Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (masalah utama)


Defisit Perawatan Diri
A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan aktifitas perawatan diri secara mandiri
(Tarwoto dan Wartonah,2000).
Personal hygene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, dan kurang perawatan diri
adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk melakukan perawatan
kebersihan untuk dirinya (Poter Perry, 2005).
Syndroma kurang perawatan diri adalah keadaan dimana individu
mengalami suatu kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif yang menyebabkan
penurunan kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktifitas diri
yang meliputi makan, mandi, berdandan dan instrumental (Carpenito, 2000).

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya defisist perawatan diri dan
yang sangat berpengaruh terhadap kondisi klien adalah faktor perkembangan dimana
keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu. Faktor biologis dimana penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri. Disamping itu ada faktor sosial yang
menyebabkan klien kurang mendapat dukungan dan latihan kemampuan perawatan
diri di lingkungannya, situasi lingkungan mempengaruhi letihan kemampuan dalam
perawatan diri. Selanjutnya faktor kemampuan realitas turun, dimana klien dengan
gangguan jiwa dan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
B. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya
motivasi, kerusakan kognitif atau preseptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes, 2009 : 59 : faktor-faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah :
1. faktor body image
Dimana gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya. Dan
2. faktor sosial
Dimana pada masa anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Faktor sosial ekonomi
Dimana personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, odol,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Faktor pengetahuan
Dimana pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting karena
pengetahan yang baik dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien
diabetes melitus harus menjaga kebersihan kuku kakinya.
5. Faktor budaya
Dimana sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu maka tidak boleh
dimandikan.
6. Faktor kebiasaan sesorang
Dimana ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan dirinya seperti penggunaan sabun,dll. Selanjutnya
7. faktor kondisi fisik atau psikis
Dimana pada keadaan tertentu atau sakit, kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan orang lain.
C. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri
1. Kurang perawatan diri: mandi atau kebersihan adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktifitas mandi atau kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri: mengenakan pakaian atau berhias adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktifitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri: makan adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktifitas makan.
4. Kurang perawatan diri: toileting adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktifitas toileting sendiri (Nurjannah,2004:79).
D. Rentang Respon
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri
sendiri adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar
mandi yang dekat dan tertutup.
E. Mekanisme Koping
1. Regresi adalah kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri
khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
2. Penyangkalan
3. Isolasi diri atau menarik diri adalah pemisahan unsur emosional dari suatu
pikiran yang mengganggu yang dapat bersifat sementara atau dalam waktu yang
lama.
4. Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan berlebihan untuk
menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya.
III. A. Pohon Masalah

Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri



Isolasi sosial

Defisit perawatan diri : mandi, berdandan

Harga diri rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data yang dikaji


1. Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Data Subjektif
1) Klien mengatakan dirinya malas mandi, tidak mau menyisir rambut,
tidak mau menggosok gigi dan tidak mau memotong kuku.
2) Klien mengatakan juga tidak mau berhias, tidak mau menggunakan alat
mandi atau kebersihan diri.
b. Data Objektif
1) Klien tampak kotor, rambut kotor
2) Badan bau
3) Pakaian kotor
4) Kuku kaki dan kuku tangan panjang dan kotor
5) Mulut bau
6) Gigi kotor
7) Penampilan tidak rapih

IV. Diagnosa Keperawatan


Defisit Perawatan Diri
V. Rencana Tindakan Keperawatan
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Keliat, Budi Anna. 2006. Proses Keperawatan Dan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Yosep. 2009. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama.
I. KASUS ( MASALAH UTAMA)
WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat/terus–menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat dan Akemat,
2010)
Waham adalah keyakinan terhadap suatu yang salah dan secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal. (Stuart dan sundeen,1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tiak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Kenyataan ini
berasal dari pemikiran klien klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI,
2000).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waham adalah suatu
keyakinan yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan tetapi tetap
dipertahankan.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya waham, yaitu faktor
perkembangan, sosial budaya, psikologis dan genetik.
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan
gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosi tidak efektif. Seseorang yang merasa diasingkan dan
kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham. Hubungan yang tidak harmonis,
peran ganda atau bertentangan, dapat menyebabkan timbulnya ansietas dan
berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan. Waham diyakini terjadi karena
adanya atrofi otak.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya waham adalah faktor sosial budaya, biokimia, dan
psikologis.
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok. Dopamin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menyebabkan terjadinya waham pada seseorang. Kecemasan yang memanjang
dan terbatasnya kemampuan unstuck mengatasi masalah sehingga klien
mengembangkan koping unstuck menghindari kenyataan yang menyenangkan.
C. Jenis Waham
1. Waham Kebesaran
Individu menyakini bahwa ia memiliki kebebasan atau kekuasaan khusus
dan diucapkan berulang kali.
2. Waham Curiga
Individu menyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan / mencederai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan.
3. Waham Agama
Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
4. Waham Somatik
Individu menyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
5. Waham Nihilistik
Individu menyakini bahwa dirinya sudah tidak ada didunia / meninggal
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

D. Fase – Fase
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1. Fase Of Human Need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi
pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya
klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga
klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara
realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2. Fase Lack Of Self Esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya.
3. Fase Control Internal External
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang
sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap
penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan
alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase Envinment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan
dosa saat berbohong.
5. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan
menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
E. Mekanisme Koping
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik
terhadap orang, tempat, waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya akurat.
Pengendalian implus pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat adanya
rencan bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan pada orang lain.
Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali dengan adanya riwayat
penyakit berupa kerusakan pada bagian korteks dan libik otak. Bisa dikarenakan
terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya perubahan
emosional seseorang yang tidak stabil. Bila berkepanjangan akan menimbulkan
perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan.
Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi ketidakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respon lingkungan kurang mendukung
terhadap perilakunya dimungkinkan akan timbul risiko perilaku kekerasan pada
orang lain.

F. Rentang Respon Neurologik


Respon Adaptif Respon Maladaptif
Pikiran logis Proses pikir Gangguan proses pikir:Waham

III. A. POHON MASALAH

Kerusakan komunikasi verbal

Gangguan proses pikir: Waham

Harga diri rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah keperawatan yang mungkin muncul:
a. Gangguan proses pikir : waham
2. Data yang perlu dikaji
a. Subjektif:
a) Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat
b) Klien mengatakan bahwa dirinya memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus
b. Objektif:
a) Klien terlihat terus ngocehtentang pemahaman yang dimilikinya
b) Pembicaraan klien cenderung diulang
c) Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Setelah pengkajian dilakukan dan data subjektif dan objektif sudah ditemukan
pada pasien, diagnosa yang dapat ditegakkan adalah Gangguan Proses Pikir :
Waham.
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Direja . (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
Keliat dan Akemat. (2010). model praktik keperawatan profesional jiwa.
Jakarta : EGC
Yosep. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama
KASUS (MASALAH UTAMA)
HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA )


A. Pengertian
Gangguan konsep diri adalah suatu keadaan negatif dari perubahan
mengenai perasaan, pikiran atau pandangan tentang dirinya sendiri yang negatif.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi diri yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk kondisi tidak
sehat mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain
terutama kesehatan jiwa. Gangguan harga diri rendah biasanya digambarkan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya
diri dan harga diri karena gagal mencapai keinginan (Budi Ana Keliet, 2010).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung harga diri rendah
meliputi penolakan dan kurangnya penghargaan diri dari orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis, orang tua yang tidak benar, membenci dan tidak
menerima akan mempunyai keraguan atau ketidakpastian, kegagalan yang
berulangkali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada
orang lain dan ideal diri yang tidak realistis, gagal mencintai dirinya dan
menggapai cinta orang lain, misalnya karena orangtua tidak percaya pada
anaknya, tekanan dari teman, dan kultur sosial yang berubah.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi munculnya harga diri rendah meliputi trauma seperti
penganiayaan seksual dan psikologis atau penyiksaan kejadian yang
mengancam kehidupan seperti kehilangan bagian tubuh, perubahan aturan,
bentuk dan penampilan fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal, adanya kegagalan yang mengakibatkan produktifitas
menurun. Selain itu faktor presipitasi lain yaitu ketegangan peran berhubungan
dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi.
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak
aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari
lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak
mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif
dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat
melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman
tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman
tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan
mengaburkan realitas dari pada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan
diri dengan kenyataan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin kesulitan
yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.

C. Mekanisme Koping
Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip oleh Anna Budi Keliat, 1998,
mekanisme koping pada pasien dengan gangguan konsep diri menjadi 2 yaitu :
1. Koping jangka pendek
a. Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari kasus.
b. Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan mengganti identitas
sementara.
c. Aktifitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara terhadap
konsep diri atau identitas yang kabur.
d. Aktifitas yang memberi arti dalam kehidupan.
2. Koping jangka panjang
Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka
panjang. Penjelasan positif akan menghasilkan identitas dan keunikan
individu.
D. Rentang Respons
Respons Adaptif Respons Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan Depresionalisasi


Diri Positif Rendah Identitas
Keterangan :
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif
dair dirinya.
3. Harga diri rendah adalah individu cendrung untuk menilai dirinya negatif dan
merasa lebih rendah dari orang lain.
4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depresionalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.

III. A. POHON MASALAH


Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

Gangguan Citra Diri


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI
1. Masalah Keperawatan
a. Harga diri rendah
2. Data Yang Perlu Dikaji
a. Data Subyektif :
1) Mengkritik diri sendiri atau orang lain
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Perasaan lemah dan takut
5) Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
6) Pengurangan diri / mengejek diri sendiri
7) Hidup yang berpolarisasi
8) Ketidakmampuan menentukan tujuan
9) Mengungkapkan kegagalan pribadi
10) Merasionalisasikan penolakan
b. Data Obyektif :
1) Produktifitas menurun
2) Perilaku destruktif pada diri sendiri dan orang lain
3) Penyalahgunaan zat
4) Menarik diri dari hubungan sosial
5) Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
6) Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
7) Tampak mudah tersinggung / mudah marah
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga Diri Rendah
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Fitria,N.2009. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan & Strategi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosa. Jakarta : Salemba Medika.
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC 4.
Wilkinson,J. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
I. KASUS (MASALAH UTAMA )
Isolasi Sosial
A. Pengertian

Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan
dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan
negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam ruangan,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak mata.
Ketidaksesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan perkembangan atau
terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan yang tidak
bermakna. Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang ditimbulkan oleh
orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain, merasa tidak aman
ditengah orang banyak. (Mary C. Townsend, Diagnose Kep. Psikiatri, 1998; hal 252).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan
perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak
percayaorang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan meresa tertekan

B. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga
dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang
terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam
keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari
lingkungan (Stuart and Sundeen, 1995).

C. Rentang Respon Sosial


Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada dalam rentang respons
yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respons yang dapat
diterima
oleh norma – norma sosial dan budaya setempat yang secara umum berlaku, sedangkan
respons maladaptif merupakan respons yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah yang kurang dapat diterima oleh norma – norma sosial dan budaya setempat.
Respons sosial maladaptif yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari adalah
menarik diri, tergantung (dependen), manipulasi, curiga, gangguan komunikasi, dan
kesepian.

III. A. POHON MASALAH

Resiko Gangguan Sensori Persepsi :Halusinasi

Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DI KAJI


1. Masalah Keperawatan
Isolasi Sosial
2. Data Yang Perlu Di Kaji
Data Subjektif
1. KHASUS ( MASALAH UTAMA )
PERILAKU KEKERASAN

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau
marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
Perilaku kekerasan adalah prilaku yang ditandai dengan menyentuh orang lain
secara menakutkan, mengucapkan kata-kata ancaman, dan melukai pada tingkat
ringan dan paling berat atau merusak secara serius.(Budi Anna Keliat, 2002)
Disimpulkan perilaku kekerasan adalah perilaku dimana seseorang melakukan
tindakan yang membahayakan dirinya maupun orang lain sebagai akibat dari
perasaan jengkel yang timbul sebagai respon kekesalan atau kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman.
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
A. Faktor Predisposisi
Faktor perkembangan merupakan faktor hambatan perkembangan dan
mengganggu hubungan intrapersonal yang dapat meningkatkan stress dan
ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi, klien mungkin menekan
perasaan sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
Kemudian factor budaya yang tertutup dan membatas secara diam dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap prilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
prilaku kekerasan diterima. Sedangkan factor psikologis merupakan faktor
terjadinya kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu ditolak atau dihina dan dianiaya. Selain itu factor biologis juga akan
menyebabkan terjadinya kerusakan system limbik (pusat marah), lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan membrane transmitter turut berespon
terhadap terjadinya prilaku kekerasan .
B. Faktor presipitasi :
Faktor presipitasi adalah sebagai faktor pencetus terjadinya suatu
perilaku kekerasan.
Dapat bersumbar dari klien, lingkungan atau interaksi dari orang lain,
kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik) keputusasaan, ketidak
berdayaan, percaya diri yang kurang, dapat menjadi penyebab prilaku kekerasan
C. Mekanisme Koping :
Mekanisme koping yang sering digunakan pada klien dengan prilaku
kekerasan adalah :
1. Displacemen
Pengalihan emosi yang semula ditunjukkan pada seseorang atau benda
kepada orang lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam
jiwanya
2. Sublimasi
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimana suatu
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam
penyaluran secara normal
3. Proyeksi
Pengalihan unsur emosianal dari suatu pikiran yang menggangu dapat
bersifat sementara atau berjangka waktu
4. Persepsi
Mengesampingkan secara tidak sadar tentang suatu pikiran, impuls atau
ingatan yang menyakitkan atau bertentangan dari kesadaran seseorang
D. Rentang Respons :
Respons kemarahan dapat berfluktuasi sepanjang rentang respons adaptif dan
maladaptif

Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan:
1. Respons adaptif
Respon yang bisa diterima norma-norma sosial dan kebudayaan secara
umum yang berlaku, diantaranya :
a. Asertif (pernyataan) adalah respons marah dimana individu mampu
menyatakan atau mengungkapkan perilaku kekerasan rasa marah
(tidak setuju tanpa menyalahkan orang lain)
b. Frustasi adalah respons yang terjadi akibat individu gagal
mencapai tujuan kepuasan, rsa aman yang biasanya dalam keadaan
tersebut individu tidak menemukan alternative.
2. Respons maladaptif
Respon yang diberikan individu dalam menyelesaikan masalah yang
sudah menyimpang dari norma sosial dan kebudayaan , diantaranya :
a. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan prilaku kekerasan perasaan yang sedang dialami
untuk menghindari suatu tuntutan nyata.
b. Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan induvidu untuk menuntut sesuatu yang dianggap benar
dalam bentuk destruktif tetapi masih terkontrol.
c. Kekerasan (amuk) adalah respon atau perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol dimana individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkugan.

III. A. POHON MASALAH


Resiko Perilaku Kekeraan

Perilaku Kekerasan

Harga Diri Rendah


B.MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI:
1. Masalah Keperawatan:
Perilaku Kekerasan
2. Data yang dikaji
a. Data Subyektif :
1) Klien mengatakan pernah melakukan tindakan kekerasan
2) Klien mengatakan merasa orang lain mengancam
3) Klien mengatakan orang lain jahat
b. Data Obyektif :
1) Muka tampak merah
2) Mata melotot
3) Tegang saat berbicara
4) Nada suara tinggi
5) Sering mengepalkan tangan
6) Mengatupkan rahangnya
7) Jalan mondar mandiri
IV. Diagnosa Keperawatan
Prilaku kekerasan
V. Rencana Tindakan Keperawatan
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk.(2003).Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang. RSJD Dr. Amino


Gonohutomo.
Ernawati, Dalami.(2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa I.Jakarta :
Trans Info Media.
Keliat Budi Ana. (2010).Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen.(1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.).St.Louis Mosby Year Book.
Tim Direktorat Keswa.(2000).Standar Asuhan Keperawatan Jiwa,Edisi 1.Bandung: RSJP
Bandung.
I. Kasus (masalah utama)
Resiko Bunuh Diri
A. Pengertian
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien
untuk mengakhiri kehidupannya (Budi Anna Keliat,dkk,2009).
Usaha bunuh diri adalah tindakan yang merupakan bagian dari depresi
(kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan integritas tubuh atau status,
gambaran diri buruk) dan dapat dipandang sebagai tangisan untuk meminta
pertolongan dan intervensi (Brunner dan Suddarth, Edisi 8, 2002).
Pencederaan diri adalah aniaya diri, agresi yang diarahkan kepada diri
sendiri, membahayakan diri, cedera yang membebani diri dan mutilasi diri dengan
tujuan mengakhiri hidup (Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J.Sundeen, Edisi 3 , 2002).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku bunuh diri
merupakan tindakan dari depresi kehilangan yang merupakan tangisan untuk
meminta pertolongan, dengan tindakan yang agresif,merusak diri sendiri dan
bertujuan untuk mengakhiri kehidupannya.

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen,2011, faktor presdisposisi bunuh diri antara lain
faktor diagnostik dimana lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa.Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia. Faktor sifat kepribadian dimana ada tiga aspek
kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah rasa
bermusuhan, implisif dan depresi. Faktor lingkungan psikososial adalah seseorang
yang baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan bunuh diri. Faktor riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor resiko penting untuk perilaku destruktif. Faktor biokomia
menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik dan depominersik menjadi media
proses yang dapat menimbulkan perilaku destruktif diri.
B. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan bunuh diri adalah perasaan terisolasi
yang dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal melakukan
hubungan yang berarti. Faktor kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat
menghadapi stres. Faktor perasaan marah atau bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hukuman pada diri sendiri.
C. Jenis Resiko Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
- Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri
mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
- Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
- Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:

- Bunuh diri anomik


Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
- Bunuh diri altruistic
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
- Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
D. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptif
peningkatan pengambilan perilaku pencederaan bunuh diri
diri resiko yang destruktif-diri diri
meningkatkan tidak langsung
pertumbuhan
Keterangan:
1. Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh
seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai
loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2. Beresiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku
destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat
mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika
dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan
pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif)
terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal,
maka seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya
dan tidak optimal.
4. Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri
akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah segala usaha yang diarahkan untuk
menanggulangi stres. Usaha ini dapat berorientasi pada tugas yang meliputi usaha
pemecahan masalah langsung. Dari sudut kedokteran dapat dikemukakan bahwa
setidak-tidaknya orang yang hendak melakukan bunuh diri egoistik atau anomik
berada dalam keadaan patologis. Mereka semua sedang mengalami gangguan fungsi
mental yang bervarariasi dari yang ringan sampai yang berat karena itu perlu
ditolong. Pencegahan bunuh diri altruistik boleh dikatakan tidak mungkin kecuali
bila kebudayaan dan norma-norma masyarakat diubah.

III. A. Pohon Masalah

Bunuh diri

Resiko bunuh diri

Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

B. Masalah Keperawatan dan Data yang dikaji


1. Masalah Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
2. Data yang dikaji
a. Data Subyektif
1) Klien mengungkapkan ingin untuk bunuh diri
2) Klien mengungkaapkan keinginan untuk mati
3) Klien mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4) Klien sering berbicara tentang kematian, menanyakan dosis obat yang
mematikan
5) Klien mengungkapkan adanya konflik interpersonal
6) Klien mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat
kecil
7) Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga
b. Data Obyektif
1) Impulsif
2) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh)
3) Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis dan penyalahgunaan
alkhohol)
4) Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal)
5) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau kegagalan dalam
karier)
6) Status perkawinan yang tidak harmonis

IV. Diagnosa Keperawatan


Resiko Bunuh Diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Ernawati,Dalami,dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta
: Trans Info Medika.
Keliat Anna Bdi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC
Surya, herman, Ade. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Gangguan sensori persepsi : HALUSINASI
A. Pengertian
Menurut Direja, 2011 halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan internal. Klien memberikan persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata
Halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan
tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran
adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara–suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu (Stuart, 2007).
Disimpulkan halusinasi adalah keadaan dimana pancaindra tidak dapat
membedakan rangsangan interna dan eksterna yang menimbulkan respons yang tidak
sesuai dengan jumlah (interpretasi yang datang).

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Prediposisi
Pada pasien dengan halusinasi (Stuart and Lumala,1998) adalah faktor
perkembangan yaitu jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungn
interpersonal yang terganggu maka individu mengalami stres dan kecemasan. Dan
faktor sosio kultural di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakharmonisan sosial
budaya, hidup terisolasi dan stres yang menumpuk. Selanjutnya faktor biokimia yang
menyebabkan terjadinya pelepasan zat-zat halusinogen (bupatin dan simotil
transerase) yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses informasi dan
penurunan kemampuan menanggapi rangsangan.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi halusinasi (Stuart and Sundeen, 1998) adalah stressor
sosial dimana stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadinya penurunan
stabilitas keluarga, perpisahan dari orang sangat penting atau diasingkan oleh
kelompok masyarakat. Faktor biokimia dimana karena klien kurang berinteraksi
dengan kelompok lain, suasana terisolasi (sepi) sehingga dapat meningkatkan stres
dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat-zat halusigenik.
Kemudian masalah keperawatan yang menjadi penyebab munculnya halusinasi
antara lain adalah harga diri rendah dan isolasi sosial. Akibat kurangnya ketrampilan
berhubungan sosial, klien jadi menarik diri dari lingkungan. Dampak selanjutnya
klien akan lebih terfokus pada dirinya sendiri. Stimulus eksternal menjadi lebih
dominan dibandingkan dengan stimulus internal.
C. Jenis Halusinasi
1. Pendengaran (Auditorik)
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara yang
berbentuk kebisingan yang tidak begitu jelas, hingga klien berpendapat bahwa itu
membicarakan tentang dirinya, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua
orang. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar suara yang menyuruhnya
untuk melakukan hal yang berbahaya bagi dirinya.
2. Penglihatan (Visual)
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar
kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan yang di dapatkan klien dapat
berupa hal yang menyenangkan maupun menakutkan.
3. Penghidu/pembau (Olfactory)
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya
bau-bauan yang tidak menyenangkan.
4. Pengecapan (Gustatory)
Mengecap rasa itu bagaikan rasa seperti darah, urin ataupun feses. Bahkan
terasa sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Merasa
tersetrum listrik dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Cenesthetic/sinestik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine
7. Kinisthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak

D. Fase-fase
1. Fase pertama/comforting/menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami stress, gelisah, kesepian dan cemas. Dalam
keadaan seperti ini, klien mungkin melamun atau memfokuskan pikiran pada hal
yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini
menolong untuk sementara waktu. Klien masih mampu mengontrol kesadarnnya
dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika
sedang asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
2. Fase kedua/comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa
bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien
merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya
dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
3. Fase ketiga/controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi
terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai
dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan
tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase keempat/conquering/panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan
orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia
yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini
menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap
perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
E. Rentang Respon

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart & Sundeen,1998,hal 33). Mekanisme
koping merupakan upaya langsung dalam mengatasi stres yang berorientasi pada
tugas yang meliputi upaya pencegahan langsung, mengurangi ancaman yang ada.
Mekanisme koping yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah
regresi yaitu berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, klien jadi malas beraktifitas sehari-hari. Proyeksi yaitu
upaya untuk menyelesaikan kehancuran persepsi dan mencoba menjelaskan
gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain atau suatu
benda. Denial adalah menghindari kenyataan yang tidak diinginkan dengan
mengabaikan dan mengakui adanya kenyataan ini.

III. A. Pohon Masalah

Resiko Perilaku kekerasan



Gangguan sensori persepsi : Halusinasi

Isolasi Sosial : menarik diri

B. Masalah Keperawatan dan Data yang dikaji


1. Masalah Keperawatan
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
2. Data yang perlu dikaji
a. Data Subjektif
1) Klien mengatakan sering mendengar suara bisikan di telinga.
2) Klien mengatakan sering melihat sesuatu
b. Data Objektif
1) Klien tampak ketakutan
2) Klien tampak bicara sendiri
3) Klien tampak marah tanpa sebab
4) Klien kadang tertawa sendiri
5) Klien sering menyendiri
6) Klien tampak mondar-mandir

IV. Diagnosa Keperawatan


Gangguan sensori persepsi : Halusinasi

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito-Lynda Juall.1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC


Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan dan Keperawtan Kesehatan Jiwa.Jakarta : EGC
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai