Anda di halaman 1dari 55

PRESENTASI KASUS

PENURUNAN KESADARAN PADA STROKE


HEMORAGIK

Pembimbing :

Dr Dini Andriani, SpS

Disusun oleh :

AISYA FATHANAH BINTI BAHARI (11-2010-191)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 09 APRIL 2012 – 12 MEI 2012
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
KEPANITERAAN KLINIK FK UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RS BHAKTI YUDHA

Tanda tangan

Nama : Aisya Fathanah binti Bahari

NIM : 11-2010-191

Dr. Pembimbing : dr. Dini Andriani, SpS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K

Umur : 59 tahun

Jenis kelamin : Lelaki

Status perkawinan : Sudah menikah

Pendidikan : Tamat SMA

Pekerjaan : Bersara

Alamat : Jalan Wadas Raya

No.CM : 11-04-12

Dirawat di ruang : ICU

Tanggal masuk : 10 April 2012

II. SUBJEKTIF

Alloanamnesis (anak) pada tanggal 11 April 2012 jam 1300 WIB

Keluhan utama

Pasien mengalami penurunan kesadaran ± 4 jam sebelum masuk ke rumah sakit

2
Keluhan tambahan

Kejang ± 2 jam SMRS

Riwayat penyakit sekarang

Pasien seorang laki-laki, berusia 59 tahun, datang ke UGD RSBY dibawa oleh keluarganya
dalam keadaan kejang dan tidak sadar sejak kurang lebih empat jam sebelum masuk rumah sakit

4 jam SMRS, pada saat kejadian penurunan kesadaran, pasien sedang duduk di masjid dan
mengaji. Pasien duduk bersama saudaranya. Oleh saudara pasien mengatakan tangan pasien
sempat gemetaran sewaktu sedang mencoba untuk mengangkat gelas aqua. Pasien beberapa kali
mencoba mengangkat gelas aqua tetapi berulang terjatuh sehingga saudaranya mengambil gelas
aqua dan memberikannya kepada pasien. Saudara pasien mengatakan bahwa pasien kelihatan
sangat mengantuk dan duduk bersandar pada dinding. Oleh saudara pasien dicoba untuk
membangunkan tetapi sulit. Pasien kadang membuka matanya namun tidak lama kemudian tidur
lagi. Pasien dibawa pulang oleh saudara dan orang masjid. Saat pulang, pasien sempat sadar dan
mengatakan agar tidak ketinggalan seliparnya. Sewaktu tiba dirumah, pasien sudah susah untuk
dibangunkan dan tidak memberi respon saat dipanggil.

2 jam SMRS, pasien mendadak kejang saat sedang tiduran di rumah. Kejang hanya terjadi pada
sebelah kanan, dengan gerakan kelojotan. Sebelah kiri pasien tidak bergerak. Pasien tidak sadar,
matanya mendelik ke atas dan pasien sempat ngompol. Pasien kejang sebanyak 5 kali dengan
pola yang sama. Kejang dikatakan seperti berlangsung terus dan hanya berhenti sebentar
sebelum kejang timbul lagi. Pasien tidak sadar di antara kejadian kejang.

Saat sedang kejang, pasien sempat muntah sebanyak dua kali. Muntah berisi makanan yang
dimakan, tidak berdarah. Muntah sebanyak ¼ gelas aqua dan bersifat menyembur. Pasien tidak
ada mengeluh sakit kepala sebelum kejadian ini. Pasien tidak mengeluh panas sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

Riwayat penyakit dahulu

Pada tahun 2008 pasien pernah menderita stroke. Saat kejadian pasien mengalami gangguan
lengan dan kaki sebelah kanan serta bicara pelo. Sewaktu kejadian, pasien mengalami kesukaran
untuk menggerakan tangan dan kaki, tidak mampu berjalan sendiri. Setelah pengobatan pasien
dikatakan sudah membaik sejak kejadian pertama tersebut. Pasien sudah bisa berjalan dan
mampu beraktivitas seperti biasa. Walaupun begitu, pasien bicara sedikit pelo dan kadang –
kadang tidak menyambung. Daya ingat pasien agak lemah.

Pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus. Pasien minum obat secara

teratur tetapi susah untuk mengatur makannya.


3
Riwayat sosial, ekonomi, pribadi

Kesan : Baik

III. OBJEKTIF

1. Status Generalis

 Kesadaran : Somnolen
 Glasgow coma scale : E2 M4 V2
 Tekanan darah : 240/150 mmHg
 Nadi : 88 kali/menit
 Pernapasan : 32 kali/menit
 Suhu : 38,8 oC
 Kepala : Normosefali
 Leher : Tak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak teraba pembesaran
KGB leher
 Jantung : BJ I – II regular, murmur (-), gallop (-)
 Paru : SN Vesikuler, rhonki - / -, wheezing - / -
 Perut : Supel, BU (+) normal, NT abdomen (-), tidak teraba pembesaran
hepar dan lien

2. Status Psikikus

 Cara berpikir : Tidak dapat dinilai


 Perasaan hati : Tidak dapat dinilai
 Tingkah laku : Tidak dapat dinilai
 Ingatan : Tidak dapat dinilai
 Kecerdasan : Tidak dapat dinilai

3. Status Neurologikus

A. Kepala

 Bentuk : Normosefali
 Nyeri tekan : Tidak ada
 Simetris : Tampak simetris
 Pulsasi : Tidak ada

4
B. Leher

 Sikap : Simetris
 Pergerakan : Bebas

C. Tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk : Negatif
 Brudzinksi : Negatif
 Kernig : Negatif
 Lasegue : Negatif

D. Pemeriksaan saraf cranial

 N. I : Tidak dilakukan

 N. II Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak dilakukan
Pengenalan warna Tidak dilakukan
Lapang pandang Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan

 N. III Kanan Kiri


Sela mata Ptosis -
Gerak bulbus - + kecuali medial
Strabismus Tidak dilakukan
Nystagmus Tidak dilakukan
Exophtalmus Tidak dilakukan
Pupil Besar 5 mm 4mm
Bentuk Bulat Bulat

Refleks cahaya Positif Positif


Refleks konversi Tidak dilakukan
Refleks konsensual Tidak dilakukan
Diplopia Tidak dilakukan

 N. IV Kanan Kiri
Pergerakan mata
Melihat kembar Tidak dilakukan

 N. V Kanan Kiri
Refleks kornea + +

5
 N. VI Kanan Kiri
Pergerakan mata - +
ke lateral
Melihat kembar Tidak dilakukan

 N. VII Kanan Kiri

Mengerutkan dahi Tidak dilakukan


Menutup mata Tidak dilakukan
Memperlihatkan gigi Tidak dilakukan
Bersiul Tidak dilakukan

 N. VIII Kanan Kiri


Suara berbisik Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan

 N. IX : Tersedak saat disuction positif

 N. X : Tersedak saat disuction positif

 N. XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu Tidak dilakukan
Memalingkan kepala Tidak dilakukan

 N. XII Kanan Kiri


Pergerakan lidah Tidak dilakukan
Tremor lidah Tidak dilakukan
Artikulasi Tidak dilakukan

E. Badan dan anggota gerak

A. Badan

 Motorik
- Respirasi : Takipnea
- Duduk : Tidak dapat dinilai
- Bentuk kolumna vertebralis : Tidak dapat dinilai
- Pergerakan kolumna vertebralis : Tidak dapat dinilai

6
 Sensibilitas
- Taktil : Tidak dilakukan
- Nyeri : Respons terhadap nyeri positif
- Thermi : Tidak dilakukan
- Diskriminasi : Tidak dilakukan
- Lokalisasi : Tidak dilakukan

 Refleks
- Refleks kulit perut atas : Tidak dilakukan
- Refleks kulit perut bawah : Tidak dilakukan
- Refleks kulit perut tengah : Tidak dilakukan
- Refleks kremaster : Tidak dilakukan

B. Anggota Gerak Atas

 Motorik Kanan Kiri


- Pergerakan Pergerakan minimal Kesan parese
- Kekuatan 2222 -
- Tonus Normotonus Normotonus
- Atrofi Eutrofik Eutrofik

 Sensibilitas
- Taktil Tidak dilakukan
- Nyeri Tidak dilakukan
- Thermi Tidak dilakukan
- Diskriminasi Tidak dilakukan
- Lokalis Tidak dilakukan

 Refleks
- Biceps +++ ++
- Triceps +++ ++
- Radius Tidak dilakukan
- Ulna Tidak dilakukan
- Tromner-Hoffman Tidak dilakukan

C. Anggota Gerak Bawah

 Motorik Kanan Kiri

7
- Pergerakan Pergerakan minimal Kesan parese
- Kekuatan 2222 -
- Tonus Normotonus Normotonus
- Atrofi Eutrofik Eutrofik

 Sensibilitas
-
Taktil Tidak dilakukan
- Nyeri Tidak dilakukan
- Thermi Tidak dilakukan
- Diskriminasi Tidak dilakukan
- Lokalis Tidak dilakukan

 Refleks
- Patella +++ ++
- Achilles +++ ++
- Babinsky + +
- Chaddock - -
- Schaefer - -
- Oppenheim - -
- Klonus paha Tidak dilakukan

E. Koordinasi, Gait dan Keseimbangan

 Cara berjalan : Tidak dilakukan


 Tes Romberg : Tidak dilakukan
 Disdiadokokinesia : Tidak dilakukan
 Ataksia : Tidak dilakukan
 Rebound phenomenon: Tidak dilakukan
 Dismetria : Tidak dilakukan

F. Gerakan abnormal

 Tremor : Tidak ada


 Miokloni : Tidak ada
 Khorea : Tidak ada

G. Alat vegetative

 Miksi : Normal (Dipasang catheter)


 Defekasi : Normal
 Ereksi : Tidak dinilai

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

10 April 2012. Jam 23.56 WIB

Darah lengkap

Hb : 16.9
Leukosit : 27,01
Trombosit : 332
Hematokrit : 47
MCV : 84,9
MCH : 30,3
MCHC : 35,7
LED : 45
Diff. count : 0 / 1/ 1/ 90/ 4/ 4
GDS : 126 mg/dL
SGOT : 60 u/L
SGPT : 36 u/L

AGD + Elektrolit
Hb : 16.9
pH : 7,498
PCO2 : 24.4
PO2 : 133.8
tCO2 : 18.9
HCO3 : 18.2
BEecf : -4.2
SO2 (c) : 98.8%

Pemeriksaan laboratorium 11 April 2012. Jam 12.24 AM

AGD + Elektrolit
Natrium : 146
Kalium : 3.92
Klorida : 107

Hasil Pemeriksaan Foto Thorax dan CT-Scan Kepala 10 April 2012

CT-Scan Kepala Polos

9
Hasil : MSCT – Cerebral Cranium Potongan axial (tanpa kontras)
Reformat sagital/coronal dengan hasil sbb :
 Gyrus, sulci, baik. Sistem ventrikel tampak melebar
 Tampak midline shifting ke sinistra

10
 Substansia alba dan grisea dalam batas normal
 Tampak lesi hyperdens ( HU: 70 – 65) di fossa medius/posterior dan ganglia basalis.
Mengisi ventrikel lateralis dekstra dan sinistra (supratentorial)
 Tak tampak EDH/SDH
 Terukur kira – kira jumlah darah : 205 cc

Kesan :

Sesuai gambaran ICH di fossa media dan posterior dan ganglia basalis dekstra (205 cc) dengan
gambaran hidrosefalus.

Tak tampak kelainan jaringan cerebellum saat ini.

Foto toraks

Hasil : X – FOTO THORAX AP :

Cor : Tampak membesar, elongasi arcus aortae, LVH


Pulmones : Hila tak tampak melebar, tak tampak kesuraman di perihiler dan
paracardial. Corakan bronkovaskular tak meningkat.

11
Diafragma/Sinus : Tidak tampak kelainan

Kesan :
Cor : Tampak cardiomegali, elongasio arcus aorta, LVH
Pulmones : aspek tenang
NB : Klinis ada H.H.D?

V. RINGKASAN

 Subjektif :
Pasien seorang laki – laki, berusia 59 tahun datang ke UGD RSBY dengan penurunan
kesadaran dan kejang sejak + 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat kejadian pasien
sedang mengaji di masjid. Penurunan kesadaran didahului dengan tangan gemetaran.
Pasien sulit untuk dibangunkan. 2 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien sempat kejang
sebanyak 5 kali. Saat kejang, hanya bagian kanan tubuh yang bergerak, seperti kelojotan,
mata mendelik ke atas dan pasien tidak sadar antara kejadian kejang, pasien ngompol.
Pasien sempat muntah 2 kali saat kejang, muntah berisi makanan yang dimakan, tidak
ada darah, muntah kurang lebih ¼ gelas aqua dan menyembur. Riwayat demam, sakit
kepala disangkal. Riwayat stroke pada tahun 2008. Riwayat hipertensi dan diabetes
positif.

 Objektif :
Pasien dengan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran somnolen dengan GCS = 8,
E2 M4 V2. TD : 240/150 mmHg, N : 88 x/menit, RR : 34 x/menit, Suhu : 38,8 oC.
Pada pemeriksaan neurologikus didapatkan tanda rangsang meningeal (-), kesan parese
N.III kanan total, N.VI kanan dan N.III kiri parsial serabut medial. Motorik kesan
hemiparese dupleks. Rangsang nyeri positif. Refleks ektremitas kanan atas dan bawah
hiperrefleks, dengan reflex patologis Babinksi (+).
Pemeriksaan penunjang:
Leukosit : 27,01

CT-Scan Kepala Polos :


Kesan Sesuai gambaran ICH di fossa media dan posterior dan ganglia basalis dekstra
(205 cc) dengan gambaran hidrosefalus.
Tak tampak kelainan jaringan cerebellum saat ini.

Foto toraks :
Kesan Cor tampak kardiomegali dan elongasio arcus aortae. Pulmo aspek tenang.

12
Berdasarkan Siriraj Stroke Scale seperti berikut ;

Stroke = (2 x penurunan kesadaran) + (2 x sakit kepala) + (2 x muntah) + (0.1 x diastole) – (3 x


ateroma) – 12

= (2 x 2) + (2 x 1) + (2 x 2) + (0.1 x 150) – (3 x 1) – 12

= 10

Hasil >1, maka stroke adalah stroke hemoragik.

VI. DIAGNOSIS

 Diagnosa Klinik :
- Penurunan kesadaran
- Kejang
- Hipertensi
- Hemiparese sinistra

-
-
Parese N.III kiri total, N.VI kiri dan N.III kanan parsial
Peningkatan suhu tubuh karena proses sentral
- Kardiomegali
- Hidrosefalus
 Diagnosia Topik : Perdarahan pada korteks dekstra
 Diagnosa Etiologik : Vaskular
 Diagnosa Patologik : Perdarahan

VII. TATALAKSANA

Perawatan penderita.

1. Kulit. Perawatan posisi diganti – ganti untuk mencegah dekubitus.


2. Anggota gerak. Dilakukan fisioterapi secara pasif, latihan dan pergerakan sendi untuk
mengelakkan terjadinya kontraktur. Anggota dalam posisi netral.
3. Monitoring. Pasien dipasang monitor untuk memastikan observasi keadaan umum pasien
dapat dilakukan semaksimal mungkin.
4. Traktus respiratorius. Pasien dipasang ventilator untuk memastikan patensi jalan napas
dan pasien mendapatkan ventilasi yang cukup.

13
Nonmedikamentosa.

Fisioterapi

Anjuran kraniotomi dekompresi dan pemasangan V/P Shunt untuk menurunkan tekanan
intracranial.

Medikamentosa
 NGT
 DC
 O2 2 liter
 IVFD RL + metamizole 1 amp/ 12 jam
 NaCl 0.9% + fenitoin / 8 jam
 Mannitol 250 cc drip laju dihabiskan dalam 35 menit dilanjutkan dengan 4 x 125 cc drip
laju dihabiskan dalam 35 menit, tiap kali pemberian
 Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gram
 Citicholine 2 x 1000 mg
 Furosemide 1 x 1 amp
 Vitamin B1, B2 dan B12 1 x 1 amp
 Nicardipine 0.5 mg dalam syringe pump

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : Malam

Ad fungsionam : Malam

Ad sanationam : Malam

14
TINJAUAN PUSTAKA

PENURUNAN KESADARAN PADA STROKE HEMORAGIK

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang dua topik yaitu penurunan kesadaran dan stroke.
Diharapkan dengan pembahasan dua topik di atas, kita dapat lebih memahami tentang kesedaran
dan stroke serta kaitannya pada beberapa keadaan klinis.

PENURUNAN KESADARAN

Penurunan kesadaran merupakan suatu keadaan gawat darurat yang sering ditemui di Unit Gawat
Darurat dan praktek seharian di mana pada kasus tersebut adalah penting untuk menentukan
penyebab dari penurunan kesadaran dan arah perkembangan penyakit untuk melindungi otak dari
kerusakan yang lanjut atau kerusakan yang irreversibel. Penyebab dari penurunan kesadaran
adalah luas sehingga pemeriksa harus bisa melakukan anamnesis dan pemeriksaan yang tepat
agar dapat menentukan secara pasti penyebab terjadinya penurunan kesadaran. Sebelum di bahas
dengan lebih lanjut adalah penting untuk kita memahami definisi dari kesadaran dan penurunan
kesadaran.1- 2

Definisi

Sebagai definisi kesadaran, seseorang disebut sadar apabila ia sadar terhadap diri dan
lingkungannya. Kesadaran terhadap diri dan lingkungannya membawa maksud bahwa seseorang
sadar akan perasaannya, reaksi, impuls yang dirasakan, kehendaknya dan tindakan yang diambil
oleh dirinya sendiri sebagai akibat dari fungsi kognitif serta kaitan dengan kenangan dan
pengalaman lampau. Maka secara mudahnya, definisi kesadaran harus ditambah menjadi sadar
terhadap diri dan lingkungan serta kemampuannya memberi respon terhadap stimulasi eksternal
dan keperluannya.

Dari definisi kesadaran yang telah dinyatakan diatas, maka dapat ditarik definisi penurunan
kesadaran yaitu; suatu keadaan dimana seseorang itu tidak sadar akan dirinya dan lingkungannya
atau terganggunya fungsi mental yang menyebabkan seseorang itu sadar akan dirinya dan
1
lingkungannya yang disertai dengan penurunan respon terhadap stimulus eksternal.

Selain itu, penurunan kesadaran atau koma dapat juga didefinisikan sebagai suatu kegawatan
neurologi yang menjadi petunjuk akan kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final
common pathway dari gagal organ seperti gagal jantung, gagal nafas dan akhirnya akan
berakibat kepada kematian. Oleh karena itu, apabila terjadinya penurunan kesadaran, maka dapat
dijadikan petanda bahwa telah terjadinya suatu proses disregulasi dan disfungsi otak dengan
kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh.

15
Tahapan Penurunan Kesadaran

Penurunan kesadaran dapat dibagikan kepada beberapa tahapan secara sederhana yaitu kesadaran
normal (kompos mentis), somnolen, spoor, koma-ringan dan koma.

- Somnolen
Pasien berada dalam keadaan mengantuk. Biasanya kesadaran masih dapat pulih penuh
bila pasien diberikan rangsangan. Tingkat kesadaran somnolen ditandai dengan
mudahnya pasien dibangunkan kembali, pasien masih mampu memberikan respon verbal
yang sesuai dan pada rangsangan nyeri, pasien akan menangkis.
Somnolen juga disebut letargi atau obtundasi.
- Sopor (Stupor)
Pasien berada dalam keadaan mengantuk yang dalam. Pada keadaan ini, pasien masih
dapat dibangunkan namun memerlukan rangsangan yang lebih kuat dan kesadarannya
akan segera menurun kembali setelah rangsangan dihentikan. Pasien masih dapat
mengikuti arahan – arahan yang singkat dan masih terlihat pergerakan spontan pada
pasien. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan dengan sempurna. Reaksi
terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawapan verbal dari

penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.


- Koma ringan (semi-koma)
Pada keadaan ini, pasien tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal. Reflek
pasien masih baik. Gerakan terutama timbul jika pasien diberikan rangsang nyeri
walaupun respon terhadap rangsang nyeri tampak tidak terorganisasi dan „primitif‟. Pada
keadaan ini, pasien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
- Koma (dalam atau komplit)
Pasien sudah tidak menunjukkan gerakan spontan. Tidak terdapat jawapan dari rangsang
nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

Walaupun sudah dibagikan tahapan penurunan kesadaran seperti diatas, haruslah diingat bahwa
pembagian dilakukan berdasarkan pengertian klinis dan batas antara satu tahapan ke tahapan lain
tidak tegas sehingga seorang pasien dapat dinyatakan berada dalam keadaan sporo-koma, atau
somnolen-sopor.

Pada penurunan kesadaran didapati suatu keadaan yang dikenali sebagai delirium. Penderita
dengan delirium menunjukkan penurunan kesadaran yang disertai dengan peningkatan dari
aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak
gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motorik pasien meningkat dan meronta-
ronta. 1-2

16
Neuro-Anatomi dan Neuro-fisiologi Kesadaran

Jaras kesadaran pertama sekali dikenalpasti pada tahun 1930-an dan 1940-an pada eksperimen
yang dijalankan oleh Bremer dan eksperimen yang dijalankan oleh Magoun dan Moruzzi.
Bremer menemukan bahwa stimulasi sensorik yang berterusan dari daerah trigeminal dan
sumber otak lainnya diperlukan untuk mengekalkan keadaan sadar. Morrison dan Dempsey

kemudian mendemonstrasikan bahwa terdapatnya projeksi „nonspesifik‟ dari talamus kepada


semua regio kortikal, yang tidak terkait dengan nucleus sensorik yang spesifik. Magoun dan
Moruzzi memperbaiki lagi konsep ini dengan membuktikan bahwa stimulasi listrik pada daerah
tegmentum medial pada otak tengah dan daerah berdekatan dengannya dapat menyebabkan
hewan yang tadinya dibawah pengaruh bius ringan dapat sadar kembali secara tiba-tiba berserta
rekaman EEGnya menunjukkan perubahan yang sesuai dengan perubahan tingkat kesadaran
tersebut. Daerah dimana stimulasi listrik menyebabkan timbulnya kesadaran terdiri dari beberapa
inti neuron yang kemudiannya dikenali sebagai sistem retikular.

Sistem retikular mendapat innervasi yang luas dari akson-akson sistem sensorik yang asendens
sehingga boleh dikatakan bahwa daerah ini berada tetap pada keadaan aktif tonik karena
terdapatnya stimulasi dari sistem sensorik yang naik. Oleh karena daerah ini, terutama pada
bagian medial thalamus, didapatkan proyeksi yang meluas ke korteks hemisfer maka timbul
konsep sistem aktivasi retikular (RAS) yang berkerja mengekalkan keadaan sadar. Jika terjadi
inaktivasi RAS akan menyebabkan penurunan kesadaran. Maka, dikenali ARAS atau Ascending
Reticular Activation System.

Batas anatomi dari RAS batang otak bagian atas tidak jelas. Sistem ini tersebar meluas melalui
daerah paramedian pons atas dan tegmentum otak tengah. Pada daerah setinggi thalamus, jaras
juga termasuk paramedian posterior, parafasikular, dan bagian medial dari centormedian serta
nucleus intralaminar bersebelahan dengannya.

Pada batang otak, nukleus dari sistem retikular mendapat kolateral dari traktus spinothalamikus
dan jaras trigeminal-talamus yang kemudian menyebar ke seluruh korteks serebri, tidak hanya
kepada korteks sensorik di lobus parietal. Maka, dapat dilihat bahwa, rangsangan sensorik tidak
hanya membawa informasi dari struktur somatik dan lingkungan tetapi malah, juga mengaktivasi
bagian otak yang berperan pada kesadaran. Korteks serebri tidak hanya menerima impuls dari
ARAS tetapi turut memodulasi informasi yang masuk dari projeksi sistem retikular.

Neurotransmitter yang berperan pada ARAS antara lain adalah neurotransmitter kolinergik,
1
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).

17
Gambar 1.0 Ascending Reticular Activation System (ARAS)

Pemeriksaan Penurunan Kesadaran

Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Secara kualitatif, kesadaran dinilai dengan melihat gambaran klinis dari pasien.

GCS memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsangan dan member nilai
terhadap respon tersebut. Pada pemeriksaan GCS, yang dinilai pada pasien dengan penurunan
kesadaran adalah tiga aspek yaitu aspek Penglihatan/Mata (E), pemeriksaan Motorik (M), dan
1-3
respons Verbal (V). Pemeriksaan GCS mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

a. Membuka mata Nilai


- Spontan 4

- Terhadap bicara (mengarahkan pasien 3


membuka mata)
- Dengan rangsang nyeri 2
- Tidak ada reaksi 1
b. Respons verbal
- Baik dan tidak disorientasi 5
- Kacau 4
- Tidak tepat (kata-kata tidak berupa 3
kalimat)
- Mengerang (tidak ada kata-kata) 2
- Tidak ada jawapan 1
c. Respons motorik
- Menurut perintah 6

18
- Mengetahui lokasi nyeri 5
- Reaksi menghindar 4
- Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
- Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
- Tidak ada reaksi 1
Tabel 1.0 Skala Koma Glasgow

Pemeriksan fisik

Pada setiap pasien yang dating dengan penurunan kesadaran, haruslah dilakukan pemeriksaan
yang sistematis untuk mencari penyebab dari penurunan kesadaran yang dialami. Dengan
melakukan pemeriksaan secara sistematis dan tepat, pemeriksa dapat menghemat waktu dan
biaya karena tidak dilakukan pemeriksaan yang sebetulnya tidak diperlukan. Pemeriksaan pada
pasien dengan penurunan kesadaran harus mencakup: anamnesis, pemeriksaan umum, neurologis
dan laboratorium.

Anamnesis

Pada pasien dengan penurunan kesadaran, biasanya anamnesis didapatkan dengan allo-
anamnesis. Perkara yang paling penting dicari pada anamnesis adalah jangka waktu terjadinya
penurunan kesadaran, kapan terjadinya dan apakah terjadi secara mendadak atau bertahap –
tahap. Ditanyakan juga perkembangan penyakit pasien dari sejak sebelum timbulnya penurunan
kesadaran sehinggalah sampai terjadinya penurunan kesadaran dan apakah terdapatnya
perubahan atau perkembangan pada penyakit pasien setelah terjadinya penurunan kesadaran.
Antara soalan yang dapat ditanyakan adalah;

- Riwayat trauma kepala


- Gangguan konvulsif (kejang), riwayat epilepsy
- Diabetes mellitus, pengobatan hipoglikemia, insulin
- Penyakit ginjal, hati, jantung atau paru
- Perubahan suasana hati pasien (mood), tingkah laku, pikiran, depresi
- Penggunaan obat-obat atau penyalahgunaan zat
- Riwayat alergi, gigitan serangga, syok anafilaktik
- Gejala kelumpuhan, demensia atau gangguan fungsi luhur
- Penyakit terdahulu yang berat serta perawatan di rumah sakit sebelumnya

Pemeriksaan umum

Pemeriksaan umum harus mencakup;

- Gejala vital. Periksalah jalan napas pasien, keadaan respiarasi dan sirkulasi. Pastikan
bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas.

19
- Kulit. Diperhatikan apakah adanya tanda-tanda trauma, stigmata penyakit hati, bekas
suntikan, kulit basah karena keringatan (misalnya pada hipoglikema, syok), kulit kering
(seperti pada koma diabetik), perdarahan (misalnya, demam berdarah, DIC).
- Kepala. Diperhatikan apakah terdapatnya tanda – tanda trauma, hematoma di kulit
kepala, hematoma di sekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung.
- Pemeriksaan toraks, jantung, paru, abdomen dan ekstremitas

Pemeriksaan neurologis

Pada tiap pasien yang dating dengan penurunan kesadaran atau koma, harus dilakukan
pemeriksaan neurologis. Dengan pemeriksaan neurologis yang baik, diharapkan dapat
mengungkap penyebab dari penuruan kesadaran.

Pemeriksaan paling pertama dan paling mudah dapat dilakukan adalah inspeksi. Dilihat keadaan
sikap penderita sewaktu berbaring, apakah tenang dan santai, yang menandakan bahwa
penurunan kesadaran tidak dalam. Adanya gerak menguap atau menelan merupakan tanda bahwa
penurunan kesadaran tidak dalam. Kelopak mata yang terbuka dan rahang yang kelihatan
“menggantung” merupakan tanda kepada penurunan kesadaran yang dalam. Pemeriksa haruslah
sentiasa ingat bahwa tidak ada batasan yang tegas antara tingkat-tingkat kesadaran. Secara umum
dapat dikatakan bahwa jika kuat rangsangan yang diperlukan untuk membangkitkan respons dari
pasien itu adalah lebih tinggi, maka pasien berada dalam keadaan penurunan kesadaran yang
lebih dalam.2

Pada pemeriksaan neurologis pasien dengan penurunan kesadaran dapat dilakukan pemeriksaan
terhadap;3

- Respirasi. Diperhatikan pola pernafasan pasien. Hal ini dapat membantu dalam
menentukan letak tingginya lesi dan kadang-kadang dapat membantu dalam menentukan
jenis gangguan.
Cheyne-Stokes. Pada pola pernafasan Cheyne-Stokes penderita bernafas semakin lama
semakin dalam dan kemudian mendangkal, diikuti dengan fase apneu. Pola pernfasan ini
dapat ditemui pada disfungsi hemisfer bilateral, sedangkan batang otak masih baik. Pola
pernafasan ini juga merupakan tanda dari gangguan metabolic dan gagal jantung. Hal ini
dapat merupakan gejala pertama pada herniasi transtentorial.
Hiperventilasi-Neurogen-Sentral. Pola pernafasan yang cepat dan dalam dengan
frekuensi kira-kira 25 kali per menit. Pada keadaan ini, lesi biasanya berada pada tinggi
tegmentum otak, antara mesensefalon dan pons. Pada pemeriksaan, didapatkan ambang
respirasi rendah, pemeriksaan darah menunjukkan alkalosis respiratorik, PCO 2 arterial
rendah, pH meningkat dan tedapat hipoksia ringan. Pemberian oksigen tidak mengubah
pola nafas. Pola pernafasan ini sering didapatkan pada infark mesensefalon-pontin,
anoksia, atau hipoglikemia yang melibatkan daerah ini dan pada kompresi mesensefalon
karena herniasi tentorial.

20
Apneustik. Pola pernafasan apnestik ditandai dengan inspirasi yang memanjang diikuti
oleh apne pada saat ekspirasi dengan frekuensi 1 – 1 ½ per menit.
Pernafasan kluster. Atau cluster breathing ditandai dengan respirasi yang berkelompok
diikuti oleh apne. Keadaan ini didapatkan apabila terjadinya kerusakan setinggi pons.
Ataksik (ireguler). Pola pernafasan yang tidak teratur baik dalam maupun iramanya.
Kerusakan biasanya setinggi medulla oblongata dan merupakan keadaan preterminal.

Kerusakan yang luas pada batang otak jarang memberikan pola pernafasan yang normal.

Gambar 2.0 Pola pernafasan abnormal pada penurunan kesadaran dan letak tinggi lesi.

- Pupil mata.
Diperhatikan keadaan pupil, bagaimana ukurannya: normal, midriasis atau miosis, apakah
sama besar. Stimulasi saraf simpatik mengakibatkan midriasis,sedangkan stimulasi
parasimpatik menyebabkan miosis. Obat yang menyebabkan miosis ialah stimulator
parasimpatik (contoh: bromide, reserpin, karpin, nikotin) atau inhibitor simpatik (contoh:

kokain, efedrin, adrenalin). Pupul yang masih beraskis menandakan bahwa mesensefalon
belum rusak. Pada penderita koma dengan reaksi kornea dan gerak mata ekstraokuler
yang negative, sedangkan reaksi pupil masih ada, perlu dipikirkan adanya gangguan
metabolic atau intoksikasi obat. Lesi mesensefalon menyebabkan dilatasi pupil yang
tidak bereaksi terhadap cahaya. Pupil melebar satu sisi dan tidak bereaksi menandakan
bahwa adanya tekanan pada N.III yang dapat disebabkan oleh herniasi tentorial (unkus).
Kerusakan pons dapat mengakibatkan pupil yang kecil, yang masih bereaksi terhadap
cahaya terang. Heroin menyebabkan pupil yang kecil.
- Gerakan bola mata.
Untuk pemeriksaan gerak bola mata dilakukan doll’s eye maneuver. Kelopak mata
penderita dibuka dan kepala diputar dari samping kiri ke samping kanan dan sebaliknya,
kemudian ditekuk dan ditengadahkan. Reaksi positif apabila pada pemutaran kepala ke

21
kanan, mata berdeviasi ke kiri. Mata berdeviasi ke atas apabila leher difleksi. Mata
kemudian dengan cepat kembali ke sikap semula, walaupun kepala masih dalam sikap
terputar atau terfleksi. Reaksi negative apabila bola mata tidak bergerak atau gerakannya
asimetrik; yang dapat dijumpai pada kerusakan pons-mesensefalon. Bila dicurigai adanya
fraktur tulang servikal, tes di atas tidak boleh dilakukan karena boleh memperberat
cedera tulang belakang dan menyebabkan kerusakan medulla spinalis.
-
Funduskopi.
Pada pemeriksaan funduskopik diperhatikan keadaan papil, apakah edema, perdarahan
dan eksudasi serta bagaimana keadaan pembuluh darah. Tekanan intracranial yang
meninggi, menyebabkan terjadinya edema papil. Pada perdarahan subarachnoid dapat
dijumpai perdarahan subhialoid.
- Motorik
Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (paresis). Gerakan mioklonik dapat
dijumpai pada ensefalopati metabolic (misalnya gagal hepar, uremia, hipoksia), demikian
juga gerak asteriksis. Kejang multifocal dapat dijumpai pada gangguan metabolik. Sikap
dekortikasi (lengan fleksi, tungkai ekstensi) menandakan lesi yang dalam pada hemsifer
atau tepat pada mesensefalon. Sikap deserebrasi (lengan ekstensi, aduksi dan endorotasi,
tungkai dalam sikap ekstensi) dijumpai pada lesi batang otak bagian atas, antara nucleus
ruber dan nucleus vestibular.

Table 2.0 Pemeriksaan pada tahap koma

22
Pemeriksaan penunjang

Dilakukan untuk mendeteksi apakah adanya gangguan metabolic misalnya hipoglikemia,


hiperkalsemia, koma diabetic, uremia, gagal hepar dan gangguan elektrolit lainnya. Bila ada
fasilitas, dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan untuk mendeteksi ganguan serebral. Antara
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah;
-
Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenisasi dalam darah dan juga menilai
keseimbangan asam basa.
- Pemeriksaan darah, meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, keton, faal hati, faal
ginjal dan elektrolit.
- Pemeriksaan toksikologi dari bahan urine dan bilasan lambung.
- Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal apabila tidak ada kontraindikasi, CT-scan,
2
EEG, EKG, foto toraks dan foto kepala.

Patofisiologi Penurunan Kesadaran

Seperti yang telah dinyatakan, kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks
serebri – termasuk ingatan, bahasa dan kepintaran (kualitas) dengan ARAS (kuantitas) yang
terletak mulai dari pertengahan bagian atas dari pons. ARAS menerim serabut-serabut saraf
kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relau nuclei dipancarkan secara difus ke
kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu on-off switch yang mampu menjaga
korteks serebri tetap sadar. Maka apapun yang mengganggu interaksi ini, akan menyebabkan
1
penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada
gangguan metabolic, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap
formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon. Pada pasien dengan
penurunan kesadaran, langkah yang paling penting adalah memastikan apakah penurunan
kesedaran disebabkan oleh lesi structural atau bersifat sekunder kepada ensefalopati difus seperti
gangguan metabolic, meningitis atau kejang. Kesulitan diagnosis tersering adalah untuk
membedakan lesi massa supratentorial (hemisfer) atau adanya ensefalopati metabolic.

- Lesi struktur supratentorial


Pada penurunan kesadaran akibat lesi supratentorial, anamnesis dan pemeriksaan fisik
awal sering mengarah kepada kelainan hemisfer. Sering ditemukan hemiparese dan
penurunan rangsang sensoris. Afasia dapat terjadi apabila lesi berada pada hemisfer
dominan dan agnosia dapat ditemui pada lesi hemisfer non-dominan. Dengan pelebaran
massa, kesadaran menjadi somnolen karena terjadi kompresi hemisfer kontralateral atau
penekanan ke bawah terhadap diensefalon. Stupor dapat berkembang menjadi koma,
tetapi kelainan yang ditemukan sering bersifat asimetrik. Dengan penekanan berterusan,

23
struktur thalamus, otak tengah, pons serta medulla akan terkena secara berurutan dan
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan disfungsi pada ketinggian lesi. Keadaan ini
merupakan tanda khas pada lesi supratentorial dengan herniasi transtentorial ke arah
bawah yang merupakan indikasi kepada tindakan bedah saraf. Apabila lesi mencapai
ketinggian pons, sudah pasti akan berakibat fatal.
Pada herniasi transtentorial kadang ditemukan kelainan pada nervus oculomotorius dan

kompresi otak tengah seperti dilatasi pupil ipsilateral dan aduksi mata yang terganggu
(sindrom uncal) yang mendahului keadaan penurunan kesadaran. Dengan penurunan
kesadaran yang beterusan pada herniasi uncal, akan tampak tanda-tanda kelainan stadium
otak tengah yang lengkap yaitu dilatasi pupil ipsilateral yang lengkap dan penurunan
reflex terhadap cahaya. Terapi bedah saraf harus diberikan secepatnya.2

- Lesi struktur subtentorial


Penurunan kesadaran dengan tanda-tanda kelainan batang otak fokal sangat mendukung
diagnosis lesi subtentorial. Fungsi pupil dan pergerakan ekstraokular merupakan
pemeriksaan neurologis yang sangat membantu, terutama pada keadaan kelainan yang
asimetrik. Dengan lesi otak tengah fokal, fungsi pupil akan hilang, pupil berukuran
sedang (diameter 5 mm) dan reflex cahaya negatif. Pinpoint pupil dapat ditemukan pada
lesi hemoragik pons, jarang pada infark pons dan kompresi pons pada perdarahan atau
infark serebellum. Deviasi arah pandangan dari sisi lesi, ke arah sisi yang mengalami
hemiparese, atau pergerakan mata yang diskonjugasi, merupakan tanda dari lesi
subtentorial. Respon motorik pada umumnya tidak membantu dalam membedakan lesi
subtentorial dari lesi supratentorial. Pola nafas pada lesi subtentorial adalah abnormal
2
tetapi dapat berbagai bentuk, dapat berbentuk pola nafas ataksik atau mencungap.

- Ensefalopati Difus
Ensefalopati difus yang menyebabkan koma (koma metabolik) tidak hanya mencakupi
kelainan metabolic sahaja, tetapi turut mencakupi kelainan seperti meningitis,
hemorhagik subaraknoid (SAH), dan kejang.
Manifestasi klinisnya jelas dapat dibandingkan dengan kelainan massa. Sering tidak
didapatkan kelainan fokal seperti hemiparese atau kehilangan sensorik, afasia dan,
kecuali pada SAH, tidak ada penurunan kesadaran yang mendadak. Pada anamnesis
sering didapatkan penurunan kesadaran yang terjadi secara bertahap dan akhirnya sampai
pada keadaan koma. Pemeriksaan neurologic yang simetris dapat mendukung diagnosis
koma metabolik. Ensefalopati hepatikum, hipoglikemia, dan hiperglikemia hiperosmolar
nonketotik jarang disertai dengan kelainan fokal yang asimetris, seperti hemiparesis yang
dapat berubah dari satu sisi ke sisi lain. Asteriksis, mioklonus dan tremor yang
mendahului kejadian koma merupakan tanda dari kelainan metabolik. Posisi dekortikasi
dan deserebrasi yang simetris dapat ditemui pada kelainan hepar, uremia, anoxia,
hipoglikemi atau obat bersifat sedatif.

24
Reaksi pupil yang aktif pada keadaan fungsi batang otak terganggu merupakan ciri khas
dari kelainan ensefalopati metabolik. Kelainan metabolik yang menyebabkan reflex pupil
terganggu adalah overdosis babiturat dosis besar dan hipotensi, anoksia akut, hipotermi,
keracunan antikolinergik (pupil besar) dan overdosis opioid (pinpoint pupil). Walaupun
begitu, jarang ditemukan pupil yang tidak bereaksi sama sekali.
Perubahan pola nafas pada kelainan metabolic dapat berbeda luas, dan pemeriksaan
2

analisa gas darah dan pH darah dapat membantu dalam membuat diagnosis etiologik.
1-2
Etiologi

Seperti yang telah dibahas diatas, penurunan kesadaran dapat terjadi pada gangguan struktural
dan kelainan metabolik. Kelainan tersebut dapat disebabkan oleh pelbagai etiologi.
Pada lesi struktur supratentorial, dapat terjadi akibat;
i. Hematoma subdural
Massa supratentorial yang dapat diperbaiki. Sering pada orang lanjut usia. Sering terjadi
pada trauma. Manifestesi klinis yang paling sering adalah pusing dan penurunan
kesadaran. Hemiparesis pada sisi kontralateral lesi didapati pada 70% kasus. Dilatasi
pupil positif pada 90% kasus.
ii. Hematoma epidural
Trauma koma yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak dan koyaknya arteri dan
vena meningea media. Penderita mungkin hilang kesadaran Sering didapatkan fase lucid
interval beberapa jam setelah kejadian. Diagnosis dibuat dengan CT-scan.
iii. Kontusio serebral
Kontusio serebri akibat trauma seirng dikaitkandengan kehilangan kesadaran awal
dimana pasien dapat bangun lagi. Edema yang mengelilingi lesi mungkun dapat
menyebabkan terjadiya fluktuasi dari tingkat kesadaran, juga kemungkinan terjadinya
kejang dan kelainan neurologic fokal yang lainnya.
iv. Perdarahan intraserebral (ICH)
Penyebab tersering dari ICH adalah hipertensi kronis yang mengubah sirkulasi aliran
darah didalam otak. Pada saat pecah akan menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.
Bagian ini akan dibahas dengan lebih lanjut.
v. Abses otak
Merupakan satu kelainan yang jarang ditemukan dan hanya merupakan 2% dari massa
intracranial.
vi. Tumor otak
Tumor primer atau metastatik pada SSP jarang menyebabkan koma walaupun kadang-
kadang dapat terjadi karena perdarahan ke dalam tumor atau timbulnya kejang akibat
tumor. Sering, koma terjadi lama setelah perjalanan tumor otak.

25
Gambar 3.0 Space Occupying Lesion

vii. Infark serebral


Oklusi emboli atau trombotik pada arteri karotis tidak menyebabkan koma secara
langsung. Koma terjadi jika telah ada disfungsi kedua hemisfer. Walaupun begitu, edema
yang terjadi pada infark serebri luas dapat menyebabkan terjadinya kompresi hemisfer
kontralateral atau herniasi transtentorial yang mengakibatkan koma.

Lesi struktur subtentorial dapat terjadi akibat;

i. Thrombosis arteri basilaris atau oklusi emboli


Terjadi gangguan aliran darah pada RAS batang otak. Pasien sering berusia pertengahan
ke lanjut usia dengan riwayat hipertensi, pembuluh darah artherosklerosis atau transient
ischemic attacks (TIA).Thrombus lebih sering terbentuk di daerah medial dan oklusi
emboli sering terjadi pada bagian atas dari arteri basilar.
ii. Perdarahan pons
Hanya terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi dan hanya membentuk 6% dari
kasus perdarahan parenkim otak.
iii. Perdarahan serebelum atau infark serebelum
Manifestasi klinis dapat berupa penurunan kesadaran yang bersifat mendadak atau
penurunan kesadaran yang bertahap dari beberapa jam ke beberapa hari.
iv. Hematoma subdural dan epidural pada fossa posterior

26
Merupakan lesi yang sangat jarang ditemui, dengan gambaran klinis yang sama dan
penting dikenalpasti karena kelainan ini sebetulnya dapat dikoreksi.

Lesi ensefalopati difus dapat terjadi akibat;

i. Meningitis dan ensefalitis


Dapat hadir dengan gejala klinis delirium atau koma, yang ditandai dengan demam atau
pusing. Tanda rangsang meningeal dapat positif pada meningitis. Tanda rangsang
meningeal dapat negatif pada ensefalitis yang tidak melibatkan selaput meningen atau
pada meningitis orang tua.
ii. Hipoglikemia
Sering diakibatkan overdosis insuin tetapi dapat juga disebabkan oleh alkoholisme,
penyakit hepar berat, penggunaan obat diabetic oral, insulinoma atau tumor
retroperitoneal.
iii. Iskemia serebri global
Iskemia global sering menyebabkan ensefalopati yang menjadi koma. Sering terjadi pada
keadaan henti jantung.
iv. Intoksikasi obat

Paling sering terjadi overdosis obat sedatif, overdosis etanol atau overdosis opioid. Pada
overdosis sedatif, koma akan didahului dengan periode intoksikasi yang ditandai dengan
nistagmus pada tiap arah, disartria dan ataksia. Sejurus setelah terjadinya penurunan
kesadaran, dapat ditemui tanda-tanda lesi Upper Motor Neuron seperti hiperrefleksi,
klonus dan jarang sekali dapat ditemui posisi deserebrasi dan dekortikasi. Ciri khas dari
intoksikasi obat sedatif adalah tidak adanya pergerakan ekstraokular mata pada
pemeriksaan okulosefalik dan fungsi reflex pupil yang masih ada.
Overdosis etanol menyebabkan gejala yang sama kecuali nistagmus jarang ditemukan.
Terjadi vasodilatasi perifer yang menyebabkan terjadinya takikardia, hipotensi dan
hipotermia. Overdosis golongan opioid menyebabkan konstriksi pupil. Diagnosis
overdosis opioid dapat ditegakkan dengan pemberian nalokson dimana akan terjadi
pemulihan kesadaran dan dilatasi pupil secara cepat.
v. Ensefalopati hepatikum
Dapat terjadi pada pasien dengan penyakit hepar berat. Pasien dating dengan keadaan
somnolen atau delirium. Asteriksis dapat lebih jelas. Tonus otot meningkat, terdapat
hiperrefleksi dan hemiparesis yang berpindah, atau posisi dekortikasi atau deserebrasi.
Dapat disertai dengan kejang.
vi. Keadaan hiperosmolar
Koma dengan kejang fokal sering terjadi pada keadaan hiperosmolar yang terjadi pada
hiperglikemia nonketotik.
vii. Hiponatremia
Dapat menyebabkan kelainan neurologic jika kadar natrium serum jatuh dibawah 120
mEq/L. terutama jika kadar natrium jatuh dengan cepat.

27
viii. Hipotermia
Semua pasien yang berada pada suhu dibawah 26 oC berada dalam kedaan koma,
o
sedangkan hipotermia ringan (>32.2 C) tidak menyebabkan koma. Koma pada
hipotermia dapat disebabkan oleh hipoglikemia, intoksikasi obat sedatif, ensefalopati
Wernicke, atau myxedema.
ix. Hipertermia
o o

Suhu tubuh diatas 42 C – 43 C, tubuh tidak mampu membekalkan energy yang


diperlukan untuk aktivitas sehingga terjadinya coma. Paling sering diakibatkan
pendedahan terhadap suhu lingkungan, dikenali sebagai heat stroke.
x. Penyebab lain
Penyebab koma yang jarang termasuk kelainan multifocal yang manifestasi sebagai koma
metabolic, seperti disseminated intravascular coagulopathy, sepsis, pancreatitis, vasculitis,
thrombotic thrombocytopenic purpura, emboli lemak, ensefalopati hipertensif dan
mikrometastase difus.

Peningkatan tekanan intracranial

Peningkatan tekanan intracranial terjadi karena terdapatnya penambahan volume di dalam ruang
intracranial. Tekanan intracranial yang normal adalah sekitar 10 – 20 mmHg. Ruang intracranial
mempunyai kemampuan kompensasi yang terbatas. Diketahui bahwa ruang intracranial dibagi
kepada beberapa komponen yaitu otak (1400 ml), liquor serebrospinal (150 ml) dan darah (150
ml). Setiap komponen ini berada dalam keadaan konstan sehingga tekanan intracranial rata. Oleh
karena tengkorak bersifat keras dan kemampuan membesar yang terbatas, maka jika terjadi
penambahan kepada komponen intracranial maka dengan cepat dapat terjadi peningkatan
tekanan intracranial. Berdasarkan Monro – Kellie, dinyatakan bahwa peningkatan salah satu dari
komponen intracranial akan menyebabkan penurunan dari komponen intracranial yang lain
Kompensasi dari peningkatan tekanan intracranial terjadi melalui penurunan alirah darah
intracranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan penurunan kadar sel di

parenkim.. Proses kompensasi ini memerlukan waktu yang lama untuk terjadi. Oleh karena itu,
peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara cepat dapat membawa kepada penurunan
kesadaran bahkan kematian yang cepat.

Penyebab paling sering terjadinya peningkatan intracranial antara lain adalah cedera kepala,
perdarahan intracranial seperti pada stroke hemoragik, hidrosefalus, dan tumor otak. Mekanisme
4
terjadinya peningkatan intracranial dapat lagi dibagikan kepada;
- Efek massa, seperti pada perdarahan intracranial atau tumor
- Peningkatan volume LCS, seperti pada hidrosefalus
- Edema serebri, yang dapat dibagi kepada tipe sitotoksik, vasogenik atau interstisial.
- Peningkatan aliran darah otak

28
Edema serebri merupakan salah satu penyebab peningkatan tekanan intracranial yang sering
ditemukan. Edema serebri dapat dibagi kepada edema fokal atau edema global. Edema fokal
akan menyebabkan peningkatan gradient tekanan di dalam rongga intracranial dengan jaringan
bersebelahan dengannya sehingga terjadi peningkatan tekanan intracranial dan akhirnya dapat
menyebabkan herniasi. Contoh dari edema fokal adalah tumor, hematoma atau infark. Edema
global merupakan edema difus yang terjadi pada seluruh otak dan pada keadaan yang kritikal

dapat menyebabkan hipertensi intracranial, menganggu perfusi dan akhirnya menyebabkan


iskemia umum dari otak. Penyebab tersering dari edema global adalah cardiopulmonary arrest,
trauma kepala berat dan gagal hati fulminant.

Edema pada intracranial dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu edema sitotoksik, edema
vasogenik dan edema interstitial. Pada edema sitotoksik, peningkatan volume cairan terjadi
intrasel dan terjadi akibat kegagalan pompa ion yang mengawal homeostasis sel. Sering terjadi
pada trauma kepala atau cedera hipoksia seperti pada tahap awal stroke iskemik. Edema tipe
vasogenik merupakan edema yang terjadi karena terdapatnya influx cairan melalui sawar darah
otak yang permeabilitasnya meningkat. Terjadi pengelepasan cairan dari intrasel ke ekstrasel.
Sering terjadi pada keadaan tumor, lesi inflamasi dan kerusakan jaringan et causa trauma. Edema
interstitial terjadi akibat peningkatan aliran transependymal dari intraventikel ke parenkim otak
sekitar. Edema tipe ini sering terjadi pada keadaan hidrosefalus. Edema sitoksis seing terjadi
pada substansia grisea sedangkan edema vasogenik sering terjadi pada substansia alba.5-7

Perkara yang paling ditakutkan pada peningkatan tekanan intracranial adalah terjadinya herniasi
dari jaringan otak. Herniasi jaringan otak didefinisikan sebagai perubahan posisi atau pergeseran
dari jaringan otak normal melalui atau melewati beberapa daerah untuk ke bagian berbeda pada
rongga intracranial atau ekstrakranial yang diakibatkan oleh satu proses desak ruang.Terdapat
beberapa tipe herniasi jaringan otak yaitu;

i. Herniasi transtentorial
Terjadi apabila jaringan otak melewati tentorium (transtentorium) pada batas insisura.
Herniasi transtentorial dapat dibagi kepada herniasi asendens atau desendens. Herniasi
transtentorial desendens lebih sering ditemukan akibat proses desak ruang pada serebrum
yang mendorong otak supratentorial untuk melewati insisura ke fossa posterior. Herniasi
transtentorial asendens terjadi karena efek massa di fossa posterior yang mendorong
massa otak untuk ke atas melewati insisura.
Herniasi transtentorial menunjukkan gejala parese NIII, hemiparese kontralateral, dan
kadang hemiparese ipsilateral.
Herniasi uncus merupakan subset dari herniasi transtentorial desendens. Uncus
mengalami pergeseran ke sisterna suprasellar. Akibat dari herniasi akan terjadi
penekanan langsung pada daerah rostral batang otak yang akan menimbulkan gejala N.III
yaitu dilatasi pupil ipsilateral dan gangguan adduksi bola mata sebelum terjadinya
penurunan kesadaran. Keadaan ini dikenali sebagai sindroma uncal.

ii. Herniasi cingulate (subfalcine)


29
Herniasi subfalcine terjadi karena ektensi jaringan otak dibawah falk pada serebrum
supratentorial. Herniasi ini sering terjadi secara bersamaan dengan herniasi transtentorial
atau secara tersendiri. Herniasi tipe ini tidak menyebabkan timbulnya simptom yang berat
dan lebih sering hadir dengan keluhan sakit kepala secara klinis. Walaupun begitu,
dengan perkembangan herniasi, akan terjadi kelemahan kaki kontralateral.
iii. Herniasi foramen magnum

Herniasi foramen magnum terjadi akibat pergeseran jaringan otak melewati foramen
magnum. Secara klinis, kemungkinan gejala dari herniasi ini kurang jelas sehingga
timbul gejala obtundasi. Herniasi foramen magnum yang terjadi secara mendadak atau
akut dapat berefek buruk. Keadaan herniasi akut sering dikaitkan dengan herniasi lain
sebagai contoh herniasi transtenorial.
iv. Herniasi transcalvaria
Merupakan herniasi yang terjadi melewati tulang tengkorak akibat terjadinye defek
ekstrakranial. Lesi ini sering terjadi pasca trauma atau pasca operasi. Jaringan otak akan
menjadi iskemik dan mengalami infark.8

Gambar 4.0 Macam herniasi otak. 1. Herniasi uncus (transtentorial), 2. Herniasi sentral
(transtentorial), 3. Herniasi subfalcine, 4. Herniasi transcalvaria, 5. Herniasi transtentorial
asendens, 6. Herniasi foramen magnum.

Penatalaksanaan

Tindakan pertama yang paling penting pada pasien yang dating dengan penurunan kesadaran
bukanlah mencari penyebab dari penurunan kesadarannya melainkan menjaga stabilitas pasien
agar tidak terjadi suatu keadaan yang membahayakan nyawa.1 - 2

30
Penatalaksanaan emergensi.
i. Airway. Pastikan patensi dari saluran napas dan ventilasi dan sirkulasi yang cukup.
Jika terdapat sumbatan, bebaskan jalan napas. Lakukan intubasi jika perlu. Pada keadaan
dimana diduga adanya trauma spinal, maka leher tidak boleh digerakkan. Ventilasi dapat
dilakukan dengan trakeostomi. Sirkulasi di nilai dengan pemeriksaan nadi dan tekanan
darah. Gangguan pada sirkulasi dapat diperbaiki dengan pemberian cairan i.v, obat

vasopressor atau anti-aritmia sesuai indikasi.


ii. Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
Diperiksa kadar glukosa darah dan elektrolit, fungsi hepar, fungsi renal dan hitung jenis.
iii. Infus dan berikan dektrosa, thiamine dan nalokson
Pasien yang dating dengan coma harus mendapatkan dekstrosa 25% iv, dalam bentuk 50
ml larutan dekstrosa 50% untuk mengobat kemungkinan koma hipoglikemi. Oleh karena
pemberian dekstrosa dapat memperburuk atau menimbulkan ensefalopati Wernicke,
maka tiap pasien koma turut diberikan 100 mg tiamin secara i.v. Untuk mengobati
kemungkinan intoksikasi opioid diberikan nalokson 0,4 – 1,2 mg secara i.v.
iv. Ambil sampel darah arteri untuk analisa gas darah dan pH
v. Lakukan penatalaksanaan kejang, jika ada.
Pada keadaan dimana timbulnya kejang yang persisten atau berulang pada pasien koma,
dianggap sebagai status epileptikus dan harus diberikan tatalaksana yang sesuai.

Bagi tatalaksana penurunan kesadaran, adalah penting untuk menentukan penyebab dari
penurunan kesadaran sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan dengan lebih terarah terhadap
1
penyebab utama.

Pada peningkatan intracranial akibat edema, beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk
menurunkan tekanan intracranial adalah;5 - 7
Secara medikamentosa
i. Osmoterapi
Terapi osmotic bertujuan menarik cairan dari otak melalui perbedaan gradient osmotic
dan penurunan viskositas darah. Agen yang paling sering digunakan adalah mannitol.
Dosis mannitol adalah 1.0 g/kgBB, diikuti dengan 50g pada tiap 2 hingga 3 jam.
Pemberian mannitol harus memerhatikan osmolalitas plasma yaitu 300 – 310 mOsm/L.
Perhatikan fungsi ginjal karena cairan akan dieksresi lewat ginjal.
ii. Diuretik
Efek osmotic dapat diperpanjang dengan pemberian diuretic sebagai adjuvan. Furosemide
(0.7mg/kg) dapat memperpanjang kerja agen osmolar.
iii. Kortikosteroid
Dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial akibat edema vasogenik karena
memberikan efek yang baik pada pembuluh darah. Injeksi deksametason 4 – 6 mg IM

31
tiap 4 – 6 jam dapat membantu pada keadaan vasculitis serebral. Glukokortikoid berguna
pada keadaan tumor otak malignant dengan menurunkan edema vasogenik.
iv. Hiperventilasi
Vaskularisasi otak sangat sensitive pada perubahan pCO2 arteri pada kadar 40 mmHg.
Tekanan intracranial akan turun dengan cepat. pCO2 harus diperhatikan tidak turun lebih
dari 25 mmHg karena akan terjadi vasokonstriksi dan keadaan hipokarbia sendiri akan

menyebabkan hipoksia dan iskemia.


Secara nonmedikamentosa

i. Operasi dekompresi
Craniectomy dekompresi merupakan tindakan life-saving pada keadaan edema otak akut
akibat infark. Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan intracranial
adalah dengan pemasangan V/P shunt pada pasien hidrosefalus.
ii. Posisi pasien
Elevasi kepala setinggi 15 – 30 derajat dapat meningkatkan drainase vena otak.
Perhatikan bahwa kepala berada pada garis tengah yang tepat untuk memastikan tidak
ada kompresi pada vena leher.

Keadaan Pseudocoma

Kadang – kadang koma dapat dikelirukan dengan beberapa kelainan psikiatrik atau kelainan
neurologi lainnya sehingga pemeriksan harus mengetahui dan mampu membedakannya. Antara
keadaan pseudocoma adalah;1-3
1. Psychogenic unresponsiveness
Diagnosis dilakukan secara ekslusi berdasarkan penemuan yang mendukung. Pasien
biasanya kelihatan tidak bereaksi, tetapi pada pemeriksan saraf tidak dijumpakan
kelainan. Psychogenic unresponsiveness dapat merupakan manifestasi dari skizofrenia,
kelaianan somatoform, atau malingering.
2. Locked-in syndrome
Merupakan keadaan dimana tidak terdapat gangguan kesadaran atau penghayatan tetapi
tidak bisa bicara dan quadriplegi sehingga tampak seperti berada dalam koma.
Disebabkan karena bagian formasi retikular yang bertanggungjawab terhadap kesadaran
berada di atas midpons, lesi di bawah bagian ini akan menyebabkan terganggunya jaras
turun saraf sehingga pasien tampak akinetik dan diam (mutism), tetapi dengan kesadaran
penuh. Jaras yang mengatur kedip mata dan gerakan bola mata vertical masih utuh
sehingga pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata.
3. Persistent vegetative state
Pasien dengan koma yang diakibatkan oleh hipoksia atau iskemia serebri atau kelaian
structural otak, mampu kembali wakeful tetapi tidak aware. Setelah sebulan keadaan ini
dikenali sebagai persistent vegetative state. Pasien biasanya membuka mata secara

32
spontan dan mempunyai siklus bangun-tidur yang membedakan keadaan ini dengan
kelainan koma, menunjukkan batang otak yang intak dan fungsi otonom yang tidak
terganggu. Pasien dalam keadaan ini tidak mampu memahami bahasa atau berbicara dan
tidak melakukan pergerakan motor spontan. Keadaan ini dapat menetap selama bertahun-
tahun.

33
STROKE

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di Amerika Serikat dan sebanyak 750,000
kasus baru terjadi bersamaan dengan 150,000 orang yang meninggal akibat stroke setiap tahun di
Amerika Serikat. Angka kejadian dapat meningkat dengan peningkatan usia, dimana dua per tiga
dari kejadian stroke itu terjadi pada pasien yang berusia di atas 65 tahun. Angka kejadian juga
lebih tinggi pada lelaki jika dibandingkan pada wanita.

Di Indonesia penderita laki – laki lebih banyak dari penderita wanita. Dari segi usia
menunjukkan bahwa kejadian pada usia dibawah 45 tahun cukup banyak dengan presentase
11,8%, penderita usia 45 – 64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun sebanyak 33,5%.
Pada penderita stroke hemoragik, angka kejadian kurang lebih sama dengan angka kejadian
dibawah 45 tahun yang lebih besar yaitu 13,2%.9

Klasifikasi stroke

Stroke dapat diklasifikasi:

1. Berdasarkan kelainan patologis yang terjadi.

a. Stroke hemoragik
- Perdarahan intraserebral (ICH)
- Perdarahan ekstraserebral (subarachnoid)

b. Stroke non-hemoragik
- Stroke akibat thrombosis serebri
- Emboli serebri
- Hipoperfusi sistemik

2. Berdasarkan waktu terjadinya.

- Transient ischemic attack (TIA)


- Reversible Ischemic Neurological Deficit
- Stroke in evolution / Progressing stroke
- Completed stroke

3. Berdasarkan lokasi lesi vascular

a. Sistem karotis
- Motorik : hemiparese kontralateral, disartria
- Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia
- Gangguan visual : hemianopsia homonym kontralateral, amourosis fugaks
- Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia

34
b. Sistem vertebrobasilar
- Motorik : hemiparese alternans, disartria
- Sensorik : hemihipetesi alternans, diplopia

Seperti yang telah dinyatakan, secara patofisiologi, stroke dapat dibagikan kepada stroke iskemik
atau stroke hemoragik.

Stroke iskemik. Merupakan stroke yang terjadi akibat sumbatan pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak terganggu secara keseluruhan atau sebagian. Kebanyakan
kejadian stroke merupakan stroke tipe iskemik dengan angka kejadian 80% dari kasus. Stroke
iskemik dapat dibagikan lagi menjadi tiga yaitu;

- Stroke trombotik yang terjadi akibat terbentuknya thrombus


- Stroke embolik yang terjadi akibat tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah yang
dapat berasal dari mana – mana bagian tubuh.
- Hipoperfusi sistemuk yang terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian
tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

Stroke hemoragik. Adalah keadaan dimana terjadinya pecah pembuluh darah di otak. Hampir
70% pasien dengan stroke hemoragik merupakan penderita hipertensi. Stroke hemoragik dapat
dibagi kepada dua yaitu;

- Hemoragik intraserebral, dimana perdarahan terjadi didalam jaringan parenkim otak


- Hemoragik subaraknoid, dimana perdarahan terjadi pada ruang subaraknoid.

Risiko stroke dapat meningkat pada

- Lanjut usia, risiko stroke akan meningkat dengan peningkatan usia


- Hipertensi (pada 60% kasus)
- Mempunyai riwayat stroke sebelumnya
- Pengguna alcohol atau obat terlarang lainnya.

Diagnosis
9 – 11
Definisi Stroke

WHO mendefinisikan stroke sebagai gejala – gejala deficit neurologis susunan saraf yang
diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu. Tambahan
pada definisi stroke adalah deficit neurologis yang dapat besifat focal atau general yang terjadi
secara mendadak yang dapat memberat atau menyebabkan kematian dalam waktu 24 jam yang
disebabkan oleh kelainan pembuluh darah otak.

Dari definisi ini maka diagnosis stroke dapat dilakukan secara sistematis.

35
1. Onset Akut

Seperti di dalam definisinya, stroke terjadi secara mendadak. Kelainan deficit neurologis dapat
bersifat lengkap pada awal onset penyakit sebagaimana pada stroke emboli atau berkembang
secara progresif dalam waktu saat hingga beberapa jam dan kadang sampai beberapa hari. Stroke
yang sedang berkembang sebagai akibat langsung dari kelainan vascular (bukan karena edema
serebri) disebut sebagai stroke dalam evolusi atau stroke progresif. Defisit serebri focal yang
berkembang secara perlahan (minggu hingga berbulan – bulan) bukan disebabkan oleh stroke
tetapi lebih mengarah kepada tumor atau inflamasi atau kelainan degeneratif.

2. Lamanya Defisit Neurologi

Per definisi, stroke menyebabkan kelainan neurologis yang menetap dalam waktu 24 jam.
Apabila gejala sembuh secara total dalam waktu yang lebih singkat dari 24 jam dikatakan
sebagai transient ischemic attack atau TIA. TIA yang berulang dengan gejala deficit neurologis
yang sama diakibatkan oleh thrombosis atau embolisme yang terjadi pada sirkulasi otak. TIA
dengan pola berbeda menggambarkan bahwa kemungkinan berasal dari emboli rekuren dari
jantung. Pasien yang pernah menderita TIA mempunyai resiko terjadinya stroke dalam 5 tahun
yang lebih tinggi.

Defisit yang bertahan lebih dari 24 jam tetapi kemudian menghilang atau sembuh secara total
atau hampir total dalam waktu beberapa hari dikenali sebagai Reversible Ischemic Neurologic
Deficits (RIND). Atau stroke minor.

TIA dan RIND hanya dapat ditemukan pada stroke dengan patofisiologi iskemik.

3. Keterlibatan Fokal

Stroke biasanya akan menunjukkan gejala yang bersifat fokal yang berhubung kait dengan
daerah dimana terjadinya gangguan perfusi darah. Pada stroke iskemik, oklusi dari pembuluh
darah akan menganggu aliran darah ke sebuah daerah yang spesifik, sehingga terjadinya
gangguan pada fungsi neurologis yang tergantung kepada daerah tersebut dan terbentuk gejala
yang pola deficit yang stereotipikal.

Perdarahan biasanya akan menghasilkan gambaran pola lesi yang lebih sulit untuk diprediksi
karena adanya komplikasi seperti peningkatan tekanan intracranial, kompresi jaringan otak dan
pembuluh darah atau perembesan darah ke rongga subaraknoid atau ventrikel serebri yang
mengganggu fungsi otak pada daerah yang jauh dari fokal perdarahan.

Untuk memperkirakan posisi dari lesi, haruslah pertama dulu diketahui anatomi sirkulasi otak.

36
Sirkulasi anterior memberikan suplai terbanyak pada korteks serebri dan subkorteks, basal
ganglia dan kapsula interna. Sirkulasi anterior terdiri dari arteri koroidalis anterior, arteri serebri
anterior dan arteri serebri media. Arteri serebri media memberikan cabang arteri lentikulostriata.
Stroke pada sirkulasi anterior sering memberikan gambaran disfungsi hemisfer seperti afasia,
apraksia atau agnosia. Juga terjadi hemiparesis, penurunan rangsang sensorik, dan gangguan
lapang pandang.

Sirkulasi posterior mensuplai daerah batang otak, serebelum dan thalamus serta sebagian dari
lobus oksipital dan temporal. Sirkulasi posterior terbentuk dari sepasang arteri vertebralis yang
membentuk arteri basiler dan kemudian bercabang membentuk arteri serebellar posterior inferior,
arteri serebellar anterior inferior, arteri serebellar superior dan arteri serebral posterior. Arteri
serebellar posterior turut memberi cabang arteri talamoperforata dan cabang thalamogeniculate.
Kelainan pada sirkulasi posterior akan memberikan gambaran disfungsi batang otak termasuk
koma, drop attacks, vertigo, mual dan muntah, palsy saraf cranial, ataksia dan deficit
sensorimotor bersilang pada satu sisi muka dan satu sisi badan yang berlawanan.

4. Kelainan Vaskular

Proses yang mendasar terjadinya stroke dapat berupa iskemia atau perdarahan. Mungkin agak
sulit untuk membedakan penyebab dengan pemeriksaan fisik sehingga dianjurkan pemeriksaan
penunjang dengan CT-scan atau MRI.

Iskemia

Gangguan aliran darah ke otak menyebabkan neuron tidak mendapat glukosa dan oksigen yang
sangat dibutuhkan. Jika sirkulasi tidak segera diperbaiki akan terjadi kematian sel. Bentuk
kematian sel yang terjadi tergantung kepada derajat iskemia.

Kekurangan oksigen dan glukosa menyebabkan penurunan dari suplai energi sel yang diperlukan
untuk mengekalkan potensi membrane dan gradien ion transmembran Kalium akan keluar dari
sel sehingga menyebabkan depolarisasi dan kemasukan kalsium ke intrasel. Kalium yang bocor
juga akan menstimulasi penglepasan glutamate oleh transporter glutamate sel glial. Glutamat di
sinaps akan mencetus reseptor amino asid eksitatorik yang bersama dengan kanal kalsium-
natrium sehingga terjadi influx sodium ke dalam badan sel postsinaps dan sel – sel dendrit,
menimbulkan depolarisasi dan pembengkakan akut. Asidosis menyebabkan terjadinya overload
kadar kalsium dalam sel dengan mengaktivasi acid-sensing channels. Influks kalsium yang
melebihi kemampuan sel akan menyebabkan terjadinya aktivasi calcium-dependent enzymes .
Enzim ini berserta dengan produk metaboliknya yaitu eicosanoid dan oksigen reaktif dan radikal
nitrogen menyebabkan terjadinya pemusnahan membrane plasma dan elemen sitoskeletal,
sehingga terjadinya kematian sel.

37
Pada daerah dimana iskemia belum terjadi secara lengkap, seperti pada daerah penumbra yang
mengelilingi pusat dari iskemia sel, proses kimia yang lain teraktivasi sehingga pada daerah ini
terjadinya programmed cell death yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis. Jika aliran
darah ke jaringan otak yang iskemik dapat diperbaiki sebelum neuron mengalami kerusakan
yang bersifat irrevesibel, tanda-tanda klinikal akan bersifat transien. Gangguan pada aliran darah
yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya kerusakan iskemik yang irreversibel dan

defisit neurologis yang persisten.


Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia adalah thrombosis dan emboli.

Kejadian hemoragi dapat menganggu fungsi otak melalui pelbagai mekanisme antara lain dengan
pemusnahan atau kompresi dari jaringan otak dan kompresi dari struktur vaskular, sehingga
terjadinya infark sekunder. Perdarahan intracranial dibagi berdasarkan lokasinya yaitu,
intraserebral, subarachnoid, subdural atau epidural.

10 - 11
STROKE HEMORAGIK

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial non traumatik.
Pada strok hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal
dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.

Gambar 1.0 Stroke hemoragik

Hampir 70% kasus strok hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke hemoragik meliputi
perdarahan di dalam otak ( intracerebral hemorrhage) dan perdarahan di antara bagian dalam dan
luar lapisan pada jaringan yang melindungi otak (subarachnoid hemorrhage). Gangguan lain
yang meliputi perdarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang
biasanya disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak
dipertimbangkan sebagai stroke. Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci mengenai jenis-jenis
stroke hemoragik:

38
I ntr acerebral hemorrh age (perdarahan intraserebral)

Perdarahan intraserebral terjadi karena adanya ekstravasasi darah ke dalam jaringan parenkim
yang disebabkan ruptur arteri perforantes dalam. Stroke jenis ini berjumlah sekitar 10% dari
seluruh stroke tetapi memiliki persentase kematian lebih tinggi dari yang disebabkan stroke
lainnya. Di antara orang yang berusia lebih tua dari 60 tahun, perdarahan intraserebral lebih
sering terjadi dibandingkan perdarahan subarakhnoid.

Perdarahan intraserebral sering terjadi di area vaskularis dalam pada lapisan hemisfer serebral.
Perdarahan yang terjadi kebanyakan pada pembuluh darah berkaliber kecil dan terdapat lapisan
dalam (deep arteries). Perdarahan intraserebral sangat sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis (hipertensi) melemahkan arteri kecil, menyebabkannya menjadi pecah. Korelasi hipertensi
sebagai kausatif perdarahan ini dikuatkan dengan pembesaran vertikel jantung sebelah kiri pada
kebanyakan pasien. Hipertensi yang menahun memberikan resiko terjadinya stroke hemoragik
akibat pecahnya pembuluh darah otak diakibatkan karena adanya proses degeneratif pada
dinding pembuluh darah.

Beberapa orang yang tua memiliki kadar protein yang tidak normal disebut amyloid yang
menumpuk pada arteri otak. Penumpukan ini (disebut amyloid angiopathy) melemahkan arteri
dan bisa menyebabkan perdarahan. Umumnya penyebabnya tidak banyak, termasuk
ketidaknormalan pembuluh darah yang ada ketika lahir, luka, tumor, peradangan pada pembuluh
darah (vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu
tinggi. Gangguan perdarahan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari
perdarahan intraserebral.

Perdarahan intraserebral ini merupakan jenis stroke yang paling berbahaya. Lebih dari separuh
penderita yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal dalam beberapa hari. Penderita yang
selamat biasanya kembali sadar dan sebagian fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan
menyerap sisa-sisa darah.

39
Gambar 2.0 CT-scan tanpa kontras dengan gambaran perdarahan intracranial primer
(hipertensif) massif di basal ganglia. Ventrikel ketiga dan ventikel lateral ipsilateral
mengalami kompresi dan teralih oleh karena massa yang membesar.

Subarachnoid h emorr hage (perdarahan subarakhnoid)

Perdarahan subarakhnoid adalah perdarahan ke dalam ruang (ruang subarachnoid) diantara


lapisan dalam (pia mater ) dan lapisan tengah ( arachnoid mater) para jaringan yang melindungan
otak (meninges). Penyebab yang paling umum adalah pecahnya tonjolan pada pembuluh
(aneurisma). Biasanya, pecah pada pembuluh menyebabkan tiba-tiba, sakit kepala berat,
seringkali diikuti kehilangan singkat pada kesadaran. Perdarahan subarakhnoid adalah gangguan

yang mengancam nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini
adalah satu-satunya jenis stroke yang lebih umum terjadi pada wanita.

Perdarahan subarakhnoid biasanya dihasilkan dari trauma kepala. Meskipun begitu, perdarahan
akibat trauma kepala yang menyebabkan gejala yang berbeda tidak dipertimbangankan sebagai
stroke. Perdarahan subarakhnoid dipertimbangkan sebagai sebuah stroke hanya ketika hal itu
terjadi secara spontan, yaitu ketika perdarahan tidak diakibatkan dari kekuatan luar, seperti
kecelakaan atau jatuh.

Perdarahan spontan biasanya diakibatkan dari pecahnya secara tiba-tiba aneurisma di dalam
arteri cerebral. Aneurisma menonjol pada daerah yang lemah pada dinding arteri. Aneurisma
biasanya terjadi dimana cabang nadi. Aneurisma kemungkinan hadir ketika lahir (congenital),

40
atau mereka berkembang kemudian, setelah tahunan tekanan darah tinggi melemahkan dinding
arteri. Kebanyakan perdarahan subarakhnoid diakibatkan dari aneurisma sejak lahir.

Perdarahan subarakhnoid terkadang diakibatkan dari pecahnya jaringan tidak normal antara arteri
dengan pembuluh (arteriovenous malformation) di otak atau sekitarnya. Arteriovenous
malformation kemungkinan ada sejak lahir, tetapi hal ini biasanya diidentifikasikan hanya jika
gejala terjadi. Jarang, penggumpalan darah terbentuk pada klep jantung yang terinfeksi,
mengadakan perjalanan (menjadi embolus) menuju arteri yang mensuplai otak, dan
menyebabkan arteri menjadi meradang. Arteri tersebut bisa kemudian melemah dan pecah.

Gambar 3.0 Perdarahan subaraknoid karena rupture anuerisma arteri basilar. Kiri: potongan
axial setinggi ventrikel lateral menunjukkan perdarahan luas ke dalam rongga subaraknoid
dengan penglapisan di ventrikel yang mengakibatkan hidrosefalus. Tampak darah-LCS pada
kornu posterior ventrikel lateral yang merupakan gambaran tipikal pada perdarahan akut.
Kanan: Darah mengelilingi batang otak. Kornu temporal dari ventrikel lateral tampak
membesar karena terjaidnya hidrosefalus akut.

Pemeriksaan

Anamnesis.

Pada anamnesis pasien yang suspek stroke harus mencakup onset dan perkembangan gejala serta
penilaian faktor resiko dan penyebab peristiwa.

41
1. Faktor predisposisi

Pada pasien dengan kelainan serebrovaskular, dicari faktor resiko seperti riwayat TIA, hipertensi
dan diabetes. Pada wanita, ditanyakan apakah menggunakan obat KB. Riwayat penyakit jantung
dipastikan. Riwayat trauma walaupun kecil dapat bermakna dalam menegakkan diagnosis.

Faktor resiko terjadinya stroke juga harus dicari. Faktor resiko dapat dibagi kepada faktor resiko
yang dapat dimodikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi termasuk:

- Hipertensi
- Penyakit jantung
- Diabetes mellitus
- Hiperkolesterolemia
- Obesitas
- Kebiasaan merokok dan minum alcohol
- Penggunaan pil KB

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk:

- Usia
- Jenis kelamin
- Herediter
- Ras

2. Onset dan perkembangan penyakit

Pada anamnesis harus memastikan berapa lama onset penyakit dan perkembangan penyakit
setelah onset. Gejala stroke termasuk kelemahan atau kelumpuhan yang mungkin mempengaruhi
ekstremitas tunggal, satu setengah tubuh atau semua keempat ekstremitas, droop face, kebutaan
monookular atau teropong, penglihatan kabur atau deficit bidang visual, disartria dan
pemahaman masalah pembicaraan, vertigo atau ataksia, dan afasia. Defisit neurologis dapat
mencerminkan daerah otak yang terlibat.

3. Gejala yang menyertai

Gejala saja tidak cukup untuk membedakan stroke iskemik atau hemoragik. Namun gejala umum,
termasuk mual, muntah dan sakit kepala serta tingkat kesadaran yang berubah dapat
mengindikasikan peningkatan tekanan intracranial dan lebih umum pada stroke hemorhagik atau
stroke iskemik besar. Kejang lebih sering terjadi pada stroke hemoragik daripada stroke iskemuk
dan terjadi pada 28% kasus stroke hemoragik. Kejang umumnya terjadi pada awal perdarahan
intraserebral atau dalam 24 jam pertama.

42
Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik umum, harus focus untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari
terutama kelainan yang dapat diobat. Tekanan darah harus diukur karena merupakan faktor
resiko terjadinya stroke. Tekanan darah yang sangat tinggi sering didapatkan pada stroke
hemoragik. Pemeriksaan status neurologikus yang umum dilakukan dapat membantu mendeteksi
lesi defisit neurologis pada penderita. Pemeriksaan kaku kuduk dapat positif pada pasien dengan
perdarahan subaraknoid. Pemeriksan kesadaran adalah sangat penting karena pada pasien dengan
stroke hemoragik sering disertai dengan penurunan kesadaran.

Onset akut defisit neurologis, tingkat kesadaran yang berubah, atau koma lebih umum ditemukan
pada strok hemoragik. Jenis defisit tergantung kepada area otak yang terlibat. Jika hemisfer
dominan yang terlibat, akan tampak sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan, penurunan
hemisensory kanan, preferensi arah pandangan ke arah kiri akibat hemineglect dan afasia. Jika
otak kecil yang terlibat, pasien beresiko tinggi terjadinya herniasi dan kompresi batang otak.

Lokasi Koma Pupil Pergerakan Gangguan Hemianopia Kejang


mata sensorimotor
Putamen Sering Normal Deviasi Hemiparese Sering Jarang
ipsilateral
Talamus Sering Kecil, Deviasi Defisit Transien Jarang
lambat inferior hemisensory
medial
Lobus Jarang Normal Normal atau Hemiparese Sering Sering
deviasi atau defisit
ipsilateral hemisensory
Pons Dini Pinpoint Absent Quadriparese Tidak ada Tidak ada
horizontal
Serebelum Lambat Kecil, Terganggu Gait ataxia Tidak ada Tidak ada
reaktif lambat
Tabel 1.0 Gejala klinik pada perdarahan intracranial

Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan darah yang direkomendasikan pada keadaan stroke adalah seperti berikut;

1. Hitung darah lengkap dapat dilakukan untuk mengevaluasi penyebab dari stroke seperti
thrombositopenia, thrombositosis, polysitemia, anemia dan leukositosis.
2. Glukosa darah dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis differensial kepada penurunan
kesadaran. Pada keadaan hipoglikemi atau Hiperglikemi hiperosmolar nonketotik dapat
timbul kelainan neurologis sehingga mengacaukan diagnosis.

43
3. Kolesterol darah dilakukan untuk menilai faktor resiko dari pasien.

EKG harus dilakukan untuk menilai apakah pasien menderita kelainan infark miokard yang tidak
terdeteksi atau aritmia yang merupakan predisposisi dari kejadian stroke iskemik.

CT-scan dan MRI merupakan pencitraan yang merupakan gold standard pada penilaian pasien
suspek stroke. CT-scan dan MRI digunakan untuk membedakan stroke iskemik atau hemoragik
dan untuk menentukan lokasi lesi. CT-scan lebih disukai sebagai pemeriksaan pertama karena
cepat dan dapat membedakan lesi iskemik dan lesi hemoragik dengan mudah. MRI dapat lebih
superior dari CT-scan dalam menunjukkan lesi iskemik dini, lesi iskemik di batang otak dan
serebelum, dan mendeteksi oklusi thrombus pada sinus venosus. Pencitraan juga sangat berguna
untuk menyingkirkan penyebab lain dari penurunan kesadaran seperti tumor atau abses otak.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah;

- Pungsi lumbal dapat dilakukan untuk memastikan apakah terdapatnya perdarahan


subaraknoid atau untuk mendokumentasi sifilis meningovesikuler sebagai penyebab
stroke
- Angiografi serebral. Angiografi intraarterial digunakan untuk mengidentifikasi pasien
dengan lesi ekstrakranial yang boleh dioperasi pada pasien dengan TIA sirkulasi anterior.
Ia juga sangat berguna dalam menegakkan diagnosis kelainan vaskular yang terkait
dengan stroke seperti vaskulitis, dysplasia fibromuskular, dan diseksi arteri karotis atau
arteri vertebralis. Prosedur pilihan adalah transfemoral arch aortagraphy dengan selective
chatheterization of carotid (dan jika diindikasikan, arteri vertebralis). Magnetic resonance
angiography (MRA) sangat berguna dalam mendeteksi stenosis dari arteri serebri yang
besar, anurisme atau lesi vaskular lainnya.
- USG Doppler dapat dilakukan untuk mendeteksi stenosis atau oklusi pada arteri karotis
interna tetapi kurang sensitif dari angiografi.

Gejala klinis
Perdarahan Intraserebral

Gejala yang diakibatkan oleh perdarahan intraserebral yaitu onset yang hampir selalu timbul
pada saat beraktivitas dan terkadang terjadi saat pasien dalam keadaan tidur (hanya 3%). Gejala
yang paling umum ditemukan adalah sakit kepala dan muntah. Walaupun tidak spesifik dan
tergantung lokasi lesi, hal ini membedakannya dengan stroke iskemik. Sakit kepala pada saat
onset merupakan suatu gejala klinis yang penting pada pasien dengan perdarahan lobar,
diakibatkan karena adanya distensi lokal, distorsi, atau peregangan struktur intrakranial
superfisial yang sensitif terhadap rasa sakit.

44
Gejala lainnya yaitu kejang yang menunjukkan adanya suatu perdarahan lobaris dibandingkan
perdarahan pada bagian yang lebih dalam. Kecepatan penurunan kesadaran pada pasien
bervariasi sesuai lokasi dan luas perdarahan yang terjadi.
Mayoritas kasus dari perdarahan intraserebral terdapat pada kompartemen supratentorial dan
sebagian lagi pada bagian hemisfer serebral, ganglia basalis, dan talamus. Berikut ini adalah
penjelasan mengenai jenis-jenis perdarahan yang dapat terjadi pada stroke perdarahan dan gejala

yang diakibatkannya:

1. Perdarahan Putaminal
Perdarahan putaminal merupakan bentuk perdarahan intracerebral yang paling sering
terjadi. Gambaran klasik dari perdarahan putaminal adalah kelemahan motorik
unilateral yang diikuti abnormalitas sensorik visual dan perilaku. Apabila lesi mengenai
hemisfer sisi dominan akan terjadi afasia global, sedangkan bila mengenai hemisfer
non-dominan akan menyebabkan gejala hemi-inattention.

2. Perdarahan kaudatus
Perdarahan kaudatus biasa dimasukkan sebagai perdarahan putaminal yaitu sebagai
perdarahan putamina basalis. Onset perdarahan kaudatus umumnya tiba-tiba, dengan
sakit kepala dan muntah yang diikuti penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik
menunjukan adanya kekakuan leher dan berbagai gangguan perilaku (disorientasi dan
konfusi) dan seringkali diikuti gangguan ingatan jangka pendek.

3. Perdarahan talamik
Perdarahan talamik akan menunjukan gambaran klinis yang sesuai dengan besarnya
area perdarahan dan perluasan massa perdarahan yang terjadi. Apabila massa yang
timbul sangat besar maka perluasan dapat mencapai daerah parietal. Gejala muntah
cukup banyak dijumpai namun sakit kepala jarang. Gejala klinis termasuk hemiparesis
atau hemiplegia yang disertai sindrom hemisensorik berupa penurunan sistem sensorik
tungkai, wajah dan punggung kontralateral. Gejala utama pada perdarahan talamik
adalah kelainan pada nervus okulomotoris yang mengakibatkan kelumpuhan pandangan
atas, paralisis konvergen, retraksi nistagmus, deviasi asimetris.

4. Perdarahan substansia alba (perdarahan lobaris)


Perdarahan yang terjadi pada daerah subkortikal substansia alba menghasilkan lesi yang
dapat muncul diseluruh lobus serebri terutama dilobus parietal, temporal dan oksipital.
Perdarahan lobaris berbeda dengan perdarahan intraserebral pada umumnya yaitu tidak
banyak berkaitan dengan hipertensi. Gejala klinis perdarahan lobaris agak berbeda
dengan perdarahan lain. Perdarahan lobaris jarang terjadi hipertensi arterial dan
penurunan kesadaran. Keluhan sakit kepala dan kejang lebih sering ditemukan. Terjadi
rasa sakit kepala di daerah sekitar mata ipsilateral dan hemianopasia juga sakit pada

45
areal sekitar telinga dan kelemahan anggota gerak kontralateral atas serta kelemahan
kaki dan wajah.

5. Perdarahan serebral
Perdarahan serebral disebabkan oleh hipertensi arterial. Perdarahan yang terjadi
berasal dari cabang distal arteri serebralis posteriol inferior. Gejala klinis muncul pada

saat pasien melakukan aktifitas. Gejala awal yang mendahului rasa pening disertai
perasaan seperti saat mabuk, mati rasa pada wajah dan selanjutnya pasien tiba-tiba tidak
mampu berjalan dan bahkan berdiri. Kekakuan pada leher dan daerah bahu, tinitus dan
cekukan terjadi pada beberapa pasien.

6. Perdarahan mesensefalon
Perdarahan spontan nontraumatik pada otak tengah sangat jarang ditemukan perdarahan
biasanya berasal dari bagian bawah talamus atau lesi yang berawak dicerbelum atau
ponds. Gejala yang ditimbulkan umumnya bertahap dan progresif. Kerap terjadi ataksia
dan oftalmoplegia juga hidrposefalus akibat blokade atau distensi pada akuaduktus.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain berupa kelumpuhan bilateral nervus III,
kelemahan bulbar, reflek extensor plantar, sakit kapal yang menyeluruh, muntah,
hemiparesis, diplopia, dan pinpoint pupil.

7. Perdarahan pons
Perdarahan pons terjadi karena peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan
masuknya darah keruangan tertutup intrakranial. Gejala klinis yang terjadi adalah sakit
kepala yang hebat di daerah oksipital sebelum terjadi koma, gejala kejang, menggigil
hebat, dan terjadi disfungsi sistem otonom. Selain itu gejala lainnya adalah mati rasa
pada wajah dan tungkai atas, ketulian, diplopia, kelemahan kaki bilateral, dan pola
pernapasan yang abnormal, apnea.

8. Perdarahan medula oblongata


Perdarahan medula oblongata yang sangat jarang sekali terjadi bahkan lebih jarang
dibandingkan pedarahan otak tengah. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa rasa pening,
muntah, sakit kepala, diplopia, dan paresthesia tungkai atas kanan. Umumnya terjadi
somnolen dalam waktu singkat dan ataksik disertai kaku kuduk, hemiparesis kiri,
nistagmus, disfonia, dan disfagia.

Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan oleh ruptur satu aneurisma intrakranial. Sebelum
pecah, aneurisma biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala yang berat. Pecahnya aneurisma
akan memberikan gejala seperti berikut:

46
 Sakit kepala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat (kadangkala disebut
sakit kepala thunderclap).
 Nyeri muka atau mata.
 Penglihatan ganda.
 Kehilangan penglihatan sekelilingnya.

Tanda bahaya dapat terjadi dalam hitungan menit sampai mingguan sebelum pecahnya
aneurisma. Penderitas harus melaporkan segera sakit kepala yang tidak biasa kepada dokter.
Pecahnya anuerisma dapat terjadi karena hal yang tiba-tiba, dan sakit kepala hebat akan
dirasakan memuncak dalam hitungan detik. Hal ini seringkali diikuti dengan penurunan
kesadaran yang singkat. Hampir separuh orang yang terkena meninggal sebelum sampai di
rumah sakit. Beberapa orang tetap dalam koma atau tidak sadar. Yang lainnya tersadar, merasa
pusing dan mengantuk. Mereka bisa merasa gelisah. Dalam hitungan jam atau bahkan menit,
orang bisa kembali menjadi mengantuk dan bingung. Mereka bisa menjadi tidak bereaksi dan
sulit untuk bangun.

Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan cerebrospinal disekitar otak melukai lapisan pada
jaringan yang melindungi otak (meninges), menyebabkan leher kaku seperti sakit kepala

berkelanjutan, sering muntah, pusing, dan rasa sakit di punggung bawah. Frekuensi nfasa dan
nadi yang naik turun sering terjadi, kadangkala disertai kejadian kejang yang semakin
meningkat.

Selain itu, subarachnoid hemorrhage juga dapat disertai komplikasi serius seperti :

1. Hidrosefalus dalam waktu 24 jam. Darah dari subarachnoid hemorrhage bisa


menggumpal dan mengganggu aliran liquor cerebrospinalis (LCS) di sekitar otak.
Sebagai akibatnya, terjadi penumpukan LCS di dalam otak, dan meningkatkan tekanan di
dalam tengkorak. Hidrosefalus bisa menyebabkan gejala-gejala seperti sakit kepala,
mengantuk, pusing, mual, dan muntah dan bisa meningkatkan resiko pada koma dan
kematian.

2. Vasospasm terjadi sekitar 3 sampai 10 hari setelah perdarahan. Arteri di dalam otak
mengalami kontraksi (kejang) dan membatasi aliran darah menuju otak. Jaringan otak
tidak mendapatkan asupan oksigen yang mencukup sehingga terjadi iskemi dan kematian
sel. Vasopasm bisa menyebabkan gejala yang serupa seperti pada stroke iskemik, yaitu
kelemahan atau kehilangan rasa pada salah satu bagian tubuh, kesulitan menggunakan
atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi lemah.

3. Pecahan kedua kadangkala pecahan kedua terjadi, biasanya dalam waktu seminggu.

47
10 - 13
Penatalaksanaan

Tujuan tatalaksana dini adala untuk menstabilkan pasien dan menyelesaikan evaluasi awal,
termasuk laboratorium dan pencitraan.

Kenalpasti keadaan hipoglikemia atau hiperglikemia secara dini dan diobati sesuai penemuan.
Hipertermia jarang dikaitkan dengan stroke tetapi jika didapatkan suhu tubuh yang tinggi,
diberikan obat antipiretik untuk menurunkan suhu karena dapat menyebabkan peningkatan
morbitas penyakit. Tambahan oksigen diberikan jika pasien memiliki kebutuhan oksigen yang
didokumentasikan.

Tensi harus direkod dan diturunkan sesuai indikasi. Pada keadaan stroke iskemik akut,
penurunan tensi dikontraindikasikan pada keadaan MAP > 130. Target penurunan tensi optimal
ditentukan sesuai dengan pedoman American Stroke Association. Beberapa pasien mungkin
datang dengan keadaan hipotensi sehingga harus dilakukan perbaikan aliran.

Penatalaksanaan pada pasien dengan stroke hemoragik luas dan penurunan kesadaran adalah
dengan memastikan ventilasi yang adekuat, monitor peningkatan tekanan intracranial dan
pemberian infuse dengan NaCl fisiologis.

Pada stroke hemoragik, penatalaksanaan dapat dibagikan kepada penatalaksanaan bedah dan
medikamentosa.

1. Penatalaksanaan bedah
a. Dekompresi serebellar. Tindakan yang paling penting dalam penatalaksanaan
perdarahan hipertensif adalah dengan melakukan dekompresi hematoma serebellar. Jika
tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian atau deteriorasi dari keadaan umum pasien.
Tindakan ini mempunyai kemungkinan dapat menyembuhkan defisit neurologi. Tindakan
ini harus diambil secepat mungkin.
b. Dekompresi serebral. Pembedahan dapat berguna apabila perdarahan superficial ke
dalam grisea alba menyebabkan timbulnya efek massa dan terjadinya midline shifting dan
herniasi. Walaupun begitu, prognosis dari tindakan ini sangat bergantung kepada tahap
kesadaran sebelum operasi dan jarang memberikan hasil yang memuaskan pada pasien
yang sudah berada di dalam koma.
c. Kontraindikasi. Kontraindikasi pembedahan adalah pada perdarahan pontine atau
serebral dalam karena pada sebagian besar kasus, terjadinya dekompresi spontan dengan
pecahnya ke dalam ventrikel. Selain itu, bagian tersebut sulit untuk dicapai dengan
pembedahan karena harus melewati bagian otak yang sehat.

2. Penatalaksanaan medikamentosa
Pada pasien yang menggunakan antikoagulan dan antitrombotik haruslah segera
dihentikan pada kejadian perdarahan akut.

48
Penurunan tekanan darah secara sangat cepat tidak dianjurkan karena dapat menganggu
perfusi jaringan otak pada peningkatan tekanan intracranial. Walaupun begitu, MAP >
110 mmHg dapat meningkatkan resiko terjadinya edema serebral dan pembentukan
bekuan darah. Pada keadaan tersebut, maka penggunaan beta-blocker atau ACE-
inhibitors dianjurkan. Kombinasi dengan diuretic dapat membantu.
Peningkatan tekanan intracranial dapat terjadi karena hematoma sendiri atau karena

edema serebral atau keduanya. Tatalaksana konservatif peningkatan tekanan intracranial


adalah dengan memposisikan kepala lebih tinggi sampai 30 derajat pada garis tengah. Hal
ini dapat meningkatkan aliran vena jugularis dan menurunkan tekanan intracranial.
Terapi yang lebih agresif dapat dilakukan dengan terapi osmotik dengan menggunakan
manitol atau saline hipertonik. Pemantauan tekanan intracranial harus dilakukan secara
berterusan untuk memastikan tekanan perfusi serebral (CPP) lebih dari 70 mmHg.

Prognosis
Setelah kejadian stroke tingkat kesembuhan tergantung kepada beberapa faktor yang paling
penting adalah derajat dari defisit neurologi yang dialami. Usia pasien, penyebab terjadinya
stroke dan kelainan medis yang berkaitan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan,
kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan hidup untuk sebulan dan angka harapan hidup
untuk 10 tahun diperkirakan sekitar 35%. Dari jumlah pasien yang bertahan hidup setelah
kejadian akut, kurang lebih ½ hingga ¾ dari pasien memperoleh fungsi independen kembali,
sedangkan 15% memerlukan perawatan khas.

49
Kesimpulan
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kepada kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari
kegagalan fungsi organ seperti gagal jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal
otak dengan akibat kematian.
Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penurunan kesadaran

disebabkan oleh kelainan structural atau metabolic. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan secara cermat. Tatalaksana pada pasien penurunan kesadaran terdiri dari tatalaksana
umum dan khusus. Pada tatalaksana umum, dilakukan penatalaksaan kegawat daruratn untuk
mengatasi keadaan emergensi dan menghentikan atau megelakkan terjadinya proses yang
bersifat fatal. Pada tatalaksana khusus, dilakukan tindakan untuk mengatasi penyebab utama dari
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran koma harus dapat dibedakan dengan keadaan
pseudocoma.
Stroke merupakan sekelompok defisit neurologis fokal atau global yang terjadi secara mendadak
dapat menjadi berat atau menyebabkan kematian dalam waktu 24 jam dan disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak. Stroke dapat dibagi menjadi stroke iskemik yang merupakan
penyebab stroke terbanyak, dan stroke hemoragik. Walaupun begitu, stroke hemoragik lebih
sering bersifat berat dan lebih sering menyebabkan kematian pada fase akut.
Penurunan kesadaran termasuk dalam defisit neurologis global yang dapat terjadi pada stroke.
Penyebab dari penurunan kesadaran dapat terjadi karena pada stroke intracranial dapat timbul
efek massa dan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kompresi jaringan
otak sehingga berbahaya herniasi. Dapat juga terjadi karena adanya edema serebri sebagai
komplikasi dari perdarahan. Stroke hemoragik sering memberikan gambaran fokal yang tidak
jelas jika dibandingkan dengan stroke iskemik karena efek perdarahan dan komplikasinya yang
sulit diprediksi.

50
ANALISA KASUS

Pada kasus ini, seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun dibawa ke UGD RSBY dengan
penurunan kesadaran + 4 jam SMRS dan kejang sejak + 2 jam SMRS. Pada anamnesis,
didapatkan penurunan kesadaran sudah bermula sejak + 4 jam SMRS, pada awalnya pasien
mengalami kelemahan dari tangannya, yaitu saudara pasien mengatakan pasien tidak bisa
mengangkat gelas aqua, dan diikuti dengan pasien tampak mengantuk dan sulit untuk
dibangunkan. Pasien semakin lama semakin sulit untuk dibangunkan. Saat sedang tiduran di
rumah, pasien tiba – tiba kejang. Kejang hanya terjadi pada tubuh sebelah kanan dengan gerakan
kelojotan dan mata mendelik ke atas. Pasien sempat mengompol saat kejang. Pasien kejang
sebanyak 5 kali berturut dengan pola yang sama, terus menerus dan tidak ada perbaikan
kesadaran di antara kejadian kejang. Saat pasien sedang kejang, pasien muntah sebanyak dua kali,
sebanyak ¼ gelas aqua dan bersifat menyembur. Pasien tidak pernah mengeluh sakit kepala atau
panas sebelum kejadian ini.

Pasien mempunyai riwayat menderita stroke pada tahun 2008. Saat kejadian tersebut, pasien
mengalami hemiparese tubuh bagian kanan dan bicara menjadi pelo. Setelah pengobatan, pasien
sekarang sudah bisa berjalan sendiri dan beraktivitas seperti biasa dengan komplikasi yang

tinggal adalah bicara sedikit pelo dan daya ingat yang melemah.
Pada anamnesis yang telah dilakukan ,didapatkan onset defisit neurologis yang bersifat global,
yaitu penurunan kesadaran dan defisit neurologis yang bersifat lokal yaitu kejang yang terjadi
secara mendadak. Pasien muntah sebanyak 2 kali, bersifat menyemprot. Tidak ada keluhan panas
atau sakit kepala sebelum terjadnya onset. Sebelum kejadian, pasien juga sedang beraktivitas
tenang yaitu sedang mengaji di masjid. Pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan
diabetes mellitus. Pasien juga mempunyai riwayat stroke pada tahun 2008.

Pemeriksaan tanda vital menunjukkan kesadaran Somnolen dengan GCS E2M4V2 , tekanan darah
240/150 mmHg, nadi 88 kali/menit, pernapasan 32 kali/menit dan suhu 38,8 oC. Pada
pemeriksaan neurologis, didapatkan tanda rangsang meningeal (-). Pupil anisokor dengan

diameter 5mm/ 4mm, refleks cahaya langsung positif dan refleks cahaya tidak lansung positif.
Kesan parese N.III kiri total dan N.VI kiri serta parese N.III kanan parsial. Terdapat kesan
hemiparese dupleks kiri. Rangsang nyeri (+). Refleks ekstremitas kanan atas dan bawah
hiperrefleks dengan refleks patologis Babinski (+) pada sisi kiri dan kanan.

Berdasarkan Siriraj Stroke Scale seperti berikut ;

Stroke = (2 x penurunan kesadaran) + (2 x sakit kepala) + (2 x muntah) + (0.1 x diastole) – (3 x


ateroma) – 12

= (2 x 2) + (2 x 1) + (2 x 2) + (0.1 x 150) – (3 x 1) – 12

= 10

51
Karena > +1 adalah stroke hemoragik, dan hasil yang didapatkan adalah 10, maka diketahui
bahwa stroke yang dialami adalah stroke hemoragik.

Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran perdarahan di ICH di fossa media dan posterior
dan ganglia basalis dekstra (205 cc) dengan gambaran hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT scan
menyokong diagnosis stroke hemoragik.

Faktor resiko yang didapatkan pada pasien ini adalah;


Faktor resiko yang dapat dimodifikasi;

 Hipertensi
 Diabetes Mellitus
 Pola makan yang tidak berkhasiat

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi;

 Jantina laki – laki


 Usia lanjut

Pasien juga mempunyai riwayat pernah stroke pada tahun 2008 sehingga kemungkinan
terjadinya stroke ulang lebih tinggi.

Selain itu, WHO memberikan definisi stroke sebagai satu kumpulan defisit neurologis fokal atau
global yang terjadi secara mendadak, dapat bertambah berat atau menyebabkan kematian dalam
24 jam yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah otak. Pada pasien ini, didapatkan onset
defisit global (penurunan kesadaran) dan fokal (kejang, hemiparese kiri) secara mendadak dan
gejala terus berkembang dalam waktu 24 jam.

Perdarahan diduga terjadi pada daerah korteks lobus dekstra. Ini adalah pada anamnesis
didapatkan penurunan kesadaran dan kejang. Pada pemeriksaan fisik terdapat kejang dan
hemiparese dupleks sinistra. Menurut Lange‟s Clinical Neurology, perdarahan pada daerah lobus
sering memberikan gejala kejang dan hemiparese kontralateral, walaupun jarang terjadi
penurunan kesadaran. Ini adalah karena daerah korteks mengandung banyak sel neuron yang
merupakan pencetus dari muatan listrik atau impuls. Jika terjadi sesuatu pada daerah tersebut
akan menyebabkan gangguan pada fungsi sel neuron sehingga terjadinya bangkitan muatan
listrik yang berlebihan dan dapat berakibat kejang. Hemiparese sinistra terjadi karena gangguan
fungsi korteks lobus frontalis dekstra dan menyebabkan gangguan fungsi motorik kontralateral.
Dikatakan kerusakan pada korteks lobus frontalis karena pada pusat motorik terdapat pada gyrus
presentralis lobus frontalis.

Penurunan kesadaran pada pasien ini terjadi karena terdapatnya tekanan intracranial yang
meningkat. Dari anamnesis, didapatkan tanda tekanan intracranial yang meningkat yaitu muntah
yang bersifat menyemprot saat pasien sedang kejang. Tanda – tanda klinis dari peningkatan

52
tekanan intracranial adalah, sakit kepala yang meningkat terutama pada waktu pagi, muntah yang
menyemprot dan papiledema. Pada pasien ini ditemukan tanda muntah yang bersifat
menyemprot. Dari CT scan, didapatkan gambaran tekanan intracranial yang meningkat dari ICH
dan gambaran hidrosefalus. Akibat terjadinya stroke hemoragik ICH, tekanan intracranial yang
tinggi akibat rembesan darah ke dalam parenkim otak dapat menimbulkan efek massa. Selain itu,
edema serebri yang terjadi bersamaan turut meningkatkan tekanan intraserebal. Pada keadaan ini,

terjadi penekanan pada jaringan otak yang disekitarnya. Pada lesi supratentorial ini terjadi
penekanan ke bawah ke mesensefalon, pons sampai medulla. Oleh karena jaras formasi retikuler
yang mengawal kesadaran berada pada tingkat ini, kompresi pada struktur yang disebabkan tadi
dapat menimbulkan penurunan kesadaran.

Peningkatan tekanan intracranial juga meningkatkan resiko terjadinya herniasi. Pada pasien ini
terdapat resiko terjadinya herniasi. Herniasi yang dapat terjadi adalah herniasi transtentorial atau
juga dikenali sebagai herniasi uncus. Pada herniasi tipe ini, tekanan yang tinggi dari massa
supratentorial menyebabkan kompresi secara rostral-caudal dari mesensefalon dan batang otak.
Akibat dari penekanan akan terjadi penuruan kesadaran menjadi somnolen dan berlanjut
sehingga terjadi koma jika tidak diatasi dengan segera. Pada pasien ini tampak penurunan
kesadaran yang terjadi secara bertahap yaitu somnolen saat onset gejala dan sudah mencapai
tahap koma ketika di dalam perawatan. Apabila terjadi herniasi dari lobus temporal melewati
tentorium serebellar, terjadi penekanan langsung pada batang otak bagian rostral sehingga
timbulnya kesan parese N. III ipsilateral dan kompresi dari otak tengah.

Edema pada intracranial dapat dibagikan kepada tiga tipe yaitu edema sitotoksik, edema
vasogenik dan edema interstitial. Pada kasus ini terjadi edema tipe vasogenik akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh darah karena terjadinya pecahnya pembuluhdarah intracranial.

Kesan parese N.III kiri parsial, N. VI kiri serta N.III kanan total adalah karena kesan kompresi
dari peningkatan tekanan intracranial pada mesensefalon. N.VI sering terjadi gangguan pada
kelainan intracranial karena perjalanan jarasnya yang panjang sehingga lebih rentan mengalami
kelainan.

Pada tindakan tatalaksana, pada pasien seperti ini, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah
menjaga saluran napas, membantu pernapasan dan memperbaiki sirkulasi. Ini adalah penting
untuk menstabilkan pasien. Apabila pasien sudah stabil maka terapi dapat dilanjutkan dengan
mentarget penyebab spesifik atau mengobati keluhan tambahan.

Pada pasien ini, diberikan mannitol sebagai agen hiperosmotik untuk menurunkan tekanan
intracranial. Mannitol bekerja dengan menarik cairan dari jaringan otak yang sehat akibat
perbedaan tekanan osmotik. Pemberian mannitol haruslah secara cepat agar efektif, dan dosis
harus diturunkan sesuai penurunan tekanan intracranial. Penggunaan mannitol harus berhati-hati
agar tidak terjadinya rebound phenomenon. Pada pemberian mannitol, fungsi ginjal harus
diperhatikan. Ini adalah karena ekskresi cairan yang diserap pada pemberian mannitol diekskresi

53
lewat ginjal. Pada fungsi ginjal yang kurang baik malah akan menambahkan komplikasi jika
pemberian mannitol dipaksa. Furosemide diberikan secara bersamaan dapat membantu dalam
menurunkan tekanan dengan meningkatkan ekskresi cairan. Furosemide juga dapat menurunkan
tekanan darah pada pasien ini.

Nicardipine dengan dosis 0,5 mg diberikan karena terjadinya peningkatan tekanan darah yang
sangat tinggi pada pasien ini. Pemberian antihipertensi pada kasus stroke hemoragik agak
kontroversial. Pemberian antihipertensi dianjurkan untuk memastikan MAP tidak melebihi 110
mmHg.

Untuk kejangnya, pasien diberikan fenitoin yang merupakan golongan . Obat antikejang ini
diberikan dalam drip NaCl selama 8 jam untuk memastikan kadar darah yang stabil untuk
mengelakkan kejang dari berulang.

Pemberian metamizole di dalam Ringer Laktat dilakukan untuk menurunkan panas pasien selain
memberikan kenyamanan dari nyeri yang dialaminya. Pemberian citicholine dan vitamin B1, B6
dan B12 adalah sebagai neuroprotektor untuk mengelakkan terjadinya perluasan lesi. Pemberian
citicholine diindikasikan kepada kehilangan kesadaran akibat kerusakan otak oleh karena infark
atau perdarahan.

Pemberian antibiotic dilakukan mengingat adanya leukocytosis pada hasil pemeriksaan


laboratorium dan terdapatnya kemungkinan bahwa terdapat infeksi yang terjadi bersamaan yang
juga menyebabkan timbulnya panas.

54
Daftar Pustaka

1. Ropper AH, Brown RH. Chapter 77 Coma and related disorders of consciousness. Pada
Adams & victor's principles of neurology. Ed.8. USA: McGraw-Hill companies: 2005.
2. Simon RP, Greenberg DA, Aminoff MJ. Chapter 10 Coma pada clinical neurology. Ed.7.
USA: McGraw-Hill companies; 2009
3. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010. Ms. 139 – 42
4. Sharma A. Raised intracranial pressure and its management. JK Science Vol.1 No.1.
January – March 2000.
5. Jha SK. Cerebral edema and its management. MJAFI 2003; 59 : 326– 331
6. Marmarou A. The pathophysiology of brain edema and elevated intracranial pressure.
Cleveland clinic journal of medicine. 2004; 71 : 6 – 7
7. Rabinstein AA. Treatment of cerebral edema. The neurologist 2006; 12: 59 – 73.
8. Petermann G. Brain herniation. Diunduh dari
http://rad.usuhs.mil/rad/herniation/herniation.html pada 20 April 2012
9. Rasyid Al, Soertidewi L. Unit Stroke Manajemen Stroke secara Komprehensif. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2011.
10. Ropper AH, Brown RH. Chapter 34 Cerebrovaskular disease. Pada Adams & victor's
principles of neurology. Ed.8. USA: McGraw-Hill companies: 2005.
11. Simon RP, Greenberg DA, Aminoff MJ. Chapter 9 Stroke pada clinical neurology. Ed.7.
USA: McGraw-Hill companies; 2009
12. Misbach J, Lamsudin R, Aliah A, Basyiruddin A, Suroto, Rasyid Al, et al. Guideline
Stroke tahun 2011. Pokdi Stroke PERDOSSI, Jakarta. 2011.

55

Anda mungkin juga menyukai