Anda di halaman 1dari 37

SAP (SATUAN ACARA PENYULUHAN)

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS


PADA KLIEN DENGAN INTERNAL BLEEDING
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) - RSUD Dr. SOETOMO

Disusun oleh :
Haris Arganata NIM. 131813143044
Hafida Oktavia NIM.131813143013
Iftitakhur Rohmah NIM. 131813143075
Ika Lusdiana NIM. 131813143086
Indah Febriana N. NIM. 131813143059
Intan Rulinita Sari NIM. 131813143046
Irsa Alfiani NIM. 131813143002

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
PENYULUHAN KESEHATAN
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA KLIEN DENGAN INTERNAL BLEEDING
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) - RSUD Dr. SOETOMO

Sasaran : Keluarga Pasien di ROI RSUD Dr. Soetomo


Hari/Tanggal : Jum’at /12 April 2019
Tempat : Ruang Edukasi ROI RSUD Dr. Soetomo
Waktu : 10.00 - 10.30 WIB
Pelaksana : Mahasiswa Profesi Ners - Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga

I. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mendapat penyuluhan selama 30 menit, peserta penyuluhan dapat
mengetahui dan memahami materi terkait perdarahan dalam rongga perut
khususnya dalam penanganan pertama yang tepat.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mendapat penyuluhan kesehatan, peserta penyuluhan dapat:
1. Mengetahui tentang perdarahan dalam rongga perut
2. Mengetahui faktor risiko dan gejala klinis perdarahan dalam rongga
perut
3. Mengetahui komplikasi perdarahan dalam rongga perut
4. Mengetahui penanganan pertama yang tepat padam pasienperdarahan
dalam rongga perut
II. Sasaran
Keluarga pasien di Ruang Observasi Intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
III. Materi
1. Definisi perdarahan dalam rongga perut
2. Tanda dan gejalaperdarahan dalam rongga perut
3. Penyebabperdarahan dalam rongga perut
4. Penanganan pertama yang tepat pada pasienperdarahan dalam rongga perut
5. Akibat ketidaktepatan penangananpada pasienperdarahan dalam rongga
perut
IV. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
V. Media
1. Slide power point
VI. Setting Tempat
Peserta duduk berdampingan dengan tim penyuluhan

Keterangan :
: Penyuluh : Peserta
: Observer : Fasilitator
: Notulen

VII.Pengorganisasian
1. Pembimbing Akademik : Harmayetty, S.Kp., M.Kes.
2. Pembimbing Klinik :
3. Penanggung jawab : Ika Lusdiana, S.Kep.
4. Moderator : Iftitakhur Rohmah, S.Kep.
5. Penyuluh : Ika Lusdiana, S.Kep.
6. Fasilitator : Haris Arganata, S.Kep.
Hafida Oktavia, S.Kep.
Indah Febriana N., S.Kep.
7. Observer : Irsa Alfiani, S.Kep.
8. Notulen : Intan Rulinita Sari, S.Kep.
VIII. Job Description
No. Nama Sie Job Description
1. Moderator 1. Membuka dan menutup acara
2. Mengatur jalannya acara dari awal hingga akhir
3. Memperkenalkan diri dan tim penyuluhan
4. Menjelaskan kontrak waktu penyuluhan
5. Menggali pengetahuan peserta tentang materi yang akan
disampaikan

1. Penyuluh 1. Menyampaikan materi penyuluhan


2. Menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh peserta

2. Fasilitator 1. Membantu dan mengondisikan peserta selama penyuluhan


berlangsung
2. Meminta tanda tangan peserta yang hadir (absensi)
3. Membantu mengajukan pertanyaan untuk evaluasi hasil
4. Memfasilitasi peserta untuk aktif bertanya

3. Notulen 1. Mencatat pertanyaan peserta dan jawaban penyaji sebagai


dokumentasi kegiatan
2. Mencatat proses kegiatan penyuluhan disesuaikan dengan
rencana kegiatan pada SAP
3. Menyusun laporan dan menilai hasil kegiatan penyuluhan

4. Observer 1. Mengawasi dan mengevaluasi selama penyuluhan berlangsung


2. Mencatat situasi pendukung dan penghambat proses kegiatan
penyuluhan

5. PJ 1. Mempertanggungjawabkan terselenggaranya acara penyuluhan


2. Mengkoordinasi tim penyuluhan
IX. Pelaksanaan
No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1. 5 Pembukaan:
Menit 1. Mengucapkan salam 1) Menjawab salam
2. Memperkenalkan diri 2) Mengenal tim
3. Menjelaskan kontrak waktu dan topik penyuluh
penyuluhan 3) Mengetahui kontrak
4. Menjelaskan tujuan penyuluhan waktu dan topik
5. Menyebutkan materi penyuluhan yang penyuluhan
akan diberikan dan menggali 4) Mengerti tujuan dari
pengetahuan dasar mengenai materi penyuluhan
5) Tahu apa saja yang
akan disampaikan
2. 10 Pelaksanaan:
Menit Menjelaskan serta menggali pengetahuan 1) Mendengarkan dan
masyarakat tentang materi yang memperhatikan materi
disampaikan:
1. Definisi perdarahan dalam rongga
perut
2. Tanda dan gejala perdarahan dalam
rongga perut
3. Penyebab perdarahan dalam rongga
perut
4. Penanganan pertama yang tepat pada
pasien perdarahan dalam rongga perut
5. Akibat ketidaktepatan penanganan
pada pasien perdarahan dalam rongga
perut

3. 10 Diskusi / Tanya jawab dan evaluasi:


menit 1. Memberikan kesempatan pada peserta 1) Mengajukan
untuk bertanya kemudian didiskusikan pertanyaan
bersama 2) Menanggapi jawaban
2. Menanyakan kepada peserta tentang 3) Menjawab pertanyaan
materi yang telah diberikan sebagai
review materi
3. Memberikan reinforcement kepada
peserta bila dapat menjawab dan
menjelaskan kembali pertanyaan/
materi
4. Memberikan kesimpulan penyuluhan
4 5 Terminasi:
Menit 1) Mengucapkan terima kasih kepada 1) Mendengarkan dan
peserta membalas salam
2) Mengucapkan salam penutup
X. Evaluasi
A. Kriteria struktur
1. Kontrak waktu dan tempat diberikan sebelum acara dilaksanakan
2. Pembuatan Slide power point dan SAP dikerjakan minimal 2 hari
sebelumnya
3. Penentuan tempat yang akan digunakan dalam penyuluhan
4. Pengorganisasianpenyelenggaraan penyuluhan dilakukan sebelum dan
saat penyuluhan dilaksanakan
B. Kriteria proses
1. Peserta sangat antusias dan aktif bertanya selama materi penyuluhan
berlangsung
2. Peserta mendengarkan dan memperhatikan penyuluhan dari awal
sampai akhir
3. Pelaksanaan kegiatan sesuai SAP yang telah dibuat
4. Pengorganisasian berjalan sesuai dengan job description
C. Kriteria hasil
1. Peserta yang mengikuti penyuluhan ini minimal 10 orang
2. Peserta dapat mengikuti acara penyuluhan dari awal sampai akhir
3. Acara dimulai tepat waktu tanpa kendala
4. Peserta mengikuti kegiatan sesuai dengan aturan yang telah dijelaskan
5. Peserta terbukti memahami materi yang telah disampaikan penyuluh
dilihat dari kemampuan menjawab pertanyaan penyuluh dengan benar
DAFTAR HADIR PESERTA
PENYULUHAN KESEHATAN PENANGANAN PERTAMA
PADA PASIEN DENGAN (INTERNAL BLEEDING)
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) - RSUD Dr. SOETOMO
JUM’AT, 12APRIL 2019

No. NAMA ALAMAT TTD


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
11. 11.
12. 12.
13. 13.
14. 14.
15. 15.
16. 16.
17. 17.
18. 18.
19. 19.
20. 20.
DAFTAR PERTANYAAN
PENYULUHAN KESEHATAN PENANGANAN PERTAMA
PADA PASIEN DENGAN INTERNAL BLEEDING
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) - RSUD Dr. SOETOMO
JUM’AT, 12 APRIL 2019

No. NAMA PERTANYAAN JAWABAN


Lampiran 1
Susunan Acara Penyuluhan Kesehatan
Penanganan Pertama Pada Pasien dengan Internal Bleeding
Di Ruang Observasi Intensif (ROI) - RSUD Dr. Soetomo

Jum’at, 12 April 2019


Jam Agenda Jobdesc
09.30-10.00 Persiapan acara PKRS Semua mahasiswa profesi
Ners UNAIR
10.00-10.05 Pembukaan penyuluhan Moderator
10.05-10.15 Penyajian materi Penanganan Penyuluh
Pertama Pada Pasien Perdarahan
Dalam Rongga Perut
10.15- 10.25 Tanya jawab Penyuluh dan fasilitator
10.25- 10.30 Penutupan Penyuluh
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA KLIEN DENGAN INERNAL BLEEDING

1. ANATOMI ABDOMEN
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen
yang terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium.
Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering
dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan
horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut
membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua
bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga
kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang
lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan
hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Daerah-daerah itu adalah: 1)
hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4) lumbalis
dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica /
hipogastrica, 9) inguinalis sinistra.

Gambar 1. Pembagian Anatomi Abdomen (Griffith, 2003)

1) Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung


empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian
ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas
dan sebagian hati.
3) Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian
kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal
kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4) Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal
ginjal kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5) Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal
ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal
ileum dan ureter kanan.
8) Pubica/Hipogastricmeliputi organ: ileum, vesica urinaria dan
uterus (pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.

Mengetahui proyeksi organ intraabdomen tersebut, dapat


memprediksi organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam
pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut
(Griffith, 2003).
Rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga pelvis
sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian
retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas
dan bawah. Rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang thorax,
termasuk diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini
juga dinamakan sebagai komponen torakoabdominal dari abdomen.
Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian kolon
ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ reproduksi
pada wanita(Trauma, 2012)
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang,
berisi aorta abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum,
pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan
descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan
rongga pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah
bagian bawah dari rongga peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum,
kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ reproduksi interna
pada wanita (Griffith, 2003)

2. DEFINISI INTERNAL BLEEDING


Internal bleeding / perdarahan internal adalah kehilangan darah dari sistem
vaskular, dan darah terkumpul ke dalam rongga atau ruang tubuh. Perdarahan
ini tidak terlihat dari luar. (Rianthi, 2015)

3. EPIDEMOLOGI INTERNAL BLEEDING


Trauma abdomen merupakan kasus emergency dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Diagnostik dan manajemen masih menjadi
tantangan para ahli bedah di seluruh dunia. Berkembangnya modalitas untuk
diagnostik dan terapi saat ini, menurunkan angka mortalitas pasien trauma
abdomen (Costa et al.,2010). Trauma abdomen merupakan salah satu
penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma, dan ditemukan sekitar 7–10%
dari jumlah seluruh kasus trauma. Klasifikasi trauma abdomen berdasarkan
jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu trauma tajam (penetrans) dan trauma
tumpul (blunt trauma). Angka kejadian trauma tumpul abdomen didapatkan
sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Saat ini ada beberapa
algoritme dalam manajemen trauma tumpul abdomen yang dibuat untuk
mempermudah alur penanganan pasien di ruang gawat darurat (Jansen, Yule
and Loudon, 2008).
Trauma tumpul abdomen merupakan salah satu trauma mayor yang sering
terjadi di Indonesia, dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Penyebab
terbanyak karena kecelakaan sepeda motor dan jatuh dari ketinggian.
Prevalensi cedera tertinggi didapatkan pada kelompok usia 15–24 tahun.
Trauma tumpul abdomen sering berhubungan dengan cedera multiple dan
kadang tidak memiliki tanda klinis yang serius pada pasien (Costa et al.,
2010). Pada penderita yang dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul,
organ yang paling sering cedera adalah hati (40 – 55%), limpa (35 – 45%)
dan organ retroperitoneum (15%) yang mampu menyebabkan internal
bleeding (Vlies,2017).
Trauma tumpul abdomen tidak hanya terjadi akibat trauma langsung,
tetapi juga oleh cedera deselerasi. Cedera intraabdomen yang parah mungkin
terjadi meskipun tidak ada tanda klinis trauma yang terlihat dari luar (Mehta,
Babu and Venugopal, 2014). Hal ini menyebabkan pentingnya evaluasi secara
lengkap dan tepat pasien yang mengalami trauma, termasuk pemeriksaan fisik
secara menyeluruh, penggunaan modalitas diagnostik yang tepat, dan tindak
lanjut yang benar. Sebuah studi di Amerika menyebutkan bahwa prediksi
klinis yang terdiri dari hipotensi, nilai GCS (Glasgow Comma Scale) kurang
dari 14, patah tulang iga, nyeri perut, fraktur femur, hematuria > 25 RBC/hpf,
tingkat hematokrit kurang dari 30%, dan radiografi toraks yang abnormal
dapat digunakan untuk evaluasi dalam memprediksi adanya cedera /
perdarahan intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Penelitian
lain menyebutkan bahwa GCS, tekanan nadi, frekuensi pernafasan dan nilai
RTS (;Revised Trauma Score) telah terbukti berhubungan secara bermakna
dengan adanya cedera intra abdomen (Farrath et al., 2012). Pemilihan
penunjang diagnosis di awal merupakan hal yang sangat penting dalam
manajemen trauma tumpul abdomen. Studi lain juga mengungkapkan bahwa
pemeriksaaan fisik abdomen yang tidak normal, adanya cedera thoraks dan
gross hematuria memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk terjadinya cedera /
perdarahan intraabdomen (Grieshop NA, Jacobson LE and GA, Thompson
CT, 2005)
Internal Bleeding yang tidak terkontrol adalah berpotensi menjadi
penyebab utama kematian. Sesuai manajemen pasien trauma dengan
perdarahan masif, didefinisikan di sini sebagai hilangnya satu volume darah
di dalamnya selama 24 jam atau kehilangan 0,5 volume darah dalam 3 jam,
termasuk identifikasi awal potensi sumber-sumber perdarahan diikuti oleh
tindakan cepat untuk meminimalkan kehilangan darah, mengembalikan
perfusi jaringan dan mencapai stabilitas hemodinamik.

4. ETIOLOGI INTERNAL BLEEDING


Penyebab perdarahan saluran pencernaan sangat beragam, tergantung
kepada area terjadinya perdarahan. Internal bleeding dapat disebabkan oleh
trauma, baik tumpul ataupun tajam. Trauma abdomen, merupakan penyebab
kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar 7 – 10% dari pasien trauma.
Di Eropa, trauma tumpul abdomen sering terjadi, sekitar 80% dari
keseluruhan trauma abdomen. Trauma merupakan penyebab kematian
tersering ketiga pada populasi umum setelah penyakit kardiovaskular dan
kanker. Amerika Serikat, angka korban akibat trauma diperkirakan sekitar 57
juta setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat
inap dan 150.000 kematian. Dengan beban ekonomi yang disebabkan oleh
trauma cukup signifikan, diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya
angka kehidupan sebesar 26% dan lebih dari separuhnya kehilangan usia
produktifnya. (Tentilier, E. Masson, 2000)
Penyebab paling umum dari trauma tumpul abdomen adalah kecelakaan
mobil atau motor, jatuh dari ketinggian, dan kecelakaan industri. Sebuah studi
di Amerika menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 83,6%
trauma tumpul abdomen. 45,5% karena kecelakaan mobil dan 38,1% akibat
kecelakaan motor. Tingkat mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan trauma
tumpul abdomen dibandingkan trauma tusuk. (Aziz, Bota and Ahmed, 2014)
Indonesia, memiliki prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar
8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan
terendah di Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak
adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya
penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi
darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi sepeda
motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4%) dan terendah di Papua
(19,4%). (Kementerian Kesehatan, 2013). Pada trauma tumpul abdomen,
cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya merupakan organ
solid, terutama limpa dan hati dimana kedua organ ini dapat menyebabkan
perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang
terjadi, dan seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan
tinggi. (Costa et al., 2010).
5. PATOFISIOLOGI INTERNAL BLEEDING
Patofisiologi cedera / perdarahan intraabdomen pada trauma tumpul
abdomen berhubungan dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang
mengalami trauma dengan energi yang tinggi akan mengalami goncangan
fisik yang berat sehingga menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and
Venugopal, 2014). Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul
abdomen yang dapat menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding
abdomen anterior dan posterior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan
dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi
dibagi menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada
mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang
terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan
perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009).
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan cedera organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang
(fraktur pelvis, fraktur tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan cedera diafragma bahkan cedera kardiak.
Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya
organ intraabdomen yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ)
seperti hati, limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul
abdomen sering disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor,
pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan
pemukulan dengan benda tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena
kompresi langsung abdomen dengan objek padat yang mengakibatkan
robeknya subscapular organ padat seperti hati atau limpa. Bisa juga karena
gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan pembuluh darah pada
regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri renalis). Atau bisa karena
kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan intraluminal yang
menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen
yang mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% -
45% dan usus halus 5%-10%(Avini et al., 2011)
6. MANIFESTASI INTERNAL BLEEDING
Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intraabdomen dapat dibagi
menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam
organ padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pankreas, buli buli, organ
genetalia interna pada wanita, dan diafragma, sedangkan yang termasuk organ
berongga yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum),
ureter, dan saluran empedu. Beberapa tanda cedera organ yang sering terjadi
pada pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen antara lain:
1) Cedera Hati/Hepar
Hati dapat mengalami cedera dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi,
sedangkan kantong empedu sangat jarang mengalami trauma dan sulit
untuk didiagnosis. Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan
atas anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Manifestasi klinisnya tergantung dari
tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya
dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada
epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu
hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena sentral yang
rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu
trauma hati. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari
kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen,
juga disertai mual dan muntah. Pada trauma tumpul abdomen dengan
cedera hati sering ditemukan adanya fraktur tulang iga kanan bawah
yaitu tulang iga VII – IX (Alonso et al., 1997).
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis
lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul.
Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan
bahwa terdapat cidera pada hati, meskipun juga dapat disebabkan oleh
suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hati lainnya.
Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari ke-3
sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et al., 2010).
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi
trauma merupakan gejala yang sering terjadi. Nyeri tekan dan defans
muskuler tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat
menyebabkan iritasi peritoneum. Pemeriksaan CT scan akurat dalam
menentukan lokasi dan luas trauma hati, menilai derajat
hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain yang
mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma
hati yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan
trauma hati berat, dan digunakan untuk monitor kesembuhan.
Penggunaan CT scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis dan
penentuan penanganan trauma hati. Dengan CT scan menurunkan
jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari
penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus
trauma hati (Njile, 2012).
2) Cedera Limpa / Lien
Cedera limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa
karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah
rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan.
Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam
tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam
tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel
darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya limpa
menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Cedera
pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau
abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera
limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil
(Alonso et al., 1997).
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada
ada tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya
perdarahan, dan ada atau tidaknya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan hebat akibat cedera limpa dapat mengakibatkan syok
hipovolemik berat. Hipotensi atau takikardi merupakan tanda yang
menunjukan adanya cedera limpa. Tanda-tanda lain adanya cedera pada
limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh nyeri
abdomen terutama kuadran kiri atas, datang dengan gambaran
menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas yang nyeri apabila di
tekan disertai tanda anemia sekunder. Elevasi tungkai di tempat tidur
atau pada posisi Trendelenberg dapat menimbulkan nyeri pada puncak
bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri diagnostik lain termasuk:
peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000,
foto rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah,
peninggian diafragma, letak lambung bergeser mendesak ke arah garis
tengah, gambaran tepi limpa menghilang pada pemeriksaan CT scan
(van der Vlies et al., 2011).
Beberpa studi menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling
umum yang ditunjukkan oleh pasien trauma limpa adalah nyeri (90%)
dan abdominal tenderness (85%). Kecurigaan terjadinya cedera limpa
juga dengan ditemukan adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau
nyeri abdomen kuadran kiri atas. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan
dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang
mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau
hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,
harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT
scan rutin dilakukan pada rumah sakit pusat trauma (Costa et al., 2010).
3) Cedera Usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang
diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen.
Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala
peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan
pada duodenum biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung.
Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas
dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada
pasien dengan perlukaan pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan
hasil pemeriksaan pada rontgen abdomen dengan ditemukannya udara
dalam rongga retroperitoneal (Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
4) Cedera Ginjal
Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah
vena, atau avulsi pedikel ginjal(Lynch et al., 2005). Pada pemeriksaan
fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau laserasi dan
hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen. Penemuan
lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau
distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma pada
ginjal (Indradiputra and Hartono, 2016).
Hematuria merupakan poin diagnostik penting untuk trauma ginjal.
Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah
suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria
tidak berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk
trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma
pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan
hematuria(Lynch et al., 2005).
5) Cedera Prankeas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan
kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas
harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen,
contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil.
Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pasien
dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan
abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam setelah
trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial. Diagnosis dengan
penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu dalam proses
akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih
spesifik (Aziz, Bota and Ahmed, 2014).
6) Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat
pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan
adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska
trauma. Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena
keadaan tiba-tiba dari deselerasi dan akselerasi yang berkaitan dengan
hiperekstensi, benturan langsung pada daerah lumbal 2 dan 3.
Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik
turun pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada
ureteropelvic junction. Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul
ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri pada flank sampai ke perut
bawah. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan
terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma tumpul
ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan gejala
akibat trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada
trauma dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan terapi yang tepat
tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan
prognosis pasien. Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi
adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral dengan
lokasi trauma (Lynch et al., 2005).
7. MANAJEMEN INTERNAL BLEEDING
Salah satu penyebab utama internal bleeding adalah trauma.
Tindakan pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan
sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan
pasien dari ancaman kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan
secepat mungkin dalam memastikan kondisi airway, breathing, dan
circulation. Tanda vital yang diperiksa saat pasien trauma datang ke ruang
gawat darurat menjadi petunjuk tingkat cedera yang terjadi(Mehta, Babu
and Venugopal, 2014).
Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang
sering dihadapi pada pasien trauma tumpul abdomen. Syok karena
perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin untuk tindakan lebih lanjut.
Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih
dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka
tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-
gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik karena perdarahan
menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-
ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa
penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan
pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral. Penurunan tekanan
darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi
tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya
kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada
tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi
yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi
penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu,
pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena
pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah
sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau
keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD
and SR, 1999). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa hipotensi
diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera intraabdomen pada pasien
trauma tumpul(Farrath et al., 2012)
Setelah primary survey selesai baru dilakukan secondary survey
berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
lengkap. Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis
cedera intraabdomen. Pada pasien dengan hipotensi paska trauma, sangat
penting untuk mengevaluasi apakah pasien tersebut mengalami cedera
abdomen atau tidak. Tingkat kewaspadaan yang tinggi terhadap terjadinya
cedera intraabdomen dan pemeriksaan yang komperhensif sangat
diperlukan dalam manajemen trauma secara umum. Beberapa alat
diagnostik yang digunakan dalam menegakan diagnosis adanya cedera
intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen adalah riwayat dan
mekanisme trauma, pemeriksaan fisik, laboratorium, foto polos abdomen,
ultrasonografi, diagnostik peritoneal lavage, CT scan abdomen, dan
laparoskopi (van der Vlies et al., 2011).
Rumah sakit pusat trauma menggunakan beberapa algoritme dalam
manajemen pasien trauma tumpul abdomen. Penggunaan algoritme ini
bertujuan untuk mempermudah dalam manajemen trauma tumpul,
mencakup manajemen awal, cara diagnostik dan tatalaksana. Mattox, dkk.
Dalam buku Trauma edisi ke – 7 membuat algoritme sederhana dalam
menajemen trauma tumpul abdomen. dalam algoritme ini dijelaskan
bahwa penggunaan CT scan abdomen berdasarkan stabil atau tidaknya
hemodinamik pasien. Algoritme ini juga digunakan di RSUP Sanglah
dalam manajemen pasien trauma tumpul.
Gambar 2. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen (Mattox &
Ernest Moore & David Feliciano, 2013)

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul


abdomen dengan hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan CT scan
untuk menilai apakah ada cedera organ intraabdomen. Pada protokol ini
tidak terlihat bahwa penggunaan CT scan berdasarkan indikasi yang
selektif. Manajemen trauma tumpul seperti ini juga digunakan di RSUP
Sanglah saat ini.
Beberapa senter trauma yang lain menggunakan algoritme yang
berbeda dalam manajemen trauma tumpul abdomen. American collage of
surgeon juga mengeluarkan algoritme dalam manajemen trauma tumpul
abdomen. Perbedaanya adalah, penggunaan CT scan untuk evaluasi pasien
trauma tumpul abdoemn dengan hemodinamik stabil, atas dasar tinggi atau
rendahnya risiko terjadinya cedera intraabdomen.
Gambar 3. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen.
Penggunaan CT scan yang selektif (Feliciano, 2003).

Ketersediaan ultrasonografi atau CT scan di rumah sakit merubah


protokol manajemen trauma tumpul abdomen. manajemen trauma tumpul
abdomen berdasarkan alat penunjang yang ada di rumah sakit
digambarkan pada diagram berikut ini :
Gambar 4. Protokol manajemen trauma tumpul abdomen.
berdasarkan alat penunjang diagnostik yang
tersedia (Iqbal et al., 2014)

Penegakan diagnosis cedera intraabdomen pada pasien trauma


tumpul abdomen secara umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat
trauma, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini
dilakukan saat secondary survey dalam penilaian awal pasien trauma.
1. Riwayat trauma
Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan
kemungkinan cedera organ intraabdomen yang lebih spesifik. Semua
informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk
mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior
kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di
lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal,
jenis senjata dan mekanisme lain yang bisa menunjang
diagnostik(Schurink G, 1997).
Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma),
keterangan saksi mata, catatan dari paramedik sangat penting untuk
diketahui pada setiap pasien trauma sehingga bisa mendeteksi cedera
organ yang mungkin terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas,
yang perlu diketahui adalah kecepatan dan arah dari
kecelakaan (kendaraan), kerusakan kendaraan, penggunaan “seat-
belts”, atau terlempar dari kendaraan (Schurink G, 1997). Selain itu,
riwayat AMPLE (Alergy, Medication, Past illness, Last meal,
Environment) penting diketahui untuk mengetahui kondisi penyerta
pasien yang mengalami trauma.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti
dan sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi.
Pada saat pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan
pemeriksaan fisik cukup akurat dalam menentukan cedera
intraabdomen pada pasien dengan kesadaran baik dan responsif,
meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi
Penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bagian
depan sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan
perineum sesuai anatomi abdomen. Inspeksi untuk melihat
adanya goresan/laserasi, robekan, luka, benda asing yang
tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya jejas,
laserasi di dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit
(hematome)setelah trauma dapat memberikan petunjuk adanya
kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Ekimosis pada
flank (Grey Turner Sign) atau umbilicus (Cullen Sign)
merupakan indikasi perdarahan retroperitoneal, tetapi hal ini
biasanya lambat dalam beberapa jam sampai hari. Adanya
distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena
kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau
adanya iritasi peritoneal. Pergerakan pernafasan perut yang
tertinggal merupakan salah satu tanda kemungkinan adanya
peritonitis. Laserasi abdomen yang terlihat sesuai pola sabuk
pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan sebagai
tanda klinis terjadinya cedera organ intraabdomen (Beal et al.,
2016). Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada pasien
trauma tumpul abdomen, nyeri perut disertai dengan takikardi,
nyeri lepas, distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi
abdomen (seat belt sign), ekimosis merupakan faktor prediktif
dalam mengidentifikasi cedera intra-abdomen (Poletti PA, et al.,
2004).
Gambar 5. Seat belt sign, jejas menyerupai sabuk pengaman
pada pasien trauma tumpul abdomen(Trauma, 2012).

b. Auskultasi
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada
robekan (perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan
kebanyakan menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada
auskultasi toraks kemungkinan menunjukkan adanya trauma
diafragma. Perdarahan intraperitoneum atau kebocoran
(ekstravasasi) usus dapat memberikan gambaran ileus,
mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang,
panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat
cedera di intraabdomen, sehingga tidak adanya bunyi usus
bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal (Hoff et al.,
2002).
c. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukkan adanya peritonitis tetapi masih meragukan.
Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi
lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada
hemiperitoneum. Perkusi redup hati yang menghilang
menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut yang
berarti kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-
organ usus. Nyeri
ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda
peritonitis umum(Schurink G, 1997).
d. Palpasi
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat
palpasi. Nyeri juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan
palpasi. Lokasi nyeri sangat penting untuk mengetahui
kemungkinan organ yang terkena. Nyeri abdomen secara
menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan
peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi
usus. Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen
(voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen.
Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah
tanda yang penting dari iritasi peritoneum. Palpasi menentukan
adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri
lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut
dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang
timbul akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi
peritonium (Rostas et al., 2015).

Cedera abdomen sering disertai oleh cedera organ lain, terutama


pada kasus trauma multiple. Identifikasi cedera lain ini dapat
memprediksi apakah ada organ intraabdomen yang mengalami cedera
setelah terjadinya trauma. Fraktur kosta kanan, terutama yang dibawah
sering disertai cedera organ dibawahnya yaitu hati. Evaluasi hati sangat
diperlukan jika menemukan pasien dengan fraktur kosta kanan bawah.
Fraktur kosta kiri bawah berhubungan dengan cedera limpa, karena
limpa tepat berada di bawah kosta tersebut. Ditemukanya kontusio di
midepigastrium menandakan kemungkinan cedera organ dibawahnya
seperti duodenum dan pancreas. Fraktur pelvis terutama yang tidak
stabil sering disertai trauma pada urogenital seperti buli-buli dan uretra.
Sedangkan fraktur pada prosesus transversalis lumbal sering
menyebabkan trauma pada ginjal(van der Vlies et al., 2011).
Fraktur prlvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan cedera intraabdomen. Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis
berdasarkan stabil dan tidaknya cincin pelvis. Fraktur pelvis yang tidak
stabil biasanya terjadi akibat cedera dengan energi yang tinggi.
Biasanya disertai dengan cedera organ lainya, seperti : cedera kepala,
toraks, dan abdomen. 60-80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan
tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera abdomen dan
muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8%
berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis. Kejadian
keseluruhan cedera genitourinaria yang berhubungan dengan patah
tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling sering adalah cedera
kandung kemih. Pria danwanita sama-sama cenderung mengalami
cedera pada kandung kemih tapikerusakan pada uretra pria lebih sering
terjadi dibandingkan wanita. Patah tulang ekstremitas dan tulang
belakang juga bisa terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis.Perdarahan
dapat menyertai fraktur pelvis terutama akibat patah tulang terbuka,
cedera pada jaringan lunak, dan perdarahan vena lokal.Gangguan cincin
pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan rotasi menyebabkan
deformitas, nyeri, dan kecacatan yang signifikan. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur
pelvis berkekuatan-tinggi. Evaluasi pasien secara lengkap sangat
penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi karena
sering berhubungan dengan cedera yang lain. (Corwin et al., 2014).
Pemeriksaan fisik abdomen pada ssat awal sering gagal untuk
mendeteksi cedera abdomen yang signifikan pada pasien multitrauma.
Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas, rawat inap berkepanjangan, dan akhirnya,
biaya kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang tidak jelas, kadang
ditutupi oleh nyeri akibat trauma ekstraabdominal dan dikaburkan oleh
intokasi atau trauma kepala, merupakan penyebab utama tidak
terdeteksinya cedera intraabdomen. Lebih dari 75% pasien dengan
trauma abdomen yang membutuhkan tindakan bedah segera, pada
awalnya mempunyai gejala klinik yang tidak khas (benign physical
examination), sehingga ahli bedah yang kurang waspada dan
menganggap tidak ada cedera intraabdoemen(Hoff et al., 2002). Suatu
penelitian menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma tumpul
abdomen, 47% tidak mempunyai gejala klinik yang khas pada evaluasi
awal, 44% ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan 77% dari mereka
didapatkan trauma intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan
mandatori untuk dilakukan laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-
tes diagnostik. Oleh karena itu, pemeriksaan abdomen yang teliti,
sistematik sangat dianjurkan pada setiap kasus-kasus trauma
abdomen(Beal et al., 2016).
Cedera intraabdomen pada trauma tumpul sering disertai dengan
trauma multipel. Trauma thoraks, trauma kepala, dan trauma terhadap
ekstremitas sering menyertai trauma abdomen akibat mekanisme
trauma yang kompleks. Terdapat beberapa scoring system untuk trauma
dan secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis
berdasarkan komponen-komponen yang digunakan, yaitu skor
anatomis, skor fisiologis, dan skor kombinasi. Untuk skor fisiologis,
Revised Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling sering
digunakan. RTS terdiri dari tiga komponen yaitu Glasgow Coma Scale
(GCS), systolic blood pressure (SBP), dan respiratory rate (RR).
Komponen skor ini merupakan komponen vital yang harus dinilai pada
suatu trauma abdomen yang disertai trauma penyerta yang lain.
Beberapa studi menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai faktor prediktif
terjadinya cedera intraabdomen, tetapi disertai dengan cedera laian
seperti cedera thoraks dan ekstremitas. Penurunan GCS tersendiri tanpa
ada cedera yang menyertai pada studi tersebut tidak mengindikasikan
dilakukan CT scan abdomen untuk evaluasi cedera
intraabdomen(Rostas et al., 2015). Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa GCS < 14 sebagai salah satu faktor yang memprediksi adanya
cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Penurunan
kesadaran yang diukur melalui GCS disebabkan oleh faktor intrakranial
dan ekstrakranial. Faktor ekstrakranial yang paling sering sebagai
penyebab penurunan kesadaran adalah syok hipovolemik karena
perdarahan. Pasien tidak sadar yang disebabkan oleh trauma kepala
yang disertai dengan trauma abdomen harus menjadi perhatian khusus
untuk mencegah mortalitas.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen
pasien trauma adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen,
ultrasonografi, DPL, CT scan dan laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan
dilakukan tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien dan prediksi
tingkat keparahan cedera. Pasien trauma tumpul abdomen dengan
hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi (USG)
abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan
hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika
tersedia, atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera
intraabdomen (Vlies, 2017).

8. KOMPLIKASI INTERNAL BLEEDING


Perdarahan saluran pencernaan dapat menyebabkan sejumlah komplikasi
serius bila tidak segera ditangani. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan
kronis, penderita dapat mengalami anemia, suatu kondisi kekurangan sel
darah merah yang berpotensi mengancam jiwa.
Sedangkan pada perdarahan saluran pencernaan akut yang tidak cepat
ditangani, penderita akan cepat kehilangan darah. Kondisi tersebut
menyebabkan pusing dan lemas. Penderita juga dapat mengalami sakit perut
dan sesak napas. Bila kondisi tersebut tidak juga ditangani, risiko terjadinya
syok yang berujung kematian akan meningkat.
8. PENATALAKSANAAN INTERNAL BLEEDING
1. Primary Survey
Airway
1) Kaji Stabilitas jalan nafas klien
2) Monitor adanya tanda – tanda obstruksi jalan nafas (penggunaan otot
– oto bantu nafas, gerakan dada yang paradoksal)
3) Auskultasi suara nafas klien, apakah ada obstruksi pada jalan nafas?
4) Jika terdapat obstruksi dapat dilakukan suctioning
Breathing
1) Buka jalan napas dengan menggunakan head tilt dan chin lift
2) Lakukan suctioning jika terdapat banyak sekret
3) Masukkan jalan napas orofaringeal (OPA) jika diperlukan
4) Cobalah manuver jalan nafas sederhana jika diperlukan
Circulation :
1) Kaji sirkulasi klien : cek HR, TD, Sirkulasi perifer dan CRT
2) Tanda dan gejala syok (takikardia dan hipotensi)
3) Lakukan resusitasi cairan (Perawatan awal hipovolemia dengan
menggunakan cairan kristaloid)
Disability
1) Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS
2) Periksa ukuran dan reaktivitas pupil jika keadaan sadar diubah.
3) Tes kadar gula darah
Exposure
Kaji kembali adanya cedera fisik lain, Klien dengan internal bleeding
sering mengalami hipotermia, berikan selimut untuk pencegahan
hipotermia.
2. Penatalaksanaan Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa harus dikaji dengan cepat, apa yang terjadi di lokasi
kejadian. Paramedik harus melihat apabila ditemukan luka tikaman atau
luka trauma lainnya, maka harus segera ditangani. Penilaian awal dengan
prosedur ABC yaitu:
1) Airway
Kontrol kepatenan nafas dengan membuka jalan nafas menggunakan
teknik head tilt, chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat
dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan
tertutupnya jalan napas, seperti muntahan, makanan, darah atau benda
asing lainnya.
2) Breathing
Lakukan pemeriksaan pernafasan dengan cara lihat-dengar-rasakan
(look-listen-feel) tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah
ada nafas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi
korban (kecepatan, ritme, dan adekuat tidaknya pernafasan).
3) Circulation
Kaji nadi karotis apakah berdenyut atau tidak. Jika tidak ada tanda-
tanda sirkulasi, panggil pertolongan dengan meminta bantuan orang
lain untuk menelepon rumah sakit terdekat atau langsung telpon rumah
sakit terdekat (code blue). Kemudian, lakukan resusitasi paru jantung
segera. Rasio kompresi dada dan bantuan nafas dalam RJP adalah 30:2
(3 kali pijatan dada dan 2 kali bantuan nafas).
Selain itu juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat pre
hospital, yaitu:
1) Penanganan awal trauma tumpul
a) Stop makanan dan minuman
b) Imobilisasi
c) Kirim ke rumah sakit
2) Penangnan awal trauma tajam
a) Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan tersebut tidak boleh dicabut
kecuali dengan adanya tim medis.
b) Penanganan bila terjadi luka tusuk seperti pisau yaitu dengan
melilitkan kain/kasa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau sehingga tidak memperparah luka.
c) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
jangan dimasukkan kembali ke dalam, cukup balut organ tersebut
dengan kain bersih atau kasa steril
d) Imobilisasi pasien
e) Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f) Apabila ada luka terbuka balut luka dengan kain kemudian tekan
g) Kirim ke rumah sakit
9. PEMBEDAHAN PADA INTERNAL BLEEDING
Pembedahan dilakukan pada pasien dengan perdarahan internal di mana
perdarahan tidak dapat dikontrol dengan perawatan yang kurang agresif atau
dimana perdarahan menyebabkan kerusakan karena lokasinya. Beberapa contoh
termasuk yang berikut (Benjamin, 2018):
1. Ahli bedah saraf dapat beroperasi untuk menghilangkan bekuan darah
yang menekan otak (hematoma epidural atau subdural) tetapi tergantung
pada situasinya, keputusan untuk mengamati pasien dan melihatnya pulih
tanpa operasi mungkin tepat.
2. Ketika perdarahan terjadi di perut, ahli bedah umum mungkin perlu
beroperasi untuk menemukan dan memperbaiki sumber perdarahan.
Dalam beberapa kasus, ahli radiologi intervensi dapat bekerja dengan ahli
bedah dan menggunakan angiografi, menemukan sumber perdarahan dan
memperbaikinya tanpa melakukan operasi.
3. Ahli bedah vaskular sering dipanggil untuk memperbaiki pembuluh darah
besar yang bocor atau pecah. Pasien-pasien dengan aortic aneurysms yang
telah pecah mungkin memerlukan operasi penyelamatan jiwa yang
muncul, sementara mereka yang aneurysmnya telah meluas tetapi tidak
pecah mungkin merupakan kandidat untuk memasang stent menggunakan
angiografi.
4. Ketika ahli bedah ortopedi memperbaiki patah tulang, itu memiliki
manfaat tambahan mengurangi jumlah perdarahan dari situs fraktur dan
meminimalkan kehilangan darah di masa depan.

Jenis operasi yang digunakan akan tergantung pada lokasi cedera dan perdarahan
(Felson, 2017):
1. Laparotomi eksplorasi: Seorang ahli bedah membuat sayatan besar di kulit
perut dan mengeksplorasi perut dengan hati-hati. Dokter bedah akan
menutup ujung pembuluh darah yang bocor dengan probe panas atau
bahan jahit.
2. Thoracotomy: Untuk perdarahan di sekitar jantung atau paru-paru, seorang
ahli bedah membuat sayatan di sepanjang tulang rusuk atau tulang dada.
Mendapatkan akses ke dada, ahli bedah dapat mengidentifikasi dan
menghentikan pendarahan dan melindungi jantung dan paru-paru dari
tekanan yang disebabkan oleh kelebihan darah.
3. Craniotomy: Untuk pendarahan karena cedera otak traumatis, seorang ahli
bedah dapat membuat lubang di tengkorak. Ini bisa menghilangkan
tekanan dan mengurangi cedera lebih lanjut ke otak.
4. Fasciotomy: Pendarahan internal ke area seperti paha dapat menciptakan
tekanan tinggi dan mencegah aliran darah ke seluruh kaki. Seorang ahli
bedah dapat memotong ke dalam paha untuk menghilangkan tekanan dan
mendapatkan akses untuk menghentikan pendarahan.
10. PERAWATAN INTRA HOSPITAL INTERNAL BLEEDING
Cairan intravena dan transfusi darah dapat diberikan untuk mencegah atau
memperbaiki penurunan tekanan darah.
Tes pencitraan (biasanya USG, CT scan, atau keduanya) dapat
mengidentifikasi apakah ada perdarahan internal. Dokter mempertimbangkan
jumlah perdarahan internal bersama dengan tekanan darah orang yang terluka
dan tingkat keparahan cedera untuk memutuskan perawatan awal terbaik -
operasi atau pengamatan.
11. PERAWATAN POST HOSPITAL INTERNAL BLEEDING
Dalam kebanyakan kasus perdarahan internal, tidak ada peran untuk
perawatan diri di rumah sampai pasien dilepaskan dari fasilitas medis.
Kemudian perawatan mandiri yang dapat dilakukan terdiri dari istirahat dan
menghindari situasi yang menyebabkan perdarahan berulang (misalnya,
istirahat setelah operasi, menghindari alkohol).
Jika pendarahan internal yang signifikan telah terjadi dan orang tersebut
tampak shock, layanan medis darurat harus segera dihubungi. Jika perdarahan
disebabkan oleh trauma, dan ada kemungkinan risiko cedera leher atau tulang
belakang, individu tersebut tidak boleh dipindahkan (dalam kebanyakan
kasus) sampai mereka dievaluasi oleh tenaga medis.
Jika pasien memiliki tanda-tanda stroke, layanan medis darurat harus
segera dihubungi karena sulit untuk menentukan apakah penurunan fungsi
otak karena pendarahan di otak atau karena penurunan pasokan darah karena
pembuluh darah yang tersumbat. Perawatan untuk situasi kedua ini
mengharuskan individu untuk pergi ke rumah sakit sesegera mungkin karena
jangka waktu untuk memulai perawatan sangat singkat (Benjamin, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Auerback, Paul. Field Guide to Wilderness Medicine (PDF) (12 ed.). pp. 129–131.
Retrieved 13 March 2019.

Aziz, A., Bota, R. and Ahmed, M. (2014) ‘Frequency and pattern of intra-
abdominal injuries in patients with blunt abdominal trauma’, Journal of
Trauma & Treatment, 3(3), p. 196. doi: 10.4172/2167-1222.1000196.

Beal, A. L., Ahrendt, M. N., Irwin, E. D., Lyng, J. W., Turner, S. V, Beal, C. A.,
Byrnes, M. T. and Beilman, G. A. (2016) ‘Prediction of blunt traumatic
injuries and hospital admission based on history and physical exam’, World
Journal Of Emergency Surgery. World Journal of Emergency Surgery, 11(1),
p. 46. doi: http://dx.doi.org/10.1186/s13017-016-0099-9.

Benjamin, Wedro. 2018. Internal Bleeding. Madison-University of Wisconsin.

Browner, B. 2008. Skeletal Trauma, 4th edition, W.B. Saunders. American Heart
Association.

Brunner & Suddarth. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2. Ed.
8. Jakarta: EGC

Cameron, J. 2011. Current Surgical Therapy, 10th edition, Churchill Livingstone.

Diercks, D. 2011. Annals of Emergency Medicine.

Corwin, M. T., Sheen, L., Kuramoto, A., Lamba, R., Parthasarathy, S. and
Holmes, J. F. (2014) ‘Utilization of a clinical prediction rule for abdominal
pelvic CT scans in patients with blunt abdominal trauma’, Emergency
Radiology, 21(6), pp. 571–576. doi: 10.1007/s10140-014-1233-1.

Fritz, Davis (2011). "Vascular Emergencies". Current Diagnosis & Treatment:


Emergency Medicine (7e ed.). New York: McGraw-Hill. ISBN 978-
0071701075.

Paydar, S. et. al. (2016). Management of Deep Vein Thrombosis (DVT)


Prophylaxis in Trauma Patients, 4(1), 1–7.

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E. 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi 4. Jakarta: MediaAesculapius

Anda mungkin juga menyukai