BETHSAIDA
WILAYAH TANGERANG TAHUN 2013
BERDASARKAN SELF ASSESSMENT
Skripsi
Disusun untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Sain dalam bidang Farmasi
Oleh:
Heri Pratama Hadiyanto
201251025
Program Studi Farmasi
(2) Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
(3) Kemasan Obat yang Diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya.
(4) Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan
obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien.
(5) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien
tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit
kronis lainnya.
2) Pelayanan Obat Non Resep
Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat-obatan
(termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati
penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Swamedikasi juga
didefinisikan sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep dokter oleh
masyarakat atas inisiatif mereka sendiri11.
Oleh karena itu pemerintah menetapkan Daftar Obat Wajib Apotik (OWA)
nomor 1 dan 2 dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri secara tepat,
aman dan rasional melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan
untuk pengobatan sendiri yang sekaligus menjamin penggunaan obat
secara tepat, aman dan rasional.
Daftar ini berisikan golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter
oleh masyarakat dalam upaya melakukan swamedikasi adalah obat bebas,
bebas terbatas dan OWA, khusus untuk OWA adalah obat keras yang
dapat diserahkan tanpa resep dokter hanya oleh apoteker di apotek dan
terbatas pada obat keras yang tercantum dalam lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek.
Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan
batasan tiap jenis obat per pasien yang tercantum dalam daftar obat wajib
apotek. Wajib pula membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan dan
memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi,
efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien13.
Berikut adalah kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep14:
a) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko
pada kelanjutan penyakit.
c) Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi
di Indonesia
e) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
3) Pelayanan Komunikasi, Informasi Dan Edukasi
Apoteker sebenarnya harus berperan sebagai penghubung antara dokter
dengan pasien. Kepada dokter apoteker mempunyai kewenangan untuk
memberikan masukan dan atau pertimbangan tentang jenis dan ragam obat
yang bisa digunakan untuk penyakit tertentu. Sementara kepada pasien,
apoteker bertugas memberikan penjelasan tentang jenis dan harga obat
yang cocok dengan berbagai pertimbangan. Apoteker pun wajib
memberikan informasi tentang khasiat, efek samping dan cara penggunaan
yang tepat.
a) Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang harus dilakukan
oleh apoteker untuk memberikan informasi dan konsultasi secara
akurat, tidak bias, faktual, terkini, mudah dimengerti, etis dan
bijaksanan. Kegiatan pelayanan informasi obat berupa penyediaan dan
pemberian informasi obat yang bersifat aktif atau pasif. Pelayanan
bersifat aktif apabila apoteker memberikan informasi obat dengan
tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan
informasi obat, misalnya memperlihatkan brosur, poster atau majalah
kesehatan dan lain sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila
apoteker memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan
yang diterima.
Informasi obat yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya
meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu
pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi.
b) Konseling
Konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang mempunyai
tanggung jawab untuk memberi informasi dan edukasi mengenai halhal
yang berkaitan dengan obat. Konseling pasien merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian,
karena apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan kegiatan
menyediakan, membuat dan mendistribusikan produk yang berkhasiat
obat saja, tetapi juga harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga
kesehatan lainnya.
Konseling dapat dilakukan pada :
(1) Pasien dengan penyakit kronik seperti : diabetes, TB, dan asma,
dll.
(2) Pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan.
(3) Pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang
memerlukan pemantauan.
(4) Pasien dengan multirejimen obat.
(5) Pasien lansia.
(6) Pasien pediatrik melalui orang tua atau pengasuhnya.
(7) Pasien yang mengalami Drug Related Problems.
c) Promosi dan Edukasi
Promosi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan
memberikan inspirasi kepada masyarakat sehingga termotivasi untuk
meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri. Edukasi adalah
kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan
tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama
pasien setelah mendapatkan informasi untuk tercapainya hasil
pengobatan yang optimal.
f. Pelayanan Residensial (Home Care)
Merupakan pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien yang
dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien dengan
penyakit kronis. Tujuannya yaitu agar pasien yang keadaan fisiknya tidak
memungkinkan datang ke apotek masih mendapatkan pelayanan kefarmasian
secara optimal.
Pasien yang memerlukan pelayanan home care diantaranya:
1) Pasien yang lanjut usia yang tidak mampu lagi memenuhi aktivitas dasar
sehari-hari, misalnya mandi, makan, minum, memakai baju secara mandiri.
2) Pasien dengan penyakit kronik dan memerlukan perhatian khususnya tentang
penggunaan obatnya, interaksi obat dan efek samping obat.
3) Pasien yang memerlukan obat secara berkala dan terus menerus misalnya
pasien TB.
Jenis layanan Home Care:
1) Informasi penggunaan obat
2) Konseling pasien
3) Memantau kondisi pasien pada saat menggunakan obat dan kondisinya setelah
menggunakan obat serta kepatuhan pasien dalam minum obat
Home Care dapat dilakukan dengan 2 cara:
1) Dengan kunjungan langsung ke rumah pasien
2) Dengan melalui telepon
g. Evaluasi Mutu Pelayanan
Merupakan penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di apotek meliputi
penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM), pengelolaan perbekalan sediaan
farmasi dan kesehatan, pelayanan kefarmasian kepada pasien. Tujuannya untuk
mengevaluasi seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan
sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian. Indikator yang digunakan untuk
mengevaluasi mutu pelayanan adalah:
1) Tingkat kepuasan konsumen yang dilakukan dengan survei berupa angket atau
wawancara langsung.
2) Dimensi waktu atau lama pelayanan diukur dengan waktu yang telah
ditetapkan.
3) Prosedur tetap (protap) untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang
telah ditetapkan.
B. Kerangka Berfikir
Pada saat ini orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser
dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented)
dengan mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang tadinya
hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi
pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Saat ini peran dan fungsi dari pelayanan kefarmasian di apotek masih
belum begitu dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi penyebab hal
ini adalah mutu pelayanan yang diberikan oleh apoteker di apotek masih belum
optimal. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat,
pemerintah mengeluarkan Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004. Adapun
tujuan disusunnya Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah sebagai
sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan melindungi profesi dalam
menjalankan praktik kefarmasian.
Dari hasil penelitian sebelumnya tentang Gambaran Pelaksanaan Standar
Pelayanan Farmasi di Apotek Tangerang Tahun 2003 menunjukan bahwa
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dinilai masih kurang baik.
Sampai tahun 2013 ini belum ada penelitian lebih lanjut tentang penerapan standar
tersebut, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui sudah sejauh mana
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek setelah 6 tahun
dikeluarkannya standar tersebut.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif, data dikumpulkan secara potong lintang
(cross sectional) dengan menggunakan angket.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan
Januari 2014 di apotek-apotek yang berlokasi di Jakarta Timur.
C. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh apotek wilayah Jakarta Timur. Sampel adalah
responden yang diambil dari populasi menurut hasil perhitungan jumlah sampel.
Jumlah sampel minimal dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut18:
n = /
()
() /
() .…………………… (1)
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimal
Z = Derajat kemaknaan (90% = 1,64)
P = Proporsi pelaksanaan standar pada penelitian sebelumnya (0,61)
N = Populasi (278 apotek)19
d = Presisi absolut (0,10)
=
, × , ( − , ) ×
, ( − ) + ,
× , ( − , ) =
Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah sampel yang digunakan untuk
wilayah Jakarta Timur sebanyak 52 apotek.
D. Teknik Pengumpulan Sampel
Sampel diambil melalui metode acak sederhana (simple ramdom sampling)
menggunakan tabel bilangan acak20. Langkah pertama yang dilakukan adalah
memberikan nomor urut pada populasi. Lalu menentukan bilangan pertama yang
digunakan untuk dijadikan sampel dilakukan dengan cara menjatuhkan ujung
pensil pada halaman tabel bilangan acak tersebut dan untuk mendapatkan 51
nomor selanjutnya dapat diambil bilangan-bilangan yang dibawahnya dan apabila
sudah mencapai baris terakhir dapat dilanjutkan pada kolom disebelahnya dan
begitu seterusnya sampai didapatkan 52 nomor. Karena tabel acak tesebut tiap
kolomnya terdiri dari 5 angka, maka nomor yang dijadikan sampel hanya 3 angka
terakhir.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui angket yang diberikan
kepada asisten apoteker ketika mengunjungi apotek. Angket tersebut diisi
berdasarkan penilaian sendiri (self assessment) oleh apotek terkait. Data yang
dikumpulkan meliputi karakteristik apotek yang diteliti: jenis kepemilikan apotek,
jumlah apoteker pendamping, jumlah asisten apoteker, lama buka apotek, jumlah
jumlah resep yang diterima per hari, dan jumlah dokter yang praktek. Serta data
pelaksanaan pengelolaan sumber daya, pelayanan obat tanpa resep, pelayanan
obat resep, pelayanan komunikasi informasi edukasi dan pelaksanaan evaluasi
mutu pelayanan yang dilakukan di apotek. Angket lebih jelas dapat dilihat pada
lampiran 1.
F. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara univariat21. Perolehan
skor untuk tiap apotek di hitung dengan cara seperti yang tertera pada lampiran 2.
Tiap angket dihitung skor pada masing-masing bidang pengelolaan sumber daya,
bidang pelayanan obat tanpa resep, bidang pelayanan obat resep, bidang
pelayanan komunikasi informasi edukasi dan bidang evaluasi mutu pelayanan dan
perolehan skor rata-rata dari ke lima bidang tersebut. Perolehan skor rata-rata
81%-100% (baik), 61%-80% (cukup baik), dan kurang dari 60% (kurang baik).
I. Definisi Operasional
1. Apotek mandiri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua apotek
yang berlokasi di wilayah Jakarta Timur kecuali apotek waralaba
(franchise), apotek rumah sakit, dan apotek rakyat.
2. Asisten apoteker adalah tenaga kesehatan yang berijazah Sekolah Asisten
Apoteker/Sekolah Menengah Farmasi serta memiliki Surat Izin Kerja
Asisten Apoteker (SIKAA) untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di
sarana kefarmasian22.
3. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku23.
4. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan24.