Anda di halaman 1dari 3

Memahami Sindrom Mengguncang Bayi

Oleh: dr Dito Anurogo MSc

Sindrom mengguncang bayi ibarat sekumpulan teroris pembuat miris. Betapa tidak? Hanya
mengguncang-guncang bayi tiada lama, namun berpotensi membuatnya kehilangan nyawa.
Bapak, ibu, kakek, nenek, atau pengasuh anak menjadi tersangka utamanya.

Kejadian sindrom mengguncang bayi (SMB) telah diketahui sejak beberapa dekade lalu.
Dimulai pada tahun 1946. Saat itu, John Caffey mengobservasi SMB pada bayi dengan
perdarahan di bagian dalam tengkorak kepala (intrakranial) dan patah (fraktur) tulang panjang.
Berlanjut di tahun 1960an, dokter beserta tim medis mengidentifikasi beragam tanda radiografis
serta tanda-tanda klinis terkait kekerasan bayi. Pada tahun 1972, Caffey mengungkapkan
terminologi battered baby syndrome untuk menyebutkan SMB. Barulah di tahun 2000an, SMB
menjadi topik menarik yang terus diperbincangkan di Amerika Serikat. Di Indonesia,
Di berbagai literatur medis, SMB dikenal memiliki beberapa sinonim. Misalnya: sindrom
mengguncang si Kecil, shaken baby syndrome, shaken impact syndrome, whiplash shaken infant
syndrome, pediatric abusive head trauma, inflicted traumatic brain injury, nonaccidental head
injury, nonaccidental head trauma.
Insiden SMB diprediksi 15-30 kejadian per 100 ribu bayi berusia kurang dari 1 tahun.
Bayi berusia kurang dari 1 bulan hingga anak berusia 5 tahun berpotensi besar mengalami SMB.
Pencetus utama kejadian SMB adalah tangisan kuat bayi yang berkelanjutan. Tangisan itu
sulit dihentikan. Orang-orang di sekitar atau di dekat bayi, seperti: ibu, bapak, kakek, nenek,
paman, kakak, tetangga, pengasuh anak, secara otomatis langsung berusaha untuk
menenangkannya. Umumnya, hal-hal yang dapat mereka lakukan adalah mengayun, menepuk,
atau mengguncang bayi supaya berhenti menangis.
Mengguncang bayi tidaklah serupa dengan menggoyang bayi dengan perlahan,
mengayun bayi dengan kaki yang bertujuan untuk menghibur sambil bersenda-gurau.
Memperlakukan bayi dengan cara mengguncang-guncang secara kuat, keras, atau kasar
berpotensi menimbulkan efek whiplash yang mencederai organ dalam, sehingga terjadi
perdarahan di berbagai organ, seperti mata dan otak.

Penyebab
Lynøe dan Eriksson (2019) mengemukakan teori hipoksia kapiler sebagai penyebab
SMB. Menurut teori ini, kekurangan oksigen (hipoksia) menyebabkan pembengkakan otak dan
peningkatan tekanan intraserebral, yang pada gilirannya menyebabkan perdarahan subdural
berbasis kapiler. Menurut teori hipoksia-kapiler, mengguncang tanpa disertai tanda atau dampak
tertentu bukanlah prasyarat berlangsungnya trias SMB (hematoma subdural, ensefalopati, dan
perdarahan retina).
Teori lain yang mendasari SMB didasarkan pada teori patogen, di sini dinamakan teori
traditional shaken baby. Teori ini menjelaskan; hanya kekuatan energi tinggi yang dapat
menyebabkan hematoma subdural, ensefalopati, dan pendarahan retina. Menurut teori ini,
terdapat tiga faktor terpisah dan independen yang mempengaruhi otak, vena, dan mata.
Guncangan keras seharusnya: (1) memiliki dampak langsung pada otak dengan merusak serabut
saraf, (2) merobek satu atau lebih vena penghubung, menyebabkan hematoma subdural dan (3)
merobek bodi vitreous dari retina, mengakibatkan perdarahan retina, yang diduga patognomonik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perdarahan retina tidak patognomonik, tetapi
sekunder akibat peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, ensefalopati disebabkan oleh
hipoksia, edema otak, dan peningkatan tekanan intrakranial, bukan oleh disrupsi (gangguan)
serabut saraf. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa mengguncang saja, yang tidak berdampak pada
kepala bayi, belumlah cukup untuk menghasilkan trias SMB.
Dokter dan tim medis yang terlibat investigasi kasus SMB, pilihan teori dipengaruhi oleh
nilai dan preferensi yang terkait dengan tujuan yang berlaku untuk melindungi bayi dari SMB.

Faktor Risiko
Kasus SMB dapat dialami oleh semua etnis, kelompok sosial ekonomi, dan ras dengan
kecenderungan bayi pria lebih rentan mengalaminya. Bayi cenderung mengalami peningkatan
morbiditas dan mortalitas seiring terjadinya kekerasan fisik. Berbagai faktor ikut meningkatkan
risiko SMB. Hal ini termasuk risiko di tingkat individu seperti disabilitas bayi, status janda, ibu
yang merokok, dan tingkat kejadian depresi pada orangtua. Risiko di tingkat famili adalah
kekerasan dalam rumah tangga serta keberadaan lebih dari dua saudara kandung di rumah.
Risiko di tingkat komunitas adalah isolasi, kurangnya fasilitas rekreasi, dan faktor sosial
(kemiskinan). Faktor lainnya berupa: tinggal di rumah orang dewasa yang bukan orangtuanya
dan merupakan bayi yang sebelumnya pernah dilaporkan ke layanan perlindungan anak. Semua
ini meningkatkan kemungkinan risiko SMB. Meskipun demikian, ada juga faktor protektif yang
mengurangi risiko penganiayaan bayi. Misalnya: dukungan keluarga dan kepedulian orangtua.
Pelbagai faktor preventif termasuk pendidikan orang tua mengenai perkembangan dan pola
pengasuhan (parenting) bayi, dukungan sosial, serta ketahanan orangtua.
Jelaslah bahwa faktor risiko SMB mencakup situasi dan perilaku yang melibatkan bayi,
keluarga, dan pengasuh. Saat bayi menangis hebat, pengasuh berpotensi menjadi frustasi.
Akibatnya, ia mengguncang-guncang bayi sebagai refleks spontan untuk membuatnya terdiam.
Tangisan bayi tersering dijumpai pada usia 6-8 minggu, kemudian perlahan mereda. Sebagai
konsekuensinya, kejadian SMB memuncak di periode yang sama. Faktor risiko SMB selain
kolik, misalnya: kurangnya perawatan prenatal (saat kehamilan, masa sebelum melahirkan),
kurangnya pengalaman dalam pengasuhan bayi, problematika kesehatan perilaku, riwayat
kekerasan dalam rumah tangga, intoleransi terhadap frustrasi, rendahnya tingkat edukasi,
rendahnya status sosial ekonomi, keluarga orangtua tunggal (single-parent), orangtua muda tanpa
dukungan memadai.

Potret Klinis
Karakteristik klinis khas penderita SMB antara lain: kepala bengkak dan ada area yang
lunak di kepala, dahi atau kepala terlihat membesar, kepala terkulai tidak mampu diangkat,
karena kekuatan otot menurun. Mata tidak dapat fokus, ukuran pupil berbeda, tak bisa mengikuti
gerakan. Perilakunya berubah menjadi rewel, cenderung suka mengantuk, suka marah, menjadi
sensitif, mudah mengamuk. Keceriaan dan senyuman mendadak hilang, tidak mau bergumam.
Postur tubuh menjadi kaku, seperti berpura-pura. Refleks menelan dan menghisap memudar,
menolak saat disuapi, tidak lagi berselera makan, terkadang muntah tanpa sebab. Pada stadium
lanjut, penderita SMB dapat mengalami kejang, denyut jantung melemah, sulit bernapas. Pada
kasus tertentu yang amat fatal, bayi dapat ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa.
Kivlin JD, dkk (2000) mengemukakan bahwa SMB menyebabkan otak mengalami cedera
parah yang berdampak ke indra penglihatan. Cedera otak berupa perdarahan otak di bagian
subdural dan subarachnoid. Problematika penglihatan yang umum dijumpai adalah retinoschisis,
lipatan retina sirkuler, dan perdarahan vitreous. Perdarahan retina sangat umum terjadi, tetapi
kehilangan penglihatan tersering merupakan akibat dari cedera otak. Penegakan diagnosis SMB
dilakukan tim medis (dokter umum, oftalmologis, pediatrik, neurolog) berdasarkan hasil
pemeriksaan sistem persarafan, mata, CT (Computed Tomography) scan, dan magnetic
resonance imaging (MRI).

Solusi
Strategi atau pendekatan sayang bayi pada kejadian SMB adalah dengan mengupayakan
bayi agar diam atau berhenti menangis. Cara menghentikan tangisan bayi, misalnya: memberinya
air susu ibu (ASI), menyuapi dengan bubur, mengganti popoknya, menepuk punggung secara
perlahan agar bersendawa, memastikan suhu ruangan nyaman bagi bayi, memastikan temperatur
tubuh bayi normal, memeriksa pakaian yang dipakainya tidak terlalu longgar dan tidak terlalu
ketat.
Perlu diketahui, bayi berumur 2 bulan memang akan sering menangis, terutama di sore
dan malam hari. Lamanya minimal 5 jam per hari. Mulai tidak cengeng saat berumur 3-5 bulan.
Terkadang tidak diketahui alasan bayi menangis. Saat menangis, mimik mukanya seolah
kesakitan atau nyeri, meskipun sebenarnya normal saja. (dr Dito Anurogo MSc adalah dosen
FKIK Unismuh Makassar, instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, Director
networking IMA Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, dokter literasi digital,
penulis puluhan buku, kepala LP3AI ADPERTISI, pengurus FLP Makassar Sulsel, pengurus
APKKM)

Anda mungkin juga menyukai