Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN ETIOLOGI BATU / SUMBATAN


GINJAL YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI INSTALASI
HEMODIALISA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

disusun guna menyelesaikan tugas Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Medikal

Oleh:
Sri Ariani, S.Kep
NIM 182311101141

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Resume berikut dibuat oleh:

Nama : Sri Ariani, S.Kep


NIM : 182311101141
Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Klien Gagal Ginjal
Kronik Dengan Etiologi Batu / Sumbatan Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis Di
Instalasi Hemodialisa Rsd Dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, April 2019


Mengetahui,

Tim Pembimbing

Pembimbing Klinik, Pembimbing Akademik,

_________________________ _________________________
NIP. NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP TEORI GAGAL GINJAL KRONIK
1. Review anatomi fisilogi
a. Anatomi Ginjal
Anatomi Ginjal Ginjal merupakan organ berwarna coklat kemerahan
seperti kacang merah yang terletak tinggi pada dinding posterior abdomen,
berjumlah sebanyak dua buah dimana masing-masing terletak dikanan dan kiri
columna vertebralis (Snell, 2006). Kedua ginjal terletak di retroperitoneal
pada dinding abdomen, masing-masing disisi kanan dan kiri columna
vertebralis setinggi vertebra torakal 12 sampai vertebra lumbal tiga. Ginjal
kanan terletak sedikit lebih rendah dari pada ginjal kiri karena besarnya lobus
hati kanan (Moore & Anne, 2012).
Struktur luar ginjal dilapisi oleh kapsul fibrosa yang keras dan berfungsi
untuk melindungi bagian dalam ginjal yang rapuh (Guyton & Hall, 2008).
Pada tepi medial masing-masing ginjal yang cekung terdapat celah vertikal
yang dikenal sebagai hilum renale yaitu tempat arteri renalis masuk dan vena
renalis serta pelvis renalis keluar (Moore & Anne, 2012).
Ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat
digambarkan yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian dalam (Guyton
& Hall, 2008). Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron yang
merupakan satuan fungsional ginjal, nefron terdiri atas korpuskulum renal,
tubulus kontortus proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal
(Junqueira & Carneriro, 2007).
Gambar 1. Anatomi ginjal manusia
Setiap korpuskulum renal terdiri atas seberkas kapiler berupa glomelurus
yang dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula
bowman. Lapisan viseralis atau lapisan dalam kapsula ini meliputi
glomerulus, sedangkan lapisan luar yang membentuk batas korpuskulum renal
disebut lapisan parietal. Di antara kedua lapisan kapsula bowman terdapat
ruang urinarius yang menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler
dan lapisan viseral (Junqueira & Carneriro, 2007).
Tubulus renal yang berawal pada korpuskulum renal adalah tubulus
kontortus proksimal, tubulus ini terletak pada korteks yang kemudian turun ke
dalam medula dan menjadi ansa henle. Ansa henle terdiri atas beberapa
segmen, antara lain segmen desenden tebal tubulus kontortus proksimal,
segmen asenden dan desenden tipis, dan segmen tebal tubulus kontortus distal.
Ginjal diperdarahi oleh arteri renalis yang letaknya setinggi diskus
intervertebralis vertebra lumbal satu dan vertebra lumbal dua (Moore & Anne,
2012). Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang
membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol
aferen yang menuju ke kapiler glomelurus. Sistem vena pada ginjal berjalan
paralel dengan sistem arteriol dan membentuk vena interlobularis, vena
arkuata, vena interlobaris dan vena renalis. Persarafan ginjal berasal dari
pleksus renalis dari serabut simpatis dan parasimpatis (Moore & Anne, 2012;
Guyton & Hall, 2008).

b. Karakteristik Bagian Ginjal (Junqueira & Carneriro, 2007).


1) Korpuskulum renal
Korpuskulum renal bergaris tengah kira-kira 200 μm, terdiri atas seberkas
kapiler yaitu glomerulus, dan dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda
yang disebut kapsula bowman
2) Tubulus kontortus proksimal
Tubulus kontortus proksimal dilapisi oleh sel-sel selapis kuboid atau
silindris. Sel-sel ini memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh
adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar, apeks sel memiliki banyak
mikrovili dengan panjang kira-kira satu μm yang membentuk suatu brush
border.
3) Lengkung henle
Lengkung henle merupakan struktur yang berbentuk lengkungan yang
terdiri atas ruas tebal desenden, ruas tipis desenden, ruas tipis asenden dan
ruas tebal asenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri atas
sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke dalam lumen.
4) Tubulus kontortus distal
Tubulus kontortus distal merupakan bagian terakhir dari nefron yang
dilapisi oleh sel epitel selapis kuboid. Sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan
lebih kecil dibandingkan dengan tubulus proksimal, maka tampak lebih
banyak sel dan inti pada tubulus distal.
5) Tubulus koligentes
Tubulus koligentes dilapisi epitel sel kuboid dan bergaris tengah lebih
kurang 40 μm, sewaktu tubulus masuk lebih dalam ke dalam medula, sel-
selnya meninggi sampai menjadi sel silindris
c. Fisiologis Ginjal
Ginjal memiliki beberapa fungsi antara lain, ekskresi produk sisa
metabolisme dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit, pengaturan osmolaritas cairan tubuh, pengaturan keseimbangan asam
dan basa, sekresi dan ekskresi hormon dan glukoneogenesis (Guyton & Hall,
2008). Fungsi utama ginjal sebagai fungsi ekskresi dan non ekskresi. Fungsi
ekskresinya antara lain untuk mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285
mili Osmol dengan mengubah ekskresi air, mempertahankan volume ECF
(Extra Cellular Fluid) dan tekanan darah dengan mengubah ekskresi natrium,
untuk mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal. Serta untuk mempertahankan derajat keasaman/pH
plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk
kembali karbonat. Fungsi ekskresi ginjal juga meliputi ekskresi produk akhir
nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin) dan
sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat (Price dan Wilson, 2006).
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price
dan Wilson, 2006). Fungsi utama ginjal yaitu:
1) Fungsi Eksresi
- mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan
mengubah-ubah ekresi air.
- Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-
ubah ekresi natrium.
- Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit
individu dalam rentang normal.
- Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan
mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat.
- Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat dan kreatinin).
- Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat. Fungsi Non
eksresi
- Menyintesis dan mengaktifkan hormon Renin : penting dalam
pengaturan tekanan darah.
2) Fungsi Non-eksresi
Menyintesis dan mengaktifkan hormon
- Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah.
- Eritropoitin : merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang
- 1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitaminD3
menjadi bentuk yang paling kuat.
- Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator bekerja secara lokal
dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal .
- Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal.
Sistem eksresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin. Ginjal
sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke
medialnya. Ginjal akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah dan
mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan mikturisi dan keadaan memungkinkan,
maka urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra
(Sherwood, 2001).
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut
nefron. Tiap ginjal bisa tersusun atas 1 juta nefron yang saling disatukan oleh
jaringan ikat. Nefron ginjal terbagi 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung
Henlenya hanya sedikit masuk medula dan memiliki kapiler peritubular, dan
nefron jukstamedulari yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan
memiliki Vasa Recta. Vasa Recta adalah susunan kapiler yang panjang
mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks
ginjal akan terlihat berbintik-bintik karena adanya glomerulus, sementara
medula akan terlihat bergaris-garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus
pengumpul (Sherwood, 2001).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi
secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas
oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian di reabsorpsi parsial,
reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi. Setiap proses filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan
tubuh (Guyton, 2007).

2. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik (Skorecki, 2005).
Kriteria CKD sebagai berikut:
a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG),
Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin (dalam urin terdapat protein, sel darah
putih/lekosit, darah/eritrosit, bakteri, creatine darah naik, hemoglobin
turun, protein yang selalu positif) atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Suwitra, 2006; Faradilla, 2009
dalam Fadilla dkk., 2018).
3. Epidemiologi
Data Global Burden of Disease tahun 2010 menunjukkan, Penyakit Ginjal
Kronis merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat
menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di dunia
mendapatkan perawatan dengan dialisis atau transplantasi Ginjal dan hanya
sekitar 10% yang benar-benar mengalami perawatan tersebut (Kemenkes RI,
2018).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dalam Kemenkes RI
(2018) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang menderita Gagal
Ginjal sebesar 0,2% atau 2 per 1000 penduduk dan prevalensi Batu Ginjal sebesar
0,6% atau 6 per 1000 penduduk. Prevalensi Penyakit Gagal Ginjal tertinggi ada di
Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 0,5%.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi gagal Ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur
prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75 tahun (0,6%), dimana mulai
terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas. Berdasarkan strata pendidikan,
prevalensi gagal Ginjal tertinggi pada masyarakat yang tidak sekolah (0,4%).
Sementara Berdasarkan masyarakat yang tinggal di pedesaan (0,3%) lebih tinggi
prevalensinya dibandingkan di perkotaan (0,2%).
Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2016 dalam Kemenkes
RI (2018), sebanyak 98% penderita gagal Ginjal menjalani terapi Hemodialisis
dan 2% menjalani terapi Peritoneal Dialisis (PD). Penyebab penyakit Ginjal
kronis terbesar adalah nefropati diabetik (52%), hipertensi (24%), kelainan
bawaan (6%), asam urat (1%), penyakit lupus (1%) dan lain-lain.
Jumlah pasien hemodialisis baik pasien baru maupun pasien aktif sejak tahun
2007 sampai 2016 mengalami peningkatan, terutama pada tahun 2015 hingga
2016. Berdasarkan usia, pasien hemodialisis terbanyak adalah kelompok usia 45-
64 tahun, baik pasien baru maupun pasien aktif.

4. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).
Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah
penyakit peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik,
malformasi saat perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu
ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang
berulang (Wilson, 2005).

5. Klasifikasi
Derajat GFR (ml/mnt/1,73 Deskripsi
m2)
1 >90 Fungsi ginjal normal, tetapi temuan urin,
abnormalitas struktur atau ciri genetik
menunjukkan adanya penyakit ginjal.
2 60 – 89 Penurunan ringan fungsi ginjal, dan temuan
lain (seperti pada stadium 1) menunjukkan
adanya penyakit ginjal
3a 45 – 59 Penurunan sedang fungsi ginjal
3b 30-44 Penurunan sedang fungsi ginjal
4 15 – 29 Penurunan fungsi ginjal berat
5 < 15 Gagal ginjal
Sumber: (The Renal Association, 2013)

6. Patofisiologi/ Patologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi. Struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
faktors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat dan pada akhirya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dan dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra,
2006).
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada
keadaan LFG basal masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah mual nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Selain itu juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien penyakit ginjal kronik yaitu (Suwitra, 2006)
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejangkejang sampai koma.
Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
8. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton
dalam urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal
dengan menemukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan dengan
menemukan berbagai silinder dalam sedimen urin. Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis,
yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang terjadi
setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan urine
tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin
dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan
kekeruhan urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal,
dan rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doengoes, 2000).
b. Darah
Penilaian CKD dengan gangguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar
urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin,
urinalisis.
1) Hb: menurun pada adanya anemia
2) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan/penurunan hidup.
3) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan
hasil akhir metabolisme.
4) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
5) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama
dengan urine.
6) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
7) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
9) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
10) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000; Suwitra, 2014).
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
d. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostate.
e. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa
pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui
gangguan fungsi ginjal antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil
yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan
pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses
/ batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan
bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah
diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal
ginjal akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2
normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan
Borley, 2006).
h. Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan
lambatnya pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu
sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2. Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya pada
fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di sebelah anterior
pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria renalis
beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena renalis
beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
B. Konsep Dasar Hemodialisis
1. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan menyaring dan mengeliminasi sisa
metabolisme dengan bantuan alat. Fungsinya untuk mengganti fungsi ginjal dan
merupakan terapi utama selain transplantasi ginjal dan peritoneal dialisis pada
orang-orang dengan penyakit ginjal kronik. indikasi dilakukan hemodialisis pada
penderita gagal ginjal adalah: (a) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15
ml/menit; (b) Hiperkalemia; (c) Kegagalan terapi konservatif; (d) Kadar ureum
lebih dari 200 mg/dl; (e) Kreatinin lebih dari 65 mEq/L; (f) Kelebihan cairan; dan
(g) Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali (Smeltzer et al. 2008 dalam
Mardyaningsih, 2014).

Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa


metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada darah
melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer. Prinsip kerja
fisiologis dari hemodialisis adalah difusi dan ultra filtrasi. Difusi merupakan
proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke daerah
dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai tercapai kondisi seimbang. Proses
terjadinya difusi dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul. Saat
darah dipompa melalui dialyser maka membran akan mengeluarkan tekanan
positifnya, sehingga tekanan diruangan yang berlawanan dengan membran
menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil
bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan
rendah (tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik tersebut maka
cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel. Proses ini disebut dengan
ultrafiltrasi.
2. Proses Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan (dializer) yang terdiri dari dua kompartemen. Kompartemen tersebut
terdiri dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dibatasi oleh
selaput semipermeabel buatan. Kompartemen dialisat dialiri oleh cairan dialisat
yang berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Darah pasien dipompa dan dialirkan
menuju kompartemen darah. Selanjutnya, akan terjadi perbedaan konsentrasi
antara cairan dialisis dan darah karena adanya perpindahan zat terlarut dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Sudoyo, 2009).
Pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap
dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat dapat
berdifusi ke dalam darah. Untuk itu, diperlukan reverse osmosis. Air akan
melewati pori-pori membran semi-permeabel sehingga dapat menahan zat dengan
berat molekul ringan. Terdapat dua jenis cairan dialisat, yaitu asetat dan
bikarbonat. Cairan asetat bersifat asam dan dapat mengurangi kemampuan tubuh
untuk vasokonstriksi yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan
hemodinamik yang terjadi setelah hemodialisis. Sementara cairan bikarbonat
bersifat basa, sehingga dapat menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien
GGK. Cairan bikarbonat juga tidak menyebabkan vasokonstriksi (Sudoyo, 2009).
3. Persiapan Pasien Hemodialisis
Periode waktu dari mulai dialysis sampai memulai terapi pengganti ginjal
atau Renal Replacement Therapy (RRT), biasanya hanya dalam waktu yang
pendek, tetapi sering ada periode waktu dari beberapa bulan sampai beberapa
tahun ketika pasien harus diberikan waktu untuk menyesuaikan gaya hidup
mereka dan mempersiapkan apapun bentuk dialysis yang sesuai. Keperluan
penanganan predialysis meliputi bantuan psikologis, termasuk monitor klinis
tentang kondisi gangguan ginjal. Semua pasien dengan kondisi CKD dengan
creatinine plasma diatas 150 mmol L- 1 dan /atau signifikansi proteinuria (< 1 g
24 h-1) sebaiknya dirujuk kepada ahli nephrologis. Pasien dengan kreatinin di atas
300 mmol L-1 sebaiknya dirujuk secepat mungkin. Struktur pendidikan dan
konseling bagi gangguan ginjal tahap akhir ini harus diberikan oleh tim multi
disiplin ilmu (Kidney alliance 2001). Untuk keperluan hemodialisis jangka
panjang, ada sejumlah pilihan yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan
lokasi treatmen haemodialysis.
a. Inserting Accses Hemodialysis
Keberhasilan suatu hemodialisis tergantung pada keadekuatan aliran darah
yang melalui dialyser. Bersihan yang optimal pada produk sisa tergantung
pada aliran dialisat, permeabilitas membran, area permukaan membran,
durasi dilaksanakannya dialysa, dan yang paling penting yaitu kecepatan
aliran darah (Roesli, 2006). Terdapat 2 kategori tempat inserting
hemodialysis yaitu (Thomas, 2002):
1) Melalui perkutaneus, termasuk jugularis, subklavia dan femoralis.
Akses perkutaneus menggunakan kanula atau kateter yang dimasukkan
ke vena mayor atau vena besar. Kateter digunakan sementara apabila
anastomosis fistula belum matang. Pembuluh darah vena yang dapat
digunakan yaitu subclavia, femoralis dan vena jugularis internal.
Pemasangan kateter dapat berupa satu atau dua lumen yang dimasukkan
dengan menggunakan anastesi lokal atau general. Ketepatan posisi
kateter dapat dicek melalui sinar X-ray. Peran perawat disini yaitu
perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan, memelihara kepatenan
letak kateter, mencegah infeksi dan memberikan perawatan bila terjadi
infeksi. Perawat harus ketat terhadap pencegahan infeksi, untuk itu selalu
dilakukan observasi ada tidaknya bengkak, kemerahan atau eksudat pada
luka tempat penusukan. Luka tempat penusukan ditutup dengan kasa
yang tidak terlalu basah atau terlalu kering.
2) Arteriovenous fistulae (AVF) dan Arteriovenous graft
Arteriovenous fistulae (AVF) dikerjakan melalui prosedur operasi
anastomosis antara arteri brakialis dan vena sefalika pada tangan kiri
pasien. Kecepatan aliran darah berkisar antara 800 – 1000 mL/menit.
AVF dapat dilakukan 3 – 4 bulan sebelum hemodialysis diberikan
dengan tujuan agar terjadi proses kematangan jaringan pada daerah
anastomosis saat hemodialysis dilakukan. Perawatan preoperatif pada
AVF yaitu perawat memberikan kesempatan kepada pasien untuk
berpartisipasi selama pelaksanaan dan memberikan penjelasan kepada
pasien selengkap lengkapnya tentang prosedur pembedahan dan
perawatan yang dilakukan setelah dilakukan tindakan anastomosis.
Perawat memfasilitasi pasien untuk dapat bertemu dengan pasien lain
yang telah berpengalaman dengan pemasangan AVF.

Perawatan pasien post operasi AVF yang harus diberikan perawat yaitu :
1) Tubuh dalam kondisi hangat agar dapat membantu sirkulasi perifer.
2) Monitor tekanan darah dan pertahankan tekanan sistole minimal 100
mmHg, jika tekanan darah kurang dari 100 mmHg maka akan
beresiko terjadi trombosis fistula sehingga dilarang untuk memberi
obat antihipertensi.
3) Kaji daerah luka secara teratur, observasi adanya perdarahan atau
bengkak.
4) Observasi aliran darah yang melalui fistula dengan cara : Tempatkan
stetoskop pada daerah insisi dan dengarkan suara ”bruits” disebut
dengan bruit. Letakkan tangan pada daerah insisi akan terasa seperti
ada aliran, hal ini disebut dengan thrill.
5) Observasi bruit dan thrill secara teratur misalnya 15 menit sekali pada
jam pertama dan ajarkan pada pasien untuk merasakan sensasi ini
segera mungkin.
6) Sebelum pasien dipindahkan, perawat dapat memberikan penjelasan
kepada pasien agar pasien tidak menggunakan tangannya untuk
mengangkat beban yang berat. Ajarkan latihan tangan dengan
menggunakan bola sehingga mempercepat kematangan fistula.
Informasikan pada pasien agar memberitahu kepada perawat atau
dokter agar tidak menggunakan tangan dengan fistula untuk
melakukan plebotomi, pengukuran tekanan darah atau kanulasi karena
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada fistula.
7) Sarankan pada pasien jika terjadi perdarahan, bengkak dan tidak
adanya bruit atau thrill untuk segera datang ke rumah sakit terdekat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan AVF ini diantaranya
yaitu:
1) Trombosis, Trombosis dapat terjadi dengan cepat pada periode post
operasi atau setelahnya, kadang-kadang diikuti episode hipotensi
selama dialisis. Perkutaneus angiopati dengan menggunakan balon
kateter kadangkala lebih baik hasilnya. Penggunaan agen trombolitik
bertujuan untuk mencegah kerusakan permanen.
2) Aneurisma, dapat disebabkan oleh pengulangan pada area penusukan.
Kulit menjadi lebih tipis dan pada kondisi ini dilarang menggunakan
kanula.
3) Steal sindrom, pada kondisi ini pasien mengeluh nyeri, edema dan
rasa dingin atau seperti ditusuk jarum. Diperlukan pembedahan ulang
untuk membetulkan fistula pada tangan.
b. Dosis, Adekuasi dan Durasi Hemodialysis (Rahardjo, 2006)
1) Dosis Hemodialisis
- Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur
volume
- Tentukan volume yang mengacu pada normogram
- Tentukan klirens urea dari dializer yang dipakai sesuai dengan laju
aliran darah (Qb). Lihat petunjuk pada kemasan dializer.
- Lama dialisis yang diinginkan dalam jam (T) : KT/V = 1,2 (untuk
HD 3X seminggu). Dosis HD yang sebenarnya dapat ditentukan
setelah hemodialisis, dengan rumus :
KT/V = -ln(R– 0,008t) + (4 – 3,5R) X (BB pradialisis – BB pasca
dialisis)
BB pasca dialisis
Ket :
ln = logaritma natural
R = Ureum pasca dialisis/ureum pra dialisis
t = Lama dialisis (jam)

2) Adekuasi Hemodialisis
Kecukupan dosis hemodialysis yang diberikan diukur dengan
istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi
dialisis 24 dengan angka morbiditas dan mortalitas. Adekuasi dialisis
diukur dengan menghitung Urea reduction Ratio (URR) dan KT/V.
URR dihitung dengan rumus yaitu : URR = 100 X (1 – Ct/Co)
Ket:
Ct : ureum post dialisis,
Co : ureum predialisis Rumus lain dalam menghitung dosis dialisis
yaitu : KT/V
Ket :
K : bersihan ureum dialyser
T : waktu pemberian dialysis
V : jumlah ureum yang terdistribusi dalam cairan tubuh
Target KT/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3X
perminggu selama 4 jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2X
perminggu selama 4 – 5 jam perkali HD. Frekuensi pengukuran
adekuasi HD sebaiknya dilakukan secara berkala (idealnya 1 kali
tiap bulan) minimal tiap 6 bulan. (Konsensus Dialisis Pernefri,
2003).
3) Durasi Hemodialisis
Berdasarkan pengalaman selama ini tentang durasi HD, frekuensi
2X perminggu telah menghasilkan nilai KT/V yang mencukupi (>
1,2) dan juga pasien merasa lebih nyaman. Selain itu, dana asuransi
kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat menanggung
HD dengan frekuensi rata-rata 2X perminggu. Oleh karena itu di
Indonesia biasa dilakukan HD 2X/minggu selama 4 – 5 jam dengan
memperhatikan kebutuhan individual (Konsensus Dialisis Pernefri,
2003).
c. Pendidikan Kesehatan dan Latihan
Sebelum dialysis, perawat harus menyiapkan latihan pre dialysis
yang lengkap. Termasuk mendiskusikan hal yang menjadi perhatian
pasien atau tentang sesi terakhir dialysis, membaca semua catatan
tentang sesi dialysis terakhir dan menanyakan permasalahan intra
dialysis. Pengukuran tekanan darah, pemberian cairan dan latihan
klinis, semuanya memberikan kontribusi terhadap latihan dryweight
yang benar. Perawat menjelaskan kepada pasien tentang tujuan,
persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pasca hemodialysis. Perawat
memberikan dukungan psikologis agar pasien dapat bekerjasama
dengan tim hemodialysis selama pasien membutuhkan terapi dialysis
ini.
d. Proses Pelaksanaan Hemodialisis
Pre Hemodialysis
Pada saat pasien datang ke pelayanan hemodialysis, maka terdapat
beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh perawat diantaranya :
1. Informed consent
Perawat memastikan bahwa pasien telah menandatangani
persetujuan untuk dilakukan tindakan hemodialysis.
2. Penimbangan berat badan dan Pengukuran tinggi badan Latihan
reguler tentang dry weight sangat penting untuk memungkinkan
perawat dan pasien menentukan jumlah cairan yang dibuang yang
dibutuhkan selama dialysis. Satu Kg sama dengan 1 L cairan,
artinya berat pasien merupakan metode yang sederhana dan akurat
untuk menentukan penambahan dan pengurangan cairan selama
dialysis. Istilah ”dry weight” merujuk pada berat dimana tidak ada
bukti klinis oedema, nafas yang pendek, peningkatan tekanan nadi
leher atau hipertensi. Penentuan dry weight harus berdasarkan hasil
pemeriksaan perawat, dokter dan ahli diet. Bagaimanapun juga,
dari hari ke hari menjadi tanggung jawab perawat dan sudah
banyak perawat yang dilatih dalam hal skill klinis rutin tentang
latihan cairan
Tujuan dari dialysis adalah untuk membuang kelebihan
volume cairan. Untuk menghitung ini, digunakan ilustrasi sebagai
berikut:
Berat sebenarnya : 68,5 Kg
Dry weight : 66 Kg
Berat yang akan dicapai : 2,5 Kg
Penambahan cairan selama Tindakan : washback salin (300mL),
minuman (300mL). Total cairan yang harus dibuang : 2,5 + 0,3 +
0,3 = 3,1 L
Pengukuran tanda-tanda vital
Tekanan darah harus dicatat sebagai dasar untuk mengukur
perubahan yang signifikan selama tindakan. Jika pasien terlalu
berat sebelum dialysis, tekanan darah mungkin naik sehubungan
dengan peningkatan volume sirkulasi. Pasien dengan hipertensi
sebagai akibat dari penyakit ginjal mungkin diresepkan obat anti
hipertensi. Jika pasien menjadi hipertensi pada saat dialysis,
mungkin perlu mengurangi dosis sebelum sesi dialysis berikutnya.
Disarankan tekanan darah sebaiknya < 140/90 mmHg bagi pasien
yang berumur kurang dari 60 tahun dan <160/90 mmHg bagi yang
berumur diatas 60 tahun (persatuan ginjal 1997). Temperatur
pasien harus secara rutin dicatat. Pyrexia sebelum dialysis harus
diperiksa secepatnya. Denyut nadi harus dicatat pada semua pasien.
Intra Hemodialysis
Pada periode ini perawat harus melakukan monitoring
terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi pada saat
hemodialysis dilaksanakan. Komplikasi yang umum terjadi pada
tahap intra hemodialysis yaitu:
1. Hipotensi
Hipotensi akan terjadi bila tingkat cairan yang dibuang
melebihi pengisian kembali plasma pada pasien. Beberapa
ukuran dapat membantu untuk mengurangi resiko hipotensi,
termasuk menyarankan pasien bahwa pencapaian berat
interdialitik tidak terlalu berlebihan. Cairan yang masuk
menyulitkan pasien untuk mengontrol. Untuk minuman, air
yang ada dalam makanan harus ikut diperhitungkan. Profil
sodium bisa membantu mengurangi resiko hipotensi. Cara lain
untuk mengantisipasi hipotensi sehubungan dengan lambatnya
pengisian kembali plasma adalah dengan memonitor
hematokrit dan monitor volume darah. Perubahan dalam
volume darah diukur melalui hematokrit dan penjenuhan
oksigen darah. Monitor akan berbunyi bila pasien terkena
resiko hipotensi.
2. Mual muntah
Mual dan muntah bisa berhubungan dengan hipotensi. Ini
bisa terjadi sebelum hipotensi, misalnya pasien merasakan
mual, muntah dan kemudian menjadi hipotensi atau sebaliknya
pasien hipotensi pada awalnya, yang ditimbulkan dengan
cairan intravena dan kemudian muntah. Sehingga diminta
kepada pasien untuk menahan diri untuk tidak makan sampai
dialisis selesai.
3. Kram
Kram adalah efek samping lain dari hemodialisis. Kram
sebagaimana hypotensi, disebabkan oleh ultrafiltrate terlalu
tinggi karena kecepatan pertukaran cairan. Pasien yang kram di
kaki bisa berdiri dan mendorongkan kaki ke lantai untuk
mengurangi rasa sakit. Hal ini harus dihindari bila ada
kemungkinan hypotensi simultan karena mengakibatkan pasien
jatuh ke lantai. Pemberian tekanan dapat dilakukan ke kaki
dengan membiarkan pasien mendorong kaki ke perawat.
Penggunaan alat pemanas dan atau dengan menggosok area
yang sakit dengan penuh semangat juga bisa membantu.
4. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Tingkat difusi harus sama untuk mempertahankan
keseimbangan. Jika difusi pasien tinggi akan menyebabkan
ketidakseimbangan pada komponen tubuh. Hal ini akan
menyebabkan pergantian osmotik cairan dari daerah yang
konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya tinggi
terutama pada cairan serebrospinal dan sel otak. Pada akhirnya,
pergantian yang cepat pada pH cairan serebrospinal yang akan
mempengaruhi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Tanda
ketidakseimbangan dapat ringan atau berat.
Ketidakseimbangan ringan diantaranya seperti sakit kepala,
pusing, mual, dan muntah. Sedangkan ketidakseimbangan
yang berat seperti penyakit saraf, koma, dan potensi kematian.
Pasien dengan penyakit akut, atau dialisis untuk pertama kali
dianggap beresiko untuk terjadi ketidakseimbangan.
5. Reaksi pasien (sindrom membran/ syndrom pertama)
Respon alergi mungkin muncul ketika darah pasien
terpapar terhadap benda asing. Contoh membran pasien, kimia
steril spt ETO dan bakteri atau endotoxin. Reaksi alergi bisa
tipe A atau tipe B. Tipe A adalah reaksi anaphylatic berat yang
muncul pada 5 menit pertama, tandanya bisa mulai dengan
gatal dan menjadi gatal yang hebat termasuk dyspnea dan
perasaan panas pada seluruh tubuh. Tindakan yang dilakukan
adalah segera hentikan dialysis. Darah sebaiknya tidak masuk
lagi ke tubuh pasien. Pasien tipe ini harus didialysis terhadap
membran yang sudah di steam sterilkan. Pembilasan ekstra
sirkuit dialysis juga disarankan. Reaksi Tipe B kurang berat,
termasuk nyeri dada. Terjadi 1 jam setelah dialysis dimulai.
Penyebab tidak diketahui tetapi disarankan untuk
menggunakan membran sintetik.
6. Hemolisis
Hemolisis adalah gangguan pada sel darah merah.
Hemolisis besar-besaran dapat cepat menimbulkan
hyperkalemia dan penahanan kardiak. Hemolisis bisa
disebabkan oleh dialisis terhadap dialisat yang terlalu panas
atau dialising terhadap air atau hypotonic dialysate. Pompa
darah yang modern memiliki tekanan yang rendah dan tidak
menimbulkan hemolisis, tetapi bila salah menyesuaikan, roler
pompa darah dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Tekanan
vena yang tinggi dihasilkan dari hambatan akses venous atau
aliran darah yang menyebabkan kerusakan sel darah merah.
Pasien akan mengeluh dada nyeri, dyspnea dan mungkin
perasaaan mau pingsan. Jika ada indikasi hemolisis, dialisis
harus dihentikan dan darah harus tidak dialirkan ke pasien,
sementara mesin yang lain harus siap.
7. Emboli udara
Peralatan ultrasonik detektor udara memberikan kepastian
kepada pasien dan perawat untuk pencegahan emboli udara.
Detektor udara harus diaktifkan selama prosedur priming. Jika
pasien mengalami emboli udara, perawat harus menghentikan
dialysis. Baringkan pasien pada sisi kiri dengan posisi kepala
lebih rendah dari badan.
8. Pembekuan aliran darah
Pembekuan terjadi jika anti koagulasi tidak cukup, jika
aliran darah tidak cukup atau berhenti atau jika ada udara
dalam sirkuit. Pertukaran tekanan pada sirkuit akan terjadi
sebagai akibat dari pembekuan. Jika terjadi pembekuan
tindakan harus dihentikan, dengan tidak mengalirkan lagi
darah ke pasien.
Post Hemodialysis
Perawat harus melakukan observasi terhadap tanda-
tanda vital seperti tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan
dalam rentang nilai normal. Observasi lokasi penusukan,
perawat dapat mengobservasi ada tidaknya hematom, edema
atau perdarahan, untuk mencegah hal ini perawat dapat
menyarankan untuk menekan daerah tusukan. Perawat juga
melakukan monitoring hasil laboratorium kimia darah seperti
ureum- kreatinin yang hasilnya dapat digunakan untuk
menetukan frekuensi hemodialysis. Perawat juga melakukan
penimbangan berat badan untuk memantau perubahan berat
badan pasca hemodialisis.

C. Evidance Based Nursing


Jurnal oleh Anderson dan Ozakinci (2018) menjelaskan tentang intervensi
yang dapat dipergunakan untuk peningkatan kualitas hidup pasien dengan kondisi
long term, dengan analisis sebagai berikut:
P= pasien dengan kondisi pengobatan atau kondisi jangka panjang (kronik)
I= intervensi yang termasuk dalam kritria inklusi penelitian ini yaitu semua
Intervensi psikologis (dalam format apa pun) termasuk yang yang mencakup
alternatif tetapi terminologi terkait misalnya terapi perilaku kognitif (CBT) atau
perhatian psichological intervention yang dilakukan yaitu Pendidik kesehatan
tentang prinsip pengaturan diri dan manajemen masalah. Pasien menentukan
sendiri masalah yang akan didiskusikan kemudian pemberi pendidikan kesehatan
akan membantu pasien memananjemen masalah yang dihadapi.
C= penerapan psichological intervention di Indonesia dapat dilakukan, beberapa
penelitian juga sudah dilakukan di indonesia pada pasien gagal ginjal kronik
dengan terapi psikologis meliputi: terapi psikodinamis, terapi humanistik, terapi
perilaku, terapi psikoreligius, dan terapi kelompok (Support Group) diperoleh
hasil ada peningkatan kualitas hidup yang signifikan antara intervensi psikologis
dan kualitas hidup pasien dengan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis
(Hutagaol, 2017)
O= Semua studi (6 studi) pada intervensi psikologis secara signifikan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien segera setelah intervensi dan tiga dari enam
studi bertahan hingga 12 bulan pasca intervensi.
D. CLINICAL PATHWAY
Tumor atau massa Obstruksi saluran kemih

Menekan sel Aliran darah ke ginjal teganggu

Ginjal nekrosis Iskemik

GFR (Bun & Kreatinin )

CKD

Sekresi protein Retensi Na Eritropoetin ↓


terganggu

Tekanan kapiler ↑ Hb ↓
Uremia
Volume intersisial ↑ Suplai o2 Suplai o2
keotak ↓ kejaringan ↓
Penumpukan racun
Edema
Pruritus Fatigue Meta. anaerob
Kelebihan volume
cairan Intoleransi Penimbunan as.laktat
Hambatan integritas
kulit aktivitas
Nyeri Risiko
akut ketidakef
Insufisiensi ginjal ↓ Gangguan keseimbangan
ektifan
asam basa
perfusi
Angiotensin I Preload ↑ jaringan
perifer
Asam lambung ↑
Angiotensin II Beban jantung ↑

Iritasi lambung
Hipertensi Hipertrovi ventrikel
kiri
Anoreksia Mual Payah jantung kiri
Risiko penurunan
curah jantung
Jangka waktu lama Bendungan atrium kiri ↑

Penurunan BB Tekanan vena pulmonal ↑

Edema paru
Ketidakefektifan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
Gangguan pertukaran gas
E. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan. Laki-laki lebih beresiko mengalami efusi
pleura.
b. Riwayat kesehatan:
1) Diagnosa medis: DM, Hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik,
lupus, batu ginjal, tumor atau ca prostat.
2) Keluhan utama: Keluhan utama pada pasien CKD akibat batu atau sumbatan
akan merasakan nyeri.
3) Riwayat penyakit sekarang
Perjalanan pasien mulai pertama merasakan masalah sampai akhirnya
dibawa ke RS dan mendapat pengobatan di RS.
4) Riwayat kesehatan terdahulu
- Penyakit yang pernah dialami: Kaji faktor predisposisi yang mungkin dapat
mempengaruhi keluhan pasien seperti penyakit-penyakit ditas.
- Alergi, imunisasi
- Kebiasaan/pola hidup
- Obat-obatan yang digunakan
5) Riwayat penyakit keluarga.
Adakah keluarga yang mengalami penyakiy yang sama, atau mengalami
hipetensi ataupun DM.
Genogram
Keterangan
: Laki-laki
: Perempuan
: Menikah
: Cerai
: Anak kandung
: Anak angkat
: Anak kembar
: Pasien
: Meninggal
: Tinggal serumah
c. Pengakjian Keperawatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Bagaimana persepsi dan pendapat klien terkait dengan penyakit yang
dideritanya, serta penanganan pertama dalam mengatasi masalah
kesehatannya. Riwayat merokok, minum alkohol, dan penggunaan obat-
obatan.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Bagaimana pola pemenuhan nutrisi setiap harinya. Perawat perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status
nutrisi pasien. Pasien dengan efusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen yang
akan menyebabkan berat badan menurun. Peningkatan metabolisme akan
terjadi akibat proses penyakit sehingga keadaan pasien tampak lemah.
Antropometry
Interpretasi: BB, TB, IMT
- Biomedical sign
Interpretasi: Hasil pengukuran laboratorium
- Clinical Sign:
Interpretasi: respon gangguan atau masalah yang tampak
- Diet pattern (intake makanan dan cairan)
Tabel intake makanan dan cairan
Pola makan Sebelum sakit Saat di rumah sakit

Frekuensi
Jumlah
Porsi
Minum
Kemandirian

Interpretasi:

3) Pola eliminasi
Perawat perlu menanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi yang akibat
dari menurunnya gerakan peristaltik usus.

BAK Sebelum sakit Saat di rumah sakit


Frekuensi
Jumlah
Warna
Bau
Karakter
Alat bantu
Kemandirian
(mandiri/dibantu)
Lainnya
Interpretasi:

BAB Sebelum sakit Saat di rumah sakit


Frekuensi
Jumlah
Warna
Bau
Karakter
Alat bantu
Kemandirian
(mandiri/dibantu)
Lainnya
Interpretasi:

Balance cairan= input-output


Interpretasi: untuk pasien CKD banyak ditemukan kelebihan volume
cairan akibat cairan yang teretensi didalam tubuh
4) Pola aktivitas dan latihan
Perawat perlu untuk terus mengkaji status pernapasan pasien, karena
akibat dari penumpukan cairan dalam tubuh akan mengganggu ekspansi
paru berkembang dan pasien merasa malaise untuk beraktivitas.
Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya
nyeri dada dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan
pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
Aktivitas harian (Activity Daily Living)
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan / minum
Toileting
Berpakaian
Mobilitas di tempat tidur
Berpindah
Ambulasi / ROM

Ket: 0 (tergantung total); 1(dibantu petugas dan alat); 2 (dibantu petugas);


3(dibantu alat); 4 (mandiri)

Status Oksigenasi:
Fungsi kardiovaskuler:
Terapi oksigen:
Interpretasi:
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri atau ketidaknyamanan pada pasien akan berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan tidur, istitahat dan sering terbangun jika
nyeri, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan seperti keluarga
pasien yang menunggu banyak dan kondisi rumah sakit yang pasiennya
banyak. Kaji terkait durasi, respon setelah bangun tidur, dan gangguan
selama tidur.

Interpretasi:

6) Pola hubungan dan peran


Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga,
tidak dapat menjalani fungsinya untuk menafkahi istri dan anaknya.
Disamping itu, peran pasien di masyarakat pun juga mengalami perubahan
dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.

Interpretasi:

7) Pola persepsi dan konsep diri


Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat,
tiba-tiba terdiagnosis CKD. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan
beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan
mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran
positif terhadap dirinya.

Interpretasi:

8) Pola sensori dan kognitif


Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya. Kondisi pasien CKD akan lemas dan
kelemahan, intoleransi aktivita, hal ini dapat menganggu penglihatan
pasien menjadi kabur dan somnolen.
Interpretasi:
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien akan terganggu untuk sementara waktu karena
pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
Interpretasi:
10) Pola managemen stress dan koping
Pasien yang tidak mengtahui penyabab dan proses dari penyakitnya akan
mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat
dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih
tahu mengenai penyakitnya.
Interpretasi:
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada
Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari
Tuhan.
Interpretasi:
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: kesadaran
2) Tanda-tanda vital:
RR : takipneu atau bradipneu (Normal= 16-24 x/mnt)
N : bardikardi atau takikardi (Normal= 60-80x/mnt)
S : bisa hipo atau hipertermi (Normal= 36,5-37,5 0C)
TD : bisa hipotensi atau hipertensi (Normal= ≤ 140/90 mmHg)
Interpretasi:
3) Kepala:
I=Rambut kepala berwarna hitam dan tipis, tidak terdapat masa (benjolan),
persebaran rambut rata, tidak terdapat lesi, tidak terdapat hiperpigmentasi
pada kepala, wajah simetris, tidak terdapat lesi pada wajah.
P= tidak ada nyeri tekan dan benjolan

4) Mata:
I= Tidak terdapat hordeolum pada mata, konjungtiva anemis, bola mata
simetris, tidak terdapat gangguan penglihatan, pasien tidak menggunakan
alat bantu penglihatan, tidak ada benjolan/nyeri tekan pada mata. Pupil
isolor.

P= tidak ada nyeri tekan dan benjolan

5) Telinga
I=Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari telinga. Bentuk daun
telinga normal dan simetris

P=tidak ada nyeri tekan pada tragus, tidak ada gangguan pendengaran,
tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan tanda-
tanda peradangan pada

6) Hidung:
I= Bentuk hidung simetris, terdapat pernafasan cuping hidung, penggunaan
oksigen binasal, tidak ada serumen atau sekret yang keluar dari hidung.

P= tidak ada nyeri tekan dan benjolan

7) Mulut:
I= Mukosa bibir kering, warna bibir pucat, mulut kotor, tidak ada
benjolan/tanda peradangan.
8) Leher:
I= Bentuk leher simetris, tidak ada benjolan pada leher, trakea simetris,
tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan vena jugularis, dan tidak ada
pembesaran pada kelenjar tiroid.

P= tidak ada nyeri tekan dan benjolan, teraba nadi karotis


9) Dada
I: kaji adanya penggunaan otot bantu pernafasan atau pukuran ictus
cordis yang kuat
P: hasil pemeriksaan palpasi pada dada dimunculkan pada data
P: Perkusi terdengar redup hingga pekak,tergantung dari jumlah
cairannya.
A: dengarkan suara nafas dan jantung, apakah ada suara tambahan
abnormal
Interpretasi:
e. Terapi: terapi yang digunakan untuk mengurangi atau menyembuhkan penyakit
pasien.
f. Pemeriksaan penunjang & laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya yang
dilakukan.

6) Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan
ditandai dengan udem, mukosa bbibir kering
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan ventilasi, difusi,
distribusi, dan transportasi oksigen ditandai dengan peningkatan frekuansi
pernapasan, pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot bantu
pernapasan.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan ditandai dengan klien tampak lemah dan tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kelelahan, anoreksia ditandai dengan anoreksia, penurunan berat badan, dan
klien tampak tidak dapat mengahbiskan makanannya.
e. Keletihan berhubungan dengan fisik tidak bugar ditandai dengan pasien
lemas
f. Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload
ditandai dengan takikardi atau bradikardi
g. Risiko ketidak efektifan perfusi jarinan berhubungan dengan proses penyakit
h. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan volume cairan
ditandai dengan gatal pada kulit, kemerahan, dan nyeri
i. Mual berhubungan dengan terpajan toksik ditandai dengan sensasi mula

7) Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1 Kelebihan Volume NOC Manajemen Cairan (4120)
Cairan Keseimbangan 1. Monitor tanda vital pasien
berhubungan Cairan (0601) 2. Monitor status hidrasi
dengan kelebihan Tujuan: Setelah pasien
asupan cairan dilakukan tindakan 3. Monitor makanan/cairan
ditandai dengan keperawatan selama yang dikonsumsi
udem, mukosa 2x 24 jam, 4. Monitor status gizi
bibir kering kelebihan volume 5. Berikan cairan dengan tepat
cairan berkurang 6. Monitor kelebihan berat
dengan Kriteria badan
Hasil : 7. Dukung pasien dan
1. Keseimbangan keluarga untuk membantu
intake dan dalam pemberian makan
output dalam 24 dengan baik
jam 8. Konsultasikan dengan
2. Kelembapan dokter jika ada tanda atau
membran gejala kelebihan volume
mukosa cairan
3. Berat badan Monitor Cairan (4130)
stabil 1. Tentukan jumlah dan jenis
4. Tidak ada udem intake serta kebiasaan
Keterangan : eliminasi
1. Sangat 2. Tentukan faktor-faktor
terganggu risiko yang mungkin
2. Banyak menyebabkan
terganggu ketidakseimbangan cairan
3. Cukup 3. Tentukan apakah pasien
terganggu mengalami kehausan
4. Sedikit 4. Periksa tugor kulit
terganggu 5. Monitor berat badan
5. Tidak terganggu 6. Cek kembali asupan dan
pengeluaran pada terapi
intravena
7. Monitor tanda-tanda asites

2. Gangguan NOC NIC


pertukaran gas Status pernafasan: Manajemen jalan nafas (3140)
(00030) pertukaran gas 1. Posisikan pasien untuk
(0402) memaksimalkan ventilasi
Tanda-tanda vital 2. Lakukan fisioterapi dada
(0802) 3. Instruksikan pasien untuk
Setelah dilakukan melakukan batuk efektif
tindakan Terapi oksigen (3320)
keperawatan selama 4. Bersihkan mulut dan hidung
3x24 jam, dengan tepat
pertukaran gas 5. Pertahankan kepatenan jalan
pasien kembali nafas
efektif dengan 6. Siapkan peralatan oksigen
kriteria hasil: dan berikan melalui sistem
1. Tidak terjadi humidifier
dispneu saat 7. Monitor aliran oksigen
istirahat Monitor pernafasan (3350)
2. Tidak sianosis 8. Monitor kecepatan,
3. Saturasi oksigen kedalaman, dan kesulitan
(>95%) bernafasan
4. Keseimbangan 9. Catat pergerakan dada,
ventilasi dan kesimetrisan, dan
perfusi penggunaan otot bantu nafas
5. Suhu tubuh 10. Monitor suara nafas
0 0
(36,5 -37,5 C)
6. Irama pernafasan
reguler
7. Pernafasan (16-
20 x/menit)
8. Nadi (60-100
x/menit)
9. TD (120/90
mmHg)
3. Intoleransi aktivitas NOC NIC
(00092) Toleransi terhadap Manajemen energi (0180)
aktivitas (0005) 1. Kaji status fisiologis pasien
Tingkat kelelahan yang emnyebabkan
(0007) keletihan
Setelah dilakukan 2. Monitor intake dan asupan
tindakan nutrisi
keperawatan selama 3. Konsultasi dengan ahli gizi
3x24 jam, aktivitas terkait cara peningkatan
pasien toleran energi dari asupan makanan
dengan kriteria 4. Monitor/catat waktu dan
hasil: lama waktu istirahat tidur
1. Saturasi oksigen pasien
saat beraktivitas 5. Anjurkan tidur siang jika
(>95%) diperlukan
2. Frekuensi nadi 6. Anjurkan aktivitas fisik
saat beraktivitas (misal ambilasi, ADL)
(60-80 x/menit) sesuai dengan kemampuan
3. Frekuensi (energi) pasien
pernafasan saat Terapi latihan: ambulasi (0221)
beraktivitas (16- 7. Beri pasien pakaian yang
20 x/menit) tidak mengekang
4. Tekanan sistol 8. Anjurkan pasien
dan diastol menggunakan alas kaki agar
ketika tidak cidera
beraktivitas 9. Dorong untuk duduk di
5. Pasien tidak tempat tidur, di samping
merasa lelah saat tempat tidur (menjutai), atau
melakukan di kursi, sesuai toleransi
aktivitas ringan pasien
6. Pasien dapat 10. Bantu pasien untuk duduk
melakukan ADL di sisi tempat tidur untuk
dalam kegiatan memfasilitasi penyesuaian
sehari-hari sikap tubuh.

4. Ketidakseimbangan NOC NIC


nutrisi kurang dari Status nutrisi (1004) Manajemen nutrisi (1100)
kebutuhan tubuh Status nutrisi: 1. Monitor intake makanan
(00002) asupan nutrisi dan cairan pasien
(1009) 2. Ciptakan lingkungan yang
Nafsu makan (1014) optimal saat mengonsumsi
Setelah dilakukan makanan (bersih dan bebas
tindakan dari bau yang menyengat)
keperawatan selama 3. Anjurkan keluarga untuk
3x24 jam, intake membawa makanan favorit
nutrisi pasien pasien (yang tidak
adekuat dengan berbahaya bagi kesehatan
kriteria hasil: pasien)
1. Asupan makanan 4. Anjurkan pasien makan
secara oral sedikit tapi sering
meningkat (porsi 5. Beri dukungan (kesempatan
makan habis) untuk membicarakan
2. Asupan cairan perasaan) untuk
secara oral meningkatkan peningkatan
meningkat makan
3. Nafsu makan 6. Anjurkan pasien menjaga
meningkat kebersihan mulut
4. Ekspresi wajah 7. Kolaborasi pemberian obat
tidak meringis Monitor nutrisi (1160)
8. Timbang berat badan pasien
9. Monitor turgor kulit dan
mobilitas
10. Monitor adanya mual dan
muntah

F. DISCHARGE PLANNING
1. Syarat diet
a. Energi 35 kkal/kg BBI/hari
b. Protein 1-1,2 gr/kgBBI/hari, 50% protein bernilai biologi tinggi
c. Lemak normal, yaitu 15-30% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup 55-75% dari kebutuhan energi total
e. Natrium, yaitu 1 gram + 2 gram bila urine 1 liter/24 jam
f. Kalium, yaitu 2 gram + 2 gram bila urine 1 liter/24 jam
g. Cairan dibatasi, yaitu jumlah urine/24 jam ditambah 500 ml
2. Makanan yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan pasien hemodialisa
a. Bahan Makanan Dianjurkan
- Bahan makanan sumber karbohidrat: nasi, roti putih, mie, makaroni,
spageti, lontong, bihun, makanan yang dibuat dari tepung-tepungan, gula,
madu, sirup, permen, dll.
- Bahan makanan sumber protein : telur, ayam, daging, ikan, susu (Dalam
jumlah sesuai anjuran).
- Sayur-sayuran : ketimun, terung, tauge, buncis, kacang panjang, kol,
kembang kol, slada, wortel, jamur, dll . (Dalam jumlah sesuai anjuran).
- Buah-buahan : nanas, pepaya, jambu biji, sawo, pear, strawberi, apel hijau,
anggur, jeruk manis, dll. (Dalam jumlah sesuai anjuran).
- (Direktorat Bina Gizi Subdit Bina Gizi Klinik, 2011)

b. Bahan Makanan Tidak Dianjurkan/ Dibatasi


- Bahan makanan tinggi kalium bila hiperkalemia : singkong, kentang,
havermout, ubi, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, bayam, daun
pepaya, daun singkong, kembang kol, jantung pisang, kelapa, pisang,
alpokat, apel merah, duku, durian, belimbing. nangka, coklat, santan.
- Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan
asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin,
penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan
diasinkan, minuman bersoda.
- Air minum dan kuah sayur yang berlebihan. Tips mengendalikan air
minum: masukan air kadalam botol sesuai kebutuhan sehari, mengatasi
rasa haus (cobalah permen, 1 slice jeruk manis, permen, air dingin/batu
es, berkumur, atau mandi), kurangi garam, gunakan bumbu-bumbu.

3. Contoh Menu sehari


Misalnya:
Pasien (laki-laki) berusia 60 tahun, TB 165 cm, BB 55 kg.
Energi = 35 x 55 = 1925 kkal
Protein = 1 x 55 = 55 g (11,4%)
Lemak = 25% x 1925/9 = 53.5 g
KH = 63,6% x 1925/4 = 306, 1 g
Menu harian
Jumlah
Waktu Menu
Gram URT
Nasi 100 ¾ gls
Semur telur 55 1 btr
Makan Pagi Tumis wortel 50 ½ gls
Pepaya 110 1 ptg bsr
Susu hangat 20 4 sdm
Selingan Pagi Puding 120 1 ptg sdg
Nasi 150 1 ¼ gls
Rolade daging 35 1 ptg sdg
Makan Siang
Capcay 100 1 gls
Apel malang 75 1 bh sdg
Selingan Sore Kue talam 50 2 bh sdg
Nasi 100 ¾ gls
Ayam bb kuning 40 1 ptg sdg
Makan Malam
Sup sayuran 50 ½ gls
Jeruk manis 110 1 bh bsr
Keterangan : URT = Ukuran Rumah Tangga
G. DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M., Wilfrid, D., Yakobus, S. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular.


Jakarta: EGC.
Grace, Pierce A & Borley Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Surabaya:
Erlangga.
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth
Edition. United States of America: Elsevier Mosby.Gibson.
Doenges, M.E, Marry F. MandAlice, C.G. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta: EGC.
Fadilla, I., Adikara, P. P., dan Perdana, R. S. 2018. Klasifikasi Penyakit Chronic
Kidney Disease (CKD) Dengan Menggunakan Metode Extreme Learning
Machine (ELM). J-PTIIK. 2 (10): 3397-3405.

Guyton, C., Hall, E. 2006. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. 2014. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition &


Classification,
Nanda 2015. Diagnosis Keperawatan : Defnisi dan Klasifikasi 2015-2017.
Jakarta: EGC.
Junqueira, L., Carneiro, J., Kelley, O. 2007. Histologi dasar. Edisi 10. Jakarta:
EGC.

Kemenkes RI. Cegah Dan Kendalikan Penyakit Ginjal Dengan Cerdik Dan
Patuh. 2018. http://www.depkes.go.id/article/print/18030700007/cegah-dan-
kendalikan-penyakit-ginjal-dengan-cerdik-dan-patuh.html. [Diakses pada 13
April 2019].

Moore, K. L., Agur, A. M. R. 2012. Anatomi klinik dasar. Jakarta: Hipokrates.

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014. High
Blood Pressure and Kidney Disease. Diakses dari:
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/highblood/.[Diakses pada 13
April 2019].

Price, S.A., dan Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rustamaji, A. T. (tanpa tahun). Chronic Kidney Disesase (CKD).


https://rsud.patikab.go.id/download/CKD.pdf. [Diakses pada 13 April
2019].

Snell, R. S. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta:


EGC.
Suwitra. K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A.W., dkk., Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi keempat. Penerbit
Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Hal. 570-572.

Suwitra, K. 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sehati ,S., Alwi, I., Sudoyo, A.
W., Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta Pusat:
Interna Publishing.

Wilson, L. M. 2005. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Wilson, L.M.,


Price, S.A., penyunting. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6. Jakarta: ECG.

Anda mungkin juga menyukai