Laporan Pendahuluan
Laporan Pendahuluan
Carpenito, Lynda Juall. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Keliat, Budi Anna. 2006. Proses Keperawatan Dan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Yosep. 2009. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama.
I. KASUS ( MASALAH UTAMA)
WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat/terus–menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat dan Akemat,
2010)
Waham adalah keyakinan terhadap suatu yang salah dan secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal. (Stuart dan sundeen,1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tiak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Kenyataan ini
berasal dari pemikiran klien klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI,
2000).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waham adalah suatu
keyakinan yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan tetapi tetap
dipertahankan.
D. Fase – Fase
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1. Fase Of Human Need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi
pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya
klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga
klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara
realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2. Fase Lack Of Self Esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya.
3. Fase Control Internal External
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang
sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap
penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan
alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase Envinment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan
dosa saat berbohong.
5. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan
menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
E. Mekanisme Koping
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik
terhadap orang, tempat, waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya akurat.
Pengendalian implus pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat adanya
rencan bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan pada orang lain.
Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali dengan adanya riwayat
penyakit berupa kerusakan pada bagian korteks dan libik otak. Bisa dikarenakan
terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya perubahan
emosional seseorang yang tidak stabil. Bila berkepanjangan akan menimbulkan
perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan.
Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi ketidakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respon lingkungan kurang mendukung
terhadap perilakunya dimungkinkan akan timbul risiko perilaku kekerasan pada
orang lain.
Direja . (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
Keliat dan Akemat. (2010). model praktik keperawatan profesional jiwa.
Jakarta : EGC
Yosep. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama
KASUS (MASALAH UTAMA)
HARGA DIRI RENDAH
C. Mekanisme Koping
Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip oleh Anna Budi Keliat, 1998,
mekanisme koping pada pasien dengan gangguan konsep diri menjadi 2 yaitu :
1. Koping jangka pendek
a. Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari kasus.
b. Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan mengganti identitas
sementara.
c. Aktifitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara terhadap
konsep diri atau identitas yang kabur.
d. Aktifitas yang memberi arti dalam kehidupan.
2. Koping jangka panjang
Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka
panjang. Penjelasan positif akan menghasilkan identitas dan keunikan
individu.
D. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Fitria,N.2009. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan & Strategi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosa. Jakarta : Salemba Medika.
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC 4.
Wilkinson,J. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
I. KASUS (MASALAH UTAMA )
Isolasi Sosial
A. Pengertian
Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan
dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan
negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam ruangan,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak mata.
Ketidaksesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan perkembangan atau
terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan yang tidak
bermakna. Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang ditimbulkan oleh
orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain, merasa tidak aman
ditengah orang banyak. (Mary C. Townsend, Diagnose Kep. Psikiatri, 1998; hal 252).
B. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga
dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang
terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam
keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari
lingkungan (Stuart and Sundeen, 1995).
Perilaku Kekerasan
Bunuh diri
↓
Resiko bunuh diri
↓
Isolasi sosial
↓
Harga diri rendah kronis
Brunner dan suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Ernawati,Dalami,dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta
: Trans Info Medika.
Keliat Anna Bdi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC
Surya, herman, Ade. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Gangguan sensori persepsi : HALUSINASI
A. Pengertian
Menurut Direja, 2011 halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan internal. Klien memberikan persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata
Halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan
tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran
adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara–suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu (Stuart, 2007).
Disimpulkan halusinasi adalah keadaan dimana pancaindra tidak dapat
membedakan rangsangan interna dan eksterna yang menimbulkan respons yang tidak
sesuai dengan jumlah (interpretasi yang datang).
D. Fase-fase
1. Fase pertama/comforting/menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami stress, gelisah, kesepian dan cemas. Dalam
keadaan seperti ini, klien mungkin melamun atau memfokuskan pikiran pada hal
yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini
menolong untuk sementara waktu. Klien masih mampu mengontrol kesadarnnya
dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika
sedang asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
2. Fase kedua/comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa
bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien
merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya
dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
3. Fase ketiga/controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi
terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai
dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan
tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase keempat/conquering/panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan
orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia
yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini
menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap
perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
E. Rentang Respon
F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart & Sundeen,1998,hal 33). Mekanisme
koping merupakan upaya langsung dalam mengatasi stres yang berorientasi pada
tugas yang meliputi upaya pencegahan langsung, mengurangi ancaman yang ada.
Mekanisme koping yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah
regresi yaitu berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, klien jadi malas beraktifitas sehari-hari. Proyeksi yaitu
upaya untuk menyelesaikan kehancuran persepsi dan mencoba menjelaskan
gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau suatu
benda. Denial adalah menghindari kenyataan yang tidak diinginkan dengan
mengabaikan dan mengakui adanya kenyataan ini.