Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Hati merupakan salah satu organ yang paling besar dalam tubuh manusia.
Berlokasi di abdomen (perut) bagian atas kanan dan di balik rusuk-rusuk bagian bawah.
Hati memetabolisme dan mendetoksifikasi obat-obatan dan unsur-unsur yang
berbahaya bagi tubuh. Ia juga menghasilkan faktor-faktor, protein dan enzim
pembekuan darah, membantu keseimbangan hormon, serta menyimpan vitamin dan
mineral. Empedu, suatu cairan yang dibentuk oleh hati, dialirkan melalui saluran
langsung ke usus halus untuk membantu mencerna lemak atau ke kandung empedu
untuk disimpan dan digunakan untuk keperluan kemudian.

Berbagai penyakit & infeksi dapat menyebabkan kerusakan akut maupun kronis
pada hati, menyebabkan peradangan, luka, sumbatan saluran empedu, kelainan
pembekuan darah, dan disfungsi hati. Alkohol, obat-obatan, dan beberapa suplemen
herbal, serta racun juga bisa memberikan ancaman. Jika besarnya kerusakan cukup
bermakna, maka akan menimbulkan gejala-gejala jaundice, urine gelap, tinja berwarna
keabuan terang, pruritus, mual, kelelahan, diare, dan berat badan yang bisa berkurang
atau bertambah secara tiba-tiba. Deteksi dini penting untuk diagnosis lebih awal guna
minimalisasi kerusakan dan menyelamatkan fungsi hati.

Tes laboratorium sering kali digunakan untuk memastikan diagnosis (bersama-


sama dengan riwayat kesehatan dan pemeriksaan jasmani) serta untuk memantau
penyakit dan pengobatan. Banyak tes laboratorium untuk mengukur kadar enzim. Ini
karena bila jaringan rusak, sel mati dan enzim dilepas ke dalam darah. Kadar enzim ini
diukur, dan tes ini sering kali disebut tes fungsi hati. Sistem organ yang serumit hati
akan sering dinilai dengan menggunakan beberapa tes. Ini karena lebih dari satu sistem
dapat melepaskan enzim yang sama bila jaringan rusak. Oleh karena itu, untuk
menentukan bagaimana hati bekerja, dan apa yang mungkin menyebabkan masalah,
ada beberapa tes yang mungkin dilakukan bersama dan secara kolektif yang disebut
“tes fungsi hati.”

1
Tes fungsi hati yang umum adalah AST (aspartate transaminase), yang di
Indonesia lebih sering disebut sebagai SGOT (serum glutamic-oxaloacetic
transaminase), dan ALT (alanine transaminase) yang biasanya di Indonesia disebut
sebagai SGPT (serum glutamic-pyruvic transaminase). SGOT dan SGPT akan
menunjukkan jika terjadi kerusakan atau radang pada jaringan hati. SGPT lebih spesifik
terhadap kerusakan hati dibanding SGOT. Adalah hal yang biasa bila terjadi sedikit
peningkatan (hingga dua kali angka normal) kadar SGOT dan SGPT. Namun, kadar
SGOT dan SGPT lebih dari dua kali angka normal, umumnya dianggap bermakna dan
membutuhkan pemeriksaan lebih jauh. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
diagnosis penyakit hati berdasarkan hasil pemeriksaan.

II. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini sebagai berikut :
 Apakah yang dimaksudkan dengan Uji fungsi hati (UFH) ?
 Apa indikasi pemeriksaan UFH ?
 Apa saja jenis UFH ?
 Bagaimana memilih jenis UFH dan strateginya ?
 Bagaimana menafsirkan hasil pemeriksaan UFH ?
 Bagaimanakah pola perubahan UFH pada kelainan dan penyakit hati yang sering
dijumpai ?
 Bagaimana diagnosis pemeriksaan hepatitis C ?

III. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :
 Mengetahui segala hal tentang uji fungsi hati
 Mengetahui penarapan dari hasil pemeriksaan uji fungsi hati
 Mengetahui pola perubahan uji fungsi hati pada kelainan dan penyakit hati
 Mengetahui diagnosis pemeriksaan hepatitis C

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. Definisi Hati

Hati (bahasa Yunani: ἡπαρ, hēpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh,
terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan
fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu
fungsi ginjaldengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan
menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkannitrogen dari asam
amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.

Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal.[2] Sel
parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80%volume hati dan
melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal.
Hepatosit merupakan sel endodermal yang terstimulasi oleh jaringan mesenkimal
secara terus-menerus pada saat embrio hingga berkembang menjadi sel
parenkimal.[3] Selama masa tersebut, terjadi
peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai stimulan proliferasi dan diferensiasi sel
endodermal menjadi hepatosit.[4]

Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel
Kupffer, sel Ito, limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati
sekitar 6,5% volume hati dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan
banyak fungsi hepatosit.

Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan
permukaan hepatosit dari darah, SEC memiliki kapasitas endositosis yang sangat besar
dengan berbagai ligan seperti glikoprotein, kompleks imun, transferin dan seruloplasmin.
SEC juga berfungsi sebagai sel presenter antigen yang
menyediakan ekspresi MHCI dan MHCII bagi selT. Sekresi yang terjadi meliputi
berbagai sitokina, eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin-1, nitrogen
monoksida dan beberapa komponen ECM.

3
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan
banyak vesikel lemak di dalam sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga
memberikan lapisan ganda pada lumen lobus sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi
normal, sel Ito menyimpanvitamin A guna mengendalikan kelenturan matriks
ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga merupakan kelenturan dari lumen
sinusoid.

Sel Kupffer berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga dengan


kemampuan endositik dan fagositik yang mencengangkan. Sel Kupffer sehari - hari
berinteraksi dengan material yang berasal saluran pencernaan yang
mengandung larutanbakterial, dan mencegah aktivasi efek toksin senyawa tersebut ke
dalam hati. Paparan larutan bakterial yang tinggi, terutama paparan LPS, membuat sel
Kupffer melakukan sekresi berbagai sitokina yang memicu proses peradangan dan
dapat mengakibatkan cedera pada hati. Sekresi antara lain meliputi spesi oksigen
reaktif, eikosanoid, nitrogen monoksida, karbon monoksida, TNF-α, IL-10, sebagai
respon kekebalan turunan dalam fase infeksi primer.

Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang bermukim
di hati. Sel pit dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa bergantung
pada ekspresi antigen pada kompleks histokompatibilitas utama. Aktivitas sel pit dapat
ditingkatkan dengan stimulasi interferon-γ. Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-γδ,
sel T-αβ dan sel NKT.

II. Fungsi Hati

Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga
saat ini belum ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu
menggantikan semua fungsi hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan
proses dialisis hati, namun teknologi ini masih terus dikembangkan untuk perawatan
penderita gagal hati.

Sebagai kelenjar, hati menghasilkan:

 empedu yang mencapai ½ liter setiap hari. Empedu merupakan cairan kehijauan
dan terasa pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua, yang
kemudian disimpan di dalam kantong empedu atau diekskresi ke duodenum.
Empedu mengandung kolesterol, garam mineral, garam empedu,
4
pigmen bilirubin, dan biliverdin. Sekresiempedu berguna untuk mencerna lemak,
mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah zat
yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut dalam air. Apabila
saluran empedu di hati tersumbat, empedu masuk ke peredaran darah sehingga
kulit penderita menjadi kekuningan. Orang yang demikian dikatakan menderita
penyakit kuning.
 sebagian besar asam amino
 faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI
 protein C, protein S dan anti-trombin
 kalsidiol
 trigliserida melalui lintasan lipogenesis
 kolesterol
 insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang berperan
penting dalam pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan tetap memiliki
efek anabolik pada orang dewasa.
 enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang
terbentuk dapat mengikat NH³ dan CO² yang bersifat racun.
 trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping
darah oleh sumsum tulang belakang.
 Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel
darah merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu
mengambil alih tugas ini.
 albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.
 angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan
darah ketika diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal saat
ditengarai kurangnya tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.
 enzim glutamat - oksaloasetat transferase, glutamat - piruvat
transferase dan laktat dehidrogenase

Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada
umumnya, hati juga berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:

 Glukoneogenesis, sintesis glukosa dari beberapa substrat asam amino, asam


laktat, asam lemak non ester dan gliserol. Pada manusia dan beberapa

5
jenis mamalia, proses ini tidak dapat mengkonversi gliserol menjadi glukosa.
Lintasan dipercepat oleh hormon insulin seiring dengan hormon tri-
iodotironina melalui pertambahan laju siklus Cori.
 Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk kemudian
dilepaskan ke darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh.
Hormonglukagon merupakan stimulator utama kedua lintasan glikogenolisis dan
glukoneogenesis menghindarikan tubuh dari simtoma hipoglisemia. Pada model
tikus, defisiensi glukagon akan menghambat kedua lintasan ini, namun
meningkatkan toleransi glukosa. Lintasan ini, bersama dengan lintasan
glukoneogenesis pada saluran pencernaan dikendalikan oleh kelenjar hipotalamus.
 Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa. dan pada lintasan
katabolisme:

 degradasi sel darah merah. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya dipecah


menjadi zat besi, globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang, sedangkan
heme dirombak menjadi metabolit untuk diekskresi
bersama empedu sebagai bilirubin dan biliverdin yang berwarna hijau kebiruan.
Di dalam usus, zat empedu ini mengalami oksidasi menjadiurobilin sehingga
warna feses dan urin kekuningan.
 degradasi insulin dan beberapa hormon lain.
 degradasi amonia menjadi urea
 degradasi zat toksin dengan lintasan detoksifikasi, seperti metilasi.

Hati juga mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:

 vitamin A (cadangan 1–2 tahun)


 vitamin D (cadangan 1–4 bulan)
 vitamin B12 (cadangan 1-3 tahun)
 zat besi
 zat tembaga.

III. Pengertian Ujian Fungsi Hati


Uji fungsi hati (UFH) sering disebutkan di klinik sebagai liver function test
sehingga perawat mengenalnya dengan singkatan LFT. UFH merupakan suatu
kumpulan analisis laboratorium yang berkaitan dengan hati, baik fungsi hati maupun
6
suatu kondisi hati yang sebenarnya bukan fungsi hati. Analit atau zat yang diperiksa
dapat berupa produk metabolisme sel hati (hepatosit), enzim, protein lain, antigen virus,
DNA atau RNA virus maupun antibodi sebagai hasil respons imun humoral tubuh.
Karena fungsi hati banyak maka jenis UFH yang dikenal juga banyak. Selain itu ada
juga uji yang sebenarnya tidak menguji fungsi hati tetapi tetap dimasukan kelompok
UFH sebab penting membantu menilai kelainan hati.

Secara umum, tes fungsi hati bisa membantu mengevaluasi kesehatan hati dan
mengindikasi kemungkinan penyakit lain seperti malnutrisi ataupun penyakit tulang.
Pada umumnya, tes fungsi hati termasuk dalam kelompok tes darah yang bertujuan
untuk mengukur enzim atau protein tertentu dalam darah. Tes ini dapat membantu
mendeteksi, mengevaluasi, dan memonitor penyakit atau kerusakan hati. Peningkatan
atau penurunan kadar protein dan enzim tertentu dalam darah di luar kadar normal
mengindikasikan adanya masalah di hati.

IV. Indikasi Uji Fungsi Hati


Pemeriksaan UFH dilakukan untuk penapisan yaitu :
 mendeteksi adanya kelainan atau penyakit hati,
 membantu menegakkan diagnosis,
 memperkirakan beratnya penyakit,
 membantu mencari etiologi penyakit,
 menilai prognosis penyakit dan disfungsi hati, dan menilai hasil pengobatan.
 Pemeriksaan UFH juga membantu mengarahkan upaya diagnostik selanjutnya.

V. Beberapa Pemeriksaan Penyakit Hati


Adapun beberapa pemeriksaan uji fungsi hati, sebagai berikut :
a. Uji Fungsi Hati yang Umum
1. Aspartarte aminotransferase (AST) dan Alanine aminotransferase(ALT)

 Alanine Tranaminase (ALT)

Ini merupakan enzim yang ditemukan terutama di dalam sel hati. ALT
dapat membantu metabolisme protein dalam tubuh. Dalam kondisi normal,

7
kadar ALT di dalam darah adalah rendah. Sebaliknya, tingginya kadar ALT
mengindikasikan adanya kerusakan hati.

 Aspartate Transaminase (AST)

Enzim AST berperan dalam metabolisme alanine. AST ditemukan dalam


kadar yang tinggi di sel-sel hati, jantung, dan otot-otot lainnya. Namun jika
AST tersebut ditemukan dengan kadar yang tinggi di dalam darah, ini
mengindikasikan adanya kerusakan atau penyakit hati.

Pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic


Oxaloacetic Transaminase) atauAspartarte aminotransferase (AST) dan
SGPT (Serum Glutamic PiruvicTransaminase) atau Alanine
aminotransferase (ALT) bertujuan untuk mengetahui inflamasi yang terjadi
dalam tubuh. Angka yang tinggi biasanya menjadi indikasi adanya gangguan
hati.
SGOT juga dikenal sebagai Aspartat transaminase (AST) atau aspartat
aminotransferase, serta juga dikenal sebagai Aspat / ASAT / AAT. SGOT
mengkatalisis transfer reversibel dari kelompok α-amino antara aspartat dan
glutamat, sehingga SGOT menjadi enzim penting dalam metabolisme asam
amino. SGOT ditemukan dalam hati, jantung, otot rangka, ginjal, otak, dan sel-sel
darah merah, serta umumnya diukur secara klinis sebagai penanda untuk
kesehatan hati. SGOT berperan sebagai kofaktor untuk mentransfer gugus amino
dari aspartat atau glutamat untuk yang sesuai asam keton. Enzim ini berperan
sangat penting pada proses degradasi dan biosintesis asam amino. Dalam
degradasi asam amino, setelah konversi α-ketoglutarat untuk glutamat, glutamat
kemudian mengalami deaminasi oksidatif untuk membentuk amonium ion yang
diekskresikan sebagai urea. Dalam reaksi balik, aspartat dapat disintesis dari
oksaloasetat yang merupakan perantara kunci dalam siklus asam sitrat (Berg, et
al., 2006).
Pada manusia terdapat dua isoenzim SGOT, yaitu GOT 1/Cast merupakan
isoenzim sitosol yang terutama berasal dari sel-sel darah merah dan jantung dan
GOT 2/Mast, isoenzim mitokondria yang hadir terutama di hati. SGOT mirip
dengan SGPT dalam kedua enzim yang berhubungan dengan hati parenkim sel.
Perbedaannya adalah bahwa SGPT ditemukan terutama di hati, dengan jumlah

8
klinis diabaikan ditemukan di ginjal, jantung, dan otot rangka, sedangkan SGOT
ditemukan dalam hati, jantung (otot jantung), otot rangka, ginjal, otak, dan merah
sel-sel darah. Oleh karena itu, SGPT adalah indikator yang lebih spesifik pada
peradangan hati daripada SGOT. SGOT mungkin meningkat juga dalam penyakit
yang mempengaruhi organ-organ lain, seperti infark miokard, pankreatitis akut,
anemia hemolitik akut, luka bakar parah, penyakit ginjal akut, penyakit
muskuloskeletal, dan trauma. SGOT didefinisikan sebagai penanda biokimia
untuk diagnosis infark miokard akut pada tahun 1954. Namun, penggunaan
SGOT untuk diagnosis seperti sekarang berlebihan dan telah digantikan oleh
troponin jantung (Gaze, 2007).
Tingkat SGOT juga dapat meningkat setelah terjadi luka bakar, prosedur
jantung, dan operasi. Namun perlu diperhatikan juga bahwa nilai SGOT dapat
meningkat selama kehamilan dan setelah latihan (Dugdale, 2013). Obat-obat
yang dapat meningkatkan nilai SGOT adalah antibiotik, narkotik, vitamin (asam
folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa [Aldoment], guanetidin),
teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam (Dalmane), indometasin (Indocin),
isoniazid (INH), rifampisin, kontrasepsi oral, salisilat, injeksi intramuskular (IM).
Di antara enzim SGOT dan SGPT, enzim SGPT dianggap lebih spesifik
untuk kerusakan hati karena hadir terutama dalam sitosol hati dan dalam
konsentrasi rendah di tempat lain. Meskipun tingkat SGOT dan SGPT bisa
sangat tinggi (melebihi 2.000 U/l dalam kasus cedera dan nekrosis hepatosit
yang berhubungan dengan obat-obatan, racun, iskemia, dan hepatitis),
ketinggian kurang dari lima kali batas atas normal (sekitar 250 U/l ke bawah) jauh
lebih umum terjadi. Pasien dengan nilai SGOT dan SGPT yang normal dapat
mempunyai arti bahwa terdapat penyakit hati yang signifikan dalam pengaturan
cedera hepatosit kronis (misalnya, sirosis, hepatitis C). Konsentrasi SGOT yang
rendah terdapat dalam darah, kecuali jika terjadi cedera selular, kemudian dalam
jumlah yang banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada penyakit hati, kadar
SGOT dalam serum akan meningkat sepuluh kali atau lebih dan tetap demikian
dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan penyakit hati alkoholik
mempunyai tingkat-tingkat enzim yang tidak setinggi tingkat-tingkat yang dicapai
dengan virus hepatitis akut dan SGOT cenderung berada di atas SGPT. Pada
penyakit hati alkoholik, SGOT biasanya berada dibawah 300 U/l, dimana SGPT
biasanya di bawah 100 U/l (Kee, 2007).

9
Bila otot jantung menderita kerusakan oleh iskemia, SGOT dalam serum
akan meningkat setelah 6-8 jam, puncak kadar dicapai antara 24-48 jam,
sedangkan pemulihan kepada kadar normal terjadi antara 72-96 jam.
Peningkatan SGOT tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya indikator enzimatik
untuk adanya infark miokard karena SGOT meningkat juga pada kondisi-kondisi
lain yang perlu ikut dipertimbangkan dalam diagnosis banding serangan jantung.
Enzim SGPT digunakan untuk membedakan antara penyebab kerusakan
hati atau ikterik hemolitik. Pada ikterik, kadar SGPT yang berasal dari hati
nilainya lebih dari 300 U/l, sedangkan yang bukan berasal dari hati kadar SGPT
kurang dari 300 U/l. Kadar SGPT serum biasanya meningkat sebelum tampak
ikterik (Kee, 2007).

Kadar SGPT seringkali dibandingkan dengan SGOT untuk tujuan


diagnostik. Kadar SGPT serum meningkat lebih khas daripada SGOT pada kasus
nekrosis hati dan hepatitis akut. Kadar SGPT ditemukan dalam kisaran normal
atau sedikit meningkat pada kasus nekrosis miokardium. Pada kasus hati, kadar
enzim SGPT lebih lambat daripada enzim SGOT untuk kembali ke batas normal.

Perbedaan kedua enzim tersebut adalah bahwa SGPT ditemukan


terutama di hati, dengan jumlah klinis diabaikan ditemukan di ginjal, jantung, dan
otot rangka, sedangkan SGOT ditemukan dalam hati, jantung (otot jantung), otot
rangka, ginjal, otak, dan merah sel-sel darah. Oleh karena itu, SGPT adalah
indikator yang lebih spesifik pada peradangan hati daripada SGOT. SGOT
mungkin meningkat juga dalam penyakit yang mempengaruhi organ-organ lain,
seperti infark miokard, pankreatitis akut, anemia hemolitik akut, luka bakar parah,
penyakit ginjal akut, penyakit muskuloskeletal, dan trauma.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar SGOT antara lain (Kee, 2007):
 Injeksi pada infark miokardium (IM) dapat meningkatkan kadar SGOT
serum.
 Hemolisis spesimen darah dapat mempengaruhi temuan laboratorium.
 Obat yang meningkatkan kadar SGOT adalah antibiotik (ampisilin,
karbenisilin, klindamisin, kloksasilin, eritromisin, gentamisin, linkomisin,
nafsilin, oksasilin, polisilin, tetrasiklin), antihipertensi (metildopa/aldomet,
guanetidin), indometasin (Indosin), isoniazid (INH), rifampin, teofilin.
Salisilat dapat menyebabkan kadar serum positif atau negatif yang keliru
10
2. Alkaline Phosphatase (ALP)

Enzim ALP ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi di hati, saluran


emmpedu, dan beberapa jaringan lainnya. Peningkatan kadar ALP
mengindikasikan adanya kerusakan atau penyakit hati, terutama bila terjadi
sumbatan di saluran empedu.

3. Albumin dan Total Protein

Kadar Albumin (protein yang dibuat di hati) dan protein total menunjukkan
baiknya kemampuan hati memproduksi protein untuk kebutuhan tubuh
memerangi infeksi dan menjaga fungsi lainnya. Berkurangnya kadar dari nilai
normal mengindikasikan adanya kerusakan atau penyakit hati.

4. Bilirubin

Bilirubin dihasilkan oleh pemecahan hemoglobin di dalam hati. Bilirubin


dikeluarkan melalui empedu dan dibuang melalui feses. Peningkatan kadar
bilirubin menunjukkan adanya penyakit hati atau saluran empedu.

b. Uji Fungsi Hati Tambahan


Adapun uji fungsi hati tambahan adalah sebagai berikut :

1. Gamma glutamyl transferase (GGT)

Pemeriksaan gamma glutamyl transferase (GGT) bertujuan sebagai


indikator untuk para pengguna alkhohol. Peningkatan kadar enzim GGT dalam
darah mengindikasikan adanya kerusakan hati atau saluran empedu.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan ALP untuk
meyakinkan bahwa kenaikan angka ALP disebabkan karena adanya masalah
pada hati bukan karena faktor lain.

2. L-lactate Dehydrogenase (LDH)

LDH adalah enzim yang ditemukan di berbagai jaringan tubuh, termasuk


hati. Peningkatan kadar LDH mungkin mengindikasikan adanya kerusakan hati.

11
3. Prothrombin Time (PT)

Tes ini dipakai untuk mengukur waktu bekuan plasma. Peningkatan PT


mungkin mengindikasikan adanya kerusakan hati.

c. Nilai Normal untuk beberapa Uji Fungsi Hati

 ALT. 7 - 55 unit per liter (U/L)


 AST. 8 - 48 U/L
 ALP. 45 - 115 U/L
 Albumin. 3,5 - 5,0 gram per desiliter 9g/dL)
 Total Protein 6,3 - 7,9 g/dL
 Bilirubin 0,1 - 1,0 mg/dL
 GGT 0 - 30 U/L
 LDH 122 - 222 micromole per liter (mcmol/L)
 PT. 10,9 - 12,5 detik

Nilai tersebut berlaku untuk pria dewasa. Sedangkan untuk wanita dan anak-
anak, akan terdapat sedikit perbedaan. Nilai normal diatas juga dapat berbeda antara
laboratorium satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan metode
pemeriksaan yang dipakai. Beberapa obat-obatan ataupun makanan tertentu juga dapat
mempengaruhi hasil tes.

Tabel berikut menunjukkan beberapa kombinasi hasil yang mungkin ditemukan


pada beberapa tipe kondisi/penyakit hati tertentu.

Jenis Kondisi Bilirubin ALT & AST ALP Albumin PT

Kerusakan hati akut Normal atau Biasanya sangat Normal atau hanya Normal Biasanya
(infeksi, racun, meningkat biasanya meningkat; ALT meningkat sedikit normal
obat) setelah peningkatan umumnya lebih tinggi
ALT & AST daripada AST

Penyakit hati kronis Normal atau Sedikit meningkat Normal atau sedikit Normal Normal
meningkat meningkat

Hepatitis alkoholik Normal atau AST biasanya dua Normal atau Normal Normal
meningkat kali kadar ALT lumayan
meningkat

12
Sirosis Bisa jadi meningkat AST biasanya lebih Normal atau Biasanya Biasanya
tapi hanya pada tinggi dari ALT, meningkat menurun memanjang
kondisi yang sudah namun kadarnya
berlanjut biasanya lebih
rendah daripada
penyakit alkoholik

Obstruksi duktus Normal atau Normal hingga Meningkat, sering Biasanya Biasanya
biliaris, kolestasis meningkat; lumayan meningkat lebih tinggi 4 kali normal, normal
meningkat pada dari nilai normal namun jika
obstruksi penuh berlangsung
kronis, kadar
dapat
menurun

Kanker yang sudah Biasanya normal Normal atau sedikit Biasanya sangat Normal Normal
menyebar ke hati meningkat meningkat
(metastases)

Kanker yang asli Mungkin meningkat, AST lebih tinggi dari Normal atau Biasanya Biasanya
berasal dari hati umumnya jika ALT, namun kadar meningkat menurun memanjang
(hepatoselular penyakit progresif lebih rendah
karsinoma) daripada penyakit
alkoholik

Autoimmune Normal atau Lumayan meningkat Normal atau sedikit Normal atau Normal
meningkat meningkat menurun

Tabel Jenis Uji Fungsi Hati dan manfaat diagnostiknya


Jenis UFH Penggunaan
Diagnosis ikterus, menilai beratnya penyakit, penyakit Gilbert,
Bilirubin (total, direk, indirek) hemolisis, diagnosis
kolektasis.
Diagnosis dini penyakit hepatoselular (lebih spesifik
ALT dibandingkan dengan AST),
pemantauan
Diagnosis dini penyakit hepatoselular, pemantauan, pada
AST
alkoholisme AST>ALT
Diagnosis kolestasis, infiltrasi hepatik, diagnosis kelainan
ALP
metabolisme

13
GGT Penanda kolestasis biliar, alkoholisme
Albumin Menilai beratnya penyakit dan kronis
Masa protrombin Menilai beratnya penyakit dan beratnya Kolestasis
y-globulin Diagnosis hepatitis kronis dan sirosis hati, pemantauan

Apabila pada penapisan seseorang tanpa gejala klinis didapatkan hasil


pemeriksaan awal meragukan maka pemeriksaan perlu diulangi. Bila hasilnya normal
maka dapat dianggap tiada gangguan fungsi hati. Tetapi bila klinis jelas ada gangguan
maka dapat dilanjutkan
dengan UFH lain yang
sesuai. Untuk pasien
dengan ikterus yang
disangka karena hepatitis
dapat diperiksa bilirubin
total, bilirubin direk, dan
bilirubin indirek, ALT, AST,
ALP, GGT, birubin urin.
Untuk etiologi dapat diminta
penanda serologik virus
hepatitis, atau AFP serta
penanda otoimun.

Gambar 1. Penerapan uji fungsi hati untuk diagnosis penyakit hati dibantu oleh
diagnostik pencitraan.

VI. Penafsiran Hasil Pemeriksaan Uji Fungsi Hati

Penafsiran hasil pemeriksaan UFH dengan baik maka diperlukan memahami


anatomi dan histopatologi hati, sifat analit, patofisiologi kelainan dan penyakit hati.
Jaringan hati terdiri dari sel parenkim atau hepatosit (60%), sel Kupffer anggota sistem
retikuloendotelial (RES) (30%), pembuluh darah, saluran kanalikuli biliaris, dan jaringan
penunjang. Menurut Kiernan yang dikutip oleh Sherlock S, arsitektur dasar jaringan hati
berupa lobul hati, dengan pusat vena hepatika dan ditepi saluran portal yang berisikan
saluran empedu, cabang vena porta dan cabang arteri hepatika. Berdasarkan aliran
14
darah maka Rappaport membagi daerah fungsional zona 1,2
dan 3, dimana zona 1 dekat dengan portal dan zona 3 dekat
dengan vena sentralis. Zona 3 paling menderita akibat jejas
baik oleh sebab virus, toksik maupun anoksik. Pada gambar
2 dapat dilihat susunan arsitektur hati dengan pembagian
zona berdasarkan fungsional menurut Rappaport.

Gambar . Arsitektur hati dengan lobul, zona fungsional


Rappaport.
VII.

Hepatosit yang berbentuk heksagonal tersusun berhadapan berkontak dengan


sinusoid yang mengandung darah dari sistem porta. Sinusoid berdinding sel endotel.
Terdapat sel Kupffer yang bersifat fagositik, melindungi sel hati dari zat toksik dan
bakteri. Selanjutnya di dalam sel hati sintesis albumin, kolinesterase dan zat lain
berlangsung di retikulum endoplasmik. Enzim ALT terdapat di sitoplasma, enzim AST di
sitoplasma (30%) dan di mitokondria (70%), enzim glutamat dehidrogenase (GLDH) di
mitokondria, enzim LDH di sitoplasma, enzim ALP dan GGT di sekitar saluran empedu.

Gambar. Sel hati dengan organelnya.

15
Pada peradangan dan kerusakan hepatoselular awal terjadi kebocoran membran
sel sehingga isi sitoplasma keluar. Di dalam darah didapatkan peningkatan aktivitas
ALT lebih banyak daripada AST, dinyatakan dengan rasio DeRitis yaitu rasio AST/ALT
< 0.7; tetapi bila proses terus berlangsung dan terjadi kerusakan mitokondria maka
aktivitas AST akan melebihi ALT (rasio AST/ALT > 0.7). Bila rasio AST/ALT > 2
menunjukkan penyakit hati berat terutama kematian / nekrosis sel hati. Rasio GGT /
(AST+ALT) dapat menunjukkan apakah kelainan kolestatik atau hepatoselular yang
lebih banyak. Sedangkan rasio LDH / AST dipakai untuk membedakan penyakit hati
dari hemolisis, dimana rasio > 5 menunjukkan hemolisis. Pada infiltrasi hati oleh
keganasan primer atau sekunder, amiloidosis, terdapat peningkatan aktivitas ALP tanpa
ikterus (hiper-bilirubinemia). Pada fibrosis hati maka penanda procollagen (III / IV) dapat
diminta. (Dufour DR, 2005; Dufour DR,2006; Pncus MR, 2007; Fauci AS, 2008)
Tanda Ikterus akibat peningkatan kadar bilirubin dapat disebabkan oleh
kolestasis, hepatoselular atau infiltrasi. Pada tabel 2 dijelaskan perubahan hasil
pemeriksaan UFH dan pada gambar 4 diberikan bagan alir (flowchart).

Tabel. Perbandingan penyebab ikterus.

Kolestasis Hepatoselular Infiltrasi


Contoh penyakit Batu saluran empedu Obat- Hepatitis virus akut Tumor metastasis
obatan Granuloma, Amiloid
Bilirubin serum 6-20 mg/dL (>10 mg/dL 4-8 mg/dL Biasanya <4 mg/dL,
mungkin sekali karsinoma) sering normal
AST, ALT Meningkat ringan, < 200 U/L Meningkat nyata, Meningkat ringan, <
sering 500-1000 U/L 100 U/L
ALP Meningkat 3-5xN Meningkat 1-2xN Meningkat 2-4xN
Masa protrombin Respons Memanjang pada kasus Memanjang pada N (Normal)
terhadap vit K parenteral kronis Ya kasus berat Tidak

Gambar . Peningkatan kadar bilirubin.


16
Gambar. Peningkatan kadar bilirubin disertai peningkatan aktivitas enzim.

VII. Penerapan pemeriksaan UFH pada beberapa kelainan dan


penyakit hati
Berikut adalah penerapan hasil UFH pada kelainan hati :
1. Kongesti pasif : keadaan sekunder akibat gagal jantung kanan. Terjadi
pelebaran sinusoid, merusak hepatosit. Temuan laboratorium berupa
peningkatan ringan aktivitas AST dan ALT yang diikuti oleh peningkatan kadar
bilirubin dan ALP.

2. Perlemakan hati : keadaan penimbunan lemak dalam hati, biasanya tanpa


gejala atau sedikit (minimal) gajala. Sebagian kasus dapat mengalami
peradangan, menjadi steatohepatitis sampai penyakit hati kronis berat seperti
sirosis hati. Etiologinya mungkin alkohol, diabetes melitus, obesitas, dll. Secara
morfologik terdapat infiltrasi sel lemak ke dalam hepatosit. Temuan laboratorium
berupa peningkatan ringan aktivitas AST, ALT, ALP, GGT sedangkan kadar
albumin dan bilirubin biasanya normal. Bila berkembang menjadi steatohepatitis
ditandai dengan peningkatan aktivitas transaminase ALT dan AST.

3. Kolestasis : gangguan aliran empedu, baik intra dan atau ekstra hepatik,
dengan atau tanpa adanya penyumbatan. Dapat dibedakan berdasarkan

17
morfologi dengan adanya deposit bilirubin di hepatosit dan saluran empedu,
klinis dengan retensi dalam darah dari zat-zat yang secara normal diekskresikan
dalam empedu, fungsional dengan gangguan aliran empedu disebabkan
gangguan pompa empedu atau saluran. Kolestasis yang lama akan
menyebabkan sirosis biliaris. Temuan laboratorium, pada tahap kolestasis lokal
intra hepatik didapatkan peningkatan aktivitas ALP dan GGT sedangkan kadar
bilirubin normal. Pada kolestasis yang lebih lama dan luas mungkin didapatkan
peningkatan kadar bilirubin, peningkatan aktivitas ALP dan GGT, pemanjangan
masa Protrombin, dan tinja akolik dan steatorea.

4. Hepatitis akut : suatu penyakit peradangan akut yang mengenai jaringan hati.
Perlu dipahami bahwa etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh banyak faktor
penyebab. Penyebab utama yang tersering adalah kelompok virus hepatitis (VH)
yaitu VH jenis A, B, C, D, E, G, TT, dll. Penyebab lain bermacam-macam, antara
lain virus lain seperti sitomegalovirus (CMV), Epstein-Barr (EB), HerpesVaricella,
lalu bakteri Salmonela, beberapa jenis parasit, juga bahan toksik seperti obat-
obatan, alkohol dan toksin, serta karena beberapa jenis otoantibodi (pada
hepatitis otoimun). Karena itu mungkin dijumpai gambaran klinis hepatitis akut
tetapi tidak dijumpai adanya penanda virus hepatitis.

Pada penyebab kelompok VH juga ada perbedaan antara satu jenis virus
dengan yang lainnya. Modus penularan dapat melalui makanan-minuman yang
tercemar (fecaloral/water-borne) yaitu pada VHA dan VHE, melalui cairan tubuh
misalnya melalui alat suntik yang tercemar, transfusi darah, kontak seksual,
perinatal yaitu pada VHB, pada VHC seperti VHB tetapi melalui cara perinatal
masih diragukan. Perjalanan penyakit yang klasik melalui beberapa fase yaitu
masa inkubasi, gejala prodromal, ikterus klinis, dan pemulihan (convalescent).
Selain bentuk yang klasik dengan ikterus, ada variasi bentuk lain yaitu bentuk
kolestatik dan ada juga yang tanpa ikterus (non icteric). Perjalanan penyakit
dapat akut, fulminant, dan kronis. Yang kronis dapat berat seperti sirosis hati dan
hepatoma tetapi dapat pula subklinis dan tidak aktif. Dahulu ada keadaan yang
disebut pembawa virus ( “healthy” carrier) tetapi sekarang dianjurkan disebut
sebagai bentuk tidak aktif.
Temuan laboratorium pada tipe klasik ditandai oleh peningkatan aktivitas
transaminase dimana ALT>AST yang dimulai pada fase prodromal dan
18
mencapai puncaknya pada saat munculnya ikterus, disertai peningkatan aktivitas
ALP dan GGT; bilirubinuria dan tinja akolik sebelum munculnya ikterus, diikuti
oleh peningkatan kadar bilirubin darah (hiperbilirubinemia) dan dapat dideteksi
bilirubin dalam urin (bilirubinuria). Kadar urobilinogen bervariasi, meningkat pada
akhir fase prodromal, lalu menurun pada puncak ikterus dan kemudian
meningkat lagi pada masa pemulihan. Ada bentuk klinis lain. Pada bentuk ganas
(fulminant) aktivitas ALT dan AST meningkat amat tinggi sampai ribuan U/L
secara cepat dalam beberapa hari dan masa protrombin memanjang lalu AST
dan ALT menurun lagi dalam beberapa hari disertai dengan keadaan klinis berat.
Bentuk kolestatik ditandai oleh peningkatan nyata ALP, GGT dan kadar bilirubin.
Pada bentuk tidak ikterus ditandai oleh kadar bilirubin normal, Penanda virus
hepatitis dapat diperiksa dengan kemungkinan hasil yang bervariasi tergantung
jenis, fase, dan faktor-faktor lainnya. (lihat artikel tentang Penanda virus
hepatitis).

5. Hepatitis kronis : keadaan dimana proses hepatitis berlangsung melampaui


masa 6 bulan yang dinyatakan dengan peradangan, kelainan UFH dan
menetapnya penanda VH yaitu HBsAg dan antiHCV. Etiologi dapat VH, obat-
obatan, metabolik dan otoimun. Temuan laboratorium dengan peningkatan
enzim hepatoselular transaminase ALT dan AST yang berfluktuasi, mungkin juga
disertai dengan peningkatan ringan kadar bilirubin, peningkatan aktivitas enzim
ALP dan GGT.

6. Sirosis hati : keadaan kerusakan arsitektur hati, penimbunan jaringan ikat


dengan pembentukan nodul, baik mikronodul maupun makronodul yang dapat
dilihat pada pemeriksaan histopatologik dan pencitraan ultrasonografi serta CT
scan. Klinis dibedakan antara bentuk laten dan dekompensasi yang memberikan
pola hasil laboratorium yang berbeda. Temuan laboratorium pada bentuk laten
berupa peningkatan ringan enzim transaminase ALT dan AST dimana biasanya
AST> ALT, peningkatan GGT, peningkatan urobilinogen urin yang menetap,
kemungkinan peningkatan kadar asam empedu 2 jam pasca makan, sedangkan
kebanyakan UFH lain normal. Pada bentuk dekompensasi, dijumpai peningkatan
aktivitas enzim AST, ALT, ALP dan GGT, pemanjangan masa protrombin tanpa
respons terhadap pemberian vitamin K, penurunan kadar albumin, peningkatan
g-globulin dengan terdapatnya pola poliklonal dan jembatan b-g pada
19
elektroforesis protein, peningkatan kadar urobilinogen, dan bilirubinuria bila ada
ikterus (hiperbilirubinemia).

7. Hepatoma atau karsinoma hati primer : merupakan suatu proses desak ruang
(space occupying lesion). Faktor penyebab yang utama adalah VHB dan VHC,
dan juga aflatoxin. Sering didapatkan sebagai lanjutan sirosis hati. Temuan
laboratorium ditunjukkan dengan terutama peningkatan enzim kolestatik ALP dan
GGT disertai peningkatan ringan enzim hepatoselular transaminase ALT dan
AST, pemanjangan masa protrombin, peningkatan g-globulin, peningkatan
alfafetoprotein (AFP) yang progresif sampai lebih dari 2000 ng/mL, mungkin juga
peningkatan CEA (tidak spesifik), ferritin, dan vitamin B12.

8. Gagal hati : keadaan dimana fungsi hati mengalami gangguan berat berupa
kegagalan. Pasien jatuh dalam koma, koma hepatik. Temuan laboratorium
berupa hiperbilirubinemia, bilirubinuria, peningkatan kadar urobilinogen,
peningkatan kadar amoniak, penurunan kadar albumin, pemanjangan masa
protrombin, peningkatan kadar asam amino aromatik, dan penurunan asam
amino rantai cabang (branched chain amino acids).

9. Status muatan besi berlebihan (Iron overload states) : keadaan penimbunan


besi secara berlebihan di jaringan hati, yang dapat dibedakan antara
hemosiderosis dan hemokromatosis. Hemosiderosis tidak disertai dengan
kerusakan jaringan sedangkan hemokromatosis disertai dengan proses fibrosis
yang progresif dengan kegagalan sistem organ, mengenai banyak jaringan
selain hati, juga mungkin di kulit, pankreas, testis dan lain-lain. Pada
pemeriksaaan histopatologik mungkin dapat dijumpai 3 jenis pigmen, yaitu
ferritin, haemosiderin, dan lipofusin. Berdasarkan etiologinya dapat dibedakan
hemokromatosis yang genetik / idiopatik dan yang didapat / sekunder, misalnya
thalassemia, transfusi darah berulang, diet tinggi kadar besi, dan defisiensi
transferin. Temuan laboratorium dapat berupa gangguan ringan (minimal) UFH
sampai yang berat menyerupai sirosis hati. Diagnosis ditegakkan dengan
peningkatan kadar Fe, saturasi transferin, dan serum ferritin, serta dipastikan
dengan biopsi untuk pemeriksaan histopatologik.

20
10. Batu kandung empedu : keadaan dijumpai terbentuknya batu dalam kandung
empedu, biasanya banyak (multiple). Batu kandung empedu dapat berupa batu
pigmen berwarna coklat mengandung kalsium, berukuran kecil dan keras dan
dikaitkan dengan hemolisis kronis. Dapat pula berupa batu kolesterol yang
berwarna putih atau kekuningan atau batu campuran. Faktor-faktor yang
berperan adalah susunan empedu, adanya stasis dan infeksi. Adanya batu dapat
disertai keadaan klinis tenang (silent) tanpa suatu keluhan, tetapi ada
kemungkinan timbul kolestitis akut atau kronis. Bila batu keluar dari kandung
empedu dan masuk ke duktus koledokus, dapat terjadi sumbatan (obstruksi)
dengan ikterus. Sumbatan kronis dapat memicu timbulnya karsinoma saluran
empedu (cholangiocarcinoma). Temuan laboratorium sesuai dengan bentuk
klinisnya.

VIII. Hepatitis C

a. Pengertian Hepatitis C
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang dapat menginfeksi manusia
umunnya dan ditularkan melaui darah. Untuk mengetahui seseorang mengidap
hepatitis C dilakukan pemeriksaan anti-HCV dan deteksi protein virus RNA HCV. Infeksi
dengan virus hepatitis C (VHC) dapat asimptomatik yaitu tanpa gejala hepatitis atau
dapat berupa hepatitis akut, kronik, sirosis bahkan menjadi kanker hati. dengan adanya
pemeriksaan anti HCV dalam donor darah menyebabkan angka kejadian infeksi
hepatitis C berkurang.

b. Diagnosis Hepatitis C
Diagnosis yang dilakukan pada penyakit hepatitis C adalah :
1. Tes antibodi pada penyakit hepatitis C yang menunjukkan bahwa orang tadi
sudah terpapar pada virus penyakit hepatitis sebelumnya, namun hal ini tidak
menunjukkan apakah virus ini masih bersembunyi di dalam darah, selain itu juga
bayi yang dilahirkan dari wanita yang sudah pernah mengalami infeksi penyakit
hepatitis C akan mempunyai antibodi yang berasal dari ibunya pada kurang lebih
selama 1 tahun pertama dihidupnya, namun hal ini tidak berarto bahwa bayi
tersebut sudah mengalami infeksi.

21
2. Tes asam nukleik misalnya adalah jenis PCR yang akan menunjukkan bahwa
virus ini masih ada di dalam darah.
3. Melakukan tes jumlah virus hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjukan
jumlah banyak virus yang ada di dalam darah.
4. Tes genotipe yang dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa jenis
virus mana yang ada di dalam darah dan hal ini akan membantu untuk membuat
suatu perencanaan dalam perawatan.
5. Tes fungsi hati yang betujuan untuk menunjukkan suatu kemungkinan dari
terjadinya kerusakan pada penyakit hati.
6. Biopsi hati, pemeriksaan dan diagnosis yang dilakukan adalh sedikit hati diambil
kemudian diperiksa dengan menggunakan mikroskop dan akan menunjukkan
suatu jenis dan keparahan dari rusaknya hati serta membantu merencanakan
perawatan yang tepat.

Pada diagnosis yang ditegakkan untuk penderita penyakit hepatitis C biasanya


beberapa orang yang mengalami infeksi penyakit hepatitis C akan mempunyai
tingkatan enzim hati (ALT/SGPT) yang sangat tinggi. Jika Anda mempunyai resiko
mengalami penyakit hepatitis C, maka Anda harus melakukan tes HCV, walaupun
tingkatan dari enzim yang ada di dalam hati masih dalam keadaan yang normal. Tes
HCV ini dilakukan untuk semua Odha, karena infeksi yang terjadi dengan bersamaan
adalah suatu hal yang umum terjadi.
Umumnya, tes darah yang dilakukan pertama kali pada penyakit HCV adalah
dengan melakukan tes antibodi. Hasil dari positif yang berarti kita pernah mengalami
infeksi HCV. Namun penyakit hepatitis C untuk beberapa orang yang bisa sembuh
tanpa melakukan pengobatan, jadi kita akan membutuhkan tes viral load HCV untuk
membantu mengetahui apakah kita mengalami infeksi kronis. Tes viral load pada
penyakit hepatitis C yang diusulkan dan jika hasil tes antibodi bersifat reaktif, kita juga
kemungkinan akan mengalami resiko penyakit hepatitis C atau juga bahkan mengalami
gejala hepatitis C.
Tes yang dilakukan pada pemeriksaan penyakit hepatitis C adalah tes antibodi
dan viral load HIV. Viral load HCV yang umumnya jaug lebih tinggi dibandingkan
dengan viral load HIV dan seing kali jumlahnya jutaan. Berbeda dengan penyakit HIV,
viral load pada penyakit hepatitis C biasanya tidak akan meramalkan atau menentukan
suatu kelanjutan penyakit. Viral load yang dilakukan pada penyakit hepatitis C atau juga
suatu hasil dari tingkat enzim hati yang tidak menunjukkan tingkat dari terjadknya suatu
22
kerusakan di dalam hati. Biopsi pada hati adalah salah satu cara yang paling baik
dalam memastikan kondisi hati. Dan jika hanya ada suatu kerusakan yang terjadi pada
hati, dan beberapa pakar biasanya akan menyusulkan untuk pemantauan hati, jika ada
suatu parutan atau penyakit sirosis hati, maka pengobatan dari penyakit HCV
kemunginan juga akan dibutuhkan.
Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantiatif dan kualitatif. Test kualitatif
mengunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA
yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test kuantiatif
dibagi dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik Reverse
Transcription PCR.
Test kuantiatif ini berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada
test kuantiatif ini pula dapat diketahui derajat viremia. Sesuai dengan rekomendasi
konsensus penatalaksanan HCV di Indonesia :
1. Pemeriksan HCV RNA yang positf, dapat memastikan diagnosis
2. Bila HCV – RNA tidak dapat diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N, dengan anti
HCV (+)
3. Pemeriksan genotip tidak diperlukan untuk menegakan diagnosis.
4. Pemeriksan HCV RNA kuantiatif diperlukan pada anak dan dewasa untuk
penentuan pengobatan.
5. Pemeriksan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya terapi.
6. Pemeriksan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska
terapi.
7. Pemeriksan HCV RNA 12 mingu sejak awal terapi dilakukan pada pasien
genotip 1 dengan pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi dilanjutkan
atau dihentikan.
Test fal hati rutin untuk skrining HCV kronik memilki keterbatasan, karena sekitar
50% penderita yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase normal.

c. Penyebab Hepatitis C
Penyakit hepatitis C merupakan peradangan pada organ liver (hati) yang
disebabkan oleh penyebaran virus hepatitis C. Virus hepatitis C yang masuk ke organ
hati melalui aliran darah ini kemudian akan merusak sistem kerja organ hati (liver) dan
menginfeksi jaringan sel-sel di sekitar organ hati.

23
d. Gejala Hepatitis C
Gejala umum yang terlihat dari penderita penyakit hepatitis C adalah kelelahan
kronis. Namun untuk mengenali gejala-gejala penyakit hepatitis C yang mungkin terjadi
meski terlihat samar :
 Rasa lelah kronis
 Nafsu makan yang semakin menurun dan kemudian hilang
 Penderita mengalami sakit perut
 Perubahan warna urine (air kemih) yang menjadi gelap
 Kulit tubuh dan mata menjadi kuning (jaundice) meski jarnag terjadi
Hasil laboratorium yang menyolok adalah peningian SGOT dan SGPT yang
terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 mingu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara
hepatis akut A dan hepatis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 mingu setelah
terkena infeksi.

e. Penularan Hepatitis C
Adapun cara penularan hepatitis C sebagai berikut :
1. Parenteral
Umumnya terjadi melalui transfusi darah, suntikan atau produk darah yang
belum diskrining. Risiko tinggi pada pasien cuci darah, hemofilia, talasemia, dan
orang yang mendapat suntikan melalui intravena.
2. Kontak dengan penderita
Penularan hepatitis C dari orang ke orang belum jelas, mungkin terjadi melalui
penggunaan bersama alat cukur atau sikat iggi dalam keluarga.
3. Transmisi seksual
Kontak seksual dengan banyak pasangan atau dengan penderita hepatitis.
4. Kongenital/Neonatal
Ibu yang tersernag hepaitis menularkan virus hepatitis C pada bayinya, tetapi
angka kejadiannya juga kecil.
5. Transmisi non parenteral
Kasus hepatitis sporadik menunjukkan bahwa hepatitis C dapat ditularkan melalu
cara non parenteral.

Terjadinya bentuk penularan penyakit hepatitis C bisa dimulai dari kontak darah
yang terjadi antara orang yang mengalami infeksi dengan orang yang kemungkinan

24
beresiko mengalami infeksi. Karena penyakit hepatitis C merupakan salah satu jenis
virus yang sangat kecil, dan sejumlah darah yang sangat kecil serta tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang. Penyakit hepatitis C bisa ditularkan lewat jarum suntik yang
dipakai dan akan menular setelah kurang lebih tiga minggu. Virus ini bisa saja tahan di
dalam darah yang membeku selama kurang lebih sampai empat hari.

f. Obat Hepatitis C
Ada 3 Senyawa digunakan dalam pengobatan penyakit Hepatitis C adalah:
- Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk
meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel
lainnya. Obat yang direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah
dari inteferon alfa bisa dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum pemberian terapi Interferon :
1. Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit, HCV RNA [+],
genotip virus, biopsi.
2. Ada / tidaknya manifestasi ekstra hepatic.
3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi diatas normal.
4. Tidak ada dekompensasi hati.
5. Pemeriksan laboratorium:
a. Granulosit > 300/ cmm
b. Hb > 12 g/dl
c. Trombosit > 500/ cmm.
d. Bilrubin total < 2 mg/ dl
e. Protrombin time < 3 menit.

- Pegylated interferon alfa


Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut
“polyethylene glycol (PEG)” dengan molekul interferon alfa. Modifikasi interferon
alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan penelitian menunjukkan lebih efektif
dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis
dibandingkan interferon alfa biasa.

25
- Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan
Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada
inteferon alfa sendiri.

Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI – PHI :


1. Terapi antivirus diberikan bila ALT >2 N
2. Untuk pengobatan hepatis C diberikan kombinasi Interferon dengan Ribavirin
3. Ribavirin diberikan tiap hari,tergantung berat badan selama pemberian
interferon dengan dosis :
a. < 5 kg diberikan 80 mg/hari
b. 56 – 75 kg diberikan 100 mg/hari
c. > 75 kg diberikan 120 mg/hari
4. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5 MU semingu 3 kali, tergantung kondisi
pasien
5. Pegylated Intenfenon Alfa 2a diberikan 180 ug semingu sekali selama 12
bulan pada genotipe 1&4, dan 6 bulan pada genotipe 2 dan 3. pada Pegylated
Interferon Alfa 2b diberikan dengan dosis 1,5ug/kg BB/kali selama 12 bulan atau
6 bulan tergantung genotip
6. Dosis Ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping
anemia, dapat diberikan enitropoitn.

26
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan

Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang dapat menginfeksi manusia


umunnya dan ditularkan melaui darah. Untuk mengetahui seseorang mengidap
hepatitis C dilakukan pemeriksaan anti-HCV dan deteksi protein virus RNA HCV. Infeksi
dengan virus hepatitis C (VHC) dapat asimptomatik yaitu tanpa gejala hepatitis atau
dapat berupa hepatitis akut, kronik, sirosis bahkan menjadi kanker hati. dengan adanya
pemeriksaan anti HCV dalam donor darah menyebabkan angka kejadian infeksi
hepatitis C berkurang.
Uji fungsi hati (UFH) sering disebutkan di klinik sebagai liver function test
sehingga perawat mengenalnya dengan singkatan LFT. UFH merupakan suatu
kumpulan analisis laboratorium yang berkaitan dengan hati, baik fungsi hati maupun
suatu kondisi hati yang sebenarnya bukan fungsi hati. Analit atau zat yang diperiksa
dapat berupa produk metabolisme sel hati (hepatosit), enzim, protein lain, antigen virus,
DNA atau RNA virus maupun antibodi sebagai hasil respons imun humoral tubuh.
Karena fungsi hati banyak maka jenis UFH yang dikenal juga banyak. Selain itu ada
juga uji yang sebenarnya tidak menguji fungsi hati tetapi tetap dimasukan kelompok
UFH sebab penting membantu menilai kelainan hati.

27
DAFTAR PUSTAKA

 http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/MACAM%20%20
PENYAKIT%20HEPAR%20DAN%20PEMERIKSAANNYA.pdf
 http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/43/pdf
 http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/49971/a8dd5dbab4034b46ffa68f904
aa68530
 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=73708&val=4695
 http://penyakithepatitisc.com/
 http://imrannito.blogspot.co.id/2008/01/hepatitis-virus-c.html
 https://m.facebook.com/notes/infomedilink/hati-tes-fungsi-hati-langkah-awal-
menentukan-kesehatan-hati/175686025815679/
 http://www.spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1046&menu=tesmenu
 http://catatan.legawa.com/2010/11/tes-fungsi-hati/
 http://radiascakep86.blogspot.co.id/2014/05/pemeriksaan-fungsi-hati-atau-
liver.html
 http://www.abclab.co.id/?p=358
 https://id.wikipedia.org/wiki/Hati
 http://penyakithati.org/
 Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seeff LB. Laboratory
Medicine Practice Guidelines. Laboratory guidelines for screening, diagnosis and
monitoring hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry. 2000.
 Dufour DR. Assessment of liver fibrosis: Can serum become the sample of
choice? Clinical Chemistry 2005; 51/10: 1763-4.
 Dufour DR. Liver disease. Dalam: Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE (eds). Tietz
Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostocs. 4th ed, St Louis:
Elsevier Saunders, 2006 p 1777-827
 Fauci AS, Kasper DL Longo DS, Braunwald E, Hauser SL, JL Jameson,
Loscalzo J (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. e-Book New
York: McGraw-Hill 2008 Chapter 296-296.
 Lee WM. Drug-Induced hepatotoxicity. N Engl J Med 2003;349:474-85.

28
 Pincus MR, Tierno P, Dufour DR. Evaluation of liver function. Dalam: McPherson
RA, Pincus MR. (eds). Henry’s Clinical Diagnosis and Management by
Laboratory Methods. 21th ed, Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007 p 263-76.
 Plomteux G. Multivariate analysis of an enzymic profile for the differential
diagnosis of viral hepatitis. Clin. Chem 1980;. 26/13: 1897-99.
 Pratt DS, Kaplan MM. Evaluation of abnormal liver-enzyme results in
asymptomatic patients. N Engl J Med.
 Sherlock S, Dooley J. Diseases of the Liver and Biliary System. 11th ed. Oxford:
Blackwell Science Ltd. 2002 p 1-35.
 Walach J. Interpretation of Diagnostic Tests. 8th ed. Philadelphia:Lippincott
Williams &Wilkins, 2007 p 220-47.
 Winkel P, Ramsoe K, Lyngbye J, Tygstrup N. Diagnostic value of routine liver
tests. Clin. Chem 1975; 21/1,:71-5.
 Batt AM, Ferrari L. Manifestations of Chemically Induced Liver Damage. Clin.
Chem 1995; 41/12: 1882-7.

29
30

Anda mungkin juga menyukai