BAB 4
bahan baku, tenaga kerja langsung dan overhead. Ditinjau dari hubungannya dengan
perubahan volume produksi, bahan baku dan tenaga kerja langsung adalah variabel.
Sedangkan overhead, sebagian variabel dan sebagian lainnya tetap. Meskipun para
akuntan sependapat bahwa tiga elemen (bahan, upah dan overhead) tersebut
membentuk harga pokok produksi sebuah produk, tetapi terdapat dua metoda yang
harga pokok produksi penuh (full costing atau absosrption costing) dan penentuan
harga pokok produksi variabel (variable costing). Bab ini menjelaskan metoda
penentuan harga pokok produksi variabel dan membedakannya dari penentuan harga
Menurut variable costing, elemen harga pokok produksi terdiri atas bahan
Menurut absorption costing atau full costing, harga pokok produk meliputi
seluruh komponen biaya yang dikeluarkan untuk membuat produk. Oleh karena itu,
harga pokok produk meliputi bahan baku, tenaga kerja langsung, overhead variable
Perbedaan pertama adalah dalam penentuan harga pokok per unit dan harga
pokok total. Untuk menjelaskan perbedaan harga pokok produk per unit dan total,
dimisalkan Perusahaan ABC pada tahun 1993 memproduksi 10.000 kaleng susu
Jika perusahaan ABC menggunakan harga pokok sesungguhnya, maka harga pokok
per unit dan total dari dua metoda tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.
41
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa harga pokok produk per unit menurut variable
costing adalah Rp45,00 dan menurut absorption costing adalah Rp70,00. Selisih
Rp25,00 terjadi karena variable costing tidak memasukkan overhead tetap, sedangkan
absorption costing memasukkannya sebagai komponen harga pokok produk. Karena
harga pokok per unitnya berbeda, maka harga pokok totalnya juga berbeda.
Perbedaannya adalah Rp250.000,00yakni overhead tetap total tahun 1993. Jumlah
tersebut diakui oleh variable costing sebagai biaya perioda (period cost).
Jika pada tahun 1993 jumlah produksi yang sesungguhnya dihasilkan adalah
10.000 kaleng, maka overhead yang dibebankan ke produk adalah Rp350.000,00
yakni tarif dikalikan unit produk yang dihasilkan (Rp35,00 x 10.000).
Apabila perusahaan menggunakan tarif overhead yang ditentukan di muka,
mungkin timbul biaya overhead lebih (kurang) dibebankan. Yang dimaksud overhead
lebih dibebankan adalah overhead yang dibebankan ke produk lebih besar dari pada
overhead yang sesungguhnya terjadi, overhead kurang dibebankan adalah overhead
yang dibebankan ke produk lebih kecil dari pada overhead yang sesungguhnya terjadi.
Pembebanan lebih terjadi apabila kapasitas sesungguhnya lebih besar daripada
kapasitas normal. Sebaliknya, pembebanan kurang terjadi apabila kapasitas
sesungguhnya lebih kecil daripada kapasitas normal.
Dengan contoh Perusahaan ABC di atas, pembebanan lebih (kurang) dapat
dijelaskan dengan menggunakan alat bantu Tabel 4.2.
Dalam contoh ini terjadi selisih overhead kurang dibebankan, sebab kapasitas
sesungguhnya (10.000 kaleng) lebih kecil daripada kapasitas normal (12.500 kaleng).
Rumus untuk menghitung selisih kapasitas adalah sebagai berikut:
SK = (KS - KN) x TT
Keterangan:
SK = Selisih Kapasitas
KS = Kapasitas Sesungguhnya
KN = Kapasitas Normal (yang digunakan untuk menghitung tarif overhead)
TT = Tarif Overhead Tetap per Unit yang ditentukan di muka.
Dengan rumus di atas, selisih overhead kurang dibebankan (selisih kapasitas) dapat
dihitung sebagai berikut:
SK = (1 0.000 - 1 2.500) x Rp20,00
= -500 x Rp20,00
= -Rp50.000,00
(tanda minus menunjukkan selisih tidak menguntungkan)
ada selisih pembebanan overhead. Inilah perbedaan antara variable costing dan
absorption costing jika overheadnya menggunakan tarif yang ditentukan di muka.
Perbedaan yang keempat antara variable costing dan absorption costing adalah
laba bersih pada perioda tertentu jika jumlah unit yang diproduksi berbeda dengan
jumfah unit yang terjual.
Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah contoh dengan
menggunakan data Perusahaan XYZ di atas dengan modifikasi sebagai berikut:
Laba bersih tahunan menurut variable costing dan absorption costing dari
tahun 1993 sampai dengan tahun 1995 dapat dilihat pada laporan-laporan di halaman
berikutnya. Analisis perbedaan labanya dapat diikuti pada penjelasan-penjelasan
berikut.
Perbedaan Laba Bersih 1993. Laba bersih menurut variable costing adalah
Rp40.000,00 lebih kecil daripada laba bersih menurut absorption costing. Selisih ini
disebabkan variable costing mengakui seluruh overhead tetap Rp250.000,00 sebagai
period cost, sedangkan absorption costing tidak mengakui seluruh overhead tetap
tersebut. Bagian yang tidak diakui oleh absorption costing adalah overhead tetap yang
melekat pada persediaan akhir. Overhead tetap yang melekat pada persediaan akhir
49
1993 adalah 2.000 x Rp20,00 = Rp40.000,00. Dengan demikian, overhead tetap yang
ditandingkan dengan pendapatan tahun 1993 menurut absorption costing hanyalah
Rp210.000,00 (Rp250.000,00 - Rp40.000,00). Oleh karena biaya yang diakui pada
tahun 1993 menurut variable costing lebih besar, laba bersih menurut metoda tersebut
adalah lebih kecil. Kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh tersebut adalah jika
dalam tahun tertentu jumlah unit yang diproduksi tidak seluruhnya terjual, maka laba
bersih variable costing lebih kecil dari pada laba bersih absorption costing.
Perbedaan Laba Bersih 1994. Laba bersih tahun 1994 menurut variable
costing Rp1.214.000,00 dan menurut absorption costing Rp1 .194.000,00. Selisih laba
bersih adalah Rp20.000,00. Penyebab selisih ini adalah dua hal.
Pertama, overhead tetap Rp250.000,00 diakui seluruhnya oleh variable costing
sebagai biaya pada tahun 1994, sedangkan Rp20.000,00 dari jumlah tersebut, oleh
absorption costing dianggap masih melekat pada persediaah akhir. Oleh karena itu,
jumlah Rp20.000,00 tersebut ditangguhkan pembebanannya dari tahun 1994.
Kedua, overhead tetap tahun 1993 yang melekat pada persediaan awal 1994
sebesar Rp40.000,00 oleh absorption costing diakui sebagai biaya pada tahun 1994,
karena realisasi penjualan baru terjadi pada tahun 1994. Pengakuan seperti ini tidak
dilakukan oleh variable costing.
Penyebab pertama mengakibatkan biaya tahun 1994 menurut variable costing
lebih besar sehingga laba bersihnya lebih kecil Rp20.000,00. Penyebab kedua
mengakibatkan biaya tahun 1994 lebih kecil sehingga lababersihnya lebih besar
Rp40.000,00. Dengan demikian, secara total laba bersih menurut variable costmg
lebih besar Rp20.000,00. Dari kasus tahun 1994 ini kesimpulan yang dapat ditarik
adalah sebagai berikut. Jika pada suatu tahun persediaan akhir lebih kecil daripada
persediaan awal, maka laba bersih menurut absorption costing lebih kecil.
50
51
52
1. Perusahaan Aman menghasilkan produk X yang dijual dengan harga Rp.14,40 per
unit. Selama tahun 1993 menghasilkan produk sebanyak 80.000 unit dan terjual
sebanyak 72.000 unit. Data berikut ini adalah data biaya produksi , biaya
administrasi dan biaya penjualan tahun1993.
Biaya variabel Biaya tetap
Bahan baku 280.000 -
Tenaga kerja langsung 200.000 -
Overhead pabrik 80.000 180.000
Administrasi dan penjualan 69.120 120.000
Pertanyaan:
a. Berapakah harga pokok produk per unit menurut metoda penentuan harga
pokok variabel?
b. Hitunglah laba bersih tahun 1993 jika menggunakan metoda penentuan harga
pokok variabel?
Pembahasan:
a. Harga pokok produk per unit menurut metoda variable costing :
Biaya total Biaya per unit
Bahan baku 280.000 3,50
Tenaga kerja langsung 200.000 2,50
Overhead pabrik 80.000 1,00
Biaya tetap
Rp.180.000
Overhead pabrik
Rp.120.000
Adm. & penjualan
Rp.300.000
Laba bersih
Rp.163.680
G. SOAL-SOAL LATIHAN
1. Data berikut ini berhubungan dengan hasil operasi perusahan Diva tahun 2000 dan
2001
Tahun 2000 Tahun 2001
Penjualan (dalam Unit) 240.000 240.000
Produksi (dalam Unit) 240.000 400.000
Harga jual per unit 20.000 20.000
BP. Variabel per unit 12.000 12.000
BP. Tetap per tahun 1.200.000 1.200.000
Biaya penj.&adm.vari.per unit 1,25 1,25
Biaya penj.&adm.tetap.per tahun 420.000 420.000
Pertanyaan:
a. Susunlah laporan rugi-laba tahun 2000 dan 2001 dengan menggunakan metode
absorbstion costing
b. Susunlah laporan rugi-laba tahun 2000 dan 2001 dengan menggunakan metode
variable costing
c. Buatlah analisis perbedaan rugi laba karena penggunaan kedua metode
tersebut.
54
2. Pada tahun 2003 PT. Jayakarta mempunyai kapasitas normal 5000 unit. Jumlah
produksi yang dihasilkan tahun 2003 adalah 5000 unit dengan harga jual per unit
Rp.200. Biaya yang terjadi adalah sebagai berikut:
Biaya produksi tetap 250.000
Biaya produksi variabel per unit 100
Biaya non produksi tetap 62.500
Biaya non produksi variabel per unit 20
Pertanyaan:
a. Berapakah besarnya laba bersih tahun 2003 dan 2004 dengan menggunakan
metode absorption costing?
b. Berapakah besarnya laba bersih tahun 2003 dan 2004 dengan menggunakan
metode variable costing?