Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bedah Sesar (Sectio Caesarea)


2.1.1 Definisi Bedah Sesar
Terdapat beberapa definisi dari bedah sesar, antara lain :
1. Bedah sesar adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen dan dinding uterus. Bedah sesar dilakukan apabila
penundaan persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya bagi
janin, ibu, atau keduanya, sedangkan persalinan pervaginam tidak
mungkin diselesaikan dengan aman (Dickinson dan Jan, 1996).
2. Bedah sesar adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat
insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn, 2010).
3. Bedah sesar adalah prosedur pembedahan yang di gunakan untuk
melahirkan bayi melalui sayatan yang dibuat pada perut dan rahim
(Simkin, 2008).
4. Bedah sesar adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus (Prawirohardjo, 2007).
5. Bedah sesar di definisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi di
dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi)
(Cunningham, 2005).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa bedah sesar (sectio caesarea)
adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk melahirkan bayi dengan
jalan pembukaan dinding perut dan dinding uterus.
2.1.2 Keuntungan dan Kerugian Bedah Sesar
Tindakan sectio caesarea memang memiliki keuntungan dan kerugian.
Keuntungannya antara lain adalah proses melahirkan memakan waktu yang
lebih singkat, rasa sakit minimal, dan tidak mengganggu atau melukai jalan
lahir. Sedangkan kerugian tindakan ini dapat menimpa baik ibu maupun
bayi yang di kandungnya (Sunaryo, 2008).

6
Menurut Sunaryo (2008) Kerugian yang dapat menimpa ibu antara
lain :
1. Resiko kematian empat kali lebih besar dibanding persalinan normal.
2. Darah yang dikeluarkan dua kali lipat dibanding persalinan normal.
3. Rasa nyeri dan penyembuhan luka pasca operasi lebih lama
dibandingkan persalinan normal.
4. Jahitan bekas operasi berisiko terkena infeksi sebab jahitan itu
berlapis-lapis dan proses keringnya bisa tidak merata.
5. Perlekatan organ bagian dalam karena noda darah yang tidak bersih
6. Kehamilan dibatasi dua tahun setelah operasi.
7. Pembuluh darah dan kandung kemih bisa tersayat pisau bedah.
8. Air ketuban masuk pembuluh darah yang bisa mengakibatkan
kematian mendadak saat mencapai paru-paru dan jantung.
2.1.3 Indikasi Bedah Sesar
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain
menganjurkan sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin
membawa resiko pada ibu dan janin.
Menurut Annisa (2010) Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan
yaitu :
1. Power
Yang memungkinkan dilakukan Sectio caesarea, misalnya daya
mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain
yang mempengaruhi tenaga.
2. Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan
letak lintang, primigravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang,
anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak
menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan
melemah).

7
3. Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius
pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang
diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes
genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih),
condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa
mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan
hepatitis C.
2.1.4 Jenis-Jenis Bedah Sesar
Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu :
1. Sayatan melintang
Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR).
Sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan
(simphysisis) di atas atas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14
cm. Keuntunganya adalah parut pada rahim kuat sehingga cukup kecil
resiko menderita rupture uteri (robek rahim) di kemudian hari. Hal
ini karna pada masa nifas, segmen bawah rahim tidak banyak
mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh lebih
sempurna (Kasdu, 2003).
2. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik)
Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang
memberikan suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi.
Namun, jenis ini kini jarang dilakukan karena jenis ini labil, rentan
terhadap komplikasi (Dewi, 2011).
2.2 Antibiotik
2.2.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik berasal dari kata anti = lawan dan bios = hidup merupakan
zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat
mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya
bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2007).

8
Antibiotik pertama kali ditemukan secara kebetulan oleh Alexander
Fleming pada tahun 1928 di inggris. Tetapi penemuan ini baru
dikembangkan dan digunakan pada permulaan perang dunia II di tahun
1941, ketika obat-obat antibakteri sangat diperlukan untuk menanggulangi
infeksi dari luka-luka akibat pertempuran. Kemudian para peneliti diseluruh
dunia menghasilkan banyak zat lain dengan khasiat antibiotis (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan
suatu proses biokimia mikroorganisme lain (Setiabudi, 2007). Antibiotik
juga merupakan obat anti infeksi yang secara drastis telah berhasil
menurunkan morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit infeksi sehingga
penggunaannya meningkat tajam. Hasil survei menunjukkan bahwa kira-
kira 30% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit memperoleh
satu atau lebih terapi antibiotika, dan berbagai penyakit infeksi yang fatal
telah berhasil diobati (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.2.2 Golongan Antibiotik
Macam-macam golongan antibiotik yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007) :
1. Golongan Beta-laktam
Golongan beta-laktam antara lain golongan sefalosporin
(sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan
monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin
adalah suatu agen antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis
Penicillium chrysognum.
2. Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces
dan Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya
mengandung dua atau tiga gula aminodi dalam molekulnya, yang
saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas dan meliputi
terutama banyak bacilli gram negatif. Obat ini juga aktif terhadap
gonococci dan sejumlah kuman gram positif. Aktifitasnya adalah

9
bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan
mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin,
gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.
3. Golongan Tetrasiklin
Khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya melalui injeksi
intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah.
Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman.
Spektrum anti bakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif
dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas
dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia
trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit
kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya
tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.
4. Golongan Makrolida
Bekerja bakteriostatis terutama bakteri gram positif dan kerjanya
mirip Penisilin-G. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel
pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila
digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan resistensi.
Absorbsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping
lambung dan usus, serta waktu paruhnya singkat, maka perlu
ditakarkan sampai 4x sehari. contohnya eritromisin dan spiramisin.
5. Golongan Linkomisin
Dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis. Khasiatnya
bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit dari pada
makrolida, terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob.
Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat
resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.
6. Golongan Kuinolon
Senyawa - senyawa kuinolon berkhasiat sebagai bakterisid pada
fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA
gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini

10
hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa
komplikasi.
7. Golongan Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai spektrum luas. Berkhasiat
bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positif dan
sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan
perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfen.
2.2.3 Aktivitas dan Spektrum
Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan menjadi dua yaitu
(Kee dan Hayes, 1996) :
1. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) contohnya seperti
tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram
positif maupun gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali
dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum
diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
2. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama
efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan
eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat
selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme
tunggal tersebut dari pada antibiotik berspektrum luas.
2.2.4 Mekanisme Kerja Antibiotik
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dapat dibedakan kedalam
lima kelompok, yaitu (Ganiswarna, 1995) :
1. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel
Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah
sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon.
Obat tersebut menghasilkan efek bakteriostatik, misalnya :
trimetoprim menghambat sintesis enzim dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat, sulfonamid atau sulfon membentuk analog asam folat
yang non fungsional.

11
2. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan. Sikloserin
menghambat sintesis dinding sel yang paling dini, diikuti berturut
turut oleh basitrasin, vankomisin, dan diakhiri oleh penisilin dan
sefalosporin yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam
rangkaian tersebut.
3. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel
Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin,
golongan polien, dan antibiotik kemoterapetik. Polimiksin merusak
membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran
sel mikroba, polien bereaksi dengan struktur sterol pada membran sel
fagus sehingga mempengaruhi permeabilitas selektif membran
tersebut
4. Antibiotik yang menghambat sintesis protein.
Beberapa dari antibiotik seperti itu, tetapi mekanismenya
berbeda, tetrasiklin mengganggu fungsi tRNA dan aminoglikosid
mengganggu fungsi mRNA, kloramfenikol menghambat peptydil
transferase, lincomysin bersama clindamisin mengganggu translokasi
5. Antibiotik yang mempengaruhi sintesis asam nukleat
Beberapa antibiotik seperti itu, tetapi berbeda dengan
mekanismenya; metronidazol dan nitrofurantoin merusak DNA,
golongan quinolon menghambat DNA gyrase, rifampisin menghambat
RNA polymerase, sulfonamid dan trimetroprim menghambat sintesis
asam folat.
2.2.5 Penggunaan Antibiotik
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat
kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar.
Secara profilaksis juga diberikan kepada pasien dengan sendi dan klep
jantung buatan, juga sebelum cabut gigi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat baik dalam hal indikasi,
maupun cara pemberian akan merugikan penderita serta akan memudahkan

12
terjadinya resistensi terhadap antibiotik dan dapat menimbulkan efek
samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat, cara
pemberian, indikasi, compliance (kepatuhan), jangka waktu yang tepat dan
dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat,
diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi (Rudolph
dkk, 2003).
2.2.6 Efek Samping Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat
menggagalkan terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat
menimbulkan bahaya seperti (Tjay dan Rahardja, 2007) :
1. Resistensi, ialah tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik yang
merupakan suatu mekanisme alami untuk bertahan hidup. Ini dapat
terjadi apabila antibiotik diberikan atau digunakan dengan dosis yang
terlalu rendah atau masa terapi yang tidak tepat.
2. Suprainfeksi, yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan
terhadap infeksi primer sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi
yang timbul berbeda dengan infeksi primer
Menurut WHO untuk membatasi resistensi kuman terhadap antibiotik,
harus ada suatu perbaikan dalam kualitas penggunaan antibiotik. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan antibiotik, antara
lain jenis antibiotik, dosis antibiotik, lama pemberian antibiotik, rute
pemberian antibiotik. Antibiotik yang diberikan sebaiknya berspektrum
sempit, dosis harus adekuat dengan durasi yang sebisa mungkin dibuat
singkat serta rute pemberian yang sesuai dengan indikasi.
2.2.7 Pedoman Penggunaan Antibiotik pada Ibu Hamil
Klasifkasi FDA (Food and Drug Administration) tentang obat yang
mempunyai efek terhadap janin. Pada tahun 1979, FDA merekomendasikan
5 kategori obat yang memerlukan perhatian khusus terhadap kemungkinan
efek terhadap janin.

13
1. Kategori A
Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti
tidak ada risiko terhadap janin dalam rahim. Obat golongan ini aman
untuk dikonsumsi oleh ibu hamil (vitamin)
2. Kategori B
Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti tidak ada efek
terhadap janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada
manusia. Obat golongan ini bila diperlukan dapat diberikan pada ibu
hamil (Penicillin).
3. Kategori C
Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi
dengan hasil yang kurang memadai. Meskipun sudah dujikan pada
binatang terbukti ada efek terhadap janin akan tetapi pada manusia belum
ada bukti yang kuat. Obat golongan ini boleh diberikan pada ibu hamil
apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap janin
(Kloramfenicol, Rifampisin, PAS, INH).
4. Kategori D
Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin
manusia. Obat golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil.
Terpaksa diberikan apabila dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa
ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin).
5. Kategori X
Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan
kerugian dari obat ini jauh lebih besar daripada manfaatnya bila
diberikan pada ibu hamil, sehingga tidak dibenarkan untuk diberikan
pada ibu hamil atau yang tersangka hamil.
2.3 Antibiotik Profilaksis
2.3.1 Antibiotik Profilaksis Bedah
Antibiotik profilaksis bedah didefinisikan sebagai antibiotik yang
diberikan kepada penderita sebelum adanya tanda dan gejala suatu infeksi
dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi klinik infeksi tersebut

14
yang diduga akan atau bisa terjadi. Sehingga itu diharapkan pada saat
operasi jaringan, target sudah mengandung kadar antibiotik tertentu yang
efektif untuk menghambat pertumbuhan kuman atau membunuh kuman
(Iwan, 1995).
Suatu tindakan obstetrik (seperti bedah sesar atau pengeluaran
plasenta secara manual) dapat meningkatkan risiko seorang ibu terkena
infeksi. Resiko ini dapat diturunkan dengan :
1. Mengikuti petunjuk pencegahan infeksi yang dianjurkan.
2. Menyediakan antibiotik profilaksis pada saat tindakan.
Profilaksis antibiotik diperlukan dalam keadaan–keadaan berikut :
1. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu.
2. Mencegah endokarditas pada pasien yang mengalami kelainan katub
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko
bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain–lain.
3. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu
yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila
terjadi infeksi pasca bedah. Antibiotik profilaksis digunakan untuk
membantu mencegah infeksi. Jika seorang ibu dicurigai atau didiagnosis
menderita suatu infeksi, pengobatan dengan antibiotik merupakan jalan
yang tepat. Pemberian antibiotik profilaksis 30 menit sebelum memulai
suatu tindakan, jika memungkinkan, akan membuat kadar antibiotik
dalam darah yang cukup pada saat dilakukan tindakan. Dalam operasi
bedah sesar, antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan sewaktu tali pusat
dijepit setelah bayi dilahirkan. Satu kali dosis pemberian antibiotik
profilaksis sudah mencukupi dan tidak kurang efektif jika dibanding
dengan tiga dosis atau pemberian antibiotik selama 24 jam dalam
mencegah infeksi.
Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis adalah
sebagai berikut :
1. Sesuai dengan peta medan mikroba patogen terbanyak pada kasus yang
bersangkutan.

15
2. Antibiotik yang dipilih memiliki spektrum sempit untuk mengurangi
resiko resistensi kuman
3. Memiliki toksisitas rendah
4. Memiliki potensi sebagai bakterisidal
5. Harga terjangkau
Dilihat dari waktu saat pemberian antibiotik profilaksis pada
umumnya 30-60 menit sebelum operasi, secara praktis umumnya
diberikan pada saat induksi anestesi. Pada bedah sesar, untuk menghindari
masuknya antibiotik pada janin, antibiotik dapat diberikan segera setelah
penjepitan tali pusat. Lama penggunaan antibiotik yang digunakan untuk
keperluan profilaksis pada umumnya memiliki waktu paruh yang pendek
(1-2 jam). Oleh karena itu, pemakaian antibiotik harus diulang apabila
operasi telah berlangsung 1 jam atau lebih. Sefuroksim yang memiliki
waktu paruh 1-2 jam, dapat bertahan sampai 2-4 jam sehingga dengan
pemberian tunggal tampaknya konsentrasi antibiotik dalam jaringan masih
tetap terpelihara.
Pemberian antibiotik pasca operasi untuk kepentingan profilaksis
tampaknya tidak memberikan arti yang bermakna. Dosis tambahan pasca
operasi akan menimbulkan banyak kerugian (resiko efek samping
meningkat, merangsang timbulnya kuman resisten, dan beban biaya
tambahan untuk pasien).
Dosis untuk mencapai konsentrasi puncak, antibiotik harus diberikan
dalam dosis cukup tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik.
Pada jaringan operasi konsentrasi terapi harus mencapai 3-4 kali
konsentrasi hambatan minimal, sedangkan pada profilaksis harus mencapai
sedikitnya 2 kali lipat konsentrasi terapi.
Pemberian antibiotik pada bedah sesar dianjurkan segera setelah
penjepitan tali pusat untuk menghindari masuknya antibiotik pada janin.
Namun, sebagian konsekuensinya harus digunakan dosis 2 kali lipat jika
dibandingkan dengan apabila diberikan sebelum operasi. Hal ini
disebabkan oleh hal-hal berikut :

16
1. Diperlukan segera tercapai konsentrasi antibiotik yang cukup untuk
menghambat pertumbuhan kuman di jaringan operasi.
2. Pada saat bedah sesar terjadi pendarahan yang cukup banyak sehingga
konsentrasi antibiotik akan cepat turun.
3. Pemberian dosis ulangan hanya atas pendarahan >1500 ml atau operasi
berlangsung lebih dari 3 jam.
(Saifudin, 2008)
Agar diperoleh aturan yang jelas dalam penelitian antibiotik yang
digunakan, maka diperlukan suatu standard yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk mendasari semua tindakan medik yang dilakukan.
Tabel 2.1. Standard Pedoman Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada
Pasien Bedah Sesar menurut Departement of Reproductive
Health dan Research (RHR), World Health Organization
(WHO) tahun 2003
Penyakit dan Rekomendasi Waktu pemberian Dosis
tindakan
Bedah sesar Ampisilin Setelah tali pusat dipotong 2 gram (iv)
Bedah sesar Sefazolin Setelah tali pusat dipotong 1 gram (iv)
Golongan antibiotik profilaksis yang digunakan pada bedah sesar yaitu :
1. Penisilin
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukanuntuk sintesis dinding sel mikroba (Ganiswara dkk.,
1995). Absorpsi kebanyakan penisilin setelah pemberian parenteral
berlangsung lengkap dan cepat. Pemberian dengan cara intravena
sering lebih disukai karenasuntikan dosis besar intramuskular
mengakibatkan iritasi dan nyeri pada tempat suntikan. Penisilin
didistribusikan secara luas ke dalam cairan tubuh dan jaringan
setelah diabsorpsi. Kebanyakan penisilin yang diabsorpsi akan cepat
diekskresi oleh ginjal ke dalam urin dan dalam jumlah kecil akan
diekskresi melalui jalur lain (Katzung, 2003).
2. Sefalosporin
Sefalosporin muncul sebagai agen terpilih pada profilaksis
bagi sebagian besar tindakan operasi (Sabiston, 1995). Sefalosporin

17
banyak dipakai karena sefalosporin mempunyai spektrum aktivitas
yang luas dan efek sampingnya sedikit (Reese dkk., 2000). Antibiotik
sefalosporin dikelompokkan berdasarkan generasinya. Senyawa
generasi pertama (contoh: sefalotin dan sefazolin) memiliki
aktivitas terhadap gram positif dan sedikit aktivitas terhadap
gram negatif. Generasi kedua (contoh sefaklor, sefuroksim dan
sefoksitin) memiliki aktivitas yang sedikit lebih baik terhadap
gram negatif serta meliputi beberapa senyawa yang memiliki
aktivitas terhadap bakteri anaerob. Generasi ketiga (contoh
sefotaksim, seftriakson, dan seftazidim) memiliki aktivitas terhadap
organisme gram negatif dan aktivitas yang lebih besar terhadap
Enterobacteriaceae, serta satu kelompok yang aktif terhadap P.
Aeruginosa. Generasi keempat (contoh: sefepim) yang memiliki
spektrum mirip generasi ketiga, tetapimemiliki stabilitas yang lebih
baik terhadap hidrolisis oleh β-laktamase. Suntikan intravena
sefalosporin generasi pertama mengalami penetrasi dengan baik pada
kebanyakan jaringan dan merupakan obat terpilih untuk profilaksis
pembedahan, terutama sefazolin (Katzung, 2003).
Tabel 2.2. Panduan Antibiotik Profilaksis Bedah menurut IDSA
(Infectious Diseases Society of America) 2013
Half-life Recommended
Recommeded Dose in adults redosing
with interval (from
Antimicrobial normal initiation of
Adults Pediatrics renal preoperative
function dose)
Ampicilin- 3g 50 mg/kg of the 0,8-1,3 2
Sulbactam (ampicilin 2 ampicilin
g/sulbactam 1 g) component
Ampicilin 2g 50 mg/kg 1-1,9 2
Aztreonam 2g 30 mg/kg 1,3-24 4
Cefazolin 2 g, 3 g for pts 30 mg/kg 1,2-22 4
weighing≥120kg
Cefuroxime 1,5 g 50 mg/kg 1-2 4
Cefotaxime 1g 50 mg/kg 0,9-1,7 3
Cefoxitin 2g 40 mg/kg 0,7-1,1 2

18
Half-life Recommended
Antimicrobial Recommeded Dose in adults redosing
with interval (from
normal initiation of
Adults Pediatrics renal preoperative
function dose)
Cefotetan 2g 40 mg/kg 28-4,6 6
Ceftriaxone 2g 50-75 mg/kg 5,4-10,9 NA
Ciprofloxacin 400 mg 10 mg/kg 3-7 NA
Ertapenem 1g 15 mg/kg 3-5 NA
Fluconazole 400 mg 6 mg/kg 30 NA
Gentamisin 5 mg/kg based 2,5 mg/kg based 2-3 NA
on dosing on dosing weight
weight (single
dose)
Levofloxacin 500 mg 10 mg/kg 6-8 NA
Metronidazole 500 mg 15 mg/kg 6-8 NA
Neonates
weighing <1200 g
should
Receive a single
7,5-mg/kg dose

Tabel 2.3. Range dosis dan waktu pemberian antibiotik berdasarkan


ASHP Theraupetic Guideline 2013
No Nama antibiotik Range dosis dan waktu pemberian
Golongan Cephalosporin
1 Ceftriaxone Dosis : 1-2g/12 jam
(30 menit-2 jam sebelum operasi)
Jalur pemberian : IV
2 Cefuroxime Dosis : 1,5 g (30 menit-1 jam sebelum operasi
Jalur pemberian : IV
Jika prosedur operasi panjang maka dapat diberikan
dalam dosis 750 mg setiap 8 jam (diberikan melalui
IV atau IM)
3 Ceftizoxime Dosis 1 g (30 menit-1 jam sebelum operasi)
Golongan Kuinolon
4 Levofloxacin Dosis : 500 mg (120 menit sebelum operasi)
Jalur pemberian : IV
Golongan Nitroimidazole
5 Metronidazole Dosis : 500 mg (60 menit sebelum operasi)
Jalur pemberian : IV
Golongan Carbapenem
6 Meropenem Dosis : 1 g (60 menit sebelum operasi)
Jalur pemberian : IV

19
2.3.2 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan
jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat
mulai dan selama operasi berlangsung (Kemenkes, 2011).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
antibiotik profilaksis yaitu :
1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan :
a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO).
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
c. Penghambatan muncul flora normal resisten.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas
operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi.
Kemenkes RI juga menganjurkan menggunakan sefalosporin
generasi I dan II untuk profilaksis bedah. Pada kasus tertentu
yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan
metronidazol. Kemudian tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin
generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon
untuk profilaksis bedah.
3. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan
pemberian antibiotik intravena drip.
4. Waktu pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi
kulit.
b. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.
5. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat
berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik
dengan dosis yang cukup tinggi.

20
6. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Dosis ulangan dapat
diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau
operasi berlangsung > 3 jam (Kemenkes, 2011).
2.4 Rumah Sakit
2.4.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu institusi yang kompleks, menggunakan
gabungan alat ilmiah khusus dan rumit dan difungsikan oleh berbagai
kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani
masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam
maksud yang sama untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik
(Siregar dan Amalia, 2004).
Peran rumah sakit selain membantu dinas kesehatan kabupaten/kota
dalam kegiatan dan masalah kesehatan masyarakat yang merupakan
prioritas diwilayahnya, Rumah Sakit secara khusus bertanggung jawab
terhadap manajemen pelayanan medik pada seluruh jaringan rujukan
diwilayah kabupaten/kota (Soejitno dkk, 2002).
2.4.2 Fungsi Rumah Sakit
Guna menjalankan tugas-tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai
fungsi yaitu (Siregar dan Amalia, 2004) :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

21
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan
2.4.3 Tipe-tipe Rumah Sakit
Jika ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, rumah sakit di indonesia
dibedakan atas 5 macam yakni (Siregar dan Amalia, 2004) :
1. Rumah Sakit kelas A
Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas.
Oleh pemerintah rumah sakit kelas A ini telah ditetapkan sebagai
tempat pelayanan rujukan tertinggi (top reverral hospital) atau disebut
pula sebagai rumah sakit pusat.
2. Rumah Sakit kelas B
Rumah sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialisluas dan sub spesialis
terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B didirikan disetiap ibukota
provinsi (provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan
dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak
termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai rumah sakit kelas B.
3. Rumah Sakit kelas C
Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada
4 macam pelayanan spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan
penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta
pelayanan kebidanan dan kandungan.
4. Rumah Sakit kelas D
Rumah sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi
karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C.
Pada saat ini kemampuan rumah sakit kelas D hanyalah memberikan
pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya
dengan rumah sakit kelas C, rumah sakit kelas D ini juga menampung
pelayanan rujukkan yang berasal dari Puskesmas.

22
5. Rumah Sakit kelas E
Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus (special
hospital) yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan
kedokteran saja. Pada saat ini banyak rumah sakit kelas E yang telah
ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit
paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah sakit ibu dan
anak, dan lain sebagainya.
2.4.4 Profil Rumah Sakit RSIA Sitti Khadidjah
1. Sejarah Berdirinya RSIA Sitti Khadidjah
RSIA Sitti Khadidjah awalnya dibangun pada tahun 1970 masih
merupakan klinik ibu dan anak yang menempati gedung asrama putri
Muhammadiyah.
Pada tahun 1972 oleh Pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah
dan disponsori oleh seorang Dokter ahli kebidanan yaitu dr. Asnawi,
klinik tersebut dijadikan Rumah Bersalin Sitti Khadidjah melalui surat
keputusan Gubernur Sulawesi Utara No.235 a/KPTS/1972.
Pada bulan September tahun 2007 Rumah Bersalin Sitti
Khadidjah dikembangkan menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak Sitti
Khadidjah melalui Surat keputusan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
Gorontalo No. 200/Dikes/3105/IX/2007 tanggal 26 September 2007
yang sudah dilengkapi dengan ruangan anak, sebuah Laboratorium
dan sebuah Apotik.
Pada bulan November 2009 bangunan RSIA Sitti Khadidjah di
bongkar total dan dibangun gedung baru berstruktur 3 lantai
permanen.
Pada bulan Februari 2012 gedung baru RSIA Sitti Khadidjah
mulai dimanfaatkan walaupun baru lantai I dan II, lantai III dan IV
masih diupayakan penyelesainnya.
Sejak berdirinya Rumah Bersalin Sitti Khadidjah Kota
Gorontalo sampai sekarang sudah menjadi RSIA Sitti Khadidjah

23
pengelolanya telah beberapa kali mengalami perubahan
kepemimpinan yaitu pada tahun 1998, 2007 dan 2015.
2. Visi, Misi dan Tujuan RSIA Sitti Khadidjah
Sesuai dengan kedudukan tugas pokok dan fungsi struktur
organisasi yang ada, RSIA Sitti Khadidjah telah merumuskan
perencanaan strategis dengan menetapkan visi, misi, tujuan, strategis
dan kebijakan yang akan dicapai sebagai acuan operasional kegiatan
dalam pencapaian tujuan akhir organisasi.
Visi :
“Menjadi rumah sakit ibu dan anak yang terkemuka dan bernuansa
Islami di Provinsi Gorontalo”
Misi :
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak
secara professional, adil, penuh keikhlasan dan keramahan,
menghargai hak hidup insani dan peduli kepada yang lemah.
2. Melakukan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien.
3. Membangun Sumber Daya Manusia yang professional, punya
integritas tinggi dan berjiwa islami.
4. Menciptakan lingkungan rumah sakit yang bersih, indah,
nyaman dan aman bagi pasien, keluarga, pengunjung dan staf
rumah sakit.
5. Mengembangkan sistem manajemen yang efektif, efisien, dan
transparan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Tujuan :
”RSIA Sitti Khadidjah melakukan pelayanan khusus bagi ibu-ibu
hamil dan melahirkan serta pelayanan khusus anak-anak yang
bertujuan untuk membantu pemerintah dalam upaya menurunkan
angka kematian ibu dan anak yang sampai saat ini masih merupakan
problema besar bagi Pemerintah Indonesia”

24
2.5 Kajian Penelitian Yang Relevan
1. Nuraliyah dkk (2009)
Antibiotika profilaksis yang digunakan pada pasien seksio
sesarea di Rumah Bersalin Daerah Panti Nugroho Purbalingga
periode Januari-Desember 2009 adalah golongan sefalosporin generasi
III sebanyak 73,21 % (ceftazidim 22,74% dan ceftriaxon 50,26%), dan
golongan penisilin (amoxicillin 12,5% dan ampisillin 11,53%). Dosis
yang digunakan adalah 1 gram/12 jam untuk golongan sefalosporin
dan 1 gram/6-8 jam untuk golongan penisilin. Cara dan waktu
pemberian antibiotik profilaksis adalah intravena, saat 30 menit
sebelum insisi atau setelah penjepitan klamp tali pusar.
2. Mutmainah dkk (2010)
Dari hasil penelitian evaluasi penggunaan dan efektivitas
antibiotik proflaksis pada pasien bedah sesar di Rumah Sakit
Surakarta Tahun 2010 yaitu penelitian pada 200 pasien bedah sesar di
dua rumah sakit di surakarta tahun 2010 ditemukan bahwa
penggunaan antibiotik proflaksis meliputi ampisilin (24%), ampisilin-
sulbaktam (23%), seftriakson (19,5%), sefotaksim (16%), amoksisilin-
klavulanat (11%), dan sefazolin (6,5%). Kesesuaian pemilihan obat
dengan standar (30,5%), tepat dosis (6,5%), dan tepat waktu
pemberian (52%). Seluruh pasien memiliki suhu normal dan angka
leukosit pascaoperasi dalam batas normal dan tidak ditemukan pasien
yang mengalami infeksi pada luka operasinya.
3. Tanan dkk (2011)
Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai penggunaan
antibiotika pada pasien seksio sesarea di BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Januari-Desember 2011, dapat disimpulkan
bahwa jenis antibiotika yang digunakan ialah amoxicillin, cefadroxil,
cefotaxime, ceftriaxone, cefixime dan metronidazole, dengan jenis
antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan ialah antibiotika
golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone yang

25
dikombinasikan dengan metronidazole (55,81%), dan jenis antibiotika
terapi yang paling banyak digunakan ialah golongan sefalosporin
generasi pertama yaitu cefadroxil yang dikombinasikan dengan
metronidazole (53,59%). Rute pemberiannya terdiri dari pemberian
secara intravena (IV) untuk antibiotika profilaksis (100%) dan secara
oral untuk antibiotika terapi (100%). Ditinjau dari dosis dan frekuensi
penggunaannya, penggunaan antibiotika di BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado telah 100% memenuhi kesesuaian dosis dan
frekuensi penggunaan antibiotika, dengan lama penggunaan untuk
antibiotik profilaksis terbanyak ialah selama 1 hari (80,92%).
4. Ariesanti dkk (2013)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien seksio sesarea di RSUD Kota Bekasi Periode
Juli hingga September 2013, dapat disimpulkan sebagai berikut jenis
antibiotik profilaksis pada 20 pasien (17,7%) digunakan secara tepat
dan 93 orang (82,3%) tidak tepat antibiotik. Antibiotik profilaksis
yang tepat yaitu terdiri dari sefuroksim, gentamisin dan metronidazol
pada 20 pasien (17,7%) dan 93 pasien (82,3%) menggunakan
antibiotik profilaksis tidak tepat. Waktu pemberian antibiotik
profilaksis diberikan kepada 13 pasien (11,5%) secara tepat, dan 100
pasien (88,5%) waktu pemberian antibiotik profilaksis tidak tepat.
Dosis antibiotik profilaksis diberikan secara tepat pada 113 pasien
(100%). Lama pemberian antibiotik profilaksis diberikan secara tepat
sebanyak 113 pasien (100%) yaitu selama 2 sampai 3 hari.
5. Husnawati dkk (2014)
Berdasarkan hasil penelitian pola penggunaan antibiotik
proflaksis pada pasien bedah caesar (Sectio Caesarea) di Rumah Sakit
Pekanbaru Medical Center (PMC) Tahun 2014 yaitu terhadap 73
rekam medik pasien yang menggunakan antibiotik profilaksis pada
pasien bedah sesar di Rumah Sakit Pekanbaru Medical Center bulan
Januari sampai dengan Desember 2014, didapatlah pasien yang

26
mendapat antibiotik profilaksis dengan persentase antibiotik tunggal
yaitu seftriakson 1 gr sebanyak 58,9%, dan antibiotik kombinasi
gentamisin 80 mg dengan seftriakson 1 gr sebanyak 41,1% dengan
nama generik (100%) dan waktu pemberian antibiotik 0-2 jam
sebelum operasi dengan rute secara intravena.
6. Saldanha (2015)
Berdasarkan penggunaan antibiotik profilaksis pasca operasi
yang digunakan di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares tahun
2015 menunjukkan bahwa 49% terbukti efektif. Pola penggunaan
antibiotik profilaksis untuk pasien yaitu berdasarkan jenisnya, paling
banyak menggunakan ampicillin dengan persentase 87%, berdasarkan
dosis pemberian, sebanyak 100% dosis yang diberikan 1 gram,
berdasarkan frekuensi pemberiannya ada 2 yaitu tiap 6 sebanyak 13%
dan 12 jam sebanyak 87%, dan berdasarkan lama pemberian diberikan
selama 3 hari sebanyak 53% dan 4 hari sebanyak 47%.
7. Dlamini dkk (2013)
Berdasarkan hasil penelitian profilaksis antibiotik untuk operasi
caesar di sebuah Rumah sakit Uganda, kita dapat merekomendasikan
memperbaiki bahwa antibiotik profilaksis diberikan dalam waktu 1
jam sebelum insisi kulit pada pasien dijadwalkan untuk menjalani
operasi caesar untuk mengurangi keseluruhan kejadian infeksi pasca
operasi di Rumah Sakit Mulago. Selain itu, kami merekomendasikan
pelaksanaan lebih lanjut penyelidikan untuk menentukan cara lain
pencegahan infeksi pasca operasi dalam upaya untuk mengurangi
sewaktu yang tingkat dence.
8. Aziz dkk (2014)
Berdasarkan hasil penelitian tentang penurunan yang signifikan
dalam tingkat infeksi pengiriman situs bedah pasca operasi caesar
setelah penggunaan profilaksisantibiotik di rumah sakit Madinah
Bersalin yaitu pemberian antibiotik profilaksis memiliki penurunan
secara drastis kejadian endometritis (by duapertiga sampai tiga

27
perempat) dan infeksi luka (oleh hingga tiga perempat) berikut baik
elektif dan non kelahiran sesar pilihan. Penatausahaan antibiotik
profilaksis sebelum atau di samping penjepit kabel untuk wanita yang
menjalani operasi caesar tampaknya sama-sama efektif juga. Sebuah
tinjauan sistematis 86 percobaan acak direkomendasikan dosis
intravena tunggal sempit antibiotik spektrum (misalnya, cefazolin)
harus diberikan sebelum operasi untuk semua wanita yang menjalani
sesar untuk mengurangi risiko pasca operasi infeksi. Studi lain
melaporkan bahwa antibiotik profilaksis secara signifikan mengurangi
kejadian demam pasca operasi, endometritis dan risiko relatif
endometritis berkurang sekitar 60 persen setelah dijadwalkan sesar
9. Vessal dkk (2011)
Berdasarkan hasil penelitian hanya 0,9% dari prosedur bedah
ditaati semua profilaksis pedoman antibiotik parameter. Hasil ini
konsisten dan dengan penelitian serupa di Kanada, Nikaragua,
Republik Islam Iran dan Yordania, di mana tingkat complete
kepatuhan untuk berlatih pedoman adalah 5% (5), 0,7% (6), 0,3% (7),
dan nol masing-masing. penelitian lain. Namun telah melaporkan
tingkat yang lebih tinggi kepatuhan terhadap prophy- antimikroba axis
pedoman. Pedoman lokal (7% -50%) menunjukkan bahwa kepatuhan
terhadap pedoman ini mungkin lebih mudah dicapai daripada
kepatuhan terhadap pedoman internasional. Sesuai pengambilan
keputusan garding penggunaan atau non-penggunaan profilaksis
antibiotik, pilihan antibiotik dan durasi penggunaan antibiotik
profilaksis adalah 3 parameter dengan sedikit adherence dengan
pedoman standar dalam penelitian ini. Antibiotik profilaksis diberikan
dalam 98% dari prosedur-prosedur yang ada, sementara hanya 68%
dari operasi diperlukan mereka sesuai dengan panduan.
10. Tippawan dkk (2002)
Berdasarkan hasil penelitian peresepan antibiotik profilaksis
untuk operasi sesar yaitu antibiotik dalam penelitian ini adalah

28
ampisilin, yang lebih murah dan direncanakan dan berhasil
dilaksanakan. Selain itu, dapat diandalkan spektrum lebih rendah dari
sefalosporin. Antibiotik diberikan sebelum penjepitan tali pusat atau
setelah (misalnya untuk 24-jam postpartum atau lebih) tidak
meningkatkan perlindungan.
2.6 Kerangka Konsep

Operasi Sesar
(Seksio Sesarea) ASHP Theraupetic Guideline 2013
1. Ceftriaxone 1-2 g
2. Cefuroxime 1,5 g
Pemberian Antibiotik
3. Ceftizoxime 1 g
Profilaksis dan Pasca 4. Levofloxacin 500 mg
5. Metronidazole 500 mg
Operasi
6. Meropenem 1 g
IDSA (Infectious Diseases Society of
Jenis antibiotik, dosis America) 2013
dan interval pemberian 1. Ampicilin Sulbactam 3 g
2. Ampicilin 2 g
antibiotik profilaksis
3. Aztreonam 2 g
4. Cefazolin 2-3 g
5. Cefuroxime 1,5 g
6. Cefotaxime 1 g
7. Cefoxitin 2 g
8. Cefotetan 2 g
9. Ceftriaxone 2 g
10. Ciprofloxacin 400 mg
11. Ertapenem 1 g
12. Fluconazole 400 mg
13. Gentamisin 5 mg
14. Levofloxacin 500 mg
15. Metronidazole 500 mg
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep dalam penelitian ini disusun berdasarkan masalah yang
akan diteliti yakni mengkaji tentang penggunaan antibiotik profilaksis dan pasca
operasi yang meliputi jenis antibiotik, dosis, dan interval pemberian antibiotik
pada pasien operasi sesar di RSIA Sittti Khadijah, kemudian dilihat apakah terapi
penggunaan antibiotik profilaksis dan pasca operasi di RSIA Sitti Khadijah sesuai

29
dengan standard pedoman penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah
sesar menurut ASHP theraupetic guideline : clinical practice guidelines for
antimicrobial prophylaxis in surgery tahun 2013 dan IDSA (Infectious Diseases
Society of America) tahun 2013.

30

Anda mungkin juga menyukai