Anda di halaman 1dari 7

MUH.

DWI KURNIAWAN

Aku di lahirkan ke dunia. Tepatnya tanggal 12 April 2002. Kamis malam


Jum'at kalau tidak salah. Tentu setelah 9 bulan mendekam di rahim Ibuku, Putriani
.Aku adalah buah percintaannya dengan Bapakku, Herman. Aku yakin kebahagiaan
mereka tak terbendung. Syukur kepada Tuhan tak henti-hentinya. Bayi yang
ditunggu tungu hadir ke dunia ini dengan selamat

Tentu harapan demi harapan disematkan seiring lantunan Azan yang barangkali di
lantunkan di telingaku. Aku lahir dalam keluarga muslim. Inilah yang esok lusa
memaksaku untuk menyandang predikat muslim dengan pengakuan beragama
Islam.

Di lahirkan di sebuah Desa berjarak 7 kilo meter dari pusat Kota Kabupaten BONE.
Tepatnya di Desa Cellu, Kecamatan Tanete Riattang Timur. Kecamatan paling
pojok, sisi , berbatasan dengan Provinsi Sulawasi Tenggara.

Aku terlahir dengan tak tahu menahu tentang dunia. Aku kosong momplong. Aku
nol. Aku bayi suci tak berdosa. Esok lusa ia akan mengumpulkan dosa demi dosa,
seiring otaknya bertumbuh.

Setahun aku bertumbuh. Barangkali aku sudah diperkenalkan dengan berbagai


makanan bayi. Mungkin mulai dari nasi, bubur, biskuit, pisang dan makanan bayi
lainnya, selain ASI. Tentu sudah merepotkan banyak orang. Terkhusus Ibu dan
Bapak. Serta dibantu kakek, nenek, bibi dan tetangga sekitar. Mulai dari mengganti
popok, memandikan, pipis atau natur, menyuapi makan, menggendong, menina-
bobokan dan hal-hal lainnya, sebagaimana perlakuan terhadap bayi pada umumnya.

Di momen ini tubuh kecilku diabadikan dalam sebuah foto. Sampai hari ini terpasang
di dinding rumah. Diriku kecil bisa dibilang menggemaskan. Kulitku putih dan
badanku gempal, padat, berisi. Dalam foto berfigura itu, aku nampak di dudukkan di
atas ranjang. Di topang dengan tumpukan bantal di belakang punggungku.
Sepertinya aku belum bisa duduk sendiri tanpa penopang.
Di belakangnya, tampak sebagai background adalah tembok dari anyaman bambu
(gedek). Sepertinya itu di kamar rumahku, yang pada zaman itu masih bertembok
gedek.

Nampaknya aku kecil tumbuh dengan sehat. Dengan asupan gizi yang memadai,
meski di desa. Tubuh kecilku di foto nampak segar dan cukup berisi. Tidak gemuk,
pun juga tidak kurus.

Ini periode penting bagi pertumbuhan tubuh dan otak masa kecil. Di sekeliling rumah
semua adalah saudara. Selayaknya masyarakat di desa, tetangga adalah saudara
dekatnya sendiri. Sepertinya banyak saudara yang turut menjaga dan menemani
hari-hariku bertumbuh.

Usia empat tahun, aku tumbuh dan berkembang bersama anak-anak tetangga
lainnya. Tentu aku sudah bisa main sendiri, main ke rumah tetangga, dan bermain
apa saja.Sering pula main pasar-pasaran di bawah pohon mangga di belakang
rumah yang sangat rindang. Pohonnya besar, batangnya mungkin tiga depa orang
dewasa. Tingginya tiga puluhan meter. Pohon ini milik Kakekku, Beddu rahim. .

Selalu berbuah lebat pada musimnya. Ngeri kalau lihat tukang cancang durian yang
naik hingga atas, berpindah dari satu cabang ke cabang yang lain. Besar cabangnya
bisa seukuran pohon siap tebang. Menjulur dan merekah jauh dari batang
utamanya.

Kami suka main apa saja di bawahnya, karena memang sangat teduh sekali. Akar-
akarnya pun membentuk bilik-bilik layaknya pasar. Bunga durian yang berguguran
kami jadikan bahan maianan apa saja. Bahkan madu di dalamnya sering kami hisab.
Tak hanya tawon yang menyukainya.

Di bawah pohon durian ini juga berdiri rumah Beni. Adik pertama dari Ibuku. Atapnya
masih dari rumbia. Lebih kecil dari pada rumahku. Sekitar separonya. Bertembok
gedek juga. Dan masih amat sederhana. Bahkan bagian bawahnya banyak yang
bolong-bolong.
Teman-teman seumuran, yang suka bermain bersama diantaranya: Reski, Andi
Fitra, Irfan, Awal, Fahrul dan kawan kawan. Masa ini, masa kecil yang seru. Dunia
sepertinya hanya untuk bermain dan bermain.

Di tahun ini usiaku lima tahun. Aku masuk Taman Kanak-kanak (TK) Andika Nur.
Bangunannya menempel dengan sekolah dasar. Satu-satunya sekolah di desaku.

Di sekolah aku termasuk murid yang pemalu, pendiam, tak banyak bicara. Namun
kesukaanku dalam menggambar dan mewarnai, membuatku diajukan lomba
mewarnai tingkat kecamatan dan ternyata bisa menang juara 1. Aku juga tak
menyangka.

Aku memang sering ngeblat gambar apa saja, kemudian ku tebali dan ku warnai. Ibu
sering memujiku, kalau hasil gambarku bagus. Pernah menggambar seorang petani
yang bawa kentongan.

Ini menjadi prestasi pertamaku. Namun di kelas aku tetap jadi murid yang pendiam.
Aku masih pemalu sekali. Tidak seperti teman-teman yang lain, yang cepat akrab
dan energik, lari sana sini.Meskipun begitu, namun aku tak lagi ditungguin orang tua.
Karena memang ada teman yang tidak mau sekolah kalau tidak ditungguin orang
tuanya.

Di depan TK ada permaianan perosotan. Ini menjadi mainan favorit yang dibuat
rebutan waktu jam istirahat. Begitu juga mainan halang rintang dari ban mobil. Bisa
dilompati, bisa juga di masuki sambil merangkak.

Setahun belajar di TK, aku naik ke SD dengan nilai yang cukup bagus. Ada pula
teman yang tidak bisa naik ke SD. Masuk SD menyenangkan. Sebab seragamnya
berganti merah putih dan bisa ikut upacara bendera. Tentu ini lebih keren.

Uang saku masih 1000 rupiah. Kadang malah 500 rupiah. Lalu 1000 rupiah masih
bisa dapat 4 jenis jajan atau snack. Meski banyak teman yang uang sakunya 2000
hingga 5000 rupiah. Setiap pagi aku dibuatkan sarapan Ibu, makan di rumah, jadi
bisa ngirit.
Guru kelas satu bernama Bu Kasmawati. Beliau guru yang sangat sabar.
mengajarkan membaca dan berhitung. Beliau termasuk orang paling berjasa dalam
hidupku. Yang mengajarkan cara membaca dan berhitung, gerbang bagi semua ilmu
pengetahuan.

Beliau juga berjualan es cemut (es lilin) beraneka rasa dan warna. Di wadahi termos
es warna biru, di letakkan di teras depan kelas. Beli tinggal ambil, uang ditaruh situ.
Dan selalu laris manis. Jaman itu memang lagi ngetrand es cemut. Kesukaan semua
murid.

Di usia ini pula lahir adik perempuanku, Susi. Itu artinya aku sudah menjadi kakak.
Dengan tugas dan tanggung-jawab baru, yakni menjaga adik. Tak lagi bisa leluasa
main seperti sebelumnya. Kini harus banyak di rumah, momong adik. Memiliki adik
kecil bagiku menyenangkan. Memiliki hiburan baru.

Di periode ini pula, aku sempat ikut ke Kalimantan atau ke Bontang dan Samarinda
lebih tepatnya. Daeng Sunding, anak ketiga hajah Munah (nenekku). Aku ke sana
bersama Bapak dan beberapa keluarga dari Bapak. Ibu tidak ikut karena adik masih
kecil banget.

Aku kembali ke kontrakan yang beberapa tahun lalu ku tinggali. Aku sedikit banyak
sudah bisa mengingat kontrakan dan beberapa tempat disana.Sunantan
berlangsung meriah, dengan mendatangkan orkes dangdut. Aku sempat menangis
kala itu, karena ingin menonton di depan tapi tidak boleh.

Di ajak oleh Bapak menelusuri tempat kerjanya dulu. Kami melewati pinggir sungai
berwarna hijau, berbeda dengan sungai di kampung. Airnya tidak mengalir deras. Di
pinggirnya tumbuh ilalang tinggi. Itu adalah tanah pabrik yang dibiarkan terbuka.
Sebagian digarap warga dan dijadikan tempat beternak.
Tempat favorit adalah loteng lantai dua . Dari situ bisa melihat atap-atap rumah dan
bangunan-bangunan jauh. Termasuk bisa melihat pesawat yang lewat. Itu moment
langka, bisa melihat pesawat dengan ukuran lebih besar. Kalau di kampung, lihat
pesawat hanya seperti titik kecil di langit dengan ekor putih panjang. Kami
menyebutnya roket.

Moment spesial juga ketika melewati Ibu Kota Samarinda, Ibu kota Kalimantan
Timur. Terpesona melihat gedung-gedung tinggi pecakar langit. Termasuk melewati
jalan layang yang berkelak-kelok dan bertumpuk-tumpuk di antara gedung-gedung.
Di atas jalan masih ada jalan. Di bawah jalan masih ada jalan. Benar-benar
mengagumkan.

Setelah lulus dari SD, aku melanjutkan sekolahnya di SMP ISLAM ATHIRAH BONE.
Saat itu semua peserta didik baru di wajibkan untuk mengikuti MOS. MOS
berlangsung selama 3 hari, sebelumnya dilaksanakan pra-MOS pada hari Sabtu. Saat
pra-MOS peserta di beritahu dimana letak kelas mereka. Pada lembar pengumuman
yang di pasang di depan ruang administrasi tertera bahwa penulis termasuk ke dalam
kelas Ar Rasyid. Teman-teman saya juga tak kalah sibuk mencari nama mereka. Saat
pra-MOS masing-masing kelas mendapat 3 orang korlas (koordinator kelas) yang
terdiri dari anak OSIS dan MPK.

Pra-MOS adalah dimana aku menemukan teman baru yang sebelumnya belum
pernah ia jumpai. Ada juga beberapa teman SD penulis yang sekelas dengannya. Aku
memutuskan untuk duduk dengan SUPRIADI, salah satu rivalnya pada saat olimpiade
sains bidang matematika. Masing-masing kelas di beri nama kelompok, ada 9 kelas,
dan nama kelompoknya terdiri dari nama wali songo. Selain itu setiap kelompok
juga memiliki yelyel masing-masing.

Rasanya menyenangkan saat setiap murid harus memperkenalkan diri satu persatu
di depan kelas. Menyebutkan nama, alamat, tanggal lahir, asal sekolah, prestasi yang
pernah di raih, bahkan nmor telepon. Saat pra-MOS siswa di beri tahu perlengkapan
apa saja yang harus mereka gunakan. Bukan hanya itu, panitia juga memberi
beberapa teka teki makanan. Awalnya peserta segan satu sama lain, tapi saat ada
permainan kelompok kebersamaannya mulai terjalin.
Saat MOS peserta diharuskan memakai tas yang terbuat dari sarung yang di ikatkan
pada sebilah kayu ataupun bambu. Untuk perempuan rambutnya harus di kepang
sesuai tahun lahir, sedangkan laki-laki harus memakai topi dari sebuah bola plastik
yang telah di belah dua. Bukan hanya itu, tali sepatu juga terbuat dari tali rapia warna-
warni yang harus dililitkan sampai ujung betis. Kaos kakinya juga putih di kanan dan
hitam untuk kiri dengan tinggi yang berbeda. Hari terakhir MOS lebih parah, saat
senam pagi peserta di haruskan memakai rompi yang terbuat dari koran, dan rok dari
tali rapia.

Saat kelas 7 penulis mulai dekat dengan teman-teman barunya. Mereka


mengakrabkan diri saat MOS, satu sama lain berbaur. Penulis sering beramain saat
pulang sekolah ke rumah temannya, mengerjakan tugas bersama. Banyak hal yang
menyenangkan, saat itu penulis di tugaskan membuat sebuah pada pelajaran seni
budaya. Bukan hanya itu, penulis juga harus melukis, membuat kelompok musik serta
hal yang berbau seni lainnya. Penulis sering mendapat peringkat 1 di kelasnya. Dari
SD dia berturut-turut mendapat juara kelas, hal itu berlanjut sampai dia SMP.

Tak terjadi perubahan kelas pada kelas 8, penulis masih duduk di kelas 8A dengan
orang-orang yang sama. Di pertengahan kelas 8 penulis di tunjuk oleh guru seninya
untuk menjadi salah seorang peserta Olimpiade Sains tingkat provinsi. Latihan intensif
di laksanakan di rumah guru fisikaku. Terkadang saya sering dispen dari kelas demi
mendapat hasil yang maksimal untuk penampilan nanti. Lombanya di laksanakan di
Makassar, selama satu minggu penulis serta teman-temannya berada di Makassar.
Banyak pengalaman yang di dapat penulis, dia mengenal banyak orang dari berbagai
daerah di provinsi Sulawesi Selatan Walaupun penulis tidak menjadi juara umum, tapi
kami berhasil mendapat juara satu di salah satu cabang lomba. Itu bukan hasil yang
sia-sia mengingat kerja keras untuk latihan yang tak jarang di laksanakan sampai
malam.
Kelas 9 bukan saatnya masa untuk bersantai, penulis harus belajar giat untuk
menghadapi ujian nasional dan tes masuk SMA yang di inginkan. saya mengikuti
bimbingan belajar, les di sekolah, bahkan les privat saat akhir pekan. Ujian nasional
telah dilaksanakan, hasilnya beberapa bulan setelah di gelar. Saat menunggu
hasilnya murid hanya menganggur tanpa kegiatan, paling hanya berdiam diri di rumah.
saya sebenarnya ingin melanjutkan sekolah di SMA terfavorit di kotaku, tapi keadaan
berkata lain.

Saya mengikuti anjuran dari kepala sekolahku di bone untuk mengikuti jejak
KANG YAYAT untuk mencicipi perbedaan atmosfer bersekolah di luar pulau. Kami
mengikuti tes di SMAN 20 Bandung. Sebenarnya berat bagi saya untuk jauh dari
ibunya, tapi ini harus ia coba. Penulis mengikuti pendaftaran melalui internet, ya
sekarang jaman memang suah canggih. Ia melaksanakan tes tertulis serta speaking
tes, saat itu penulis sangat ragu, tak ada seorang pun yang ia kenal. Setelah
melaksanakan tes, alhamdulillah penulis lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai