Anda di halaman 1dari 14

IDENTITAS NASIONAL

“PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG


BUDAYA TAHLILAN”

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
YANG DIBINA OLEH DR. KHRISNA HADIWINATA, S.H, M.H

Dibuat Oleh : Kelompok 1


Kelas : D3-TL 2B

1. Dimas Pebrian S (1731120035 / 06)


2. Malindra Agasta P (1731120043 / 16)
3. Nurhayati (1731120071 / 23)
4. Retar Deni Kusuma (1731120008 / 24)
5. Saefullah Sutanto (1731120009 / 25)

POLITEKNIK NEGERI MALANG


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’Ala,


karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
Identitas Nasional “Perbedaan Pendapat Tentang Budaya Tahlilan”. Makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah pendidikan kewarganegaraan yang
dibina oleh DR. Khrisna Hadiwinata, S.H, M.H.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Pendidikan kewarganegaraan masih sangat diperlukan untuk
menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bangsa Indonesia dan mengembangkan
kesadaran berbangsa dan bernegara.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi semua kalangan
khususnya para mahasiswa sehingga dapat mengetahui identitas nasional bangsa
Indonesia.

Malang, 26 Mei 2019


Penyusun,

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Posisi strategis negara Indonesia telah membawa perkembangan
manusia yang menempati wilayah ini. Secara wilayah merupakan negara
kepulauan yang tersebar. Dengan tersebarnya wilayah menimbulkan
keberagaman suku, klan, etnis, dan agama telah membawa dinamika
masing-masing daerah. Keberagaman budaya seluruhnya merupakan bentuk
yang lahir dari kemajemukan masyarakat, yang menjadikan suatu identitas
nasional negara indonesia. Banyaknya keanekaragaman budaya di Indonesia
memberikan gambaran bahwa setiap suku yang ada memiliki identitas dan
kekhasan yang menunjukkan perbedaan-perbedaan dari setiap suku.
Perbedaan sebagai alat pemersatu. Mengenai hal tersebut masyarakat akan
saling menghargai yang satu dengan yang lainnya. Salah satu yang terlihat
tentang dinamika perkembangan agama (sistem kepercayaan) telah menjadi
bagian kehidupan yang tidak terpisahkan. Bentuk agama (sistem
kepercayaan) secara luas telah dikatahui bersama.
Secara singkat perkembangan Indonesia mengenal agama dari
memuja roh-roh nenek moyang (animisme) atau memuja sesuatu benda
(dinamisme), hingga agama yang dikenal pada umumnya. Peranan
kepercayaan dalam membentuk kebudayaan sebagai integrasi masyarakat.
Dalam perkembangan tersebut akhirnya timbul pemahaman sebagai
keteraturan hidup. Dengan perkembangan budaya masyarakat yang
melahirkan gagasan, serta penerimaan sebagai kesatuan berupa anggapan
benar. Anggapan benar dari bagian agama ini menjadikan pemahaman bagi
masyarakat. Demikian pemahaman tersendiri bagi masyarakat telah menjadi
bagian hidup sebagai pedomannya.
Dengan demikian, makalah dengan judul Identitas Nasional
“Perbedaan Pendapat Tentang Budaya Tahlilan” perlu ditulis dan dibahas
lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, berikut ini
dipaparkan rumusan masalah dalam makalah.
1. Bagaimana hakikat tahlil berdasarkan pendapat ulama?
2. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai perbedaan pendapat
tentang budaya tahlilan?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, berikut ini
dipaparkan tujuan penulisan makalah.
1. Mengetahui hakikat hakikat tahlil berdasarkan pendapat ulama.
2. Mengetahui pandangan masyarakat tentang perbedaan budaya tahlilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengerian Identitas Nasional


Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas
kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata
“identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris
identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang
melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan
dengan yang lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Jadi,
identitas nasional adalah suatu ciri yang dimiliki suatu bangsa, secara
fisiologi yang membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lainnya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap bangsa di dunia ini akan
memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri
serta karakter dari bangsa tersebut.
Secara global, identitas nasional Indonesia adalah:
1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang Negara yaitu Pancasila
5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat
9. Konsepsi Wawasan Nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan
Nasional
2.2 Unsur – Unsur Pembentuk Identitas Nasional
Unsur – unsur pembentuk identitas nasional yaitu:
1. Suku Bangsa
Identitas nasional tersebut pada dasarnya menunjuk pada identitas-
identitas yang sifatnya nasional. Identitas nasional bersifat buatan dan
sekunder. Bersifat buatan karena identitas nasional itu dibuat, dibentuk
dan disepakati oleh warga bangsa sebagai identitasnya setelah mereka
bernegara. Bersifat sekunder karena identitas nasional lahir belakangan
bila dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang memang
telah dimiliki warga bangsa itu secara askriptif. Sebelum memiliki
identitas nasional, warga bangsa telah memiliki identitas primer yaitu
identitas kesukubangsaan.
Suku Bangsa merupakan salah satu dari unsur pembentuk identitas
nasional. Suku bangsa merupakan Golongan sosial yang khusus yang
bersifat askriptif atau ada sejak lahir yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan
garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh
pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti
kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis, Di
Indonesia khususnya, terdapat banyak sekali suku bangsa atau
kelompok etnis dengan tidak kurang tiga ratus dialek bahasa.
Beberapa suku bangsa menurut pulau :
• Jawa: Suku Jawa, Suku Bawean, Suku Tengger, Suku Osing , Suku
Sunda ,Suku Baduy, Suku Banten, Suku Cirebon dan Suku Betawi
• Madura: Suku Madura
• Sumatera: Suku Melayu, Suku Batak , Minangkabau, Suku Aceh,
Suku Lampung, Suku Kubu
• Kalimantan: Suku Dayak , Suku Banjar, Suku Kutai, suku Berau,
Suku Bajau
• Sulawesi: Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Tolaki,
Suku Minahasa , Suku Gorontalo, Suku Toraja
• Kepulauan Sunda Kecil: Suku Bali, Suku Sasak
• Maluku: Suku Ambon, Suku Nuaulu, Suku Manusela, Suku
Wemale
• Papua : Suku Dani, Suku Bauzi, Suku Asmat
Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan
jumlah mencapai 41% dari total populasi. Orang Jawa kebanyakan
berkumpul di pulau Jawa, akan tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi
dan tersebar ke berbagai pulau di Nusantara bahkan bermigrasi ke luar
negeri seperti ke Malaysia dan Suriname. Suku Sunda, suku Melayu,
dan suku Madura adalah kelompok terbesar berikutnya di negara ini.
Banyak suku-suku terpencil, terutama di Kalimantan dan Papua,
memiliki populasi kecil yang hanya beranggotakan ratusan orang.

2. Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model
pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-
pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang
dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak
(dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi. Beberapa kebudayaan Indonesia antara lain:
a. Wayang
b. Tari daerah
c. Reog
d. Kebudayaan dalam bidang keagamaan
Salah satu contoh keanekaragaman di Indonesia dalam bidang
keagamaan adalah Tahlilan seperti pada makalah yang dibahas saat
ini.
2.3 Pengertian Tahlilan
Kata “Tahlilan” berasal dari kata “tahlil” yang dalam bahasa Arab
bermakna mengucapkan kalimat thayyibah “Laa ilaaha illallah”, yang
berarti tiada Tuhan selain Allah swt. Makna tahlil kemudian berkembang
menjadi serangkaian bacaan yang terdiri dari kumpulan dzikir seperti tasbih,
tahmid, shalawat, takbir, tahlil dan beberapa bacaan dzikir yang lain, serta
ayat-ayat Al-Qur’an dan doa. Oleh karena bacaan tahlil lebih dikenal dan
lebih dominan daripada yang lainnya, maka kata tahlil terpilih menjadi
nama serangkaian bacaan tersebut. Dengan demikian, rangkaian bacaan
inilah yang menimbulkan istilah tahlilan, yang berarti kegiatan
berkumpulnya orang-orang di suatu tempat untuk membaca tahlil.

2.4 Sejarah Budaya Tahlilan


Acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabi’in maupun Tabi’ut
tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam
Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad,
dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka.
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca:
selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama
Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan
mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan
pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara
praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu
dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa agama lain dengan bacaan
dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut
mereka.
Dari aspek historis ini, bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan
adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, telah ada berbagai kepercayaan yang di
anut oleh sebagian besar penduduk tanah air ini, di antara keyakinan-
keyakinan yang mendomisili saat itu adalah animisme dan dinamisme. Di
antara mereka meyakini bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan
gentayangan di sekitar rumah selam tujuh hari, kemudian setelahnya akan
meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali pada hari ke empat puluh,
hari keseratus dan hari keseribunya atau mereka mereka meyakini bahwa
arwah akan datang setiap tanggal dan bulan dimana dia meninggal ia akan
kembali ke tempat tersebut, dan keyakinan seperti ini masih melekat kuat di
kalangan masyarakat di tanah air ini sampai hari ini.
Sehingga masyarakat pada saat itu ketakutan akan gangguan arwah
tersebut dan membacakan mantra-mantra sesuai keyakinan mereka. Setelah
Islam mulai masuk di bawa oleh para Ulama yang berdagang ke tanah air
ini, mereka memandang bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang menyelisihi
syari’at Islam, lalu mereka berusaha menghapusnya dengan perlahan,
dengan cara memasukkan bacaan – bacaan berupa kalimat – kalimat
thoyyibah sebagai pengganti mantra-mantra yang tidak dibenarkan menurut
ajaran Islam dengan harapan supaya mereka bisa berubah sedikit demi
sedikit dan mininggalkan acara tersebut menuju ajaran Islam yang
murni dan benar.
Akan tetapi sebelum tujuan akhir ini terwujud, dan acara pembacaan
kalimat-kalimat thoyibah ini sudah menggantikan bacaan mantra-mantra
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, para Ulama yang bertujuan baik ini
meninggal dunia, sehingga datanglah generasi selanjutnya yang mereka ini
tidak mengetahui tujuan generasi awal yang telah mengadakan acara
tersebut dengan maksud untuk meninggalkan secara
perlahan. Perkembangan selanjutnya datanglah generasi setelah mereka
dan demikian selanjutnya, kemudian pembacaan kalimat-kalimat thoyibah
ini mengalami banyak perubahan baik penambahan atau pengurangan dari
generasi ke generasi, sehingga kita jumpai acara tahlilan di suatu daerah
berbeda dengan prosesi tahlilan di tempat lain sampai hari ini.
2.5 Tujuan Dilaksanakan Tahlilan Bagi Keluarga Almarhum/Almarhumah
1. Dapat menyambung dan mempererat tali silaturahmi antara para
Undangan dengan keluarga almarhum/almarhumah.
2. Meminta maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat oleh
almarhum/almarhumah semasa hidupnya kepada para undangan.
3. Sebagai sarana penyelesaian terhadap hak-hak dan kewajiban-
kewajiban almarhum/almarhumah terhadap orang-orang yang masih
hidup.
4. Melakukan amal shaleh dan mengajak beramal shaleh dengan
bersilaturahmi, membaca doa dan ayat-ayat al-Qur’an, berdzikir, dan
bersedekah.
5. Berdoa kepada Allah agar segala dosa-dosa almarhum/almarhumah
diampuni, dihindarkan dari siksa neraka dan diberikan tempat terbaik
di sisi Allah.
6. Untuk mengingat akan kematian bagi para undangan dan keluarga
almarhum serta dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama


1. Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Muhammadiyah
Para ulama Muhammadiyah menganggap bahwa tahlilan
yangdilakukan oleh umat islam untuk mendoakan orang yang telah
meninggal adalah sesuatu yang bid’ah, karena menurut mereka masalah
tahlilan itu tidak ada dalil yang kuat yang dijelaskan dalam Al-Quran,
namun para ulama Muhammadiyah tidak mengharamkan pelaksanaan
tahlilan tersebut.
Menurut ulama Muhammadiyah bahwa seorang yang telah
meninggal dunia maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
manusia yang masih hidup adalah putus tidak ada kaitan lagi, karena
sudah terdapat perbedaan alam yaitu orang yang meninggal ada di alam
barjah, sedangkan orang yang belum meninggal ada di alam dunia.

2. Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Nahdatul Ulama


(NU)
Kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa tahlilan
tidak ada dalil yang menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun
kenapa mereka masih melaksanakan acara tahlilan tersebut karena kaum
muslimin Nahdatul Ulama mempunyai pendapat lain bahwa tahlilan
dilaksanakan dikeluarga yang meninggal mempunyai tujuan-tujuan
tertentu di antaranya adalah sebagai berikut :
1) Tahlilan dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum
dilakukantahlilan seorang imam melakukan ceramah keagamaan.
2) Isi dari tahlilan adalah dzikir dan doa dengan kata lain
melaksanakan tahlilan berarti mendoakan kepada yang meninggal
dunia.
3) Menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum
muslimin yang berada di sekitar rumah yang ditinggal, maka
terjalinlah silaturahmi diantara umat islam.

3.2 Adanya Perbedaan Pendapat Masyarakat Tentang Budaya Tahlil


Tidak semua masyarakat di Indonesia melaksanakan budaya tahlilan.
Ada perbedaan pandangan menurut masyarakat di Indonesia mengenai
budaya Tahlil tersebut. Salah satu contohnya adalah adanya beberapa
masyarakat yang beranggapan bahwa tidak perlu diadakannya tahlilan.
Mereka beranggapan bahwa jika mengadakan tahlil maka akan
memberatkan bagi tuan rumah yang sedang dalam kondisi berduka. Hal ini
diyakini bisa menambah beban kepada orang yang mengadakan tahlil
tersebut. Hal itu sesuai dengan Mazhab Syafi’i.
Sementara sebagian masyarakat yang lain yang beranggapan
bahwa perlu diadakannya budaya tahlil. Bagi masyrakat yang beranggapan
bahwa tahlil perlu diadakan adalah karena untuk melestarikan budaya yang
telah lama diturunkan oleh nenek moyang, selain itu adanya tahlilan juga
ditujukan untuk melaksanakan kirim doa bagi seseorang yang telah
meninggal. Untuk itu mereka beranggapan bahwa budaya tahlil boleh
dilaksanakan. Mereka yang melakukan budaya tahlilan juga memiliki
dasaran yakni madzhab ulama lain yang menyatakan boleh melaksanakan
tahlilan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Para ulama Muhammadiyah menganggap bahwa tahlilan
yangdilakukan oleh umat islam untuk mendo’akan orang yang telah
meninggal adalah sesuatu yang bid’ah, karena menurut mereka masalah
tahlilan itu tidak ada dalil yang kuat yang dijelaskan dalam Al-Quran,
namun para ulama Muhammadiyah tidak mengharamkan pelaksanaan
tahlilan tersebut. Kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa
tahlilan tidak ada dalil yang menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis,
namun kenapa mereka masih melaksanakan acara tahlilan tersebut karena
kaum muslimin Nahdatul Ulama mempunyai pendapat lain bahwa tahlilan
dilaksanakan dikeluarga yang meninggal mempunyai tujuan-tujuan tertentu.
Dikalangan masyarakat setiap orang memiliki pendapat masing-
masing tentang budaya tahlilan ada yang melaksanakan dan ada juga yang
tidak melaksanakan, tergantung kepercayaan dan keyakinan masing-masing
individu tersebut.

4.2 Saran
Saran penulis kepada pembaca adalah
1. Agar dapat memahami dan mempelajari makalah ini dengan sebaik
mungkin dan dapat menerapkan dan memahami apa itu tahlilan dan
bagaimana cara kita menyikapinya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Janganlah perbedaan pandangan dalam pelaksanaan tahlilan ini menjadi
permusuhan dan menjadikan salah satu pandangan yang paling benar,
karena pada pokoknya mendoakan orang telah meninggal baik secara
perorangan maupun secara bersama-sama (tahlilan) adalah kaum
muslimin tersebut menunjukan akhlak yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maduri, Muhammad, Abu. 2016. Manfaat dan Keutamaan Tahlil . (Online)


http://mainfada.iai-tribakti.ac.id/2016/03/manfaat-dan-keutamaan-
tahlilan.html, diakses 26 Mei 2019.

Hasanah, Nur, Siti. 2012. Tradisi Tahlil. (Online)


https://dokumen.tips/documents/makalah-tradisi-tahlilan.html, diakses 26
Mei 2019.

Rhafiz, 2012. Tahlil Dalam Islam. (Online) http://eza-


rhafiz.blogspot.com/2012/06/tahlil-dalamislam-makalahpendidikan.html,
diakses 26 Mei 2019.

Tanpa Nama. 2018. Makalah Tahlil. (Online), https://simba-


corp.blogspot.com/2018/11/makalah-tahlil-pengertian-sejarah.html,
diakses 26 Mei 2019.

Anda mungkin juga menyukai