PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Hati merupakan salah satu organ yang paling besar dalam tubuh manusia.
Berlokasi di abdomen (perut) bagian atas kanan dan di balik rusuk-rusuk bagian bawah.
Hati memetabolisme dan mendetoksifikasi obat-obatan dan unsur-unsur yang
berbahaya bagi tubuh. Ia juga menghasilkan faktor-faktor, protein dan enzim
pembekuan darah, membantu keseimbangan hormon, serta menyimpan vitamin dan
mineral. Empedu, suatu cairan yang dibentuk oleh hati, dialirkan melalui saluran
langsung ke usus halus untuk membantu mencerna lemak atau ke kandung empedu
untuk disimpan dan digunakan untuk keperluan kemudian.
Berbagai penyakit & infeksi dapat menyebabkan kerusakan akut maupun kronis
pada hati, menyebabkan peradangan, luka, sumbatan saluran empedu, kelainan
pembekuan darah, dan disfungsi hati. Alkohol, obat-obatan, dan beberapa suplemen
herbal, serta racun juga bisa memberikan ancaman. Jika besarnya kerusakan cukup
bermakna, maka akan menimbulkan gejala-gejala jaundice, urine gelap, tinja berwarna
keabuan terang, pruritus, mual, kelelahan, diare, dan berat badan yang bisa berkurang
atau bertambah secara tiba-tiba. Deteksi dini penting untuk diagnosis lebih awal guna
minimalisasi kerusakan dan menyelamatkan fungsi hati.
1
Tes fungsi hati yang umum adalah AST (aspartate transaminase), yang di
Indonesia lebih sering disebut sebagai SGOT (serum glutamic-oxaloacetic
transaminase), dan ALT (alanine transaminase) yang biasanya di Indonesia disebut
sebagai SGPT (serum glutamic-pyruvic transaminase). SGOT dan SGPT akan
menunjukkan jika terjadi kerusakan atau radang pada jaringan hati. SGPT lebih spesifik
terhadap kerusakan hati dibanding SGOT. Adalah hal yang biasa bila terjadi sedikit
peningkatan (hingga dua kali angka normal) kadar SGOT dan SGPT. Namun, kadar
SGOT dan SGPT lebih dari dua kali angka normal, umumnya dianggap bermakna dan
membutuhkan pemeriksaan lebih jauh. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
diagnosis penyakit hati berdasarkan hasil pemeriksaan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi Hati
Hati (bahasa Yunani: ἡπαρ, hēpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh,
terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan
fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu
fungsi ginjaldengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan
menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkannitrogen dari asam
amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal.[2] Sel
parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80%volume hati dan
melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal.
Hepatosit merupakan sel endodermal yang terstimulasi oleh jaringan mesenkimal
secara terus-menerus pada saat embrio hingga berkembang menjadi sel
parenkimal.[3] Selama masa tersebut, terjadi
peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai stimulan proliferasi dan diferensiasi sel
endodermal menjadi hepatosit.[4]
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel
Kupffer, sel Ito, limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati
sekitar 6,5% volume hati dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan
banyak fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan
permukaan hepatosit dari darah, SEC memiliki kapasitas endositosis yang sangat besar
dengan berbagai ligan seperti glikoprotein, kompleks imun, transferin dan seruloplasmin.
SEC juga berfungsi sebagai sel presenter antigen yang
menyediakan ekspresi MHCI dan MHCII bagi selT. Sekresi yang terjadi meliputi
berbagai sitokina, eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin-1, nitrogen
monoksida dan beberapa komponen ECM.
3
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan
banyak vesikel lemak di dalam sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga
memberikan lapisan ganda pada lumen lobus sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi
normal, sel Ito menyimpanvitamin A guna mengendalikan kelenturan matriks
ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga merupakan kelenturan dari lumen
sinusoid.
Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang bermukim
di hati. Sel pit dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa bergantung
pada ekspresi antigen pada kompleks histokompatibilitas utama. Aktivitas sel pit dapat
ditingkatkan dengan stimulasi interferon-γ. Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-γδ,
sel T-αβ dan sel NKT.
Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga
saat ini belum ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu
menggantikan semua fungsi hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan
proses dialisis hati, namun teknologi ini masih terus dikembangkan untuk perawatan
penderita gagal hati.
empedu yang mencapai ½ liter setiap hari. Empedu merupakan cairan kehijauan
dan terasa pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua, yang
kemudian disimpan di dalam kantong empedu atau diekskresi ke duodenum.
Empedu mengandung kolesterol, garam mineral, garam empedu,
4
pigmen bilirubin, dan biliverdin. Sekresiempedu berguna untuk mencerna lemak,
mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah zat
yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut dalam air. Apabila
saluran empedu di hati tersumbat, empedu masuk ke peredaran darah sehingga
kulit penderita menjadi kekuningan. Orang yang demikian dikatakan menderita
penyakit kuning.
sebagian besar asam amino
faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI
protein C, protein S dan anti-trombin
kalsidiol
trigliserida melalui lintasan lipogenesis
kolesterol
insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang berperan
penting dalam pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan tetap memiliki
efek anabolik pada orang dewasa.
enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang
terbentuk dapat mengikat NH³ dan CO² yang bersifat racun.
trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping
darah oleh sumsum tulang belakang.
Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel
darah merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu
mengambil alih tugas ini.
albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.
angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan
darah ketika diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal saat
ditengarai kurangnya tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.
enzim glutamat - oksaloasetat transferase, glutamat - piruvat
transferase dan laktat dehidrogenase
Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada
umumnya, hati juga berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:
5
jenis mamalia, proses ini tidak dapat mengkonversi gliserol menjadi glukosa.
Lintasan dipercepat oleh hormon insulin seiring dengan hormon tri-
iodotironina melalui pertambahan laju siklus Cori.
Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk kemudian
dilepaskan ke darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh.
Hormonglukagon merupakan stimulator utama kedua lintasan glikogenolisis dan
glukoneogenesis menghindarikan tubuh dari simtoma hipoglisemia. Pada model
tikus, defisiensi glukagon akan menghambat kedua lintasan ini, namun
meningkatkan toleransi glukosa. Lintasan ini, bersama dengan lintasan
glukoneogenesis pada saluran pencernaan dikendalikan oleh kelenjar hipotalamus.
Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa. dan pada lintasan
katabolisme:
Secara umum, tes fungsi hati bisa membantu mengevaluasi kesehatan hati dan
mengindikasi kemungkinan penyakit lain seperti malnutrisi ataupun penyakit tulang.
Pada umumnya, tes fungsi hati termasuk dalam kelompok tes darah yang bertujuan
untuk mengukur enzim atau protein tertentu dalam darah. Tes ini dapat membantu
mendeteksi, mengevaluasi, dan memonitor penyakit atau kerusakan hati. Peningkatan
atau penurunan kadar protein dan enzim tertentu dalam darah di luar kadar normal
mengindikasikan adanya masalah di hati.
Ini merupakan enzim yang ditemukan terutama di dalam sel hati. ALT
dapat membantu metabolisme protein dalam tubuh. Dalam kondisi normal,
7
kadar ALT di dalam darah adalah rendah. Sebaliknya, tingginya kadar ALT
mengindikasikan adanya kerusakan hati.
8
klinis diabaikan ditemukan di ginjal, jantung, dan otot rangka, sedangkan SGOT
ditemukan dalam hati, jantung (otot jantung), otot rangka, ginjal, otak, dan merah
sel-sel darah. Oleh karena itu, SGPT adalah indikator yang lebih spesifik pada
peradangan hati daripada SGOT. SGOT mungkin meningkat juga dalam penyakit
yang mempengaruhi organ-organ lain, seperti infark miokard, pankreatitis akut,
anemia hemolitik akut, luka bakar parah, penyakit ginjal akut, penyakit
muskuloskeletal, dan trauma. SGOT didefinisikan sebagai penanda biokimia
untuk diagnosis infark miokard akut pada tahun 1954. Namun, penggunaan
SGOT untuk diagnosis seperti sekarang berlebihan dan telah digantikan oleh
troponin jantung (Gaze, 2007).
Tingkat SGOT juga dapat meningkat setelah terjadi luka bakar, prosedur
jantung, dan operasi. Namun perlu diperhatikan juga bahwa nilai SGOT dapat
meningkat selama kehamilan dan setelah latihan (Dugdale, 2013). Obat-obat
yang dapat meningkatkan nilai SGOT adalah antibiotik, narkotik, vitamin (asam
folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa [Aldoment], guanetidin),
teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam (Dalmane), indometasin (Indocin),
isoniazid (INH), rifampisin, kontrasepsi oral, salisilat, injeksi intramuskular (IM).
Di antara enzim SGOT dan SGPT, enzim SGPT dianggap lebih spesifik
untuk kerusakan hati karena hadir terutama dalam sitosol hati dan dalam
konsentrasi rendah di tempat lain. Meskipun tingkat SGOT dan SGPT bisa
sangat tinggi (melebihi 2.000 U/l dalam kasus cedera dan nekrosis hepatosit
yang berhubungan dengan obat-obatan, racun, iskemia, dan hepatitis),
ketinggian kurang dari lima kali batas atas normal (sekitar 250 U/l ke bawah) jauh
lebih umum terjadi. Pasien dengan nilai SGOT dan SGPT yang normal dapat
mempunyai arti bahwa terdapat penyakit hati yang signifikan dalam pengaturan
cedera hepatosit kronis (misalnya, sirosis, hepatitis C). Konsentrasi SGOT yang
rendah terdapat dalam darah, kecuali jika terjadi cedera selular, kemudian dalam
jumlah yang banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada penyakit hati, kadar
SGOT dalam serum akan meningkat sepuluh kali atau lebih dan tetap demikian
dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan penyakit hati alkoholik
mempunyai tingkat-tingkat enzim yang tidak setinggi tingkat-tingkat yang dicapai
dengan virus hepatitis akut dan SGOT cenderung berada di atas SGPT. Pada
penyakit hati alkoholik, SGOT biasanya berada dibawah 300 U/l, dimana SGPT
biasanya di bawah 100 U/l (Kee, 2007).
9
Bila otot jantung menderita kerusakan oleh iskemia, SGOT dalam serum
akan meningkat setelah 6-8 jam, puncak kadar dicapai antara 24-48 jam,
sedangkan pemulihan kepada kadar normal terjadi antara 72-96 jam.
Peningkatan SGOT tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya indikator enzimatik
untuk adanya infark miokard karena SGOT meningkat juga pada kondisi-kondisi
lain yang perlu ikut dipertimbangkan dalam diagnosis banding serangan jantung.
Enzim SGPT digunakan untuk membedakan antara penyebab kerusakan
hati atau ikterik hemolitik. Pada ikterik, kadar SGPT yang berasal dari hati
nilainya lebih dari 300 U/l, sedangkan yang bukan berasal dari hati kadar SGPT
kurang dari 300 U/l. Kadar SGPT serum biasanya meningkat sebelum tampak
ikterik (Kee, 2007).
Kadar Albumin (protein yang dibuat di hati) dan protein total menunjukkan
baiknya kemampuan hati memproduksi protein untuk kebutuhan tubuh
memerangi infeksi dan menjaga fungsi lainnya. Berkurangnya kadar dari nilai
normal mengindikasikan adanya kerusakan atau penyakit hati.
4. Bilirubin
11
3. Prothrombin Time (PT)
Nilai tersebut berlaku untuk pria dewasa. Sedangkan untuk wanita dan anak-
anak, akan terdapat sedikit perbedaan. Nilai normal diatas juga dapat berbeda antara
laboratorium satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan metode
pemeriksaan yang dipakai. Beberapa obat-obatan ataupun makanan tertentu juga dapat
mempengaruhi hasil tes.
Kerusakan hati akut Normal atau Biasanya sangat Normal atau hanya Normal Biasanya
(infeksi, racun, meningkat biasanya meningkat; ALT meningkat sedikit normal
obat) setelah peningkatan umumnya lebih tinggi
ALT & AST daripada AST
Penyakit hati kronis Normal atau Sedikit meningkat Normal atau sedikit Normal Normal
meningkat meningkat
Hepatitis alkoholik Normal atau AST biasanya dua Normal atau Normal Normal
meningkat kali kadar ALT lumayan
meningkat
12
Sirosis Bisa jadi meningkat AST biasanya lebih Normal atau Biasanya Biasanya
tapi hanya pada tinggi dari ALT, meningkat menurun memanjang
kondisi yang sudah namun kadarnya
berlanjut biasanya lebih
rendah daripada
penyakit alkoholik
Obstruksi duktus Normal atau Normal hingga Meningkat, sering Biasanya Biasanya
biliaris, kolestasis meningkat; lumayan meningkat lebih tinggi 4 kali normal, normal
meningkat pada dari nilai normal namun jika
obstruksi penuh berlangsung
kronis, kadar
dapat
menurun
Kanker yang sudah Biasanya normal Normal atau sedikit Biasanya sangat Normal Normal
menyebar ke hati meningkat meningkat
(metastases)
Kanker yang asli Mungkin meningkat, AST lebih tinggi dari Normal atau Biasanya Biasanya
berasal dari hati umumnya jika ALT, namun kadar meningkat menurun memanjang
(hepatoselular penyakit progresif lebih rendah
karsinoma) daripada penyakit
alkoholik
Autoimmune Normal atau Lumayan meningkat Normal atau sedikit Normal atau Normal
meningkat meningkat menurun
13
GGT Penanda kolestasis biliar, alkoholisme
Albumin Menilai beratnya penyakit dan kronis
Masa protrombin Menilai beratnya penyakit dan beratnya Kolestasis
y-globulin Diagnosis hepatitis kronis dan sirosis hati, pemantauan
Gambar 1. Penerapan uji fungsi hati untuk diagnosis penyakit hati dibantu oleh
diagnostik pencitraan.
15
Pada peradangan dan kerusakan hepatoselular awal terjadi kebocoran membran
sel sehingga isi sitoplasma keluar. Di dalam darah didapatkan peningkatan aktivitas
ALT lebih banyak daripada AST, dinyatakan dengan rasio DeRitis yaitu rasio AST/ALT
< 0.7; tetapi bila proses terus berlangsung dan terjadi kerusakan mitokondria maka
aktivitas AST akan melebihi ALT (rasio AST/ALT > 0.7). Bila rasio AST/ALT > 2
menunjukkan penyakit hati berat terutama kematian / nekrosis sel hati. Rasio GGT /
(AST+ALT) dapat menunjukkan apakah kelainan kolestatik atau hepatoselular yang
lebih banyak. Sedangkan rasio LDH / AST dipakai untuk membedakan penyakit hati
dari hemolisis, dimana rasio > 5 menunjukkan hemolisis. Pada infiltrasi hati oleh
keganasan primer atau sekunder, amiloidosis, terdapat peningkatan aktivitas ALP tanpa
ikterus (hiper-bilirubinemia). Pada fibrosis hati maka penanda procollagen (III / IV) dapat
diminta. (Dufour DR, 2005; Dufour DR,2006; Pncus MR, 2007; Fauci AS, 2008)
Tanda Ikterus akibat peningkatan kadar bilirubin dapat disebabkan oleh
kolestasis, hepatoselular atau infiltrasi. Pada tabel 2 dijelaskan perubahan hasil
pemeriksaan UFH dan pada gambar 4 diberikan bagan alir (flowchart).
3. Kolestasis : gangguan aliran empedu, baik intra dan atau ekstra hepatik,
dengan atau tanpa adanya penyumbatan. Dapat dibedakan berdasarkan
17
morfologi dengan adanya deposit bilirubin di hepatosit dan saluran empedu,
klinis dengan retensi dalam darah dari zat-zat yang secara normal diekskresikan
dalam empedu, fungsional dengan gangguan aliran empedu disebabkan
gangguan pompa empedu atau saluran. Kolestasis yang lama akan
menyebabkan sirosis biliaris. Temuan laboratorium, pada tahap kolestasis lokal
intra hepatik didapatkan peningkatan aktivitas ALP dan GGT sedangkan kadar
bilirubin normal. Pada kolestasis yang lebih lama dan luas mungkin didapatkan
peningkatan kadar bilirubin, peningkatan aktivitas ALP dan GGT, pemanjangan
masa Protrombin, dan tinja akolik dan steatorea.
4. Hepatitis akut : suatu penyakit peradangan akut yang mengenai jaringan hati.
Perlu dipahami bahwa etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh banyak faktor
penyebab. Penyebab utama yang tersering adalah kelompok virus hepatitis (VH)
yaitu VH jenis A, B, C, D, E, G, TT, dll. Penyebab lain bermacam-macam, antara
lain virus lain seperti sitomegalovirus (CMV), Epstein-Barr (EB), HerpesVaricella,
lalu bakteri Salmonela, beberapa jenis parasit, juga bahan toksik seperti obat-
obatan, alkohol dan toksin, serta karena beberapa jenis otoantibodi (pada
hepatitis otoimun). Karena itu mungkin dijumpai gambaran klinis hepatitis akut
tetapi tidak dijumpai adanya penanda virus hepatitis.
Pada penyebab kelompok VH juga ada perbedaan antara satu jenis virus
dengan yang lainnya. Modus penularan dapat melalui makanan-minuman yang
tercemar (fecaloral/water-borne) yaitu pada VHA dan VHE, melalui cairan tubuh
misalnya melalui alat suntik yang tercemar, transfusi darah, kontak seksual,
perinatal yaitu pada VHB, pada VHC seperti VHB tetapi melalui cara perinatal
masih diragukan. Perjalanan penyakit yang klasik melalui beberapa fase yaitu
masa inkubasi, gejala prodromal, ikterus klinis, dan pemulihan (convalescent).
Selain bentuk yang klasik dengan ikterus, ada variasi bentuk lain yaitu bentuk
kolestatik dan ada juga yang tanpa ikterus (non icteric). Perjalanan penyakit
dapat akut, fulminant, dan kronis. Yang kronis dapat berat seperti sirosis hati dan
hepatoma tetapi dapat pula subklinis dan tidak aktif. Dahulu ada keadaan yang
disebut pembawa virus ( “healthy” carrier) tetapi sekarang dianjurkan disebut
sebagai bentuk tidak aktif.
Temuan laboratorium pada tipe klasik ditandai oleh peningkatan aktivitas
transaminase dimana ALT>AST yang dimulai pada fase prodromal dan
18
mencapai puncaknya pada saat munculnya ikterus, disertai peningkatan aktivitas
ALP dan GGT; bilirubinuria dan tinja akolik sebelum munculnya ikterus, diikuti
oleh peningkatan kadar bilirubin darah (hiperbilirubinemia) dan dapat dideteksi
bilirubin dalam urin (bilirubinuria). Kadar urobilinogen bervariasi, meningkat pada
akhir fase prodromal, lalu menurun pada puncak ikterus dan kemudian
meningkat lagi pada masa pemulihan. Ada bentuk klinis lain. Pada bentuk ganas
(fulminant) aktivitas ALT dan AST meningkat amat tinggi sampai ribuan U/L
secara cepat dalam beberapa hari dan masa protrombin memanjang lalu AST
dan ALT menurun lagi dalam beberapa hari disertai dengan keadaan klinis berat.
Bentuk kolestatik ditandai oleh peningkatan nyata ALP, GGT dan kadar bilirubin.
Pada bentuk tidak ikterus ditandai oleh kadar bilirubin normal, Penanda virus
hepatitis dapat diperiksa dengan kemungkinan hasil yang bervariasi tergantung
jenis, fase, dan faktor-faktor lainnya. (lihat artikel tentang Penanda virus
hepatitis).
7. Hepatoma atau karsinoma hati primer : merupakan suatu proses desak ruang
(space occupying lesion). Faktor penyebab yang utama adalah VHB dan VHC,
dan juga aflatoxin. Sering didapatkan sebagai lanjutan sirosis hati. Temuan
laboratorium ditunjukkan dengan terutama peningkatan enzim kolestatik ALP dan
GGT disertai peningkatan ringan enzim hepatoselular transaminase ALT dan
AST, pemanjangan masa protrombin, peningkatan g-globulin, peningkatan
alfafetoprotein (AFP) yang progresif sampai lebih dari 2000 ng/mL, mungkin juga
peningkatan CEA (tidak spesifik), ferritin, dan vitamin B12.
8. Gagal hati : keadaan dimana fungsi hati mengalami gangguan berat berupa
kegagalan. Pasien jatuh dalam koma, koma hepatik. Temuan laboratorium
berupa hiperbilirubinemia, bilirubinuria, peningkatan kadar urobilinogen,
peningkatan kadar amoniak, penurunan kadar albumin, pemanjangan masa
protrombin, peningkatan kadar asam amino aromatik, dan penurunan asam
amino rantai cabang (branched chain amino acids).
20
10. Batu kandung empedu : keadaan dijumpai terbentuknya batu dalam kandung
empedu, biasanya banyak (multiple). Batu kandung empedu dapat berupa batu
pigmen berwarna coklat mengandung kalsium, berukuran kecil dan keras dan
dikaitkan dengan hemolisis kronis. Dapat pula berupa batu kolesterol yang
berwarna putih atau kekuningan atau batu campuran. Faktor-faktor yang
berperan adalah susunan empedu, adanya stasis dan infeksi. Adanya batu dapat
disertai keadaan klinis tenang (silent) tanpa suatu keluhan, tetapi ada
kemungkinan timbul kolestitis akut atau kronis. Bila batu keluar dari kandung
empedu dan masuk ke duktus koledokus, dapat terjadi sumbatan (obstruksi)
dengan ikterus. Sumbatan kronis dapat memicu timbulnya karsinoma saluran
empedu (cholangiocarcinoma). Temuan laboratorium sesuai dengan bentuk
klinisnya.
VIII. Hepatitis C
a. Pengertian Hepatitis C
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang dapat menginfeksi manusia
umunnya dan ditularkan melaui darah. Untuk mengetahui seseorang mengidap
hepatitis C dilakukan pemeriksaan anti-HCV dan deteksi protein virus RNA HCV. Infeksi
dengan virus hepatitis C (VHC) dapat asimptomatik yaitu tanpa gejala hepatitis atau
dapat berupa hepatitis akut, kronik, sirosis bahkan menjadi kanker hati. dengan adanya
pemeriksaan anti HCV dalam donor darah menyebabkan angka kejadian infeksi
hepatitis C berkurang.
b. Diagnosis Hepatitis C
Diagnosis yang dilakukan pada penyakit hepatitis C adalah :
1. Tes antibodi pada penyakit hepatitis C yang menunjukkan bahwa orang tadi
sudah terpapar pada virus penyakit hepatitis sebelumnya, namun hal ini tidak
menunjukkan apakah virus ini masih bersembunyi di dalam darah, selain itu juga
bayi yang dilahirkan dari wanita yang sudah pernah mengalami infeksi penyakit
hepatitis C akan mempunyai antibodi yang berasal dari ibunya pada kurang lebih
selama 1 tahun pertama dihidupnya, namun hal ini tidak berarto bahwa bayi
tersebut sudah mengalami infeksi.
21
2. Tes asam nukleik misalnya adalah jenis PCR yang akan menunjukkan bahwa
virus ini masih ada di dalam darah.
3. Melakukan tes jumlah virus hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjukan
jumlah banyak virus yang ada di dalam darah.
4. Tes genotipe yang dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa jenis
virus mana yang ada di dalam darah dan hal ini akan membantu untuk membuat
suatu perencanaan dalam perawatan.
5. Tes fungsi hati yang betujuan untuk menunjukkan suatu kemungkinan dari
terjadinya kerusakan pada penyakit hati.
6. Biopsi hati, pemeriksaan dan diagnosis yang dilakukan adalh sedikit hati diambil
kemudian diperiksa dengan menggunakan mikroskop dan akan menunjukkan
suatu jenis dan keparahan dari rusaknya hati serta membantu merencanakan
perawatan yang tepat.
c. Penyebab Hepatitis C
Penyakit hepatitis C merupakan peradangan pada organ liver (hati) yang
disebabkan oleh penyebaran virus hepatitis C. Virus hepatitis C yang masuk ke organ
hati melalui aliran darah ini kemudian akan merusak sistem kerja organ hati (liver) dan
menginfeksi jaringan sel-sel di sekitar organ hati.
23
d. Gejala Hepatitis C
Gejala umum yang terlihat dari penderita penyakit hepatitis C adalah kelelahan
kronis. Namun untuk mengenali gejala-gejala penyakit hepatitis C yang mungkin terjadi
meski terlihat samar :
Rasa lelah kronis
Nafsu makan yang semakin menurun dan kemudian hilang
Penderita mengalami sakit perut
Perubahan warna urine (air kemih) yang menjadi gelap
Kulit tubuh dan mata menjadi kuning (jaundice) meski jarnag terjadi
Hasil laboratorium yang menyolok adalah peningian SGOT dan SGPT yang
terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 mingu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara
hepatis akut A dan hepatis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 mingu setelah
terkena infeksi.
e. Penularan Hepatitis C
Adapun cara penularan hepatitis C sebagai berikut :
1. Parenteral
Umumnya terjadi melalui transfusi darah, suntikan atau produk darah yang
belum diskrining. Risiko tinggi pada pasien cuci darah, hemofilia, talasemia, dan
orang yang mendapat suntikan melalui intravena.
2. Kontak dengan penderita
Penularan hepatitis C dari orang ke orang belum jelas, mungkin terjadi melalui
penggunaan bersama alat cukur atau sikat iggi dalam keluarga.
3. Transmisi seksual
Kontak seksual dengan banyak pasangan atau dengan penderita hepatitis.
4. Kongenital/Neonatal
Ibu yang tersernag hepaitis menularkan virus hepatitis C pada bayinya, tetapi
angka kejadiannya juga kecil.
5. Transmisi non parenteral
Kasus hepatitis sporadik menunjukkan bahwa hepatitis C dapat ditularkan melalu
cara non parenteral.
Terjadinya bentuk penularan penyakit hepatitis C bisa dimulai dari kontak darah
yang terjadi antara orang yang mengalami infeksi dengan orang yang kemungkinan
24
beresiko mengalami infeksi. Karena penyakit hepatitis C merupakan salah satu jenis
virus yang sangat kecil, dan sejumlah darah yang sangat kecil serta tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang. Penyakit hepatitis C bisa ditularkan lewat jarum suntik yang
dipakai dan akan menular setelah kurang lebih tiga minggu. Virus ini bisa saja tahan di
dalam darah yang membeku selama kurang lebih sampai empat hari.
f. Obat Hepatitis C
Ada 3 Senyawa digunakan dalam pengobatan penyakit Hepatitis C adalah:
- Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk
meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel
lainnya. Obat yang direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah
dari inteferon alfa bisa dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum pemberian terapi Interferon :
1. Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit, HCV RNA [+],
genotip virus, biopsi.
2. Ada / tidaknya manifestasi ekstra hepatic.
3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi diatas normal.
4. Tidak ada dekompensasi hati.
5. Pemeriksan laboratorium:
a. Granulosit > 300/ cmm
b. Hb > 12 g/dl
c. Trombosit > 500/ cmm.
d. Bilrubin total < 2 mg/ dl
e. Protrombin time < 3 menit.
25
- Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan
Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada
inteferon alfa sendiri.
26
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
27
DAFTAR PUSTAKA
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/MACAM%20%20
PENYAKIT%20HEPAR%20DAN%20PEMERIKSAANNYA.pdf
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/43/pdf
http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/49971/a8dd5dbab4034b46ffa68f904
aa68530
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=73708&val=4695
http://penyakithepatitisc.com/
http://imrannito.blogspot.co.id/2008/01/hepatitis-virus-c.html
https://m.facebook.com/notes/infomedilink/hati-tes-fungsi-hati-langkah-awal-
menentukan-kesehatan-hati/175686025815679/
http://www.spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1046&menu=tesmenu
http://catatan.legawa.com/2010/11/tes-fungsi-hati/
http://radiascakep86.blogspot.co.id/2014/05/pemeriksaan-fungsi-hati-atau-
liver.html
http://www.abclab.co.id/?p=358
https://id.wikipedia.org/wiki/Hati
http://penyakithati.org/
Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seeff LB. Laboratory
Medicine Practice Guidelines. Laboratory guidelines for screening, diagnosis and
monitoring hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry. 2000.
Dufour DR. Assessment of liver fibrosis: Can serum become the sample of
choice? Clinical Chemistry 2005; 51/10: 1763-4.
Dufour DR. Liver disease. Dalam: Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE (eds). Tietz
Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostocs. 4th ed, St Louis:
Elsevier Saunders, 2006 p 1777-827
Fauci AS, Kasper DL Longo DS, Braunwald E, Hauser SL, JL Jameson,
Loscalzo J (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. e-Book New
York: McGraw-Hill 2008 Chapter 296-296.
Lee WM. Drug-Induced hepatotoxicity. N Engl J Med 2003;349:474-85.
28
Pincus MR, Tierno P, Dufour DR. Evaluation of liver function. Dalam: McPherson
RA, Pincus MR. (eds). Henry’s Clinical Diagnosis and Management by
Laboratory Methods. 21th ed, Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007 p 263-76.
Plomteux G. Multivariate analysis of an enzymic profile for the differential
diagnosis of viral hepatitis. Clin. Chem 1980;. 26/13: 1897-99.
Pratt DS, Kaplan MM. Evaluation of abnormal liver-enzyme results in
asymptomatic patients. N Engl J Med.
Sherlock S, Dooley J. Diseases of the Liver and Biliary System. 11th ed. Oxford:
Blackwell Science Ltd. 2002 p 1-35.
Walach J. Interpretation of Diagnostic Tests. 8th ed. Philadelphia:Lippincott
Williams &Wilkins, 2007 p 220-47.
Winkel P, Ramsoe K, Lyngbye J, Tygstrup N. Diagnostic value of routine liver
tests. Clin. Chem 1975; 21/1,:71-5.
Batt AM, Ferrari L. Manifestations of Chemically Induced Liver Damage. Clin.
Chem 1995; 41/12: 1882-7.
29
30