Musinnah adalah shighah Isim Faa’il untuk muannats dari kata asanna – yusinnu – isnaanan,
kalimat tersebut apabila diterapkan kepada manusia maka maknanya adalah dewasa (al-kibar)
dan jika diterapkan kepada binatang (ad-dawab) maka maknanya adalah tumbuh gigi serinya
(thala’a tsaniyatuha).
(Az-Zahir fi gharib alfadzi as-Syafi’I I : 140, Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib As-Syarh Al-Kabir I :
292, Taaj al-Arusy min Jawahir Al-Qamus XX : 376, XXV : 234, Tahdzib Al-Lughah IV : 243, Lisan
Al-‘Arab XII : 220)
ü Musinnah dinamakan juga Tsaniyah yaitu yang berumur 2 tahun dinamakan demikian karena
sempurna gigi-giginya.
ü Musinnah adalah Tsaniyah dan lebih besar satu tahun dari Jadz’ah
(Ad-Diebaj ‘Ala Muslim V:30, Syarah as-suyuthi ‘ala Muslim V : 50, Syarah An-Nawawi XIII : 114)
ü Musinnah adalah yang tanggal gigi-giginya, hal tersebut bagi binatang yang berkuku.
Binatang Hafir (yang memiliki kuku sejenis kuda dan sapi) pada tahun kedua dan yang memiliki
khuf (sejenis unta) pada tahun ke enam.
ü Yang sempurna dua tahun dan tumbuh giginya dan masuk pada tahun ke-tiga
(Hasyiyah as-Sindi ‘ala sunan Ibnu Majah IV : 63, Syarah sunan Ibnu Majah I : 129)
ü Musinnah adalah isim fa’il dari asannat, apabila muncul giginya dan hal itu terjadi setelah dua
tahun, (maknanya) tidak sama dengan asanna ar-rajul
(hasyiyah as-sindi ‘ala an-nasai VII : 218, hasyiyah as-suyuthi ‘ala sunan an-nasai VI : 93)
ü Musinnah adalah tsaniyah (yang memiliki dua gigi seri) atau lebih dari semua binatang baik
unta, sapi dan domba.
(Aunul Ma’bud VII : 353, Muroqotu al-Mafatih syarah misykatu al-mashobih V : 164)
ü Musinnah adalah yang berumur dua tahun (Gharib Ibnu Al-Jauza I : 505)
Ibadah qurban merupakan taklif dari Allah swt yang hukumnya sunnah muakkad. Sebagai
‘alamah atau tanda dilaksanakannya hukum taklif secara benar (shahih) maka ditetapkanlah
hukum-hukum wadh’I sebagai tolak ukur pelaksanaan hokum taklif tersebut, ada yang
merupakan sabab, syarat dan mani’.
Sabab adalah yang menetapkan dengan keberadaannya adanya hukum dan dengan ketiadaannya
tidak ada hukum
Syarat adalah yang menetapkan dengan ketiadaannya tidak ada hukum tetapi tidak menetapkan
dengan keberadaannya adanya hukum
Musinnah merupakan syarat dalam ibadah kurban sebagaimana sabda Rasulullah saw.
”ل تذبحوا إل مسنة إل:وعن جابر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
أن يعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن” رواه مسلم
Dari Jabir ra ia berkata Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (binatang
qurban) kecuali musinnah kecuali jika menyulitkan kalian maka silahkan sembelih jadz’ah dari
kambing” (HR Muslim)
Oleh karena itu apabila qurban tidak dengan hewan yang musinnah, maka bukanlah qurban
(tidak sah qurbannya).
Pengertian bid’ah
Kata bid’ah adalah bentuk isim masdar, bentuk fi’ilnya dapat diambil dari tsulatsi mujarrod
bada’a – yabda’u – bad’an, bid’an atau juga dari fi’il tsulatsi mazid ibtada’a – yabtadi’u –
ibtida’an, yang artinya ansya’ahu wa bada’ahu “menciptakan pertama kali”. Oleh karena itu
bid’ah menurut bahasa adalah :
الشيء المخترع على غير مثال سابق
Dalam al-Quran terdapat 3 musytaq (pecahan) dari lafadz bid’ah yang berada pada 4 surat,
yaitu:
1. “Badi’un” bentuk “mubalaghah isim fa’il”, terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 117 dan
surat Al-An’am ayat 101, menjelaskan bahwa Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi tanpa
ada contoh sebelumnya.
ض رل
ت لوالرر ض
مالوا ض
س ل
ديعع ال س
بل ض
2. “Bid’an” bentuk “masdar”, terdapat dalam surat Al-Ahqaf ayat 9, menjelaskan bahwa nabi
Muhammad bukanlah Rasul yang pertama, karena sebelumnya telah ada Rasul-rasul yang lain.
ل
س ض
ن الرر ع
م ل
عا ض ما ك عن ر ع
ت ب ضد ر ع ل
3. “Ibtada’u” bentuk “fi’il madli Tsulatsi mazid”, terdapat dalam surat Al-Hadid ayat 27,
menjelaskan bahwa “rahbaniyah” (kependetaan), yaitu berlebih-lebihan dalam zuhud sampai
tidak menikah adalah merupakan syari’at yang dibuat-buat oleh umat nashrani sendiri dan
Allah tidak pernah mensyari’atkannya.
ها ع لل لي رهض ر
م ما ك لت لب رلنا ل
ها ل
عو ل
ة اب رت لد ل ع
وللرهرلبان ضي س ع
Pengertian bid’ah menurut bahasa ini dikenal dengan istilah Bid’ah Lughawiyah.
Dan adapun yang terdapat pada ucapan ulama salaf (ulama terdahulu) berupa menganggap
baik sebagian bid’ah, maka sesungguhnya, tiada lain mengenai bid’ah lughawiyah dan bukan
bid’ah syar’iyah.
Diantara ulama salaf yang dimaksud oleh Imam Ibnu Rajab adalah sebagai berikut,
– Perkataan Umar bin Al-Khatab, ketika beliau mengumpulkan orang-orang dengan satu
imam pada shalat tarawih, dengan ungkapan,
وما خالف، فما وافق السنة فهو محمود، وبدعة مذمومة، بدعة محمودة:البدعة بدعتان
(13/253) )فتح الباري.السننة فهو مذموم.
Bid’ah itu ada dua macam, Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah, setiap yang sesuai
dengan sunnah, maka dia itu terpuji (mahmudah) dan setiap yang menyalahi sunnah, maka
dia itu tercela (madzmumah)
Bid’ah adalah suatu cara/jalan dalam agama; oleh karena itu urusn-urusan seperti membuat
motor, mengendarai mobil, membajak sawah dengan traktor tidak termasuk dalam batasan ini
sebab merupakan masalah duniawi.
Bid’ah itu menyerupai syari’at, baik dengan menetapkan kaifiyat (tata cara) atau bentuk
ibadah tertentu; oleh karena itu penyusunan ilmu-ilmu agama seperti nahwu, balaghah, ushul
fiqih, dan yang lainnya tidak termasuk dalam batasan ini karena tidak menyerupai syari’at.
Dimaksudkan dengan menempuh cara tersebut menginginkan nilai lebih dalam beribadah
kepada Allah Ta’ala ; Dengan demikian jika menentukan sesuatu tanpa ada maksud bahwa ini
memeliki nilai lebih (afdholiyah) dari yang lainny, maka tidak termasuk dalam batasan ini
seperti menentukan pengajian pada malam jum’at, malam minggu, minggu pagi dan hari-hari
lainnya selama tidak memiliki keyakinan dalam menentukannya bahwa ini memiliki nilai lebih.
Contoh Penerapannya :
Talafudz binniyah (melafadzkan niyat) sebelum shalat dikatakan bid’ah secara syar’I
dikarenakan:
Merupakan suatu cara/jalan dalam agama, tentu saja karena berkaitan dengan shalat
Mukhtaro’atun (diada-adakan); tidak ada satupun keterangan yang menceritakan bahwa Rasul
dan Para sahabat melafadzkan niyat sebelum shalat.
Menyerupai syari’at; ditentukan waktunya dan bentuk lafadz-lafadz niyatnya
Meyakini ada nilai lebih dari pada yang hanya dalam hati; mereka mengatakan niyat itu
tempatnya dalam hati sedangkan melafadzkannya adalah sunnat karena lisan dapat
menguatkan hati.
Ibnu Rajab berkata, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang diada-adakan dari sesuatu
yang tidak ada satu pun landasan dalam syari’at yang menunjukkan kepadanya, adapun jika
ada landasan dari syari’at yang menunjukkan kepadanya maka bukanlah bid’ah secara syar’I
walaupun dikatakan bid’ah secara lughawiy (bahasa).” (2/127) جامع العلوم والحكم
Dengan demikian yang termasuk ke dalam bid’ah syar’iyah dapat dikategorikan sebagai
berikut,
Setiap yang menyalahi sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pun aqidah, walaupun
merupakan hasil ijthad.
Setiap urusan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala padahal
Rasulullah sallalahu ‘alaihi wasallam telah melarangnya
Setiap urusan yang tidak mungkin dilaksanakan syariatnya kecuali berdasarkan nash (Al-Quran
dan As-Sunnah)
Sesuatu yang dilekatkan dengan Ibadah padahal merupakan kebiasaan orang kafir
Sesuatu yang disunnatkan oleh para ulama (terutama ulama muta’akhir) padahal tidak ada
dalil yang menunjukkannya
Setiap ibadah yang dijelaskan secara umum oleh As-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya), kemudian
dibatasi oleh orang-orang dengan batasan-batasan yang ditentukannya sendiri baik berupa
tempat, waktu, sifat atau pun jumlahnya.
Setiap Ibadah yang tidak diterangkan kaifiyatnya kecuali dalam hadits dhaif dan maudhu’
Hukum Bid’ah
. وسترون من بعدي اختلفا شديدا. والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا. عليكم بتقوى الله
وإياكم والمور. عضوا عليها بالنواجذ. فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
(15 / 1) – سنن ابن ماجه. فان كل بدعة ضللة. المحدثات
Pada hadits di atas kata “bid’ah” didahului oleh lafadz “kullu” Menurut Ulama Ushul lafadz
tersebut termasuk lafadz yang menjelaskan keumuman “Am”, selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya maka tetap berlaku umum. Dengan demikian mengamalkan bid’ah
syar’iyyah hukumnya haram.
Adapun bid’ah dalam pengertian bahasa (bid’ah lughowiyah) tidak selamanya bersifat
dhalalah, tetapi tergantung kepada penggunaannya. Oleh karena itu dalam dalam kitab Syarah
Nawawi ‘ala Shahih Muslim beliau mengutip perkataan Para Ulama tentang pembagian bid’ah,
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة (شرح النووي
(154 /6) (على مسلم
Para Ulama berkata, “Bid’ah itu ada lima pembagian, yaitu wajib, Mandub, Haram, Makruh
dan Mubah.
Penggunaan Bid’ah Lughawiyah (menurut bahasa) lebih umum dari pada Bid’ah syar’Iyah,
Karena Setiap bid’ah menurut syar’I, maka digunakan pula menurut bahasa. Tetapi tidak
setiap penggunaan bid’ah menurut bahasa berarti bid’ah menurut syar’i.
Bid’ah Syar’I selamanya bersifat dhalalah (sesat), adapun bid’ah lughawiyah tidak selamanya
bersifat dhalalah.
[51 :]النور
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan
kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Orang-orang yang taqlid buta terhadap tokoh agamanya tanpa mau mengerti alas an benar
dan salahnya, jarang sekali dari mereka yang mau menerima kebenaran karena hati mereka
telah tertutup dan tidak mau mengikuti kecuali dari tokoh agama yang mereka agungkan itu .
Hal ini dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam al-Quran surat At-Taubah ayat 31
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Golongan ini tidak mau menerima kebenaran kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu dan
akalnya sendiri, sehingga menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan baginya. Allah Ta’ala
berfirman :
{ كيعل
ل ل ل ل
ن ع لل لي رهض ول ض ت تل ع
كو ع واه ع أفلأن ر ل خذ ل إ ضل لهل ع
ه هل ل ن ات س ل
م ض [ } ألرأي ر ل43 :]الفرقان
ت ل
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,