekanisme yang serasi dengan
penataan dengan suatu peradaban/ kultur tertentu.
5. Mendidik santri sebagai kader pejuang yang sanggup
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, membebaskan
masyarakat dari kemusyrikan dan perbudakan manusia.
Pada tingkat kompetensi ini, santri dicetak sebagai ulama
sekaligus pemimpin umat dan pemimpin bangsa yang mampu
menggelorakan semangat jihad fi sabilil haq dan memahami
arah perkembangan masyarakat. Keberhasilan rancangan ini
dapat disaksikan dengan tampilnya kepemimpinan ulama di
Banten pada masa revolusi, mulai dari lurah, camat, kepala
polisi, bupati sampai Presiden.

D. Fungsi Pesantren
Pesantren lebih dikenal sebagai institusi pendidikan.
Walaupun dalam kenyataannya, pesantren juga berfungsi sebagai
lembaga sosial dan penyiaran agama serta aktif dalam kegiatan
bela Negara dengan semangat jihad fi sabilillah. Hal ini dibuktikan
dengan gerakan kyai-santri bersama rakyat pada zaman perang
kemerdekaan dan pada zaman revolusi untuk mempertahankan
kemerdekaan. Tidak sedikit pesantren yang dijadikan markas
perjuangan, tempat berunding dan menyusun strategi, bahkan
gudang rahasia untuk menyimpan rahasia.
Ciri sistem pendidikan pesantren adalah berasrama
(boarding scool) dan proses pembelajarannya diorientasikan
untuk menanamkan keimanan lewat aktivitas peribadatan serta
mengembangkan khazanah intelektual muslim zaman klasik melalui
kitab kuning, sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 75


disebut juga sebagai lembaga tafaqquh fi al-din.
Pesantren sebagai lembaga sosial menampung anak
dari berbagai unsur dalam segala lapisan masyarakat muslim,
tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya.
Biaya pendidikan sangat murah, dan di lain pihak pesantren juga
membebaskan biaya pendidikan bagi anak-anak yatim dan orang-
orang yang lemah dalam bidang ekonomi. Kebijaksanaan pesantren
ini disertai dengan bimbingan kyai kepada santri untuk hidup
sederhana dan rendah hati, bersikap mandiri dalam mengatur
keperluannya sendiri (seperti memasak, mencuci pakaian,
mengatur uang belanja, merencanakan belajar, dan sebagainya) dan
mengatur kegiatan kepesantrenan secara bersama dengan penuh
inisiatif, terutama berkenaan dengan kegiatan-kegiatan kokurikuler,
dari sejak pembentukan organisasi santri, penyusunan program,
pelaksanaan peribadatan, keamanan, kebersihan, olah raga,
kesenian, koperasi, sampai pelaksanaan dan pengembangannya.
Dalam pada itu, kyai di pesantren juga membantu para santri untuk
dapat membiayai diri sendiri selama belajar di pesantren dengan
mengajak dan melibatkan santri membajak sawah milik kyai/
ustadz, beternak, berdagang, dan seterusnya.
Sebagai lembaga penyiaran agama, masjid pesantren juga
berfungsi sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar
agama dan ibadah bagi msyarakat umum. Masjid pesantren sering
digunakan untuk menyelenggarakan majelis taklim (pengajian),
diskusi keagamaan, dan sebagainya, oleh masyarakat umum. Selain
itu, kyai dan para santri senior, juga memiliki tanggung jawab
dakwah untuk memberikan pengajian rutin di daerah dakwah
masing-masing, di masjid-masjid dan majelis-majelis taklim di
lingkungan pesantren. Hal ini, disesuaikan pada prinsip bahwa
pesantren adalah tempat mencari ilmu dan sekaligus mengabdi.
Karena itu, terutama santri senior di pesantren bukan hanya
belajar, tetapi juga harus membantu kyai mengajarkan ilmu yang
telah dikuasainya kepada santri yang lain dan masyarakat.
Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat
dan utuh. Dengan ketiga fungsi ini pesantren memiliki tingkat
integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi
rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Hal ini dapat
dilihat dari dukungan dan bantuan masyarakat sekitar terhadap

76 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


keberadaan pesantren, baik berupa tanah (wakaf), uang atau
barang-barang natura lainnya, termasuk tenaga.

E. Doktrin Pesantren
Para pendidik di kalangan pesantren percaya bahwa
kualitas pribadi diperoleh dengan kesungguhan, dengan prinsip
man jadda wajadda. Landasan dan sekaligus indikator kualitas
kesungguhan ini dirumuskan dalam terma Ju-H-Dun: mujahadah,
ijtihad dan jihad. Kualitas rohani diukur dengan kesanggupannya
melakukan mujahadah kepada Allah; kualitas intelek (akal) diukur
dengan kesanggupannya melakukan ijtihad dalam merespon dan
menjawab problem kehidupan masyarakat; dan kualitas jasad
diukur dengan kemampuannya melaksanakan jihad fi sabilillah,
memimpin gerakan dalam membela kelompok masyarakat yang
lemah dan yang tertindas.

F. Mujahada: Landasan Gerakan Moral dan Spiritual


Gerakan moral dan spiritual pesantren dimotori organisasi
tarekat atau aliran tentang cara mendekatkan diri kepada Tuhan,
yang menekankan amalan praktis. Tokoh gerakan ini dikenal dengan
Wali Songo, antara lain Syaih Nur al-din Ibrahim bin Mawlana
Izra’il, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan sunan Gunung
Jati memapankan diri di kasultanan Cirebon. Islam masuk dan
menggarami bumi Cilegon, Banten melalui silsilah sunan Gunung
Jati dan pawarta Islam yang dibawa dari Demak dan Cirebon.
Kehadiran pesantren menyatu dengan dinamika kehidupan
masyarakat6. Ia membawa nilai baru yang secara mudah disebut
“nilai putih” atau nilai-nilai moral keagamaan seraya menggeser
“nilai hitam” yang lebih dahulu ada dalam masyarakat, yaitu nilai-
nilai rendah yang tidak terpuji seperti “molimo” (nilai lima), yakni:
maling (mencuri), madon (melacur), minum (mabuk-mabukan),
madat (candu), dan maen (judi); dan sifat tidak terpuji seprti guna-
guna atau santet (dan pengaruh “ilmu-ilmu hitam” lainnya) dan
sebagainya.
Pesantren dengan semangat sufismenya berhasil
menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pembangunan moral

6
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),
h. 21

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 77


masyarakat. Pesantren menjadi pusat keilmuan dan tempat olah
rohani berdasarkan sufisme Ghazalian yang dipelajari melalui
kitabnya yang termasyhur ihya’ ulumuddin, dan futuhat al-makkiyah
karya ibn ‘Arabi. Meskipun dikalangan awam lebih kenal “tarekat”:
jalan bertasawuf yang bersifat praktis yang tidak menekankan segi
pemikiran kontemplatifnya, dari pada tasawuf itu sendiri. Dari
segi ini, harapan para santri dan orang tua mereka pada pesantren
pada umumnya tidak untuk menjadi ulama, melainkan bagaimana
menjadi orang yang baik.
Pesantren dengan lingkungannya yang khas mengajarkan
disiplin dalam menegakkan shalat dan pelaksanaan kewajiban Islam
lainnya. Pesantren mengatur jadwal belajar berdasarkan siklus
waktu shalat, seperti ba’da dzuhur, qabla maghrib, dan seterusnya.
Karel A. stenbrink melukiskan:
“Untuk meresapkan jiwa keislaman, pesantren tidak hanya
dihormati sebagai tempat belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai
tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai-
nilai agama. Tidak ada tempat lain dimana shalat didirikan dengan
taat. Pada siang hari, dimana-mana orang dapat mendengar para
santri membaca al-Qur’an dengan lagu yang indah, memperbaiki
bacaan dengan tajwid yang benar, atau hanya untuk mengharap
pahala dari membaca al-Qur’an. Pada malam hari juga dapat
dijumpai suasana orang membaca al-Qur’an, melagukan kalam
ilahi, dan mendirikan shalat di tengah keheningan malam”.7 (Karel
A. Steenbrink, 1994: 16)

G. Ijtihad: Landasan Gerakan Intelektual


Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, pada awalnya hanya tempat ngaji, yang berfungsi
sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur
pendidikan, yakni; (1) ibadah untuk menanamkan iman, (2) tabligh
untuk menyebarkan ilmu, (3) amal untuk mewujudkan kegiatan
kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari8. Semua materi
pengajian bersifat aplikatif yang dituntut pengalamannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga penekanannya bukanlah pada
7
Karel A. Steenbrink, 1994. H. 16
8
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press,
1997) , h. 71

78 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


banyaknya materi atau kemampuan santri dalam memahami isinya,
melainkan pada penerapan dalam kehidupan nyata.
Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren megajarkan
tata bahasa Arab (qawa’id lughah al-‘arabiyah) dan logika (mantiq)
untuk mempelajari al- Qur’an dan sunah nabawiyah secara
mendalam melalui kitab kuning, warisan khazanah intelektual
muslim klasik yang paling orisinil, dan mendakwahkannya pada
masyarakat secara luas dengan bahasa rakyat. Dalam kerangka
itu, imege sebagai lembaga ”Tafaqquh fi al-din”, yang berfungsi: (1)
transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, (2) pemeliharaan tradisi
Isalm, dan (3) reproduksi ulama.
Menurut KH. M. yunus Ghazali (tokoh al-jauharatunnaqiyah)
dan KH. Fathullah Syam’un (tokoh al-Khairiyah) dasar doktrin
gerakan intelektual adalah firman Allah Qs. At-Taubah/9, ayat 122
sebagai berikut:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi
semua (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan tentang agama, dan untuk member peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadnya supaya mereka
itu dapat menjaga diri. ”
Sabda Rasulullah saw.:
“Dari Hamid bin Abdurrahman ra. Bahwa ia mendengar
Mu’awiyah berkhutbah katanya:”barang siapa dikehendaki
Allah akan memperoleh kebaikan, diberi oleh Allah
pengertian secara mendalam dalam hal agama. Sungguh, saya
hanyalah membagi-bagikan [menyampaikan, menyiarkan,
dan mengajarkan] saja, sedangkan yang memberi [pada
hakikatnya] adalah Allah. Selama umat Islam berdiri teguh
berpegang teguh pada ajaran Allah maka tidak akan pernah
ataupun penentang-penentang mereka yang sanggup
membinasakan mereka samapai kiamat datang.” (HR.
Bukhari).
Para kyai Cilegon menafsirkan ayat dan hadits diatas
merujuk pada pandangan Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani
dalam Fath al-Bari bi Syarh al-Bikhari, bahwa ayat dan hadits diatas
mengandung tiga pemikiran: Pertama, keutamaan tafaqquh fi al-
din. Kedua, pemberi ilmu pada hakikatnya adalah Allah. Ketiga,

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 79


jaminan bahwa ada sebagian umat Islam yang tetap konsisten pada
kebenaran hingga kiamat.
Doktrin pertama tentang keutamaan tafaqquh fi al-din
menegaskan bahwa syarat diterimanya amal perbuatan adalah
ilmu. Amal tanpa ilmu akan ditolak. Karena itu, Islam mengajarkan
kepada umat muslimin untk belajar sepanjang hayat, sejak dalam
kandungan hingga wafat. Umar ibn Khattab mengajak umat muslimin
untuk belajar secara sungguh-sungguh sebelum lanjut usia. Tujuan
belajar dimaksud, menurut ibn Abbas adalah agar menjadi insan
rabbani yang hukama’, fuqaha, sekaligus ulama’. Menurut ibn Arabi,
insan rabbani adalah ilmuan yang tekun megajarkan ilmu kepada
orang lain dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Allah
berfirman:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: “hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):”Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan
Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya….”(Qs. Ali-
Imran/3: 79).

Doktrin kedua, menegaskan bahwa kebenaran hanyalah


milik Allah. Pengetahuan manusia tentang kebenaran tidak hanya
diperoleh melalui usaha (belajar), melainkan juga anugerah
Allah kepada orang-orang yang dibukakan mata hatinya. Allah
mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahui (karenanya
juga tidak pernah terpikirkan) sebelumnya. Kesadaran demikian ini,
include pada konsep belajar umat Islam selain prinsip kesungguhan
atau juhd prinsip kesucian hati dan sikap kerendahan hati untuk
memperoleh mukasyafah, serta tangguh jawab moral seorang
ilmuan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu tersebut.
Kesadaran ini membebaskan intelektual muslim dari sikap mental
yang inferior dan intelektual arrogance sekaligus. Mengajar adalah
cara belajar yang efektif, karena mengajar merupakan bagian
dari sedekah jariah. Semangat intektualisme Islam semacam ini
ditegaskan dalam riwayat berikut:
“Janganlah mereka iri hati kecuali kepada dua orang. (1)
orang yang diberi harta oleh Allah kemudian dipergunakannya

80 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dalam jalan kebenaran, (2) orang yang beri hikmah pengetahuan
irfan oleh Allah, kemudian diamalkan dan diajarkan.” (HR.
Bukhari)
Doktrin ketiga tentang sekelompok orang Islam yang
konsisten dalam kebenaran. Menurut imam Bukhari mereka
adalah ahl-‘ilm. Menurut imam Ahmad ibn Hanbal, mereka adalah
ahl-hadits. Sedangkan menurut imam Nawawi, mereka adalah
khairul ummah. Mereka adalah golongan intelektual dan dapat
disebut mujahid (orang yang berijtihad), faqih (ahli hukum Islam),
muhaddits (ahli hadits), atau zahid (ahli suffi) yang konsisten
melaksanakan perintah Allah, menegakkan prinsip amar ma’ruf
nahi munkar. Bahwa komunitas pesantren dibina menjadi kualitas
masyarakat utama sebagaimana firman Allah berikut:
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia: menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(Qs. Ali-Imran/3:110).

H. Jihad Landasan Gerakan sosial dan Radikalisme politik


Dalam konteks politik, Islam di Cilegon berfungsi sebagai
kelengkapan ideologis yang amat kuat untuk melawan kaum kafir
belanda. Islam di tengah perjuangan kemerdekaan efektif sebagai
senjata ideologis-politik dan pangkal tolak kesadaran kebangsaan,
cinta tanah air, dan perlawanan kepada penajajah. Pekikan takbir
Allahu Akbar mampu menggugah semangat prajurit santri untuk
bertempur mengusir penjajah dari bumi peritiwi. Dalam hal ini,
kyai selalu menempatkan Negara pada posisi yang wajib dibela
dan dipertahankan. Karena itu, dalam kondisi tertentu pesantren
dijadikan markas perjuangan, tempat berunding dan menyusun
strategi, bahkan gudang rahasia untuk menyimpan senjata.
Para kyai memperkuat garis perjuangan dengan semangat
“Hubbul Wathon Minal Iman”; membela republik adalah perang
dijalan Allah, dan gugur dalam pembelaan itu adalah mati syahid.
Jihad adalah seruan kepada agama yang hak (benar) yang didasarkan
pada landasan berikut:

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 81


“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga
bagi mereka. Mereka berperang dalan jalan Allah lalau mereka
membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakan
yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu
dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah/9: 111)
Kaitannya dengan jihad, kebencian dan penentangan
kalangan pesantren di Cilegon terhadap Belanda dimanifestasikan
dalam tiga bentuk aksi.
Pertama, uzlah atau pengasingan diri. Mereka menyingkir
ke desa-desa atau tepat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan
suasana kolonial Belanda. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan
pesantren berada di desa. Para kyai berpandangan bahwa di desa
lebih terjaga dari pengaruh moral dan budaya asing yang destruktif.
Sikap uzlah kalangan pesantren ini masih bisa disaksikan saat ini,
misalnya masih ada kyai yang mengharamkan Tv dan radio. Sikap
uzlah ini dijiwai dengan semangat jihad pada tahapan pertama.
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalanku
yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya.” (Qs. Al-An’am/6: 153)
Semangat isolasi pesantren dari sitem kolonial pada
umumnya, secara simbolik, tercermin dalam sikap kyai yang
mengharamkan apa saja yang datang dari Belanda, sejak yang
cukup prinsipil seperti ilmu pengetahuan (dan huruf latin) sampai
hal yang sederhana seperti celana, dasi, sepatu, dan lain-lain.
Penolakan ini didasarkan pada sebuah hadits: man tsyabbaha bi
qaumin fa huwa min hum. Maka meniru kaum Belanda dengan,
misalnya, memakai celana, membuat yang bersangkutan termasuk
kaum belanda yang “kafir” itu. Karena itulah, meskipun secara
politik dan ekonomi perjuangan kaum santri kalah dan Indonesia di
kuasai kolonial Belanda, tetapi secara sosial dan budaya umat Islam
dipandang berhasil luar biasa. Jalan ini yang pada awalnya diambil
oleh ki Hasyim, pendiri Madrasah al-athfal di Lijajar, Cigading.
Kedua, bersikap non kooperatif dan mengadakan
perlawanan secara diam-diam. Selain menelaah kitab dan

82 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


memperdala pengetahuan keagamaan, para kyai menumbuhkan
semangat jihad santri mereka untuk membela Islam dan menentang
penjajah. Para kyai juga mengajarkan mereka ilmu bela diri dan
ilmu batin. Sikap ini didasarkan pada firman Allah:
“Allah berfirman:”seungguhnya Allah membela orang-
orang yang beriman. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai tiap-tiap
orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. Telah didizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar maha
kuasa menolong mereka itu (yaitu) orang-orang yang telah diusir
dari kampong halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata;”Tuhan Kami hanya Allah”. Dan sekiranya
Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-
gereja, rumah-rumah ibadah orang yahudi dan masjid-masjid, yang
didalamnya banyak disebut nama Allah, sesungguhnya Allah pasti
menolong orang-orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, yaitu orang-orang
yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar dan kepada
Allah-Lah kembali segala urusan.” (Qs. Al-Hajj/22: 22-41).
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang
kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.
Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” (Qs. Al-anfal/ 8: 60)
Aspirasi kyai yang sangat nasionalistik dan patriotik menilai
bahwa ikut dan memperoleh pendidikan Belanda merupakan
suatu kekurangan. Terlibat dan berhubungan dengan birokrasi
pemerintah (kolonial) haram hukumnya. Mereka mengharamkan
menjadi pegawai pamongpraja. Menjadi pegawai Negara sama
dengan menjadi pembantu atau antek-antek penjajah. Karena itu,
pesantren di bawah pimpinan kyai dengan tradisi kemandirian dan
kesederhanaan banyak melahirkan wirausahawan pribumi. Kaum

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 83


santri di Cilegon pada umumnya menjadi pebisnis, pengrajin kapur,
pedagang yang memahami halal haram di pasar atau menjadi
petani, nelayan yang dapat memahami musim lewat ilmu astrologi/
ilmu falak.
Ketiga, berontak dan mengadakan perlawanan fisik
trhadap Belanda. Pejuang kyai, kaum santri dan dunia pesantren
ini merupakan manifestasi sikap muslim sejati yang tidak rela
menyaksikan ketidak adilan dan pelanggaran atas hal-hak
kemanusiaan. Para kyai menggunakan jalan gerilya. Hal ini
didasarkan pada jiwa jihad, sebagaimana firman Allah:
“Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka
dimana saja kamu menemui mereka dan janganlah kamu ambil
seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan
(pula) menjadi penolong, kecuali orang-orang yang meminta
perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum
itu ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada
kaum sedang mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu
dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu mereka
memberi kekuasaan kepada mereka membiarkan kamu, dan tidak
memrangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka
Allah tiak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan menumbuh)
mereka.” (Qs. An-Nisa’/ 4: 89-90)
Pada zaman Belanda, dengan dilandasi iman tauhid dan
demi menegakkan kebenaran dan keadilan, para kyai, santri,
dan dunia pesantren di Banten bangkit mengangkat senjata
mengadakan perang sabil untuk menentang penjajah Belanda yang
kafir. Pemberontakan itu merupakan respon umat Islam untuk
melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan
tanam paksa. Peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan petani
yang meletus pada tahun 1834, 1836, dan 1849.
Pemberontakan pecah kembali pada tahun 1880. Gerakan
perlawanan ini dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus
Ismail, Haji Marzuki, dan Haji Wasid. Perlawanan para kyai dan
kaum santri yang paling menonjol di banten pada abad ke-19 adalah
peristiwa yang dikenal dengan “geger Cilegon” pada tanggal 9 juli
1888. Tokoh mentukan dalam peristiwa geger Cilegon ini adalah
Haji Wasid. Api perjuangan Ki Wasid ini kelak dilanjutkan oleh
cucunya, K.H. Syam’un, pendiri Madrasah al-Khairiyah Citangkil.

84 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Motifasi jihad ini bukan saja dilandasi semangat cinta
tanah air dan bela Negara melainkan didorong dalam kerangka
menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Dimenifestasikan
dalam bentuk upaya merombak tatanan sosial-ekonomi-politik
yang tidak sesuai dengan aturan agama, utamanya kemusyrikan.
Perang geger Cilegon 1888 itu menurut halwani Michrob adalah
berawal dari tindakan Ki wasid beserta para santrinya menebang
pohon kepuh besar di Lebak Kapuh yang oleh sebagian penduduk
dianggap keramat dapat menolak balak bencana dan meluluskan
apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin pbubggu
pohon pahala tersebut.
Ki Wasid tidak dapat kompromi dengan kemusyrikan. Tetapi
tindakan ki Wasid ini dipersalahkan oleh Belanda karena melanggar
hak orang lain. Pada tanggal 18 november 1987 Ki Wasid di vonis
bersalah, sehingga dikenakan denda 7,50 golden9 (Mihrob: 197-8).
Pada saat yang lain, menara langgar di Jombang tengah dirobohkan
atas perintah asisten Residen Goebels, diserta surat edaran yang
berisi larangan azan, shalawatan, dan takhrim mejelang shalat
subuh dengan suara keras. Dalam hal ini, dalam penafsiran para
kyai Cilegon saat itu, berlakulah firman Allah;
“Dan pergilah kaum musyrikin sebagaimana mereka pun
memerangi kamu dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Taubah/9: 36)

I. Kesimpulan
Daerah Cilegon dihuni oleh pendatang yang berasal dari
Demak dan Cirebon. Juru dakwah dari Demak seperti Ki Abu
Sholeh dan Mas Burhan tinggal dan mengembangkan dakwah
di Bojonegara, distrik Cilegon. Dari kedua juru dakwah itu lahir
keturunan yang bergiat mendirikan pesantren: Al-Khairiyah dan
klan Abu Sholeh dan al-Jauharatunnaqiyah dari klan Maas Burhan.
Pesantren di Cilegon bermula dari pengajian kitab dirumah kyai
atau masjid. Ketika jumlah santri bertambah dan diantara santri
berasal dari rantau, maka ada keprluan pemondokan untuk tempat
tinggal. Karena itu, masjid, rumah kyai, dan majelis ta’lim itu

9
Halwani Michrob dan A. Mudjahid Chudhairi, Catatan Masa Lalu Banten,
(Serang: Saudara, 1993), h. 197-198

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 85


dilengkapi dengan pondok atau asrama.
Dalam sejarah pergearakan Islam di Cilegon Banten, pada
masa penjajahan dan masa revolusi, pesantren telah sanggup
memerankan diri sebagai “director of power” dalam mengawal
dan dinamika masyarakat. Kyai dan santri bukan hanya dihormati
karena kesalehan dan kepakarannya dalam bidang agama, tetapi
juga dihargai karena kegigihannya dlam melawan penjajah, bela
Negara, dan mengayomi masyarakat. Kekuatan gerakan kyai dan
santri ini dilandasi oleh semangat iman tauhid dan doktrin jihad,
ijtihad, dan mujahadah, yang disosialisasikan pesantren melaui
kitab kuning.
Dalam konteks sosial, pesantren berhasil menyalurkan
para alumni pada status sosial yang lebih tinggi dalam kehidupan
masyarakat Cilegon yang menjunjung tinggi tradisi keagamaan.
Mereka memimpin umat dan mengendaliakn pemerintahan. Paling
rendah, dlam struktur masyarakat Cilegon-Banten yang menjunjung
tinggi tradisi keagamaan, santri yang mampu menjadi muadzin,
imam, khatib, dan memimpin do’a sangat dihargai.***

86 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


DAFTAR PUSTAKA

Asqalani, Ahmad bin Ali Ibn Hajar. Fath Al-Bari bi Syarh al-Bukhari,
Birut: Dar al-Fikr, 1994
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1994
Kartodirjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984
Madjid, Nurkholis. Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina,
1997
Madjid, Nurkholis. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 1992
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS,
1994
Michrob, Halwani & Chudhari, A. Mudjahid. Catatan Masa Lalu
Banten, serang: Saudara, 1993
Stenbrink, Karel, A. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994
Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani
Press, 1997
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat,
Bandung: Mizan, 1999

Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 87


Halaman ini bukan sengaja dikosongkan

88 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


AGAMA LOKAL
Ter (di) pinggirkan di antara Agama Besar

Zakiyah

Email: zakiyah_elwa@@yahoo.com

ABSTRAK

“Agama” merupakan bagian integral dari kehidupan


umat manusia, agama ini mengambil beragam bentuk
dan menggunakan berbagai nama. Pada dasarnya agama
berhubungan dengan sistem kepercayaan terhadap dewa
atau dewa-dewa yang bersemayam dalam kekuatan gaib
sesuatu benda. Beberapa kepercayaan disertai dengan
peraturan-peraturan, upacara dan ritual pemujaan (Isaacs,
1993). Agama berperan sebagai pengikat para pemeluknya
dalam suatu ikatan kepercayaan terhadap Tuhan atau
Dewa, sekaligus sebagai sarana penghubung di antara
manusia. Agama masuk dalam ruang bawah sadar dan
mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari para
pengikutnya. Agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap
Tuhan, Dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut. Dari sisi bentuknya agama sering didefinisikan
sebagai kebudayaan batin manusia yang memiliki potensi
psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia.
Sementara itu, apabila dilihat dari segi isinya agama adalah
ajaran atau wahyu Tuhan yang tidak bisa dianggap sebagai
kebudayaan. Dua gagasan ini kemudian menghasikan dua
perbedaan antara agama wahyu dan agama yang dianggap
kebudayaan. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga
agama besar yang diyakini sumbernya berasal dari Wahyu
yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Sedangkan kategori dua
berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat
sendiri, di antaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 89


Taoisme, agama Hindu dan Budha. Selain kategorisasi
tersebut, ahli antropologi dan sosiologi juga membagi
agama menjadi dua kelompok besar yaitu spiritualisme dan
materialisme. Spiritualisme merupakan agama penyembah
zat yang tidak berbentuk/gaib; yang kemudian dibagi lagi
menjadi agama penyembah Ruh dan penyembah Tuhan.
Materialisme memiliki kepercayaan akan adanya Tuhan
yang mewujud dalam bentuk benda/ materi seperti patung,
binatang dan berhala.

Kata Kunci: Agama, Agama Lokal, Agama Besar

A. Pendahuluan
Ajaran-ajaran agama tumbuh dan berkembang bersama
perkembangan manusia. Beberapa ahli sejarah agama menyebutkan
bahwa agama ada sejak manusia pertama muncul di dunia, dari
masyarakat primitif sampai masyarakat modern, dari belahan bumi
barat maupun belahan bumu timur. Kenyataan ini menunjukan
bahwa manusia memiliki potensi dasar atau instink agama yaitu
manusia sebagai “homo divians” (makhluk ber-Tuhan) atau “homo
religious” (makhluk beragama). Sejalan dengan hal tersebut,
manusia baik secara kelompok maupun perseorangan selalu
memiliki agama, meski corak dan bentuknya tidak selalu sama.1
Selain itu agama besar yang telah disebutkan (yakni Islam, Kristen,
Yahudi) dan ajaran Taoisme, Kun Fu Tse, Hindu dan Budha, masih
banyak lagi ajaran atau kepercayaan masyarakat terhadap tuhan
atau dewa dibanyak wilayah di dunia yang keberadaannya terbatas
pada daerah tertentu. Beberapa diantara agama tersebut adalah
Zarathustra yang berkembang di Persia, dan agama Mesir kuno yang
memiliki corak polytheisme, animism dan kadang-kadang Toteisme
yaitu memuja dewa-dewa, ruh-ruh, dan binatang yang dianggap
suci. Sementara itu, di Indonesia juga terdapat banyak ajaran atau
agama yang muncul dari masyarakat lokal yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke.
Sistem kepercayaan masyarakat lokal (kemudian disebut
agama lokal) ini dalam beberapa kajian dan penelitian sering
dimasukkan dalam sub bahasan kebudayaan. Hal ini mungkin

H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta:


1

Golden Terayon Press, 1987).

90 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


disebabkan karena adanya anggapan bahwa agama lokal ini bukan
agama Wahyu, atau mungkin dikarenakan sebagian besar dari kita
ketika membahas agama akan merujuk pada agama-agama besar
yang diakui pemerintah Indonesia yaitu, Islam, Katolik, Kristen,
hindu, dan Budha. Selain itu, adanya aturan bahwa masyarakat
Indonesia harus berafiliasi pada salah satu agama yang diakui
tersebut, sehingga keberadaan kepercayaan lokal sering tidak
disebut sebagai agama. Kenyataan ini membawa akibat pada
eksistensi agama lokal yang semakin lama semakin terdesak.
Disamping itu juga adanya misi penyebaran agama yang dilakukan
oleh penganut agama besar khususnya Islam, Kristen, dan Katolik,
sehingga jumlah penganut agama lokal mulai menurun
Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, maka dibahas
permasalahan agama lokal di Indonesia yang beradaannya semakin
terpinggirkan di antara agama-agama bersar. Dalam makalah
ini akan dipaparkan tentang agama-agama lokal yang ada di
Indonesia, kemudian dilanjutkan pembahasan mengenai fenomena
penyebaran agama besar, dan bagaimana campur tangan Negara
dalam masalah Agama.

B. Sketsa Agama Asli Nusantara


Indonesia sebagai negara kesatuan kaya akan keragamaan
budaya, bahasa, etnik serta agama. Agama asli penduduk di
beberapa daerah ada yang masih tubuh dan berkembang serta
ada pula yang sudah mulai terkikis. Berikut akan dideskripsikan
beberapa kepercayaan asli masyarakat terhadap adanya Tuhan,
Dewa maupun Ruh baik maupun jahat. Deskripsi akan hanya
menggambarkan diantara lautan kepercayaan asli penduduk
nusantara, hal ini dimaksudkan sebagai ilustrasi awal sebagai jalan
untuk memahami fenomena terpinggirkannya keberadaan agama
lokal.
Pertama, masyarakat Mentawai yang mendiami kabupaten
Nias mengenal banyak variasi konsep yang berhubungan dengan
religi, misalnya, simagere adalah jiwa yang menyebabkan orang
hidup, subulungan adalah makhluk halus yang melepaskan diri dari
jasad orang mati kemudian menuju dunia ruh atau bersemayam
disekitar tempat tinggal manusia seperti dalam bumi, air, udara,
pohon besar dan lain sebagainya; kere adalah kekuatan sakti, kina

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 91


adalah ruh yang tinggal dirumah dan berperan sebagai pelindung
rumah, sanitu adalah ruh jahat yang membawa penyakit dan
bencana.2 Agama asli orang Mentawai adalah arat bulungan. Arat
berarti adat dan bulungan dari kata bulu (daun). Dalam agama
ini ada keyakinan bahwa tidak hanya manusia yang memiliki
jiwa namun benda-benda lain juga memiliki jiwa seperti hewan,
tumbuh-tumbuhan, batu, dan air. Jiwa manuisa yang dinamakan
magere terletak di ubun-ubun kepala. Pada saat tidur magere suka
berpetualang keluar dari raganya yang mewujud menjadi mimpi.3
Eksistensi konsep dan ajaran mengenai dunia gaib pada masyarakat
Mentawai sekarang sudah mulai berkurang karena sebagian besar
penduduk Mentawai secara resmi sudah tidak menganut religi
pribumi. Masyarakat daerah ini sudah berpindah memeluk agama
Kristen, Katolik, atau Islam seiring masuknya penyebaran ajaran
tiga agama besar tersebut ke wilayah Mentawai.4
Kedua, penduduk daerah pantai utara Irian Jaya meskipun
secara resmi beragama Kristen, namun pendapat mereka mengenai
dunia gaib dan akhirat masih banyak mengacu pada religi mereka
mereka yang asli. Sebagai ilustrasi; konsep mengenai dunia akhirat
misalnya, adalah jiwa orang mati (fungumu=pikiran) keluar dari
tubuh secara berangsur-angsur dan menjadi ruh (kepka) dalam
proses menjadi ruh, jiwa orang yang mati tersebut diasingkan
dalam rumah supaya suasana kedukaan tidak menulari masyarakat.
Setelah terbebas dari ikatan dunia, ruh pergi ke alam baka yang
berupa gunung bernama Tardosangu. Selain itu, orang-orang di
wilayah ini juga percaya akan sepro yaitu ruh baik dan jahat yang
ada di rawa-rawa, rimba belukar, rimba raya, laut, sungai-sungai
dan tempat-tempat lainnya.5
Ketiga, orang Timor memiliki agama asli yang berpusat pada
kepercayaan akan adanya dewa langit Uis Neno yang diyakini sebagai

2
J. Danadjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”, dalam
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1988).
3
B. Rudito, “Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatra”, dalam
Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993).
4
J. Danadjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”.
5
Ibid.

92 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia. Pada dewa ini
orang melakukan upacara-upacara untuk meminta hujan, sinar
matahari, keturunan, kesehatan dan kesejahteraan. Orang Timor
juga percaya adanya dewa Bumi Uis Afu. Uis Afu adalah dewi yang
mendampingi Uis Neno; orang yang melakukan upacara kepada Uis
Afu untuk meminta kesuburan tanah yang sedang ditanami. Selain
itu, mereka juga mengenal dan percaya akan adanya makhluk-
makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat tertentu seperti
mata air, sungai, dan pohon-pohon tertentu. Upacara dan sajian
dipersembahkan pada makhluk halus tersebut pada saat-saat
tertentu seperti pada waktu permulaan penggarapan tanah. Orang
Timor pada saat ini secara formal telah menerima dan memeluk
agama Kristen, namun pada saat yang sama mereka masih percaya
akan adanya dewa, makhluk halus dan ruh-ruh seperti yang telah
diuraikan tersebut.6
Keempat, religi asli orang Bugis-Makasar sebelum Islam
masuk ke wilayah tersebut adaah percaya pada satu dewa tunggal
yang disebut dengan beberapa nama, antara lain Patot-e (dia yang
menentukan nasib), dewa Seuwa-e (dewa yang tunggal), Turie-a
‘rana (kehendak yang tertinggi). Kepercayaan lama ini masih eksis
pada To Lotang di Kabupaten Sidenreng-Rappang dan pada orang
Amma-Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Agama To Lotang
antara lain bersumber pada mitologi La Galigo; religi To Lotang
ini oleh Departemen Agama digolongkan sejenis agama Hindhu
Bali, sedangkan orang Amma Towa menyebut diri mereka dengan
Islam.7
Kelima, orang Puna di desa Cempaka Baru Kecamatan
Puttusibau Kabupaten Kapuas Kalimantan Barat telah berkenalan
dengan ajaran Katolik sejak akhir perang dunia II, dan dengan agama
Protestan pada tahun 1979 serta dengan agama Islam pada tahun
berikutnya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari orang
Punan masih percaya akan adanya kekuasaan arwah nenek moyang
yang berada di havun (langit), mereka juga mampu berhubungan
dengan ruh nenek moyang, hal ini biasanya dilakukan pada saat
6
P. Suparlan, “Kebudayaan Timor”, dalam Koentjaraningrat, Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1988).
7
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makasar”, dalam Kontjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1988).

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 93


diadakan upacara tertentu dalam siklus kehidupan mereka.
Salah satu upacara yang masih dilakukan oleh orang-orang
Punan adalah upacara sekewan hanum. Ritual ini dilaksanakan
pada bulan terakhir menjelang kelahiran bayi sebagai upaya agar
bayi yang ada dalam kandungan lahir dengan selamat dan hidup
sempurna tanpa cacat. Fokus upacara ini adalah berpantang
melakukan perbuatan jahat dan melukai hati orang lain yang
dilakukan oleh suami. Apabila suami tersebut dinyatakan telah
berbuat baik oleh dukun (dayung) atau orang tua si ibu, kemudian
suami diwajibkan menangkap seekor babi tanpa pertolongan
orang lain. Apabila suami mampu menangkap babi tanpa kesulitan,
itu pertanda bahwa ia memang telah berkelakuan baik pada hari
itu. Babi hasil tangkapan dijadikan sajian pada upacara sekawan
hanum.
Orang Punan juga mempercayai adanya ruh jahat (krongoa)
atau disebut pula hantu. Ruh jahat ini berasal dari orang mati
yang ruhnya tidak mampu mencapai havum (langit) karena
semasa hidupnya banyak melakukan kejahatan. Krongoa ini dapat
mendatangkan bencana maupun kesusahan. Langit tempat ruh-
ruh manusia dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu tutang havum
(langit bagian luar), meruhava havum (langit yang terletak diantara
langit pertama dan ketiga, atau disebut juga sebagai langit peralihan
antara langit luar dan langit dalam). Tiap lapisan langit ini didiami
ruh berdasarkan tingkat baik buruknya kelakuan manusia semasa
hidupnya didunia, maka ruhnya nanti akan tinggal di bagian langit
yang semakin dalam.8
Keenam, penduduk Desa Kanekes di lereng pegunungan
Kendeng, Banten Selatan sering disebut Urang Badui atau orang
badui. Mereka suka hidup berpindah-pindah seperti yang dulu
dilakukan oleh orang Baduwi di Arab dengan sebutan Baduy. Orang
Baduy dianggap sebagai pengikut agama Budha meski sebenarnya
mereka memiliki agama sendiri yang disebut Sunda Wiwitan.
Dasar agama ini adalah penghormatan ruh nenek moyang dan
kepercayaan kepada satu kuasa yaitu Batara Tunggal. Konsep dan
orientasi keagamaannya ditujukan pada pikukuh supaya orang
8
A. M. Kartawinata, “Masyarakat Punan di Kalimantan Barat”, dalam
Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993).

94 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


hdup sesuai dengan alur dalam menyejahterakan kehidupan orang
Baduy dan lainnya. Konsep Pikukuh merupakan perwujudan dari
adat dan agama yang ditentukan oleh intensitas mengenai karya
dan keagamaan.
Dalam religi orang Baduy terdapat konsep karuhun, yaitu
para pendahulu yang sudah meninggal. Karuhun berkumpul di
sasaka domaas yaitu hutan tua di hulu sungai Ci Ujung. Mereka ini
memilki kemampuan menjelma dan mendatangi keturunannya
melalui hutan kampong. Ada tiga penjelmaan karuhun yakni
guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang adalah
penjelmaan karuhun yang berfungsi melindungi keturunannya
dari segala bentuk mara bahaya baik yang datang dari orang lain
maupun makhluk halus seperti demit, jurig, dan setan. Wangatua
adalah penjelmaan ruh bapak dan ibu.
Agama sunda wiwitan memiliki beberpa upacara, diantaranya
upacara keagamaan yang dimaksud untuk; (1) menghormati
para karuhun, (2) mensucikan pusat bumi dan dunia umumnya,
(3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan dewi
padi, sanghyang asri, (4) melaksankan dan mengekalkan pikukuh.
Selain itu, terdapat pula upacara dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan penduduk; yaitu mengawinkan sanghyang asri, dewi
tanan padi. Dalam hal ini terdapat beragam upacara dalam proses
perumbuhan, misalnya mengobati padi dan memetik padi dari
pusat sakral tanam padi.9 (Garna, Y. 1993).
Ketujuh, di Provinsi Kalimantan Tengah penduduk
berdasarkan agama terbagi dalam empat kelompok; (1) penganut
agama Islam, (2) golongan pemeluk agama pribumi, (3) kelompok
yang menganut agama Kristen, (4) pemeluk Katolik. Umat Islam
merupakan kelompok dengan jumlah paling banyak karena saat ini
semakin banyak pendatang Islam, di samping itu banyak pula orang
asli Kalimantan Tengah atau orang Dayak yang menjadi Islam.
Religi asli penduduk pribumi adalah agama kaharingan.
Sebutan kaharingan merujuk pada kata Darum Kaharingan yang
berarti “air kehidupan”, dalam dongeng suci air itu dapat member
hidup pada manusia. Umat agama ini percaya bahwa makhluk
9
Y. Garna, (1993). “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam koentjaraningrat,
dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993).

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 95


halus dan ruh (ngaju ganan) ada di alam sekitar hidup manusia;
makhluk ini menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-
pohon besar, hutan belukar air dan lainya. Kepercayaan pada ruh-
ruh ini kemudian diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara kecil
pada waktu-waktu tertentu dalam siklus hidupnya. Sementara
itu, upacara yang dilakukan secara besar-besaran adalah upacara
pembakaran mayat yang disebut tiwah yang berlangsung dari
seminggu sampai dua tiga minggu berturut-turut. Pada saat upacara
ini, pada orang Ma’anyan tulang-belulang terutama tengkorak dari
seorang kerabat yang meninggal yang sebelumnya telah dikubur
pada kayu berbentuk lesung (ngaju raung) dikumpulkan kemudian
dibakar, dan abunya disimpan pada pemakaman tetap yang disebut
tambak. Upacara ini selalu menelan banyak biaya oleh karena itu
hanya bisa dilakukan sekali dalam rentang tujuh sampai delapan
tahun. Kaharingan tidak menjadi agama formal, akan tetapi menjadi
bagian agama Hindu; ini adalah upaya atau cara pemerintah dalam
mengakui Kaharingan sebagai agama, padahal sebenarnya antara
keduanya terdapat perbedaan yang menurut orang Dayak itu bisa
diterima kalau agama mereka dimasukkan ke agama Hindu Bali.10

C. Penyebaran Agama Besar Dan Marjinalisasi Religi Pribumi


Enam agama besar yang secara resmi diakui oleh pemerintah
Indonesia semuanya berasal dari Negara lain. Tiga agama Wahyu
yaitu, Islam, Kristen, dan Katolik lahir di Asia Barat. Agama
Konghucu (kongfutzu) lahir di wilayah Asia Timur, sedangkan
Hindu dan Budha bermula ada di wilayah Asia Selatan. Masing-
masing agama kemudian menyebar melintasi batas Negara, bahkan
mampu menembus sekat benua yakni ke Afrika, Eropa, Amerika
dan Australia.11 Islam yang saat ini menjadi agama mayoritas
penduduk Indonesia merupakan agama yang lahir di semenanjung
Arabia sekitar 14 abad yang lalu. Islam memiliki makna penyerahan
diri yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah (Tuhan) yang

10
R. A. Hidayat, “Orang Dayak dan Budaya Kaharingan Studi Orientasi
Keagamaan Masyarakat Dayak Penganut Agama Hindu Kaharingan”, Makalah
dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif, Balai Litbang Agama Semarang, 19
September 2007.
11
J. Sou’yb, Agama Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1983).

96 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


maha Esa dengan kitab Suci Al-Qur’an. Agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad ini telah melesat jauh dari kampung asalnya
dan memperluas wilayah dan menambah jumlah pengikutnya.
Salah satu ciri agama Islam adalah ajaran untuk berdakwah yakni
mengajak kepada jalan kebaikan dan mendorong umat manusia
untuk mengikuti ajaran Islam.12
Dalam konteks Indonesia, misi dakwah agama Islam ini
telah mampu menggeser eksistensi agama besar seperti Hindu
dan Budha maupun agama asli yang dipeluk oleh orang pribumi.
Dari segi jumlah, Islam telah mendominasi yakni telah berhasil
sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia bagian barat dan
sebagian wilayah Indonesia tengah, serta menjadi minoritas di
beberapa daerah Indonesia timur. Salah satu contohnya adalah
apa yang terjadi di Bugis. Agama Kristen (Protestan) dan (Kristen)
Katolik pada mulanya merupakan agama yang ada dalam agama
Kristen atau sering disebut juga agama Nasrani. Protestan lebih
bersikap rasional dan memiliki metode sendiri dalam melakukan
pendekatan terhadap kitab suci; mereka tidak banyak melakukan
atau menciptakan upacara-upacara kegamaan/sakramen-
sakramen seperti yang ada di Katolik. Sedangkan agama Katolik
lebih memfokuskan pada masalah tradisional gerejani daripada
merasionalkan ajaran agama. Agama ini lahir di daerah Batlehem
dengan kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Agama ini
telah menjadi agama terbesar pertama di Dunia, dan menduduki
urutan ke dua terbesar di Indonesia.13 Salah satu karakter agama
ini adalah misi penyebarannya. Para misionaris (pengabar agama
Kristen) dengan aktif mengajak orang diluar agama ini untuk
mengkuti jalan mereka. Salah satu ilustrasi diantara sekian banyak
misi yang pernah dilakukan adalah misi yang dikembangkan di
Timor; dalam rangka mengikis kepercayaan asli masyarakat daerah
tersebut, para pendeta Kristen melawan pengaruh upacara-upacara
dalam siklus hidup, kepercayaan terhadap makhluk halus dan sihir.
Orang Timor yang telah resmi masuk agam Kristen harus merusak
benda-benda nono untuk ritual keagamaan, apabila mereka
melakukan upacara siklus hidup diwajibkan harus digabungkan

12
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.
13
Ibid.

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 97


dengan upacara yang ada dalam agama Kristen.14 Agama Hindu
sudah ada sejak 1500 S.M. bersamaan dengan masuknya bangsa
Ariya ke India Utara. Komunitas Ariya dengan kepercayaannya
ini berinteraksi dengan suku bangsa Dravida dan suku-suku
lainnya dengan kepercayaannya pula, yang kemudian berpadu dan
memunculkan agama Hindu. Jadi agama Hindu adalah sinkretisme
antara agama bangsa Ariya dengan kepercayaan penduduk asli.
Religi ini memiliki kitab suci “Wedha” dan telah mengalami
perkembangan yakni mampu melintasi batas Negara.15
Di Indonesia agama Hindu pernah mengalami puncak
kejayaan ketika Kerajaan Maja pahit mencapai puncak kebesarannya.
Agama ini mulai mengalami kemunduran bersamaan dengan
munculnya kerajaan Islam Demak dan adanya pemberontakan serta
perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga-keluarga raja
Majapahit. Kerajaan ini mengalami keruntuhan pada tahun 1478,
setelah itu kerajaan Demak menjadi dominan di pulau Jawa.16 . Pada
saat ini agama Hindu bersemai di Provinsi Bali dan di beberapa
daerah lain sebagai minoritas. Hindu di Bali merupakan perpaduan
antara keprcayaan animisme pribumi dengan hinduisme India serta
pertemuan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami
proses perubahan di Jawa. Agama Hindu Bali atau Hindu Dharma
tetap mempertahankan prinsip dari ajaran Hindu dan Budha;
Dewa-Dewa yang dipuja tetap berpusat pada Trimurti atau Trisakti
yaitu Brahma, Whisnu, dan Shiwa.17 Dalam agama Hindu Dharma,
Dewa yang menjadi titik pusat pemujaan adalah Siwa, karena dewa
ini merupakan dewa perusak yang bisa menghancurkan kehidupan
manusia serta alam sekitarnya. Untuk menghindari Dewa Siwa
marah, maka para pemeluk religi ini melakukan upacara pemujaan
terhadap-Nya. Pada upacara-upacara agama ini terdapat beberapa
macam Yajnya (Kurban), yaitu Yajnya kecil yang dialaksanakan oleh
tiap keluarga dan dalam siklus hidupnya, serta Yajnya besar untuk
menjaga alam sekitar dari kehancuran.18 Dari sedikit gambaran

14
P. Suparlan, “Kebudayaan Timor”.
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar; H. Smith,
15

Agama Agama Manusia; J. Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia.tahun


16
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.tahun
17
Ibid.
18
Ibid.

98 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


ini, maka ketika agama kaharingan di Kalimantan Tengah oleh
pemerintah dikategorikan dalam agama Hindu sebenarnya kurang
sesuai karena secara prinsip ajaran dan keyakinannya serta praktik
keagamaannya berbeda.
Agama Budha tumbuh dan berkembang sejak abad ke
VI S.M. di India utara, diajarkan oleh Sidhrata Gautama. Ajaran
Budha memilki kaitan erat dengan agama sebelumnya; agama ini
meruapakan usaha pembaruan atas agama Hindu. Pada mulanya
Gautama adalah pemeluk agama Hindu yang selalu tinggal di
Istana. Keluarganya selalu mencegah datangnya pengaruh dari luar
Istana yang bisa menyebabkan lemahnya iman Gautama. Namun
demikian Gautama mengalami titik jenuh dengan kemewahan dan
kehidupan Istana, ketika ia mulai melihat kenyataan hidup rakyat
yang banyak mengalami penderitaan karena sakit, menjadi tua
dan mati. Kemudian Gautama memutuskan keluar dari Istana dan
berguru pada pendeta-pendeta Hindu yang sedang bertapa di hutan-
hutan selama bertahun-tahun; usaha inipun tidak memberikan
kepuasan kepada Gautama. Akhirnya ia pergi ke suatu tempat untuk
bersemedi guna mendapatkan ilmu yang bisa memberi tuntunan
hidup yang memuaskan. Tempar bersemedi ini kemudian disebut
Bodgaya; di tempat inilah akhirnya menemukan apa yang dicita-
citakan yakni ajaran tentang samsara (sebab akibat penderitaan).19
Prinsip agama Budha tersimpul dalam kesaksian keimanan yang
disebut dengan “tri ratna” (tiga rangkaian ratna mutu manikam).
Kesaksian ini berbentuk kredo yang berbunyi “Budham Saranam
Gacchami” (saya mencari perlindungan kepada sang Budha),
“Dharma Saranam Gacchami” (saya mencari perlundungan kepada
Dharma/ hukum-hukum agama) ”Sagham Saranam Gacchami”
(saya mencari perlindungan kepada Sangha / orde pendeta).20
Di Indonesia, agama Budha pernah mengalami masa pasang
pada periode Mataram Kuno dengan salah satu peninggalan
Monumentalnya yakni Candi Borobudur di Kabupaten Magelang
Jawa Tengah. Dalam perkembangannya agama ini mengalami
kemunduran bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Mataram Kuno
yang terdesak oleh kekuatan Kerajaan Majapahit. Saat ini agama

19
Ibid.
20
Ibid.

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 99


Budha menjadi salah satu agama resmi yang diakui pemerintah
dengan pemeluk yang menyebar di beberapa wilayah Indonesia.
Agama konghucu atau Kunfucianisme yang bahasa aslinya
disebut Kun Fun Tse lahir dan memiliki banyak pemeluk di
Tiongkok. Ajaran-arajan Kun Fun Tse dibangun di atas tradisi dan
adat istiadat bangsa Tiongkok. Pokok-pokok ajarannya adalah
pertama, setiap manusia harus mempunyai Yen yang berarti harus
memiliki kebaikan, budi pekerti, cinta dan kemanusiaan. Kedua,
apabila manusia telah memiliki Yen maka akan muncul dalam
dirinya Chung Tzu yakni sifat kelaki-lakian yang terpuji seperti
bertanggung jawab, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka
banyak bicara, sportif dan percaya diri. Ketiga, setelah mempunyai
ChunTzu maka manusia telah terikat dengan ‘Li’ yaitu (1) peraturan-
peraturan yang menjaga keseimbangan dalam manusia, (2) upacara
atau ritual dalam sepanjang hidup manusia. Keempat, setiap insane
harus memelihara kekuatan batin yang disebut “TE” yang memiliki
makna “kekuatan atau kekuasaan” yang mencakup kekuatan physic
dan psychis.21
Di Indonesia agama Konghucu lebih banyak dipeluk oleh
etnis Cina, pada mulanya agama ini belum diakui oleh pemerintah
sebagai agama resmi, namun seiring dengan pergantian pucuk
kepemimpinan Negara dan perubahan situasi dan kondisi politik
bangsa, Konghucu diakui sebagai agama resmi. Pada masa
pemerintahan Gus Dur agama ini mulai mendapatkan pengakuan
yaitu dengan dicabutnya surat edaran menteri yang menyebutkan
bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha. Sejak tahun 2000 agama ini menjadi
satu diantara enam agama yang diakui oleh Negara.22

D. Kekuasaan Negara Dalam Pembatasan Beragama


Agama dan Negara dengan semua kekuasaannya adalah
dua eniti yang saling terkait dan memiliki jalinan sejarah panjang,
keduanya saling berjalan pengaruh-mempengaruhi, serta saling
membutuhkan. Secara historis perkembangan dan penyebaran
agama-agama tidak terlepas dari aspek Negara (Kerajaan). Misanya
21
Ibid.
22
M. I. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu” di Indonesia,
(Jakarta: Pelita Kebijakan, 2005).

100 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


proses islamisasi dibanyak wilayah nusantara. Kebangkitan Islam
pertama di Indonesia bermula bersamaan waktunya dengan masa
kejayaan kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang sekitar
abad ke-7 dan 8. Pada saat itu Selat Malaka yang mulai dilalui oleh
pedagang muslim dalam pelayarannya menuju Negara-negara
di Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada saat ini pedagang muslim
mulai bersentuhan dengan penduduk lokal. Ketika Sriwijaya
mengalami kemunduran pada akhir abad ke-12, pedagang muslim
yang kemungkinan disertai dengan para mubalig-mubalignya
mendapatkan keuntungan dagang sekaligus keuntungan politik;
mereka ini menjadi pendukung daerah yang menyatakan sebagai
kerajaan yang bercorak Islam seperti kerajaan Samudra Pasai di
Aceh. Di Jawa, agama Islam tumbuh dan berkembang di sekitar
kerajaan Majapahit dan kemudian mengalami kemajuan pesat
sejak berdirinya kerajaan Demak. Selain itu, melalui bupati di
pesisir-pesisir Jawa yang telah beragama Islam maka Islam menjadi
kekuatan baru dalam perkembangan masyarakat.
Dari proses penyebaran dan perkembangan agama Islam
tersebut di atas diketahui bahwa agama tidak terlepas dari masalah
politik kekuasaan. Demikian pula apabila kita merunut sejarah
agama besar lainnya seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu. Agama Kristen dan Katolik misalnya dua agama ini
memiliki kaitan erat dengan kedatangan orang-orang Eropa ke
Nusantara, yang kemudian hari menjadi penjajah Bangsa Indonesia.
Demikian juga dengan agama Hindu dan Budha; dua agama ini
tumbuh dan berkembang seiring dengan keberlangsungan kerajaan-
kerajaan nusantara. Ketika penguasa mendukung eksistensi sebuah
agama maka bisa dapat dipastikan agama tersebut akan mengalami
kemajuan, sedangkan apabila penguasa tidak merestui keberadaan
suatu agama maka religi tersebut akan sulit brkembang atau bahkan
tersisih.
Pada konteks yang lebih akhir, pengakuan sebuah agama
ditentukan oleh Negara dengan berbagai persyaratan dan kemudian
dikukuhkan dengan diterbitkannya sebuah undang-undang. Pada
tahun 1978, Menteri Dalam Negeri Indonesia mengelarkan surat
edaran nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 yang menyatakan
bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, Kristen,

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 101


Katolik, Hindu dan Budha.23 Dalam peraturan ini hanya ada
lima agama yang diakui secara resmi, sedangkan agama atau
keyakinan diluar kelima agama tersebut secara formal tidak diakui.
Konsekuensi dari peraturan ini adalah para pemeluk agama lokal
ataupun kepercayaan tidak bisa menyebutkan agama asli mereka
dalam KTP (Kartu Identitas Penduduk) dan dokumen-dokumen
lain yang didalamnya harus menyebutkan agama. Selain itu, para
penganut agama tersebut tidak bisa secara leluasa mengekspresika
agama mereka. Pada beberapa kasus orang-orang tersebut akan
mengatakan (atau terpaksa menyebutkan) bahwa agama mereka
adalah salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah
meskipun sebenarnya mereka memiliki sistem kepercayaan
yang lain. Misalnya ada penganut agama Konghucu, pada saat itu
sebagian dari mereka secara formal menyatakan sebgai penganut
Budha atau Katolik walaupun sebenarnya dalam keyakinan dan
praktek peribadatan mereka adalah Konghucu. Agama Konghucu
ini baru diakui secara resmi pada tahun 2000 setelah peraturan
tersebut di atas dicabut.
Disini persoalan agama tidak lagi dimaknai hanya sebagai
masalah pribadi, tidak semua pemeluk agama ataupun kepercayaan
lokal dapat dengan leluasa mendeklarasikan agama asli mereka
secara formal. Negara dengan perangkat hukum dan dengan jelas
member batasan bahwa secara resmi hanya ada enam agama yang
diakui sedangkan yang lainnya tidak. Religi pribumi seperti sunda
Wiwitan, Kaharingan, To Latang, dan Amma Towa serta agama-
agama lokal lainnya tidak mendapat tempat resmi dalam Negara.

E. Penutup
Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga
Negara berhak memluk dan menjalankan agama dan kepercayaan
masing-masing, namun hal ini belumlah cukup karena pada
kenyataannya tidak semua agama dan keyakinan mendapatkan
pengakuan secara formal oleh Negara. Peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dengan jelas membatasi ruang gerak agama lokal.
Selain hal tersebut, keberadaan religi pribumi juga mengalami
keterdesakan yang disebabkan oleh beberapa hal yakni: (1) adanya

23Ibid.

102 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dakwah dari para santri Islam yang berusaha mengislamisasikan
agama asli, (2) gerakan Muhammadiyah membersihkan Islam dan
masyarakat dari pengaruh dan praktik tahayul, bid’ah, khurafat,
kejawen, dan adat-istiadat pra-Islam, (3) peraturan kolonial Belanda
yang diinstruksikan melalui pimpinan kerajaan yaitu mengharuskan
msyarakat Indonesia memeluk agama sesuai dengan agama para
penjajah dan meninggalkan agama asli, (4) adanya kelemahan dan
kekurangan dari agama pribumi bila dibandingkan dengan agama
“baru”. Kenyataan akan adanya peraturan dari pemerintah dan
faktor lain yang telah disebutkan terdahulu merupakan gambaran
bagaimana eksistensi agama lokal semakin tersisih ke tepian.

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 103


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. (Jakarta:


Golden Terayon Press, 1987)
Danadjaja, J. Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah. Dalam
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
(Jakarta: Djambatan, 1988)
Danadjaja, J. Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah. Dalam
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan, 1988)
Garna, Y. Masyarakat Baduy di Banten. Dalam koentjaraningrat,
Dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993)
Harsojo. Kebudayaan Sunda. Dalam Koentjaraningrat. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1988)
Hidayat, R.A. Ringkasan Hasil Penelitian; Orang Dayak dan Budaya
Kaharingan Studi Orientasi Keagamaan Masyarakat
Dayak Penganut Agama Hindu Kaharingan. Makalah
dipresentasikan pada Seminar Hasil Penelitian Kompetitif
Balai Litbang Agama Semarang, 19 September 2007.
Isaccs, H.R. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis; Identitas Kelompok
dan Perubahan Politik. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1993)
Kahmad, D. Sosiologi Agama. (Bandung: Rosda, 2000)
Kartawinata, A.M. Masyarakat Punan di Kalimantan Barat. Dalam
Koentjaraningrat, Dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. (Jakarta:
Dian Rakyat, 1990).
Mattulada. Kebudayaan Bugis Makasar. Dalam Kontjaraningrat.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta:
Djambatan, 1988).

104 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Rudito, B.. Masyarakat Mentawai Di Sebelah Barat Sumatra. Dalam
Koentjaraningrat, Dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)
Smith, H. Agama Agama Manusia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985).
Sou’yb, J. Agama Agama Besar di Dunia. (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1983).
Suparlan, P. Kebudayaan Timor. Dalam Koentjaraningrat. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan,
1988).
Tanggok, M.I.. Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu” di Indonesia.
(Jakarta: Pelita Kebijakan, 2005)
Tolkhah, I. Mewapadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama.
Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Hidup Umat Beragama. (2001).

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 105


106 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012
PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH
Sistem Nilai dan Kepemimpinan dalam Budaya
Organisasi pada Madrasah Diniyah Di Kudus

Kisbiyanto
Dosen STAIN Kudus
Email:

ABSTRAK

Madrasah diniyah di Kabupaten Kudus mempunyai peta


yang cukup menarik. Dilihat dari sisi kuantitas, madrasah
diniyah mempunyai jumlah terbesar (220 madrasah)
dibanding jumlah madrasah pada masing-masing jenjang
madrasah ibtidaiyah (135 madrasah), madrasah tsanawiyah
(57 madrasah), madrasah aliyah (29 madrasah) dan pondok
pesantren (101 pesantren). Dari 220 madrasah diniyah
di Kudus, hanya ada 7 madrasah diniyah yang mempunyai
jenjang lengkap dari ula, wustho dan ulya.
Penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif pada tiga
variabel, budaya organisasi dilihat dari sistem nilai dan
model kepemimpinan. Indikator budaya organisasi diukur
dari aspek-aspek yang meliputi: (1) menggunakan usaha
fisik dan mental dalam pelaksanaan pekerjaan secara wajar
(seperti orang bermain atau beristirahat), (2) kontrol
eksternal dan encaman hukuman bukan alat satu-satunya
untuk mencapai sasaran organisasi, (3) kesiapan berusaha
secara bertanggung jawab dan tidak hanya menerima
sesuatu saja, (4) pembagian yang luas antara individu dalam
berimajinasi, ingenuitas dan kreatifitas, (5) potensialitas
intelektual manusia umunya hanya dimanfaatkan sebagian.
Sistem nilai dikriteriakan sebagai : (1) nilai merupakan
suatu kepercayaan seseorang atau sekelompok orang
yang meyakini baik atau tidak baik tentang sesuatu, (2)
nilai bisa memberikan pemaknaan terhadap suatu obyek
berupa benda, sikap, tindakan untuk dimaknai baik-buruk,

Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 107


layak-tidak layak, pantas-tidak pantas dan sebagainya, dan
(3) nilai bisa mempengaruhi persepsi seseorang terhadap
apresiasi tertentu sehingga mempengaruhi obyektifitas
tertentu karena seseorang dengan nilai itu akan mempunyai
kecenderungan dalam perspektif nilai yang dianutnya. (4)
nilai keikhlasan, pengabdian sosial, tanggung jawab, kasih
sayang dan membina anak didik. Model kepemimpinan
dilihat dengan kriteria (1) model kepemimpinan apakah
model formal (formal models), model kolegial (collegial
models), model politik (political models), model subyektif
(subjective models), model ambiguitas (ambiguity models)
dan model kultural (cultural models), (2) tipe kepemimpinan
apakah direktif atau partisipatif.
Analisis dan pembahasan dalam penelitian ini menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut : (1) Guru madrasah diniyah
di Kudus berpersepsi bahwa sistem nilai di madrasah
diniyah adalah dalam kategori baik, (2) Guru madrasah
diniyah di Kudus berpersepsi bahwa kepemimpinan di
madrasah diniyah adalah dalam kategori baik, (3) Guru
madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa budaya
organisasi di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik,
(4)Hasil penghitungan menunjukkan bahwa sistem nilai
berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi
di madrasah diniyah di Kudus, (5) Hasil penghitungan
menunjukkan bahwa kepemimpinan berhubungan secara
signifikan dengan budaya organisasi di madrasah diniyah di
Kudus.
Kata Kunci: budaya organisasi, sistem nilai, model
kepemimpinan

A. Pendahuluan
Kecenderungan madrasah diniyah sistem klasikal bertingkat
‘ula (pertama), wustho (menengah), ‘ulya (tinggi) kurang diminati
dan kurang diperhatikan masyarakat dari pada Taman Pendidikan
al-Qur’an (TPQ). Pada umumnya, sebagian orang tua lebih memberi
perhatian anak-anak kecil mereka untuk belajar membaca al-Qur’an
di TPQ pada siang/sore hari sebagai pendidikan tambahan setelah
pagi hari belajar di sekolah formal misalnya madrasah ibtidaiyah
(MI) atau sekolah dasar (SD).
Penyelenggara utama pendidikan nasional adalah
Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pusat dan dinas
pendidikan pada propinsi dan kabupaten/kota. Namun, dalam
pelaksanaannya, banyak departemen lain menyelenggarakan

108 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


pendidikan dengan ciri khusus tertentu misalnya Departemen
Kesehatan menyelenggarakan pendidikan sekolah menengah bidang
farmasi dan perguruan tinggi bidang keperawatan, kebidanan
dan kesehatan, Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan
perguruan tinggi kedinasan bidang kepemerintahan, Departemen
Agama membuka madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah
(MTs) dan madrasah aliyah (MA).
Jumlah lembaga pendidikan berciri agama Islam di Kabupaten
Kudus juga cukup banyak karena secara sosikultural, masyarakat
Kudus merupakan komunitas besar dari kaum santri yaitu
kelompok masyarakat yang tekun mempelajari dan mengamalkan
ajaran agama Islam yang dipeluknya. Jumlah penyelenggaraan
pendidikan tersebut (Kandepag Kudus 2007) terdiri dari 135
madrasah ibtidaiyah, 57 madrasah tsanawiyah, 29 madrasah
aliyah, 220 madrasah diniyah dan 101 pesantren. Jadi Kabupaten
Kudus mempunyai 221 madrasah (pendidikan formal) dan 321
pendidikan madrasah diniyah dan pesantren (pendidikan non-
formal). Lembaga pendidikan formal maupun nonformal tersebut
di bawah pembinaan Kantor Departemen Agama Kabupaten Kudus
yang pembinaannya secara teknis dilaksanakan oleh kepala seksi
madrasah dan pendidikan agama (MAPENDA) untuk pembinaan
madrasah formal dan kepala seksi pendidikan diniyah dan pondok
pesantren untuk pembinaan pendidikan nonformal.
Madrasah diniyah memang mempunyai masalah krusial
dilihat dari beberapa aspek pengelolaannya, terutama tentang
sumber daya manusia dan sarana yang dipunyai sebagai lembaga
pendidikan Islam. Dilihat dari sudut pandang sumber daya manusia,
madrasah diniyyah di Indonesia yang berada di lingkungan pondok
pesantren saja mencapai 1.000.966 siswa/santri (Yusuf 2006a:159).
Jumlahnya akan lebih banyak berlipat-lipat jika dihitung pula jumlah
siswa pada madrasah diniyah di desa dan perkotaan yang berlokasi
tidak menyatu atau jauh dari pesantren, yaitu madrasah diniyah
yang mempunyai siswa dari basis masyarakat pada umumnya
(tidak siswa santri yang tinggal di pesantren). Menurut data
Ditjen Bagais tahun 2000-2003 jumlah madrasah diniyah 37.600
buah dengan jumlah murid 2.173.012 orang berada di lingkungan
pesantren (Yusuf 2006b:275). Sementara menurut data Direktorat
Pekapontren, jumlah madrasah diniyyah se-Indonesia 19.014 buah

Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 109


dengan jumlah siswa laki-laki 1.183.952 orang dan siswi perempuan
1.102.230 orang sehingga jumlah keseluruhan siswa 2.286.182
orang, sedang guru yang mengajar sebanyak 71.714 orang (Yusuf
2006b:274).
Keberadaan madrasah diniyah sebagai satuan pendidikan
keagamaan jelas terselenggara dan mempunyai peran dalam
pendidikan bagi bangsa Indonesia, khususnya pendidikan
keagamaan. Madrasah diniyah sangat penting untuk diberi
perhatian sebagai upaya pengembangannya, khususnya dilihat dari
sisi pengelolaan. Dengan berbagai alasan dan latar belakang di atas,
penelitian ini disusun dengan judul pengelolaan madrasah diniyah
kepemimpinan, sistem nilai dan budaya organisasi pada madrasah
diniyah di Kudus.

B. Sistem Nilai dan Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi


1. Sistem Nilai
Nilai merupakan istilah abstrak yang membutuhkan
penjelasan panjang lebar agar tidak terjadi makna salah terhadap
pemahaman tentang nilai. Nilai menurut Rokeach dipahami
sebagai
“tipe suatu kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup
sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas
atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya dengan
pemaknaan atau pemberian arti obyek”(Eko S, 2003:22)
Nilai erat kaitannya dengan perilaku organisasi karena suatu
nilai meletakkan dasar-dasar untuk memahami sikap dan motivasi
seseorang dan nilai juga mempengaruhi persepsi seseorang,
sebagaima Robbin menjelaskan :
“values are important to the study of organizational behavior
because they lay the foundation for the understanding of
attitudes and motivation as well as influencing our perceptions.
Individuals enter an organization with preconceived notions of
what ‘ought’ and what ‘ought not’ to be. Of course, these notions
are not value free.” (Eko S, 2003:24)
Pengertian dan penjelasan tentang nilai di atas bisa
diuraikan dalam beberapa konteks, khususnya dalam kaitannya

110 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dengan nilai dalam organisasi atau lembaga pendidikan, yaitu
bahwa : (1) nilai merupakan suatu kepercayaan seseorang atau
sekelompok orang yang meyakini baik atau tidak baik tentang
sesuatu, (2) nilai bisa memberikan pemaknaan terhadap suatu
obyek berupa benda, sikap, tindakan untuk dimaknai baik-buruk,
layak-tidak layak, pantas-tidak pantas dan sebagainya, dan (3) nilai
bisa mempengaruhi persepsi seseorang terhadap apresiasi tertentu
sehingga mempengaruhi obyektifitas tertentu karena seseorang
dengan nilai itu akan mempunyai kecenderungan dalam perspektif
nilai yang dianutnya.
Sistem nilai adalah prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang
dapat dipelajari dalam suatu organisasi untuk membantu seseorang
memilih di antara berbagai alternatif menyelesaikan konflik dan
membuat keputusan. Sebagaimana Rokeach menjelaskan : a value
system is a learned organization of principles and rules to help one
choose between alternatives, solve conflict and make decision.
Suatu lembaga pendidikan sangat erat kaitannya dengan
nilai. Lembaga pendidikan mempunyai subyek-subyek pelaku dan
penyelenggara pendidikan yang terdiri dari person-person berbeda
sikap dan perilakunya. Bahkan dalam suatu lembaga pendidikan,
sering kali ditemukan perbedaan itu berujung pada konflik antar
individu maupun konflik antar kelompok dalam organisasi. Karena
itu, untuk diperlukan suatu sistem nilai tertentu yang menjadi
landasan norma interaksional antara subyek pendidikan baik kepala
sekolah, guru, murid, orang tua/wali, anggota komite sekolah dan
masyarakat terkait lainnya.
Tujuan pendidikan nasional itu tentu berbeda dengan
tujuan pendidikan di negara lain karena perbedaan sistem nilai
yang digunakan dalam menentukan tujuan pendidikan diberbagai
negara. Negara Indonesia mempunyai latar belakang budaya,
kondisi dan permasalah yang berbeda dengan bangsa lain, sehingga
tujuan pendidikan di Indonesia diarahkan kepada pembentukan
karakter bangsa sebagaimana dirumuskan di atas.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan menurut Stogdill adalah proses
mempengaruhi aktifitas kelompok dalam rangka penyusunan
tujuan organisasi dan pelaksanaan sasarannya (Sulton 2003:24).
Kepemimpinan dalam pendidikan dijelaskan oleh Yukl sebagai

Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 111


berikut :
“Most definitions of leadership reflect the assumption that
it involves as social influence process whereby intentional
influence is axerted by one person (or group) over other people
(or groups) to structure the activities and relationship in a
group or organization (Bush 2006:5).
Selanjutnya, Bush (2006) menjelaskan bahwa kepemimpinan
pendidikan dibentuk oleh tiga dimensi dalam kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan sebagai “pengaruh”, kepemimpinan berkaitan
dengan “nilai-nilai” dan kepemimpinan berkaitan dengan “visi”.
Jadi kepemimpinan pada hakekatnya merupakan kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang-orang dalam organisasi
dengan sistem nilai tertentu dan visi tertentu pula untuk mencapai
tujuan. Pemimpin tidak bisa efektif jika tidak bisa mempengaruhi
orang lain dengan nilai-nilai dan visi kepemimpinan yang jelas.
Suatu “model” kepemimpinan bisa efektif jika mempunyai
kesesuaian tipologi dalam model-modelnya dengan situasi dan
kondisi organisasi atau lembaga pendidikan terutama (Bush
2006) tujuan (goal), struktur kelembagaan (structure), lingkungan
(environment) dan kepemimpinan itu sendiri (leadership). Model-
model kepemimpinan. Jadi model kepemimpinan merupakan
kesatuan dari unjuk kerja yang ditampilkan suatu aktifitas
memimpin dilihat dari aspek tujuan, struktur, lingkungan dan
kemampuan seseorang dalam memimpin.
Model kepemimpinan dalam manajemen pendidikan antara
lain : (1) model formal (formal models), model kolegial (collegial
models), model politik (political models), model subyektif (subjective
models), model ambiguitas (ambiguity models) dan model kultural
(cultural models). Model-model tersebut sangat bervariasi dilihat
dari konsep dan operasinya. Dalam praktiknya, model-model akan
terlihat sebagai aktifitas yang tidak murni sebagai satu model
tertentu, tetapi mungkin akan nampak sebagai model kolaboratif.
Misalnya saja, seorang pemimpin pendidikan tradisional cenderung
berperilaku dalam model kultural namun secara bersamaan juga
berperilaku sebagai pemimpin dengan model politik atau kolegial
dan seterusnya. Jadi model kepemimpinan bisa dilihat dari ragam
perspektif sehingga kajian tentang model-model kepemimpinan

112 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dalam pendidikan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
model keorganisasian beserta tata kehidupannya.
Kepemimpinan yang saat ini banyak mendapat perhatian
banyak pihak adalah kepemimpinan partisipatif dimana seorang
pemimpin menggunakan pendekatan khusus yaitu melibatkan
subyek-subyek organisasi atau lembaga beserta stake holders untuk
menentukan tujuan dan bekerja sama dalam mencapainya.
Kepemimpinan partisipatif dianggap baik dan sesuai
dengan pola kehidupam masyarakat kontemporer yang
mengedepankan isu demokratisasi (democration), persamaan
(equality), kerja sama (team work), kemajemukan (pluralism),
multikultural (multicultural) dan keterbukaan dalam manajemen
(open management). Kepemimpinan partisipatif juga mempunyai
kekhususan dalam meningkatkan peran serta anggota organisasi
dalam menuangkan cita-cita, merumuskan tujuan-tujuan bersama
dan bekerja secara bersama untuk kepentingan bersama pula.
Pemimpin tidak seorang yang super power tetapi lebih sebagai
“bapak atau ibu” dan juga teman sejawat.

C. Budaya Organisasi
Budaya organisasi menurut Owens didefinisikan sebagai
“…the body of solution to external dan internal problems that
has worked consistenly for a group and that is therefore taught
to new members as the correct way to perceive, think about and
feel in relation to those problem…”
Jadi budaya organisasi dipahami sebagai pola pemecahan
masalah eksternal dan internal yang diterapkan secara konsisten
bagi suatu kelompok dan karenanya diajarkan kepada anggota-
anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang,
memikirkan dan merasakan masalah yang dihadapi. Selanjutnya
Owens juga menjelaskan bahwa budaya organisasi berarti filsafat,
ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan
norma-norma bersama yang mengikat atau mempersatukan suatu
komunitas (Eko S, 2003:11).
Jadi budaya organisasi sangat terkait dengan sistem nilai
yang diyakini dalam suatu organisasi yang dengan nilai-nilai itu
komunitas organisasi bersikap, berperilaku dan mengerjakan
tugas-tugas keorganisasian untuk mencapai tujuan. Dengan kata

Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 113


lain, budaya kerja para anggota organisasi ditentukan oleh cara
panadang mereka terhadap nilai-nilai misalnya laba atau nilaba,
efektif atau tidak efektif, kebersamaan atau individual, terbuka atau
tertutup, komitmen atau melanggar dan sebagainya.
Suatu organisasi atau lembaga pendidikan tentu mempunyai
kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan pengelolaan pendidikan.
Budaya sekolah unggulan berbeda dengan budaya sekolah belum
maju. Budaya sekolah di perkotaan cenderung berbeda dengan
budaya sekolah di pedesaan. Budaya sekolah formal dan sekolah
non-formal juga berbeda.
Menurut Robins terbentuknya budaya organisasi berasal
dari filsafat yang dimiliki oleh pendiri organisasi, selanjutnya
budaya tersebut digunakan sebagai criteria dalam mempekerjakan
karyawannya. Tindakan manajemen puncak (top leader)
menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan
tidak baik. Bagaimana karyawan harus diberi sosialisasi tergantung
pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai
karyawan baru dengan nilai-nilai oranisasi dalam proses seleksi
maupun preferensi manajemen puncak akan metode-metode
sosialisasi (Eko S, 2003:19-21). Jadi budaya organisasi berasal dari
pandangan hidup dan cita-cita para pendiri (founding fathers)
atas organisasi tersebut dan komunitas berikutnya mengikutinya
dengan cara kerja yang dicitakan. Misalnya, sekolah keagamaan
didirikan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama agar generasi
berikutnya tidak buta agama dan tidak meninggalkan agama. Cita-
cita kelembagaan ini secara terus menerus akan menjadi ciri khusus
lembaga itu dalam membentuk kinerja karyawan dan semua pihak
terlibat agar tujuan lembaga itu terwujud. Lambat laun, cara kerja
itu menumbuhkan sikap dan perilaku cenderung tetap sebagai
budaya organisasi di suatu sekolah.
Budaya organisasi yang baik bisa dikutip menurut
pendapat Mc. Gregor dengan Teori Y dalam Winardi (2004) dan
dapat diukur dari aspek-aspek yang meliputi: (1) menggunakan
usaha fisik dan mental dalam pelaksanaan pekerjaan secara wajar
(seperti orang bermain atau beristirahat), (2) kontrol eksternal
dan encaman hukuman bukan alat satu-satunya untuk mencapai
sasaran organisasi, (3) kesiapan berusaha secara bertanggung
jawab dan tidak hanya menerima sesuatu saja, (4) pembagian yang

114 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


luas antara individu dalam berimajinasi, ingenuitas dan kreatifitas,
(5) potensialitas intelektual manusia umunya hanya dimanfaatkan
sebagian.

D. Profil Lokasi Penelitian


Madrasah diniyah di Kabupaten Kudus juga mempunyai peta
yang cukup menarik. Dilihat dari sisi kuantitas, madrasah diniyah
mempunyai jumlah terbesar (220 madrasah) dibanding jumlah
madrasah pada masing-masing jenjang madrasah ibtidaiyah (135
madrasah), madrasah tsanawiyah (57 madrasah), madrasah aliyah
(29 madrasah) dan pondok pesantren (101 pesantren). Dari 220
madrasah diniyah di Kudus, hanya ada 7 madrasah diniyah yang
mempunyai jenjang lengkap dari ula, wustho dan ulya.

E. Analisis Data
Analisis dan pembahasan dalam penelitian ini menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa sistem
nilai di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.
2. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa
kepemimpinan di madrasah diniyah adalah dalam kategori
baik.
3. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa budaya
organisasi di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.
4. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa sistem nilai
berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di
madrasah diniyah di Kudus.
5. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa kepemimpinan
berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di
madrasah diniyah di Kudus.
Madrasah diniyah sebaiknya segera memperbaiki diri dengan
meningkatkan pengembangan sistem nilai dan kepemimpinan yang
semakin relevan dengan perkembangan pendidikan keagamaan
agar budaya organisasi di madrasah diniyah semakin lama
semakin membaik dan meningkat sebagai organisasi atau lembaga
pendidikan yang baik.

Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 115


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Manajemen Penelitian. Jakarta:Rineka


Cipta.
Bush, Tony. 2006. Theories of Educational Leadership and
Management. London:SAGE Publications.
Data Madrasah Diniyah Kandepag Kab. Kudus Tahun Pelajaran
2007.
Direktori Madrasah, Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama
RI 2007
Ekosusilo, Madyo. 2003. Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul
Berbasis Nilai. Sukoharjo:Univet Bantara Press.
Masyhud, Sulthon, dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren.
Jakarta:Diva Pustaka.
Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian (Ed). 1995. Metode Penelitian
Survai. Jakarta:LP3ES.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Yusuf, Choirul Fuad dkk. 2006b. Inovasi Pendidikan Agama dan
Keagamaan. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbangdiklat Departemen Agama RI.
Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program
SPSS. Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Abdurrahman Saleh Abdullah. 1994. Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan Al-Qur’an (Terjemahan H.M. Arifin).
Jakarta:Rineka Cipta.
Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung :Alfabeta.
Bass, Bernard M.1981. Stogdill’s Handbook of Leadership A Survey
of Theory and Research. New York:A Division of Macmilan

116 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Publishing Co., Inc.
Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Prenada
Media.
Yusuf, Choirul Fuad dkk. 2006a. Isu-isu Sekitar Madrasah.
Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Balitbangdiklat Departemen Agama RI.

Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 117


118 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012
‘ADAH MUHAKKAMAH, SINERGI AGAMA DAN
BUDAYA, UPAYA MENUJU KEARIFAN LOKAL

Jamal Ma’mur Asmani

Email: jamil_makmur@yahoo.com

ABSTRAK

Mensinergikan antara agama dengan budaya memerlukan


piranti dukung di antaranya kita kenal dengan istilah
‘adah muhakkamah yang merupakan tradisi sosial dan
sumber hukum. Semua itu bertujuan untuk memantapkan
keberagamaan kita ditengah kehidupan dan ditengah budaya
yang beragam.
Kajian ini mencoba memotretnya dengan pendekatan
referensi kitab pesantren dengan harapan mampu
memberikan nuansa baru esensi ‘adah muhakkamah secara
utuh sekaligus memunculkan fenomena bagaimana jika
tradisi masyarakat bertentangan dengan syara’, bahkan
esensi syara’ tertutup oleh adat itu sendiri, apakah ada nilai
tawar atau apakah ada jalan lain dalam menyelesaikannya.
Untuk itu kaedah ‘adah muhakkamah sangat membutuhkan
kepiawaian kita semua dalam memahami budaya dan pesan
agama secara tekstual maupun kontekstual, yang ujung-
ujungnya menciptakan pesan Islam yang humanis, adaptif,
dan membumi.
Kata kunci: kearifan lokal dan tradisi lokal Islami

A. Pendahuluan
Salah satu kaedah sumber hukum Islam yang aspiratif,
akomodatif, dan fleksibel adalah ‘adah muhakkamah1 ,yakni suatu
tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber
1
Syeh Jalaluddin al-Syuyuti, Asybah Wa Al-Nadhori, h. 63
‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 119
penetapan hukum. Tradisi suatu masyarakat dapat berkembang,
berbeda, dan berubah sesuai dengan tingkat peningkatan ekonomi,
sosial, pendidikan, dan politik warganya. Perubahan semacam ini
membuat hukum harus proaktif mengikutinya, sehingga tidak out
of date. Kaedah ini dalam rangka menghantarkan substansi aplikasi
hukum Islam yang harus membawa misi vitalnya, yaitu menciptakan
masholihul ibad, kemaslahatan hamba Allah. Kemaslahatan
adalah sesuatu yang mendorong kepada kebaikan (positif)
dan menghindari kejelekan (negatif). Salah satu indikator dan
parameter maslahah bagi manusia adalah tercukupinya kebutuhan
primer, sandang, pangan, dan papan. Dalam bahasa agama, indikator
keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak
dasar manusia, yaitu menjaga kebebasan beragama (fidzu al-din),
melindungi keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga keamanan
harta (hifdzu al-mal), menajaga kebebasan berfikir (hifdzu al-
aqli), menjaga kelangsungan keturunan dan prestise (hifdzu al-
nasli wa al-irdh). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam
mempunyai banyak instrument. Qoshos di syari’atkan untuk
menjaga keselamatan jiwa, orang murtad di bunuh untuk menjaga
agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh
zina dihukum untuk menjaga harga diri, mencuri dihukum untuk
menjaga harta, dan minum-minuman keras dihukum untuk menjaga
akal2.
Dasar kaedah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Ma
raahu al muslimuna hasanan fahuwa indallahi hasanun sesuatu
yang dianggap bagus oleh banyak umat muslim, maka sesuatu
tersebut bagus menurut Allah. ‘Adah adalah sesuatu yang berulang-
ulang. Sama dengan ‘adah adalah urf, yaitu sesuatu yang menjadi
kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik ucapan,
melakukan perbuatan, atau meninggalkannya. Sebagian ahli fiqh
mengatakan, bahwa ‘adah lebih umum daripada urf, artinya semua
urf adalah adah, dan tidak semua adah adalah urf3 .
Salah satu contoh kaedah ‘adah muhakkamah ini adalah
batas minimal-maksimal haidh, minimal usia wanita haidh,
mengambil buah yang runtuh, menjaga harta yang dicuri, transaksi

2
Hasyiah Ianatut Tholibin, Juz 4, h. 142
3
Ali Sabbak, Al-Syariatu wa al-Tasyri’, h. 96

120 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


jual beli tanpa iab-qabul (mu’athoh), pekerjaan para tukang, waktu
mengembala hewan (kambing, sapi, misanya), makan sogatan tamu
tanpa dipersilahkan terlebih dahulu, puasa hari syak (ragu), hari
libur sekolah mulai nisfu sya’ban (15 ruwah) sampai ramadhan,
dan lain sebagainya. Kasus-kasus ini melihat kebiasaan individu
(haidh) dan sosial (makan suguhan tamu, mengambil buah yang
runtuh, mu’athoh, dan lain-lain).
Misalnya lagi, ketika hadits Nabi menrangkan tidak bolehnya
anak kecil membelanjakan harta. Namun, di saat anak kecil sudah
pintar dan dapat dipercaya, diperbolehkan membelanjakan harta,
misalnya disuruh orang tua membeli kebutuhan sehari-hari.

B. PEMBAGIAN ADAH
‘Adah/ urf dibagi dalam beberapa aspek.
Dari aspek ucapan dan tindakan, adah atau urf dibagi dua.
Pertama, urf qauli (kebiasaan yang berupa ucapan), misalnya
kebiasaan manusia menggunakan kata ‘waladun’ pada anak laki-
laki, bukan perempuan, walaupun kata ‘waladun’ secara bahasa bisa
digunakan untuk keduanya (laki-laki dan perempuan), misalnya
firman Allah Swt. Yushikum Allahu fi auladikum li al-dzakari mistlu
hadz il untsayain. Allah memberikan wasiat kamu semua dalam
masalah anak-anakmua semua, bagi laki-laki seprti bagian dua
orang perempuan (Qs. Al-Nisa :11). Kedua, urf amaly (kebiasaan
berupa pekerjaan), misalnya kebiasaan manusia membeli tanpa
ada transaksi (ijab-qabul), tapi langsung memeberikan uang (dalam
khazanah ilmu fiqh dinamakan bai’ mu’athoh).
Dari aspek keumumannya, ‘addah/ urf dibagi menjadi dua.
Pertama, urf am (kebiasaan umum), yaitu kebiasaan manusia
dalam semua Negara di satu waktu, misalnya kebiasaan manusia
dalam masalah mandi, kebersihan, tanpa dibatasi hitungan dalam
seminggu, dan kebiasaan memakai pakaian. Kedua, urf khos
(kebiasaan khusus), yaitu kebiasaan manusia yang ada pada sebagian
penduduk Negara, misalnya pada sebagian daerah ada kebiasaan
mempercepat pemberian mas kawin dan sebagian daerah lainnya
menundanya; kebiasaan ahli perdagangan memberikan tambahan
pada pembeli melebihi ukuran jual beli.
Dari aspek sah dan rusaknya, urf dibagi menjadi dua.

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 121
Pertama, urf shohih (kebiasaan yang sah), yaitu kebiasaan yang
tidak bertentangan dengan ketentuan nash dari beberapa nash
syari’at dan tidak juga bertentangan dengan satu kaedah dari
beberapa kaedah syari’at, walupun dalam masalah tersebut
tidak ada nsh khusus. Kedua, urf fashid (kebiasaan rusak), yaitu
kebiasaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syari’at
dan kaedah-kaedahnya yang tetap, misalnya kebiasaan manusia
melakukan banyak kemungkaran, seperti transaksi riba, minuman
Khamr (minuman keras), judi, dan sejenisnya.
Tradisi di masyarakat dalam berhutang, ketika
mengembalikannya dengan jumlah yang lebih banyak daripada
jumlah hutangnya, dalam konteks ini, tradisi masyarakat tersebut
tidak bisa dijadikan syarat (pijakan hukum tetap), sehingga haram
memberikan pinjaman hutang tersebut. Tradisi itu biarlah berjalan
secara alamiyah, artinya, kalau mereka mengembalikan dengan
cara lebih baik, tapi kalau suatu saat, karena keterbatasan ekonomi,
mereka mengembalikannya dengan jumlah yang sama, tidak apa-
apa.
Yang menjadi masalah dalam kaedah ini adalah apabila
tradisi yang berkembang dimasyarakat tersebut bertentangan
dengan ajaran prinsip agama, misalnya tradisi animisme dan
dinamisme, yang menyebabkan kekufuran dan kemusyrikan, maka
jelas, kaedah ini tidak termasuk. Kapanpun Islam menentang segala
bentuk kemaksiatan dan kemungkaran. Tradisi yang menyimpang
adalah sasaran utama Islam. Barang siapa membolehkannya
sedangkan ia tahu status keharamannya, maka ia dihukum kafir
dan murtad dan ia berhak masuk neraka selamanya. Ia tetap
diharamkan agama, cara merubahnya harus bertahap. Hal ini
sesuai dengan tehnik penyebaran dan pembumian ajaran agama
Islam yang terkenal dengan mabadi amah (dasar-dasar umum),
yang terdiri dari lima hal.
Pertama, gradualisasi (tadrij). Ketika Nabi di Makkah,
konsentrasi beliau adalah meluruskan keyakinan, aqidah
mensyaratkan jahiliyah yang menyimpang, tidak pada hal-hal yang
teknis-operasional, baru ketika di Makkah, beliau menata masyarakat
sampai pada aspek-aspek yang detail, pemerintahan, politik, militer
dan lain-lain. Kedua, minimalisasi undang-undang (taqlil min al-
taqnin). Hukum yang disyari’atkan disesuaikan dengan kebutuhan

122 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dan tuntutan sosial. Banyak sekali al-Qur’an yang turun sebab ada
pertanyaan, kasus sosial, dan sejenisnya. Misalnya tentang haidh,
cara menginfaqkan harta, dan lain-lain. Ketiga, mempermudah dan
meringankan (taisir wa al-takhfif). Allah berfirman, yuridullahu
bikum al-yushra wala yuridu bikum al-usra, Allah menghendaki pada
kamu kemudahan dan tidak menghendaki kepadamu kesulitan,
dalam hadits shohih dijelaskan, ketika Nabi disuruh memilih
perkara dua, pasti beliau memilih yang paling mudah, selama tidak
dosa. Prakteknya, seperti hadits Nabi dalam masalah siwak, laula
an asyuqqa ala ummati la amartuhum bis siwaki inda kulli sholatin,
jika tidak menimbulkan kesulitan bagi umatku, niscaya aku
memrintahkan mereka siwakan ketika hendak sholat. Keempat,
berjalan kemaslahatan manusia (musyarah ila masholihin nasi). Al-
Qur’an sering menghapus ayat dan menggantinya dengan tujuan
sesuai dengan kemaslahatan manusia. Nabi melarang ziarah kubur,
lalu memperbolehkannya. Pijakan keempat ini banyak dilakukan
Nabi dengan cara mengabadikan tradisi pra-Islam yang tidak
bertentangan dengan inti ajaran Islam, misalnya, soal keselarasan
dalam perkawinan, hak waris dan kekuasaan mengatur (wilayah)
bagi ashobah, kewajiban diyad bagi aqilah (ashobah pelaku krimial),
dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar terjadi harmonisasi agama dan
budya lokal, sehingga Islam diterima secara mantap.

C. Kearifan Lokal
Kaidah ‘adah muhakkamah ini dalam praktisnya mengakui
budaya lokal dan memberikan sinaran dan sentuhan keagamaan
pada tradisi tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam
satu ritual budaya, ada nilai lokalitas budaya dan universalitas
ajaran Islam yang sudah bersinergi dan terinternalisir dalam
budaya tersebut. Dalam konteks ini, kaidah ‘adah muhakkamah
ini menjadi bukti kepedulian Islam melestarikan budaya leluhur
dengan strategi islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan
budaya lokal dengan memunculkan budaya murni arab, atau
‘Arabisasi’ yang berpotensi ditolak warga setempat.
Contoh aplikasi kaedah ini sebagai metode efektif
penyebaran agama Islam di Indonesia. Para ulama nusantara telah
mencoba mengadopsi budaya lokal secara selektif, sistem sosial,
kesenian dan pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 123
adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam.
Hal ini yang memungkinkan budaya nusantara tetap beragam,
walupun Islam telah menyatukan wilayah ini secara agamis. Dari
segi cara berpakaian, mereka masih memakai pakaian adat, dan
oleh ulama setempat dianggap telah cukup memenuhi syarat untuk
menutup aurat. Kalangan ulama perempuan dan istri para kyai
memakai pakaian adat, sebagaimana masyarakat setempat yang
lain. Strategi ini dijalankan disamping memperakrab Islam dengan
lingkungan setempat, juga memberikan peluang bagi industri
pakaian adat untuk terus berkembang, sehingga secara ekonomi
mereka tidak terganggu dengan kehadiran Islam, kalau bisa justru
dikembangkan. Pada periode ini Islam sangat kental dengan warna
lokal, sehingga setiap daerah Islam bisa menampilkan keislamannya
secara khas berdasarkan adat mereka.
Salah satu aktor integrasi keislaman dan kebudayaan
lokal tersebut adalah Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang
setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun
lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-
unsur upacara Islam popular menghasilkan tradisi sekatenan di
pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta
dan Solo. Juga misalnya tradisi peringatan untuk orang-orang yang
baru meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut
selamatan (acara memohon salamah satu akar dengan kata Islam
dan salam yakni kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu
juga kemudian disebut tahlilan (dari kata tahlil), yakni, membaca
lafal La ilaha illa allah secara bersama-sama, sebagai suatu cara
yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan
suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental
(penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau
pengajaran).
Sunan Bonang mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang mendorong
kecintaan pada kehidupan transendental. Tembang “Tombo Ati”
adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan,
Sunan Bonang mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa di tafsirkan Sunan
Bonang sebagai peperangan antara naïf (peniadaan) dan istbat
(peneguhan). Sementara Sunan Kudus mendekati masyrakat

124 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, hal
itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran/ padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan
Budha. Ini adalah sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Banyaknya peran budaya lokal dalam proses formulasi
hukum Islam menempatkan budaya lokal dalam posisi strategis.
Dalam uraiannya Abdul Wahab Khalaf al-Adatu syari’ah muhakkamah
(adat adalah syarat yang dihukumkan). Dan adat istiadat (urf) itu
dalam syara’ harus dpertimbangkan. Imam Malik membangun
banyak hukum-hukumnya atas dasar praktek penduduk Madinah.
Abu Hanifah dan para pendukungnya beranekan ragam dalam
hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat
kebiasaan mereka. Imam Syafi’I setelah berdiam di Mesir berubah
sebagian hukum-hukum perubahan adat kebiasaan (dari Irak ke
Mesir). Karena itu, ia mempunyai dua pandangan hukum, yang
lama dan yang baru (qaul qadim dan qaul jadid). Dalam fiqh Hanafi
banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan. Karena itu
ada ungkapan-ungkapan terkenal al-ma rufu urfan ka al-masyrutu
syarthan, wa al-tsabit bi al-urf ka al-tsabit bi al-nash (yang baik
menurut adat kebiasaan adalah baik nilainya dengan syarat yang
harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan
adalah sama nilainya dengan yang mantab benar dalam nash).

D. Pribumi Islam
Implementasi kaedah ‘adah muhakkamah ini dalam konteks
Indonesia pernah dilontarkan oleh KH. Abdurrahman Wahid yang
akrab di panggil Gus Dur dengan ide progresifnya Pribumisai Islam.
Gus Dur membolehkan al-salamu’alaikum diganti dengan selamat
pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam. Memakai pakaian
tidak harus ala makkah, memakai jubah. Pribumisasi Islam ala Gus
dur dilakukan dengan cara mengambil spirit dan nilai instrinsik
yang ada pada suatu ajaran, misalnya, ajaran sedekah pada waktu
bulan ramadhan. Di Jawa sudah berlaku selamatan, maka diadakan
selamatan berupa “maleman”, sebelum ramadhan ada tradisi
selametan namanya “megengan”. Juga ketika mendoakan setahun
sekali pada waktu sedekah bumi. Semua tradisi itu dilestarikan,
dengan memberikan sentuhan ketauhidan. Akhirnya, tradisi

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 125
tersebut menjadi media efektif bagi pemasukan nilai-nilai tauhid.
Menurut Zainul Milal Bizawie, dalam melakukan Pribumisasi
Islam, langkah-langkah metodologis yang harus ditempuh adalah4 :
Pertama, mendudukan secara paralel antara tradisi kultural
Arab dan tradisi lokal, antara agaa Islam dengan agama lain sebagai
sebuah entitas yang saling menggeluti pemaknaan hidup, sehingga
memungkinkan dialektika antara tradisi dan melahirkan tradisi
baru atau bentuk keberagaman yang baru. Pribumisasi Islam yang
dinamis adalah sebuah proses pergulatan dan interaksi antar
berbagai kultur, dimana mengandaikan terjadinya proses-proses
dominasi dan hegemoni. Dalam konteks inilah, nafas pergerakan
suara lokalitas melakukan formulasi-formulasi alternative sebuah
efek dari hegemoni.
Kedua, pendekatan praktis dan wacana. Pendekatan praktis
dikembangkan oleh Piere Bourdieu. Pokok pikiran pendekatan
praktis yang paling relefan dalam pembahasan ini adalah bahwa
konsep praktis Bourdieu dibedakan dari konsep tindakan Weber.
Jika Weber lebih cenderung melihat tindakan sebagai pencerminan
ide-ide yang terkandung dalam kebudayaan si pelaku, konsep
praktis menekankan adanya hubungan timbal balik antara si
pelaku dan struktur obyektif atau kebudayaan sebagai keseluruhan
pengetahuan yang diwariskan dari generasi kegenerasi dalam
bentuk simbolik. Implikasi utama dari konsep praktis kubadayaan
adalah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu
kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena
keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya yang
berada pada konteks sosial tertentu, yang mempunyai kepentingan
tertentu. Dengan demikian, kebudayaan bukan sekumpulan sesuatu
yang harus diterima dan dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu
yang ‘dibentuk’, suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan
kepentingan maupun kekuasaan yang sedang berjalan. Pendekatan
ini meniscayakan hubungan saling membentuk, saling belajar, dan
saling mengambil dalam Pribumisasi Islam sebagai hubungan
dialektis antara subyek dan struktur obyektif. Benar, jika tidak
dapat lepas dari struktur obyektif itu, namun dalan praksis juga

4
Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural, Pijakan Historis dan
Antropologis Pribumisasi Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar”, h. 64-67

126 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dapat merubah struktur obyektif tersebut. Pendekatan lain adalah
pendekatan wacana. Wacana menurut Emile Benveniste adalah
verbal (kebahasaan) tempat posisi si penutur tampak dengan jelas,
sehingga menurut Foucault, sejumlah wacana dapat terhimpun
menjadi suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh
tradisi, kekuasaan, lembaga dan berbagai macam modus penyebaran
pengetahuan. James Clifford mengemukakan perlunya penciptaan
‘ruang’ tempat tumbuh suburnya wacana tentang kebudayaan
sebagai hasil ‘negosiasi konstruktif’ (constructif negotiation) yang
terus berkembang.
Ketiga, invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif menemukan,
meratifikasi, merekonsiliasi, mengkomunikasikan, menganyam dan
menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak
harus merupakan pembaharuan secara total atau kembali ke tradisi
masa lalu secara total, melainkan bisa saja hanya pembaharuan
terbatas. Sebuah invensi tidak dimaksudkan menemukan tradisi
atau autentitas secara literal, mengkopi apa yang pernah dilakukan,
melainkan bagaimana tradisi lokal itu menjadi suatu yang dapat
dimodifikasi ulang sehingga dalam konteks kekinian jadi relevan.
Dengan demikian, pribumisasi Islam merupakan proses yang tak
pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara
‘norma agama’ dan manifestasi budaya.

E. BEBERAPA CONTOH KONTEMPORER


1. Sholawat kyai kanjeng dibawah payung budayawan kondang
Emha Ainun Najib. Dengan sholawat kyai kanjeng ini, Emha
mampu menghibur ratusan juta manusia dan sekaligus
mengajak (berdakwah) kepada mereka secara tidak sengaja
untuk meningkatkan beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah swt. Emha juga membawa pesan-pesan sosial yang
berusaha menyebarkan ideologi transformatif untuk mendorong
hilangnya keserakahan, penindasan, otoritarianisme,
sentralisme, dan hegemoni, menuju terciptanya keadilan,
kesetaraan, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan
bersama. Lewat kreatifitas dan inovasi yang dinamis, kelompok
kyai kanjeng ini sudah melanglang buana kemanca Negara,
Inggris, Malaysia, Mesir, Australia, Perancis, dan lain-lain.
Emha tidak menentang tradisi dan budaya masyarakat Jawa,

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 127
tapi justru menggalinya, mensosialisasikannya, memberikan
interpretasi kritis-proyektif, melakukan gerakan penyadaran
dan mengobarkan semangat perjuangan mencapai hidup yang
lebih baik sesuai perintah Allah.
2. Dakwah ala KH. Abdullah Gymnastiyar (Aa’ Gym) yang
mengandalkan keteladanan, pemberdayaan, dan kemuliaan
akhlaq. Aa’ Gym mampu membuat bendera dan lagu kebangsaan
Darut Tauhid, yaitu Majemen Qalbu (MQ) dan lagu Jagalah
Hati………. Aa’ Gym memberikan contoh dengan berwirausaha
dengan kejujuran, kekuatan tawakal pada Allah, memberikan
yang terbaik buat konsumen, menjaga kepercayaan, dan selalu
berinovasi, berkreasi, dan berkompetisi secara dinamis. Aa’
Gym dalam materi dakwahnya fokus pada pembersihan hati
dari segala macam penyakit dan penyulut semangat hidup
menuju masa depan yang prospektif. Tasawuf adalah materi
utama Aa’ Gym, sehingga ia berhasil keluar dari formalitas
dan regiditas fiqh dan permisifisme dan liberalisme budaya
dunia modern. Contoh paling jelas adalah ketika film “Buruan
Cium Gue” ditayangkan di televisi, dengan keras Aa’ Gym
mendesak pemerintah menutup film itu. Dalam sebuah diskusi
di sebuah setasion televisi, di antara banyak pembicara, Aa’
Gym memberikan alasan yang rasional dan akseptabel, yaitu
hancurnya moral remaja bangsa ini pasca penayangan film itu.
Aa’ Gym tidak menggunakan bendera demokrasi, kebebasan,
dan skularisme yang kadang menghancurkan pondasi moral
bangsa. Strategi jitu Aa’ gym ini membawanya ke se-antero
Indonesia dan luar negeri.
3. Fiqh sosial ala KH. Sahal Mahfudz Kajen Pati. Kyai Sahal
menjadikan fiqh bukan sebagai alat pembasmi budaya lokal,
kyai Sahal tidak banyak menyentuh masalah sensitif, beliau lebih
memprioritaskan pengentasan kemiskinan, pemberdayaan
pendidikan, dan pelayanan kesehatan dengan kaca mata fiqh.
Fiqh yang selama ini identik dengan hukum halal-haram,
dirubah kyai Sahal sebagai alat mentransformasi sosial-
ekonomi masyarakat. Karena itulah, fiqh ala kyai Sahal disebut
dengan fiqh sosial, fiqh yang berorientasi pada penyelesaian

128 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


pada penyelesaian problem-problem sosial yang sangat
kompleks. Masyarakat dibuat senang dan gembira dengan
kepedulian besar kyai Sahal dalam memperjuangkan kondisi
ekonomi mereka, meningkatkan pendidikan anak-anaknya, dan
meningkatkan layanan kesehatan. Merintis dari nol, akhirnya
dengan kegigihan dan semangat pantang menyerah, kyai Sahal
berhasil membuat BPPM (badan pengembangan pesantren
dan masyarakat), BPR Arta Huda (Bank untuk mendanai
Program), RSI (Rumah sakit Islam) Pati, dan usaha-usaha lain
yang kompetitif. Dengan langkah inilah, kyai Sahal menuai
sambutan hangat, dan sosoknya menjadi mascot dan pioneer
perubahan sosial yang sukses. Dari sini kyai Sahal melihat
kondisi budaya masyarakat setimpal, merubah sedikit-sedikit,
atau melestarikannya dengan memberikan spirit spiritual dan
religiusitas. Misalnya, kalau dalam fiqh, wanita wajib menutup
semua aurat ketika berinteraksi dengan laki-laki, namun
tradisi di Indonesia berlawanan dengan ajaran ini, kyai Sahal
tidak mengingkari relitas ini, tapi memberikan ruh keagamaan,
dengan tetap menjaga barometer moral sehingga terhindar
dari kemaksiatan dan kemungkaran, seperti fenomena free sex
yang sudah sulit dibendung sekarang ini.
4. Iwan Fals, sebagai musisi terkenal, bukan hanya sebagai
budayawan ansich, ia menggunakan lagu-lagunya sebagai alat
mengkritik penguasa tiran yang suka menumpuk-numpuk
harta dan menggunakan semua cara untuk mempertahankan
kekuasaannya. Gara-gara itu, ia masuk dalam penjara. Namun,
setelah keluar dari penjara, ia bertambah popular, pengemarnya
semakin fanatik, dan ia menjadi idola di banyak kalangan.
5. Rhoma Irama, raja dangdut ini sangat terkenal menciptakan
dan menyanyikan lagu yang bernuansa Islami, misalnya Judi,
Wanita Sholihah, dll. Ia mampu menciptakan penyatuan
dangdut Indonesia dengan Melayu. Lewat dangdut, Rhoma
berdakwah. Walaupun materinya kerap kali menyinggung
tradisi negatif (judi, zina, minum-minuman keras, dan lain-
lain), tapi masyarakat menerimanya, karena disana ada sisi
estetikanya.

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 129
6. Nasyid. Lagu ala Melayu ini sangat digemari anak-anak muda,
karena dikemas secara modern dan kontekstual. Pesan-pesan
keagamaan dan moral ia selipkan dalam bait-bait lagunya,
sehingga dengan enak orang mendengarkan dan meresapi
kandungan maknanya.
7. Rebana Modern. Rebana model ini dilengkapi alat modern
seperti orjen. Walaupun menurut para ulama fiqh, alat ini
digolongkan haram, namun, sebagai bentuk dakwah, ia
meruapakan terobosan yang positif-konstruktif. Justru, sering
terjadi kyai juru dakwah yang tidak menggunakan rebana ini,
tapi melarangnya dengan keras, didemo para penggemarnya.
Ini menunjukan ketidak dewasaan psikologis sang kyai dalam
melihat pluralitas budaya masyarakat. Rebana modern adalah
bentuk kompromi antar budaya tradisional dan perkembangan
musik dan masyarakat yang menuntut inovasi dan kreasi yang
tidak ketinggalan zaman. Disatu sisi membawa pesan moral,
disisi lain menghibur.

F. Agenda Masa Depan


Kontekstualisasi kaidah ini mendapat momentum aktualnya
ditengah eskalasi gejala purifikasi ajaran Islam dari segala macam
bentuk TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat). Kalau ada budaya lokal
yang tidak sama dengan budaya Islam, lalu dikatakan TBC, itu adalah
sebuah vonis yang menyakitkan. Dilihat dari perspektif dakwah,
vonis semacam ini sangat kotraproduktif, karena menimbulkan
gesekan dan kontradiksi sosial. Masyarakat lokal yang mempunyai
budaya khas daerahnya jelas tidak menerima langkah radikalisasi
tersebut dalam bentuk purifikasi. Mereka ingin tetap menghormati
warisan leluhur. Solusi terbaik dari ini adalah islamisasi budaya
dalam arti melestarikan budaya lokal dengan memberikan sentuhan
nilai keagamaan dan spiritualitas, sehingga budaya lokal tersebut
justru mampu dimanfaatkan sebagai jendela dakwah efektif, tanpa
melukai perasaan dan warisan leluhur.
Eskalasi gerakan purifikasi yang ingin mencari otentisitas
dan originalitas Islam, atau ingin menegakkan arabisasi ini sudah
masuk dalam semua aspek kehidupan. Regenerasi kelompok ini,
lambat laun, semakin cepat dan kuat. Gerakan bawah tanah yang
dilakukan dikampus-kampus umum, mushola, masjid, dan majelis-

130 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


majelis taklim dari hari ke hari semakin besar. Konstruksi dan
kulturalisasi arabisasi ini menjadi starting point kelompok ini
sebelum masuk menggolakan target politiknya, menegakan syari’at
Islam secara simolis-formalistik. Tentu, kita tidak menginginkan
hal ini terjadi, karena akan mengakibatkan radikalisme masa yang
sangat besar. Islam harus mampu bersenyawa dengan budaya lokal
Indonesia, tidak boleh dibenturkan. Integrasi dan sinergi itulah
yang membuat budaya dan agama menjadi kuat. Agama menjadi
kuat karena tersimbolisasi dalam budaya, budaya menjadi kuat
karena terinternalisasi agama.

G. Tantangan Bagi Kader Muda


Kaedah ‘adah muhakkamah ini mengharuskan kita
memahami tradisi dan budaya masyarakat setempat secara arif,
bijaksana, dan mendalam. Ini mengharuskan kita mengkaji ilmu-
ilmu sosial, budaya, psikologi, dan politik. Lalu kita harus cerdas
mengambil permata dari ajaran Islam yang bertebaran di banyak
sumber, al-Qur’an, Hadits, ijma’, Qiyas, dan jutaan kitab-kitab fiqh.
Dalam konteks ini, tugas kita adalah kontekstualisasi ajaran agama
sehingga up to date dan relevan dengan perkembangan zaman.
Disisi lain, secara progresif, kita juga dituntuk untuk
menciptakan tradisi baru yang bisa diterima kalangan masyarakat
umum. Tradisi baru tersebut sesuai dengan denyut nadi
perkembangan sosial dan mengandung pesan-pesan keagamaan.
Dua hal ini sangat urgen sifatnya.
Menurut KH. Muchid Muzadi, kebesaran Islam yang
tercabut dari budaya lokalnya akan bersifat tentatif, sementara,
tidak bisa abadi. Contoh yang paling mudah adalah Spanyol. Semua
kehebatan Islam ada di negeri ini. Militernya kuat, peradaban, seni,
dan intelektualnya maju. Namun, karena kedatangannya dengan
cara kekutan militer dan kekuasaan, maka kekuatan militer dan
kekuasaan mundur, Islam juga mundur. Kekuasaan habis, Islam
juga Habis.
Oleh sebab itu, pendekatan yang baik adalah dengan
pendidikan persuasif. Tetapi, aturan-aturan, bukanlah hukum publik,
malah kalau bisa sistem budaya, hukum, adat-istiadat mengacu
berlangsungnya hukum Islam, meskipun tanpa paksaan. Sebab,
kalau dipaksakan secara formalistik, seperti yang dikehendaki oleh
orang-orang Islam politik, Islam akan sangat rentan. Kyai Mukhid

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 131
teringat sejarah lama, bahwa Negara-negara eropa dahulu banyak
yang sudah Islam, tapi karena Islamnya dibawa oleh kekuatan
militer dan kekuasaan politik, pada saat kekuatan militer dan
kekuasaan politik runtuh, Islam juga runtuh.
Contoh kreasi tradisi kontemporer diatas adalah teladan
dan tantangan bagi kader muda Islam untuk aktif-kreatif-produktif
menciptakan atau meneruskan langkah-langkah yang sudah dirintis
para pendahulu tersebut.
Wali Songo mampu menciptakan kreasi yang luar biasa,
diteruskan generasi sesudahnya, lalu apa yang sudah kita
sumbangkan untuk penyebaran dan internalisasi nilai Islam di
era modern sekarang ini? Atau kita hanya bisa membanggakan
generasi masa lampau, tanpa mau menciptakan tradisi baru yang
spektakuler dan eksponsional yang bisa kita jadikan ‘peninggalan
berharga’ untuk generasi yang akan datang?
Ingat firman Allah, Tilka ummatun qad kholat, laha ma
kasabat wa lakum ma kasabtum, wala tusaluna amma kanu
yamalun, itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang
diusahakannya, dan bagimu apa kamu usahakan, dan kamu tidak
akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka
kerjakan. (al-Baqarah 1: 141) [21]
Semoga kita senantiasa mampu melestarikan tradisi lama
yang positif dan mampu membuat tradisi baru yang lebih inovatif-
progresif, sesuai kaedah Al-muhafadzatu bi al-jadidi al-ashlah,
amin.

132 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


DAFTAR PUSTAKA

al-Syuyuti, Jalaluddin. Asybah Wa al-Nadhori


Hasyiah Ianatut Tholibin
Sabbak, Ali. Al-Syariatu wa al-Tasyri
Asybah Wa al-Nadhoir
Asybah wa al-Nadhoir
Al-Syariatu wa al-Taasyri
Asybah wa al-Nadhoir
Bughyah al-Mutarsyidin
Khalaf, Wahab,Abdul. Khulasoh al-Tasyri al-Islami, cet. Ke-VIII
Pribumisaasi Islam, Tashwirul Ahkam, edisi No. 14 Tahun 2003
Madjid, Kholis, Nur. 2000, Islam, Doktrin dan Peradaban, ,
Paramadina, cet. IV
Pribumisasi Islam, Tashwirul Afkar
Islam, Doktrin dan Peradaban
Bizawie, Milal, Zainul. Dialektika tradisi cultural, pijakan historis
dan antropologis Pribumisasi Islam, dalam Jurnal Tashwirul
Afkar
Nuansa Fiqh Sosial, LKis, 1994,
Era Baru Fiqh Indonesia, kajian pemikiran kyai Sahal, Sumanto
al-Qurtuby, Cermin Yogyakarta, 1999
Arabisasi, Bukan Islamisai, Wawancara dengan KH. Muchid Muzadi,
dalam jurnal Tashwirul Afkar
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, CV Penerbit
Diponegoro, Bandung Jawa Barat, 2000

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 133
134 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012
KAJIAN KRITIS TERHADAP AJARAN DAN GERAKAN
AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH

Joko Tri Haryanto


Email: joko_tri75@yahoo.com

ABSTRAK

Beberapa waktu lalu umat Islam di Indonesia dikejutkan


dengan munculnya aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang
mengakui Ahmad Mushaddeq sebagai seorang Nabi baru
pengganti atau penerus Nabi Muhammad saw. Ajaran ini
lengkap pula dengan formulasi syahadat yang baru dan
hilangnya beberapa kewajiban-kewajiban ritual agama
Islam. Ajaran ini akhirnya difatwa sesat dan dilarang
perkembangannya, serta pemimpinnya Ahmad Mushaddeq
yang memproklamirkan diri sebagai Rasul ditangkap dan
dihukum 4 tahun penjara atas tuduhan penodaan terhadap
agama Islam. Menariknya, meskipun memiliki ajaran yang
bertentangan dengan ajaran mainstream Islam, aliran ini
berhasil menggalang pengikut ribuan. Kajian ini dimaksudkan
untuk membongkar kerangka berpikir dari ajaran al-Qiyadah
al-Islamiyah.

Kata Kunci: Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ajaran, Gerakan.

A. Pendahuluan
Kemunculan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah di paruh
akhir 2007 ini dapat dikatakan sebagai aliran keagamaan yang
fenomenal. Kemunculannya yang tiba-tiba melalui media massa,
langsung mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan di

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 135
masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini karena kelompok al-
Qiyadah al-Islamiyah meresahkan masyarakat dengan ajaran-
ajarannya yang dipandang sesat dan dapat menyesatkan umat
Islam dari kebenaran ajaran agama Islam. Diantara ajaran yang
dinilai sesat tersebut adalah pandangan bahwa masih ada Nabi
Rasul setelah Nabi Muhammad saw., padahal Nabi Muhammad saw.
bagi umat Islam dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir
(khatam al-anbiya). Nabi dan Rasul yang dimaksud oleh al-Qiyadah
al-Islamiyah ini adalah al-Masih al-Maw’ud atau Imam Agung
yang ditunggu-tunggu, yaitu pimpinan aliran ini sendiri, Ahmad
Mushaddeq, yang memploklamirkan diri sejak tanggal 23 juli 2006
di Gunung Bunder Bogor.
Oleh karena keyakinan al-Qiyadah al-Islamiyah tentang
keRasulan semacam ini maka, merekapun memiliki syahadat
dengan versi yang berbeda dengan lafal yang lazim diucapkan
umat Islam. Syahadat yang lazim yaitu asyhadu alla ilaaha illallah
waasyhadu anna muhammadar Rasulullah. Sedangkan syahadat
mereka, asyhadualla ilaaha illallah waasyhadu anna Al-Masih
Al-Maw’ud Rasulullah. Selain itu pengikut jamaah al-Qiyadah al-
Islamiyah ini juga meyakini bahwa ibadah-ibadah dalam agama
Islam belum wajib untuk dilakukan, yakni salat, puasa, zakat dan
haji karena dalam pandangan mereka ibadah-ibadah itu akan
dilakukan bila agama Islam telah tegak dimuka bumi, sementara
sekarang ini dianggap belum.
Fenomena al-Qiyadah al-Islamiyah tidak hanya ajarannya
saja yang di nilai menyesatkan, tetapi juga sangat mengejutkan
ketika al-Qiyadah al-Islamiyah ini mengklaim bahwa jumlah
pengikut mereka telah berjumlah 41.000 orang se Indonesia
sehingga sangat menarik untuk mengetahui tentang ajaran al-
Qiyadah al-Islamiyah. Meskipun pada akhirnya ajaran dan aliran
al-Qiyadah al-Islamiyah ini dilarang oleh kejaksaan, bahkan Ahmad
Mushaddeq juga telah dihukum 4 tahun dengan tuduhan penodaan
agama, kajian mengenai ajaran dan gerakan al-Qiyadah al-Islamiyah
ini tetap menarik mengingat keberhasilannya mempengaruhi
banyak kalangan umat Islam untuk bergabung.
Kajian ini didasarkan pada wawancara dengan tokoh-
tokoh al-Qiyadah al-Islamiyah di Yogayakarta serta kajian terhadap
dokumen-dokumen modul pembelajaran mereka. Diantara

136 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dokumen-dokumen tersebut adalah “Ruhul Qudus yang turun pada
al-Masih al-Maw’ud” (diterbitkan Februari 2007), “Tafsir Ta’wil al-
Quran” (diterbitkan Mei 2007), “Ummah Perjanjian” (bahan ajar
at-Tariq Riayah Nisa, 6 Mei 2007), serta bahan ajar atau materi
taklim tentang “Ibadah: Perjuangan Menegakkan Dien Islam”, “Dien
Islam”, “Kedatangan Nabi dan Rasul”, “Keilmuan Salat”, “Musyrik”
dan “Sunatullah”.

B. Pokok-Pokok Ajaran Al-Qiyadahal-Islamiyah


Al-Qiyadah al-Islamiyah memiliki tokoh utama yaitu Ahmad
Mushaddeq, Nama aslinya Haji Abdussalam, lahir 21 april 1944,
pernah menjadi pelatih bulu tangkis dan pelatih KONI Bogor serta
pensiunan PNS Pemkab Bogor. Ia belajar tentang agama Islam
dan mempelajari al-Quran secara otodidak, karena itu ia memiliki
pemahaman dan pemikiran sendiri tentang Islam. Kegiatan al-
Qiyadah telah dimulai sejak tahun 2000, di Gunung Sari, Desa Gunung
Bundar, Kec. Cibung Bulan, Kab. Bogor, 20 km dari Bogor ke arah
Sukabumi. Awalnya kegiatan ini tidak mempunyai masalah, sampai
pada tanggal 23 Juli 2006 Ahmad Mushaddeq memproklamirkan
diri sebagai Rasul yang baru yang bergelar Al-Masih al-Maw’ud. Ia
mengaku diangkat sebagai Nabi dan Rasul setelah tarekat/bertapa
selama 40 hari di gunung Bundar, Bogor.
Al-Qiyadah Al-Islamiyah memiliki arti kepemimpinan yang
Islami, baik karena dijalankan secara Islam maupun bagi umat
Islam. Kepemimpinan ini penting untuk menegakkan Dien Islam.
Masalah Dien Islam dan keRasulan al-Masih al-Maw’ud inilah yang
menjadi fokus utama ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah. Bangunan
ajaran yang disusun, paradigma berfikir, struktur organisasi dan
aktivitas-aktivitas aaal-Qiyadah merupakan bentuk penerjemahan
dari konsep Dien Islam tersebut.
1. Dien Islam dan Umat Islam
Al-Qiyadah membongkar makna al-Dien yang oleh
kebanyakan orang diartikan sebagai agama. Agama Islam
mengajarkan rahmatal lil alamin, agama Nasrani mengajarkan
cinta kasih, tetapi kenyataannya orang-orang kaya semakin kaya,
yang miskin semakin miskin dan terjadi penindasan dimana-
mana. Kejahatan dan kriminalitas meningkat, kolusi, korupsi, seks
bebas, pornografi, narkotika, dan sebagainya menjamur dimana-

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 137
mana sementara agama juga tetap eksis dianut oleh pemeluknya.
Maka menurut pandangan al-Qiyadah, para Nabi dan Rasul yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak untuk menyebarkan
agama tetapi mengajarkan al-Dien. Dien adalah jalan hidup dari
Allah yang mana sistem tersebut hanya menjadikan Allah satu-
satunya Rabb (Pengatur), Malik (Penguasa), dan Ilah/Ma’bud (Yang
ditaati). Oleh karena itu terdapat tiga dimensi dalam Dien Islam,
yaitu aturan, kekuasaan dan ketaatan. Dalam Dien Islam menuntut
4 hal untuk mewujudkan pengabdian kepada Allah, yaitu:
a. Kesatuan umat yang diikuti oleh kesatuan akidah dan visi
hidup.
b. Tegaknya sultan yaitu kekuasaan politik yang kokoh (ulil
amri);
c. Sempurnanya hukum yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia;
d. Basis teritorial yang mewujudkan cita-cita Islam sebagai
khalifah fil ardi.
Dengan demikian Dien Islam intinya pada syari’at atau
hukum yang baru dapat dikatakan sempurna jika didukung oleh
sarana hukum, aparat hukum dan legitimasi umat Islam. Umat Islam
yang dimaksud adalah umat manusia yang telah bersedia untuk
masuk kedalam Dien Islam secara Kaffah, yakni komunitas umat
yang mengikat diri dengan tauhid kepada Allah dan mewujudkan
pengabdian kehidupan ini hanya kepada Allah sebagai Rabb, Malik
dan Ilah. Komunitas atau umat diluar kategori ini berarti umat
Thaghut atau umat musyrik dan kafir.
2. Sunatullah dan 6 Fase Perjuangan
Ketetapan Allah dalam alam semesta dan kehidupan
manusia yang tidak pernah berubah, inilah yang dimaknai sebagai
sunatullah oleh al-Qiyadah. Pada alam semesta tergambarkan
dalam rotasi pergantian siang dan malam, dan siklus hidup dari
lahir hingga mati. Di alam insan atau peradaban manusia, terlihat
dari kejayaan dan keruntuhan suatu bangsa, termasuk didalamnya
adalah tegaknya Dien Islam laksana siang dengan cahaya Allah dan
kemudian runtuh digantikan oleh Dien Thaghut seperti zulumat atau
kegelapan. Keadaan ini akan bergulir berganti-gantian, demikian
sudah menjadi ketetapan Allah, karena sebelum menciptakan alam

138 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


semesta Allah telah membuat blue print atau ketetapan dalam
kitab-Nya, sehingga ketetapan itu pasti terjadi.
Dalam sunatullah tidak ada kekuasaan yang berkuasa
selamanya, melainkan ada waktu ajalnya. Ini digambarkan dalam
rentang sejarah kekuasaan Dien Islam bergantian dengan Dien
Thaghut. Pada suatu masa Nabi Musa berhasil menegakkan Dien
Islam, namun karena umat Nabi Musa tidak lagi konsisten dengan
Dien Allah maka digantikan dengan kekuasaan Romawi, kemudian
Nabi Isa berhasil menegakkan Dien Islam (pandangan Al-Qiyadah,
Isa Al-Masih tidak mati dibunuh dan tidak mati disalib, tetapi
ia diselamatkan oleh Allah dan akhirnya berhasil mengalahkan
bangsa Romawi serta mendirikan kembali kekuasaan Bani Israil di
Yerusalem, sebagaimana penafsirannya terhadap ayat-ayat dalam
injil) lantas runtuh lagi karena penyelewengan ajaran, hingga
kemudian masuk era Mekah yang jahiliyah, lalu Nabi Muhammad
menegakkan kembali Dien Islam, lantas runtuh lagi karena umat
Islam tidak lagi konsisten berpegangan pada Al-Quran sehingga
sekarang menjadi kekuasaan Thaghut (menurut Al-Qiyadah
jatuhnya Dien Islam dan dicabutnya Ruh Al-Quran yang artinya
dunia memasuki era Dien Thaghut dimulai pada era kekhalifahan
Islam di Baghdad dihancurkan oleh Kubilai Khan dari Mongol atau
bangsa Barbar tahun 1304). Bandingkan dengan kajian sejarah,
kehancuran kekhalifahan Abbasiyah pada masa pemerintahan
khalifah Al-Mu’tasim akibat serangan tentara mongol terjadi tahun
656/1258 M yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu dari Kubilai
Khan (Munthoha, dkk., 1997: 73). Dengan melihat rentang waktu
dan pola yang telah ditetapkan Allah, maka akan tiba saatnya Dien
Islam akan tegak menggantikan Dien Thaghut. Jadi setelah Nabi
Muhammad, akan turun ada lagi Nabi dan Rasul, seorang Mesias
sang pembebas, yaitu Al-Masih yang dijanjikan Allah (Al-Masih Al-
Maw’ud) yang dibangkitkan dari bangsa Ummi dan Ajam. Dengan
kedatangan Al-Masih Al-Maw’ud, maka dengan kekuasaan Allah
akan bangkit kembali Darussalam kedua pada sekitar tahun 2024
M.
Untuk menegakkan kembali Dien Islam berdasarkan
sunatullah ini maka rujukannya terdapat dalam Al-Quran secara
teori dan perjalanan Rasul sebagai aplikasi. Dengan mengambil
pelajaran dari penciptaan alam semesta dan manusia, maka

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 139
marhalah (tahapan) menegakkan Dien Islam harus dilakukan sesuai
koridor sunatullah tersebut, yaitu 6 fase perjuangan: sirran, jahran,
hijrah, qital, fathul makkah dan madinah munawaroh, sebagaimana
yang dilakukan pula oleh Nabi Muhammad dalam menegakkan
Dien Islam.
3. KeNabian dan Al-Masih Al-Maw’ud
Berdirinya Dien Islam tidak bisa lepas dari peran para Rasul
yang ditunjuk oleh Allah. Al-Qiyadah meyakini semua Nabi yang
diyakini oleh umat Islam, bahkan seringkali mengutip perjuangan
Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Isa dan sebagainya.
Dengan kesatuan misi keRasulan yaitu menegakan Dien Islam, semua
Nabi-nabi tersebut diyakini semuanya adalah mukmin. Tidak ada
istilah Yahudi, dan Nasrani, karena Allah tidak menurunkan Agama
Yahudi dan Nasrani, yang ada adalah ajaran millata Ibrahim hanifa.
Nabi-nabi itu menyeru kepada umat manusia untuk mentauhidkan
Allah, yakni utama mengajarkan dan mengenalkan Allah sebagai
Rabbul alamin, pengatur, penguasa dan yang harus ditaati oleh
semua manusia.
Pengertian Nabi berasal dari kata naba’a artinya berita,
Nabiyyun artinya penyampai berita yakni berita dari Allah. Kata
Rasul berasal dari rasala atau arsala yang artinya mengutus, kata
Rasulan yang berarti utusan dan kata mursil yang artinya pihak yang
mengutus. Dengan pemaknaan bahasa ini, al-Qiyadah menunjukkan
bahwa dalam al-Quran banyak kalimat yang menunjukan bahwa
Rasul itu bisa siapa saja, seperti dalam QS. al-Qamar: 27, onta
betina; QS. al-Maidah: 31; burung gagak; QS. al-A’raf: 57, angin; QS.
al-Mulk: 17, badai; bahkan QS. Maryam: 83, syaitan yang dikirim
untuk menghasut orang-orang berbuat maksiat.
Dengan dasar itu, menurut al-Qiyadah siapa saja dapat
menjadi Nabi. Istilah Nabiyullah adalah kata majemuk atau idafah
yang artinya siapa saja diutus membawa berita oleh Allah. Sedang
istilah Rasulullah adalah nama bagi seorang yang telah behasil
membawa Dien al-Haq menjadi tegak berkuasa diatas Dien-dien
yang lainnya yang ada di dunia. Nabi Muhammad sendiri sebelumnya
adalah manusia biasa, ana basyara mitslukum, “sesungguhnya aku
ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diberi wahyu.”1

1
QS. Al-Kahfi (18): 110.

140 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Istilah khataman Nabiyyin dari kata khatama-khatimun
yang artinya menutup atau menggenapi, dan Nabiyyun dari kata
naba’a berarti berita. Frase ini mengandung pengertian penggenap
nubuwwah. al-Qiyadah menggambarkan bahwa posisi Yesus juga
khatama Nabiyyin karena menggenapi nubuwah Nabi Yesaya, Ahmad
Ibn Abdullah atau Nabi Muhammad menjadi khatam Nabiyyin2
karena menggenapi Nubuwah Yesus3. Sedangkan nama-nama
Muhammad, menurut al-Qiyadah dengan mengartikan surat al-Fath
ayat 29, adalah gelar bagi orang-orang yang berhasil mendzahirkan
atau mewujudkan tegaknya Dien Allah, sehingga Nabi Musa dan
Nabi Isa mendapat Nama Muhammad juga sebagaimana Ahmad
ibn Abdullah dipanggil Muhammad.
Kemudian Nabi Muhammad juga menubuwahkan tentang
hadirnya Nabi/Rasul sebagai penolong yang dijanjikan setelah
beliau. al-Qiyadah merujuk pada QS. al-Jum’ah : 2-3 sebagai dasar
datangnya Nabi untuk bangsa ummi yang berasal dari kalangan
mereka sendiri. Istilah ummi biasanya diterjemahkan sebagai buta
huruf, tetapi oleh al-Qiyadah diartikan sebagai bangsa yang tidak
berasal dari Bani Israil dan bukan dari Arab (ummi dan ‘ajam)
yaitu al-Masih al-Maw’ud. Konsekuensi dari ajaran tentang ajaran
keNabian al-Maih al-Maw’ud ini adalah penerimaan dan kepatuhan
kepada al-Masih al-Maw’ud dengan bersyahadat kepada al-Maih al-
Maw’ud.
4. Al-Quran dan Wahyu
Meskipun al-Qiyadah meyakini Ahmad Mushaddeq sebagai
Rasul yang baru setelah Nabi Muhammad, tetapi kitab suci yang
dipergunakan adalah al-Quran, yaitu kitab suci yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad dan diyakini oleh umat Islam. Al-
Quran ini sebagaimana umat Islam yang lain, dipandang sebagai
kitab suci yang sempurna, sehingga tidak perlu diturunkan lagi
kitab suci selain yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad.
al-Quran yang dipandang sudah sempurna ini pula yang membuat
al-Qiyadah merasa tidak perlu menggunakan keterangan-
keterangan hadis dan sunah Nabi Muhammad dalam menguatkan
ajaran-ajarannya. Termasuk juga dalam melakukan kajian terhadap

2
QS. Al-Ahzab (33): 40)
3
Al-Kitab Yohanes (14): 10-17.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 141
Al-Quran mereka menggunakan pedoman dari tafsir wa ta’wil al-
Quran yang disusun oleh al-Qiyadah, dengan menekankan metode
tafsir ayat dengan ayat (menurut Buddie Thamtomo alias Ahmad
Mushaddeq Tsany, ketua al-Qiyadah di Yogyakarta, bahwa yang
paling tepat menafsirkan ayat al-Quran adalah dengan ayat al-Quran
Karena yang mampu memberi makna atau tafsir yang paling tepat
hanya Allah, yaitu melalui firmannya Al-Quran tanpa menggunakan
keterangan dari riwayat dan hadis Nabi Muhammad). Oleh karena
itu pula maka al-Qiyadah tidak mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj
sebagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad, karena
peristiwa yang disebutkan dalam QS. al-Isra’: 1 tersebut langsung
berhubungan dengan ayat-ayat selanjutnya yang berisi riwayat
Nabi Musa. Jadi menurut al-Qiyadah, Isra’ Mi’raj ini merupakan
simbol dari kejayaan Bani Israil dalam menegakan Dien pada masa
Nabi Musa sehingga diangkat oleh Allah menjadi pemimpin dunia.
Hadis Nabi yang sekarang ini ada diragukan kebenarannya, karena
baru disusun beberapa abad setelah Nabi Muhammad wafat Ahmad
Mushaddeq mengatakan, “Hadis yang ada sekarang disusun 350
tahun setelah Nabi wafat. Dari 500 ribu hadis terkumpul 500 hadis,
sehingga Bukhari harus diperiksa. Buat apa menghabiskan waktu
untuk sesuatu yang tidak pasti padahal dalam al-Quran semuanya
sudah ada.”4
Kajian terhadap al-Quran terutama melakukan tafsir ta’wil,
yaitu mempelajari makna ruh dalam ayat-ayat al-Quran. Bagi al-
Qiyadah, kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ahli tafsir selama
ini sudah tidak lagi aktual, karena belum mampu membangkitkan
minat manusia untuk menjadikan al-Quran ini suatu kitab yang
“Hidup” yang dipandang sebagai wahyu “instruksi” Allah yang
aktual pada hari ini kepada orang-orang yang membacanya.
Al-Quran maknanya adalah al-Kitab, yaitu suatu kumpulan
firman Allah yang dikodifikasikan menjadi Mushaf atau buku.
Sedangkan didalam bacaan ada yang menjadi esensi, yaitu wahyu.
Karena itu hakikat wahyu berbeda dengan al-Quran. Wahyu yang
diberikan kepada manusia melalui para Rasul itu bisa dicabut atau
dilenyapkan kembali oleh Allah. Keberadaan ruh Allah atau wahyu
inilah yang membedakan Rasul dengan manusia biasa. Menurut

4
Majalah Tempo, 11 November 2007.

142 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


al-Qiyadah, istilah Rasul dalam al-Quran adalah istilah yang bisa
berlaku terhadap siapa saja yang dikehendaki oleh Allah. Misalnya
dalam QS. al-Qashas ayat 7 ibu Nabi Musa mendapatkan wahyu, QS.
an-Nahl ayat 68 Allah memberi wahyu kepada lebah. QS. Fushilat
ayat 12 Allah mewahyukan pada langit segala urusannya.
Istilah malaikat adalah personifikasi dari ruh Allah, Malaikat
Jibril bukanlah suatu pribadi tetapi hanya ismun atau penamaan
dari firman Allah. Dengan demikian firman Allah adalah Malaikat
Jibril atau wahyu itu sendiri yang merupakan energi spirit Allah,
atau disebut juga ruh Allah yang seharusnya ada dalam kalbu setiap
manusia. Kelahiran seorang Nabi dan Rasul bukan pada kelahiran
darah dan daging, melainkan kelahirannya selaku pengemban
wahyu Allah atau penyampai firman Allah. Yaitu sebagai pribadi
Ruhul Qudus, pada saat pribadi itu dibaptis atau dikuatkan dengan
firman Allah. Itulah hakikat Ruhul Qudus.

C. Konsep Peribadahan Al-Qiyadah Al-Islamiyah


Konsep ibadah dalam pandangan al-Qiyadah juga berada
dalam konteks pemahaman tentang Dien Islam, yaitu berlakunya
atau tegaknya sistem aturan hidup kehidupan menurut aturan Islam
dan berada dalam kekuasaan Islam (undang-undang hukum dan
teritorial Islam), yang sampai pada hari ini belum tegak kembali.
Oleh karena itu peribadahan yang dimaksudkan oleh al-Qiyadah
adalah aktivitas untuk mendukung tegaknya kembali Dien Islam
yang dimaksudkan tersebut. Secara tegas, al-Qiyadah menyimpulkan
makna ibadah adalah upaya berijtihad memenangkan Dien Islam,
aqimuddin. Oleh karena pada masa sekarang ini Dienul Islam
dianggap belum berdiri, maka dianalogikan sama dengan periode
makkiyah di zaman Nabi Muhammad di mana ritual syara’ belum
diwajibkan.
1. Bacaan syahadat
Perbedaan yang paling menyolok antara al-Qiyadah dengan
umat Islam pada umumnya adalah perbedaan pembacaan syahadat.
Syahadat yang umunya diucapkan dan dipahami oleh umat Islam
adalah: asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadan
Rasulullah, saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul utusan Allah.
Sedangkan bacaan syahadat dari al-Qiyadah adalah: asyhadu alla

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 143
illaha illallah wa asyhadu anna al-masih al-maw’ud Rasulullah, saya
bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa
al-masih al-maw’ud adalah Rasul utusan Allah.
Al-Qiyadah merubah syahadat Rasul juga berdasarkan
pada paradigma yang diyakininya, bahwa masa kerasulan Nabi
Muhammad telah selesai dengan jatuhnya Dien Islam, yakni
diberlakukannya sistem dan hukum Islam akibat jatuhnya
peradaban Islam di Baghdad oleh pasukan Mongol.5 Maka dengan
runtuhnya Dien Islam tersebut, maka masuklah umat manusia ini
ke era zulumat (kegelapan) dan dalam rentang waktu tertentu yang
diyakini sebagai sunatullah, maka akan kembali lagi zaman cahaya
dimana Dien Islam akan kembali tegak berdiri, dan tentunya itu
diperlukan Nabi yang baru, yaitu Ahmad Mushaddeq, yang selam
ini telah menjadi al-Masih al-Maw’ud.
Berdasarkan keyakinan tersebut, maka perubahan syahadat
menjadi konsekuensi yang dipandang logis. Untuk menguatkan
syahadat versi al-Qiyadah ini, diberikan alasan lain, yaitu orang yang
bersaksi harus berada di TKP (tempat kejadian perkara) artinya
bahwa seseorang yang bersaksi benar-benar menyaksikan karena
berada dalam masa yang sama. Oleh karena itu dianggap tidak sah
bersaksi terhadap kerasulan Muhammad sedang Nabi Muhammad
berada di era yang sangat jauh di belakang, dan yang paling tepat
adalah bersaksi terhadap Rasul yang hari ini hadir dan masih hidup
yaitu al-Masih al-Maw’ud.
2. Pengertian Salat
Sebagaimana diterangkan di depan, bahwa al-Qiyadah
belum mewajibkan pelaksanaan salat lima waktu dan ibadah ritual
lainnya karena berpandangan pada masa ini sama dengan fase
makkiyah pada masa Nabi Muhammad di mana masa itu belum
turun perintah menjalankan kewajiban-kewajiban ritual tersebut.
Namun tidak hanya berdasarkan hal itu saja al-Qiyadah tidak
memberi perhatian pada pelaksanaan ritual salat, tetapi al-Qiyadah
memiliki pandangan yang tersendiri tentang makna salat yang
masih terkait dengan konsep besarnya tentang Dien Islam.
Berangkat dari sebuah hadis sahih yang artinya “salat itu
tiang Dien, barang siapa menegakkan salat maka dia menegakkan

Majalah Tempo, 11 November 2007 5

144 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Dien, dan barang siapa menegakkan salat maka ia merobohkan
Dien.” Berdasarkan konsep tentang Dien Islamnya, al-Qiyadah tidak
mengganti atau mengartikan istilah Dien dengan agama. Menurut
al-Qiyadah, mengartikan Dien dalam hadis ini sebagai agama, akan
menimbulkan banyak kontradiksi, banyak orang yang menunaikan
salat, tetapi apakah sekarang ini Dien Islam telah tegak? (Dalam
kegiatan taklim atau diskusi yang waktunya melewati waktu salat,
salat dapat ditinggalkan karena taklim sendiri sudah merupakan
salat, demikian menurut al-Qiyadah).
Dengan uraian tersebut, al-Qiyadah mengembalikan
pemahaman kepada konsep Dien Islam, maka aktivitas salat adalah
aktivitas menegakan Dien. Salat menegakkan Dien dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar karena adanya hukum yang tegas seperti
hukum Qishas, hukum potong tangan bagi pencuri, rajam atau jild
bagi pezina sesuai dengan al-Quran pasti akan membuat orang jera
melakukan kekejian dan kemungkaran tersebut. Mengingat Allah
dalam konsep salat menegakkan Dien bukan dengan membayangkan
wajah Allah, atau hanya menghafal bacaan (mantra), tetapi
mengingat Allah adalah melaksanakan dan mematuhi hukum Allah
karena paham bahwa hukum Allah pasti berlaku. Ruku’ dan Sujud
sebenarnya hanya symbol dari ketundukan dan kepatuhan. Itu
sebabnya ruku’ dan sujud senantiasa digandeng identik dengan
kata sami’na wa ata’na.6 Bukti ketundukkan adalah tanda bekas
sujud, yaitu bukti sejarah adanya pemberlakuan hukum Allah.
Dengan berdasarkan pada argumen di atas, al-Qiyadah
tidak mewajibkan pelaksanaan salat secara ritual. Terlebih lagi
dengan pandangan tentang ajaran sitati ayyam sebagai marhalah
perjuangan menegakkan Dien Islam, maka pada saat sekarang
masih berada pada tahapan jahron yang berarti berada dalam fase
makkiyah, maka belum ada kewajiban menjalankan ritual salat
sampai memasuki fase madinah, yaitu pada saat tahapan qital.
3. Enam Program Ibadah
Berdasarkan pemahaman tentang ibadah tersebut di atas,
al-Qiyadah menerapkan 6 program ibadah, atau aktivitas yang
dinilai sebagai praktek sebenarnya dari ibadah sesuai konsep
mereka. Keenam program ibadah tersebut adalah:

6
QS. Al-Hajj (22): 18.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 145
a. Qiyamul Lail
Ibadah salat yang wajib menurut al-Qiyadah hanya
salat di waktu malam hari saja. Salat malam atau Qiyamul
lail telah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
pada awal kenabian beliau, yaitu pada surat kedua yang
turun, surat al-Muzammil (73) yaitu ayat 1-6. Karena itu
salat malam menjadi kewajiban bagi pengikut al-Qiyadah.
b. Hafiz Quran
Dengan program ini, maka al-Quran tidak hanya
dikaji, tetapi sekaligus juga dihafalkan. Bagian al-Quran
yang paling utama untuk dihafalkan adalah surat dalam juz
29, serta ayat-ayat lainnya yang secara praktis berhubungan
dengan doktrin ajaran al-Qiyadah (para rain atau mukmin
mubalig yaitu pengikut al-Qiyadah yang telah memenuhi
syarat untuk menyampaikan ajaran-ajaran al-Qiyadah pada
umumnya mampu hafal dalil-dalil al-Quran yang sesuai
dengan materi yang disampaikan pada umat atau orang
yang tertarik pada al-Qiyadah) melalui tafsir wa ta’wil al-
Quran yang disusun oleh Ahmad Mushaddeq (al-Masih al-
Maw’ud).
c. Talwiyah
Makna talwiyah adalah menyampaikan, yang
dimaksud adalah aktivitas untuk menyampaikan ajaran
al-Quran ini kepada orang lain agar tertarik untuk masuk
menjadi pengikut al-Qiyadah. Aktivitas Talwiyah ini hanya
diperuntukkan bagi pengikut al-Qiyadah yang sudah
mencapai taraf pengaderan tertentu yaitu rain atau mu’min
muballig. Bagi para pemula atau anggota baru belum boleh
menyampaikan ajaran al-Qiyadah kepada orang lain (hal ini
dengan maksud untuk melindungi pengikut pemula yang
belum kokoh keyakinan dan pengetahuannya tentang ajaran
al-Qiyadah kalau dibantah atau didebat yang menyebabkan
keraguan terhadap al-Qiyadah).
d. Ta’liman
Kegiatan ta’liman atau keilmuan adalah kegiatan
pengaderan yang sifatnya rutin dan gradual yang dilakukan
oleh dan untuk semua anggota al-Qiyadah. Termasuk
pemula, setelah melalui tahapan misaq akan mendapatkan

146 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


materi-materi tentang ajaran al-Qiyadah.
e. Tafiyatus Suhuf
Tafiyatus suhuf atau merapatkan barisan adalah
upaya pembenahan dan penguatan struktur organisasi al-
Qiyadah. Bentuk konkritnya dengan mengembangkan atau
membuka cabang-cabang baru sehingga dapat melakukan
upaya rekrutmen lebih intensif dan menjangkau jaringan
yang lebih laus, termasuk didalamnya adalah menambah
misbah-misbah baru. Selain itu juga merapatkan barisan
dengan melakukan koordinasi antar struktur dan wilayah
sehingga masing-masing anggota dapat saling mengenal
antar misbah, meskipun dalam kerjanya misbah ini akan
bergerak secara sendiri.
f. Sadaqah
Sadaqah berasal dari kata sidiq; benar atau
membenarkan. Setiap pengikut al-Qiyadah harus meyakini
kebenaran dan membenarkan ajaran-ajaran al-Qiyadah ini,
terutama konsep dasar penegakkan Dien Islam. Bentuk
pembenaran tersebut secara teoritis adalah keyakinan dalam
diri masing-masing anggota dan diwujudkan dalam bentuk
konkrit berupa maliyah atau harta khususnya berbentuk
uang. Sadaqah atau sedekah ini merupakan ibadah wajib
bagi setiap pengikut al-Qiyadah, tetapi jumlahnya tidak ada
ketentuan dan tidak ada paksaan. Namun pernah diketahui
pada saat awal perkembangan al-Qiyadah di Yogyakarta
ada anggota baru yang dimintai dana dengan jumlah
tertentu, sehingga orang tersebut menolak dan keluar dari
al-Qiyadah. Dikemudian hari orang tersebut dihubungi lagi
oleh al-Qiyadah dan diklarifikasikan kalau sumbangan itu
tidak ada ketentuannya, boleh berapa saja, tetapi orang
tersebut tetap menolak kembali ke al-Qiyadah.7

D. Struktur Sosial Organisasi


1. Dikotomi Ummah
Dengan pandangan semacam ini muncul dikotomi ummah,

7Wawancara dengan Ahmad Saefuddin, 20 November 2007.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 147
yaitu ummah muslim dan ummah kafir atau musyrik. Ummah muslim
adalah mereka yang bersedia untuk menerima ajaran dari sang
rasul, mengikuti perintah Allah melalui rasul-Nya, tidak musyrik,
berhujjah dengan al-Quran dan mengikuti fitrah bersatu yang karena
itu mereka akan mendapatkan pahala dan surga. Sedangkan ummah
musyrik dan kafir disebut dengan zalamah ba’ida (kesesatan yang
nyata), yakni mereka yang melampaui batas, bergolong-golong
atau bercerai berai, mengambil hukum selain hukum Allah. Bagi
al-Qiyadah, kelompok ini akan mendapatkan kemurkaan Allah dan
kelak akan masuk neraka.
Antara ummah muslim dan ummah musyrik terdapat garis
pembeda atau furqan. Dalam praktiknya yang dimaksud ummah
yang masih musyrik adalah mereka yang tidak bersedia untuk masuk
ke dalam al-Qiyadah. Pada saat seseorang menyatakan bersedia
bergabung dengan al-Qiyadah maka saat itu dianggap berhijrah
kepada Islam dan menjadi muslim. Kesediaan ini diwujudkan
dalam bentuk inisiasi atau baiat yang berisi pengucapan perjanjian
dengan Allah atau misaq. Dengan demikian pembeda dan garis
pemisah antara dua ummah tersebut adalah pengambilan janji atau
misaq ini.
Namun demikian, pengikut al-Qiyadah dalam menjalin
hubungan dengan lingkungannya atau relasi sosialnya cukup baik.
Para pengikut al-Qiyadah dituntut untuk tampil dengan baik, necis,
modis dan trendi. Perilaku inklsuif secara sosial, penampilan yang
rapi, keren, modis dan tidak menunjukkan sebagai aktivis agama
dengan dandanan yang menyimbolkan agama seperti baju koko,
jilbab, panggilan ustadz atau kiai. Bahkan dalam penyampaian
materi juga tidak mengucapkan salam, tapi cukup basmalah agar
mudah diterima oleh masyarakat, khusunya kalangan muda. Dalam
relasi sosial ini mereka membangun kelompok yang berpenampilan
inklusif dimana memungkinkan mereka bebas bergerak
mendekati orang yang hendak direkrut menjadi pengikutnya.
Dalam penampilan sehari-hari al-Qiyadah tidak menampakkan
sikap yang eksklusif atau berbeda dengan orang lain, mereka
berpenampilan biasa. Hanya mereka memiliki tradisi bersalaman
yang khas, yaitu setelah berjabat tangan dengan cara yang biasa,
lalu segera dilakukan dengan berjabat dengan agak keras. Jabatan
tangan semacam ini biasa dilakukan oleh olah ragawan atau militer.

148 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Kebalikan dengan ini, relasi spiritual yang dikembangkan oleh al-
Qiyadah bersifat eksklusif yang memandang orang lain diluar
komunitas mereka sebagai orang kafir dan musyrik, serta salvation
claim yang menganggap keselamatan yang dijanjikan Allah adalah
untuk kelompok mereka saja. Itu sebabnya sekalipun keluarga
sendiri dan beragama Islam, kalau tidak bersedia mengikuti al-
Qiyadah akan tetap di cap kafir atau musyrik.
2. Struktur Sosial dan Keorganisasian
Golongan muslim-mukmin adalah golongan mereka sendiri,
dibagi golongan strata sosial yang berdasarkan tugasnya dalam
kelompok, yaitu ummat dan rain. Ummat atau ra’yah atau rakyat
berarti yang diperintah atau dipimpin. Secara umum, umat adalah
orang yang berada dalam bimbingan, pelayanan dan pengawasan
anggota al-Qiyadah lainnya yang lebih senior. Atau dengan istilah
dalam Multi Level Marketing (MLM), ummat ini adalah down line.
Dengan demikian semua anggota pemula pasti berposisi sebagai
ummat. Golongan yang termasuk dalam kategori ummat lainnya
adalah perempuan, karena al-Qiyadah memiliki pandangan
yang partiarkhis. Hal ini merujuk sejarah Nabi Muhammad yang
memosisikan perempuan dipinggir gelanggang sosial. Argumen
yang yang diungkapkan adalah penghormatan terhadap posisi
nisa (perempuan) merupakan cikal bakal seorang ibu (ummi)
yang derivasi kata ini muncul istilah ummat, sehingga seorang
perempuan selamanya berposisi sebagai ummat.
Ra’in berarti pengembala, atau disebut juga mu’min muballigh.
Mereka bertugas memberi pengajaran, tempat berkonsultasi,
melayani dan mengawasi ummat. Posisi Roin terhadap ummat
dalam hal ini adalah sebagai up line. Tugas yang diemban oleh Roin
ini selain menuntut pengetahuan keislaman Versi al-Qiyadah, juga
menuntut pengabdian pelayanan yang sungguh-sungguh terhadap
ummatnya (down line), khususnya bagi ummat pemula. Pelayanan
ini dapat dilihat dari pelakuan Roin terhadap Umat yang menjadi
tenggung jawabnya. Semisal pada waktu taklim, ummat akan
dijemput dan diantar jika tidak punya kendaraan sendiri, atau
dibelikan pulsa kalau di-SMS tidak membalas karena tidak punya
pulsa, dan setiap hari di cek perkembangan dalam mengkaji al-
Quran.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 149
Al-Qiyadah tidak mendasarkan bentuk keorganisasiannya
berdasarkan teritorial, melainkan berbasis pada ummat. Hal ini
mirip dengan sistem di gereja yang jamaah gereja tidak didasarkan
pada wilayah teritorial tertentu, tetapi pada institusionalisasi
hubungan pendeta/pastur dengan jamaat. Struktur al-Qiyadah
juga berdasarkan juga penguasaan Roin kepada Ummat, sehingga
seorang Roin bisa saja mengembalakan ummat diluar wilayah
teritorinya. Secara teknis struktur keorganisasiannya meliputi:
Misbah, merupakan level paling bawah dan ujung tombak
pengembangan al-Qiyadah untuk melakukan talwiyah yaitu
perekrutan masa pengikut. Buruj, level yang mengkoordinir misbah-
misbah, sekaligus menyelenggarakan taklim (kajian keilmuan) bagi
ummat di level ini. Siraj, level di atas buruj, dan Tariq, merupakan
struktur tertinggi yang berada di Jakarta dan berlevel nasional yang
pimpinannya adalah Ahmad Mushaddeq yang mengaku sebagai al-
Masih al-Maw’ud yang ditunjuk oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul.
Masing-masing level struktur tersebut, terdapat
kepengurusan yang terdiri dari Mala Awwal atau pimpinan
tertinggi/ketua. Mala Tsany atau wakil ketua, wazir atau sekertaris,
seksi-seksi bidang yang disebut qismul. Qismul dalam satu struktur
organisasi paling sederhana meliputi qismul maliyah (bidang
keuangan), qismul tarbiyah (bidang pendidikan), qismul mu’azah
(bidang umum), qismul khiswah (bidang perlengkapan) dan qismul
difa’ (bidang keamanan). Dalam struktur yang lebih lengkap lagi
ditambah dengan qismul ummah (bidang sumber daya manusia)
dan pengurus perwakilan daerah atau jazirah.
Jumlah pengikut al-Qiyadah menurut versi mereka adalah
41.000 orang se Indonesia dengan rincian di Padang, Sumatera
Barat 1306 orang, Lampung 1467 orang, Batam 2.320 orang, DKI
Jakarta 8.972 orang, Tegal Jawa Tengah 511 orang, Cilacap Jawa
Tengah 1.446 orang, Yogyakarta 5.114 orang, Makasar Sulawesi
Selatan 4.101 orang, dan Surabaya 2.710 prang. Dari jumlah tersebut
60% pengikut al-Qiyadah adalah Mahasiswa (Suara Merdeka 31
Oktober 2007). Posisi Yogyakarta menduduki jumlah pengikut
terbanyak kedua setelah Jakarta, yaitu 5114 orang (Data dari media
nampaknya bersumber dari kepolisian, sedangkan menurut Budie
Thamtomo 23 November 2007), yang 90% di antaranya adalah
Mahasiswa dan pelajar. Jumlah perempuan yang ikut Al-Qiyadah di

150 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Yogyakarta ini tidak begitu banyak sekitar 100 orang saja. Selain
umat Islam, yang menjadi sasaran dakwah mereka juga termasuk
umat agama lain. Dari jumlah pengikut al-Qiyadah di Yogyakarta,
10% di antaranya adalah beraga Nasrani, dan 2% dari agama Hindu
dan Budha (kalau di Indonesia juga mengesahkan keberadaan
agama Yahudi, pasti juga akan didakwai oleh Al-Qiyadah, meskipun
belum yang dari agama Yahudi, tetapi ada dari beberapa orang
pengikut yang merupakan warga keturunan Yahudi yang beragama
Nasrani).8
Dari tingkat fanatisme dari ajaran kelompok, al-Qiyadah
membagi umat atau pengikut al-Qiyadah ini dalam tiga golongan
yaitu Zalimin, Muhtasiq, dan Sabiq. Golongan Zalimin adalah
pengikut al-Qiyadah yang keluar dari kelompok al-Qiyadah ini
dengan berbagai alasan, golongan Muhtasiq adalah golongan yang
masih mengambang dan tidak mempunyai ketetapan hati, kadang
ikut kadang tidak, dan golongan sabiq adalah anggota yang loyal
terhadap al-Qiyadah. Diwilayah Yogyakarta jumlah golongan
Dzalimin ini mencapai 55%, golongan Muqtasid 7%, dan golongan
sabiq 38%.
3. Proses Perekrutan dan Pengaderan Ummat
Oleh karena Al-Qiyadah Al-Islamiyah ini menggunakan
pendekatan nasional dan logika dalam menyampaikan ajaran
mereka, maka kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dakwah
mereka adalah kelompok muda dan pelajar, seperti pelajar dan
Mahasiswa. Biasanya proses dakwah berlangsung melalui interaksi
personal, seperti diskusi/dialog, ngobrol-ngobrol, atau curhat
yang oleh Ra’in kemudian ditindaklanjuti dengan mengajak untuk
mengkaji al-Quran guna mencari solusi bebagai persoalan pribadi
maupun personal (pendekatan personal ini sangat efektif seperti
teori jarum suntik komunikasi karena komunikator atau sang
Roin tidak hanya menyampaikan pesannya melalui verbal, tetapi
didorong masuk ke dalam diri komunikan atau sang calon melalui
hegemoni psikis, intelektual dan emosi).
Apabila sang calon ini kelihatan tertarik atau setuju dengan
pemikiran-pemikiran al-Qiyadah maka sang calon akan diberi materi
pendahuluan yang bertema “Musyrik”. Materi ini menekankan

8Wawancara dengan Budie Thamtomo, 23 November 2007.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 151
kepada ajaran tauhid, mengesakan Allah dalam pengertian ketaatan
mutlak pada-Nya. Proses dari awal melakukan pendekatan hingga
pemberian materi ini disebut talwiyah, yaitu berdakwah pada
orang lain untuk masuk ke dalam kelompoknya. Biasanya sang
calon akan ditanya persetujuannya dengan materi ini, jika setuju
maka akan diminta untuk melakukan misaq atau perjanjian awal
yang isinya tentang moral dan tidak ada yang kontroversial dengan
pandangan umat Islam. Sebagaimana materi musyrik tersebut juga
tidak menimbulkan perdebatan karena isinya hal yang sudah umum
dipahami. Pembacaan misaq ini menjadi tanda masuknya calon
anggota menjadi anggota atau umat al-Qiyadah. Pasca misaq ini
umat pemula akan memasuki masa ‘uzlah atau hijrah pola pikir dan
aqisah atau tazkiyyah yakni pembersihan kalbu dari segala budaya
musyrik melalui pendalaman terhadap sembilan materi, musyrik,
dienul Islam, furqan, penciptaan manusia, sittati ayyam, sunnatullah,
fase dakwah, iman dan ibadah, kegiatan ini disebut dengan ta’lim
atau pengilmuan. Istilah ta’lim ini untuk membedakan dengan
talwiyah. Talwiyah diperuntukkan bagi calon ummat, kalau ta’lim
untuk penyampaian materi atau kajian bagi anggota al-Qiyadah.
Setelah sembilan materi ini disampaikan dengan tuntas,
maka tahap berikutnya umat akan dikirim dalam suatu kegiatan
selama dua hari yaitu, kegiatan Tarqiyatul Khas bil khas (TKBK).
Dalam kegiatan ini, ummat akan di tes dan diajak sharring tentang
sembilan materi yang disampaikan sehingga materi tersebut
semakin dipahami dan dihayati. Selain itu, di dalam TKBK ini
keanggotaan ummat akan diteguhkan lagi dengan melakukan misaq
kedua yang intinya perjanjian untuk ketaatan terhadap kelompok,
menjalankan amanah dan tanggung jawab sebagai anggota al-
Qiyadah. Dalam misaq kedua ini syahadatnya sudah berbeda
dengan syahadat yang umum, yaitu ashadu alla ilaha illallah wa
ashadu anna al-masih al-maw’ud Rasulullah. Dengan misaq kedua
ini yang disebut misaq amanah, umat benar-benar menjadi anggota
al-Qiyadah, dan mendapat kewajiban untuk melakukan talwiyah
sebagai ra’in atau mu’min muballig (sebelum memasuki TKBK,
yakni dalam masa ‘uzlah, para umat pemula tidak diperbolehkan
untuk menyampaikan kegiatan atau meteri al-Qiyadah kepada
orang lain, karena ditakutkan kalau ada perdebatan akan kalah
dapat menurunkan mental dan kepercayaan kepada al-Qiyadah).

152 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Dalam acara TKBK ini umat akan mendapatkan nama al-Qiyadah,
sebagai tanda hijrah atau perpindahan akidah.

E. Analisis Kritis
Pemikiran al-Qiyadah berfokus pada serangkain konsep-
konsep antara lain: Dien Islam, Sunatullah, KeNabian al-Masih
al-Maw’ud dan Wahyu. Keempat konsep ini terjalin dalam suatu
kerangka pikir yang melahirkan bangunan pemikiran, doktrin
dan konsekuensi religius maupun sosial bagi penganutnya. Secara
umum, kerangka pikir al-Qiyadah ini menggunakan pendekatan
politik (sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan atau
upaya pencapainnya secara praktis), sehingga setiap kerangka
mengandung muatan politik tertentu.
Dengan konsep ajaran al-Qiyadah, kehidupan di dunia
ini, termasuk peristiwa alam semesta dan sejarah umat manusia,
terikat dalam suatu pola tertentu, tetap dan berlaku sebagai
blueprint Allah dalam menjalankan roda kehidupan semesta ini
termasuk kehidupan manusia yang disebut dengan sunatullah.
Penjelasan tentang sunatullah ini “diseret” oleh al-Qiyadah dengan
pola kesejarahan politik Nabi-Nabi, yang hasilnya adalah bahwa ada
suatu pola tertentu dan baku dalam perjalanan Nabi-Nabi tersebut
hingga Nabi Muhammad. Pada sunatullah dari kesejarahan Nabi-
Nabi itu mencakup tegak dan runtuhnya Dien Allah atau Dien Islam,
sebagaimana sunatullah terjadi pergantian siang dan malam.
Untuk membawa Dien Islam kembali tegak, maka
dibutuhkan seorang Nabi atau Rasul yang ditunjuk oleh Allah
untuk memimpin umat Islam mencapai Darussalam. Oleh Karena
sunatullah memiliki pola yang tetap dan kontinyu, maka setelah
Nabi Muhammad berhasil menegakkan Dien Islam, kemudian
mengalami keruntuhan, maka akan tiba saatnya Dien Islam itu akan
bangkit kembali dan dipimpin oleh seorang Rasul yang dipilih Allah.
Dengan demikian adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad
adalah suatu keniscayaan dan sunatullah. Dan Rasul yang ditunjuk
oleh Allah adalah al-Masih al-Maw’ud, untuk membebaskan umat
manusia dari kekuasaan Thaghut untuk kembali dalam Dien Allah
atau Dien Islam.
Dien Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari aturan
Allah, maka al-Masih al-Maw’ud untuk menegakkan Dien Islam
akan mengemban wahyu dari Allah yaitu Al-Quran. Umat Islam

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 153
dan Dien Islam dapat hidup karena mendapatkan Ruh dari Allah,
ruh ini adalah Al-Quran itu sendiri. Ketika Dien Islam itu runtuh,
pada saat itu ruh Al-Quran dicabut kembali oleh Allah, sehingga al-
Quran yang ada sekarang ini hanyalah kitab kosong yang tidak ada
ruhnya. Dengan datangnya masa kebangkitan Islam, maka Allah
menurunkan kembali ruh-Nya yaitu ruh al-Quran kepada al-Masih
al-Maw’ud. Ruh al-Quran itulah ruh yang suci atau Ruhul Qudus
(ruh al-Quds) atau Malaikat Jibril. Maka sesungguhnya Malaikat
Jibril adalah ruh al-Quran itu sendiri.
Al-Masih al-Maw’ud dalam menegakkan Dien Islam
membutuhkan komitmen dari umatnya dalam bentuk kesaksian
berupa syahadat dan pernyataan kesaksian (misaq) kepada Allah
untuk menjalankan amanah yang ditetapkan olehnya. Tanda
komitmen dan kesetiaan ini harus diwujudkan dalam bentuk enam
ibadah, yang sesungguhnya adalah upaya memberi dukungan
terhadap upaya menegakkan Dien Islam. Fase-fase dakwah yang
dilakukan menyesuaikan dengan tahapan dakwah yang dilakukan
Nabi Muhammad yang dipandang sesuai dengan sunatullah yang
dimaksud (sittati ayyam). Enam fase dakwah tersebut adalah fase
sirran, fase jahran, fase hijrah, fase qital, fase fathu makkah, dan fase
madinah munawarah. Dengan berbagai hal ini maka Dien Islam
diyakini akan dapat tegak berdiri. Dari kerangka yang demikian ini,
muncul konsekuensi-konsekuensi ajaran yang dalam pandangan
umat Islam pada umumnya dianggap menyimpang.
1. Tafsir Politis Al-Qiyadah: Kelemahan Metodologi
Penafsiran yang dilakukan al-Qiyadah ini lebih cenderung
pada tafsir politik, yakni penafsiran terhadap teks-teks al-Quran
dengan maksud-maksud menguatkan argumentasi politik tertentu.
al-Qiyadah menafsirkan al-Qura’an untuk kepentingan argumentsi
pandangan politik mereka yaitu tegaknya Dien Islam sebagai
kekuasaan politik Islam.
Penafsiran al-Qiyadah terhadap ayat-ayat al-Quran yang
disebutnya tafsir wa ta’wil, sebenarnya bukan hal yang baru dalam
metode penafsiran al-Quran yang selama ini sudah dilakukan oleh
mufassir. Berbagai aspek penafsiran dengan metode-metode tafsir
yang ada tersebut juga sudah pernah dilakukan, termasuk ta’wil.
Dengan demikian anggapan al-Qiyadah bahwa ilmu-ilmu tafsir yang

154 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


sekarang itu tidak aktual karena tidak melakukan ta’wil menjadi
terbantahkan.
Demikian juga penafsiran al-Quran yang dilakukan oleh al-
Qiyadah dengan melakukan tafsir ayat dengan ayat dapat digunakan
menurut ilmu tafsir, tetapi cukup hanya itu. Kualitas penafsir dan
penguasaan metode tafsir oleh sang penafsirnya dalam kajian tafsir
sangat penting untuk menentukan sejauh mana hasil penafsiran
ini dapat dipercaya dan diterima. Dari sisi kualitas penafsir di al-
Qiyadah, tidak diketahui kualitas keilmuan dan kepribadiannya,
inipun menjadi kelemahan dalam tafsir al-Qiyadah maupun
penggunaan hujjah al-Quran bagi argumen mereka. Para ulama
tafsir mensyaratkan, dalam kegiatan tafsir selain mencari makna
dalam ayat-ayat al-Quran, juga harus melihat pada sunah Nabi dan
hadis-hadis, melihat pada keterangan para sahabat dan mengetahui
kaidah bahasa Arab.9
Banyak ayat-ayat al-Quran yang dipergunakan oleh al-
Qiyadah menjadi tidak tepat untuk menguatkan argumen tentang
ajaran-ajaran mereka karena persoalan metodologi. Di antara
kelemahan yang mendasar dari penafsiran al-Quran sebagai
hujjah mereka adalah melupakan ayat dari konteks turunnya ayat,
atau asbabun nuzul, tidak mempertimbangkan gaya bahasa yang
dipergunakan al-Quran sehingga derivasi makna dari suatu kata
tidak menjadi pertimbangan penafsiran, dan yang paling jelas
adalah pemaksaan tafsir suatu kalimat atau kata sesuai dengan
kepentingan al-Qiyadah sendiri.
2. Argumen yang A-Historis: Penafsiran sejarah yang
Kontradiksi
Dalam membangun argumennya, al-Qiyadah banyak
membangun dalil-dalil kesejarahan yang diambil dari bibel dan
al-Quran. Sepintas penggunaan dalil tersebut cukup meyakinkan,
terutama dalam membangun sunatullah. Namun penggunaan dalil-
dalil sejarah tersebut sayangnya tidak ditunjukan dengan bukti-
bukti sejarah dan referensi kesejarahan yang cukup. Kisah-kisah
Nabi Musa dan Nabi Isa yang ditunjukkan untuk membangun
struktur dalam pola sunatullah yang diyakini al-Qiyadah tidak

9
Nasrudin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001). h. 267

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 155
cukup kuat, karena kurangnya bukti-bukti sejarah tersebut.
Konsep Dien Islam yang hendak dicapai oleh al-Qiyadah juga
merupakan suatu konsep yang utopis karena tidak mendasarkan
konsep ini pada aspek kesejarahan dan sosiologis. al-Qiyadah
menggambarkan bahwa Dien Islam akan tegak dengan jalan
berdirinya suatu kekhalifahan atau daulah atau Negara bangsa
yang menganut aturan Islam, kekuasaan Islam dan ketaatan
umat Islam. Ditinjau dari sejarah, perjalanan politik Islam sampai
sekarang ini belun ada kesepakatan para ulama dan cendekian
muslim sehubungan dengan politik Islam pada level praktis. Bentuk
kekuasaan politik Islam, bentuk Negara dan sistem pemerintahan
yang selama ini berjalan tidak memiliki suatu bentuk baku.
Pemikiran atas umat yang unggul, juga sangat utopis
belaka karena pluralis manusia juga sebenarnya suatu sunatullah.
Penyeragaman umat Islam, suatu hal yang tidak dapat dipikirkan
dan diterima. Menjadi persoalan besar untuk menyatukan manusia
dalam suatu tatanan kehidupan yang serba tunggal dan seragam.
Persoalan lebih lanjut, adalah bagaimana orang-orang itu akan dapat
bersedia, karena dalam wilayah yang sangat luas dan masyarakat
yang besar, mengakomodir kepentingan bersama bukanlah suatu
hal yang ringan.
Ketidakpercayaan al-Qiyadah terhadap otentisitas hadis
juga bisa dijawab melalui keilmuan hadis yang sangat ketat dalam
penyelidikan kesahihan suatu hadis.10 Pengakuan al-Qiyadah
menolak hadis-hadis Nabi Muhammad saw. juga kontradiksi
dengan anjuran untuk meneladani Nabi Muhammad, sebagaimana
dilakukannya dalam menyusun enam fase perjuangan. Ajaran-ajaran
Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, tidak
tentang peribadahan terlebih lagi dengan kemasyarakatan selalu
berhubungan konteks sosial masyarakat Arab pada waktu itu, maka
menafikkan hadis dan sunah, mencabut Islam dari konteksnya.
Pemikiran yang tidak berlandaskan pada sumber-sumber
kesejarahan pasti akan a-historis dan tidak dapat membumi.
Fase-fase dakwah tersebut kalau dicoba “dibayang-
terapkan” dalam konteks sekarang ini, fase sirran dan jahran

10
Ahmad Husnan, Kajian Hadits Metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1993), h. 35.

156 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


mungkin tidak ada persoalan dalam sisi pelaksanaannya, meskipun
disisi muatannya, yaitu ajaran al-Qiyadah menimbulkan masalah di
masyarakat. Sedangkan fase hijrah yang dikatakan sebagai hijrah
secara fisik dan territorial dalam konteks administrasi kenegaraan
tentu suatu hal yang sulit diterapkan, terlebih dalam masa yang
besar. Fase Qital, Fathu Makkah, dan Madinah Munawarah lebih
berat lagi konsekuensinya, ia berpotensi pada sikap radikal dan
anarkis di tengah masyarakat yang plural.
3. Kelompok “sempalan” Messiansik: Sebuah Gugatan Sosial
Fenomena aliran atau jama’ah yang dianggap “menyimpang”
dari pemahaman dan pengamalan yang umum dilakukan umat
Islam, seperti jamaah al-Qiyadah al-Islamiyah, sebenarnya bukan
hal yang baru. Dalam sejarah perkembangan agama Islam, sejak
Nabi Muhammad saw. wafat, telah terjadi perpecahan diantara
umat Islam dalam bentuk aliran atau paham. Kelompok yang
kemudian berhasil menggauli kelompok lain atau berada dipihak
kekuasaan biasanya menjadi kelompok mainstream. Kelompok
yang berada diluar atau keluar dari mainstream inilah yang disebut
kelompok sempalan (split group) (istilah kelompok sempalan
menjadi sebutan berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap
aneh, alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan atau pendirian
mayoritas umat). Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata “sekte”
atau “sektarian”, kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif,
seperti protes dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif,
pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopolis kebenaran, dan
fanatisme. Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan
sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan
keamanan dan untuk segera melarangnya.11
Kajian tentang gerakan sempalan selalu beranjak pada
pengertian mainstream (arus utama) atau ortodoks, oleh karena
gerakan sempalan adalah tindakan menyimpang dari suatu
mainstream atau ortodoksi tertentu. Dalam kasus Indonesia
ortodoksi Islam terwakili oleh lembaga keagamaan yang dominan,

11
Martin Van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam
Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya” “Sectarian Movements in Indonesian
Islam: Social and Cultural Background”), Ulumul Qur’an, Vol. III No. 1, 1992, h.
16.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 157
seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah maupun Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, sebagai lembaga bentukan
pemerintahan, MUI sangat mendominasi ortodoksi ini, sehingga
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam memberikan fatwa sesat
atau tidak sesat.12
Fatwa MUI No. 4 tanggal 3 Oktober 2007 menetapkan 10
kriteria ajaran yang termasuk kriteria sesat, yaitu:
1. Mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam
2. Mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i
yaitu al-Quran dan Sunnah
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran
4. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi ajaran al-
Quran
5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan
kaedah-kaedah tafsir
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber
ajaran Islam
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para
Nabi dan Rasul
8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan
Rasul terakhir
9. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-
pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’at seperti
haji tidak ke baitullah, misalnya salat fardu tidak lima
waktu.
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i
seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan
kelompoknya.
Terlepas dari persoalan “kesesatan” al-Qiyadah, kelompok
ini memiliki perhatian besar terhadap perkembangan sosial
yang terjadi di masyarakat. Kemunculan suatu gerakan sosial di
masyarakat tidak pernah lepas dari konteks masyarakat itu sendiri.
Hal ini mengungkapkan pertanyaan yang muncul tentang mengapa
di Yogyakarta muncul al-Qiyadah dan mengapa pula pengikutnya
kebanyakan adalah kelompok muda yaitu pelajar dan mahasiswa.
Melihat kota-kota besar sebagai basis pengikut al-Qiyadah,

12
Ibid.

158 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


terlihat proses urbanisasi yang cukup tinggi. Pada masyarakat
urban yang demikian biasanya ikatan sosial secara tradisional
semakin longgar atau terputus. Dalam masyarakat tradisional,
semua orang adalah anggota komunitas yang liminal, intim dan
kontrol sosial yang ketat sekaligus menjadi sistem perlindungan
dan jaminan sosial. Dalam masyarakat kota, urban dan modern,
terjadi sebaliknya. Setiap orang berhubungan secara dangkal, tanpa
tanggung jawab yang berarti, dan nir-emosi. Kehidupan masyarakat
berproses menuju atomisme (induvidualis), polarisasi sosial dan
terjadi marginalisasi terhadap sebagian besar masyarakat yang
tidak mempunyai akses kepada modernisasi.13
Penelitian Martin tentang rakyat miskin di kota Bandung,
terutama dilingkungan kampus seperti yang juga terdapat di
Sleman Yogyakarta polarisasi sosial-ekonomi mahasiswa/pelajar
dapat memicu terjadinya konflik budaya, pada akhirnya masing-
masing akan melakukan solidasi kelompok. Terlebih mahasiswa
yang berasal dari desa, sederhana, moralis, maka tawaran dari
kelompok yang “agamis”, kritis dan moralis akan memberi mereka
“rumah, at home” yang nyaman, saling percaya dan melindungi.14
Terhadap modernisme, al-Qiyadah lebih memilih sikap
religiusnya terhadap perkembangan situasi sosial masyarakat
dengan mengembalikan pada firman Allah. Pola deduksi ini
biasanya ditunjukan dalan sikap purifikasi atau pemurnian
kembali ke sumber asal, seperti yang dilakukan oleh kaum calvinis,
protestanian dan pembaru. Dalam konteks Islam di Indonesia,
sikap ini digambarkan dengan semboyan “kembali kepada al-Quran
dan as-sunah”. Namun yang ditunjukan oleh al-Qiyadah dengan
penggalian kembali sumber religiusitas sangat ekstrem dalam
pandangan umat Islam, yaitu hanya kembali kepada Al-Quran, dan
menolak hadis dan sunah yang dianggap tidak “murni”, sehingga
akhirnya menjadi inkar sunnah.
Al-Qiyadah juga berbeda dengan berbagai gerakan
fundamentalis Islam yang berbalik arah ke tradisi awal, bentuk
simbol fisik ditonjolkan untuk menunjukkan komitmen pada tradisi
seperti jenggot, surban, baju gamis dan sebagainya, Al-Qiyadah

13
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h. 205.
14
Martin Van Bruinessen, h. 160.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 159
malah menampilkan sikap yang inklusif secara sosial. Pengikut-
pengikutnya tampil modis, trendy, rapi dan terbuka untuk menjalin
hubungan dengan orang kelompoknya. Hal ini pula yang menjadi
daya dukung cukup kuat bagi penyebaran al-Qiyadah di kalangan
generasi muda.
Kebutuhan al-Qiyadah terhadap aktualisasi sumber religius
ke dalam dunia obyektif, menuntut adanya otoritas tafsir atas sabda
Tuhan tersebut. Otoritas ini oleh al-Qiyadah diserahkan kepada al-
Masih al-Maw’ud, sang pembebas umat dari penjajahan umat “Dien
Thaghut” yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia merasa sebagai
sang messias atau al-mahdi yang akan membawa umat manusia
menuju zaman dan negeri kesempurnaan yang diistilahkan al-
Qiyadahdengan Dien Islam. Gerakan messianisme sebenarnya juga
bukan hal yang baru, tradisi masyarakat ditemukan kepercayaan
datangnya sang penolong yang memberi harapan eskatologis dan
kebahagiaan di masa yang akan datang. Di masyarakat Jawa dikenal
istilah Ratu Adil; di tradisi Yahudi-Nasrani ada istilah messias dan
millennium; ditradisi Islam dikenal istilah al-Mahdi, orang yang
ditunjuk oleh Allah untuk membebaskan manusia dari pengaruh
Dajjal dan akan menegakkan syari’at Islam.
Dari gambaran tersebut, Nampak al-Qiyadahjuga memiliki
visi millenialistik (millennium= 1000 tahun; konsep yang biasanya
pada tradisi Yahudi-Kristen, tetapi secara figurative dapat
diterapkan pada setiap konsep mengenai era yang sempurna di
mana datang)15, memunculkan sosok sebagai messias, sang ratu adil,
juru selamat atau imam mahdi, bahkan sebagai Rasul Allah. Ajaran
messianistik al-Qiyadahini menarik karena: pertama, terjadinya
deprivasi (perampasan hak), dalam konteks ini, situasi sosial
Sleman, dan kota-kota urban lainnya, terjadi tingkat kemiskinan
yang mencolok, berkurangnya akses lapangan kerja, penindasan
budaya dan sebagainya yang dimaknai sebagai penghalang bahkan
perampasan terhadap hak pribadi untuk menjadi sejahtera, bahagia
dan sebagainya. Kedua, pertentangan-pertentangan kronis di
antara pemimpin-pemimpin masyarakat, dan tokoh-tokoh agama,
mengakibatkan kritis figur.

15
Sylvia L.Thrumpp, (ed), Gerakan Kaum Mahdi, (Bandung: Pustaka,
1984), h. 84.

160 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Ketiga, adanya daya tarik estetis dan pembayangan tradisi
millennial dengan situasi-situsai lingkungan, alangkah baiknya
kalau semua keadaan menjadi sempurna. Keempat, kecenderungan
universal manusia untuk menciptakan harapan eskatologia, harapan
pelipur lara, hoppeness atas situasi-situasi yang menghimpit
kehidupan mereka.16 Oleh karena itu sebagaimana gerakan
messianic yang lain, kehadiran al-Qiyadah merupakan protes sosial
kemasyarakatan yang tidak membahagiakan penghuninya.

F. Penutup
Al-Qiyadah Al-Islamiyah beberapa waktu ini menyita
perhatian masyarakat karena beberapa ajarannya dipandang sesat
oleh kalangan umat Islam. Beberapa hal dari pandangan Al-Qiyadah
yang dipandang sesat diantaranya adalah Al-Qiyadah mengakui
adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad; Al-Qiyadah
mempercayai Ahmad Mushaddeq atau Al-Masih Al-Maw’ud sebagai
Rasul yang baru; Al-Qiyadah tidak mewajibkan pengikutnya untuk
melaksanakan ibadah sebagaimana yang ada dalam Rukun Islam;
al-Qiyadah tidak menganggap orang lain di luar kelompok sebagai
orang kafir atau musrik; dan Al-Qiyadah tidak menggunakan hadis
dan sunah sebagai sumber ajaran atau ingkar sunnah. Pandangan
Al-Qiyadah dianggap sesat tersebut tidak lepas dari kerangka yang
dibangun melalui penafsiran terhadap Al-Quran secara bebas dalam
perspektif politis yang difokuskan pada penegakan Dien Islam atau
kekuasaan “politik Islam” dengan prasyarat adanya Nabi baru yaitu
Al-Masih Al-Maw’ud. Karena itu dari sisi ajarannya ini, Al-Qiyadah
memiliki kecenderungan fundamentalis-revivalis-messiantik yang
dapat berpotensi menjadi aliran radikal.
Ajaran-ajaran Al-Qiyadah menarik bagi kelompok muda
yang tengah mencari identitas dan komunitas, didukung pula
oleh situasi masyarakat yang berada dalam kancah urbanisasi dan
modernisasi, dimana mobilitas penduduk yang cepat, hubungan
tradisional terpinggirkan, terjadinya polarisasi, marginalisasi
dan proses atomisme mengakibatkan gerakan yang memberikan
harapan kehidupan yang sempurna, harapan eskatologis menjadi
sangat menarik.

16
Ibid., h. 29

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 161
DAFTAR PUSTAKA

Husnan, Ahmad. Kajian Hadis Metode Tkhrij, Jakarta: Pustaka Al-


Kautsar, 1993
Fatwa MUI No. 4 tanggal 3 Oktober 2007
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991
Bruinessen, Martin Van, “Gerakan sempalan di kalangan umat
Islam Indonesia: latar belakang sosial Budaya” (“sectarian
movements in Indonesian Islam: social and cultural
background”), Ulumul Qur’an vol. III No. 1, 1992
Bruinessen, Martin Van, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yogyakarta:
Benteng, 1998
Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII
Press, 1997
Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001
Thrumpp, Sylvia, L. (ed), Gerakan Kaum Mahdi, Bandung: Pustaka,
1984.
Dokumen Al-Qiyadah:
“Rhulul Qudus yang turun kepada Al-Masih Al-Maw’ud”, Pebruari
2007
“Tafsir wa Ta’wil Al-Quran”, 17 Mei 2002
“Ummah Perjanjian”, At-Tariq Riayah Nisa, 6 Mei 2007
Materi Taklim Tentang “Ibadah: Perjuangan Menegakkan Dien
Islam”
Materi Taklim Tentang “Dien Islam”
Materi Taklim Tentang “Kedatangan Nabi dan Rasul”
Materi Taklim Tentang “Keilmuan Salat”
Materi Taklim Tentang”Musyrik”
Materi Taklim Tentang “sunatullah”

162 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


DAKWAH PADA MASYARAKAT MARGINAL
DI KAMPUNG PECINAN ARGOPURO KUDUS

Mubasyaroh
Dosen STAIN Kudus
Email: Muba_syira@yahoo.com

ABSTRAK

Islam sebagai salah satu agama dakwah di dalamnya terdapat


upaya oleh umatnya untuk menyebarluaskan isi kebenaran
ajaran agamanya. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh
oleh da’i dalam aktifitas dakwahnya, seperti ceramah,
nasehat, diskusi, bimbingan dan penyuluhan serta metode
yang lain. Dalam hal ini Quraish Shihab mengingatkan bahwa
metode apapun yang baik tidak menjamin keberhasilan
suatu dakwah secara otomatis. Akan tetapi keberhasilan
dakwah ditunjang oleh faktor-faktor yang lain diantaranya
kepribadian da’i dan ketepatan pemilihan materi. 1 Demikian
pula kegagalan da’i disebabkan karena ketidaktepatan
pemilihan materi atau pemilihan metode yang kurang tepat
dan keterbatasan da’i dalam pemilihan metode. Disamping
itu kegagalan dakwah juga bisa disebabkan karena materi
dakwah tidak sesuai dengan konteks (situasi dan kondisi)
Islam merupakan agama yang universal, egaliter dan
inklusif. Tiga konsep mendasar itulah yang memberikan
nuansa lebih dibanding berbagai tradisi agama yang lain.
Dari prinsip-prinsip fundamental itu, kemudian melahirkan
nilai-nilai dogmatis yang bisa diejawantahkan dalam tradisi-
tradisi demokratis, kosmopolit. dan pluralis: suatu ciri dari
pola peradaban modern yang bervisi futuristik.
Dakwah Islam dalam pelaksanaannya harus memperhatikan

1
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995, hlm.94

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 163


mad’u (sasaran dakwah) pada berbagai lapisan masyarakat,
termasuk di dalamnya adalah pada masyarakat marginal
yaitu suatu masyarakat dengan ciri-ciri diantaranya adalah
hidup dalam garis kemiskinan, pekerjaan yang tidak menentu
dan terisolasi atau hidup terpisah dari masyarakat luas.
Kata Kunci: Dakwah Islam, Marginal, Metode
Dakwah,Mauidhah Hasanah

A. Pendahuluan
Agama Islam adalah agama dakwah. Berhasil atau tidaknya
umat Islam dalam mencapai kualitas hidup baik kehidupan dunia
maupun akhirat adalah karena sejauh mana dakwah bisa mengajak
umat untuk berbuat kebaikan, memperkuat akidah, akhlak, dan
kualitas muamalah yang bisa memberi manfaat untuk sesama.
Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini masih banyak umat
Islam yang belum mampu memahami Islam itu dengan benar
sehingga berdampak pula pada kualitas kehidupan umat itu
sendiri. Masih banyak para juru dakwah yang terjebak pada bentuk
dakwah yang hanya sering menyalahkan, cenderung keras dan suka
memvonis atau mengecam. Padahal dakwah itu sendiri sebaiknya
disampaikan dengan bahasa yang baik, santun dan menyentuh
langsung pada masalah sehari-hari yang dihadapi umat.
Dari segi populasi pun, umat Islam itu setiap hari bertambah
jumlahnya. Jadi tak bisa dikatakan dakwah itu gagal. Cuma kita
cemas, ada sesuatu yang terabaikan dari prinsip asas dakwah itu.
Prinsip asas dakwah itu adalah fikih akhlak. Dari sejarah Islam
sendiri kalau kita coba pahami, fikih akhlak adalah sesuatu yang
utama dalam dakwah. Inilah yang ditanamkan Rasulullah dalam
dakwahnya yaitu iman dan akhlak. Ibadah adalah implementasi
dari iman dan akhlak itu.
Pada sisi lain banyak orang yang beribadah tapi akhlaknya
tidak baik yaitu shalat, tapi dia juga korupsi. Dia shalat, tapi
ucapannya tidak baik, suka menyinggung dan menyakiti orang
lain. Hal ini terjadi karena kita mengabaikan fikih akhlak. Yang
dilakukan Rasulullah dengan risalahnya (zaman kerasulan
Muhammad) adalah memperbaiki akhlak; “Aku diutus adalah
untuk memperbaiki akhlak.” Inilah yang menjadi pijakan bagi
Rasulullah untuk membentuk masyarakat yang kemudian disebut

164 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dengan masyarakat madani. Semua orang dipersaudarakan dengan
mengikis semangat membangga-banggakan asal muasal, sehingga
masyarakat saling membantu. Hal ini sangat menakjubkan bagi
kita, sebagaimana dilakukan seorang anshar memberikan dua
hektar tanah pada seorang muhajirin hanya dengan lillahi ta’ala.
Pada masa itu memang betul-betul terjalin bentuk persaudaraan
yang hakiki. Orang-orang mengaharamkan menyakiti saudaranya.
Ini semua terjadi karena pemahaman fikih akhlak. Namun sekarang,
fikih akhlak itulah yang kita abaikan.
Banyak orang berdakwah dengan tidak mempertimbangkan
obyek dakwah (jamaah) sehingga dakwah jadi tak tepat sasaran.
Kemudian juga dakwah sering hanya menjelaskan soal halal-haram,
surga-neraka, memproduksi pahala sebanyak-banyaknya. Dan juga
ada kecendrungan dakwah yang hanya menaakut-nakuti orang
dengan ancaman bencana di dunia dan siksaan neraka. Padahal
mestinya juru dakwah itu banyak bicara tentang hal-hal riil yang
dihadapi umat misalnya kondisi ekonomi yang berat sehingga
banyak orang putus asa dan sebagainya.
Kampung Pecinan merupakan salah satu perdukuhan di
Kudus yang seluruh masyarakat penghuninya adalah masyarakat
marginal yang merupakan masyarakat relokasi dari bantaran
Kaligelis, dengan mayoritas pekerjaan mereka bekerja di jalanan.
Berbagai pekerjaan meraka antara lain: pengamen, pengemis, juru
parkir illegal (juru parkir liar), kuli dan sedikit sebagai karyawan
perusahaan.
Fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama
secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan
makhluk budaya yang meliputi: (1) pola-pola keberagamaan manusia,
dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan
magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan terhadap
roh, dan polyteisme, sampai pola keberagamaan masyarakat industri
yang mengedepankan rasionalitas dan keyakinan monoteisme; (2)
agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol-simbol,
ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan, semedi, selamatan; (3)
pengalaman religious, yang meliputi meditasi, doa, mistisisme,
sufisme,
Penelitian dengan perspektif antropologi pada umumnya
menggunakan perspektif mikro atau paradigm humanistic,

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 165


seperti fenomenologi, etnometodologi, everyday life, arkeologi.
Unit analisisnya bisa berupa individu, kelompok/organisasi dan
masyarakat, benda-benda bersejarah, buku, prasasti, cerita-cerita
rakyat.
Pada tulisan ini penulis akan memaparkan hasil penelitian
tentang Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan
Argopuro Kudus.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam
penelitian ini adalah model dakwah seperti apakah yang dilakukan
oleh da’i pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro
Kudus?

C. Metode Penelitian
1. Metode penelitian
Penelitian ini adalah field Research atau penelitian lapangan
yaitu jenis penelitian yang menggunakan data lapangan sebagai
sumber utama, sehingga penelitian ini akan menangkap gejala dari
obyek atau perilaku yang diamati . Adapun metode yang digunakan
adalah metode penelitian kualitataif yaitu metode peneltian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
instrumen kunci.2
Alasan pemilihan metode ini adalah:
1) Untuk memahami makna dibalik data yang nampak. Gejala
sosial sering tidak bisa dipahami berdasarkan apa yang
diucapkan dan dilakukan orang karena setiap ucapan dan
tindakan orang sering mempunyai makna tertentu.
2) Untuk memahami interaksi sosial. Interaksi sosial yang
kompleks hanya dapat diurai kalau peneliti melakukan
penelitian dengan metode kualitatif. Dengan demikian
akan dapat ditemukan pola-pola hubungan yang jelas.
3) Untuk memastikan kebenaran data, karena data sosial
sering sulit dipastikan kebenarannya. Dengan metode

2
Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang,
1990,hlm.57

166 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


kualitatif, melalui pengumpulan data triangulasi/gabungan
maka kepastian data akan terjamin.
a. Populasi dan sampel
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah
populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “ social situation”
atau situasi sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu:
tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang
berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut dapat
dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin dipahami
secara lebih mendalam tentang apa yang terjadi di dalamnya.
Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti dapat
mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang
ada pada tempat tertentu.
Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau
partisipan, informan maupun teman. Dalam penelitian ini
populasinya adalah da’i aktif pada masyarakat marginal
dan informan lain yang mengetahui masalah yang terkait
dalam penelitian ini.
Adapun teknik pengambilan sampelnya, sebagaimana
lazimnya dalam penelitian kualitatif, peneliti memasuki
situasi sosial tertentu, yang dapat berupa lembaga
tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada
orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi soaial
tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka teknik
pengambuilan sampelnya adalah dengan snowball sampling
, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada
awalnya jumlahnya sedikit , lama-lama menjadi besar. Hal
ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit
tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap,
maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai
sumber data. Dengan demikian jumlah sampel akan semakin
besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama
semakin besar.
Pertimbangan dalam memilih informan menurut
Sanafiah Faisal harus berdasarkan pada kriteria:
1) Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 167


proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar
diketahui, tetapi juga dihayati
2) Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau
terlibat , pada kegiatan yang tengah diteliti
3) Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk
dimintai informasi
4) Mereka menyampaikan informasi secara obyektif1
2. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumennya adalah peneliti itu sendiri.
Oleh karena peneliti sebagai instrumen, maka harus divalidasi
yang meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian
kualitatif dan hal-hal yang terkait. Sebagai human instrument,
peneliti berfungsi menetapkan focus penelitian. Memilih informan
sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, analisis data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.
Setelah fokus penelitian pasti dan jelas, maka pengumpulan data
dikembangkan dengan teknik pengumpulan data yang lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya adalah :
a. Metode observasi partisipatif
Obsersi partisipatif merupakan teknik pengumpulan
data dimana peneliti mengamati dengan terlibat langsung
pada obyek, perilaku atau situasi yang diamati. Susan
Stainback menyatakan” In participant observation, the
researcher observer what people do, listen to wahat they
ay, and participates in their activities” menurutnya dalam
observasi partisipatif peneliti mengamati apa yang
dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan,
dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka.3
Dalam observasi partisipatif, peneliti akan mengamati
dengan langsung terlibat dalam kegiatan dakwah Islam
yang dilakukan oleh masyarakat marginal Desa Argopuro,
Hadipolo Jekulo .Kudus

3
Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting
Qualitative Research, Kendall/Hunt Publishing Company Dubuque, Iowa, 1988,
p.89.

168 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


b. Metode Wawancara/interview
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data
melalui tanya jawab antara dua orang atau lebih guna saling
tukar informasi dan ide, sehingga dapat direkonstruksi
makna dalam suatu topik tertentu.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara semiterstruktur (semistructure
interview), wawancara ini juga termasuk dalam kategori
in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih
bebas jika dibandingkan dengan wawancara terstruktur.
Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang
diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam
melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara
teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.
Wawancara semiterstruktur digunakan untuk menggali
data yang terkait dengan aktivitas mad’u pada mayarakat
marginal Argopuro Hadipolo, Jekulo Kudus, serta aktivitas
mereka secara lebih mendalam. Adapun hal-hal yang
ditanyakan dalam wawancara ini menyangkut pengetahuan,
pengalaman, pendapat, perasaan, indra serta latar belakang
atau demografi informan.4
c. Metode Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu, yang dapat berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental seseorang. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi
dan wawancara. Dokumentasi digunakan untuk menggali
data yang terkait dengan jumlah masyarakat marginal Desa
Argopuro, kondisi sosial budaya serta kondisi para da’i di
Desa Argopuro
d. Metode Triangulasi

4
Sugiyono, Op.cit., halm.322-324. Lihat juga Patton dalam.Qualitative
Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage Publication Inc 1980, hlm207-211.
Menurutnya ; sebelum peneliti melakukan wawancara harus mempersiapkan
paling tidak 6 jenis pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku,
pendapat atau nilai, perasaan, pengetahuan, indra dan latar belkang atau
demografi

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 169


Metode triangulasi merupakan metode pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
pengumpulan data yang telah ada. Dengan teknik ini berarti
peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas
data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai
teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.
Oleh karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi
dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan
lebih tuntas, konsisten dan pasti. Disamping itu, metode
triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data, bila
dibandingkan dengan hanya satu pendekatan.

Ada empat macam teknik triangulasi yang dapat digunakan


yaitu:
a. Triangulasi data atau triangulasi sumber data.
b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan berbagai
metode pengumpulan data untuk menggali data sejenis
c. Triangulasi peneliti. Diharapkan dengan beberapa
peneliti yang melakukan penelitian yan sama dengan
pendeatan yang sama akan menghasilkan hasil yang
sama pula atau hamper sama.
d. Triangulasi teori yaitu dalam membahas satu
permasalahan yang sedang dikaji, peneliti tidak
menggunakan satu perspektif teori.

E. Teknik analisis Data


Adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami, dan temuannya
dapat diformulasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan
dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-
unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan
.Adapun langkah-langkah dalam analisis data adalah:
1. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, trnsformasi data
kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data

170 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


berlangsung secara terus menerus selama penelitian berlangsung.
Dalam proses reduksi data ini, peneliti dapat melakukan pilihan-
pilihan terhadap data yang hendak dikode. Reduksi data merupakan
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan
dan membuang yang tidak perlu.
2. Penyajian data
Yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun
dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian datanya biasanya dilakukan
secara naratif.5
Pada tahap ini akan disajikan data penelitian yang berisi
tentang profil da’i, metode yang digunakan dalam berdakwah
serta perkembangan dakwah Islam pada masyarakat marginal
Desa Argopuro, Hadipolo. Jekulo Kudus dilihat dari aspek sosio
antropologi dan mauidhah hasanah.
3. Menarik kesimpulan/verifikasi
Langkah terakhir dalam analisis data adalah kesimpulan/
verifikasi. Kesimpulan terhadap hasil penelitian disimpulkan secara
induktif.

F. Kerangka Teori
1. Konsepsi Dakwah Islam
Berda’wah berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain
yang bersifat mengajak untuk merubah suatu keadaan yang tidak
baik kepada yang baik dan terpuji. Da’wah Islamiyah memerlukan
teknik penerapan yang akurat sesuai dengan keadaan dan
perkembangan zaman, terutama di kalangan masyarakat pedesaan
yang dinamis dan berkembang. Change to progress merupakan
watak dari masyarakat yang menunjukkan sesuatu kepada
kemajuan. Terhadap masyarakat berkategori ini, metode berda’wah
merupakan salah satu alternatif yang harus diperhitungkan dan
dipersiapkan sebaik mungkin.
Dakwah dalam arti proses penyebaran ajaran Islam telah
dinyatakan sebagai disiplin ilmu memiliki onyek, ciri-ciri dan

5
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja
Rosdakarya Bandung, 2001, hlm. 194-195

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 171


tujuan tertentu. Ia juga memiliki dasar-ilmu lainnya 6 Bisri Afandi
dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa dakwah bukan hanya
merupakan usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling
dan way of life manusia sebagai sasaran dakwah kearah kualitas
yang lebih baik, sehingga dalam prosesnya akan melibatkan berbagai
faktor yang saling terkait dalam kesatuan sistem dakwah7
Tulisan ini mencoba memberikan alternatif baru sebagai
salah satu upaya yang amat sederhana dalam menyampaikan
da’wah di tengah-tengah masyarakat pedesaan yang terbelakang.
Di hadapan kita terlihat berbagai kemajuan ilmu dan teknologi
yang berkembang amat pesat, sementara manusia terbuai oleh
kemajuan tersebut. Menghadapi kenyataan ini peran serta para da’i
harus lebih digalakkan dalam rangka menyelamatkan manusia dari
dampak negatif yang diakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam dunia modern dan pengaruh globalisasi yang
semakin menguat. Dampak negatif dari era globalisasi dan lajunya
perkembangan dunia modern akan menjerumuskan umat manusia
bila tidak bisa diantisipasi dengan baik dan benar oleh para da’i
dan tokoh masyarakat.

G. Pengertian Da’wah
Da’wah menurut pengertian secara etimologis adalah ajakan,
seruan, panggilan dan undangan. Sedangkan menurut pengertian
terminologis secara umum, da’wah adalah : “Suatu pengetahuan yang
mengajarkan cara-cara atau metode untuk menarik perhatian umat
manusia, agar mengikuti suatu ideologi atau ajaran tertentu”. Istilah
lainnya menyebutkan, bahwa ilmu da’wah adalah pengetahuan
6
Terminologi dakwah yang dimaksud adalah suatu ilmu yang dapat
digunakan dalam berbagai upaya untuk menyampaikan pesan maupun ajaran
Islam kepada umat manusia dengan muatan akidah, syari’ah (ibadah) dan akhlak.
Lihat Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab al-
Misyri, 1987, hlm. 10
7
Yang dimaksud dengan sistem dakwah adalah hubungan antara faktor
dakwah yang terdiri dari subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah,
media dakwah, materi dakwah dan tujuan dakwah. Jaringan sistematik ini
bermuara pada tujuan dakwah. Lihat Bisri Affandi dalan “Metodologi Penelitian
Dakwah:Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Slo 1991,
hlm.9. Sebagaimana dikutip oleh Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah
Sebagai Metode Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006, hlm.
85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006

172 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


yang mengajarkan cara-cara mengetahui alam fikiran manusia,
untuk diarahkan kepada suatu ideologi atau ajaran tertentu.
Pengertian da’wah menurut ajaran Islam adalah : “Mengajak
umat manusia dengan hikmah dan kebijaksanaan agar mengikuti
petunjuk Allah dan Rasul-Nya”. Syeikh Ali Mahfudz mengemukakan
pengertian da’wah sebagai berikut : ”Mengarahkan manusia agar
melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka agar
berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”. Al-Ustadz Bahiyul
Huli dalam kitabnya “Tadzkirrud Du’at” berpendapat : “Da’wah
adalah memindahkan umat manusia dari satu situasi kepada situasi
yang lain”.
Berda’wah melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar
adalah merupakan kewajiban bagi umat Islam, di mana saja mereka
menurut kemampuan masing-masing. Allah berfirman :
“Hendaklah ada diantaramu umat yang menyerukan kepada
kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf atau yang baik dan
mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. (Q.S. Ali Imran 104).

Rasulullah Bersabda :
“Siapa diantaramu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia
merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah
dengan lisannya, jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya,
dan itulah iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim).

Di dalam hadits lain Nabi bersabda :


“Sampaikan dariku meskipun satu ayat”. (HR. Bukhari).

Rasulullah SAW melaksankan da’wah dengan penuh


kebijaksanaan dan menggunakan metode-metode yang tepat,
sehingga perjuangannya yang teramat singkat, hanya memakan
waktu sekitar 23 tahun mampu merubah suatu masyarakat jahiliyah
yang diliputi kedzaliman dan kebodohan menjadi masyarakat yang
beradab. Masyarakat yang seluruh anggotanya saling berbuat baik,
tolong-menolong dan berhasil membentuk peradaban dunia yang
luhur.
Di samping itu, Rasulullah juga sangat memperhatikan
keadaan objek da’wah, sehingga mereka dapat dibimbing dengan

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 173


baik. Dijelaskan dalam al-Qur’an :
“Maka dengan rahmat dari Allah, engkau bersifat lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kerasdan berhati
kasar, tentulah mereka melarikan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi
mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal”. (Q.S. Ali Imran 159).
Berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW,
agar umat Islam dapat melanjutkan da’wah dengan sebaik-baiknya,
maka hendaklah para da’i menjadikan Rasulullah sebagai rujukan
dan teladan dalam segala kehidupan. Untuk tujuan itu, seorang dai
hendaklah memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut ini :
- Mengetahui tentang al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
dasar-dasar pokok dari agama Islam.
- Memiliki ilmu pengetahuan yang menjadi pelengkap
da’wah, seperti teknik berda’wah dan strategi, psikologi,
sejarah kebudayaan Islam, Sejarah perkembangan da’wah,
perbandingan agama dan sebagainya.
- Menguasai bahasa umat yang akan diajak kepada jalan
yang diridhai oleh Allah. Demikian juga ilmu rethorika,
kepandaian berbicara, mengarang, menulis uraian yang
ilmiah dan sebagainya.
- Seorang da’i harus bersikap penyantun, berpandangan
luas dan berlapang dada, sebab apabila sempit, keras dan
kasar, orang-orang disekelilingnya akan tidak simpati
dan meninggalkan ajakannya, sebagaimana dijelaskan al-
Qur’an dalam surat Ali Imran 159 tersebut di atas.
- Memiliki mental yang kuat, tabah, berkemauan keras,
bersikap optimis, walaupun menghadapi berbagai macam
problem, rintangan dan tantangan.
- Bersikap ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah
dalam segala langkah dan perbuatan.
2. Konsepsi Masyarakat Marginal
Dalam pandangan sosiologi agama ada hubungan antara
sosiologi dan agama. Terkait dengan ini Elzabeth K Nottingham

174 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


membagi tipe-tipe masyarakat berdasarkan hubungan antara
agama dan masyarakat yaitu:
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe
masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota
masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada
lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga
keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian
dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama
memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-
nilai masyarakat yang mutlak.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan
masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi
yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan
arti dan ikatan kepa sistem nilai dalam tipe masyarakat
ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral
dan yang sekuler sedikit-sedikit masih dapat dibedakan.
Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh
upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan
lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung.
Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-
nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus
utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan,
dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota
masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode
empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
mengganggu masalah-masalah kemanusiaan sehingga
lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.8
c. Kemiskinan
Diantara ciri lain yang menandai masyarakat marginal
adalah kemiskinan yang dialami sebagian besar warganya.
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai

8
Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis
Naharong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 31-69

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 175


dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam
kelompok tersebut. Menurut sejarah keadaan miskin dan
kaya secara berdampingan tidak merupakan masalah
sosial sampai saatnya perdagangan berkembang pesat dan
timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan bekembangnya
perdagangan ke seluruh dunia, dan diterpkannya taraf
kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakatm
kemiskinan mncul sebagai maslah sosial.
Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan
menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci
kemiskinan. Seseorang bukan merasa miskin karena
kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena
harta miliknya dianggap baik cukup untuk memenuhi taraf
kehidupan yang ada. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang
turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan.
Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan desebabkan
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer
sehingga timbul tunakarya, tuna susila dan sebagainya.
Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut
adalah karena salah satu lembaga pemasyarakatan tidak
berfungsi dengan baik, yaitu lembaga pemasyarakatan di
bidang ekonomi.9
d. Ketidakmampuan menyesuaikan diri
Ketidakmampuan menyesuaikan diri
juga menjadi penyebab masyarakat termarginalkan atau
terpinggirkan yaitu karena tidak mampu menyeesuaikan
diri. Hal ini menyebabkan mereka ditolak oleh masyarakat
di sekitarnya. Mereka mengalami proses demoralisasi dan
tidak mampu menyeesuaikan diri dengan lingkungannya.
Khusunya yang menyangkut kehidupan para pelaku kriminal
misalnya; pelacur, penjahat, alkoholik, dan penjudi-penjudi
kronis bisanya menjalani kehidupan tanpa harapan dan
menutup diri dari kehidupan dunia sekitarnya.
Pribadi marginal ini adalah seorang yang dihadapkan

9
Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, hlm. 406-407

176 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


pada pilihan dan peranan. Akan tetapi disebabkan oleh
keterbatasan internal atau eksternal tertentu sehingga tidak
mampu mengintegrasikan hidupnya atas dasar salah satu
peranan tersebut. Contoh lain dari pribadi marjinal ialah:
1. Warga negara keturunan asing (minoritas rasial atau
hibrid-rasial)
2. Keturunan para imigran
3. Kaum intelektual dengan mental ”emansipasi” tinggi
4. Warga pendatang yang gagal memperoleh pekerjaan
yang layak10
3. Peran pemimpin terhadap perubahan sosial
Pada sisi lain pemimpin agama atau pembimbing agama
memiliki peran bagi perubahan sosial, secara detail dapat dilihat
sebagai berikut:
a. Pemimpin agama sebagai motivator
Tidak dapat disangkal bahwa peran para pemimpin
agama sebagai motivator bagi masyarakat sudah diakui.
Dengan ketrampilan dan kharisma yan dimilikinya, para
pemimpin agama telah berperan aktf dalam mendorong
suksesnya kegiatan-kegiatan pembangunan. Terlibatnya
para pemimpin agama bagi perubahan sosial terutama
didorong oleh kesadaran untuk ikut secara aktif memikirkan
permasalahan-permasalahan yang sangat kompkles
dihadapi umat.11 Para pemimpin agama dapat memberikan
semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha.
Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu
membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara
rasional dan tetap membangkitkan gairah serta aksi
masyarakat dalam meraih susuatu yang dicita-citakannya.12
b. Pemimpin agama sebagai pembimbing moral
Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama
di masyarakat dalam kaitannya denga perubahan
10
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
hlm. 41-42
11
M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru
Pemikiran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989, hlm. 3-4
12
Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987, hlm.
225-226

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 177


masyarakat adalah peran berkaitan dengan upaya-upaya
menanamkan psrinsip-prinsip etik dan moral masyarakat.
Dalam kenyatannya, kegiatan pembangunan umumnya
selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama
dalam meletakka landasan moral, etis, dan spiritual serta
peningkatan pengalaman agama, baik dalam kehidupan
pribadi maupun sosial. Disinilah kemudian nilai-nilai
religius yang ditanamkan para pemimpin agama memainkan
peranan penting dalam perubahan sosial.13
c. Pemimpin agama sebagai mediator
Peran lain para pemimpin agama adalah sebagai wakil
dari masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin
kerjasama yang harmonis diantara banyak pihak dalam
rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di
masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan yang
dipimpinnya.14
Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para
pemimpin agama biasanya memposisikan diri sebagai
mediator15 diantara beberapa pihak di masyarakat, seperti
antara masyarakat dengan elite penguasa dan antara
masyarakat miskin dengan orang-orang kaya. Melalui para
pemimpin agama, para elite penguasa dapat memahami apa
yang diinginkan masyarakat,dan sebaliknya elite penguasa
dapat mensosialisasikan program-programnya kepada
13
Ibid. Hlm.8
14
Hiroko,Loc.Cit.hlm.228-229
15
Peran ini sebenarnya diihami oleh nilai-nilai ajaran agama itu sendiri
yang secara tradisional mempunyai fungsi sebagi ”pemersatu”. Sebab sebagian
besar sejarah umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan
peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi
segalanya bagai integrsai masyarakat yang berarti. Beraneka macam makna, nilai
dan kepercayaan yang ada pada suatu masyarakat, akhirnya dipersatukan dalam
sebuah penafsiran menyeluruh tentang unsur realitas yang menghubungkan
kehidupan manusia dengan dunia(kosmos) secara keseluruhan, sehingga secara
sosiologis dan psikologis memungkinkan manusia merasa betah tinggal di alam
semesta dan terhindar dari penyakit homeless mind, merasa tak berumah atau
rasa kesepian di tengah-tengah keramaian . Lihat Peter L.Berger, dan Hansfried
Keliner,” Pluralisasi Dunia Kehidupan,” dalam Hans Dieter Eers (peny.)”Teori
Masyarakat, Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1988, hlm.49-51

178 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


masyarakat luas melalui bantuan para pemimpin agama,
sehingga keduanya terjadi saling pengertian.16
Munculnya kerjasama antara para pemimpin agama
di satu pihak dengan kalangan kaya pengusaha di pihak
lain merupakan fenomena sosial yang umum terjadi di
kalangan umat beragama. Di Eropa misalnya, persekutuan
bahkan kemanunggalan antara gereja dengan kalangan
tuan tanah dan elite penguasanya merupakan fakta sejarah
yang tak terbantahkan. Hal ini terjadi juga di kalangan umat
agama lain, termausk Islam. Persekutuan seperti ini tetap
berlangsung sampai sekarang.17
Dari sudut keagamaan, kerjasama keagamaan, kerjasama
para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan
penguasa bukan sesuatu yang baru. Sebab, sesungguhnya
kerjasama para pemimpin agama dengan kalangan kaya
dan penguasa, pada prinsipnya, tidak dinilai buruk. Agama,
bagaimanapun merupakan rahmat bagi selurh alam. 18
Dalam kaitan inilah pentingnya kehadiran para pemimpin
agama sebagai mediator pemberdayaan masyarakat lemah
melalui kerjasama dengan elite penguasa dan golongan
orang kaya. Sehingga, pada gilirannya, kesenjangan sosial
dapat ditekan sedemikian rupa, tidak menimbulkan
gejolak sosial yang mengancam keharmonisan hubungan
masyarakat secara horizontal.

16
Menurut Wolf, seperti dikutip Horikoshi, konsep mediator ini dapat
didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok yang menempati posisi
penghubung dan perantara antara masyarakat dan sistem nasional yang bercorak
perkotaan. Bergantung pada posisi strukturnya dalam jaringan masyarakat
yang kompleks, mediator ini dapat diperankan oleh pemimpin tradisional
yang membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang meghubungkan sistem
lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan serng bertindak sebagai
penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan,
menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan
bagi kegiatan-kegiatan mereka. Lihat Hiroko, Loc.Cit.hlm5
17
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002,hlm.142
18
Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,
hl.202-205

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 179


H. Temuan Penelitian
1. Kondisi Geografis Kampung Pecinan Hadipolo Kudus
Dukuh Argopuro yang menjadi lokasi penelitian ini ada satu
RT yaitu masuk RT.6 RW.2.Desa Hadipolo dan berada di wilayah
Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Letaknya berada di aliran
sungai Jekulo yang bermuara di Lautan Jawa. Mayoritas penduduk
Hadipolo, bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta,
pekerja di jalanan dan buruh bangunan.
Dengan kebudayaan yang relatif sedikit maju dibanding
beberapa tahun sebelumnya, penduduk Dukuh Argopuro dapat
memenuhi wajib belajar 9 tahun. Adapun batas-batas wilayah
Dukuh Argopuro yang merupakan bagian darai Desa Hadipolo
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Luas dan batas wilayah
1. Luas desa/kelurahan : 516.500 Ha
2. Batas wilayah
a. Sebelah Utara : Desa Honggosoco
b. Sebelah Selatan : Desa Tenggelas
c. Sebelah Barat : Desa Ngembalrejo
d. Sebelah Timur : Desa Jekulo
b. Orbitrasi (jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan)
1. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan : 25 km
2. Jarak dari ibukota Kabupaten/Kotamadya Dati II : 8 km
3. Jarak dari ibu kota propinsi Dati I : 56 km
4. Jarak dari ibu kota negara : 420 km19

Perumahan perumahan sosial “Pecinan”, Hadipolo, Kudus


secara geografis termasuk terletak dalam perkampungan yang
relatif tak terlalu ketinggalan yakni di desa Hadipolo. Desa Hadipolo
pada 1985-an pernah sebagai pemenang dalam lomba desa tingkat
kaputen Kudus, bahkan mewakilinya untuk maju pada lomba desa
tingkat propinsi Jawa Tengah. Keberadaan desa tersebut termasuk
strategis karena dilewati jalan raya besar jurusan Semarang-
Surabaya, sehingga arus transportasi dan komunikasi relatif lancar.
Karena itu desa Hadipolo dalam posisi ini memili citra yang positif

19
66 Dikutip dari papan monografi Balai Desa Hadipolo pada tanggal 25
Oktober 2008

180 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


di mata msyarakat Kudus dan sekitarnya.
Hal ini menurut kepercayaan masyarakat setempat tak lepas
dari “leluhur” atau dalam bahaya lokal disebut “danyang” daerah
tersebut dikenal sebagai ahli pembuat keris “wesiaji” yang dikenal
dengan “mbah Kyai Gusti”. Beliau dikenal sebagai seorang empu
yang ternama pada zamannya bahkan beliau juga dikenal sebagai
murid dari Sunan Muria Kudus, Raden Syahid.
Sebagaimana dikenal luas bahwa salah satu ciri masyarakay
Jawa adalah pengaruh budaya nenek moyang yang kuat sehingga
menjadi “mode of thinking” dalam menjalani hidup dan memaknai
hidup termasuk dalam membangun kekuatan ekonomi. Karena
itu masyarakat Hadipolo sejak dulu mengembangkan kerajinan
“pandai besi” sebagai representasi paradigmatik terhadap tradisi
nenek moyang yang pernah ada sebelumnya. Maka hingga sekarang
Hadipolo menjadi sentral “pandai besi” di kabupaten Kudus.
Sedangkan perumahan sosial “Pecinan” tersebut terletak
di bagian tengah Desa Hadipolo, kira-kira 8 km sebelah timur kota
Kudus. Daerah tersebut semula adalah lahan “tanpa tuan” karena
menurut cerita masyarakat setempat adalah tempat peninggalan
komunitas keturunan Cina yang karena satu dan lain hal mereka
meninggalkan lokasi tersebut. Sebagian menjelaskan komunitas
keturunan Cina yang “lari” dari daerah tersebut karena mereka
tidak menemukan kenyamanan bahkan sering diganggu oleh
makhluk halus yang selalu saja datang silih berganti.
Namun sebagian yang lain menceritakan bahwa keberadaan
keturunan Cina yang eksodus besar-besaran itu tak lepas dari
ancaman politik lokal yang cenderung menganggap keturunan Cina
sebagai ancaman ekonomi masyarakat lokal. Karena itu mereka tak
tahan bertahan terlalu lama di kompleks tersebut. Sebagian yang
lain menjelaskan daerah tersebut sebagai bekas kuburan Cina yang
sudah lama tidak terawat sehingga musnah tiada bekas.20
Dengan berbagai versi yang ada yang jelas daerah tersebut
tak lepas dari adanya peninggalan keturunan Cina yang lama tak
terawat, lalu diambil alih oleh pemda Kudus dan dalam jagka waktu
yang lama kosong tak dimanfaatkan. Namun yang jelas keberadaan

20
Wawancara peneliti dengan Syafii, Hanafi dan K. Ahmad Yasin warga
desa Hadipolo, pada Juli 2008.

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 181


tanah pecinan tersebut sebenarnya menjadikan citra Hadipolo
yang positif menjadi tercoreng. Karena itu tetap saja desa Hadipolo
mampu sebagai pemenang lomba desa dan maju di tingkat propinsi
Jawa Tengah pada masa kepemimpinan H. Denin.
Maka dalam kondisi citra positif Desa Hadipolo yang sedang
melambung tersebut tiba-tiba muncul kebijakan dari Pemda Kudus
untuk merelokasi kompleks kumuh di belantar Sungai Kaligelis
Kudus agar dipindahkan ke kompleks Pecinan, Hadipolo. Hal ini
tak lepas dari keinginan baik pihak pemda Kudus agar para anak-
anak jalanan dan keluarga tuna wisma segera tertangani oleh dinas
sosial sehingga mereka bisa hidup lebih layak dan mandiri hidup
dalam hunian yang permanen.
Karena itu Pemda Kudus melalui dinas sosial pada tahun
1990-an membangun perumahan sangat sederhana (RSS) yang
khusus diperuntukkan bagi tuna wisma terutama yang berasal
dari pinggiran Kaligelis Kudus. Pemda Kudus memberikan syarat
yang sangat ringan yaitu hanya dengan menunjukkan KTP/Kartu
keluarga dengan sistem cicilan harian sebesar Rp 900,- (sembilan
ratus rupiah) selama lima belas tahun.
Proses relokasi ini dilakukan dalam dua tahap yaitu; tahap
pertama tahun 1990 dan tahap dua tahun 1993. Kini penghuni
Perumahan Sosial Pecinan tersebut terdiri dari 115 rumah dengan
jumlah penduduk kira-kira 500 orang dengan komposisi laki-laki
sejumlah 214 orang dan perempuan 300an orang.
Pada awalnya masyarakat Hadipolo sebagian besar menolak
kebijakan relokasi komunitas tuna wisma dari Kaligelis yang
dipindahkan ke daerah Hadipolo, karena menurut warga setempat,
kehadirian mereka dianggap sebagai ancaman keamanan bagi
masyarakay Hadipolo. Hal ini tak lepas dari stigna negatif masyarakat
Hadipolo terhadap anak-anak jalanan yang hidupnya dianggap tidak
jelas hanya menjadi “biang keladi” dari berbagai tindakan-tindakan
mulai dari pencurian, pencopetan hingga tawuran.
Sebagian besar warga Hadipolo merasa tidak nyaman
dengan kehadiran para tuna wisma tersebut, apalagi citra desa
Hadipoli yang sebelumnya sudah dikenal sebagai desa unggulan
dan sekaligus sebagai pemenang lomba desa pada beberapa
tahun sebelumnya. Kehadiran kompleks perumahan sosial ini,
bagi kebanyakan warga Hadipolo dikhawatirkan hanya akan

182 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


memperkeruh dan “mengotori” kampung yang sedang naik daun.
Sebagai dampak sosialnya, warga perumahaan Pecinan
terutama anak-anak yang menjadi korban. Mereka dari tahun ke
tahun merasa terpinggirkan dalam kehidupan sosial masyarakat
di Hadipolo tersebut. Bahkan dalam pendidikan warga perumahan
Pecinan tersebut merasa didiskriminasikan, karena mereka dianggap
sebagai “keluarga kotor” yang tak mendapatkan pendidikan dari
orang tuanya. Karena itu anak-anak mereka banyak yang tak mau
sekolah hanya gara-gara diolok-olok oleh teman lainnya sebagai
anak jalanan.
Namun seoring dengan berjalannya waktu serta proses
komunikasi sosial yang berjalan secara alami, pada kahirnya warga
perumahan “Pecinan” semakin mendapat pengakuan dari warga
setempat, meski sebagian masih tetap tidak bisa menghilangkan
stigma negatif yang terlancur ada sejak kehadirannya. Namun
paling tidak perkembangan komunikasi yang lebih terbuka semakin
terbangun, setidaknya dapat dilihat ketika diantara mereka memiliki
“gawe” mereka sebagian saling mengundang untuk sekedar ikut
“tradisi slametan” atau mengikuti jam’iyah tahlil rutin setiap malam
jumat.
Meskipun demikian ancaman kecurigaan ketika terjadi
kasus pencurian atau perilaku negatif lain yang terjadi di Hadipolo
dalam banyak hal komunitas pecinan seringkali sebagai “tertuduh”.
Bahkan ancaman konflik sosial pun semakin rawan ketika komunikas
sedang buntu. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2006
dengan terjadinya tawuran antara warga perumahan sosial dengan
penduduk setempat. Beberapa rumah warga perumahan sosial
hancur, dan juga banyak yang terluka baik warga pribumi maupun
warga perumahan sosial hanya gara-gara kesalahpahaman ketika
salah seorang warga perumahan Pecinan menghadirkan Orkes
Dangdut dalam rangka punya gawe resepsi pernikahan.
Karena itu kehadiran masyarakat pendatang yang
kebanyakan dari tuna wisma di Hadipolo tersebut perlu mendapatkan
penanganan dan pendampingan secara berkesinambungan agar
mereka semakin diakui oleh masyarakat lain sebagai bagian dari
manusia yang memiliki hak untuk hidup, berkumpul, memperoleh
pendidikan dan mendapatkan kecukupan secara ekonomi sehingga
menemukan kebahagianan dan kesejahteraan yang sejati.

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 183


2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Perumahan Sosial
“Pecinan”, Hadipolo, Kudus
Konstruksi sosial komunitas “Pecinan” tak lepas dari
kebiasaan mereka yang biasaya sebagai pribadi yang bebas hidup
dalam dunia yang “keras”. Di jalanan, pasar, mall, pusat-pusat
pariwisata serta terminal bus adalah tempat keseharian mereka.
Mereka sudah terbiasa hidup ala kadarnya, sehingga mereka
memiliki daya tahan yang tinggi baik secara fisik maupun mental
Sebagian besar mereka dalam mempertahankan hidupnya
adalah sebagai pengemis terutama yang sudah terlalu tua dan
anak-anak, sebagai pengamen bagi yang masih muda baik putra
maupun putri, sebagai pengumpul barang bekas dan juga sebagian
ada yang terpaksa mencopet dan sejenisnya. Namub sebagian besar
mereka tetap berusaha untuk mendapatkan/memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka dengan jalan yang benar, meski dalam bentuknya
yang masih rendahan.
Karena itu kebiasaan mereka yang hidup di jalanan ini
menjadikan mereka sungguh kuat dari terpaaan angin malam
maupun panasnya sianr mentari pada siang hari. Namun meskipun
mereka kurang tidur karena pada malam hari seringkali begadang,
esok harinya sudah bangun pagi-pagi betul untuk “mengobyek”
sekedar demi sesuap nasi.
Kebiasaan mereka bertahun-tahun yang hidup dalam dunai
yang keras sewakti masih hidup di pinggir Kaligelis Kudus, ternyata
tidak juga berubah meski sudah pindah di kompleks perumahan
baru di “Pecinan”, Hadipolo, Kudus.
Meski sudah sering ada penyuluhan dari dinas sosial pemda
Kudus dan sejumlah lembaga terkait di Komunitas ”Pecinan”
tersebut, ternyata tetap belum mampu mengubah kebiasaan
mereka yang lebih senang meminta-minta (pengemis), pengamen
dan juga sebagai pengumpul barang bekas. Namun sebagain ada
yang mulai mengembangkan profesi lain dengan mengemudikan
angkutan becak.
Karena itu hingga sekarang sumber ekonomi Komunitas
”Pecinan” kebanyakan adalah sebagaimana kebiasaan ketika masih
di pinggir Kaligelis. Sementara kondisi sosial yang ada juga masih
cenderung keras, penampilan meraka terutama yang laki-laki
banyak yang bertato. Namun yang jelas etos mereka sangat tinggi

184 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


menjalankan upayanya dalam memperjuangkan keluarga agar
tetap survive.
3. Kondisi Dakwah Masyarakat Perumahan Sosial “Pecinan”
Hadipolo, Kudus
Kehidupan mereka di perumahan Komunitas «Pecinan»
disamping dalam setiap hari harus membayar cicilan rumah meski
tak besar, juga memiliki tanggung jawab untuk memberi makan
keluarga demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Karena itu urusan pendidikan untuk anak-anak mereka
kurang begitu diperhatikan. Kebanyakan anak-anak Komunitas
«Pecinan» adalah putus sekolah di jenjang SD dan tingkat SLTP.
Bahkan mereka yang semestinya masih usia SD, kebanyakan mereka
sudah keluar rumah sebagai pengamen membantu pemasukan
ekonomi untuk keluarganya. Meskipun demikian ada beberapa
orang sekitar 15-20 orang yang sudah berhasil menamatkan SLTP
(MTs dan SMP serta SMU/MA). Termasuk anak-anak yang sebagai
peserta peletihan life skill dan pelatihan pengelolaan TPQ yang
diselenggrarakan oleh P3M STAN Kudus ini adalah kelompok
tersebut, disamping juga melibatkan mereka yang putus sekolah
bahkan yang tidak sekolah.
Karena itu model dakwah yang diselenggarakan di tempat
dimana mereka tinggal (di perumahan Pecinan) seperti TPQ Al
Muhajirin sangat berarti bagi mereka disamping itu, fokus utama
kegiatan dakwah dilaksanakan di musalla almuhajirin yang berada
di pertengahan tempat tinggal penduduk. Karena dengan demikian
akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti
kegiatan keagmaan secara lebih efisien karena tidak harus pergi
jauh. Dalam kerangka inilah menjadi penting menghidupkan
kembali TPQ Al Muhajirin, lembaga pendidikan satu-satunya yang
dimiliki oleh Komunitas ”Pecinan” itu. Ditempat inilah kegiatan
keagamaan baik berupa sekolah maupun ceramah-ceramah
keagamaan dilakukan.
Adapun metode dakwah yang digunakan adalah dengan
mau’idhah hasanah yaitu suatu dakwah dengan menggunakan
nasehat yang baik. Hal ini dilakukan oleh da’i yang betempat tinggal
di lokasi tersebut. Dai atau mualligh yang ada di Dukuh Argopuro
adalah Bapak Sumarto, berusia sekitar 40 tahun. Alamat asalanya
adalah dari Desa Muryolobo Kecamatan Nalumsari Kabupaten

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 185


Jepara, Bapak Sumarto tinggal di Dukuh Argopuro bersamaan
dengan dibukanya dukuh tersebut sekitar tahun 1993. Ia
melaksanakan kegiatan dakwah karena merasa terpanggil melihat
kondisi masyarakat Dukuh Argopuro yang belum begitu mengenal
ajaran Agama Islam.21
Sumarto sebagai tokoh agama berpenampilan sederhana
dengan mamanjangkan jambang, sehingga kesan sebagai orang
Islam dengan penganut aliran tertentu nampak padanya.
Sebagai da’i yang tinggal bersama masyarakat Argopuro,
Sumarto sangat memahami kondisi sosiologis dan psikologis
masyarakat yang jadi mad’unya, sehingga dalam menyampaikan
pesan-pesan dakwahnya menggunakan metode ceramah atau
mauidhah hasanah dan denga menggunakan bahasa sederhana
yang sangat mudah dipahami oleh mad’unya. Disamping itu
dengan tinggal ditempat yang sama, sewaktu-waktu dia dapat
menyampaikan pesan dakwahnya tanpa harus dilakukan dalam
situasi formal.

I. Materi dakwah
Sebagaimana kita ketahui bahwa materi dakwah dapat
dibago tiga yaitu:
- Aqidah
- Syari’ah
- Akhlak
Secara inci dapat penulis sebutkan materi dakwah di Dukuh
argopuro adalah sebagai berikut:
a. Pengajian malam Jum’at, materi pokoknya adalah:
1. Pendalaman aqidah islamiyah
2. Pendalaman kaifiyah ubudiyah
3. Pendalaman ahlussunnah waljama’ah
b. Fashalatan, materi pokoknya adalah:
1. Memberikan contoh-contoh gerakan shalat
2. Memberikan makna gerakan shalat
3. Mengontrol gerakan-gerakan shalat
4. Mengontrol ucapan-ucapan (hafalan) do’a dalam shalat

21
Wawancara dengan Bapak Sumarto, dai /mualligh Dukuh Argopuro,
pada tanggal 5 Nopember 2008

186 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


c. Belajar Baca Tulis al-Quran, materi pokoknya adalah:
1. Mengetahui huruf-huruf hijaiyah
2. Mengetahui cara-cara membacanya sesuai dengan
makhraj dan tajwidnya
d. Hafalan surat-surat pendek dan do’a-do’a, materi pokoknya
adalah:
1. Menghafal surat dhuha sampai surat an-Nas
2. Menghafal do’a-do’a dalam perbuatan sehari-hari
3. Memberitahukan makna yang terkandung dalam surat
dan do’a tersebut22

J. Penutup
Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan
manusia sebagai individu, kare na individu merupakan dasa bagi
terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur, berkeadilan dan
damai. Suatu masyarakat tidak akan sejahtera, damai, aman dan
berkeadilan, jika tidak ditanamkan sedini mungkin makna dari
nilai-nilai kedamaian, keadilan dan kesejahteraan kepada setiap
individu dari masyarakat, karena masyarakat pada hakekatnya
komunitas yang terdiri dari individu-individu yang hidup di suatu
daerah yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk
saling dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia
tidak akan mampu bertahan hidup hanya dengan kesendirian
(individual) tanpa bantuan orang lain.
Sikap dan tingkah laku da’i merupakan salah satu faktor
keberhasilan dakwah yang dilakukan, masyarakat pelaku dakwah
senantiasa mengamati dan meniru sikap yang dimiliki da’i. Sebagai
seorang da’i sikapnya haruslah merupakan cerminan dari tingkah
lakunya sehari-hari.
Keberhasilan dakwah yang dilakukan di Kampung
Pecinan Argopuro Kudus diantaranya dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu; metode yang digunakan, profil dai dan materi yang
disampaikan sesuai dengan kondisi mad’u, serta sesuai dengan
situasi dan kondisi yang terdapat pada masyarakat tersebut.

22
Wawancara dengan Sumarto, mubaligh Dukuh Argopuro dan
berdomisili ditempat tersebut pada 26 Oktober 2008

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 187


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-


Kitab al-Misyri, 1987
Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah Sebagai Metode
Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006,
hlm. 85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2006
Bisri Affandi dalan “Metodologi Penelitian Dakwah:Sketsa Pemikiran
Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Solo 1991
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002
Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis
Naharong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985
Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja
Rosdakarya Bandung, 2001
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001
M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru
Pemikiran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989
Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta,
1991
Patton , Qualitative Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage
Publication Inc 1980
Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner,” Pluralisasi Dunia Kehidupan,”
dalam Hans Dieter Eers (peny.)”Teori Masyarakat, Proses
Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1988
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995
Sanapiah Faisal, enelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang,
1990

188 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1999
Susan Stainbac, William Stainback, Understanding & Conduting
Qualitative Research, Kendall/Hunt Publishing Company
Dubuque, Iowa, 1988

Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 189


190 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012
MAKNA PENDIDIKAN BAGI ANAK MENURUT
KELUARGA NELAYAN DI DESA WEDUNG
KECAMATAN WEDUNG KABUPATEN DEMAK

Shobirin
Dosen STAIN Kudus
Email: Sabirin_78@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi,


tanggapan dan pemaknaan masyarakat Wedung Kecamatan
Wedung Kabupaten Demak berkenaan dengan pentingnya
pendidikan bagi anak-anak. Fokus Penelitian diarahkan
kepada deskripsi tentang pendidikan anak pada keluarga
nelayan baik yang masih sekolah maupun putus sekolah.
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, teknik pengumpulan data dengan observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Sampel sumber data
ditentukan secara purposif dan snowball. Analisis data
dilakukan melalui analisis model Miles dan Huberman dan
analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
gambaran pendidikan pada masyarakat tersebut secara
keseluruhan bervariasi. Pada umumnya keluarga tersebut
mengharapkan anaknya punya nasib lebih baik daripada
orang tuanya, paling tidak bisa baca tulis. Adapun hubungan
yang dijalin antara orang tua dengan anak rata-rata hubungan
saling membutuhkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
maka dapat ditemukan perlu membangun persepsi orang
tua yang penghasilannya rendah terhadap pendidikan anak-
anaknya dengan baik; merubah alternatif pekerjaan selain
nelayan demi perbaikan nasib; membangun peran yang
maksimal bagi orang tua terhadap keberhasilan pendidikan
anak-anaknya; dan menjalin hubungan yang harmonis untuk
menciptakan keberhasilan pendidikan anak-anaknya.
Kata Kunci : Makna Pendidikan, Anak, Masyarakat Nelayan,
Orang Tua

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 191


A. Pendahuluan
Islam sebagai salah satu agama umat telah menjelaskan
dengan sempurna tentang kewajiban orang tua berkaitan dengan
pendidikan anak-anaknya. Orang tua bertanggungjawab atas
pendidikan anak-anaknya. Pada gilirannya, anak-anak mereka
akan melindungi dan membantu orang tuanya di masa senja.
Dalam Pandangan Islam, antara anak dan orang tua bisa saling
mewarisi harta benda mereka tanpa ada halangan. Bagian lain yang
dirumuskan dalam Islam adalah adanya pertalian antara suami
dan istri dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing. “Bagi suami yang mempunyai sifat agresif,
diwajibkan menjalankan fungsinya, yaitu mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan istri dipercayakan
untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya menata rumah tangga
dan menciptakan kasih sayang dalam rumah tangganya”.1 Islam
tidak melarang istri kerja di luar rumah untuk membantu suaminya
dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun harus
sesuai aturan syariat atau agama.
Pendidikan berfungsi mengubah human asset menjadi
human capital. Di dalam pembangunan, pendidikan juga berperan
untuk meningkatkan kualitas manusia, baik sosial, spiritual,
intelektual maupun profesional. Pendidikan sebagai salah
satu institusi mempunyai peran strategis di dalam pembinaan
profesionalisme bagi bangsa Indonesia guna mempersiapkan
subjek pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa
fenomena anak di Indonesia yang putus sekolah semula lebih
berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian
orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak-
anak merupakan upaya proses belajar, belajar menghargai kerja
dan bertanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan
anak kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu
mengurangi beban keluarga.
Namun demikian, sejalan dengan perkembangan waktu,
fenomena anak yang putus sekolah banyak berkaitan erat dengan
alasan ekonomi keluarga (masalah kemiskinan). Pendapatan orang

1
Rahman, 1996: 5)

192 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


tua yang sangat sedikit dan ditambah jumlah beban anak yang
banyak tidak mampu lagi menutup kebutuhan hidup sehari-hari,
apalagi untuk biaya sekolah yang semakin melambung.
Persoalan munculnya anak-anak putus sekolah sebagai
sebuah ekses, sering disampaikan oleh para pengambil kebijakan
di negeri ini, hal itu dipandang biasa. Namun dalam kenyataannya
kalau ditelusuri secara seksama ada beberapa hal yang perlu
diperbaiki, berkaitan dengan kebijakan negara. Hal ini dapat
ditemukan di desa-desa pinggiran, seperti di daerah pantai, banyak
yang putus sekolah.
Berangkat dari potret tersebut, hal ini menuntut berbagai
pihak untuk mengadakan pemecahan dan penyelesaian supaya
tidak terlarut-larut berkepanjangan. Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berwenang.
Misalnya, harus ada tindakan tegas berupa larangan bagi orang yang
melakukan pernikahan dini, harus digalakkan lagi pembatasan
jumlah anak, dan merubah pandangan masyarakat tidak hanya
tergantung pada alam. Bagi akademisi murni harus membantu
pemikiran berupa solusi pemecahan dengan melakukan penelitian.
Dengan demikian, peneliti tertarik untuk meneliti lokus yang
berada di Desa Wedung Kecamatan Wedung Kabupaten Demak,
dengan judul “Makna Pendidikan Bagi Anak Menurut Keluarga
Nelayan di Desa Wedung Kecamatan Wedung Kabupaten Demak.
Salah satu alasan pemilihan peneliti terhadap desa tersebut adalah
banyaknya keunikan yang ditemukan pada survei pendahuluan,
khususnya berkaitan dengan penghasilan sehari-hari terbatas,
namun jumlah anak rata-rata diatas lima, dan yang lebih menarik
lagi adalah banyak anak yang putus sekolah di desa tersebut.

B. Makna Pendidikan bagi Anak


Pendidikan dalam pengertian bahasa disebut “the process of
training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc.,
especially by formal schooling” (proses melatih dan mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, pikiran, perilaku, dan lain-lain,
terutama oleh sekolah formal). Pendidikan dalam pengertian ini,
dalam kenyataannya, sering dipraktekkan dengan pengajaran
yang sifatnya verbalistik.2 Esensi pendidikan yaitu, adanya proses

2A. Qodri Azizi, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 193


transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi tua
kepada generasi muda, agar generasi muda dapat hidup. Dalam
batas tertentu target pendidikan adalah ingin hidup lebih baik dan
layak sebagaimana mestinya.
Di samping itu juga ada ungkapan yang lebih menarik,
yaitu bahwa tujuan pembelajaran adalah untuk menghubungkan
pertumbuhan personal seseorang kepada kehidupan publik dengan
cara mengembangkan keterampilan yang kuat, pengetahuan
akademik, kebiasaan/habit untuk pencarian dan keingintahuan
yang kritis tentang masyarakat, kekuasan, ketidaksamaan dan
perubahan. Seiring dengan itu, dalam UU No.20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional disebutkan dalam bab 2 pasal
3 berkaitan dengan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa pemaknaan
seseorang tentang pentingnya pendidikan adalah terkait dengan
persepsi masing-masing orang yang memberi makna. Sedangkan
menurut Stephan P. Robbins, bahwa persepsi adalah “suatu proses
yang dilakukan oleh para individu untuk mengorganisasikan dan
menafsirkan kesan-kesan indra mereka agar memberi makna
kepada lingkungannya mereka”. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengarui persepsi seseorang adalah; pelaku persepsi sendiri
yang menyangkut dengan sikap, motifasi, kepentingan, pengalaman
dan pengharapan, faktor target, yang menyangkut hal baru, ukuran,
latar belakang dan kedekatan dan faktor situasi yang menyangkut
waktu dan keadaan sosial.3

(Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Manfaat), (Semarang: Aneka
Ilmu, 2003) hlm. 18.
3
Stephan P. Robbins, Organizational Behavior, terj. Hayana Pujatmaka
(……1996) hlm. 160

194 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


C. Hubungan Pekerjaan Orang Tua Dengan Pendidikan Anak
Menurut pendapat Hernstein yang dikutip oleh Endah
Prameswari4 mengatakan, bahwa pekerjaan orang tua (ayah)
merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi
terbentuknya lingkungan keluarga yang dapat mendorong prestasi
pendidikan anak-anak mereka. Dalam kaitannya dengan prestasi
belajar, pendapat Hernstein ini seringkali dikaitkan pula dengan
suatu asumsi mengenai pengaruh status sosial keluarga, dilihat
dari pekerjaan ayah terhadap IQ atau kemampuan intelgensi anak-
anak mereka. Hasil penelitian Walter yang dikutip oleh Endah
Prameswari, menemukan kaitan antara pekerjaan ayah dan tingkat
IQ anak-anak mereka yang beranjak dewasa, memperlihatkan
bahwa semakin rendah pekerjaan (status sosial) ayah semakin
rendah pula IQ putra mereka. Karena untuk menduduki pekerjaan-
pekerjaan tertentu memang dituntut adanya kemampuan
akademis, tingkat intelegensi (IQ dan keterampilan tertentu dari
individu tersebut).

D. Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak


William J Goode,5 seorang tokoh sosiologi pendidikan,
mengemukakan bahwa keberhasilan atau prestasi yang dicapai siswa
dalam pendidikannya sesungguhnya tidak hanya memperlihatkan
mutu dari institusi pendidikan saja. Tapi juga memperlihatkan
“keberhasilan” keluarga dalam memberikan anak-anak mereka
persiapan yang baik untuk keberhasilan pendidikan yang dijalani.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, keluarga menjadi
institusi terkuat yang dimiliki oleh masyarakat manusia. Karena
melalui keluargalah masyarakat memperoleh kemanusiaannya.
Menurut John Locke yang dikutip oleh Endah Prameswari6
mengemukakan bahwa posisi pertama di dalam mendidik seorang
individu terletak pada keluarga. Melalui konsep tabularasa lebih
lanjut John Locke menjelaskan bahwa individu adalah ibarat
sebuah kertas yang bentuk dan coraknya tergantung kepada orang

4
Endah Prameswari, Peran Keluarga dalam Pendidikan Taruna di
Akademi TNI-AL, dalam T.O Ihromi, (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) hlm. 69.
5
Ibid. 80
6
Ibid. 67-68

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 195


tua (keluarga) bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak
bayi. Melalui pengasuhan, perawatan dan pengawasan yang terus
menerus, diri serta kepribadian anak dibentuk. Dengan nalurinya,
bukan dengan teori, orang tua mendidik dan membina anaknya.
Dengan harapan agar nasib anak-anaknya kelak menjadi baik.
Lewat proses sosialisasi, seorang individu menghayati,
nilai-nilai, norma dan aturan yang dianut oleh kelompok di mana
ia berada. Akhirnya, anak yang ibarat kertas putih tadi akan
menjadi diri yang unik. Artinya, anak memiliki seperangkat sikap,
nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan, maksud, pola reaksi
dan konsep yang mendalam dan konsisten tentang dirinya sesuai
dengan latar belakang budaya, status sosial keluarga maupun
perannya dalam keluarga.
Sedangkan menurut Orstein dan Levin yang dikutip oleh
Endah Prameswari,7 persiapan yang dilakukan oleh orang tua bagi
keberhasilan pendidikan anaknya antara lain ditunjukkan dalam
bentuk perhatian terhadap kegiatan pelajaran anak di sekolah dan
menekankan arti penting pencapaian prestasi oleh anak. Di samping
itu orang tua juga merasa perlu untuk menghadirkan pribadi sukses
yang dapat dijadikan teladan bagi sang anak.
Pendapat di atas didukung pula oleh pendapat Benjamin
Spock yang dikutip oleh Endah Prameswari,8 dengan penjelasannya
bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat
dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka. Orang tua, yaitu
ayah dan ibu, pada umumnya merupakan teladan bagi anak-anak
mereka yang berlainan jenis. Artinya, seorang ayah adalah teladan
bagi anak laki-lakinya sebaliknya dengan sang ibu.

E. Hubungan Keharmonisan Orang Tua dengan Anak Sebagai


Motifasi Keberhasilan Pendidikan Anak-anak Mereka.
Menurut Horowirz, Suparlan, dan Eitzin yang dikutip
oleh Evelyn Sulaeman mengatakan, secara umum kehadiran anak
dalam keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan
orang tua dari segi psikologis, ekonomis, dan sosial. Dalam
pandangannya ada sembilan faktor yang menunjang terhadap hal
itu, yaitu: Pertama, anak dapat lebih mengikat tali perkawinan.

7
Ibid. 68
8
Ibid. 68

196 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan
melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga
dapat mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka
merasakan pengalaman bersama anak mereka. Kedua, orang tua
merasa lebih mudah dengan membayangkan masa muda mereka
melalui kegiatan anak-anaknya. Ketiga, anak merupakan simbol
yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan
ini, orang tua sering menemukan kebahagian diri mereka dalam
anak-anak mereka mulai dari kepribadian, sifat, nilai, dan tingkah
laku yang diturunkan lewat anak-anak. Keempat, orang tua
memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak. Kelima,
anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian. Keenam,
anak dapat meningkatkan status seseorang, dalam kehidupannya
di masyarakat. Ketujuh, anak merupakan penerus keturunan.
Kedelapan, anak merupakan pewaris harta pusaka. Kesembilan,
anak juga mempunyai nilai ekonomis yang penting.9
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Elizabeth B. Hurlock
yang dikutip oleh Su’adah bahwa pola sosialisasi orang tua dengan
anak ada tiga pola, yaitu; Pertama; sikap otoriter. Dalam pola otoriter
ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan
yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan
hukuman. Sedikit sekali bahkan tidak pernah memberikan pujian
pada anak-anaknya ketika melakukan suatu tindakan tertentu.
Tingkah laku anak dikekang dan tidak ada peluang bagi anak untuk
melakukan tindakannya sendiri, kecuali harus sesuai aturan yang
sudah ditetapkannya. Orang tua tidak pernah mendorong anaknya
bagaimana mereka harus melakukan tindakan sendiri, tapi yang
terjadi adalah bagaimana anak harus berbuat. Dengan demikian anak
tidak bisa mengendalikan perbuatannya. Kedua; sikap demokratis.
Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan-alasan
yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk
mematuhi suatu aturan. Orang tua banyak menekankan pada aspek
pendidikan ketimbang aspek hukuman. Apabila anak melakukan
tindakan sesuai dengan ketentuan orang tua memberikan pujian.
Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang berusaha untuk
9
Even Sulaeman, Hubungan-Hubungan dalam Keluarga, dalam T.O.
Ihromi, (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1999) hlm. 106-107.

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 197


menumbuhkan kontrol dari dalam diri anak itu sendiri. Ketiga;
sikap permisif. Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan
setiap tingkah laku anak, dan tidak memberikan hukuman kepada
anak. Pola ini ditandai oleh sikap orang tua yang membiarkan anak
mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-
batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan
baru oarang tua bertindak. Pada pola ini pengawasan sangat
longgar.10

F. Potret Sosial Kemasyarakatan Desa Wedung


1. Geografi dan Demografi Desa Wedung
Desa Wedung termasuk wilayah Kecamatan Wedung,
Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah. Desa ini termasuk kategori
desa pantai atau pesisir, terletak sebelah Barat Desa Ngawen, sebelah
Selatan Desa Buko, sebelah Utara Desa Mbetawalangan kecamatan
Bonang dan termasuk desa perbatasan Kabupaten Demak dengan
pantai atau laut. Jarak Desa Wedung dengan Kecamatan Wedung
0,5 km dalam perjalanan sekitar 0,25 Jam, jarak dari Kabupaten
Demak 15 km, lama tempuh dalam perjalanan ke kabupaten sekitar
0,5 Jam dan kendaraan umum ke kabupaten yang paling mudah
yaitu, minibus.11
Desa Wedung jarak dengan pantai sekitar 0,5 km, bentang
wilayah termasuk daerah datar, ketinggian dengan laut sekitar 1
mld, curah hujan rata-rata 2000 mm, jumlah bulan hujan dalam
satu tahun rara-rata 6 bulan dan suhu rata-rata harian sekitar 32
C.12 Desa Wedung terdiri atas delapan dusun, yaitu Dusun Kauman
ada 4 RW dan 10 RT, Dusun Bandengan ada 2 RW dan 9 RT, Dusun
Gribikan ada 1 RW dan 4 RT, Dusun Sabetan Timur ada 1 RW dan
5 RT, Dusun Sabetan Barat ada 2 RW dan 8 RT, Dusun Peleben ada
1 RW dan 5 RT. Enam dusun tersebut berada dekat kelurahan dan
dekat dengan kecamatan. Sedangkan dua dusun berada ditepi
pantai, jarak antara dua dusun tersebut dengan kantor desa atau
kelurahan sekitar 5 Km, transportasi yang dilalui setiap hari liwat
sungai, dengan transportasi perahu, sedangkan darat bisa dilalui
10
Saudah, Sosiologi Keluarga, Malang, (Malang: UMM Press, 2003) hlm.
55-56.
11
( Daftar Isian Potensi Desa, 2005: 6).
12(
Daftar Isian Potensi Desa, 2005 : 6).

198 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dengan kendaraan roda dua, namun jalannya setapak, dengan
kondisi corcoran swadaya masyarakat sendiri. Dusun tersebut,
yaitu Tambak Seklenting ada 1 RW dan 4 RT dan dusun Gojoyo ada
2 RW dan 7 RT.13
Luas Desa Wedung 648,542 ha. Luas tersebut terdiri dari
sawah irigasi ½ teknis 73,691 ha, sawah tada hujan 63,300 ha,
tambak 337 ha, pemukiman 63, 251 ha dan fasilitas umum terdiri
dari, kas desa 108 ha, lapangan 2 ha, perkantoran pemerintah 0,5
ha dan sarana lain 0,8 ha. Dengan kondisi tanah, sebagian besar
warnanya hitam, teksturnya berupa lempung, kedalaman sekitar
0,5 m dan tidak ada kandunag berharga di dalamnya, misalnya
emas, pasir dan timah.14
Di desa tersebut musim kemarau berlangsung mulai bulan
Mei hingga Oktober dan musim hujan mulai bulan Nopember hingga
April setiap tahunnya. Hujan hanya berlangsung sekitar selama 133
hari pertahun dengan curah hujan berkisar antara 98 mm-2000
mm. Curah hujan yang tergolong sedikit ini, menjadikan kawasan
desa tadi memiliki suhu udara yang sangat tinggi, khususnya ketika
musim kemarau. Kondisi tersebut, bagi penduduk yang bermukim
di kawasan pantai, tidak menjadi persoalan serius karena mereka
masih dapat menetralisasi suhu udara yang sangat tinggi dengan
arus angin laut yang sangat deras datang dari arah laut.15
Jika musim hujan tiba, pasang air laut naik cukup tinggi,
bisa naik kedataran sejauh 0,5 Km, namun tidak sampai masuk
rumah yang ada di dekat pantai, karena air pasang tersebut masuk
ketambak dan kadang-kadang bisa menenggelamkan tambak, yang
akhirnya menjadikan masyarakat petani tambak pusing, juga akan
mengalami kerugian yang cukup tinggi, karena ikan yang ditanam
seperti bandeng, udang windu dan yang lain akan lari kelaut.16

G. Gambaran Pendidikan Bagi Masyarakat Wedung


Warga masyarakat Desa Wedung yang belum sekolah tersebar
di delapan dukuh adalah sejumlah 804 orang, rata-rata usianya
sekitar satu tahun sampai liama tahun. Warga yang usiannya tujuh

13
(Sumber Sekdes, 28-9-2007) .
14
(Daftar Isian Potensi Desa, 2005 : 5).
15(
wawancara Muzaed, 26-9-2007).
16
(Wawancara, Mujazin, 26-9-2007).

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 199


tahun sampai 47 tahun yang tidak pernah sekolah itu, kebanyakan
warga yang mata pencaharian sehari-hari sebagai pekerja nelayan,
ada sebagian sekitar 10% dari jumlah 84 yang pekerjaannya
sebagai petani sawah dan petani tambak. Sedangkan warga yang
pernah sekolah SD tapi tidak tamat ini, pada usia sekarang sekitar
dua belas tahun sampai dua puluh tahun kebanyakan berada pada
masyarakat Desa Wedung yang berada ditepi pantai yaitu dukuh
Tambak Seklenting dan tambak Gojoyo, untuk usia diatas dua
puluh tahun sampai hampir tujuh puluh tahun kebanyakan berada
di enam dukuh yang berada di dekat kelurahan atau dukuh yang
jauh dari pantai, tapi pekerjaan orang tuanya rata-rata sebagai
nelayan.
Adapun masyarakat di desa tersebut, yang dapat meneruskan
ke SLTP sekitar 30 % dari julah 2813 berada di dukuh Tambak
Seklentin Tambak Gojoyo, selebihnya sekitar 70 % dari 2813 orang
berada di enam dukuh yang berada dekat kelurahan. Masyarakat
yang melanjutkan SLTA dan tamat dengan jumlah 1426 jiwa
sekitar 20 % berada di dua dukuh tepi pantai dan selebihnya 80%
berada di enam dukuh yang dekat dengan kelurahan. Sedangkan
yang dapat meneruskan sampai keperguruan tinggi rata –rata pada
masyarakat yang berada di dukuh yang dekat kelurahan hampit
95 %dan 5 % selebihnya berada di dua dukuh yang berada ditepi
pantai. Semua warga yang bisa melanjutkan keperguruan tunggi
rata-rata pekerjaan orang tuanya adalah tani sawah, tani tambak,
dan pengusaha, sekitar 96% berada pada dukuh yang berada
di dekat kelurahan. 4% berada di dua dukuh yang berada ditepi
pantai, yaitu dukuh Tambak Seklenting dan dukuh Tambak Gojoyo.
Sedangka sarana pendidikan di Desa Wedung sebagaimana tercantu
dalam tabel di bawah ini.
Tabel :1
Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Wedung
NO Jenis Sekolah Jml Sekolah Jml Murid Jml Guru
1 TK 3 186 6
2 SD dan MI 6 805 86
3 SLTP 1 203 21
4 SLTA 1 1.036 48
Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Wedung, (2005: 16-17)

200 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Tabel. 2
Mata Pencarian Utama Masyarakat Wedung
NO JENIS PEKERJAAN JUMLAH
1 Petani Sawah dan Tambak 283 Orang
2 Buruh Tani 539 Orang
3 Buruh /swasta 471 Orang
4 Pegawai Negeri 114 Orang
5 Pengrajin ---
6 Pedagang 897 Orang
7 Peternak 102 Orang
8 Nelayan 2.154 Orang
9 Monter ----
10 Dokter 2 Orang
11 Wiraswasta 2.832 Orang
Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Wedung, (2005: 13)

Dari 29 responden yang pekerjaannya sama yaitu nelayan,


bisa dikategorikan kelompok masyarakat miskin di desa tersebut.
Sedangkan faktor yang menyebabkan mereka pada posisi miskin,
dalam penelitian ini menemukan lima faktor yang menyebabkan
kemiskinan mereka, yaitu : Pertama, pendapatan para nelayan
tersebut, bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya tidak
menentu. Di samping itu pendapatannya juga tergantung pada musim
dan status nelayan itu sendiri, mereka sebagai juragan apa sebagai
buruh yang hanya melakukan perahunya para juragan. Dengan
demikian mereka sangat sulit untuk merencanakan penggunaan
pendapatan mereka dan sulit mengakumulasikan modal atau
menabung. Penghasilan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya setiap hari, bahkan tidak bisa mencukupinya, akhirnya
mereka banya yang hutang pada bank kridit dan kadang-kadang
menjual prabot rumah tangga yang laku dijual, untuk memenuhi
kebutuhan makan keluarganya.
Kedua, para nelayan tersebut, dilihat dari segi pendidikannya
sangat rendah bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali secara
formal, sehingga mereka merasa kesulitan mencari pekerjaan di luar
pekerjaan nelayan. Ketiga, para nelayan tersebut, jika dihubungkan
pada sektor ekonomi lebih bersifat ekonomi tukar-menukar, karena
produk yang mereka hasilkan bukan produk makanan pokok.
Bahkan cepat busuk, maka mereka secepatnya menjual agar segera
mendapatkan uang, akibatnya mereka banyak tergantung pada

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 201


tengkulak, bahkan sering harga dimainkan oleh para tengkulak.
Keempat, para nelayan di desa tersebut, banyak yang menggunakan
peralatan penagkapan ikan yang sangat sederhana, bahkan rata-
rata mereka sebagai nelayan kecil atau nelayan tepi pantai, tidak
pada armada besar yang berada di laut dalam. Di samping itu,
mereka ada yang melakukan perahunya para juragan dengan bagi
hasil 50% untuk juragan dan 50 % dikurangi biaya oprasional
seperti bensin, solar dan sebagainya, sisanya baru dibagi para
anggota sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Sehingga
penghasilan mereka relatip sedikit. Kelima, dalam keluarga nelayan
tersebuat beban tanggungan keluarga sangat banyak, rata-rata
dalam satu keluarga mempunyai anak lebih dari empat, di samping
itu dalam keluarga kurang andil langsung dalam produksi, karena
sering ikan hasil tangkapan saat itu segera dijual, tidak ada yang
memberdayakan keluarga untuk mengolah ikan hasil tangkapan
menjadi produk yang bisa dijual mahal, misalnya diawetkan atau
dibuat produk lain.
Faktor-faktor tersebut, muncul berbagai problem,
diantaranya problem pendidikan pada anak-anak mereka.
Sedangkan pendidikan anak keluarga nelayan yang peneliti jadikan
responden adalah sebagai berikut:
Dari 29 keluarga nelayan yang peneliti jadikan responden,
kebanyakan anak-anaknya hanya lulus SD, ada yang belum lulus SD,
bahkan banyak yang tidak tamat SD. Faktor yang mempengaruhi
ketidak berhasilan pendidikan anak-anak keluarga tersebut adalah
faktor pekerjaan orang tua dan penghasilan yang tidak menentu.
Hal ini, kalau di bandingkan dengan anak-anak keluarga yang
penghasilanya tidak hanya nelayan yaitu, tani tambak tentunya ada
perbedaan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden 30
keluarga yang memiliki pekerjan menetap yaitu tani tambak.
Keluarga tersebut dilihat dari kelas sosial termasuk kategori
kelas menengah. Perbedaan kelas sosial antara keluarga yang
pekerjaannya nelayan dan keluarga yang pekerjaannya tani tambak,
perbedaan kondisi pekerjaan dan kondisi kehidupan dalam
keluarga, akan mempengaruhi pola atau bentuk hubungan orang
tua anak dalam preses sosialisasi tentang pendidikan anak-anak
mereka. Perbedaan tersebut bisa dilihat dalam uraian di bawah

202 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


ini.
Pendidikan dari keluarga yang pekerjaannya tani tambak,
rata-rata bisa lulus SD bahkan ada yang bisa melanjutkan kejenjang
yang lebih tinggi. Ada yang sampai SLTP, ada yang bisa sampai SLTA
dan ada juga yang bisa menyelesaikan sampai keperguruan tinggi
sampai lulus. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan pendidikan
anak-anak keluarga yang pekerjaannya tani tambak dengan
penghasilan pasti, akhirnya banyak yang bisa menyelesaikan
pendidikannya. Sebaliknya bagi keluarga yang pekerjaannya
nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu banyak yang gagal
sekolahnya, ada yang sekolah, tapi maksimal hanya lulus SD.

H. Peran Keluarga Nelayan di Desa Wedung Terhadap


Pendidikan Anak-anak Mereka.
Hasil wawancara dengan anak masyarakat Desa Wedung
yang berhasil, mereka mengatakan: Pertama, mereka mengatakan
faktor yang mendorong keberhasilan belajarnya adalah figur dari
ayah mereka, orang tua mereka terutama ayah merupakan faktor
yang mendorong mereka melanjutkan sekolah sampai keperguruan
tinggi. Kedua, kondisi yang turut mencetak mereka berhasil meraih
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan bisa berhasil menyelesaikan
kuliahnya. Dikatakan oleh mereka, “ prestasi yang kami peroleh
bukanlah semata-mata hasil usaha kami sendiri, tetapi dukungan
keluarga yang selalu turut berperan penting dalam keberhasilan
sekolah kami”.
Dari penjelasan tersebut, ada dua hal yang sangat penting
untuk dijabarkan dalam penjelasan ini. Pertama, status sebagai
putra tokoh masyarakat, kedudukan ayahnya secara tidak langsung
menumbuhkan dorongan baginya untuk dapat berprestasi baik
dalam pendidikannya. Kedua, pencapaian prestasi dan keberhasilan
pendidikannya bukan hanya diharapkan oleh diri pribadi dan orang
tua saja. Tetapi juga pihak ketiga, yaitu anggota keluarga dalam hal
ini jumlah saudara yang banyak juga mendorong keseriusan dalam
belajar.
Ada alasan lain yang dikatakan oleh, yaitu: Pertama,
memang adanya dorongan dari orang tua. Kedua, hal ini dikatakan
oleh mereka lebih penting, yaitu “adanya dorongan dari diri sendiri
ingin lebih baik dari ayahnya dalam hal pendidikan”. Bisa dikatakan

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 203


untuk mencari status lebih tinggi dan mencari penghasilan yang
lebih layak dibanding orang tuanya. Hal ini, dalam pandangan para
sosiolog, dikatakan sebagai mobilitas sosial (sosial mobility). Atau
lebih tepat lagi dikatakan vertical mobility, yaitu perpindahan status
sosial seseorang dari posisi tertentu ketingkat yang lebih tinggi.

I. Hubungan Keharmonisan Orang Tua Keluarga Nelayan


di Desa Wedung Terhadapa Anak-anak Mereka sebagai
Motivasi Keberhasilan Pendidikan Anak-anak Mereka.
Dalam penelitian ini, menemukan beberapa pola hubungan
orang tua dan anak yang berdampak dengan adanya pembagian
kerja. Banyak bantuan yang dilakukan olen anak di desa tersebut
setelah orang tuanya sudah lanjut usia, dalam praktek dilapangan
yang peneliti lihat bahwa anak perempuan lebih banyak membantu
orang tuanya dibanding anak laki-laki. Ada dua alasan kenapa hal
itu bisa terjadi. Pertama, baik ibu maupun bapak di masyarakat
tersebut percaya bahwa anak perempuan secara alamiah
mempunyai sifat merawat, karena yang terjadi di masyarakat
tersebut anak perempuan tugasnya adalah mengasuh adik-adiknya
sebelum mereka menikah dan setelah mereka menikah tugasnya
adalah merawat anak-anaknya, melayani suami dan merawat orang
tuanya baik orang tuanya sendiri maupun oarang tua dari suami
yang sudah lanjut usia. Kedua, wanita di desa tersebut kebanyakan
tidak mencari nafkah, kebanyakan mereka berada dirumah. Kalau
ada yang ikut mencari nafkah seperti dagang atau jadi bakul ikan,
hal itu hanya mereka lakukan setengah hari, maka disitu yang
menjadi alasan kenapa wanita lebih banyak mengurus oarang
tuanya yang sudah tua, karena mereka dianggap punya waktu lebih
banyak. Dalam kenyataannya anak laki-laki di masyarakat tersebut
yang sudah berumah tangga juga banyak yang waktunya masih
luang, karena pada umumnya mereka juga bekerja setengah hari,
namun mereka gunakan tidur atau kongko-kongko.
Hubungan orang tua dengan anak yang di uraikan oleh
peneliti di atas hanya membahas fungsi anak terhadap orang tua.
Sedankan fungsi orang tua kepada anak-anaknya lebih bersifat
sebagi bentuk rasa tanggung jawab orang tua kepada anak-anak
mereka. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan hubungan orang
tua dengan anak-anak mereka di Desa Wedung biasanya berkaitan

204 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


dengan pembiayaan sekolah anak-anak mereka ada yang hanya
sampai SD, ini rata-rata yang ada, ada yang sampai SLTP, SLTA
bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Di samping itu, bantuan
orang tua yang diberikan kepada anak-anaknya adalah membiayai
pernikahan anak-anak mereka, bahkan ada yang memberikan
tumpangan tempat tinggal bersama jika anak belum mempunyai
tempat tinggal sendiri, ada yang dilakukan oleh orang tua, yaitu
berusaha membuatkan rumah buat anak-anak mereka yang layak
dihuni, ada yang memberikan subsidi uang buat kebutuhan harian
bagi anak yang belum bekerja, dan ada yang dijadikan titipan cucu
ketika orang tuanya pergi kerja keluar kota atau keluar negeri.
Hubungan antara orang tua dengan anak yang terjadi di
desa tersebut ada beberapa faktor, yaitu adanya kedekatan tempat
tinggal, karena kebanyakan anak-anak mereka tempat tinggalnya
berdekatan dengan orang tuanya, berujung pada bantuan uang
dan jasa tenaga. Faktor yang lain yang mempengaruhi hubungan
adalah lamanya menumpang pada orang tua dalam pernikahan,
jenis kelamin anak, kelas sosial, kesepakatan antara ibu dan bapak
dalam keluarga tersebut dan adanya persamaan budaya dalam
perkawinan.

J. Makna Pendidikan bagi Anak dalam Pandangan Masyarakat


Wedung Kecamatan Wedung Kabupaten Demak
Perbedaan persepsi dan pemaknaan pendidikan bagi anak
menurut keluarga nelayan di Desa Wedung karena ada beberapa
faktor yang mempengaruhi, yaitu; Pertama, faktor yang ada
pada diri masyarakat itu sendiri (faktor internal) hal ini meliputi
adanya perbedaan sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman dan
harapan para masyarakat Wedung terhadap pendidikan anak-anak
mereka. Kedua, faktor yang berkaitan dengan situasi masyarakat
tersebut, dalam hal ini, paling tidak berkaitan dengan waktu
periode generasi satu dengan generasi lainnya berbeda, perbedaan
keadaan usia, jenis kelamin dan jumlah tanggungan dalam keluarga
dan perbedaan keadaan sosial meliputi pada pendidikan orang tua,
status sosial dan pekerjaan sehari-hari. Ketiga, faktor pada target
yang akan dicapai oleh masyarakat Wedung tentang pendidikan
anaknya tidak sama, dalam hal ini menyangkut hal baru yang
diinginkan terhadap anak-anaknya berbeda, ukuran yang dipakai

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 205


untuk mencapai keberhasilan pendidikan anak-anaknya tidak sama
dan kedekatan antara anak dengan orang tua antara keluarga satu
dengan keluargalainya berbeda. Dari tiga faktor yang membentuk
persepsi atau pemaknaan tentang pendidikan pada anak-anaknya
berbeda-beda, akan mempengaruhi cara sosialisasi orang tua
kepada anak-anaknya berkaitan dengan pendidikan.
Ada beberapa ketegori sosialisai yang dilakukan oleh
orang tua nelayan di desa tersebut terhadap anak-anaknya, paling
tidak ada dua bentuk kategori, yaitu; Pertama, sosialisasi yang
berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan cara represif.
Kedua, sosialisasi yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi.
Sosialisasi pertama lebih menitik beratkan pada hukuman kepada
anak jika prilakunya salah dan yang kedua lebih menitik beratkan
pada pemberian imbalan kepada anak yang baik.
Kelas sosial dalam keluarga masyarakat Wedung secara
keseluruhan dapat ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan
dan penghasilannya setiap hari. Melihat fenomena yang ada pada
masyarakat Wedung, maka kelas sosialnya bisa dikategorikan
menjadi empat kelas, yaitu; Pertama, “lower class” adalah pekerja
manual yang tidak memiliki keterampilan seperti buruh tani, dan
buruh melakukan perahu orang lain. Kedua, “working class” adalah
pekerja manual yang memiliki keterampilan seperti penjahit, sopir
dan petani tambak. Ketiga, “middle class” pegawai profesional
seperti PNS dan guru baik negeri maupun swasta. Keempat, “elitte
class” adalah orang yang memiliki kekayaan dari orang tua yang
latar belakang keluarganya kaya.
Namun, dalam penelitian ini hanya mengambil dua
kelas, yaitu working class (kelas pekerja) dan middle class (kelas
menengah) yang berada di dua dukuh yaitu Tambak Seklenting
dan dukuh Tambak Gojoyo, diambil dari tingkat kelas keluarga
yang pekerjaannya nelayan dan keluarga yang pekerjaannya
tani tambak. Sedangkan nilai-nilai yang di miliki oleh dua kelas
tersebut, bagi orang tua dari kelas pekerja nelayan mempunyai
nilai-nilai tradisonal, lebih menekankan pada kebersihan, kerapian,
kepatuhan dan menghormati orang dewasa. Menginginkan anaknya
sesuai dengan aturan atau patokan yang diberikan dari luar, dan
takut melakukan sesuatu kalau salah dinilai oleh oarang lain. Nilai
kejujuran merupakan sifat yang diciptakan untuk memberikan

206 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


kepercayaan pada orang lain. Dengan demikian hubungan yang
ditekankan pada keluarga nelayan adalah kepatuhan, hukuman
diberikan pada anaknya secara langsung kalau anaknya tidak
patuh, tanpa melihat sebabnya dan sering berupa hukuman fisik.
Misalnya, ketika anak diajak melaut tidak mau, anak disuruh cari
ikan beralasan dan anak disuruh beli rokok menuda-nunda, maka
dimarahi habis-habisan bahkan kadang dipukul.
Bagi keluarga yang pekerjaannya setiap hari tani tambak,
orang tua mempunyai nilai developmental atau membangun,
menghendaki anaknya bersemangat dalam belajar, mencintai dan
terbuka pada orang tua, gembira serta mau bekerja sama dalam
keluarga. Lebih memperhatikan dinamika yang ada dalam diri sianak
(dinamika internal). Jadi anak bertindak karena suatu tindakan
yang dilakukan itu benar. Dan nilai-nilai kejujuran merupakan sifat
asli tidak dibuat-buat. Sedangkan hubungan orang tua dengan anak
lebih bersifat horizontal. Dalam memberikan hukuman pada anak
biasanya dilihat dulu seberapa jauh kesalahan anak mereka, sering
memberi peringatan sebelum menghukum dan hukumannya
biasanya tidak berupa fisik, misalnya dikurangi jajan sekolahnya.
Dari dua kelas tersebut, faktor yang membedakan adalah
perbedaan dari kondisi pekerjaan, orang nelayan adalah pekerjaan
berat, menuntut tenaga keras dan keberanian, di samping itu rata-
rata mereka pendidikannya rendah bahkan banyak yang tidak
sekolah, maka membentuk karakter yang keras. Sedangkan bagi
petani tambak ada unsur pekerjaan yang menjanjikan dan bisa
memunculkan perasaan tawakal. Disamping itu mereka banyak
yang berpendidikan, maka munculnya adalah perilaku sabar dan
toleran.
Berkaitan dengan hubungan orang tua dengan anak-anak
mereka di Desa Wedung yang berujung pada bantuan, dalam hal ini,
dapat dilihat sebagai hubungan ketergantungan anak kepada orang
tua, atau bisa dikatakan sebagai hubungan saling ketergantuan
antara anak dengan orang tua atau orang tua dengan anak, paling
tidak ada dua alasan, yaitu : Pertama, orang tua berharap bila
mereka membutuhkan bantuan anak akan menolong mereka.
Kedua, menolong anak yang dilakukan oleh orang tua merupakan
kepuasan secara emosional.

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 207


K. Kesimpulan
Gambaran pendidikan bagi anak-anak di Desa Wedung
sangat bervariasi. Jika dibandingkan antara anak yang berada di
enam dukuh yang dekat kelurahan dan dua dukuh yang berada di
tepi pantai, yaitu Dukuh Tambak Seklenting dan Dukuh Tambak
Gojoyo, maka pendidikan anak yang berada di dua dukuh sangat
tertinggal. Di Dukuh Tambak Gojoyo hanya terdapat sarana
pendidikan SD yang berdiri sejak Tahun 80 bagi SD dan Tahun
81 bagi SD yang berada di Tambak Seklenting. Kendala lain yang
dihadapi dari wilayah tersebut adalah jarak tempuh sekolah yang
sangat jauh. Mayoritas anak-anak harus ke darat yaitu kekelurahan
atau kecamatan, sementara trasportasi yang mereka lalui harus
melalui sungai dengan naik perahu dengan perjalanan 5 km, sekitar
satu setengah jam perjalanan. Perjalanan darat dapat dilalui namun
bisa ditempuh dengn rute perjalanan setapak dan kondisinya sangat
rusak, karena itu belum layak disebut jalan darat, sebab jalan itu
sebenarnaya jalan tambak yang dipasang cor dengan swadaya
masyarakat.
Berkaitan dengan makna pendidikan bagi anak-anaknya
menurut masyarakat Wedung, kebanyakan mereka rata- rata
berpendapat ingin anaknya bisa sekolah, bisa baca tulis,
berpengalaman dan bisa bekerja tidak nelayan seperti yang sudah
dijalaninya. Dan kebanyakan mereka ingin anaknya supaya seperti
anak-anak tetangganya yang berhasil, ada yang jadi guru, ada yang
jadi dosen dan ada yang jadi pengusaha berhasil. Namun ketika
dikejar pertanyaan lebih lanjut tentang upaya yang dilakukan untuk
mencapai cita-cita supaya anaknya berhasil dalam pendidikan, rata-
rata mereka pesimis, dengan tingginya biaya sekolah dan jumlah
anak yang banyak. Namun demikian mereka masih punya harapan
salah satu anaknya yang dijago harus sekolah terus, rata-rata orang
tua punya penilaian terhadap anaknya yang cerdas, harapannya
untuk menupang besuk kalau sudah tua dan bisa membantu
saudara-saudaranya. Hal ini, kalau dikejar dengan pertanyaan lebih
lanjut berkaitan dengan persiapan untuk anak yang dijagonya,
nampaknya rata-rata juga ada keraguan, akhirnya jawaban yang
muncul terakhir, yaitu yang penting tingkah lakunya baik besok
kau sudah besar dinikahkan. Di desa tersebut hampir 40 % anak
dinikahkan oleh orang tuanya, bagi perempuan sekitar umur 15-17

208 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


tahun, bagi laki-laki rata-rata sekitar 17-20 tahun. Ini, nampaknya
keluarga berusaha secepatnya mengurangi beban tanggung jawab
keluarga, karena jumlah anak dalam satu keluarga rata-rata di atas
lima.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa pekerjaan orang
tua akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan anak-anaknya,
bagi anak bisa melanjutkan pendidikannya lebih tinggi kebanyakan
ditupang dengan pekerjaan orang tua yang sudah mapan
misalnya, tani tambak, sebaliknya banyak anak yang tidak bisa
melanjutkan sekolah atau gagal dalam mencapai pendidikannya
kebanyakan ditupang oleh keluarga yang pekerjaan orang tuanya
atau penghasilanya tidak menentu, yaitu nelayan. Di samping itu,
banyak keluarga yang memberi pendidikan pada anaknya kurang
adil dalam satu keluarga, ada yang Sarjana, ada yang SLTA, ada yang
SLTP, dan ada yang SD bahkan ada yang tidak sekolah, sekalipun
orang tuanya pekerjaannya mapan, yaitu, mempunyai tambak.
Faktor dominan yang menjadikan pendidikan dalam satu keluarga
tidak merata, yaitu jumlah anak terlalu banyak dan penghasilan
sehari-hari tidak bisa mencukupi semua pendidikan anak-anaknya
secara ideal. Karena dalam satu keluarga rata-rata anaknya lima ke
atas.

Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 209


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsita, 1988.


Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta,
2005.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Adi, Isbandi Rukminto, Psikologi Pekerjaan Sosial dan Ilmu
Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994.
Mudzar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Kurdi, Abdulrahman Abdulkadir, Tatana Sosial Islam Studi
Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
Azizi A. Qadri A., Pedidikan Agama Untuk Membangun Etika
Sosial(Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan
Bermanfaat), Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Teori
Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
2003.
Saudah, Sosiologi Keluarga, Malang: UMM Press, 2005.
Prameswari, Endah, “Peran Keluarga dalam Pendidikan Taruna
di Akademi TNI-AL (AAL)”, dalam T.O. Ihromi, (ed),
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999.
Sulaeman, Even, “Hubungan-hubungan dalam Keluarga”, dalam T.O.
Ihromi, (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Robbins, Stephan P., Organizational Behavior, terj., Hadyana
Pujatmaka, 1996.
Daftar Isian Potensi Desa Wedung, 2005.

210 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012


Makna Pendidikan bagi Anak Menurut Keluarga Nelayan... (Shobirin) 211

Anda mungkin juga menyukai