Bab Ii Spei
Bab Ii Spei
PEMBAHASAN
ٌ َُوإِنَّهَُلَغَف
َور َ ب ْ س ِري ُع
ِ َال ِعقَا َ َ َت َ ِليَ ْبلُ َو ُك ْمَفِيَ َماَآت َا ُك ْمََۗإِ َّن َ َربَّك ٍ ض ُك ْم َفَ ْوقَ َ َب ْع
ٍ ض َدَ َر َجا َ َو َرفَ َعَبَ ْع
َ ضِ َاْل َ ْر
ْ ف َ َِوه ََُو َالَّذِيَ َجعَلَ ُك ْم َخ َََلئ
ََر ِحي ٌم
Artinya :
Artinya :
Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain,
teori invisible hands yang berasal dari Nabi SAW dan sangat populer di kalangan
ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi SAW. sebagaimana disampaikan oleh Anas
RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah.
Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut:
Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih
1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada
Adam Smith. Inilah yang mendasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah
SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa
ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal.
Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh
ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya. Sungguh menakjubkan, teori Nabi
tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Nabi Saw itu
mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang
sunnatullah atau hukum supply and demand. Maka sekali lagi ditegaskan kembali
bahwa teori inilah yang diadopsi oleh bapak ekonomi barat, Adam Smith dengan
nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan
tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat
dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).
Karakter umum pada perekonomian pada masa ini adalah komitmennya yang
tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan
etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh
menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan pada
seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi
pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan
menegakkan keadilan.
1. Membangun Masjid
Setibanya Rasulullah Saw di kota Madinah, tugas utama yang dilakukan
adalah mendirika masjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam
pembentukan masyarakat Muslim. Tanah yang digunakan untuk membangun masjid
adalah sumbangan dari Abu Bakar r.a. pembngunan masjid dilakukan dengan
menggunakan struktur yang sangat sederhana.
Selain sebagai tempat ibadah masjid yang kemudian hari dienal dengan Masjid
Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Senter yang mana semua aktivitas kaum
muslimin dipusatkan ditempat ini. Engan demikian, Rasulullah Saw dapat menghindri
pengeluaran yang sangat besar untuk membangun infrastuktur negara Madinah yang
baru dibentuk.
2. Merehabilitasi Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan masjid, tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullh Saw
adalah memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum muhajirin(penduduk
Makkah yang berhijrah ke Madinah). Untuk memperbaiki keadaan ini dan
menghindari kemungkinan munculnya dampak negatif dikemudian hari, Rasulullah
Saw menerapkan kebijakan yang arif dan bijaksana, yakni dengan cara menanamkan
tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dengan demikian,
ukhuwwah ini juga didasarkan pada prinsip-prinsip material. Rasulullah Saw
memerintahkan agar setiap keluarga ataupun individu dari kaum Anshar memberikan
sebagian hartanya kepada kaum Muhajirin sampai kaum Muhajirin tersebut
memperoleh mata pencaharia baru yang dapat dijadikan pegangan dalam
melangsungkan hidupnya.
3. Membuat Konstitusi Negara
Setelah mendirikan masjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan
kaum Anshar, tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah menyusun
Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai suatu
negara. Dalam kontitusi negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak,
kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim,
srta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip-prinsip islam
setiap orang dilarang melakukan aktivitas yang dapat mengganggu stbilitas dan
kehidupan manusia dan alam. Dalam kerangka ini, Rasululah melarang setiap
individu untuk memotong rumput, menebang pohon atau membawa masuk senjata
untuk tujuan kekerasan atupan peperangan disekitar kota Madinah.
1
Adi Warman Azwar Karim , “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Edisi
Keempat, 2017..Hal .19-21
1. Larangan Najsy.
Najsy adalah sebuah praktik dagang dimana seorang penjual menyuruh orang
lain untuk memuji barang dagangannya atau membeli barang dagangannya. Najsy
dilarang karena dapat menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para
pembeli.
2. Larangan Bay’ Ba’dh ‘Ala Ba’dh
Praktik bisnis ini adalah dengan melakukan lompatan atau penurunan harga
oleh seseorang dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam
tahap negoisasi atau baru akan menyelesaikan penetapan harga.
3. Larangan Tallaqi dan Al-Rukban
Praktek ini adalah dengan cara mencegat orang-orang yang membawa barang
dari desa dan membeli barang tersebut sebelum tiba dipasar. Rasulullah melarang
praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga.
4. Larangn Ihtinaz dan Ihtikar
Praktek ini adalah praktek penimbunan harta seperti emas, perak dan lain
sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah penimbunan barang-barang seperti makanan
dan kebutuhan sehari-hari.
Lahirnya kebijakan fiskal didalam dunia islam dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya karna fiskal merupakan bagian dari instrumen ekonomi publik. Untuk
itu faktor-faktor seperti sosial, budaya dan politik termasuk didalam nya. Tantangan
Rasulullah sangat besar dimana beliau dihadapkan pada kehidupan yang tidak
menentu baik dari kelompok internal maupun kelompok eksternal. Ada dua hal
penting yang telah dijalani dan di ubah oleh Rasulullah pada waktu itu adalah
pertama, adanya fenomena unik yaitu bahwa islam telah membuang sebagian tradisi,
ritual, norma-norma, nilai-nilai, tanda-tanda, dan patung-patung dari masa lampau dan
memulai yang baru dengan negara yang bersih. Kedua, negara baru dibentuk tanpa
menggunakan sumber keuangan ataupun moneter, karena negara yang baru ini sama
sekali tidak diwariskan harta ataupun dana. Sementara sumber keuangan pun tidak
ada.
Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk
mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan
berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual padatingkat yang
sama. Di masaRosulullah Saw, negara tidak mempunyai kekayaan apapun karena
sumber penerimaan negara hamper tidak ada. Barus etelah perang badar, negara
mempunyai pendapatan dari harta rampasan perang yang dikenal denganKhums.
Dalam sistem ekonomi islam, dikenal adanya zakat, infak, sedekah, dan wakaf
(ZISWA). ZISWA menjadi unsur-unsur yang terdapat dalam kebijakan fiscal islam.
Unsur-unsur ini ada yang bersifat wajibdan sukarela.Adapun cirikebijakan fiscal
dalam sistem ekonomi islam adalah:
a. Sistem ekonomi.
- Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah
SWT.
Pada masa ini, karakteristik pekerjaan masih sangat sederhana dan tidak
memerlukan perhatian yang penuh. Rasulullah sendiri adalah seorang kepala negara
yang juga merangkap sebagai penanggung jawab seluruh administrasi negara.
1. Zakat
Inti dari sumber keuangan negara dalam ekonomi yang islami adalah zakat.
Pendapatan zakat didistribusikan untuk mustahik zakat yang meliputi delapan
golongan, sebagaimana tercantum dalam QS. Al- Taubah (9): 60. Dana yang berasal
dari zakat sama sekali tidak diperbolehkan untuk menarik laba atau modal
pembangunan. Zakat sebagai sumber penerimaan utama memiliki potensi yang besar
mengingat hukumnya yang wajib. Selain itu objek zakat dalam dunia modern saat ini
bertambah luas dengan dimungkinkannya menarik zakat profesi selain zakat pertanian
2
Adi Warman Azwar Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Edisi
Keempat, 2017..Hal .27-28
dan peternakan, zakat perusahaan dan sebagainya. Ajaran Islam dengan rinci telah
menentukan syarat, kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, dan lengkap
dengan tarifnya. Pemerintah dapat memperluas objek yang wajib dizakati dengan
berpegang pada nas umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern. Dalam
konteks Indonesia, agar dana zakat secara kuantitatif ataupun kualitatif cukup banyak,
maka untuk mengoptimalkannya pemerintah seharusnya lebih serius. Keseriusan tidak
hanya dalam hal perumusan Undang- Undang zakat yang telah ditetapkan pada
pemerintahan BJ Habibie, namun pemerintah perlu membentuk kementrian khusus
atau lembaga khusus dalam rangka pemungutan dan alokasi dana zakat. Upaya yang
dilakukan BJ Habibie dalam masa pemerintahannya terkait persoalan zakat telah
mampu membangkitkan euforia masyarakat untuk menyalurkan dana zakat kepada
lembaga-lembaga, baik swasta maupun negeri. Lembaga-lembaga swasta tumbuh bak
jamur di musim hujan. Meskipun lembaga zakat tumbuh dengan pesatnya, namun
jumlah dana yang didapatkan tidak mampu dijadikan sebagai pendapatan utama
negara. Tidak sepertibpada pemerintahan Islam pada masa Nabi dan al-khulafa al-
rashidin. Zakat dan sedekah saat itu sebegai pendapatan utama Negara dan
dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu sudah selayaknya demi
mendongkrak pendapatan negara, pemerintah Indonesia serius dalam menangani
zakat ini.
2. Wakaf
Wakaf dari pandangan hukum syara’ berarti “menahan harta yang mungkin
diambil manfaatnya”. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada Allah swt. Oleh
karena itu, barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan, diberikan atau dijual
kepada pihak lain. Tanah sebagai wakaf telah memainkan peran besar dalam
masyarakat Islam, misalnya:
a. Lahan yang ditanami di Daulah Turki Utsmani 75% adalah tanah wakaf.
b. Pada masa penjajahan Perancis di Aljazair pertengahan abad 19, separuh dari lahan
yang ada adalah tanah wakaf.
c. Di Tunisia pada abad ke-19, sepertiga lahan yang ada adalah tanah wakaf.
d. Di Mesir pada tahun 1949, sekitar seperdelapan dari lahan pertanian adalah tanah
wakaf.
e. Di Iran pada tahun 1930, sekitar 30% lahan yang ditanami adalah tanah wakaf.
Dalam menunaikan wakaf, bisa dilakukan dengan harta bergerak maupun tidak
bergerak. Mazhab Maliki membuka kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis
aset apa pun, termasuk yang paling liquid. Yaitu dalam bentuk uang tunai.
Pada Masa Rasululluah Pada tahun kedua setelah hijrah sedekah fitrah
diwajibkan setiap bulan Ramadhan. Zakat mal mulai diwajibkan pembayarannya pada
tahun kesembilan hijrah. Dengan adanya perintah wajib wajib ini, mulai ditentukan
para pegawai pengelolanya yang tidak digaji secara rutin tetapi mendapat bayaran
tertentu dari dana zakat. Di awal-awal masa Islam, zakat dikumpulkan dalam bentuk
uang tunai, hasil peternakan dan hasil pertanian. Nishab zakat untuk dinar dan dirham
masing-masing 20 dinar dan 200 dirham, zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 % dari
jumlah nishab. Jika jumlah pendapatan kurang dari nishab, maka dibebaskan dari
zakat. Zakat peternakan dikenakan secara regresif (regressive rate) di mana makin
banyak jumlah hewan peliharaan, makin kecil ratenya dan pembedaan ukurannya
untuk tiap jenis hewan. Berbeda dengan zakat peternakan, zakat pertanian
menggunakan flat rate yang dibedakan antara jenis pengairannya. Bisa jadi karena
hasil pertanian merupakan barang yang tidak tahan lama sehingga bila hasil
pertaniannya melimpah dikhawatirkan barang tersebut akan menjadi busuk.
Pengeluaran zakat telah diatur dalam Alquran Al-Taubah ayat 60 sehingga tidak dapat
dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara.3
Nawaib merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk
menanggung kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini
dibebankan pada kaum muslim kaya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara
selama masa darurat. Hal ini terjadi dalam masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukkan
dalam Baitul Mal. Dasar hukum atas kewajiban ini adalah QS. Ar-Ruum (30): 38.
4. Jizyah
Jizyah merupakan pajak yang dibayar oleh kalangan non muslim sebagai
kompensasi atas fasilitas sosial ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan
3
Lilik Rahmawati, “Kebijakan Fiskal dalam Islam”, Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008, Hal 448-450
keamanan yang mereka terima dari Negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang
nonmuslim selama mereka tetap pada kepercayaannya. Namun apabila mereka telah
memeluk agama Islam, maka kewajiban membayar jizyah tersebut gugur. Jizyah tidak
wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan
membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya. Kewajiban membayar jizyah
diatur dalam QS at-Taubah (9):29. Pada masa Rasulullah besarnya jizyah adalah 1
dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Sedangkan
ketetapan pada masa ‘Umar adalah 48 Dirham untuk orang kaya yang berpenghasilan
tinggi, 24 dirham untuk yang berpenghasilan menengah dan 12 dirham unutk orang
miskin yang bekerja. Untuk tabelnya adalah
Penduduk Kadar
kaya
ekonomimenengah
6. Khums
Khums adalah dana yang diperoleh dari seperlima bagian rampasan perang.
Khums juga merupakan suatu sistem pajak proporsional, karena ia adalah persentase
tertentu dari rampasan perang yang diperoleh tentara Islam sebagai ghanimah setelah
memenangkan peperangan. Persentase tertentu dari pendapatan sumber daya alam,
barang tambang, minyak bumi dan barangbarang tambang lainnya juga dikategorikan
khumus. Untuk spesifiknya adalah Ayat yang mengatur alokasi harta rampasan
perang (Al-Anfal) turun sesudah terjadi perang Badar pada tahun kedua Hijrah.
Dalam ayat ini ditentukan tata cara pembagian harta rampasan perang sebagai berikut:
Seperlima untuk Allah dan Rasul-Nya (seperti untuk negara yang dialokasikan bagi
kesejahteraan umum), untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
para musafir. Seperlima ini dikenal dengan istilah khumus. Sedangkan yang empat
perlima bagian lainnya dibagikan kepada para anggota pasukan yangterlibat dalam
peperangan. Ayat tersebut mengindikasikan bahwa dalam sistem ekonomi Islam
dikenal adalah sistem proportional tax. Harta rampasan perang dikenakan "pajak" 20
% (khumus).
Dalam menginterpretasikan “ghanimtum min syai’” (dari apa saja yang kamu
peroleh) dalam ayat tersebut ada perbedaan pendapat di antara para ulama Sunni dan
Syi‟i. Para ulama Syi‟i berpendapat bahwa sumber pendapatan apa saja harus
dikenakan khumus sebesar 20 % sedangkan ulama Sunni memandang ayat tersebut
hanya berlaku untuk harta rampasan perang saja. Imam Abu Ubaid, sebagaimana
dikutip Adiwarman Azwar Karim, menyatakan bahwa yang dimaksud khumus itu
bukan saja hasil perang tetapi juga barang temuan dan barang tambang.4
8. Kaffarat
Kaffarat merupakan denda yang dulu dikenakan kepada suami istri yang
melakukan hubungan di siang hari pada bulan puasa (Ramadhan). Denda tersebut
dimasukkan dalam pendapatan negara.
4
Ali Murtadho “Konsep FIskal Islam Dalam Perspektif Historis”, Volume IV Edisi 1 Mei 2013, Hal 40
9. Pinjaman
Pinjaman atau utang, baik yang berasal luar negeri maupun dalam negeri
dalam Islam sifatnya adalah hanya sebagai penerimaan sekunder. Alasannya, ekonomi
Islam tidak mengenal bunga, demikian pula untuk pinjaman dalam Islam haruslah
bebas bunga, sehingga pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak
atau bagi hasil. Dalam pengertian ini, Islam tidak melarang untuk melakukan utang
piutang asalkan tidak membebani pengutang, karena sifatnya hanya membantu dan
harus segera diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sepanjang sejarah pemerintah
Islam, negara pernah melakukan utang hanya dua kali, yaitu pada masa
kepemimpinan Rasulullah saw dan pada masa kepemimpinan khalifah ‘Umar ibn al-
Khattab. Pinjamanpinjaman yang pernah dilakukan saat itu meliputi pinjaman setelah
penaklukan kota Makkah untuk pembayaran diyat kaum muslimin kepada Judzaimah
atau sebelum pertempuran Hawazin sebesar 30.000 dirham kepada ‘Abdullah ibn
Rabi’ah, dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan
ibn ‘Umayyah.
Amwal fadla merupakan harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa
ahli waris, atau berasal dari barangbarang seorang Muslim yang meninggalkan
negerinya.Secara sistematis sumber penerimaan pada zaman khalifah dan
Khulafaurrasyidin dapat dilihat pada tabel 2.3.
Primer Sekunder
1) Biaya pertahanan seperti 1) Bantuan untuk orang yang belajar
persenjataan, unta dan persediaan agama di Madinah
2) Penyaluran zakat dan ushur kepada 2) Jamuan untuk delegasi keagamaan,
yang berhak menerimanya utusan suku dan negara serta biaya
3) Pembayaran gaji untuk wali, qady, perjalanan
guru, imam, muadzin dan pejabat 3) Hadiah untuk pemerintah negara lain
negara 4) Pembebasan kaum muslimin yang
4) Pembayaran upah para sukarelawan menjadi budak
5) Pembayaran utang negara 5) Pembayaran denda atas mereka
6) Bantuan untuk musafir (dari daerah yang terbunuh secara tidak sengaja
fadak) oleh pasukan kaum muslimin
6) Pembayaran utang orang yang
meninggal dalam keadaan miskin
7) Pembayaran tunjangan untuk orang
miskin
8) Tunjangan untuk sanaksaudara
Rasulullah
9) Pengeluaran rumah tangga
Rasulullah saw
10) Persediaan darurat
5
Adi Warman Azwar Karim, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Edisi
Keempat, 2017. Hal 38.
c. Baitul Mal
Pertama kali berdirinya baitul mal sebagai sebuah lembaga setelah turunnya
firman Allah SWT (QS. Al Anfal 8:41) yakni seusai perang badar dan saat itu para
sahabat berselisih tentang ghanimah.
Dengan ayat itu, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan
perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah
Swt juga memberikan wewenang kepada Rasulullah saw untuk membagikannya
seusai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum Muslimin. Dengan
demikian, ghanimah perang badar ini menjadi hak bagi baitul mal, dimana
pengelolaannya dilakukan oleh Ulil Amri sesuai pendapatannya untuk merealisasikan
kemaslahatan kaum Muslimin.
Pada masa Rasullah Saw., baitul mal lebih mempunyai pengertian sebagai
pihak yang menangani setiap harta benda kaum Muslimin, baik berupa pendapatan
maupun pengeluaran. Saat itu baitul mal belum mempunyai tempat khusus untuk
menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum mengharuskan adanya
tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya, Kalaupun ada, harta yang diperoleh
hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin serta dibelanjakan untuk
pemeliharaan urusan mereka. Rasullah Saw senantiasa membagikan ghanimah dan
seperlima darinya setelah usainya perperangan, tanpa menunda-nundanya lagi.
Dan menurut referensi lain Baitul maal sengaja dibentuk oleh Rasulullah s.a.w
sebagai tempat pengumpulan dana atau pusat pengumpulan kekayaan negara Islam
yang digunakan untuk pengeluaran tertentu. Karena pada awal pemerintahan Islam
sumber utama pendapatannya adalah Khums, zakat, kharaj, dan jizya (bagian ini akan
dijelaskan secara mendetail pada bagian komponen-komponen penerimaan negara
Islam). Pendirian Baitul Maal ini masih banyak sumber yang berbeda pendapat, ada
yang mengatakan didirikan oleh Rasulullah s.a.w. dan ada sumber yang mengatakan
bahwa secara resmi baitul maal didirikan oleh Sayidina Umar ibn Khaththab r.a. Di
dalam buku Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab dikatakan bahwa salah satu
keberhasilan beliau adalah mampu mendirikan Baitul Maal. Namun disisi lain penulis
dapat menemukan benang merahnya bahwa secara implisit fungsi akan Baitul Maal
sudah dibentuk oleh Rasulullah s.a.w terbukti dengan membangun masjid bersama
kekayaan fungsi di dalamnya (Muslims Centre). Akan tetapi secara eksplisit pendirian
Baitul Maal dilakakan dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khaththab r.a.
Kesimpulannya, tidak ada perbedaan yang mendasar dari semua pendapat, hanya saja
dikompromikan kapan fungsi secara implisit dari Baitul Maal dan kapan pendirian
secara ekspilisit.
Untuk itu fungsi dari Baitul Maal disini adalah sebagai mediasi kebiajakan
fiskal Rasulullah s.a.w. dari pendapat negara Islam hingga penyalurannya. Tidak
sampai lama harta yang mengendap di dalam Baitul Maal, ketika mendapatkannya
maka langsung disalurkan kepada yang berhak menerimanya yaitu kepada Rasul dan
kerabatnya, prajurt, petugas Baitul Maal dan fakir miskin.6
6
Rasiam, “Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan Ketidakadilan Distribusi), Jurnal
Khatulistiwa, Journal Of Islamic Studies Volume 4 Nomor 1 Maret 2014, Hal 92
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Azwar Karim , Adi Warman. 2017. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada Edisi Keempat.
Lilik Rahmawati. (2008). Kebijakan Fiskal dalam Islam. Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Hal 448-
450
Ali Murtadho. (2013). Konsep FIskal Islam Dalam Perspektif Historis. Volume IV Edisi 1,
Hal 40
Rasiam,. (2014) . Kebijakan Fiskal Dalam Islam (Solusi Bagi Ketimpangan dan
Ketidakadilan Distribusi). Jurnal Khatulistiwa, Journal Of Islamic Studies Volume 4 Nomor
1, Hal 92