Qardh Dan Riba (CHINDY DAN ELVI)
Qardh Dan Riba (CHINDY DAN ELVI)
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Transaksi hutang-
piutang.”Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh
Muamalah, dengan dosen pembimbing Ainul Ikhsan
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi
kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu
penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang
menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi
ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan
manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang
piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan
kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang,
konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang
diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka,
menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri.
Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh
umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang
telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk
memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh
(hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber
terkait definisi, landasan hukum, hukum qardh,dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. QARDH
1. Pengertian Qardh (Utang Piutang)
1 Wahbah al-Zuhaili, al-fiqih al-islami wa adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2004), V/3786
2. “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya”.
c. Dalil Hadis
Ibnu majah meriwayatkan Hadis yang bersumber dari Ibnu mas’ud
r.a. dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim
memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali
melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali.”
(HR. Ibnu Majah)
Dalil ijma' adalah berdasarkan nash-nash diatas para ulama telah ijma’ tentang
kebolehan hutang piutang. Hukum Qard sunat bagi orang yang memberikan utang
dan mubah bagi orang yang minta diberi utang. Seseorang boleh berhutang ika
dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya seperti
menghindarkan kelaparan.2
a. Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab dan qabul atau bentuk lain yang
dapat menggantikannya seprti muatoh(akad dengan tindakan atau saling memberi
dan saling mengerti).
d. Ukuran, jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas
agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan diantara
pihak yang melakukan akad qard.
Az-zuhaili menjelaskan dua syarat lain dalam akad qard. Pertama, qard
tidak bolrh mendatangkan keuntungan atau manfaat bagi pihak yang
meminjamkan. Kedua, akad qard tidak dibarengi dengan transaksi lain seperti jual
dan lainnya.
Untuk memurnikan produk dana talangan haji dari asumsi riba searusnya
bank syariah memenuhi ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor:29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga
Keuangan Syariah yang menegaskan bahwa besarnya imbalan jasa al-ijarah tidak
boleh di dasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS pada
nasabah.4
3 Imam Mustofa, SH.i, MS.i, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta, rajawali pers: 2016) hlm 172-
173
B. RIBA
1. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a. az-ziyadah yang artinya Bertambah, karena salah satu perbuatan
riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b. An-naamu artinya Berkembang, berbunga, karena salah satu
perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain.
c. Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman
Allah: Ihtazzat warabat “Bumi jadi subur dan gembur” (Al~Haj: 5)
2. Macam-Macam Riba
Riba menurut jumhur fuqaha’ ada dua yaitu riba fadhal dan riba
nasi’ah. Menurut syafi’iyah riba itu ada 3 macam yakni riba fadhal, riba
yad, dan riba nasiah. Uraian macam-macam riba sebagai berikut:
a. Riba Nasiah
Yaitu tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh orang yang
mengutangkan dari orang yang berhutang, sebagai imbangan penundaan
pembayaran hutang. Misalkan si Ani meminjam uang pada Bagus
sebanyak Rp. 1.000.000,00 selama satu tahun. Ani akan diberi hutang
dengan pembayaran secara cicilan plus dengan memberikan tambahan
sebanyak Rp. 100.000,00. Tambahan inilah yang dikatakan riba.
Riba Nasiah merupakan praktik riba yang nyata. Ini dilarang
dalam islam karena dianggap sebagai penimbunan kekayaan secara
tidak wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan kebaikan.
Kelebihan pembayaran karena penundaan waktu akan menambah
jumlah utang orang yang beruntang. Akhirnya, jumlah utangnya akan
membengkak, bahkan akan mengakibatkan kebangkrutan karena
mekanisme bunga berbunga. Semua ini telah diperingatkan Allah Swt.
Dalam QS Ali Imbran [3: 130]
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang
berlipat ganda dan takut lah kamu kepada Allah mudah-mudahan
kamu beruntung.”
b. Riba Fadhal
Yaitu tambahan harta pada akad jual beli yang menggunakan
ukuran resmi seperti takaran atau timbangan pada benda jenis. Dengan
kata lain, riba Fadhal merupakan tukar menukar barang yang sejenis
yang tidak sama kualitasnya. Misalkan pinjam meminjam 1 liter beras
dolog (kualitas rendah) harus diganti dengan 1 luiter beras solok
(kualitas baik). Atau pinjam meminjam 1 gram emas 22 karat harus
diganti dengan 1 gram emas 24 karat.
Riba Fadhal dilarang berdasarkan hadist Nabi:“Diriwayatkan
dari Abu Said al-Khudri ia berkata, Rasullullah Saw, berkata (tukar
menukar) emas dengan emas, perek dengan perak, gandum dengan
gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan syar’ir, kurma dengan kurma,
garam dengan garam harus sama dan tunai. Siapa yang menambah
atau meminta tambahan maka sesungguhnya dia memungut riba, orang
yang mengambil dan memberikannya sama dosanya.
Pada dasarnya, tukar menukar benda sejenis dibolehkan dalam
islam, dengan syarat harus sama ataupun sebanding antara kualitas
dengan kuantitasnya. Namun, bila disyaratkan ada nilai yang lebih
dalam proses jual beli atau pinjam meminjam benda jenis ini maka hal
itu termasuk riba fadhal.
Berdasarkan hadist diatas para fuqaha sepakat atas haramnya
riba fadhal pada 6 kelompok harta ribawi, yakni emas, parak, gandum,
jagung, kurma, garam. Illat diharamkannya tukar menukar yang tidak
imbang kuantitas dengan kualitas pada keenam jenis benda tersebut
adalah benda yang ditakar (makilat), benda yang ditimbang (mauzunat).
c. Riba Yad
Jual beli dengan cara mengakhirkan penyerahan kedua barang
yang ditukarkan (jual beli barter) atau salah satunya tanpa menyebutkan
tidak saling menyerahterimakan. Artinya kesempurnaan jual beli
terhadap benda yang berbeda jenis seperti tukar menukar gandum
dengan jagung tanpa dilakukan serah terima barang ditempat akad.5
6 Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, Terj. Setiawan Budi Utomo Jakarta: Akbar, 2002 hlm.
52.
7 Muhammad Abdul Athi Buhairi, Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu, Cet. I, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005, hlm. 133
dapat menghapuskan rasa kasih sayang, meruntuhkan ikatan kemanusiaan dan
menumbuhkan rasa benci, iri dalam hati.
Riba menumbuhkan pertikaian yang sengit antar golongan masyarakat,
para ulama telah menetapkan bahwa riba merupakan faktor terbesar yang dapat
mewujudkan kemewahan dan kesejahteraan disatu pihak, dan dapat menjadi
penyebab munculnya bencana dipihak lainnya. Dibandingkan mendapat kekayaan
melalui riba, menurut tradisi yang ada riba tanpaknya indah tetapi hasil akhirnya
adalah kelangkaan dan perikaian.
3. Ijma’
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu
dalam pengembangannya selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan
ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para
ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan
landasan hukumnya.42
Mereka juga mengatakan bahwa akad rahn bisa dilakukan dalam
perjalanan dan dalam keadaan hadir ditempat, asalkan barang jaminan itu bisa
langsung dipegang secara hukum oleh murtahin, maka paling tidak ada
semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status almarhun
(menjadi agunan hutang).Misalnya apabila barang jaminan itu
berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah (al-qabd) sertifikat tanah
tersebut. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih
mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya,
apakah dapat relevan dalam setiap keadaan dan kondisi disetiap daerah dan
masyarakat dizamannya.
Pertama: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam
bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada
prinsipnya,
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin
rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban
rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman (marhunbih).
e. Penjualan Marhun
Apabila telah jatuh tempo pembayaran, murtahin harus
memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangya, maka marhun
dijual/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
3. Utang (Al-Marhunbihi)
Uang yang dipinjamkan karena adanya jaminan atau hak yang diberikan
ketika transaksi rahn dilakukan, dengan syarat yaitu:
Menurut hanafiyah marhunbih wajib diserahkan berupa uang
ataupun
benda
Menurut hanabilah, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin, utang tetap dan bisa dimanfaatkan.
Marhun.
Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai)
atau wakilnya, sebagai jaminan utang. Para ulama sepakat bahwa syarat
yang berlaku pada barang gadai yang ketentuannya:
1. Agunan atau barang jaminan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut
ketentuan syariat Islam, sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat
dimanfaatkan menurut syariat Islam maka tidak boleh dijadikan agunan. Misalnya
khamar (minuman yang memabukkan).
2. Agunan itu harus dapat diperjualbelikan
3. Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara (spesifik)
4. Agunan atau barang jaminan itu milik sendiri.
5. Agunan tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, baik
sebagian maupun seluruhnya), agunan dimaksud, berbeda dengan agunan dalam
praktik perbankan konvensional, yang membolehkan agunan milik orang lain baik
sebagian maupun seluruhnya.
6. Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada dibeberapa tempat, lain halnya
dalam perbankan konvensional, boleh dijadikan agunan barang barang yang
bertebaran diberbagai lokasi.
7. Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun
manfaatnya.
Oleh :
Dosen Pembimbing :
AINUL IKHSAN, SE.I, ME