Anda di halaman 1dari 14

Latar Belakang

Traumatic injury adalah injury yang dapat bersifat fisik (badan) atau

emosional yang dihasilkan oleh luka luka fisik atau mental, atau shock. Traumatic

dental injury atau dental trauma merupakan injury yang terjadi pada mulut,

termasuk gigi, bibir, gusi, lidah, dan tulang rahang. Traumatic dental injury

umumnya merupakan kombinasi trauma jaringan lunak peri-oral, gigi, dan jaringan

pendukungnya. [1]

Menurut American Dental Association (ADA), fraktur dental atau patah gigi

merupakan hilangnya atau lepasnya fragmen dari satu gigi lengkap yang biasanya

disebabkan oleh trauma atau benturan. Fraktur gigi dapat dimulai dari ringan

(melibatkan chipping dari lapisan gigi terluar yaitu email dan dentin) sampai berat

(melibatkan fraktur vertikal, diagonal, atau horizontal akar). [1]

Trauma dentoalveolar adalah trauma yang mengenai gigi dan tulang

alveolar pendukungnya baik pada maksila maupun mandibula. Fraktur ini biasanya

berhubungan dengan adanya jejas pada gigi ataupun pada tulang rahang. Fraktur

dentoalveolar sering terjadi pada daerah gigi anterior anak-anak terutama maksila.

Trauma yang mengenai gigi sekitar 10% dari populasi, dan umumnya mengenai

gigi anterior rahang atas. Jejas ini sering juga dijumpai karena adanya trauma pada

gigi lain atau trauma pada wajah. Fraktur dentoalveolar bisa terjadi karena trauma

langsung pada gigi atau trauma tidak langsung yang mengenai dagu. Anak-anak

dengan gigi anterior protrusif adalah predisposisi terjadinya trauma dentoalveolar.

Frekuensi terjadinya fraktur dentoalveolar pada mandibula 1-5%. Sedangkan

1
insidensi fraktur dentoalveolar yang dijumpai pada anak-anak usia sekolah sekitar

5%. [2]

1. Definisi Trauma Dentoalveolar

Trauma dentoalveolar adalah cedera yang melibatkan jaringan gigi, struktur

periodontal dan tulang alveolar penyangga gigi. Banyak penelitian yang

menunjukan bahwa gigi rahang atas lebih sering terkena trauma dibandingkan

rahang bawah karena posisinya yang lebih maju. [3]

Trauma dentoalveolar adalah trauma yang mengenai gigi dan tulang

alveolar pada maksila atau mandibula dan jaringan pendukung gigi.[4]

Trauma dentoalveolar dapat menyebabkan fraktur, pergeseran dan

hilangnya gigi depan yang mengakibatkan perubahan fungsi, estetis, gangguan

berbicara, dan efek psikologis yang dapat mengurangi kualitas hidup. Tanda-tanda

klinis dari fraktur dentoalveolar adalah kegoyahan dan pergeseran pada beberapa

gigi dalam satu segmen, luka pada gingiva serta pembengkakan pada dagu.[4,5,6]

Fraktur gigi permanen dapat terjadi pada mahkota saja atau melibatkan akar

dan tulang alveolar disekitarnya. Sedangkan trauma yang terjadi pada gigi sulung

lebih sering berupa perubahan posisi gigi jika dibandingkan dengan fraktur

mahkota. Hal tersebut disebabkan oleh tulang alveolar dan ringan pendukung yang

masih berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, dan belum tumbuh

sempurna, sehingga gigi lebih mudah bergerak. [7]

2. Etiologi Trauma Dentoalveolar

Etiologi fraktur dentoalveolar pada umumnya adalah karena trauma akibat

perkelahian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat

2
bermain, dan terjatuh. Fraktur dentoalveolar pada anak-anak sering dijumpai karena

trauma akibat kecelakaan di rumah atau di sekolah.[8]

Dalam satu penelitian yang dilaku oleh Schwartz, dikatakan selama masa

remaja, cedera olahraga merupakan kasus yang umum namun pada usia dewasa,

kasus seperti cedera olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri, dan

kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab potensial trauma. Olahraga

yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum fraktur dental, seperti

sepakbola dan bola basket. Olahraga tanpa kontak fisik seperti berkuda dapat

menyebabkan fraktur dental. Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung

terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat

menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain

itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dapat

pula menyebabkan fraktur.[8,9]

Keparahan fraktur bisa hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, atau

sampai lepasnya gigi yang tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma secara langsung

kebanyakan mengenai gigi anterior, dan karena arah pukulan mengenai permukaan

labial, garis retakannya menyebar ke belakang dan biasanya menyebab fraktur

horizontal atau miring. Pada fraktur yang lain, tekanan hampir selalu mengenai

permukaan oklusal, sehingga fraktur pada umumnya vertikal. [9]

3. Klasifikasi Trauma Dentoalveolar

1. Ellis dan Davey (1970):

1) Klas I : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan enamel

3
2) Klas II : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan

dentin tetai belum melibatkan pulpa

3) Klas III : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan

menyebabkan terbukanya pulpa

4) Klas IV : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital

dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota

5) Klas V : trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi

6) Klas VI : fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota

7) Klas VII : perubahan posisi atau displacement gigi

8) Klas VIII : kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi[3]

4
2. WHO (Andreasen) Classification (1978)

1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa

a. Infraksi mahkota (enamel fractures)

Merupakan suatu fraktur atau retakan yang terbatas pada enamel,

tidak melebihi perbatasan enamel-dentin tetapi dapat berakhir pada

batas tersebut, tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau

vertikal.

b. Fraktur mahkota yang tidak kompleks (uncomplicated crown fractures)

Merupakan fraktur yang mengenai enamel, atau enamel dan dentin

tanpa melibatkan pulpa.

c. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fractures)

Merupakan fraktur mahkota yang melibatkan enamel, dentin dan

pulpa.

d. Fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown root

fractures)

Merupakan fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan cementum

tanpa mengenai pulpa.

e. Fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root

fractures)

Merupakan fraktur yang mengenai enamel, dentin dan sementum

dengan melibatkan jaringan pulpa.

f. Fraktur akar (Root Fractures)

5
Merupakan fraktur pada akar saja yang mengenai dentin dan

cementum dan melibatkan jaringan pulpa. Fraktur ini paling sering

terjadi pada apical dan satu per-tiga apical dan jarang terjadi di satu per-

tiga cervical.

2. Kerusakan pada jaringan periodontal

a. Concussion

Merupakan kerusakan pada periodontium yang menyebabkan

sensitivitas pada perkusi tanpa kegoyangan atau perubahan posisi dari

gigi. Tidak terdapat bukti klinis ataupun bukti radiografi terjadinya

trauma. Tidak terlihat mobilitas abnormal, perubahan posisi gigi, atau

perdarahan; hanya terjadi injury minimal pada jaringan.

b. Subluxation

Merupakan kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi

akibat trauma pada jaringan pendukung gigi. Subluxation terjadi ketika

ada injury yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan

kegoyangan yang abnormal, tetapi tidak terjadi perpindahan pada gigi.

Gigi menjadi sensitive terhadap tes perkusi dan tekanan oklusal. Ruptur

dari jaringan periodontal biasanya ditandai dengan perdarahan pada

celah margin gusi.

6
c. Luxation

Merupakan dislokasi atau partial avulse, dimana gigi berpindah

tempat. Luksasi ini terdiri atas intrusi, ekstrusi, dan lateral luksasi.

 Intrusive Luxation

Merupakan pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar,

dimana dapat menyebabkan fraktur atau kerusakan pada soket

alveolar. Pada luksasi intrusive sensitivitas perkusi terbatas, dan

mobilitas berkurang.

7
 Extrusive Luxation

Merupakan pergerakan parsial dari gigi yang keluar dari

soketnya pada arah coronal atau incisal dengan deviasi lingual dari

mahkota. Hasilnya adalah rupture dan terputusnya neurovascular

dan ligament periodontal. Terdapat mobilitas yang besar dan

perdarahan pada gingival margin. Pada pemeriksaan radiografi,

terdapat pelebaran ligament periodontal.

 Lateral Luxation

Lateral luxation dapat terjadi sebagai hasil dari gaya

traumatic yang menyebabkan perpindahan gigi ke banyak arah

(paling sering ke arah lingual). Luksasi ini biasanya melibatkan

soket tulang alveolar. Terdapat pelebaran ligament periodontal pada

arah apical.

d. Avulsi

Merupakan pergerakan seluruh gigi ke luar dari soket.

8
3. Kerusakan pada tulang pendukung

a. Pecahnya soket alveolar, biasanya terjadi bersamaan dengan intrusive

luxation atau lateral luxation.

b. Fraktur pada satu dinding dari soket alveolar

c. Fraktur pada prosesus alveolar

d. Fraktur yang melibatkan mandibula atau maksila

4. Kerusakan pada gusi atau mukosa oral

a. Laserasi

Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang

disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka

tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

b. Kontusio

Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan

benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah

submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

c. Abrasi

9
Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan

karena gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan

yang berdarah atau lecet.[1,2]

4. Penatalaksanaan Trauma Dentoalveolar

1. Perawatan Cedera Pada Jaringan Keras Dental Dan Pulpa

a. Crown infraction atau retak pada mahkota dilakukan perawatan konservasi

b. Fraktur mahkota dengan pulpa yang tidak terbuka dilakukan restorasi

tumpatan

c. Fraktur mahkota yang melibatkan pulpa dilakukan beberapa tindakan

bertahap yaitu pemberian liner dengan kalsium hidroksida, pulp capping

atau terapi endodontic dan dilanjutkan dengan restorasi

d. Fraktur yang melibatkan mahkota-akar, pada gigi sulung dilakukan

ekstraksi. Pada gigi permanen, dilakukan perawatan endodontik, namun

apabila fraktur akarnya vertikal dilakukan ekstraksi

e. Fraktur akar, dilakukan ekstraksi baik pada gigi sulung maupun gigi

permanen. Namun apabila fraktur pada 1/3 apikal, dapat dipertimbangkan

untuk dilakukan perawatan endodontik dan apek reseksi. [10]

2. Perawatan Cedera Pada Jaringan Periodontal

a. Concussion, apabila terjadi cedera pada jaringan penyangga gigi tanpa

perubahan posisi dan hanya terjadi pendarahan dari jaringan periodontal,

dapat dilakukan oklusal grinding untuk mengurangi beban oklusi pada gigi

tersebut

b. Sublukasi, dilakukan splinting non rigid dan dipertahankan 1-10 hari

10
c. Luksasi intrusi, dilakukan reposisi ke posisi yang benar kemudian difiksasi

menggunakan rigid splinting dengan melibatkan gigi sehat disekitarnya dan

dilakukan terapi endodontik. Apabila terjadi pada gigi sulung dan

menyentuh gigi permanen, dapat dilakukan ekstraksi gigi.

d. Luksasi ekstrusif. Pada gigi sulung dilakukan ekstraksi. Pada gigi permanen

dilakukan reposisi ke posisi yang benar dan difiksasi, bila perlu terapi

endodontik

e. Avulsi gigi. Menurut Peterson, dapat dilakukan penanaman kembali

(reimplantasi) apabila memungkinkan. Evaluasinya meliputi waktu

kejadian avulsi, kondisi ligament periodontal, pendarahan lokal dan kondisi

umum pasien. [10]

3. Reimplantasi Gigi Avulsi Kurang 1 Jam Dengan Akar Terbuka

a. Cek kondisi umum pasien (airway, breathing, circulating) sebelum tindakan

b. Replantasi secepat mungkin

c. Disimpan dalam lauran saline selama kurang lebih 30 menit. Dapat juga

disimpan didalam mulut ditaruh dibawah lidah.

d. Gigi dibilas denga doxycycline 1mg/20mL sekitar 5 menit

e. Hanya dipegang di bagian mahkota gigi

f. Dilakukan anastesi lokal

g. Irigasi soket dengan cairan saline

h. Replantasi gigi

i. Difiksasi 7-10 hari, dipastikan tidak ada kontak premature pada gigi tersebut

j. Dilakukan injeksi profilaksis tetanus jika diperlukan

11
k. Dilakukan perawatan endodontic setelah dilepas alat fiksasi untuk

membersihkan saluran pulpa dan pengisian saluran pulpa

l. Evaluasi berkala baik secara klinis maupun radiologis. [3, 10]

4. Reimplantasi Gigi Avulsi Lebih Dari 1 Jam

a. Cek kondisi umum pasien (airway, breathing, circulating) sebelum tindakan

b. Disimpan dalam larutan saline selama kurang lebih 30 menit. Dapat juga

disimpan didalam mulut ditaruh dibawah lidah.

c. Dilakukan debridement pada jaringan periodontal gigi tanpa banyak

memegang daerah akar

d. Bilas dengan asam sitrat sekitar 3 menit

e. Bilas dengan 1% stannous fluoride sekitar 5 menit

f. Gigi dibilas denga doxycycline 1mg/20mL sekitar 5 menit

g. Dilakukan anastesi lokal

h. Irigasi soket dengan cairan saline

i. Replantasi gigi

j. Difiksasi 7-10 hari, dipastikan tidak ada kontak premature pada gigi tersebut

k. Dilakukan injeksi profilaksis tetanus jika diperlukan

l. Dilakukan perawatan endodontic setelah dilepas alat fiksasi untuk

membersihkan saluran pulpa dan pengisian saluran pulpa

m. Evaluasi berkala baik secara klinis maupun radiologis

n. Pemberian antibiotic peroral dan evaluasi berkala. [3,10]

Terdapat tiga kemungkinan hasil perawatan replantasi.

1. Gigi dapat berdiri normal sebagai gigi sehat, baik vital maupun non vital.

12
2. Gigi akan mengalami resorbsi pada akar sehingga berakhir dengan

kegoyangan yang berarti replantasi gagal.

3. Terjadi ankilosis antara gigi dan tulang alveolar.

Pada fraktur yang melibatkan tulang alveolar maka fiksasi harus

dipertahankan selama 4-6 minggu. Fraktur yang melibatkan tulang mandibula,

tulang maksila atau regio lain di maksilofasial dapat dilakukan reposisi dan fiksasi

dengan closed methode atau open methode tergantung pada kondisi kasus.

Pembiusan dapat dilakukan secara local maupun bius tidur tergantung pada kasus.

Trauma multiple yang terjadi pada daerah maksilofasial sebaiknya segera dirujuk

kepala rumah sakit yang memiliki spesialis bedah mulut dan maksilofasial atau

spesialis lain yang berkompeten mengerjakan kasus tersebut. [3]

Kesimpulan

Trauma dentoalveolar adalah cedera yang melibatkan jaringan gigi, struktur

periodontal dan tulang alveolar penyangga gigi. Banyak penelitian yang

menunjukan bahwa gigi rahang atas lebih sering terkena trauma dibandingkan

rahang bawah karena posisinya yang lebih maju. Trauma dentoalveolar adalah

trauma yang mengenai gigi dan tulang alveolar pada maksila atau mandibula dan

jaringan pendukung gigi.

Tanda-tanda klinis fraktur dentoalveolar diantaranya adalah adanya

kegoyahan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva

dan vermilion bibir, luka pada gingiva dan hematom di atasnya, nyeri tekan pada

daerah garis fraktur serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Pemeriksaan

13
klinis yang teliti dan pemeriksaan radiografi diperlukan untuk menegakkan

diagnosis.

14

Anda mungkin juga menyukai