Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan salah satu cara mencerdaskan kehidupan generasi muda. Dimana
masalah mengenai pendidikan merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan dimasa yang akan datang diperlukan
suatu upaya dalam memperbaiki kualitas pendidikan untuk menciptakan generasi yang
berkopetensi dalam menghadapi tantangan tersebut. Permasalahan saat ini merupakan
penerapan pembelajaran yang kurang sesuai dengan tujuan awal belajar yang sudah disepakati
dimana kurangnya para pelajar dalam memahami lingkungan dan diri sendiri. Teori - teori
belajar sejauh ini telah menekankan peranan lingkungan dan factor-faktor kognitif dalam
proses belajar mengajar.
Teori humanistic memandang tujuan belajar adalah kemanusiaan. Dimana proses belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya serta dirinya sendiri. Siswa dalam
proses belajar harus berupaya dalam pengembangannya mampu mencapai aktualisasi diri
sebaik-baiknya. Teori belajar humanistik berupaya untuk memahami perilaku belajar dari
sudut pandang pelakunya bukan dari yang mengamatinya, dengan tujuan utama membantu
siswa dalam mengembangkan potensi setiap siswa yang ada dalam dirinya. Membantu masing-
masing individu mengenal dirinya sebagai manusia yang berciri khas serta membantu
mewujudkan potensi yang ada.
Teori ini sangat jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi bagaimana siswa – siwa
berpikir dan bertindak, teori –teori tersebut juga jelas-jelas dipengaruhi dan diarahkan oleh arti
pribadi dan perasaan – perasaan yang mereka ambil dari pengalaman belajar serta bersifat
abstrak dan lebih mendekati bidang filsafat, kepribadian, dan psikologi.
Ada beberapa alasan yang melatar belakangi pembuatan makalah ini karena dalam
penerapan teori humanistic masih sangat jarang terutama pada tingkat sekolah menengah atas.
Apabila penerapan dari teori ini sudah maksimal dapat memungkinkan siswa berperan aktif
dalam proses belajar, dan mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru
dan juga siswa mampu memecahkan suatu permasalahan. Dapat meningkatkan pengalaman
baru karena dalam penerapannya siswa lebih suka terlibat dalam memecahkan permasalah dan
juga mereka lebih cenderung berfikir terbuka dan mudah diajak berdialog.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana langkah – langkah penerapan teori belajar humanistik?
2. Bagaimana implikasi teori humanistik menurut para ahli?
3. Bagaimana penerapan teori humanistik dalam pembelajaran?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui langkah – langkah penerapan teori belajar humanistik.
2. Mengetahui implikasi teori belajar humanistik menurut para ahli.
3. Mengetahui penerapan teori belajar humanisti dalam pembelajaran.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cara penerapan teori belajar humanistik dalam pembelajaran.


Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dengan praktis. Teori ini
dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada
bidang pendidikan, sehingga sukar meterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang
lebih konkret dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan
manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen
pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut Semua komponen pendidikan
termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia
yang dicita- citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Maka sangat
perlu diperhatikan bagaimana peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya,
pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik
individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran,
baik itu metode atau model pembelajarannya. Karena seseorang akan dapat belajar dengan
baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan yang
secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Teori humanistik akan membantu pendidik
dalam memahami arah belajar, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks
manapun akan selalu diarahkan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini
masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan
operasional, tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru
untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam
menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan
materi, pemilihan strategi pembelajaran. serta pengembangan alat evaluasi, ke arah
pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut Kegiatan pembelajaran yang dirancang
secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran
yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan
ditentukan, serta pengalaman pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja
berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa(Rogers dalam Snelbecker, 1974), Hal
tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna
bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa
akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learnin) Dalam prakteknya teori
humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan
pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar,
Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-
langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-
langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan(2001) dapat
digunakan sebagai acuan. Langkah langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengidentifikasi kemampuan awal (entry behaviori) siswa.
4. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif
melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
6. Membimbing siswa agar belajar secara aktif.
7. Membimbing siswa agar memahami hakikat makna dari belajar.
8. Membimbing siswa untuk membuat konseptualisasi pengalaman belajar.
9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep baru ke situasi nyata.
10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

B. Implikasi teori belajar humanistik menurut para ahli.

Implikasi teori belajar humanistik menurut para ahli adalah sebagai berikut :

1. Abraham Maslow
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam
proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila
guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau
bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow,
guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum
memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di
bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau
tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau
ada masalah pribadi / keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.
2. Carl R. Rogers
Rogers Carl adalah ahli psikologi humanistik yang mempunyai ide-ide yang
mempengaruhi pendidikan dan penerapannya. Melalui bukunya yang sangat populer
freedom to learb and freedom to learb for the 80's, dia menganjurkan pendekatan
pendidikan sebaliknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih
personal, dan berarti.Pendekatan rogers dapat dimengerti dari prinsip-prinsip penting
belajar humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dari filsafat pendidikannya.
1. Keinginan untuk belajar ( the desire to learn)Roger percaya bahwa manusia secara
wajar mempunyai keinginan untuk belajar. Keinginan ini dapat mudah dilihat
dengan memperhatikan keingintahuan yang sangat dari seorang anak ketika dia
menjelahi (meng-explore) lingkungan. Keingintahuan anak yang sudah melekat
atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang penting untuk
pendidikan humanistik. Dalam kelas yang menganut pandangan humanistik, anak
diberi kebebasan untuk memuasakan keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat
mereka yang tak bisa dihalangi, untuk menemukan diri mereka sendiri. Serta apa
yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka. Orientasi ini
sangat berlawanan dengan kelas tradisional, dimana guru atau kurikulum
menentukan apa yang harus siswa pelajari
2. Belajar secara signifikan (significant learning)Dalam prinsip belajar humanistik
yang kedua, rogers telah mengidentifikasi bahwa belajar secara signifikan terjadi
ketika belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Kita
membicarakan pandangan combs bahwa belajar dibagi menjadi dua proses yang
meliputi perolehan dari informasi baru dan menurut selera siswa. Jika siswa belajar
dengan baik dan palinh cepat, humanis menganggap ini adalah belajar secara
signifikan.Contoh dari jenis belajar ini tidak sulit untuk ditemukan. Pikiran siswa
yang belajar dengan dengan cepat untuk menggunakan komputer agaf bisa
menikmati permainan, atau siswa yang cepat belajar untuk menghitung uang
kembaliannga ketika membeli sesuatu. Kedua contoh tadi menunjukkan bahwa
belajar mempunyai tujuan dan kenyataan dimoyivasu oleh kebutuhan untuk tahu.
3. Belajar tanpa ancaman (learning without threat)Prinsip lain yang diidentifikasi oleh
rogers ialah bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai
suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa
dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat
kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan .
4. Belajar atas inisiatif sendiri (self-initiated learning)Untuk teori humanistik, belajar
akan paling signifikan dan meresap ketika belajar itu atas inisiatifnya sendiri, dan
ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar sendiri. Dengan memilih
pengarahan dari orang yang sedang belajar sendiri, akan memberi motivasi tinggi
dan kesempatan kepada siswa untuk belajar bagaimana belajar. Penguasaan mata
pelajaran tidak diragukan lagi pentingnya, tetapi tidak lebih penting daripada
kemampuam untuk menemukan sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis,
dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri dengan memusatkan perhatian siswa
pada program belajar hasilnya amat baik.Belajar dengan inisiatif sendiri juga
mengajar siswa untuk mandiri dan percaya diri. Ketika siswa belajar atas
inisiatifnya, mereka mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan,
pemilihan dan penilaian. Mereka lebih tergantung pada diri mereka sendiri dan
kurang tergantung pada penilaian orang lain.Dalam belajar atas inisiatif sendiri,
belajar juga harus melibatkan semua aspek seseorang, kognitif, dan afektif.Rogers
dan ahli humanistik lai menyebut ini sebagai whole-person learning. Ahli-ahli
humanistik percaya jika belajar adalah pribadi dan affective, maka belajar akan
membuat perasaan memiliki dari dalam siswa. Siswa akan merasa dirinya lebih
terlibat dalam belajar, lebih menyukai prestasi, dan paling penting lebih dimotivasi
untukterus belajar.
5. Belajar dan berubah (learning and change)Prinsip akhir bahwa rogers telah
mengidentifikasi bahwa belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang
proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set fakta
ilmu statistik dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk berubah dan apa yang
dipelajari disekolah cukup untuk memenuhi tuntutan waktu. Sekarang perubahan
adalah fakta hidup. Pengetahuan berada pada keadaan yang terus berubah secara
konstan. Belajar seperti waktu yang lalu Tidak cukup lama untuk memungkinkan
seseorang akan sukses dalam dunia modern. Apa yang dibutuhkan sekarang,
menurut rogers adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang
berubah.

Implikasi pengajaran dari sudut pandang rogers adalah Prinsip-prinsip belajar dan
sifat-sifat guru yang telah rogers identifikasikan sebagai pusat dari filsafat
pendidikannya, dan telah dimasukkan kedalam pendekatan, dia sebut sebagai
pendidikan yang berpusat pada diri pribadi sesorang (person-centered education). Dia
merasa bahwa pendekatan ini menghasilkan belajar yang akan lebih dalam dan dapat
diperoleh lebih cepat dan meresap dari pada belajar yang terhadi di bawah kelas yang
tradisional.Rogers, seperti banyak pendidik humanistik yang lain, tidak begitu
memperhatikan metodologi pengajaran. Nilai dari perencanaan kurikulum, keahlian
ilmiah guru, atau penggunaan teknologi tidak sepenting dalam memudahkan belajar,
seperti respon perasaan siswa atau mutu dari interaksi antara siswa dan guru. Walaupun
begitu, rogers (1983) merasa bahwa ada strategi pengajaran tertentu dan metode yang
membantu dalam mempromosikan belajar melalui teori humanistik.Satu strategi yang
disarankan Rogers adalah memberi siswa dengan berbagaj macam sumber yang dapag
mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumber-sumber dapat
meliputi materi pengajaran yang biasa seperti buku, bimbingan referensi, dan alat-apat
bantu listrik (misalnya kalkulator,komputer). Sumber dapat juga meliputi orang, seperti
anghota masyarakat yang mempunyai suatu bidang minat atau ahli yang bersedia
mengungkapkan pengalaman-pengalamnnya kepada siswa jika diperlukan.Strategi lain
yang disarankan Rogers adalah peer-tutoring siswa yang mengajar siswa lain.Banyak
bukti yang menunjukkan bahwa pengalaman ini berguna untuk keduanya, siswa yang
mengajar maupun yang diajar.Akhirnya Rogers adalah penganjur yang kuat pada
penemuan dan penyelidikan, dimana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang
riil, membuat penemuan yang autonomous (bebas), dan menjadi pencetus dalam
belajar atas inisiatif sendiri.

3. Arthur Combs
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak
adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat
dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru
mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-
murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru
tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain,barangkali murid-murid akan
berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).
Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu
diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Adalah keliru
jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun
dengan
rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan
pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan
pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah
bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid
memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni
apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan
mereka, guru boleh bersenang hati bahwa missinya telah berhasil. Semakin jauh hal-
hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi
diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-
hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap
seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh
murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.
4. Aldous Huxley
Huxley (Roberts, 1975) menekankan adanya pendidikan non-verbal yang juga
harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan non verbal bukan berwujud pelajaran senam,
sepak bola, bernyanyi ataupun menari, melainkan hal-hal yang bersifat diluar materi
pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang. Proses pendidikan
non verbal seyogyanya dimulai sejak usia dini sampai tingkat tinggi. Betapapun, agar
seseorang bisa mengetahui makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus
membekali dirinya dengan suatu kebijakan hidup, kreativitas dan mewujudkannya
dengan langkah-langkah yang bijaksana. Dengan cara ini seseorang akan mendapatkan
kehidupan yang nikmat dan penuh arti. Berbekal pendidikan non verbal, seseorang
akan memiliki banyak strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena
memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan lebih
menarik. Akhirnya apabila setiap manusia memiliki kemampuan ini, akan menjadi
sumbangan yang berarti bagi kebudayaan dan moral kemanusiaan.
5. David Mills dan Stanley Scher
Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan dipelajari
secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari fakta-fakta dan teori-teori.
Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu pengetahuan selalu melibatkan elemen-
elemen afektif yang meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi
dan imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan
lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills dan Stanley Scher (Roberts,
1975) mengajukan konsep pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang
mengikutsertakan afeksi atau perasaan murid dalam belajar. Pendekatan terpadu atau
confluent approach merupakan sintesa dari Psikologi Humanistik –khususnya Terapi
Gestalt- dan pendidikan, yang melibatkan integrasi elemen-elemen afektif dan kognitif
dalam proses belajar. Elemen kognitif menunjuk pada berpikir, kemampuan verbal,
logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual, sedangkan elemen afektif menunjuk
pada perasaan, caracara memahami yang melibatkan gambaran visual-spasial, fantasi,
persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan lain-lain. Tujuan umum dari pendekatan
ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam
menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal
dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam
pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan
kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid untuk belajar
sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang
masuk akal bagi pikiran mereka, dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan
untuk halhal yang bisa ditangani oleh murid sendiri. Lebih jauh, David Mills dan
Stanley Scher memaparkan tujuan pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut
:
1. Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan, termasuk
penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun afektif.
2. Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali dan
mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang
ilmiah.
3. Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide
dalam ilmu pengetahuan.
4. Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi yang
mungkin dari ilmu pengetahuan.
5. Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun pengetahuan
ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran murid terhadap
dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil.

Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil
yang lebih efektif dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para
siswa merasa lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role
playing dan game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan sebagai
astronot.

C. Penerapan teori belajar humanistik dalam pemberajaran.

Penerapan teori belajar humanistik dalam pembelajran adalah sebagai berikut:

1. Open Education atau Pendidikan Terbuka


Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar
mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing. Ciri utama dari proses ini
adalah lingkungan fisik kelas yang berbeda dengan kelas tradisional, karena murid
bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini
mensyaratkan adanya pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang
memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik,
ketrampilanketrampilan atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat memberikan
petunjuk untuk mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat
partisipasi dan kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru (Rumini,
1993). Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :
a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya berbagai macam bahan
yang diperlukan untuk belajar harus ada. Murid tidak dilarang untuk bergerak
secara bebas di ruang kelas, tidak dilarang bicara, tidak ada pengelompokan atas
dasar tingkat kecerdasan.
b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka. Guru menangani
masalah-masalah perilaku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan
murid yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersama-sama mendiagnosis
peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid memeriksa pekerjaan mereka sendiri,
guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
d. Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes maupun tugas.
e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid dan
membuat catatan dan penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes
formal.
f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti guru
boleh menggunakan bantuan orang lain termasuk rekan sekerjanya.
g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar yang
membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu. Perlu untuk diketahui, bahwa
penelitian tentang efektivitas model ini menunjukkan adanya perbedaan dengan
proses pendidikan tradisional dalam hal kreativitas, dorongan berprestasi,
kebebasan dan hasil-hasil yang bersifat afektif secara lebih baik. Akan tetapi dari
segi pencapaian prestasi belajar akademik, pengajaran tradisional lebih berhasil
dibandingkan poses pendidikan terbuka ini.
2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif.
Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan
berprestasi murid. Dalam prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :
a. Murid bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4 – 6 orang anggota), dan
komposisi ini tetap selama beberapa minggu.
b. Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat
akademik dan melakukannya secara berkelompok.
c. Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.
3. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid
menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka
sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek maupun
metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), mencakup siapa
yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari
sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara
mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah dilaksanakan (Lowry, dalam Harsono,
2007). Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat atau
level perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di
sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu
proses belajar. Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya
dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari peserta. Agar
tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan pendidik, perlu dilakukan
negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007).
Perancangan pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk
membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung
jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan
pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan
membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses pembelajaran.
4. Student Centered Learning atau Belajar yangTerpusat pada Siswa.
Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi
pembelajaran yang menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta
bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan
mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system
dukungan social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling
efektif dan diharapkan menjadi life-long learner dan memiliki jiwa entrepreneur.
Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam system
pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi (Harsono, 2007). Dengan SCL mahasiswa
memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan
rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun pengetahuan dan
mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses
pembelajaran yang bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual.
Adapun metode-metode SCL antara lain :
a. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Prinsip metode ini adalah mahasiswa belajar dari dan dengan
teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan secara penuh
bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai (Afiatin, 2007)
b. Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)
Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan
proses yang aktif. Mahasiswa mengasimilasi informasi dan menghubungkannya
dengan pengetahuan baru melalui kerangka acuan pengetahuan sebelumnya.
Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka wawasan para
mahasiswa untuk secara aktif berinteraksi dengan temannya. Di sini mahasiswa
akan mendapatkan keuntungan lebih jika mereka saling berbagi pandangan yang
berbeda dengan temannya (Afiatin, 2007).
Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya
komunikasi dan saling bertukar informasi, yang akan memudahkan mahasiswa
menciptakan kerangka pemikiran dan pemaknaan terhadap hal yang dipelajari.
Mahasiswa ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika menghadapi
perbedaan perspektif dan memerlukan suatu kemampuan untuk dapat
mempertahankan ide-idenya. Dengan demikian melalui proses ini mahasiswa
belajar menciptakan keunikan kerangka konseptual masing-masing dan secara aktif
terlibat dalam proses membentuk pengetahuan.
c. Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif)
Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi mahasiswa saling berkompetisi
dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara
individual maupun kelompok. Kompetisi individual berarti mahasiswa
berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi
sebelumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerjasama
kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi (Afiatin,2007).
d. Case Based Learning (Pembelajaran Berdasar Kasus)
Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi mahasiswa untuk menguasai
konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata. Dalam hal ini analisis kasus yang
dikuasai tidak hanya berdasarkan common sense melainkan dengan bekal materi
yang telah dipelajari. Pada akhirnya metode ini memfasilitasi mahasiswa untuk
berkomunikasi dan berargumentasi terhadap analisis suatu kasus (Afiatin, 2007).

Pada intinya, pembelajaran dengan SCL sangat bertentangan dengan proses


pembelajaran konvensional yang cenderung Teacher Centered Instruction, yakni
proses pembelajaran yang mengandalkan guru atau dosen sebagai sentralnya. Di sini
nampak aplikasi dari aliran humanistik, yang sangat ‘memanusiakan’ peserta didik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Langkah-langkah pembelajaran menurut Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat
digunakan sebagai acuan. Langkah langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
b. Menentukan materi pelajaran
c. Mengidentifikasi kemampuan awal (entry behaviori) siswa.
d. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif
melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
e. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
f. Membimbing siswa agar belajar secara aktif.
g. Membimbing siswa agar memahami hakikat makna dari belajar.
h. Membimbing siswa untuk membuat konseptualisasi pengalaman belajar.
i. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep baru ke situasi nyata.
j. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

 Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses
belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru
menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau
bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar.
Implikasi pengajaran dari sudut pandang rogers adalah Prinsip-prinsip belajar dan sifat-
sifat guru yang telah rogers identifikasikan sebagai pusat dari filsafat pendidikannya,
dan telah dimasukkan kedalam pendekatan, dia sebut sebagai pendidikan yang berpusat
pada diri pribadi sesorang (person-centered education).
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya
kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari
adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru
mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-
murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru.
Huxley (Roberts, 1975) menekankan adanya pendidikan non-verbal yang juga harus
diajarkan kepada siswa. Pendidikan non verbal bukan berwujud pelajaran senam, sepak
bola, bernyanyi ataupun menari, melainkan hal-hal yang bersifat diluar materi
pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang.
David Mills dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep pendidikan
terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau perasaan murid
dalam belajar.

 Penerapan teori belajar humanistik dalam pembelajran adalah sebagai berikut:


1. Open Education atau Pendidikan Terbuka
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas
belajar mereka sendiri.
2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif.
Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan
berprestasi murid. Dalam prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga
karakteristik.
3. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi
subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri
secara bertanggung jawab.
4. Student Centered Learning atau Belajar yangTerpusat pada Siswa.
Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran
yang menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab
atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu
mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system
dukungan social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang
paling efektif dan diharapkan menjadi life-long learner dan memiliki jiwa
entrepreneur.
3.2 Saran
Demi kesumpurnaan makalah ini, penyusun sangat mengharapkan kritikan dan
saran yang bersifat menbangun kearah kebaikan demi kelancaran dan kesumpurnaan
penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih,C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Rachmahana, Ratna Syifa’a. 2008. Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.

Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 1. No. 1. Hal: 99-114

Anda mungkin juga menyukai