Anda di halaman 1dari 18

BAB III

URAIAN TEORI

3.1 Definisi Batubara


The International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa
batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman
dalam variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam
cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi.
Sedangkan (Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa batubara adalah bahan
bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang
terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan
tekanan yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara
adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah
mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang
mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami
berbagai perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika
dan kimia yang berlangsung selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu,
batubara termasuk dalam katagori bahan bakar fosil.

3.2 Proses Pembentukan Batubara


Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation),
yakni model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori
drift). Berikut akan dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara
tersebut.
a. Model Formasi Insitu
Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon
atau tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya
pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan
basah. Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohon-pohon
kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti angin (badai), dan
peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung
tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa
tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan
pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.

Gambar 3.1. Model Formasi Insitu

Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah


penutup pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak
menjadi busuk atau tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami
pengawetan alami. Dengan adanya rentang waktu yang lama, puluhan atau
bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh tekanan dan panas,
pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan secara bertahap, yakni
mulai dari fase penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 10


b. Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)
Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-
pohon kuno atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari
tempat tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-pohon pembentuk batubara itu
tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh air sampai berkumpul
pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman ke dasar
cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar
cekungan.

Gambar 3.2. Model Transportasi Material

Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh


tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa
tumbuhan itu mulai dari fase penggambutan sampai pada fase pembatubaraan.
Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni proses
penggambutan (peatification) dan proses pembatubaraan (coalification). Pada
proses penggambutan terjadi perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup,
atau disebut dengan proses biokimia, sedangkan pada proses pembatubaraan
prosesnya adalah bersifat geokimia.
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang
tumbang itu terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen
(anaerobik) di daerah rawa dengan sistem drainase (drainage system) yang
jelek, dimana material tersebut selalu terendam beberapa inchi di bawah muka

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 11


air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan mengalami pembusukan,
tetapi tidak terlapukan. Material yang terbusukkan akan melepaskan unsur-
unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam bentuk
senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya
bakteri-bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi gambut
(peat). (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi proses
diagenesis dari komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut.
Peristiwa diagenesis ini menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu.
Dengan semakin tebalnya timbunan tanah yang terbawa air, yang menimbun
material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan tekanan. Kombinasi dari
adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni berupa tekanan
oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang panjang,
gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses ini terjadi
peningkatan persentase kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan
Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan menjadi menurun, sehingga dihasilkan
batubara dalam berbagai tingkat mutu (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto,
2008: 5).
Pembatubaraan (coalification) adalah suatu proses pembentukan
batubara, yaitu batubara organogenik yang mudah terbakar. Proses
pembentukan batubara merupakan proses irreversibel, artinya tidak dapat
dikembalikan dan merupakan proses perubahan kimia dan fisika yang telah
diakumulasikan sepanjang sejarah geologi bermula dari pembentukan lignite
sampai batubara subbitummaus, bituminous, antrasit, dan metaantrasit Dalam
proses tni hanya sebagian kecil karbon yang dilepaskan ke atmosfer dalam
bentuk karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4), sisanya diakumulasikan
dengan perubahan bertahap dari gambut (peat) dan batubara menjadi antrasit
Permulaan pembatubaraan biasanya terjadi pada interval waktu ketika lapisan
gambut dilapisi dengan batuan lain.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 12


Pembentukan batubara dari sisa-sisa tumbuhan menjadi gambut kemudian
batubara muda sampai batubara tua.
Reaksi pembentukan batu bara
5C6H10O5 C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
Sellulose lignit gas metan

Gambar 3.3. Proses Pembentukan Batubara

Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan


sampai menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:
1. Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut
(peat);
2. Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda
(lignite) atau disebut juga batubara coklat (brown coal);
3. Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah
yang menutupinya dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus
dalam waktu jutaan tahun, akan berubah menjadi batubara subbituminus
(sub-bituminous coal);
4. Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika
sebagai akibat dari semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam
waktu yang semakin panjang, berubah menjadi batubara bituminus
(bitumninous coal);

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 13


5. Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika,
sehingga batubara itu semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi,
menyebabkan warna semakin hitam mengkilat. Dalam fase ini terbentuk
antrasit (anthracite);
6. Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah
menjadi meta antrasit (meta anthrasite);
7. Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite).
Peristiwa perubahan atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan
(graphitization).

3.3 Sifat-Sifat Batubara


1. Sifat Fisika
Sifat fisika batubara tergantung kepada unsur kimia yang membentuk
batubara tersebut, semua fisika yang dikemukakan dibawah ini mempunyai
hubungan erat satu sama lain.
a. Berat jenis
Berat jenis (specific gravity) batubara berkisar dari 1,25g/cm3 sampai
1,70 g/cm3, pertambahannya sesuai dengan peningkatan derajat batubaranya.
Tetapi berat jenis batubara turun sedikit dari lignit (1,5g/cm3) sampai
batubara bituminous (1,25g/cm3), kemudian naik lagi menjadi 1,5g/cm3
untuk antrasit sampai grafit (2,2g/cm3).
Berat jenis batubara juga sangat bergantung pada jumlah dan jenis
mineral yang dikandung abu dan juga kekeompkan porositasnya. Kandungan
karbon juga akan mempengaruhi kualitas batubara dalam penggunaan. Berat
jenis yang rendah menyebabkan sifat pembakaran yang baik.
b. Kekerasan
Kekerasan batubara berkaitan dengan struktur batubara yang ada.
Keras atau lemahnya batubara juga terkandung pada komposisi dan jenis

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 14


batubaranya. Uji kekerasan batubara dapat dilakukan dengan mesin
Hardgrove Grindibility Index (HGI).
Nilai HGI menunjukan niali kekerasan batubara. Nilai HGI
berbanding terbalik dengan kekerasan batubara. Semakin tinggi nilai HGI,
maka batubara tersebut semakin lunak. Dan sebaliknya, jika nilai HGI
batubara tersebut semakin rendah maka batubara tersebut semakin keras.
c. Warna
Warna batubara bervariasi mulai dari berwarna coklat pada lignit
sampai warna hitam legam pada antrasit. Warna variasi litotipe (batubara
yang kaya akan vitrain) umumnya berwarna cerah.
d. Goresan
Goresan batubara warnanya berkisar antara terang sampai coklat tua.
Pada lignit, mempunyai goresan hitam keabu-abuan, batubara berbitumin
mempunyai warna goresan hitam, batubara cannel mempunyai warna
goresan dari coklat sampai hitam legam.
e. Pecahan
Pecahan dari batubara memperlihatkan bentuk dari potongan batubara
dalam sifat memecahnya. Ini dapat pula memeperlihatkan sifat dan mutu dari
suatu batubara. Antrasit dan batubara cannel mempunyai pecahan konkoidal.
Batubara dengan zat terbang tinggi, cenderung memecah dalam bentuk
persegi, balok atau kubus
2. Sifat Kimia
Sifat kimia dari batubara sangat berhubungan langsung dengan senyawa
penyusun dari batubara tersebut, baik senyawa organik ataupun senyawa
anorganik. Sifat kimia dari batubara dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Karbon
Jumlah karbon yang terdapat dalam batubara bertambah sesuai dengan
peningkatan derajat batubaranya. Kenaikan derajatnya dari 60% sampai
100%. Persentase akan lebih kecil daripada lignit dan menjadi besar pada

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 15


antrasit dan hamper 100% dalam grafit. Unsur karbon dalam batubara
sangat penting peranannya sebagai penyebab panas. Karbon dalam batubara
tidak berada dalam unsurnya tetapi dalam bentuk senyawa. Hal ini
ditunjukkan dengan jumlah karbon yang besar yang dipisahkan dalam
bentuk zat terbang.
b. Hidrogen
Hidrogen yang terdapat dalam batubara berangsur-angsur habis akibat
evolusi metan. Kandungan hidrogen dalam liginit berkisar antara 5%, 6%
dan 4.5% dalam batubara berbitumin serta sekitar 3% smpai 3,5% dalam
antrasit.
c. Oksigen
Oksigen yang terdapat dalam batubara merupakan oksigen yang tidak
reaktif. Sebagaimana dengan hidrogen kandungan oksigen akan berkurang
selam evolusi atau pembentukan air dan CO2. Kandungan oksigen dalam
lignit sekitar 20% atau lebih, dalam batubara berbitumin sekitar 4% - 10%
dan sekitar 1,5% - 2% dalam batubara antrasit.
d. Nitrogen
Nitrogen yang terdapat dalam batubara berupa senyawa organik yang
terbentuk sepenuhnya dari protein bahan tanaman asalnya, jumlahnya
sekitar 0,55% sampai 3%. Batubara berbitumin biasanya mengandung lebih
banyak nitrogen daripada lignit dan antrasit.
e. Sulfur
Sulfur dalam batubara biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan
kemungkinan berasal dari pembentuk dan diperkaya oleh bakteri sulfur.
Sulfur dalam batubara biasanya kurang dari 4%, tetapi dalam beberapa hal
sulfurnya bisa mempunyai konsentrasi yang tinggi. Sulfur terdapat dalam
tiga bentuk, yaitu :

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 16


1) Sulfur Piritik (piritic Sulfur)
Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total
sulfur yang terdapat dalam makrodeposit (lensa, urat, kekar, dan bola)
dan mikrodeposit (partikel halus yang menyebar).
2) Sulfur Organik
Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total
sulfur, biasanya berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama
pertumbuhan endapan.
3) Sulfat Sulfur
Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif kecil
dari seluruh jumlah sulfurnya.

3.4 Komposisi Batubara


Batubara adalah senyawa hidrokarbon padat yang terdapat dialam dengan
komposisi yang cukup kompleks. Batubara yang merupakan bahan bakar, umumnya
tersusun atas unsure-unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, belerang dan fosfor
serat unsur-unsur lainnya dalam jumlah yang sangat kecil. Pada dasarnya terdapat dua
jenis material yang membentuk batubara, yaitu :
1. Combustible Matter atau Bahan Dapat Terbakar (BDT)
Bahan Dapat Terbakar yaitu material atau bahan yang dapat dioksidasi
oleh oksigen akan menghasilkan kalor. Material dasar tersebut umumnya terdiri
dari :
a. Karbon Padat (Fixed Carbon)
b. Senyawa Hidrokarbon
c. Senyawa Sulfur
d. Senyawa Nitrogen, serta beberapa senyawa lainnya dalam jumlah yang
kecil.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 17


2. Non Combustible Matter atau Bahan yang Tidak Dapat Terbakar
Bahan yang Tidak Dapat Terbakar yaitu bahan atau mineral yang tidak
dapat dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Bahan tersebut umumnya adalah
senyawa anorganik (SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O, dan
senyawa-senyawa logam lainnya dalam jumlah kecil yang akan membentuk abu
dalam batubara). Bahan yang tidak dapat terbakar ini umumnya tidak
diinginkan keberadaannya karena akan mengurangi nilai bakarnya.

3.5 Jenis-Jenis Batubara


Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan,
panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima jenis :

Gambar 3.4. Jenis-jenis Batubara


1. Antrasit (C94OH3O3), adalah kelas batubara tertinggi dengan warna hitam
berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% – 98% unsur karbon (C)
dengan kadar air kurang dari 8%. Antarsit memiliki kandungan kalori yang
paling tinggi yaitu diatas 7777 kcal/kg.
2. Bituminus (C80OH5O15), merupakan kelas batubara yang memiliki kandungan
kalori antara 5833 kcal/kg – 7777 kcal/kg, dengan unsur karbon (C) 68% –
86% dan kadar air 8% – 10% dari beratnya. Bituminous paling banyak
ditambang di Australia.
3. Sub-bituminus (C75OH5O20), merupakan kelas batubara yang mengandung
sedikit karbon dan banyak air serta dengan kandungan kalori yang lebih
rendah rendah yaitu antara 4611 kcal/kg – 5833 kcal/kg, oleh karenanya
menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminous.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 18


4. Lignit atau batubara coklat (C70OH5O25 ), adalah batubara yang sangat lunak
dengan nilai kalori yang lebih rendah dibandingkan dengan sub-bituminus
sekitar 3500 kcal/kg – 4611 kcal/kg dan mengandung air 35% - 75% dari
beratnya.
5. Gambut (C60H6O34), adalah kelas batubara yang paling rendah nilai kalorinya
dibawah 3500 kcal/kg dengan kandungan kadar air diatas 75% dari beratnya.
(Sukandarrumidi, 2008)

3.6 Manfaat Batubara


Secara umum pemanfaatan batubara dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
a. Sebagai bahan bakar langsung.
Batubara sebagai bahan bakar digunakan dalam bentuk padat melalui
pengolahan. Contohnya digunakan sebagai bahan bakar ketel uap, pada pabrik
semen dan industri kecil.
b. Sebagai bahan bakar tidak langsung
Dimana batubara terlebihdahulu diproses sebelum digunakan menjadi
bentuk lain :
1) Gasifikasi, diproses sebagai bahan bakar gas
2) Pencairan, diproses sebagai bahan bakar minyak sintetis
3) Karbonisasi, diproses sebagai kokas atau semi kokas yang digerakkan 44
dalam bentuk bongkah atau kriket untuk bahan bakar industri atau rumah
tangga
4) Suspensi, dengan membuat suspensi batubara dalam air diperoleh coalwater
fuel yang mempunyai sifat mirip dengan bahan bakar minyak.
c. Bukan sebagai bahan bakar
Selain sebagai bahan bakar langsung dan tidak langsung, batubara juga
dimanfaatkan pada berbagai industri yang menggunakannya bukan sebagai
bahan bakar antara lain sebagai bahan baku industri petrokimia, sebagai

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 19


reduktor pada peleburan biji timah dan besi, sebagai elektroda, karbon aktif dan
lain-lain.

3.7 Sampling,Preparasi dan analisis


1. Sampling
Di dalam industri pertambangan batubara, sampling merupakan hal yang
sangat penting, karena merupakan proses yang sangat vital dalam menentukan
karakteristik batubara tersebut. Dalam tahap explorasi, karakteristik batubara
merupakan salah satu penentu dalam study kelayakan apakah batubara tersebut
cukup ekonomis untuk ditambang atau tidak.
2. Preparasi Batubara
Preparasi contoh adalah proses penyiapan contoh dengan melakukan
pengurangan bobot dan ukuran yang cocok untuk analisa di laboratorium.
Proses preparasi contoh terdiri atas lima tahapan kerja, antara lain:
a. Penggerusan (Crusing)
Proses pengecilan atau contoh tanpa menyebabkan perubahan
apapun terhadap bobot sempel. Alat yang digunakan adalah Hammer
Mill, yang menghasilkan ukuran partikel ± 4,75 mm dan ± 3,00 mm, dan
Raymond Mill yang menghasilkan ukuran pertikel ± 0,250 mm. Tahap
pertama pengecilan pada preparasi contoh adalah pengecilan contoh dari
contoh besar yang menggunakan Hammer Mill.
b. Pembagian (Dividing)
Proses pembagian bertujuan untuk mendapatkan contoh yang
refresentatif dan gross contoh dengan menggunakan alat RSD (Rotary
Contoh Divider).Alat ini terdiri dari penampung (Canister) yang terdiri
dari beberapa segmen biasanya 8 segmen, bagian alat ini berputar dengan
menggunakan motor penggerak (Vibrator) yang mengacu pada aliran
contoh yang dibagi. Alat pengatur jumlah contoh yang mengalir (Slide
Grade) dan Hopper penampung contoh yang akan dibagi.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 20


c. Pengeringan Udara
Pengeringan udara pada gross contoh yang dilakukan bila contoh
tersebut terlalu basah atau yang menyebabkan timbulnya kesukaran pada
crusher atau mill, pengeringan udara dilakukan pada suhu ambigu sampai
pada suhu maksimum 40°C hingga bobot constant.
d. Pengecilan ukuran butir (milling)
Penggerusan merupakan proses pengecilan ukuran dengan
menggunakan alat Raymond Mill yang menghasilkan ukuran partikel ±
0,250 mm. Ini merupakan tahap terakhir preparasi sebelum contoh siap
dianalisa.
3. Analisis Batubara
1. Total Moisture
Total moisture adalah jumlah keseluruhan kadar air yang
terkandung di dalam batubara, sebagaimana adanya di alam. Parameter
ini sangat penting karena selain dapat mempengaruhi jumlah total cargo,
juga dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dan proses
penanganan selama produksi.
Dalam penetapannya, dapat dipergunakan metoda langsung (direct
method) ataupun metoda tidak langsung (indirect method), dengan
melakukan determinasi nilaifree moisture dan residual moisture.
2. Proximate Analysis
Proximate adalah rangkaian analisa awal dalam pengujian suatu
contoh batubara. Analisa proximate adalah pengujian batubara yang
terdiri dari kandungan air (Inherent Moisture), zat terbang (Volatile
Matter), kandungan mineral (Ash Content), dan Fixed Carbon.
a. Inherent Moisture
Inherent Moisture adalah moisture yang dianggap terdapat
dalam rongga-rongga kapiler dan pori-pori batubara yang relatif
kecil, yang mana dalam kedalaman aslinya secara teori bahwa

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 21


kondisi tersebut adalah kondisi dengan tingkat kelembaban yang 100
% serta pada suhu 300C, karena sulitnya mengimulsi kondisi batubara
pada kedalaman aslinya, maka badan standarisasi menetapkan
kondisi pendekatan untuk dipergunakan pada metode standar
pengujian di laboratorium.
Internasional Standar Operation (ISO), British Standard (BS),
Australian Standard (AS) dan Amerika Society Of Testing and
Material (ASTM) menetapkan bahwa kondisi pendekatan
dipergunakan tersebut adalah kondisi dengan tingkat kelembaban
antar 96% sampai 97% dengan suhu 300c.
Banyaknya kandungan inherent moisture dikenal pula istilah
lain dari inherent moisture dalam suatu batubara dapat dipergunakan
sebagai tolak ukur tinggi rendahnya tingkat rank batubara tersebut.
b. Kandungan Abu (Ash Content)
Ash content adalah sisa atau residu pembakaran yang tinggal
apabila batubara dipijarkan. Sisa ini merupakan hasil perubahan
kimia ketika proses pengabuan terjadi. Residu pembakaran yang
tinggal adalah senyawa dan material anorganik, seperti : SiO2, Al2O3,
Fe2O3, MgO, Na2O, K2O, P2O5 dan senyawa organik lainnya dalam
jumlah kecil yaitu Cd, As, Pb, Zn, Hg dan Ni. Kadar abu dalam
batubara penting untuk diketahui karena kadar abu memberikan
indikasi besar terhadap batubara, mencerminkan banyaknya bahan
mineral dalam batubara juga mencerminkan nilai kalor yang terdapat
dalam batubara (makin tinggi kadar abu maka nilai kalornya akan
berkurang). Nilai kandungan ash suatu batubara selalu lebih kecil
daripada nilai kandungan mineralnya. Hal ini terjadi karena selama
pembakaran telah terjadi perubahan kimiawi pada batubara tersebut,
seperti menguapnya air kristal, karbondioksida dan oksida sulfur.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 22


c. Zat Terbang (Volatile Matter)
Parameter yang menyatakan jumlah kandungan zat terbang/zat
mudah menguap dalam batubara, yang umumnya berupa senyawa
karbon dalam bentuk gas. Volatile matter merupakan salah satu
parameter yang digunakan dalam mengklasifikasikan rank dan
batubara.
Kadar zat terbang berpengaruh pada pembakaran batubara,
karena dengan kadar zat terbang yang tinggi relatif mudah terbakar
sehingga proses pembakaran berjalan cepat, sebaliknya batubara
dengan kandungan zat terbang rendah relatif sulit terbakar sehingga
proses pembakaran berjalan lama. Kandungan zat mudah menguap
(volatile matter content) dijadikan sebagai indeks klasifikasi oleh
ASTM batubara bituminous diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Batubara dengan volatile matter rendah 14-22 %
2) Batubara dengan kandungan volatil matter sedang 22-31 %
3) Batubara dengan kandungan volatile matter tinggi diatas 31%
d. Karbon Padat (fixed carbon)
Merupakan kandungan karbon padat yang terdapat pada
batubara Pada dasarnya karbon padat inilah yang dapat dibakar dan
menghasilkan panas. Semakin tinggi kandungan karbon padat, maka
semakin besar energi yang dihasilkan, dan sebaliknya.
Fixed karbon tidak dianalisa di laboratorium, metainkan
didapat dan perhitungan :
FC - 100-(%M + %A + % VM).
Dimana :
%M : Kadar air (moisture)
%A : Kadar abu (ash)
%VM : Kadar zat terbang (volatile matter)
%FC : Kadar fixed carbon

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 23


3. Total Sulfur
Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dan material
carbonaceous atau bagian dari mineral sulfat dan sulfida. Dengan sifatnya
yang mudah bersenyawa dengan unsur hidrogen dan oksigen dan
membentuk senyawa asam, maka keberadaan sulfur diharapkan dapat
seminimal mungkin.
Karena sifat tersebut yang merupakan pemicu polusi, maka
beberapa negara pengguna batubara menerapkan batas kandungan 1 %
maksimum untuk batubara yang dimanfaatkan untuk keperluan industri.
Sulfur dalam batubara terdapat dalam 3 bentuk, yaitu pyritic sulfur,
sulphate sulfur, dan organic sulfur. Sulfur dalam bentuk pirit dan sulfat
merupakan bagian dan mineral matter yang terdapat dalam batubara yang
jumlahnya masih dapat dikurangi dengan teknik pencucian, sedangkan
organik sulfur terdapat pada seluruh material carbonaceous dalam
batubara, dan jumlahnya tidak dapat dikurangi dengan teknik pencucian.
Terdapatnya sulfat sulfur dalam batubara sering dipergunakan
sebagai petunjuk batu bara telah mengalami oksidasi, sedangkan pirit
sulfur dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya spontaneous
combustion
4. Analisa Nilai Kalori (calorific value)
Secara umum, istilah calorific value lebih sering dipergunakan
daripada nilai kalori, namun sebenarnya istilah nilai kalori lebih tepat
digunakan. Nilai kalori adalah jumlah panas yang dihasilkan apabila
sejumlah tertentu batubara dibakar.
Calorific Value merupakan pengujian suatu batubara untuk
mengetahui nilai energi kalor yang dapat dihasilkan oleh suatu batubara
dapat dipengaruhi oleh kandungan sulfur dalam suatu batubara yang
dianalisa. Nilai kalori yang didapat dari analisis di laboratorium yakni
pembakaran dilakukan pada kondisi standar, yaitu pada volume tetap dan

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 24


dalam ruangan yang berisi gas Oksigen (O2) dengan tekanan 25 atm. Nilai
kalori yang didapat pada kondisi tersebut diatas dikenal dengan istilah
Gross Specific Energy. Selama proses pembakaran yang sebenarnya pada
ketel, nilai gross calorific value ini tidak dapat tercapai karena beberapa
komponen batubara, terutama air menguap dan menghilang bersama-
sama dengan panas penguapannya. Maksimum kalori yang dapat dicapai
selama proses ini adalah net calorific value. Calorific Value dikenal juga
dengan istilah specific energy. Gross dan net calorific value dikenal juga
dengan istilah Higher dan Lower Heating value. Satuan untuk Calorific
Value adalah Cal/g, Mj/Kg, kcal/kg, dan Btu/Lb.

3.8 Basis Perhitungan


Ada beberapa macam dasar perhitungan yang dipakai untuk menyatakan hasil
analisa batubara antara lain :
1. Air Dry Basis (ADB), merupakan penetapan hasil analisa batubara dalam
keadaan contoh kering setelah pengeringan dengan udara dan suhu ruang
analisa.
2. As Received (AR), adalah dasar perhitungan hasil analisa batubara dalam
keadaan contoh asal (original contoh).
3. Dry Basis (DB), adalah perhitungan hasil analisa batubara dalam keadaan
contoh kering tanpa kandungan air.
4. Dry Ash Free Basis (DAF), adalah dasar perhitungan hasil analisa batubara
dalam keadaan contoh kering tanpa kandungan abu.

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 25


Tabel 3.1. Konversi dasar perhitungan

PT. IOL Indonesia Banjarbaru Coal Laboratory | 26

Anda mungkin juga menyukai