Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI
“ Pengaruh Cara Pemberian Terhadap Absorbsi obat “

KELOMPOK I ( C2 )
DISUSUN OLEH :
1. NONIK MUTMAINAH 2173117
2. RAHMAH FITRIYANI 2173119
3. RISNA INTAN MELATI 2173120
4. RIUS NOVANDANI 2173121
5. RIYA YULI MARYANI 2173122
6. ROMITA LUSIANA 2173123

DIII FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NASIONAL
SURAKARTA
2017 / 2018

1
PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

I. TUJUAN
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara – cara pemberian obat
terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.
II. DASAR TEORI
Absorbsi didefinisikan sebagai masuknya obat dari tempat pemberiannya ke dalam
plasma. Kecuali pemberian I.V. dan inhalasi, hampir semua obat harus masuk ke dalam
plasma sebelum mencapai tempat kerjanya dan oleh karena itu obat harus mengalami
absorbsi lebih dahulu. Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai
barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna, yang seperti halnya semua membran
sel ditubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi
membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih
dulu larut dalam air). (Tan Hoan,T & Rahardja,K.2002).
Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang
berbeda-beda pula. Proses absorbsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan
aktivitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi
akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Terdapat 2
rute pemberian obat yang utama yaitu enteral dan parenteral. Yang termasuk enteral
yaitu oral, sublingual dan rectal, yang termasuk parenteral adalah intravascular
(intravena dan intraarteri), ekstravaskular (intramuscular, subkutan dan intraperitoneal)
dan rute parenteral lain ( inhalasi, intratekal, topical dan transdermal) .

A. Absorbsi obat melalui saluran cerna :


1. Sublingual. Absorbsi obat langsung melalui rongga mulut kadang-kadang
diperlukan bilamana respons yang cepat sangat diperlukan, terutama bila obat
tersebut tidak stabil pada keadaan pH lambung atau dimetabolisme oleh hepar
dengan cepat.
2. Per oral. Sebagian besar obat diberikan melalui mulut dan ditelan. Beberapa obat
(misalnya: alkohol dan aspirin) dapat diserap dengan cepat dari lambung, tetapi
kebanyakan obat diabsorbsi sebagian besar melalui usus halus. Absorbsi obat
melalui usus halus, pengukuran yang dilakukan terhadap absorbsi obat baik
secara in vivo maupun secara in vitro, menunjukan bahwa mekanisme dasar

2
absorbsi obat melalui usus halus ini adalah secara transfer pasif. Di mana
kecepatan obat ditentukan oleh derajat ionisasi obat dan lipid solubilitas dari
molekul obat tersebut.
3. Pemberian obat secara rectal. Dapat dipakai baik untuk mendapatkan efek local
maupun untuk efek sistemik. Obat–obat yang diabsorbsi melalui rectum masuk
ke sirkulasi sistemik tanpa melalui hepar. Hal ini dapat menguntungkan bagi
obat-obat yang dengan cepat menjadi inaktif bila melewati hepar (misal :
progesterone, tetosteron), alasan lain memberikan obat secara rectal adalah
untuk menghindari efek iritasi obat pada lambung (misalnya : obat antiradang).
Cara ini dapat juga digunakan untuk pasien yang muntah-muntah atau pasien
yang tidak bias menelan pil atau tablet. Absorbsi obat melalui rectum ini sering
bersifat irregular dan tidak sempurna, serta banyak juga obat yang mengiritasi
mukosa rectum.
B. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran
cerna antara lain:
1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk
sediaan yang berbeda, maka proses absorbsi obat memerlukan waktu yang
berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorbsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses absorpsi. Absorbsi lebih mudah terjadi bila obat dalam
bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.
3. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta
banyaknya pembuluh darah pada tempat absorbsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.

3
C. Cara-cara pemberian obat bentuk sediaan parenteral untuk mendapatkan
efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:
1) Subkutan (SC) (“Onset of action”) lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorbsi ialah total luas permukaan dimana terjadi
penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan) (Joenoes, 2002).
2) Intraperitonial (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995). Injeksi intraperitonial suntikan cara ini tidak lazim dilakukan pada
manusia, tetapi sering dilakukan pada hewan laboratorium terutama mencit dan
tikus. Obat yang disuntikkan dalam rongga peritonium akan diabsorbsi cepat,
sehingga reaksi obat akan cepat terlihat.
3) Intramuskular (IM) (“Onset of action”) bervariasi, berupa larutan dalam air
yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan
juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan
obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi:
semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorbsi) (Joenoes,2002). Obat
yang diberikan dengan cara ini akan diabsorbsi relatif kurang cepat. Daya
kelarutan obat dalam air sangat menentukan kecepatan dan kelengkapan
absorbsi. Obat yang sukar larut dalam air dapat mengendap di tempat suntikan,
sehingga absorbsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat-
obat yang larut dalam air akan diabsorbsi dengan cepat setelah penyuntikan IM.
Umumnya kecepatan absorbsi setelah penyuntikan pada muskulus deloid atau
vastus lateralis adalah lebih cepat dari pada bila disuntikkan pada gluteus
maximus.
4) Intravena (IV) (Tidak ada fase absorbsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
“onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100%, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu paruhnya (t 1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
5) Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada
selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang
akut) (Anonim, 1995).

4
III. ALAT DAN BAHAN

Alat :
1. Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
2. Jarum berujung tumpul (untuk per oral)
Bahan :
1. Natrium Phenobarbital 1% & 4 %
2. Alkohol 70%
Hewan Uji
1. Mencit

5
IV. CARA KERJA

Ambil 4 mencit, kemudian timbang berat masing-masing mencit

Menghitung volume Natrium Phenobarbital yang akan


diberikan dengan dosis 80 mg/kg BB

Berikan Natrium Phenobarbital pada hewa uji mencit,


masing-masing sebagai berikut:

Per Oral : Sub Cutan : Intra Intra


melalui mulut masukkan Muskuler : Peritoneal :
masukkan Natrium suntikkan suntikkan
Natrium Phenobarbital Natrium Natrium
. Phenobarbital sampai ke bawah Phenobarbital Phenobarbital
dengan jarum kulit pada bagian ke dalam otot kedalam rongga
per oral tengkuk mencit pada daerah perut. Jangan
dengan jarum otot gluteus sampai masuk
injeksi. maximus ke dalam usus.

Amati dan catat waktu hilangnya reflek balik badan

Hitung onset

Analisis data dengan One Way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%

6
V. HASIL PERCOBAAN
DATA PENIMBANGAN
MENCIT BOBOT ( gram ) CARA PEMBERIAN
1 26,7 g Per Oral ( PO )
2 27 g Sub Cutan ( SC )
3 25,5 g Intraperitonial ( IP )
4 25,3 g Intramuscular ( IM )

PERHITUNGAN DOSIS PHENOBARBITAL


Sediaan Phenobarbital untuk PO , SC , IP  1%
Sediaan Phenobarbital untuk IM  5%

Mencit 1 ( PO ) = 100 mg x 26,7 g = 2,67 mg


1000 g
Mencit 2 ( SC ) = 100 mg x 27 g = 2,7 mg
1000 g
Mencit 3 ( IP ) = 100 mg x 25,5 g = 2,55 mg
1000 g
Mencit 4 ( IM ) = 100 mg x 25,3g = 2,53 mg
1000 g

VOLUME PEMBERIAN OBAT NATRIUM PHENOBARBITAL


Mencit 1 ( PO ) = 2,67 ml x 100 ml = 0,267 ml = 0,26 ml
1000 ml
Mencit 2 ( SC )= 2,7 ml x 100 ml = 0,27 ml = 0,27 ml
1000 ml
Mencit 3 ( IP ) = 2,55 ml x 100 ml = 0,255 ml = 0,25 ml
1000 ml
Mencit 4 ( IM )= 2,53 ml x 100 ml = 0,056 ml = 0,05 ml
5000 ml

7
HASIL PERCOBAAN KELOMPOK C2

NO CARA PEMBERIAN REPLIKASI MENIT (ONSET )


1 Per Oral C2-1 64 menit
C2-2 63 menit
C2-3 67 menit
C2-4 60 menit

2 Subcutan C2-1 44 menit


C2-2 59,01 menit
C2-3 39 menit
C2-4 34 menit

3 Intra Peritonial C2-1 41 menit


C2-2 42,51 menit
C2-3 31 menit
C2-4 30 menit

4 Intra Muscular C2-1 25 menit


C2-2 52,44 menit
C2-3 61 menit
C2-4 35 menit

8
V. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan mengenai pengaruh cara pemberian
terhadap absorbsi obat. Absorbsi dapat didefinisikan sebagai masuknya obat dari tempat
pemberian kedalam plasma darah, hampir semua obat harus masuk kedalam plasma
darah sebelum mencapai tempat kerjanya dan oleh karena itu obat harus mengalami
absorbsi dulu. Obat baru berkhasiat apabila berhasil mencapai konsentrasi yang sesuai
pada tempat kerjanya maka suatu absorbsi yang cukup merupakan syarat untuk suatu
efek terapeutik, sejauh obat tidak digunakan secara intravasal atau tidak langsung dipakai
pada tempat kerjanya. Dikatakan cukup apabila kadar obat yang telah diabsorbsi tidak
melewati batas KTM, yaitu Kadar Toksik Minimum, namun masih berada di dalam batas
KEM, yaitu Kadar Efektif Minimum.
Cara pemberian obat merupakan salah satu faktor biologis yang dapat
mempengaruhi absorbsi obat. Cara pemberian yang dilakukan dalam percobaan ini
adalah peroral, subcutan, intraperitoneal dan intramuskular. Dimana cara pemberian
tersebut diberikan pada hewan uji atau binatang. Hewan uji yang digunakan adalah
mencit. Alasan dipilihnya mencit karena proses metabolisme dalam tubuhnya
berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.
Selain harganya yang ekonomis, dapat dilihat pula dari keekonomisan jumlah obat yang
diberikan pada volume pemberiaanya. Sebelumnya mencit harus mengalami pra
perlakuan yakni dipuasakan yang bertujuan agar setiap mencit memiliki aktivitas enzim
yang sama selain itu agar tidak menghalangi bahan obat diserap dalam tubuh atau untuk
menghindari penurunan kadar obat karena berinteraksi dengan makanan.
Obat yang digunakan pada percobaan ini adalah Phenobarbital (asam 5, 5-fenil-etil
barbiturat) merupakan senyawa organik yang digunakan sebagai pengobatan anti
konvulsi.

9
Phenobarbital
Mekanisme kerja Phenobarbital adalah menempel pada reseptor GABA kemudian
kanal klorida masuk ke dalam sel, setalah lama–kelamaan ion klorida akan menumpuk
di dalam sel, akhirnya terjadi penumpukan ion klorida didalam sel yang prosesnya
disebut hiperpolarisasi yang menimbulkan efek sedative (mengantuk). Dosis efektif
Phenobarbital relatif rendah, efek sedative dalam hal ini dianggap sebagai efek samping,
dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral lainnya tanpa menghilangkan khasiat
antikonvulsinya.
Phenobarbital disuntikkan pada mencit yang sebelumnya telah ditimbang untuk
menyesuaikan dosisnya.Natrium Phenobarbital merupakan golongan barbiturat yang
digunakan sebagai hipnotik – sedative dan anti konvulsi yang biasa digunakan adalah
barbiturat kerja lama (long acting barbiturat) dimana bekerja dengan membatasi
penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsangan. Dosisnya relative
rendah dan memiliki efek sedesi, psikosis akut, dan agutasi. Barbiturat menghambat
tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi fosfat berenergi tinggi. Senyawa
fosfat ini diperlukan untuk sintesis neurotransmitter misalnya ACH dan repolarisasi
membrane sel setelah depolarisasi.

Tahap awal yang dilakukan adalah penimbangan berat masing– masing mencit
(sebanyak 4 ekor untuk tiap kelompok). Penimbangan berat tiap mencit ini bertujuan
untuk menghitung dosis Natrium Phenobarbital yang akan diberikan pada tiap mencit
yang memiliki berat badan yang berbeda, sehingga dapat memenuhi dosis individu tiap
mencit untuk mencapai efek yang diharapkan. Dalam percobaan diperoleh hasil
penimbangan, yaitu untuk mencit pertama dengan berat 26,7 g; mencit kedua 27 g;
mencit ketiga 25,5 g; mencit keempat 25,3 g. Sehingga volume Natrium Phenobarbital
yang akan diberikan untuk mencit diperoleh dari perhitungan dosis individu dibagi stock
sediaan yang ada (Natrium Phenobarbital 1 %). Untuk mencit pertama sebanyak 0,26 ml

10
(PO); mencit kedua 0,27 ml (SC); mencit ketiga 0,25 ml (IP); dan mencit keempat 0,05
ml (IM)
 Untuk mencit pertama, cara pemberian dilakukan secara peroral yaitu dengan
cara memasukkan jarum injeksi yang berujung tumpul ke dalam mulut mencit.
Sebisa mungkin hindari cairan masuk kedalam kerongkongan karena akan
menyebabkan cairan masuk ke dalam paru-paru mencit dan apabila jarum suntik
masuk kedalam tenggorokan akan ditandai dengan keluarnya darah dari mulut
mencit dan mencit bisa mati.
 Untuk mencit yang kedua, cara pemberian dilakukan secara subkutan yaitu
menyuntikkan jarum suntik injeksi sampai dibawah kulit pada tengkuk mencit.
 Untuk mencit ketiga dengan pemberian dilakukan secara intraperitonial yaitu
dengan cara menyuntikan jarum injeksi kedalam rongga perut dan jangan sampai
masuk kedalam usus untuk menghindari terjadinya perubahan nilai onset.
 Untuk mencit yang keempat cara pemberian obat secara intramuskular yaitu
dengan menyuntikkan jarum injeksi kedalam otot pada daerah otot gluteus
maximus di paha mencit

Secara teoritis dijelaskan bahwa onset paling cepat secara berturut-turut adalah
intraperitonial, intramuscular, subkutan, peroral .Hal ini terjadi karena penyuntikan
secara Intraperitonial disuntikan pada daerah yang mengandung banyak pembuluh darah
sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah, sehingga memberi onset yang
tercepat. Pada Injeksi Intramuscular disuntikkan pada daerah yang mengandung lapisan
lemak yang cukup kecil sehingga obat dapat terhalang oleh lemak sebelum terabsorbsi,
oleh karena hal tersebut maka onsetnya lebih lambat dari pada injeksi secar
intraperitoneal. Sedangkan pada injeksi secara subkutan disuntikkan pada daerah yang
mengandung lemak yang cukup banyak sehingga onsetnya lebih lambat dari pada injeksi
intramuscular. Pada pemberian peroral, obat akan mengalami rute yang panjang untuk
mencapai reseptor karena terlebih dahulu melalui proses metabolisme di saluran cerna
Dari hasil yang dipraktekkan didapatkan hasil onset yang berbeda-beda. Onset
adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk berefek. Pada praktek didapatkan hasil onset
yang berbeda dari kelompok satu dengan lainnya. Selain itu perbedaan onset dipengaruhi
oleh cara pemberian obat. Dari percobaan diperoleh hasil onset yang paling cepat adalah
subcutan.

11
Sedangkan untuk ketiga percobaan yang lainnya belum didapatkan onset yang
sebenarnya, dikarenakan keterbatasan waktu praktikum ,sehingga Phenobarbital yang
diberikan secara intraperitonial, intramuskular dan per oral belum memberikan efek yang
maximal.
Pada percobaan ini tidak dilakukan pengamatan durasi hal ini disebabkan karena
kadar fenobarbital yang diberikan terlalu kecil sehingga munculnya efek yang
ditimbulkan obat lama, dengan demikian tidak memungkinkan untuk melakukan
pengamatan durasinya pula. Namun secara teoritis pada pemberian peroral akan
didapatkan durasi terpendek, disebabkan karena peroral melewati banyak fase seperti
proses pencernaan dan ionisasi dahulu.

Semakin banyak fase yang dilalui maka kadar obat akan turun sehingga obat yang
berikatan dengan reseptor akan turun dan durasinya pendek. Sedangkan pada pemberian
secara intraperitonial obat dengan kadar tinggi akan berikatan dengan reseptor sehingga
akan langsung berefek tetapi efek yang dihasilkan durasinya cepat karena setelah itu tidak
ada obat yang berikatan lagi dengan reseptor. Pada subcutan memiliki durasi yang lama,
hal ini disebabkan karena obat akan tertimbun di jaringan di bawah kulit sehingga secara
perlahan- lahan baru akan dilepaskan sehingga durasinya bisa bertahan lama.
Adanya variasi onset dan durasi dari tiap-tiap cara pemberian dapat disebabkan
oleh beberapa hal, meliputi:

 Kondisi hewan uji dimana masing-masing hewan uji sangat bervariasi yang
meliputi produksi enzim, berat badan dan luas dinding usus, serta proses absorbsi
pada saluran cerna.
 Faktor teknis yang meliputi ketetapan pada tempat penyuntikan dan banyaknya
volume pemberian Phenobarbital pada hewan uji.
Dengan demikian cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi
dimana hubungannya dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan
absorbsi obat berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan absorpsi obat
berpengaruh terhadap durasinya, jika obat yang diabsorbsi lengkap maka dapat
memberikan durasi yang lama. Namun, pada praktikum ini lebih ditekankan pada
pengamatan onset yang erat kaitannya dengan kecepatan absorpsi.

12
PEMBAHASAN STATISTIK
Untuk memastikannya hasil pada masing-masing cara pemberian dilakukan dengan
uji stastistik analisa One Way Anova karena di sini hanya terdapat satu variable yakni
cara pemberian dengan taraf signifikan 5% atau tingkat kepercayaan 95%. Secara
Deskriptif, diperoleh rata-rata onset pemberian secara peroral yaitu 63,5. Onset
pemberian secara subcutan adalah 44,0. Onset pemberian secara intraperitoneal adalah
36,1 dan onset pemberia secara intramuskular adalah 43,3.
Dari analisa data homogenitas, diperoleh hasil sig 0,06 pada onset. Hasilnya lebih
besar dari 0,05. Sedangkan dari tabel Anova dapat diketahui nilai probalitas atau
signifikannya adalah 0,084 yang berarti lebih besar dari 0,05. Sehingga dari percobaan 3
kelompok (C2.1, C2.2, C2.3) dapat disimpulkan bahwa semua cara pemberian
memberikan efek yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum berbagai
cara pemberian baik itu secara per oral, subcutan, intraperitoneal, maupun intra muscular,
pada hasil percobaan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf
nyata 95% (p < 0,05), karena pada analisa anova dinyatakan memberikan perbedaan
yang signifikan jika diperoleh nilai < 0,05.

13
VI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
1. Cara pemberian obat yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi
obat sehingga berpengaruh pada onset.
2. Dari tabel diskriptif diperoleh rata-rata onset
 Per Oral 63,5 menit
 Subcutan 44,0 menit
 Intraperitoneal 36,1 menit
 Intramuscular 43,3 menit
3. Dari tabel homogenitas diperoleh 0,06 > 0,05 yang berarti homogen, sehingga uji
ANOVA valid untuk menguji hubungan ini
4. Dari tabel ANOVA diperoleh 0,84 > 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada praktikum cara pemberian obat.

VII. LAMPIRAN
1. Analisis data One Way ANOVA
2. Grafik rata-rata onset tiap perlakuan
3. Laporan Sementara

14

Anda mungkin juga menyukai