Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Transaksi hutang-
piutang.”Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh
Muamalah, dengan dosen pembimbing Ainul Ikhsan
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Padang, Mei 2019

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi
kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu
penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang
menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi
ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan
manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang
piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan
kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang,
konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang
diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka,
menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri.
Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh
umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang
telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk
memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh
(hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber
terkait definisi, landasan hukum, hukum qardh,dan lain sebagainya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. QARDH
1. Pengertian Qardh (Utang Piutang)

Secara etimologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-


syai’-yaqridhu, Yang berarti dia memutuskannya. Qardh adalah bentuk masdar
yang berarti memutuskan. Dikatakan, qaradhu asysyai’a bil-miqradh, atau
memutus sesuatu dengan gunting. Al-qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh
pemilik untuk dibayar.

Dalam terminologi fikih muamalah utang piutang disebut dengan “dayn” (


‫) دين‬. Istilah dayn ( ‫ ) دين‬ini juga sangat terkait dengan istilah qard ( ‫ ) قرض‬yang
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman.Adapun qardh adalah
memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan gantinya di kemudian hari. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan
syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Defmisi yang di kemukakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bersifat
aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga Keuangan
Syariah.1

2. Dasar Hukum Qardh


Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadis dan ijma’.
a. Dalil Al-Qur’an adalah firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 245:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang


baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak.”
b. Dalam Q.S Al-Maidah ayat 2:

1 Wahbah al-Zuhaili, al-fiqih al-islami wa adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2004), V/3786
2. “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya”.

c. Dalil Hadis
Ibnu majah meriwayatkan Hadis yang bersumber dari Ibnu mas’ud
r.a. dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim
memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali
melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali.”
(HR. Ibnu Majah)

Dalil ijma' adalah berdasarkan nash-nash diatas para ulama telah ijma’ tentang
kebolehan hutang piutang. Hukum Qard sunat bagi orang yang memberikan utang
dan mubah bagi orang yang minta diberi utang. Seseorang boleh berhutang ika
dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya seperti
menghindarkan kelaparan.2

3. Rukun dan Syarat Transaksi Qardh


Wahbah al-zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar ada empat syarat
yang harus dipenuhi dalam akad qard, yaitu:

a. Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab dan qabul atau bentuk lain yang
dapat menggantikannya seprti muatoh(akad dengan tindakan atau saling memberi
dan saling mengerti).

b. Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap


hukum(berakal,baligh,dan tanpa paksaan). Bersdarkan syarat ini maka qardh
sebagai akad tabaru’(berderma atau sosial, maka akad qard yang dilakukan anak
kecil, oang gila, orang bodoh, atau orang yang dipaksa maka hukumnya tidak sah.

2 Dr.Rozalinda, fikih ekonomi syariah, (Jakarta, Rajawali pers:2017) hlm 231


c. Menurut kalangan hanafiyyah harta yang dipinjamkan haruslah harta yang
ada padanannya dipasaran, sementara menurut jumhur ulama harta yang
dipinjamkan dialam qard dapat berupa harta apa saja yang dapat dijadikan
tanggungan.

d. Ukuran, jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas
agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan diantara
pihak yang melakukan akad qard.

Az-zuhaili menjelaskan dua syarat lain dalam akad qard. Pertama, qard
tidak bolrh mendatangkan keuntungan atau manfaat bagi pihak yang
meminjamkan. Kedua, akad qard tidak dibarengi dengan transaksi lain seperti jual
dan lainnya.

Pasal 612 kompilasi hukum ekonomi syariah( KHES) menyebutkan pihak


peminjam harus mengembalikan pinjamnya sebagaimana waktu yang telah
ditentukan dan disepakati oleh para pihak. Namun, dalam qard pihak peminjam
tidak mengulur-ulur waktu pengembalian pinjaman ketika dia sdah mampu untuk
mengembalikan.3

4.Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI

Untuk memurnikan produk dana talangan haji dari asumsi riba searusnya
bank syariah memenuhi ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor:29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga
Keuangan Syariah yang menegaskan bahwa besarnya imbalan jasa al-ijarah tidak
boleh di dasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS pada
nasabah.4

5.Hikmah dan Manfaat Disyariatkan Qardh

Hikmah disyariatkannya qardh yaitu sebagai berikut:

3 Imam Mustofa, SH.i, MS.i, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta, rajawali pers: 2016) hlm 172-
173

4 Dr.Rozalinda, fikih ekonomi syariah, (Jakarta, Rajawali pers:2017) hlm 240


a. Melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
b. Menguatkan ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara
mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan
mengalami kesulitan dan meringankan beban orang yang tengah
dilanda kesulitan.

6.Aplikasi Qardh dalam Perbankan

Akad qardh biasanya diterapkan sebagai berikut:

a. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti


loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera
untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan
mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan
ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam
bentuk deposito. Atau pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank
kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat
nasabah mengalami over draft. Fasilitas ini merupakan bagian dari
satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.
c. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau
membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah
dikenal suatu produk khusus yaitu al-qardh al-hasan.

B. RIBA
1. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a. az-ziyadah yang artinya Bertambah, karena salah satu perbuatan
riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b. An-naamu artinya Berkembang, berbunga, karena salah satu
perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain.
c. Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman
Allah: Ihtazzat warabat “Bumi jadi subur dan gembur” (Al~Haj: 5)

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali


ialah: “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak
diketahui perimbangannya menurut ukuran syara', ketika berakad atau
dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu
keduanya”.

Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad


yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak
menurut aturan syara' atau terlambat salah satunya.

Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba


ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang
memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan.

2. Macam-Macam Riba
Riba menurut jumhur fuqaha’ ada dua yaitu riba fadhal dan riba
nasi’ah. Menurut syafi’iyah riba itu ada 3 macam yakni riba fadhal, riba
yad, dan riba nasiah. Uraian macam-macam riba sebagai berikut:
a. Riba Nasiah
Yaitu tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh orang yang
mengutangkan dari orang yang berhutang, sebagai imbangan penundaan
pembayaran hutang. Misalkan si Ani meminjam uang pada Bagus
sebanyak Rp. 1.000.000,00 selama satu tahun. Ani akan diberi hutang
dengan pembayaran secara cicilan plus dengan memberikan tambahan
sebanyak Rp. 100.000,00. Tambahan inilah yang dikatakan riba.
Riba Nasiah merupakan praktik riba yang nyata. Ini dilarang
dalam islam karena dianggap sebagai penimbunan kekayaan secara
tidak wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan kebaikan.
Kelebihan pembayaran karena penundaan waktu akan menambah
jumlah utang orang yang beruntang. Akhirnya, jumlah utangnya akan
membengkak, bahkan akan mengakibatkan kebangkrutan karena
mekanisme bunga berbunga. Semua ini telah diperingatkan Allah Swt.
Dalam QS Ali Imbran [3: 130]
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang
berlipat ganda dan takut lah kamu kepada Allah mudah-mudahan
kamu beruntung.”
b. Riba Fadhal
Yaitu tambahan harta pada akad jual beli yang menggunakan
ukuran resmi seperti takaran atau timbangan pada benda jenis. Dengan
kata lain, riba Fadhal merupakan tukar menukar barang yang sejenis
yang tidak sama kualitasnya. Misalkan pinjam meminjam 1 liter beras
dolog (kualitas rendah) harus diganti dengan 1 luiter beras solok
(kualitas baik). Atau pinjam meminjam 1 gram emas 22 karat harus
diganti dengan 1 gram emas 24 karat.
Riba Fadhal dilarang berdasarkan hadist Nabi:“Diriwayatkan
dari Abu Said al-Khudri ia berkata, Rasullullah Saw, berkata (tukar
menukar) emas dengan emas, perek dengan perak, gandum dengan
gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan syar’ir, kurma dengan kurma,
garam dengan garam harus sama dan tunai. Siapa yang menambah
atau meminta tambahan maka sesungguhnya dia memungut riba, orang
yang mengambil dan memberikannya sama dosanya.
Pada dasarnya, tukar menukar benda sejenis dibolehkan dalam
islam, dengan syarat harus sama ataupun sebanding antara kualitas
dengan kuantitasnya. Namun, bila disyaratkan ada nilai yang lebih
dalam proses jual beli atau pinjam meminjam benda jenis ini maka hal
itu termasuk riba fadhal.
Berdasarkan hadist diatas para fuqaha sepakat atas haramnya
riba fadhal pada 6 kelompok harta ribawi, yakni emas, parak, gandum,
jagung, kurma, garam. Illat diharamkannya tukar menukar yang tidak
imbang kuantitas dengan kualitas pada keenam jenis benda tersebut
adalah benda yang ditakar (makilat), benda yang ditimbang (mauzunat).
c. Riba Yad
Jual beli dengan cara mengakhirkan penyerahan kedua barang
yang ditukarkan (jual beli barter) atau salah satunya tanpa menyebutkan
tidak saling menyerahterimakan. Artinya kesempurnaan jual beli
terhadap benda yang berbeda jenis seperti tukar menukar gandum
dengan jagung tanpa dilakukan serah terima barang ditempat akad.5

3. Hal-hal yang Menimbulkan Riba

5 Dr.Rozalinda, fikih ekonomi syariah, (Jakarta, Rajawali pers:2017) hlm 240-245


Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba
menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam
mata uang, yaitu mas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan
seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya, maka
disyaratkan;
a. sama nilainya (tamasul),
b. sama ukurannya menurut syara', baik timbangannya, takarannya
maupun ukurannya,
c. sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.

Berikut ini yang termasuk riba pertukaran.

a. Seseorang menukar langsung uang kertas Rp10.000,00 dengan


uang recehan Rp 9.950,00 uang Rp50,00 tidak ada imbangannya atau
tidak tamasul, maka uang Rp50,00 adalah riba.
b. Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000,00 dengan
syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10
persen dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangannya.
c. Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras
dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar
dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan
keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya
digunakan untuk membeli beras dolog.
d. Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata,
uangnya diserahkan tanggal 5 Desember 1996, sedangkan batu batanya
diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan
tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satunya dan
berpisah sebelum serah terima barang.
e. Seseorang yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram
mas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya, tetapi berbeda
nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 10 gram
mas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun
harganya sama ukurannya tidak sama.

4. Dampak Riba pada Ekonomi.


Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta
pada perusahaan-perusahaan. Itu berarti akan memusatkan harta pada
penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian
kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil
produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh
yang berupa upah atau yang larnnya, juga kecil. Maka, daya beli
kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus-
siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi. Siklus-siklus ekonomi yang
berulang terjadi disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat
bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai
peminjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.
Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli
sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang
semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak
laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari . kerugian
yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.
Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House
of Lord) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika
Serikat.3 Hal ini menunjukkan bahwa negara besar pun seperti Inggris
terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut
fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan,
baik hubungan antara orang perorang maupun hubungan antarnegara,
seperti Inggris dan Amerika Serikat.

5.Hikmah Dilarangnya Riba

Sudut pandang kaidah fikih prinsip yang berlaku umum adalah


membangun hukum syariat atas dasar illat (sebab, alasan), bukan atas dasar
hikmah. Hal itu karena illat adalah suatu karakteristik yang senyawa dan baku,
serta merupakan indikasi kuat bagi suatu hukum. Lain halnya dengan hikmah,
yang biasanya bersifat relatif. Hikmah yang tampak jelas dibalik pengharaman
riba adalah mewujudkan persamaan yang adil diantara pemilik harta (modal) dan
usaha, serta memikul resiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung
jawab. Inilah pengertian “keadilan Islam”.6
Islam memperketat urusan riba dan memperkeras keharamannya,
sesungguhnya maksud tersebut untuk memelihara kemaslahatan manusia baik
akhlak, hubungan sosial, maupun ekonominya.
Para ulama Islam menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai hikmah
diharamkannya riba, karena syariat Islam memandang riba sebagai suatu tindakan
kriminal agama dan sosial terburuk. Riba merupakan pangkal kejahatan dan dosa,
maka tidaklah mengherankan jika Allah mengumumkan perang bagi siapa saja
yang berinteraksi dengan riba.7 hal ini dikarenakan adanya bahanya yang nyata
dan berbagai keburukan yang menyertainya, diantaranya yaitu:
a. Bahaya riba bisa menjadikan orang egois, karena ia hanya mengutamakan
kemaslahatan dirinya sendiri, sehingga ia tidak memiliki semangat pengorbanan,
saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Hal ini bisa mengakibatkan
ikatan persaudaraan bercerai-berai, dan seakan-akan ia menjadi orang yang kejam
dan bengis di mata masyarakat. Ia hanya mementingkan harta dan mengisap darah
manusia dengan keserakahan dan ketamkannya.
b. Orang yang bergantung kepada riba akan menghalangi dari melakukan
usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat menambah hartanya dengan
melakukan transaksi riba, baik tambahan itu diperoleh secara kontan atau
berjangka, maka ia akan meremehkan persoalan mencari penghidupan, sehingga
nyaris ia tidak mau menanggung resiko berdagang dan usaha-usaha lainnya. Hal
ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi masyarakat. Kemaslahatan
dunia tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan,
ketrampilan, perusahaan dan pembangunan.
c. Orang yang pada umumnya memberikan pinjaman adalah oraang kaya,
sedang yang meminjam adalah orang miskin. Jika dalam pinjaman tersebut
terdapat unsur riba dan orang yang meminjam merasa didzolomi, ini dapat
melahirkan permusuhan dan kebencian diantara sesama umat manusia. Riba juga

6 Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, Terj. Setiawan Budi Utomo Jakarta: Akbar, 2002 hlm.
52.

7 Muhammad Abdul Athi Buhairi, Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu, Cet. I, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005, hlm. 133
dapat menghapuskan rasa kasih sayang, meruntuhkan ikatan kemanusiaan dan
menumbuhkan rasa benci, iri dalam hati.
Riba menumbuhkan pertikaian yang sengit antar golongan masyarakat,
para ulama telah menetapkan bahwa riba merupakan faktor terbesar yang dapat
mewujudkan kemewahan dan kesejahteraan disatu pihak, dan dapat menjadi
penyebab munculnya bencana dipihak lainnya. Dibandingkan mendapat kekayaan
melalui riba, menurut tradisi yang ada riba tanpaknya indah tetapi hasil akhirnya
adalah kelangkaan dan perikaian.

C.Jaminan Hutang (Rahn)

1.Pengertian Gadai (Rahn)


Ar-rahn, dalam bahasa arab memiliki arti al-tsubut wa al-dawam artinya
tetap dan berkekalan. Rahn dapat juga dinamai dengan al-habsu berarti
penahanan.
Dalam fiqh muamalah konsep gadai tersebut dikenal dengan rahn yaitu
akad menahan barang yang bersifat materi dan bernilai ekonomi milik rahin
sebagai jaminan pinjaman, agar murtahin memperoleh jaminan untuk
mendapatkan kembali uang yang telah dipinjamkan kepada si piutang melalui
barang jaminan tersebut senilai uang yang telah dipinjamkan jika suatu ketika
rahin tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.
Yang dimaksud dengan rahn ialah menjadikan suatu benda bernilai sebagai
tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh
atau sebagian hutang dapat diterima.

2. Dasar Hukum Gadai (Rahn)


Dalam menetapkan dasar hukum gadai harus berdasarkan dari Ayat-ayat
Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW dan hasil Ijtihad Ulama’ berupa
Ijma
1. al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 283:

Artinya:“jika kamu dalam perjalanan (bermu'amalah tidak secara tunai)


sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian, dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ayat tersebut secara tidak langsung menyebutkan barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dalam dunia financial, barang
tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (collateral) atau jaminan hutang.39

2. Hadits Nabi Muhammad SAW (al-sunnah).

Artinya: “Dari Aisyah r.a. dia berkata: Bahwa sesungguhnya Rasululullah


membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju
besi” (HR. Bukhari dan Muslim)40

3. Ijma’
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu
dalam pengembangannya selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan
ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para
ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan
landasan hukumnya.42
Mereka juga mengatakan bahwa akad rahn bisa dilakukan dalam
perjalanan dan dalam keadaan hadir ditempat, asalkan barang jaminan itu bisa
langsung dipegang secara hukum oleh murtahin, maka paling tidak ada
semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status almarhun
(menjadi agunan hutang).Misalnya apabila barang jaminan itu
berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah (al-qabd) sertifikat tanah
tersebut. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih
mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya,
apakah dapat relevan dalam setiap keadaan dan kondisi disetiap daerah dan
masyarakat dizamannya.

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional


Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang rahn sebagaimana
tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSNMUI/
III/2002, tertanggal 26 Juni 2002

Pertama: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam
bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada
prinsipnya,
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin
rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban
rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman (marhunbih).
e. Penjualan Marhun
 Apabila telah jatuh tempo pembayaran, murtahin harus
memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
 Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangya, maka marhun
dijual/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
 Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

4. Syarat-syarat Gadai (Rahn)


Agar rahn itu sah, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Shighat
Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktu yang
akan datang, karena akad rahn sama dengan akad jual beli. Apabila
akad tersebut digantungkan (mu’allaq) dengan syarat tertentu atau dikaitkan
dengan masa yang yang datang, maka syaratnya batal sedangkan akadnya sah.
Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu
utang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak penggadai dapat
diperpanjang tenggang waktunya, atau mensyaratkan harta agunan itu bisa ia
manfaatkan. Kecuali jika itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan.

2. Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum


Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian
bahwa pihak rahin dan murtahin cakap melakukan perbuatan hukum yang
ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad.Akad
termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan
syara’antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang
kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.

3. Utang (Al-Marhunbihi)
Uang yang dipinjamkan karena adanya jaminan atau hak yang diberikan
ketika transaksi rahn dilakukan, dengan syarat yaitu:
 Menurut hanafiyah marhunbih wajib diserahkan berupa uang
ataupun
benda
 Menurut hanabilah, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin, utang tetap dan bisa dimanfaatkan.
 Marhun.
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai)
atau wakilnya, sebagai jaminan utang. Para ulama sepakat bahwa syarat
yang berlaku pada barang gadai yang ketentuannya:
1. Agunan atau barang jaminan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut
ketentuan syariat Islam, sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat
dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak boleh dijadikan agunan. Misalnya
khamar (minuman yang memabukkan).
2. Agunan itu harus dapat diperjualbelikan
3. Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara (spesifik)
4. Agunan atau barang jaminan itu milik sendiri.
5. Agunan tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik
sebagian maupun seluruhnya), agunan dimaksud, berbeda dengan agunan dalam
praktik perbankan konvensional, yang membolehkan agunan milik orang lain baik
sebagian maupun seluruhnya.
6. Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada dibeberapa tempat, lain halnya
dalam perbankan konvensional, boleh dijadikan agunan barang barang yang
bertebaran diberbagai lokasi.
7. Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun
manfaatnya.

5. Rukun Gadai (Rahn)


Rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu,
atau rukun adalah penyempurnaan sesuatu dimana ia merupakan bagian dari suatu
itu. Oleh karena itu, sempurna atau tidak sempurna gadai telah dipengaruhi oleh
unsur-unsur yang ada dalam perbuatan gadai itu sendiri.
Rukun gadai diantaranya yaitu:
 pemberi gadai (rahin)
 penerima gadai(murtahin),
 barang yang akan digadaikan (marhun)
 utang (marhunbih),
pernyataan gadai (shigat, ijab dan qabul).
1. Al-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang menggadaikan telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang digadaikan.
2. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga, yang dipercaya oleh rahin untuk
mandapatkan modal dengan jaminan barang.
3. Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad)
yaitu barang yang diagunkan atau digadaikan (al-marhun) berarti marhun
merupakan tawtsiq bi ad-dayn,
yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman)
4. Al-Marhunbih (Utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar
besarnya taqsiran marhun. Utang mempunyai pengertian, utang adalah
kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi
piutang. Marhunbih memungkinkan dapat dibayarkan. Jika marhunbih tidak
dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan
tujuan dari disyariatkannya rahn
5. Shighat, Ijab dan Qabul (pernyataan gadai)
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi
gadai.
Diantaranya yang menjadi syarat shigat:
a. Shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu
waktu dimasa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti
halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau
dengan suatu waktu dimasa depan.

E.Pemanfaatan Marhun oleh Murtahin


Pada asalnya barang gadai,biaya pemeliharaan dan manfaatnya adalah
milik orang yng menggadaikan(ar-rahn).Murtahin tidak boleh mengambil manfaat
barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewa
yang dambil air susunya. Murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susu
hewan apabila ia memberikan nafkah(memelihara hewan tersebut). Tentunya
pemanfaatan maarhun sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan
memperhatikan keadilan.

F. Pemelharaan Marhun(Barang Gadai)


Dengan tetapnya hak marhun di tangan murtahin,menurut ulama
Hanafiyah maka murtahin berkewajiban memeihara marhun sebagaimana
memelihara harta sendiri.Marhun adalah amanah ditangan Murtahin.sebagai
pemegang amant maka ia berkewajiban memelihara seperti memelihara harta
wadiah. Untuk menjaga keselamatan barabg gadai tersebut dapat dilakukan
perjanjian pemeliharaan.
Murtahin tidak boleh menyerahkan pmeliharaan pada orang lain,ia tidak boleh
juga menitipkan kepada orang lain. Jika itu terjadi maka ia menanggunggnya(ad-
dhamman). Mengenai biaya pemeliharaan barang gadai,ulama sepakat bahwa
sesungguhnya biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab ar-rahin. Setiap
manfaat yang ditimbulkan menjadi hak pemilik barang.

G.Aplikasi Akad Rahn Pada Lembaga Keuangan Syariah


Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
yang dikenal dngan rahn
Akad ini di bolehkan dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor:25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn sebagai berikut:
a.Murtahin (LKS) mempunyai hak untuk menahan marhun(barang) sampai semua
utang rahin(nasabah) dilunasi.
b.Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin
c. Pemeliharaan dan penyimpanan rahin pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin,namun dapat juga dilakukan oleh murtahin,sedangkan biaya pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman
e. apabila jatuh temp,murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera meunasi
hutangnya.
f.apabila rahin tetap tidak bisa melunasi hutangnya,maka marhun diual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
g.kelebihan hasil penjualan menjadi milk rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.

Kemudian Majelis Ulama Indobesia mengeluarkan Fatwa Dewan Syariah


Nasional Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Rahn emas
dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn yang diatur pada Fatwa DSN
Nomor:25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn. Kemudian biayan penggadaian emas
ditanggung oleh penggadai yang beasrbya didasarkan pada pengluaran yang
nyata.

H.Berakhirnya Akad Rahn


Akad Rahn berakhir apabila:
a.Marhun diserahkan kembali kepada rhin sebagai pemilik barang
b.Rahin melunas hutangnya.
c.Penjualan marhun,apabila marhun dilelang atau dijual paksa
d.Murtahin melakukan penglihan hutang rahin kepada pihak lain(hiwalah).
e.Rahin atau murtahin meninggal dunia atau rahin bangkrut sebelum marhun
diserahkan kepada rahin dan utang dilunasi.8

8 Dr.Rozalinda, fikih ekonomi syariah, (Jakarta, Rajawali pers:2017) hlm 251-268


MAKALAH
Fiqh Muamalah
Tentang
Transaksi Utang Piutang

Oleh :

CHINDY WULANDARI 1713060237


ELVI NADIA 1713060292
LAHI FIRMANGGEL 1713060251
ZULFIKAR ALAM ASMI 1713060303

Dosen Pembimbing :
AINUL IKHSAN, SE.I, ME

JURUSAN EKONOMI SYARIAH (EKSYA F)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1440 H / 2019 M

Anda mungkin juga menyukai