Anda di halaman 1dari 12

Tahap ketiga persalinan terjadi sejak bayi lahir hingga plasenta lahir.

Tujuan penanganan
tahap ketiga pesalinan adalah pelepasan dan ekspulsi segera plasenta, yang dicapai dengan
cara yang paling mudah dan paling aman. Plasenta melekat pada lapisan desidua lapisan basal
tipis endometrium oleh banyak vili fibrosa-sama seperti perangko yang ditempel pada
selembar perangko. Setelah janin dilahrkan, dengan adanya kontraksi uterus yang kuat, sisi
plasenta akan jauh lebih kecil sehingga tonjolan vili akan pecah dan plasenta terlepas dari
perlekatannya. Dalam kondisi normal, beberapa kontraksi kuat pertama, lima sampai tujuh
menit setelah kelahiran bayi, plasenta akan terlepas dari lapisan basal. Plasenta tidak akan
mudah lepas dari uterus yang kendur karena ukuran permukaan sisi plasenta tidak akan
berkurang.

Pelepasan plasenta diindikasikan dengan tanda-tanda berikut (Gbr. 12-24):

1. Fundus yang berkontraksi kuat


2. Perubahan bentuk uterus dari bentuk cakram menjadi bentuk oval bulat, sewaktu
plasenta bergerak kearah segmen bagian bawah
3. Darah berwarna gelap keluar dengan tiba-tiba dari introitus
4. Tali pusat bertambah panjang dengan majunya plasenta mendekati introitus
5. Vagina (plasenta) penuh pada pemeriksaan vagina atau rektum atau membran janin
terlihat di introitus.

Secara klinis tidak penting apakah plasenta pertama-tama tampak pada permukaan janin yang
licin (koordinasi Schultze) atau plasenta berputar sehingga terlihat permukaan maternalnya
yang kasar. Setelah plasenta dan membrannya keluar, perawat memeriksa apakah menerima
plasenta utuh untuk memastikan tidak ada bagian yang tertinggal di dalam rongga uterus
(yaitu tidak ada bagian plasenta atau membran yang tertinggal).

Tanda Masalah Potensial

Meskipun pemberian jasa kesehatan telah selesai mengeluarkan plasenta, perawat terus
memantau tanda-tanda penurunan kesadaran atau perubahan pernapasan. Karena adanya
perubahan kardiovaskular yang cepat (yaitu peningkatan tekanan intrakranial selama
mengedan dan pertambahan cepat curah antung), periode ini merupakan periode dimana
dapat terjadi risiko ruptur aneurisma serebri yang memang telah ada dan emboli paru-paru.
Risiko emboli cainan amnion pada paru-paru juga terjadi karena sebab lain. Dengan lepasnya
plasenta, ada kemungkinan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu jika otot uterus tidak
berkontraksi dengan cepat dan baik. Insiden kemungkinan komplikasi ini memang kecil,
tetapi perawat yang waspada dapat membantu mengenali komplikasi ini dengan segera
sehingga dapat dilakukan penanganan segera.

Pertimbangan Keperawatan

Untuk membantu ibu melahirkan plasenta, perawat atau pemberi layanan kesehatan memberi
tahu wanita untuk mengedan jika ada tanda-tanda pelepasan Plasenta. Bila mungkin, plasenta
harus dikeluarkan dengan usaha ibu sewaktu uterus berkontraksi, tetapi bantuan, seperti
kompresi berganti dan elevasi fundus ditambah traksi tali pusat terkendali dan seminimum
mungkin, dapat dilakukan untuk membantu kelahiran plasenta dan selaputnya. Jika
diperintahkan untuk memberikan obat oksitoksik, perawat memberikannya dalam dosis dan
rute yang diperintahkan pemberi layanan kesehatan setelah plasenta dikeluarkan. Setelah
tahap ketiga persalinan selesai, robekan diperbaiki atau jika dilakukan episiotomi maka
robekan ini dijahit dan daerah vulva dengan lembut dibersihkan dengan air steril, dan
pembalut wanita steril dikenakan pada perineum.

Keluarga pada Tahap Ketiga

Kebanyakan orangtua merasa senang jika dapat memegang, menggendong, memeriksa bayi
segera setelah lahir. Kedua, dapat membantu dengan mengeringkan bayi dengan
seksama. Bayi dapat dibungkus dengan selimut dan diletakkan di atas perut ibu. Jika mereka
menginginkan kontak kulit, bayi yang tidak dibungkus dapat ditempatkan pada perut ibu
kemudian ditutupi selimut hangat.

Menggendong bayi baru lahir sehingga menempel pada kulit ibu akan mempertahankan suhu
tubuh bayi tetap hangat. Topi bayi dapat dipakai untuk alas kepala (Plat 1, O). Perawat
bertanggung jawab agar bayi tetap hangat dan tidak tergelincir dari pegangan orangtua.

Dewasa ini, banyak wanita ingin segera menyusui bayinya yang baru lahir dengan
memanfaatkan keadaan bayi dalam keadaan terjaga ( periode reaktivitas pertama) dan
membantu produksi oksitosin yang membantu kontraksi uterus (Plat 1, L dan O). Sedangkan
yang lain ingin menunggu sampai bayi yang baru lahir, orangtua dan kakak-kakak bayi
bersama-sama di dalam ruang pemulihan.

Sewaktu pemberi layanan kesehatan melakukan pemeriksaan dalam setelah melahirkan, ibu
biasanya merasa nyeri. Oleh karena itu, sewaktu pemeriksaan dilakukan, perwat dapat
memeriksa keadaan fisik bayi yang baru lahir, bayi dapat ditimbang dan diukur, dibungkus
dengan selimut hangat, kemudian diserahkan ke pasangan untuk digendong.

Hubungan Orangtua-Bayi Baru Lahir

Reaksi ibu sewaktu melihat bayinya yang baru lahir dapat berupa tertwa sangat senang,
berbicara dan bahkan menangis sampai sikap apatis. Senyum dan anggukan sopan mungkin
diberikan sebagai tanggapan terhadap komentar perawat dan pemberi layanan kesehatan.
Kadang-kadang reaksi ibu dapat berupa sikap marah atau tidak peduli, ibu membuang muka
terhadap bayi, berkonsentrasi pada nyerinya, dan kadang-kadang memberi komentar yang
kejam. Reaksi yang berbeda-beda ini dapat timbul karena perasaan senang, kelelahan, atau
kekecewaan yang mendalam. Apapun reaksinya dan sebab yang menimbulkannya, ibu perlu
tetap diterima dan didukung oleh semua staf. Catatan reaksi orangtua terhadap bayi yang baru
lahir dapat ditulis di catatan pemulihan. Bagaimana sikap orangtua? Apa yang mereka
katakan? Apa yang mereka lakukan? Kakak bayi, yang mungkin hanya muncul dan tertarik
pada fase-fase akhir tahap kedua, kembali tertarik dan dapat dianjurkan menggendong
anggota keluarga yang baru itu (Gbr. 12-25) Orangtua biasanya memberi tanggapan terhadap
pujian kepada bayi mereka yang baru lahir. Banyak pula yang perd dryakinkan bahwa warna
keabu- abuan pada ujung ekstremitas bayi segera setelah lahir adalah normal sampai sirkulasi
berjalan dengan baik (Plat1,). Apabila memungkinkan, perawat perlu menjelaskan alasan
tulang-tulang kepala bayi baru lahir saling menyusup (molase). Keterangan mengenai
rutinitas rumah sakitnya dapat dijelaskan. Anggota staf rumah sakit, dengan minat dan
kepedulian mereka, dapat berbuat banyak untuk membua peristiwa ini menjadi pengalaman
yang memuaska bagi orangtua, keluarga, dan orang-orang terdekat.

GANGGUAN INTEGRITAS KULIT TERKAIT PROSES MELAHIRKAN

1. Episiotomi

A. Defenisi

Episiotomi dalam artian sempit adalah insisi pudenda. Periniotomi adalah insisi pada
perineum. Akan tetapi , dalam bahasa biasa episiotomi sering sama digunakan dengan
episiotomi. Dengan kata lain episiotomi adalah insisi pada perineum untuk memperbesar
mulut vagina. Pengertian lain dari episiotomi adalah insisi dari perineum untuk memudahkan
persalinan dan mencegah ruptur perineum totalis. Pada masa lalu dianjurkan untuk
melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya untuk mencegah ruptur yang secara
berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata agar memudahkan penjahitan, mencegah
penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, tetapi hal itu tidak didukung oleh bukti-bukti
ilmiah yang cukup.

Sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak diperbolehkan, karena ada
indikasi tertentu untuk dilakukan episiotomi . para penolong persalinan harus cermat
membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang dianjurkan, bukan episiotominya.

Alasan mengapa episotomi bukan merupakan tindakan rutin adalah sebagai berikut :

1. Perineum dapat dipersiapkan melalui latihan keagel dan periode pada masa pranatal.
Latihan keagel pada peiode post partum dapat memperbaiki tonus otot-otot perineum.
2. Robekan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan episiotomi.
3. Nyeri dan tidak nyaman akibat episotomi dapat menghambat interaksi ibu anak dan
dimulai kembalinya hubungan seksual orang tua.
4. Kejadian laserasi derajat tiga dan empat lebih banyak terjadi pada episiotomi rutin
daripada tanpa episiotomi.
5. Meningkatnya resiko infeksi ( terutama jika prosedur PI ).

1. B. Indikasi Episiotomi
1. Gawat janin.
2. Penyulit persalinan pervaginam ( sunsang, distosia bahu, ekstraksi forcep dan
vakum, bayi besar, presentasi muka, dll ).
3. Pada persalinan prematur.
4. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan
persalinan.

Tujuan episiotomi adalah supaya tidak terjadi robekan perineum yang tidak teratur dan
robekan pada muskulus sfinter ani ( ruptura perineum totalis ) yang tidak bisa dijahit dan
dirawat dengan baik jika terjadi akan mengakibatkan beser berak ( inkontinensia alvi ).

1. C. Tujuan episotomi
1. Mempercepat persalinan dengan memperlebar jalan lahir lunak.
2. Mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan jahitan.
3. Menghindari robekan perineum spontan.
4. Memperlebar jalan laahir pada persalinan pervaginam dengan tindakan.

1. D. Manfaat episiotomi
1. Mencegah robekan perineum derajat tiga, terutama sekali dimana sebelumnya
ada laserasi yang luas didasar panggul. Insisi yang bersih dan dilakukan pada
posisi yang benar akan lebih cepat sembuh daripada luka yang tidak teratur.
2. Menjaga uretra dan klitoris dari trauma yang luas. Kemungkinan mengurangi
regangan otot penyangga kandung kemih atau rektum yang terlalu kuat dan
berkepanjangan, yang dikemudian hari akan menyebabkan inkonensia urin
daan prolaps vagina.
3. Mengurangi lama kala II yang mungkin penting terhadap kondisi ibu atau
keadaan janin ( fetal distress ).
4. Memperlebar vagina jika diperlukan menipulasi untuk melahirkan bayi,
contohnya pada presentasi bokong atau pada persalinan dengan tindakan.
5. Mengurangi resiko luka intrakranial pada baayi prematur.

pada saat tindakan episiotomi mungkin diperlukan pada keadaan yang pasti. Beberapa
kerugian yang harus diingat adalah sebagai berikut :

1. Dapat menyebabkan nyeri pada masa nifas yang tidak perlu, sering membutuhkan
penggunaan analgesik.
2. Menyebabkan ketidaknyamanan dan nyeri kerena insisi episiotomi juga penjahitan
saat berbaring dan duduk di tempat tidur, bisa menyebabkan imsomnia dan
mengganggu kemmpuan ibu untuk berinteraksi dengan bayinya pada minggu pertama
dan mengganggu ibu untuk menyusui bayinya. Banyak wanita juga mengalami nyeri
pada saat duduk di kursi dan pada saat berjalan. Nyeri bisa menyebabkan kesulitan
pada saat BAK.
3. Nyeri atau ketidaknyaman dapat berlangsung lama sampai beberapa minggu atau satu
bulan postpartum.
4. Terjadi perdarahan, perdarahan hebat jarang terjadi.
5. Insisi dapat bertambah paanjang jika persalinan tidak terkontrol atau jika insisi tidak
adekuat/ tidak dilakukan dengan baik.
6. Selalu ada resiko infeksi, terutama bila berdekatan dengan anus.
7. Dipauruneria dan ketakutan untuk memulai hubungan seksual. Mungkin berlanjut
sampai beberapa bulan setelaah melahirkan.

Pertimbangan melakukan episiotomi :

1. Waktu yang tepat melakukan episiotomi


1. Pada waktu puncak his dan saat pasien meneran.
2. Perineum sudah tipis.
3. Lingkar kepala pada perineum sekitar 5 cm.
4. Indikasi melakukan episiotomi
1. Hampir pada mayoritas primigravida, tapi evidanced based
menyatakan hal ini dapat dihindari dengan mempertimbangkan
elastisitas perineum.
2. Pada multigravida dengan perineum kaku.
3. Pada persalinan prematur atau letak sungsang.
4. Teknik pelaksanana episiotomi.

1. E. Jenis-jenis Episiotomi
2. 1. Episiotomi mediolateralis

Merupakan insisi perineum kearah bawah, tetapi menjauhi rektum, selain itu dapat juga
kearah kanan atau kiri tergantung tangan dominan yaang digunakan oleh penolong.
Episotomi mediolateralis memotong sampai titik tendineus pusat perineum, melewati
bulbokavernosus dan otot-otot tranversus perinei supervisialis dan profunda, kemudian
kedalam otot pubokoksigeus ( levator ani ). Banyaknya otot pubokosigeus yang dipotong
tergantung pada panjang dan kedalaman insisi. Pada epsiotomi medialateralis penolong
diharapkan agar berhati-hati untuk memulai potongan pada aspek lateral fourchete atau
mengarahkan potongan terlalu jauh ke sisi lateraal sebagai upaya menghindari kelenjar
bartholin di sisi tersebut.

Episiotomi mediolateral paling sering digunakan karena relatif lebih aman untuk mencegah
perluasan ruptur perineum ke arah derajat tiga dan empat. Pada episiotomi ini kehilangan
darah akan lebih banyak dan perbaikan lebih sulit, serta lebih nyeri dibandingkan episiotomi
median.

Pengguntingan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur
perineum tingkat tiga. Perdarahan luka lebih banyak karena melibatkan daerah yang lebih
banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih
sukar. Penjahitan dilakukan sedekimikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya
harus simetris.

1. 2. Episiotomi Medialis

Pengguntingan yang dimulai pada garis tengah komisura posterior lurus kebawah, tetapi
tidak sampai mengebai serabut sfingter ani. Episiotomi medialis merupakan insisi pada garis
tengah perineum kearah rektum, yaitu ke arah titik tendensius perineum, memisahkan dua sisi
otot perineum bulbokavernosus. Otot transversus perinei profunda juga dapat dipisahkan,
bergantung pada kedalaman insisi.

Episiotomi ini efekti, lebih mudah diperbaiki, dan biasanya nyeri timbul lebih ringan.
Terkadang juga dapat terjadi perluasan ruptur perineum derajat tiga dan empat, namun
penyembuhan primer dan perbaikan ( jahitan ) yang baik akan memulihkan tonus otot
sfingter. Keuntungan dari episiotomi jenis ini adalah :

1. Perdarahan yang timbul dari luka lebih sedikit karena merupakan daerah yang relatif
sedikit mengandung pembuluh darah.
2. Pengguntiangan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kemabali lebih
mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.

Kerugian dari episiotomi jenis ini adalah dapat terjadinya ruptur perineum tingkat tiga
inkomplet ( laserasi muskulu sfinter ani ) atau komplet ( laserasi dinding rektum ).

3. Episiotomi Lateralis
Pengguntingan yang dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira jam tiga atau sembilan
menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan lagi karena banyak
menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat menyebar kearah dimana terdapat pembuluh
darah pudendal interna sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu
bparut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

4. Insisi Schuchardt

Jenis ini merupakan variasi dari episotomi mediolateralis, tetapi pengguntingannya


melengkung kearah bawah lateral, melingkari rektum dan sayatannya lebih lebar.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melakukan Episotomi

1. Jelaskan pada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan serta tujuannya.
2. Sebelum melakukan episiotomi, berikan anastesi pada perineum terlebih dahulu
karena ini merupakan salah satu dari asuhan sayang ibu.
3. Jangan melakukan episotomi terlalu dini karena ini akan menyebabkan perdarahan.
Tunda sampai perineum menipis dan pucat, serta diameter kepala bayi nampak di
vulva 5-6 cm.
4. Arah guntingan adalah mediolateral untuk menghindari ruptur perineum totalis.
5. Jangan menggunting perineum sedikit demi sedikit karena akan luka tidak rata dan
sulit untuk dijahit.
6. Perikasa selalu gunting yang digunakan, pastikan selalu dalam keadan tajam dan
steril.

Persiapan Dalam Melakukan Episotomi Adalah Sebagai Berikut :

1. Mempertimbangkan indikasi-indikasi untuk melakukan episotomi dan pastikan bahwa


episiotomi itu penting dilakukan untuk keselamatan dan kenyamanan ibu dan bayi.
2. Pastikan semua bahan dan perlengkapan sudah tersedia dan dalam keadaan
desinfektan tingkat tinggi atau steril.
3. Gunakan teknik aseptik tiap saat. Gunakan sarung tangan DTT atau steril.
4. Jelaskan pada ibu tindakan yang akan dilakukan , serta jelaskan secara rasional alasan
diperlukannya tindakan episiotomi dilakukan.

Dalam melaksanakan episotomi, berikan anestesi lokal secara dini agar obat tersebut
mempunyai tepat waktu untuk memberikan efek sebelum dilakukan episotomi. Pada
episiotomi diberikan anastesi karena tindakaan ini menimbulkan rasa sakit dan memberikan
ansatesi lokal merupakaan asuhan sayang ibu.

Memberikan Anestesi Lokal

1. Jelaskan kepada ibu apa yang dilakukan dan bantu ibu untuk merasa rileks.
2. Masukkan 10 ml larutan lidokain 1% kedalam tabung suntik steril ukuran 10
ml ( tabung suntik yang lebih besar juga dapat digunakan jika diperlukan ). Jika
lidokain 1% tidak tersedia, larutka sebagian lidokain 2% dengan 1 bagian cairan
garam fisiologis atau air distilasi steril, sebagai contoh larutkan 5 ml larutan lidokain
dalam 5 ml garam fisiologis atau air steril.
3. Pastikan tabung suntik memiliki jarum ukuran 22 dan panjang 4 cm ( jarum yang
lebih panjang boleh digunakan apabila diperlukan ).
4. Letakan dua jari kedalam vaagina diantara kepala bayi dan perineum.
5. Masukkan jarum ditengah fourchete dan arahkan jarum sepanjang tempat yang akan
dilakukan episiotomi.
6. Aspirasi ( tarik batang penghisap ) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada
dalam pembuluh darah. Jika darah masuk kedalam tabung suntik, jangan suntikkan
lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi jarum dan tusukkan kembali.
7. Tarik jarum perlahan-lahan sambil menyuntikkan lidokain maksimun 10 ml lidokain.
8. Tarik jarum bila sudah kembali ketitik asal jarum suntik ditusukkan. Kulit melembung
sehingga anastesi bisa terlihat dan dipalpasi pada perineum di sepanjang garis yang
akan dilakukan episotomi.

1. F. Prosedur Pelaksanaan Episotomi


2. Tunda tindakan episotomi hingga perineum menipis dan pucat, serta 3-4 cm kepala
bayi sudah terlihat pada saat kontraksi. Alasan : melakukan episiotomi akan
menyebabkan perdarahan jangan melakukan secara dini.
3. 2. Masukkan dua jari kedalam vagina diantara kepala bayi dan perineum. Kedua
jari agak diregangkan dan berikan tekanan lembut kearah luar pada perineum.
4. Gunakan gunting tajam disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Tempatkan gunting
ditengah fourchette posterior dan gunting mengarah kesudut yang diinginkan, untuk
melakukan episotomi mediolateralis ( jika penolong bukan kidal, episiotomi
mediolaterla yang dilakukakan disisi kiri lebih mudah dijahit ). Pastikan untuk
melakukan palpasi/ mengidentifikasi sfingter ani eksternal dan mengarahkan gunting
cukup jaauh kearah samping untuk menghindari sfingter.
5. Gunting perineum sekitar 3-4 cm dengan arah mediolateral menggunakan satu atau
dua arah gunting yang mantap. Hindari menggunting sedikit demi sedikit karena akan
menimbulkan tepi luka yang tidak rata sehingga akan menyulikan penjahitan atau
penyembuhan yang lebih lama.
6. Gunakan gunting untuk memotong sekitar 2-3 cm kedalam vagina.
7. Jika kepala belum juga lahir, lakukan tekanan pada luka episotomi dengan dilapisi
kain atau kasaa disinfeksi tingkat tinggi atau steril diantara kontraksi untuk membantu
mengurangi perdarahan.
8. Kendalikan kelahiran kepala, bahu dan badan bayi untuk mencegah perluasan
episotomi.
9. Setelah bayi dan plasenta lahir, periksa dengan hati-hati apakah episotomi, perineum,
dan vagina mengalami perluasan dan laserasi, lakukan penjahitan jika terjadi
perluasan episotomi atau laserasi tambahan.

2. Laserasi

A. Definisi
Adapun defenisi/pengertian Laserasi Jalan Lahir dari beberapa sumber buku adalah sebagi
berikut :
1. Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Robekan
jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum
ekstraksi, atau karena versi ekstrasi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka
episiotomi,robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perineum totalis (sfingter
ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan
uretra dan bahkan yang terberat ruptur uteri. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik,
biasanya karena ada laserasi ataupun sisa plasenta. (Prawirohadjo, Sarwono. 2014. Ilmu
Kebidanan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiirohardjo. Jakarta)
2. Robekan jalan lahir adalah trauma yang diakibatkan oleh kelahiran bayi yang terjadi
pada serviks, vagina, atau perineum. (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)
3. Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim
baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari laserasi jalan lahir.
(https://bettymaharani.wordpress.com/2015/05/28/makalah-robekan-jalan-lahir/)

B. FAKTOR RESIKO LASERASI JALAN LAHIR


a. Faktor maternal
1. Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling sering)
2. Pasien tidak mampu berhenti mengejan
3. Partus diselesaikan secara tergesa – gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan
4. Edema dan kerapuhan pada perineum
5. Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
6. Arcus pubis dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke
arah posterior
7. Perluasan episiotomi
b. Faktor janin
1. Bayi yang besar
2. Posisi kepala ynag abnormal – misalnya presentasi muka dan occipitoposterior
3. Kelahiran bokong
4. Ekstraksi forcep yang sukar
5. Distosia bahu
6. Anomali kongenital, seperti hidrocephalus
(Oxorn, Harry, R.Forte, William. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi Persalinan. CV
Andi Offset. Yogyakarta)

C. ETIOLOGI LASERASI JALAN LAHIR


 Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan
jalan lahir dan karena itu di hindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)
 Robekan/laserasi jalan lahir diakibatkan episiotomi, robekan perineum spontan, trauma
forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.
(Prawirohadjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawiirohardjo. Jakarta)

D. DIAGNOSIS LASERASI JALAN LAHIR


 Tanda atau gejala robekan vagina, perineum atau serviks antara lain, terjadi plasenta keluar,
terdapat perdarahan namun uterus berkontraksi, pada inspeksi plasenta kotiledon plasenta
lengkap. (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)
 Laserasi dalam jalan lahir memiliki derajat tertentu :
- Laserasi derajat I :
a. Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura posterior dan kulit perineum. (Maryunani,
Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info
Media. Jakarta)
b. Robekan derajat pertama meliputi mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum tepat
dibawahnya. (Oxorn, Harry, R.Forte, William. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi
Persalinan. CV Andi Offset. Yogyakarta)
c. Perlukaannya hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum. (Nugroho, Taufan.
OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan Keperawatan. 2012. Nuha Medika.
Yogyakarta)
- Laserasi derajat II :
a. Perlukaanya terjadi pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot
perineum. (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)
b. Laserasi derajat kedua merupakan luka robekan yang lebih dalam. Luka ini terutama mengenai
garis tengah dan melebar sampai corpus perineum. (Oxorn, Harry, R.Forte, William. 2010.
Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi Persalinan. CV Andi Offset. Yogyakarta)
c. Adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia
serta otot – otot diafragma urogenital. (Nugroho, Taufan. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi
untuk Kebidanan dan Keperawatan. 2012. Nuha Medika. Yogyakarta)
- Laserasi derajat III :
a. Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura porterior, kulit perineum, otot perineum dan
otot sfinter ani. (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)
b. Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus tranversus perineus dan
sphinceter recti. (Nugroho, Taufan. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan
Keperawatan. 2012. Nuha Medika. Yogyakarta)
c. Perlukaan yang meluas dan lebih dalam yang menyebabkan musculus sfinter ani eksternus
terputus didepan robekan serviks. (Nugroho, Taufan. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk
Kebidanan dan Keperawatan. 2012. Nuha Medika. Yogyakarta)
- Laserasi derajat IV :
a. Perlukaan terjadi pada mukosa vagina, komisura porterior, kulit perineum, otot perineum dan
otot sfinter ani dan dinding depan rectum. (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)

E. PENATALAKSANAAN LASERASI JALAN LAHIR


 Rupture Perineum dan Robekan Dinding Vagina
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
3. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
4. Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator
5. Khusus pada rupture perineum komplit (hingga anus dan sebagian rectum) dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rectum, sebagai berikut :
 Setelah prosedur aseptik – antiseptik, pasang busi pada rectum hingga ujung robekan
 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa, menggunakan
benang poliglikolik no.2/0(dexon/vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan
klem dan jahit dengan benang no.2/0
 Lanjutkan penjahitan kelapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau
kromik 2/0) secara jelujur o mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosa dan
subkutikuler
 Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazole 1 g/oral). Terapi penuh
antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau
terdapat tanda – tanda infeksi yang jelas.
 Robekan Serviks
1. Robekkan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan mengalami
robekkan pada posisi spina iscidiadika tertekan oleh kepala bayi
2. Bila kontrasi uterus baik plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera
lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
3. Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera
dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekkan lain , lakukan penjahitan.
Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemuduan ke arah luar sehingga semua robekkan dapat
di jahit.
4. Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontrasi uteru, TFU, dan perdarahan pasca tindaka.
5. Beri antibiotika proflasis, kecuali bila jelas di temui tanda-tandai infeksi
6. Bila terdapat defisit cairan , lakukan restorasi dan bila kadar Hb kurang dari 8%, berikan
transfusi darah. (Nugroho, Taufan. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan
Keperawatan. 2012. Nuha Medika. Yogyakarta)

 Penatalaksanaan Laserasi Jalan Lahir Menurut (Maryunani, Anik, Puspita, Eka. 2014. Asuhan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info Media. Jakarta)
1. Lakukan pemeriksaan secara hati-hati
2. Jika terjadi laserasi derajat I atau II lakukan penjahitan dengan anestesi local, dan penerangan
lampu yang cukup.
3. Jika terjadi laserasi derajat III atau IV tu robekkan serviks
a. Pasang infus dengan menggunakan jarum besar (ukuran 16 atau 18) dengan menggunakan
cairan RL atau NS
b. Segera rujuk ibu kefasilitas dengan kemampuan gawat darurat obstetrik.
c. Damping ibu ketempat rujuk

F. YANG TERMASUK LASERASI JALAN LAHIR


a. Robekkan perenium.
Robekkan perenium terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekkan perenium umumnya terjadi di garis tengah dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arccuspubis lebih kecil dari pada
biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada ke biasa,kepala janin
melewati PAP dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkum ferensia suboccipito-
bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vagina.
b. Perlukaan/robekkan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berrhubungan dengan luka perenium tidak seberapa sering
terdapat. Mungkin ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai
akibat ekstraksi dengan cunam, lebih-lebih apabila kepala janin harus diputar. Robekkan
terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan dengan speculum. Perdarahan
biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan.
1. Kolpaporeksis
Ialah robekkan melintang atau miring pada bagian atas vagina, Kolpa poreksis juga bisa
timbul apabila pada tindakan pervaginam dengan memasukkan tangan penolong kedalam
uterus dibuat kesalahan, dan fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar supaya uterus jangan
naik keatas.
2. Fistula
Akibat pembedahan vaginan makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang
sulit untuk melahirkan anak banyak di ganti dengan Sc. Fistula dapat terjadi mendadak karena
perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rectum, mis ; karena robekan
serviks menjalar ketempat-tempat tersebut.
c. Robekkan serviks
Robekkan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen
bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir
lengkap dan uterus berkontraksi baik. Dan keadaan ini serviks haris diperiksa dengan
spekulum, apabila ada robekkan serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum,
supaya batas antara robekkan dapat dilihat dengan baik. (Prawirohadjo, Sarwono. 2014. Ilmu
Kebidanan Edisi Ketiga. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiirohardjo. Jakarta)

Anda mungkin juga menyukai