Anda di halaman 1dari 30

A.

Latar Belakang Masalah

Dalam penelitian kuantitatif penggunaan teori secara deduktif dan menempatkannya di awal
rencana penelitian. Tujuan penelitian kuantitatif adalah menguji atau membuktikan sebuah
teori, bukannya untuk mengembangkan teori. Oleh karena itu, untuk memulai penelitian
dengan mengajukan sebuah teori, mengumpulkan data untuk mengujinya dan menguji ulang
apakah teori tersebut diperkuat atau diperlemah oleh hasil penelitian. Teori tersebut menjadi
kerangka penelitian secara keseluruhan, suatu model terorganisir pernyataan atau hipotesa
penelitian dan prosedur pengumpulan data.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

1. Apakah teori yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian?


2. Bagaimanakah teori penelitian bahasa Arab?

Dalam makalah ini akan dijelaskan:

1. Pengertian teori dan macam-macamnya


2. Teori yang diperlukan dalam penelitian dan sumbernya
3. Hubungan teori dengan fakta dan masalah

C. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk:

1. Mengetahui dan memahami arti teori dan macam-macamnya


2. Mengetahui apa saja teori yang digunakan dalam penelitian beserta sumbernya
3. Mengetahui dan memahami hubungan timbal balik antara teori, fakta, dan masalah

BAB II

PEMBAHASAN

TEORI DALAM PENELITIAN

A. Pengertian dan Macam-macam Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep.[1] Teori
menunjukkan hubungan antara fakta-fakta. Teori menyusun fakta-fakta dalam bentuk yang
sistematis sehingga dapat dipahami.[2]

Menurut Kerlinger teori adalah sebagai serangkaian bagian (variabel), definisi dan dalil yang
saling berhubungan yang dihadirkan sebuah pandangan sistematis tentang fenomena dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Bentuk teori dapat berupa serangkaian hipotesa, pernyataan logis “jika…maka”, atau model
visual. Bentuk presentasi teori menunjukkan urutan sebab musabab variabel-variabel.
Hopkins menyajikan teorinya sebagai serangkaian hipotesa.

Para ahli ilmu pengetahuan secara sistematis membangun teori dan mengetesnya untuk
mengetahui internal konsistensi dan aspek-aspek subjektifnya dengan data-data empiris.[3]

Menurut Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati, teori digolongkan kepada empat macam,
yaitu asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi.

1. Asumsi

Asumsi adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverifikasi secara empiris.[4]
Dalam penelitian ilmu sosial, setidaknya kita mengenal dua pendekatan yang memengaruhi
proses penelitian, mulai dari merumuskan permasalahan hingga mengambil kesimpulan.
Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar yang ada di dalam
pendekatan kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan di dalam
pendekatan kualitatif. Asumsi dasar inilah yang memengaruhi pada perbedaan dari cara
pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan.

Adapun asumsi dasar pendekatan kuantitatif , yaitu:[5]

1. Asumsi Dasar Ontologi (Hakikat Dasar Gejala Sosial)

Gejala sosial dikatakan sebagai sesuatu gejala yang real, yang dapat diungkap dengan
menggunakan indra manusia. Karena suatu gejala adalah real, bisa terjadi kesepakatan di
antara individu-individu yang ada di sekitarnya, dan suatu ketika gejala tersebut menjadi
sebuah fenomena yang sifatnya universal dan diakui oleh orang banyak.

2. Asumsi Dasar Epistemologi (Hakikat Dasar Ilmu Pengetahuan)

Suatu gejala adalah nyata. Karena gejala itu sifatnya nyata, gejala yang ada bisa dipelajari.
Gejala yang ada bisa ditangtkap dengan menggunakan indra. Dengan demikian, kita bisa
membuat perbedaan bantara yang satu dengan yang lain.

Epistemologi mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:

1) Keterkaitan antara ilmu dengan nilai

Ilmu pengetahuan berpendirian bahwa “tahu” lebih baik dari “tidak tahu” tentang apa pun.
Pengetahuan yang diperoleh harus disebarluaskan dan menjadi milik umum dan tidak boleh
dirahasiakan atau menjadi milik pribadi atau kelompok.

Karena pendirian bahwa “tahu” lebih baik daripada “tidak tahu” maka ilmu pengetahuan
memerlukan kebebasan penuh untuk mengadakan penelitian. Kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan akan terhalang bila ada tekanan sosial politik yang menghambat atau
mengekang kebebasan itu.

Jadi sebagai nila-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan dapat kita sebut: kejujuran,
kesediaan mengakui yang salah, mengutamakan kebenaran di atas harga diri, untuk
dipersembahkan kepada umu, tanpa keuntungan pribadi, kebebasan dalam meneliti dan
menyebarkan ilmu agar manusia lebih banyak tahu tentang dirinya dan dunia tempat ia hidup.

S. Nasution menambahkan bahwa “ada kemungkinan nilai-nilai ilmu pengetahuan itu


bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan data empiris. Nilai-nilai masyarakat yang didasarkan atas takhayul, tradisi
atau prasangka dibantah oleh hasil penelitian ilmiah.

Individu adalah seorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa indidvidu tidak
dipengaruhhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orang-orang yang sedang diteliti. Bebas nilai
karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang-orang
tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal. Dengan
sifat yang universal itu, individu berasumsi bahwa orang-orang yang akan ia teliti memiliki
nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai yang ia bawa.

2) Keterkaitan ilmu dengan akal sehat

Segala sesuatu yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal
sebagai ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan akal
sehat belaka. Dengan demikian, pada saatnya nanti ilmu akan menggantikan akal sehat

3) Metodologi

Logika pemikiran ilmiah yang mencakup proses pembentukan ide dan gagasan diberlakukan
secara ketat dengan memakai prinsip nomotetik dan menggunakan pola deduktif.[6]

3. Hakikat dasar manusia

Dengan adanya pola yang bersifat universal, pada gilirannya manusia sersungguhnya diatur
dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Manusia dipengaruhi oleh lingkungan, manusia bukan
merupakan individu yang bebas. Dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, kita pasti
mengalami bahwa dalam setiap tindakan, perkataan, serta perilaku kita diatur oleh sebuah
hukum yang universal.

4. Aksiologi (Tujuan dilakukannya sebuah penelitian)

Tujuan dilakukannya sebuah penelitian adalah dalam upaya untuk menemukan hukum
universal dan mencoba menjelaskan mengapa suatu gejala atau fenomena terjadi, dengan
mengaitkan antara gejala atau fenomena yang satu dengan gejala atau fenomena yang lain.

2. Konsep

Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau
menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu.[7] Bailey (1982) menyebutkan sebagai persepsi
(mental Image). Atau abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus.

Setiap penelitian kuantitatif dimulai dengan menjelaskan konsep penelitian yang digunakan,
karena konsep penelitian ini merupakan kerangka acuan peneliti di dalam mendesain
instrument penelitian. Konsep juga dibangun dengan maksud agar masyarakat akademik atau
masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau pembaca laporan penelitian memahami
apa yang dimaksud dengan pengertian variable, indikator, parameter, maupun skala
pengukuran yang dimaksud penelitiannya kali ini. Lebih konkrit, konsep adalah generalisasi
dari sekelompok fenomena yang sama[8]

Dalam membangun konsep ada dua desain yang perlu diperhatikan, yaitu generalisasi dan
abstraksi. Generalisasi adalah proses bagaimana memperoleh prinsip dari berbagai
pengalaman yang berasal dari literatur dan empiris. Abstraksi yaitu cakupan ciri-ciri umum
yang khas dari fenomena yang dibicarakan.

3. Konstruk

Konstruk adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diamati langsung seperti pemecahan masalah.
Konsep seperti ini lebih tinggi tarafnya daripada abstraksi yang ciri-cirinya dapat diamati
langsung. Jadi konstruk adalah konsep sedangkan tidak semua konstruk adalah konsep.[9]
Menjadikan konstruk yang dapat kita ukur disebut operasionalisasi. Kata kerjanya
mengoperasionalisasikan.4. Proposisi

Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep.

B. Teori yang Diperlukan dalam Penelitian dan Sumbernya

1.
Deduksi
2.

Alam Konkrit
Alam Abstrak
Pengetahuan
Induksi
Fakta
Pengujian/ Penelitian
Hipotesis

Mengikuti proses terbentuknya ilmu pengetahuan seperti yang digambarkan dengan


lingkaran/bagan di atas, dapat kita mengerti bahwa makin sering diuji dengan data (riset),
maka derajat pengetahuannya makin tinggi. Dan apabila pengujiannya dengan data-data
tersebut dilakukan dengan mengunakan prosedur ilmiah, maka pengetahuan yang diperoleh
merupakan pengetahuan ilmiah yang disebut “Science-Ilmu pengetahuan”. Science inilah
yang kemudian menelorkan teori ilmiah, “The basic aim of science is theory”.[10]

Dilihat dari proses hubungan antara teori dan riset, maka teori yang disusun dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu

1. Teori deduktif hipotetis


Teori ini umumnya terdiri atas seperangkat hipotesis yang kemudian membentuk suatu
system deduktif. Artinya teori ini tersusun dari seperangkat proposisi hipotesis, kemudian
dari hipotesis-hipotesis yang lebih tinggi ditarik serangkaian deduksi secara logis. Bila
disusun bagannya adalah sebagai berikut:[11]

Teori
Konsepsi-konsepsi logis, hipotesis-hipotesis, spekulasi, a priori

Dalam proses ini, ternyata penelitian empiris tidak ikut berperan. Teori sepenuhnya disusun
berdasarkan renungan atau spekulasi tanpa didasari oleh data empiris.

2. Teori Induktif-empiris

Teori ini disusun atas dasar data empiris. Dengan mendeskripsi dan menganalisis data
empiris, kita dapat menyusun konsep-konsep dan hipotesis-hipotesis, yang kemudian bisa
muncul teori sebagai penjelasan dari data-data empiris tersebut. Bila digambar bagannya
adalah sebagai berikut:

Data
Deskriptif Data
Konsepsi, hipotesis yang berdasarkan data
Teori

Dalam penyusunan teori yang macam kedua ini, penelitian justru menduduki tempat yang
menentukan. Dalam hal ini justru data hasil penelitian menjadi sumber pokok penyususunan
teori.

3. Teori spekulatif-empiris

Teori ini disusun atas dasar pengetahuan umum atau ilmu pengetahuan yang ada. Dengan
cara deduktif disusunlah hipotesis-hipotesis. Kemudian hipotesis-hipotesis itu diuji dengan
data-data empiris. Dari hasil pengujian inilah yang kemudian muncul suatu teori. Bagannya
adalah sebagai berikut:

Teori
Konsepsi
atau hipotesis
Data

Kedudukan riset dalam teori yang macam ketiga inilah yang member peluang besart
berkembangnya ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu menemukan
ilmu yang baru atau mengembangkan ilmu yang sudah ada atau menguji kebenaran ilmu
yang sudah ada.[12] Pencapaian tujuan riset inilah yang memperkembangkan ilmu
pengetahuan.
C. Hubungan teori dengan fakta dan masalah

Science mempunyai konsep tersendiri tentang teori dan fakta serta hubungan antara
keduanya. Fakta adalah hasil observasi yang dapat dibuktikan secara empiris. Teori
menunjukan hubungan antara fakta-fakta. Teori menyusun fakta-fakta dalam bentuk yang
sistematis sehingga dapat dipahami. Fakta tidak dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
jika dikumpulkan tanpa system. System disusun berdasarkan teori. Tanpa system, tanpa teori,
science tidak dapat mengadakan ramalan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi dalam
kondisi tertentu (jika…, maka…). Jadi fakta dalam ilmu pengetahuan adalah hasil observasi,
bukan secara acakan, akan tetapi relevan dan bertalian dengan teori. Maka karena itu teori
dan fakta saling berhubungan. Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi berkat interaksi antara
fakta dan teori.

Teori merupakan alat science yang penting sekali. Fungsinya antara lain:

1. Teori mengarahkan perhatian. Teori member orientasi atau arah kepada penelitian dan
dengan demikian membatasi fakta-fakta yang harus dikumpulkan dan dipelajari dari
dunia kenyataan yang luas. Tiap ilmu pengetahuan dan tiap spesialisasi membatasi gejala-
gejala bidang penelitiannya sehingga dapat dikuasai. Teori dapat membantu menentukan
fakta-fakta mana yang relevan bagi suatu penelitian.
2. Teori merangkum pengetahuan. Teori merangkum fakta-fakta dalam bentuk generalisasi
dan prinsip-prinsip, sehingga fakta-fakta lebih mudah dipahami dalam rangka generalisasi
itu. Teori juga mencoba melihat hubungan antara generalisasi-generalisasi yang serba
kompleks dengan membentuk sistem-sistem pemikiran ilmiah.
3. Teori meramalkan fakta. Dengan teori dicoba meramalkan kejadian yang akan dating
dengan mempelajari kondisi-kondisi yang menuju kepada kejadian itu. Teknologi di dunia
barat dan perkembangan industry menimbulkan urbanisasi dan gejala ini merenggangkan
hubungan kekeluargaan tradisional. Majunya teknologi modern di Negara-negara yang
berkembang diramalkan akan menimbulkan hal-hal yang bersamaan. Namun ilmu-ilmu
sosial belum cukup berkembang untuk mengadakan ramalan atau prediksi seperti yang
dapat dilakukan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam.

Sedangkan peranan atau fungsi fakta antara lain:

1. Fakta dapat merupakan alas an untuk menolak teori yang ada. Tiap teori harus cocok
dengan fakta. Bila fakta tidak sesuai dengan teori yang berlaku, maka teori itu harus
ditolak atau dirumuskan kembali dengan memhitungkan fakta yang tadinya belum
tercakup oleh teori itu.
1. Fakta menyebabkan lahirnya teori baru. Ada kalanya suatu fakta yang
diamatai secara kebetulan menimbulkan teori baru seperti penemuan penisilin.
Kadang-kadang fakta-fakta yang biasa, dipandang dari segi baru, misalnya
mimpi dari segi pandangan Freud.
2. Fakta dapat juga memberi dorongan untuk mempertajam atau memperluas
rumusan teori yang telah ada.

Dalam penelitian masalah memegang peranan utama. Tanpa masalah tak ada penelitian.
Masalah adalah jiwa penelitian.

Masalah mendorong untuk berfikir, menyelidiki agar menemukan makna sesuatu. Masalah
harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga merangsang untuk berfikir. Masalah penelitian
harus mendorong pemahaman yang lebih mendalam, lebih fundamental, prinsipil dan kausal,
seperti “Apa sebab alat peraga mempengaruhi proses belajar.”

Dalam thesis dan disertasi peneliti sering panjang lebar bicara tentang latar belakang
masalah, sedangkan masalah hanya disebut dalam beberapa kalimat. Justru masalah yang
perlu mendapat pemikiran yang banyak agar kita pahami seluk beluknya

S. Nasuition mengatakan:[13]

“Dalam pengalaman kami selama membimbing penulisan thesis dan disertai kami lihat
berulang kali bahwa bagian “Latar Belakang M<asalah” sering disalahgunakan untuk
“omong” panjang lebar, ada kalanya sampai 20-30 halaman. Uraiannya tak jelas ujung
pangkalnya karena tidak terikat oleh rumusan masalahnya, sehingga penelitian merasa bebas
untuk bicara sesuka hatinya saja. Masalahnya sendiri baru dirumuskan setelah beberapa
puluh halaman. Maka krarena itu kami anjurkan agar “Latar Belakang Masalah” ditulis
setelah masalah dirumuskan”

Maksud Latar Belakang Masalah yang utama adalah menjelaskan bahwa masalah yang kita
pilih memang suatu masalah, bahkan suatu masalah yang sedang dihadapi dalam masyarakat
jadi bukan masalah yang dibuat-buat saja yang tak ada relevansinya dengan kehidupan
masyarakat. Ada kriteria ilmiah yang perlu diperhatikan, yang pada pokoknya mensyaratkan
agar masalah penelitian itu member sumbangan kepada perkembangan pengetahuan antara
lain:

1. Masalah itu hendaknya bertalian dengan konsep-konsep yang pokok


2. Masalah itu hendaknya mengembangkan atau memperluas cara-cara mentest suatu
teori
3. Masalah itu memberikan sumbangan kepada pengembangan metodologi penelitian
denganm menemukan alat, teknik, atau metode baru
4. Masalah itu hendaknya memanfaatkan konsep-konsep, teori, atau data dan teknik dari
disiplin-disiplin yang bertalian
5. Masalah hendaknya dituangkank dalam disain yang cermat dengan uraian yang teliti
mengenai variabel-variabelnya serta mengfgunakan metode-metode yang paling
serasi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, dan proposisi untuk menerangkan
suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan
antarkonsep.
2. Menurut Kerlinger teori adalah sebagai serangkaian bagian (variabel), definisi dan
dalil yang saling berhubungan yang dihadirkan sebuah pandangan sistematis tentang
fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah.
3. Menurut Hopkins teori adalah sebagai serangkaian hipotesa.
4. Menurut Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati, teori digolongkan kepada empat
macam, yaitu asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi.
5. Ada tiga teori yang dapat digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Teori deduktif hipotesis
2. Teori induktif-empiris
3. Teori spekulatif-empiris
4. Antara teori, fakta, dan masalah mempunyai hubungan yang sangat erat. Teori
yang tidak sesuai dengan fakta, berarti penelitian tidak bersifat ilmiah. Begitu
juga dengan masalah yang tidak teoritis dan factual akan sulit untuk
dipertanggungjawabkan.

B. Kritik dan Saran

Sepanjang uraian yang telah pemakalah paparkan dalam makalah ini, pemakalah menyadari
tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Di samping itu barangkali masih jauh dari
kesempurnaan. Maka pemakalah sangat mengharapkan ide-ide yang cemerlang dari pembaca
untuk memberikan kritikan dan saran yang mendukung makalah ini. Supaya tercapai apa
yang kita inginkan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bungin, M. Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana, 2008

Djojosuroto, Kinayati, & M.L.A. Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra.
Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004

Hasan, M. Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2002

Kasiram, Moh., Metodologi Penelitian, Refleksi Pengembangan dan Penguasaan Metodologi


Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008

Prasetyo, Bambang, & Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan
Aplikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006

S. Nasution, Metode Research, Penelitian Ilmiah, Bandung: Jemmars, 1991

[1] Kinayati Djojosuroto & M.L.A Sumaryati, Prinsip-Prinsip Penelitian Bahasa & Sastra.
Bandung, Yayasan Nuansa Cendekia: 2004, h. 17

[2] S. Nasution, Metode Research, Penelitian Ilmiah, Bandung, Jemmars: 1991, h. 4


[3] Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, Refleksi Pengembangan dan Penguasaan
Metodologi Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008 h. 36

[4] Kinayati, Op. Cit., h 20

[5] Bambang Prasetyo, & Lina Miftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan
Aplikasi, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2006 h.28

[6] Bambanng Prasetyo, & Lina Miftahul Jannah, Op. Cit. h. 31

[7] M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor,
Ghalia Indonesia: 2002 h. 17

[8] M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta, Kencana: 2008 h. 57

[9] Kinayati Djojosuroto & M.L.A. Sumaryati. Op. Cit. h.18-19

[10] Fred N. Kerlinger, 1973: 8 dalam Moh. Kasiram. Metodologi Penelitian, Refleksi
Pengembangan dan Penguasaan Metodologi Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008 h.
42

[11] Moh. Kasiram, Op. Cit. h. 43

[12] Hadi, 1980: 3 dalam Moh. Kasiram, Op. Cit h. 44

[13] S. Nasution, Op. Cit. h. 19

Manfaat Teori Dalam Penelitian


Teori Dalam Penelitian Ilmu Sosial

MANFAAAT TEORI DALAM PENELITIAN

K ita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena ingin memahami dunia yang
kompleks ini,baik demi ingin memuaskan rasa ingin tahu maupun mengantisipasi peristiwa
yang akan terjadi ataupun mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu, suatu penelitian
ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah
penelitian.

Suatu yang ingin kita ketahui dapat dibedakan menjadi dua tingkatan, yaitu :

Pertama, suatu pertanyaan yang belum diketahui jawabannya sama sekali.


Misalnya,apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum menikah
(free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa deskripsi dan kesimpulan data dari suatu
variabel. Hal yang ingin diketahui baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari
jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42% remaja Jawa Timur telah melakukan
free sex (hasil penelitian Bapenkar Jatim).
Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya, tetapi orang masih meragukan
kebenarannya. Misalnya, betulkah kontrol sosial yang lemah merupakan penyebab praktek
free sex di kalangan remaja (penjelasan yang dikemukan Zainuddin M.Z di Surabaya post, 2
November 1992). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung
kemungkinan penjelasan atas suatu gejala yang terjadi. Dalam pertanyaaan ini terkandung
suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

Apabila free sex dilihat sebagai suatu bentuk prilaku menyimpang maka teori yang
dikemukakan oleh Emille Durkheim tentang integrasi sosial mungkin dapat digunakan untuk
penjelasan gejala tersebut. ”Makin tinggi derajat diferensiasi struktural dan generasi
nilai tanpa diikuti oleh spesisifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu sitem
sosial, makin besar pula derajat anomali sehingga makin tinggi pula tingkat
penyimpangan dalam kelompok tersebut”. Hal yang hendak kita ketahui, ialah betulkah
derajat integrasi sosial rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah
integrasi sosial yang rendah di kalangan remaja melahirkan perilaku free sex.

Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi
pertanyaan tipe kedua adalah menggunakan metode penelitian empiris untuk menyelidiki
kedua variabel tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang ) dalam dunia nyata.

Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori ini juga berguna untuk tujuan tujuan ilmiah
lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi interprestasi data. Kedua, teori
menghubungkan satu studi dengan lainnya. Ketiga, teori menyajikan kerangka
sehingga konsep dan variabel mendapatkan arti penting. Keempat, teori memungkinkan
kita menginterprestasikan data yang lebih besar dari temuan yang diperoleh dari suatu
penelitian.

TEORI DAN PENJELASAN

Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam kenseptualisasi
merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif
(kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi
ialah menjelaskan mengapa suatu gejala seperti ini.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu.
Proposisi proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep
yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab–akibat. Namun, karena di dalam teori juga
terkandung konsep teoritis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat
diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis, dan sistematis antara dua atau lebih
konsep maka teori tiada lain penjelasan suatu gejala: konsep atau variabel terpengaruh.
Oleh karena itu, penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu menjelaskan
(explanan) dan dijelaskan (explanandum). Unsur tersebut menjelaskan terdiri atas dua jenis
pertanyaan: generalisasi/konsep, dan kondisi anticendent atau yang menyebabkan
generalisasi/konsep tersebut. Kedua pertanyaan itu akan digunakan untuk menjelaskan
explanandum. Mengikuti Durkheim tadi: diferensiasi struktural dan generalisasi nilai
merupakan suatu konsep (generalisasi atas gejala yang kompleks). Anomi merupakan kondisi
antecedent-nya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai explanandum. Penjelasan sendiri
terletak pada diferensiasi struktural, generalisasi nilai, dan anomi.
Penjelasan atas pertanyaan mengapa suatu gejala yang terjadi harus dapat menunjukan bahwa
gejala hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar
sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi dua
model, yaitu model dedukatif dan model induktif-statistika.

Model deduktif ditandai oleh hubungan logis antara premis dan konklusi, antara explanan dan
explanandum. Jika premis benar, maka konklusi juga benar. Dalam model ini keharusan tidak
terletak pada premis, tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh
premis. Selain itu suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan jika
generalisasinya didukung oleh fakta empiris. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian
diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari
tendensi umum.

Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara
deduktif sebagai berikut :

1. Semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (single
member district) memiliki sistem dua partai (generalisasi)

2. Sistem politik amerika menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (kondisi


antecedent).

Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Oleh karena itu, generalisasi
empiris harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan-statistika terhadap suatu kejadian


individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungkin
saja benar, betapa konklusi tentang suatu kejadian bisa saja salah. Penjelasan tidak terletak
pada mengapa konklusi benar, tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data
menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasikan diri secara politik kepada
Golkar, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah
anggota Golkar. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan apabila bertemu dengan seorang
pegawai negeri, kemungkinan besar dia adalah anggota Golkar.

Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan.
Akan tetapi, dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.
Dalam praktik penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan
kombinasi dari dua atau lebih penjelasan.

Pertama, penjelasan genetik atau historis memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dengan
merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut.
Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalis, misalnnya merupakan
penjelasan historis.

Kedua, penjelasan fungsional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan


merujuk pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat
objek itu berada. Mengapa pemerintah melaksanakan P4 secara menyeluruh? Jawaban yang
diberikan secara fungsional, ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional,
tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah.
Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa merujuk pada
kecendrungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dan dalam situasi tertentu pula.
Termasuk dalam kecendrungan ini adalah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai, dan ciri ciri
kepribadian. Seorang liberal memilih parta demokrat (liberal menggambarkan disposisi)
merupakan penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan


merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. X melakukan tindakan Y karena X ingin
mendapatkan/mencapai T.

Berdasarkan generalisasi seseorang yang menginginkan T cenderung melakukan Y dalam


situasi tertentu. Mengapa kalangan massa cenderung mengikuti kegiatan suatu gerakan
politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai tujuannya? Jawaban yang diberikan
intensional, ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan
mencapai tujuannya karena keinginannya ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil
gerakan itu.

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk
pada cara pencapaian tujuan yang paling efesien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila
mencapai tujuannya secara efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional
terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk
mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan
rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik ialah keikutsertaannya
gerakan menjelang mencapai tujuannya karena ingin mendapatkan keuntungan dari hasil
gerakan tersebut yang dinilai paling sedikit resikonya.Mengikuti kegiatan sejak awal
dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang akan terjadi.
Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya,apabila seseorang ilmuan dapat memberikan
penjelasan (generalisasi kondisi antencedent) terhadap suatu gejala (explanandum) secara
tepat, maka dengan sendirinya dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau
penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu makin tinggi derajat sentralisasi
kekuasaan, paksaan, atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat
pengendalian masyarakat,maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi kekuasaan
yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat
pengendalian masyarakat.

BUKAN TEORI

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu
menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat.

Pertama, pembedaan yang sering dibuat antara teori dan praktik: that is fine in theory, but it
work in practice. Baik dalam teori ,tetapi tidak dalam praktiknya. Pandangan ini mencoba
mengaitkan bahwa teori realistis. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori
yang baik mestilah sesuai dengan kenyataan.

Apabila suatu teori tidak lagi sesuai dengan realitas empiris, maka teori itu tidak tepat lagi
dikategorikan sebagai teori karena telah kehilangan obyektifitas. Suatu pertanyaan dikatakan
obyektif kalau pertanyaan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah
diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistemisasi, dan generalisasi atas realitas atau
gejala yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuwan dituntut untuk mengkaji secara terus
menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkan denagn realitas yang membentuk
teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.

Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to
queston), maupun menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang
dimaksud dalam ilmu sosial adalah menggambarkan kenyataan empirik.

Sementara itu, teori acap kali digambarkan dalam bentuk procedural rule dan sistem
klasifikasi. Durkheim dalam buku The Rules Of sociological Methods mengemukakan
bahwa sebab yang menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial yang
mendahuluinya dan tidak diantara keadaaan kesadaran individual. Artinya, fungsi suatu fakta
sosial harus selalu dicari dalam hubungannya dengan beberapa tujuan kausal, yaitu mencari
sebab sebab dari suatu gejala; dan mencari akibat akibat yang ditimbulkan suatu gejala.
Sistem politik birokratik otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi
kapitalistik tergantung yang tertunda (dependent and delayed capitaliastic economic
development) (sebab sebab gejala); penggunaan kriteria universal semakin meluas dalam
recruitment berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan impersonal yang
semakin berkembang dalam masyarakat,mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh
birokrasi nasional.

Ketiga, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan
menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu gejala kompleks
berdasarkan ereteia tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik, misalnya, bisa
diklasifikasikan menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua
konsep ini; birokrasi patrimonial, negara birokrasi (bureaucratic policy) otoriter, dan
birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila akan menjelaskan gejala birokrasi dan poltik
indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan menempatkan gejala birokrasi
indonesia dalam empat kategori termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik
tersebut.

Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu
teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak
dijelaskan apakah unsur dari suatu sistem itu sendiri.

Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan
dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala hendak dijelaskan itu mungkin hanya
kelas menengah suatu masyarakat bukan sistem politiknya. Kelas menengah yang hendak
dijelaskan itu hanya terjadi di Eropa Barat pada abad ke-18, bukan di seluruh Benua
Eropa,dan tidak pada abad ke-20.

Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi ”kedekatan’” konsep-konsep yang
terkandung dalam teori observasi aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat
abstraksi yang tinggi. Terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang pertama sudah
mengalami proses deduksi. Kedua dimensi diatas berkaitan erat. Semakin tinggi abstraksi
teori,semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas lingkup teori
tersebut, belum tentu semakin luas tingkat abstraksinya. Perubahan pada tingkat abstraksi
akan mempengaruhi luas sempitnya lingkup teori. Akan tetapi, perubahan luas lingkup teori
belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi.
Oleh karena itu persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, yang dianjurkan
adalah prinsip parsimony, yaitu daya cukup tinggi teori yang bersyarat: sederhana bila
dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas
lingkupnya dapat diuji dalam dunia nyata.

TEORI DALAM PENELITIAN SOSIAL


TM Jamil

Abstract

PENDAHULUAN

Manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan kebenaran, di dorong oleh hasrat
ingin tahunya yang selalu ada dan tidak pernah padam. Melalui berbagai penelitian, banyak
rahasia tersingkap sudah. Pengetahuan orang semakin luas. Ilmu pengetahuan sebenarnya
merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang yang dipadukan secara
harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan kebenarannya sudah teruji. Maka ilmu
pengetahuan mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan menghadapi persoalan hidup
sehari-hari. Namun, banyak masalah belum juga terpecahkan; disamping itu muncul masalah-
masalah baru. Oleh karena itu, penelitian/ penyelidikan lahir dari masalah kehidupan manusia
sendiri yang memerlukan pemecahan. Meskipun tidak ada cara yang sama sekali dapat
dipergunakan untuk menghilangkan ketidaktentuan (uncertainty), namun unsur-unsur ketidak
tentuan karena kurangnya informasi itu dapat diperkecil dengan mempergunakan metode
ilmiah. Metode ini akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-macam
tindakan. Riset sebenarnya merupakan penerapan atau aplikasi dari metode ilmiah. Dengan
kata lain riset sinonim dengan metode ilmiah.

Sifat ilmiah atau tidak ilmiah erat hubungannya dengan metode penyimpulan. Suatu tulisan
disebut ilmiah bila pokok pikiran yang dikemukakannya disimpulkan melalui suatu prosedur
yang sistematis dengan mempergunakan pembuktian-pembuktian yang cukup meyakinkan.
Bukti yang cukup meyakinkan ini biasanya merupakan fakta-fakta yang didapat secara
objektif dan berhasil lolos dari berbagai proses pengujian. Kadar ilmiah dari suatu penelitian
dapat bervariasi bergantung pada pengalaman dan keterampilan penelitian serta besarnya
dana yang tersedia dan waktu penelitian.

PEMBAHASAN

Pengertian Teori
Seorang ahli ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan menemukan fakta atau kenyataan. Ia
ingin mencari dalil, yaitu generalisasi atau kesimpulan yang berlaku umum. Dan dengan dalil
ini ahli tersebut dapat meramalkan rangkaian peristiwa berikutnya. Sekumpulan data baru
mempunyai arti dan guna kalau tersusun dalam satu sistem pemikiran yang disebut teori.
[1]

Teori adalah prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta; mungkin juga berupa dugaan
yang menerangkan sesuatu seperti teori atom, teori gravitasi, teori evolusi, dan sebagainya.
Jadi teori merupakan suatu sudut pandangan. apakah teori itu spekulasi? Sebelum dibuktikan
kebenarannya, teori memang dianggap sebagai spekulasi. Tetapi ia akan menjadi fakta setelah
pembuktian dilakukan. Bagi seorang peneliti, teori menjadi alat untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Betapa teori ini sangat penting, untuk menuntun peneliti dan ilmuwan dalam
upaya mengembangkan wawasan keilmuan, agar tak mengalami stagnasi. Oleh karena itu (1)
teori bukan spekulasi (2) teori dan fakta saling berhubungan (3) peneliti sangat
berkepentingan dengan keduanya - teori dan fakta.

Fakta dan teori bersifat saling mendorong. Teori memberi arah dalam proses ilmiah,
sebaliknya fakta memegang peranan dalam mengembangkan teori. Pertumbuhan ilmu
pengetahuan nampak dalam fakta-fakta baru dan teori baru. Fakta-fakta yang baru dan
menyimpang akan menciptakan teori baru; dan teori yang ada mungkin menjadi tidak
berguna lagi atau harus dirumuskan kembali. Melakukan suatu riset tanpa interprestasi
teoritis atau membuat teori tanpa riset adalah melupakan pokok teori sebagai alat untuk
mencapai suatu pemikiran yang ekonomi.[2]

Untuk menemukan sebuah teori yang terbukti kebenarannya, mula-mula dibuat teori
sementara yang dipergunakannya sebagai pedoman atau petunjuk untuk memecahkan
masalah. Peneliti kemudian mencari data untuk menguji kebenaran teori sementara yang
dibuatnya itu. Teori ini disebut hipotesis, selaku pemecahan sementara terhadap masalah
yang diteliti. Ia akan menjadi dalil atau teori setelah berulang kali diperiksa kebenarannya.

Contoh:[3]

Teori : Manusia yang dibesarkan di dalam suasana yang bebas pada umumnya lebih
berkesempatan untuk berhasil maju dengan usaha sendiri dari pada yang dididik di dalam
suasana penuh tekanan dan larangan.

Bertitik tolak pada teori ini dibuat hipotesa sebagai berikut :

Anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya tidak membebaskan keluar rumah untuk
mengunjungi berbagai peristiwa, tidak dapat melakukan tugas luar yang diberikan oleh guru.

Dalam survai "Kesejahteraan Anak dan Pemuda Tahun 1969”, dikemukakan anggapan dasar
(postulate) sebagai titik tolak pemikiran.[4]

Bahwa anak-anak dan pemuda adalah tenaga yang potensial yang akan memberikan
tenaganya di hari depan untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu haruslah
mereka diberi perlindungan terhadap penyakit kelaparan kekurangan makanan dan dislokasi-
dislokasi sosial serta disiapkan untuk pekerjaan melalui pendidikan dan latihan. Maka dari itu
tindakan-tindakan yang tepat perlu diambil untuk memenuhi kebutuhan anak. Dalam
hubungan ini para petugas perencanaan yang menyusun pola pembangunan nasional harus
memberi perhatian yang lebih memadai dalam memenuhi kebutuhan anak-anak dan pemuda.

Hipotesa yang ditarik sejalan dengan anggapan dasar di atas:

Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pada umumnya (termasuk anak dan
pemuda) masih sangat rendah.

Kondisi-kondisi sosial-ekonomi-budaya pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat yang


memadai untuk perkembangan anak dan pemuda.

Hipotesa tersebut diperoleh setelah penelitian pendahuluan bahwa di Indonesia mayoritas


penduduk berpenghasilan rendah yang sebagian besar habis untuk makan, sehingga mereka
tidak mampu untuk menabung dan memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan
sebagainya.

Jadi tidak ada perbedaan pokok antara teori dan hipotesa dari segi pemecahan masalah.
Hipotesa sebagai pemecahan sementara dan menjadi teori setelah terpecahkan. Perbedaan
hipotesa, teori dan dalil terletak pada tingkat generalitas dan kepastiannya. Teori merupakan
anggapan dasar atau postulat yang menjadi sumber hipotesa ; sedangkan dalil adalah titik
tolak yang lebih kuat tingkatannya.

Manfaat Teori dalam Penelitian

Kita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena kita ingin memahami dunia
yang kompleks ini, baik demi memuaskan rasa ingin tahun maupun untuk mengantisipasi
peristiwa yang akan terjadi ataupun untuk mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu suatu
penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut
masalah penelitian.

Yang ingin kita ketahui itu dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama suatu pernyataan
yang belum diketahui jawabannya sama sekali. Misalnya, apakah betul remaja masa kini
telah melakukan hubungan seks sebelum nikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan
berupa diskripsi dan kesimpulan data dari satu variable. Yang ingin kita ketahui ini baru pada
tingkatan gejala sosial saja, belum mencari jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya,
42 % remaja Jawa Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian T.M. Jamil di Jawa
Timur).

Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya tetapi masih meragukan kebenarannya.
Misalnya, betulkah control sosial yang lemah merupakan penyebab praktek free sex
dikalangan remaja (penjelasan yang dikemukakan T.M. Jamil di Surabaya Post, 2 November
2007). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung kemungkinan
penjelasan atas suatu gejala terjadi. Dalam pertanyaan ini telah terkandung suatu teori yang
ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

Apabila free sex dilihat sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang, maka teori yang
dikemukakan oleh Emile Durkheim tentang “integrasi sosial” mungkin dapat digunakan
untuk menjelaskan gejala tersebut. “Makin tinggi derajat deferensiasi structural dan
generalisasi nilai tanpa diikuti oleh spesifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu
sistem sosial, maka makin besar pula derajatnya dalam suatu sistem sosial, maka makin besar
pula derajat anomie sehingga makin tingggi pula tingkat penyimpangan dalam kelompok
tersebut”.[5] Yang hendak kita ketahui karena itu, ialah betulkah derajat integrasi sosial yang
rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah intgrasi sosial yang
rendah dikalangan remaja melahirkan perilaku free sex?

Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi
pertanyaan tipe kedua ialah menggunakan metode penelitian empiric untuk menyelidiki
hubungan kedua variable tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang) dalam dunia
nyata.

Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori juga berguna untuk tujuan-tujuan ilmiah
lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi intrepretasi data. Kedua, teori menghubungkan
satu studi dengan studi lainnya.[6] Ketiga, teori menyajikan kerangka sehingga konsep dan
variable mendapatkan arti penting. Dan keempat, teori memungkinkan kita mengintepratasi
makna yang lebih besar dari temuan yang kita peroleh dari suatu penelitian.

Teori dan Penjelasan

Apabila konsep merupakan pertanyaan “what” sehingga yang dilakukan dalam


konseptualisasi tiada lain merupakan diskripsi realitas baik secara denotative (keluasan)
maupun secara konotatip (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan “why” sehingga
yang dilakukan dalam teoritisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu gejala terjadi
seperti itu. Proposi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa
konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Akan tetapi karena di dalam teori
juga terkandung konsep teoritik, maka sebenarnya selain berfungsi menjelaskan suatu gejala
yang timbul teori juga berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat
diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis dan sistematik antara dua atau lebih
konsep, maka teori tiada lain merupakan penjelasan suatu gejala konsep atau variable
pengaruh menjelaskan mengapa konsep atau variable terpengaruh terjadi. Karena itu
penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu yang menjelaskan (explanan) dan yang
dijelaskan (explanandum). Yang menjekaskan itu terdiri atas dua jenis pernyataan :
generalisasi/ konsep, dan kondisi antesendent atau yang menyebabkan generalisasi/ konsep
tersebut. Kedua pernyataan ini akan digunakan untuk menjelaskan eksplanandum. Mengikuti
Durkheim tadi deferensiasi structural dan generalisasi nilai merupakan suatu konsep
( generalisasi atas suatu fenomena yang kompleks), anomie merupakan kondisi
antesedentnya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai eksplanandumnya. Penjelasan
sendiri terletak pada deferensiasi structural, generalisasi nilai dan anomie.

Penjelasan atas pertanyaan “mengapa” suatu gejala terjadi harus dapat menunjukkan bahwa
gejala yang hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan
besar sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi
dua model, yaitu model deduktif, dan model induktif-statistika.
Model deduktif ditandai oleh hubungan logic antara premis dan konklusi, antara eksplanan
dan eksplandum. Jika premis benar maka konklusi juga benar. Dalam model ini, kaharusan
tidak terletak pada premis tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol
oleh premis. Selain itu, suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan apabila
generalisasinya didukung oleh fakta empiric. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian
diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari
tendensi umum.

Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara
deduktif sebagai berikut : 1) semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal anggota
per distrik (single member district) mempunyai sistem dua partai (generalisasi), 2) sistem
politik Amerika menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (kondisi antesendent). Dalam
kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Karena itu generasi emperik harus
diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan induktif statistika terhadap suatu
kejadian individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi)
mungin saja benar, tetapi konklusi tentang suatu kejadian dapat saja salah. Penjelasan tidak
terletak pada mengapa konduksi benar tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable).
Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasi diri secara politik
kepada GOLKAR, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai
negeri adalah anggota GOLKAR. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan bahwa apabila
bertemu dengan seorang pegawai negeri kemungkinan besar dia adalah anggota GOLKAR.

Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan.
Akan tetapi dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.[7]
Dalam praktek penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan
kombinasi dari dua atau lebih penjelasan. Pertama, penjelasan genetic atau historic memberi
jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang
telah terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh Marx
mengenai kemunculan kapitalisme misalnya merupakan penjelasan historik.

Kedua, penjelasan fungsional memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk
pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat objek itu
berada. Mengapa pemerintah melaksanakan penataran P4 secara menyeluruh? Jawaban yang
diberikan secara fungsional ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional
tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah.

Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan


merujuk pada kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dalam situasi
tertentu pula. Termasuk kedalam kecenderungan ini ialah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai
dan ciri-ciri kepribadian. “Seorang liberal memilih Partai Demokrat” (liberal menggambarkan
disposisi) merupakan contoh penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan


merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. “X melakukan tindakan Y karena X ingin
mendapatkan/ mencapai T” berdasarkan generalisasi bahwa “seseorang yang menginginkan T
cenderung melakukan Y dalam situasi tertentu”. Mengapa kalangan masa cenderung
mengikuti kegiatan suatu gerakan politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai
tujuannya? Jawaban yang diberikan penjelasan intensional ialah massa mengikuti gerakan
politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin ikut
mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut.

Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan


merujuk pada cara pencapaian tujuan yang paling efisien. Suatu tindakan dianggap rasional
apabila ia mencapai tujuannya secara paling efesien. Perbedaan penjelasan intensional
dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling
efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti
ini. Penjelasan rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik itu ialah
massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai
tujuannya karena massa ingin mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut karena
dinilai paling sedikit resikonya. Mengikuti kegiatan suatu gerakan sejak awal dianggap tidak
rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang bakal terjadi.
Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya, apabila seseorang ilmuan dapat memberikan
penjelasan (generalisasi dan kondisi antesendent) terhadap suatu gejala (eksplandum) secara
tepat, maka ilmuan dengan sendirinya juga dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi.
Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu “makin tinggi derajat
sentralisasi kekuasaan, maka paksaan atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai
alat pengendalian masyarakat.[8] Maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi
kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai
alat pengendalian masyarakat.

Hal yang Bukan Teori

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu kita
menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat. Pertama, perbedaan yang sering
dibuat, antara teori dan praktek; “that is fine in theory, but it won’t work in practice”. Baik
dalam teori tetapi tidak dalam prakteknya. Pandangan ini mencoba mengatakan bahwa teori
itu tidak realistic. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori yang “baik”
mestilah sesuai dengan kenyataan.

Apabila suatu teori tidak ingin sesuai dengan realitas empiric, maka teori itu tidak tepat lagi
dikatagorikan sebagai teori karena telah kehilangan objektivitas. Suatu pernyataan dikatakan
objektif kalau pernyataan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah
diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistimatisasi, dan generalisasi atas realitas
atau fenomena yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuan dituntut untuk mengkaji secara
terus menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkannya dengan realitas yang
membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.

Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to
question) maupun untuk menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori
yang dimaksudkan dalam ilmu sosial ialah yang menggambarkan kenyataan empirik.

Sementara itu, teori acapkali digambarkan dalam bentuk “procedural rule” dan sistem
klasifikasi. Durkheim dalam buku “The Rules of Sociologial Method” mengemukakan
bahwa sebab yang menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial yang
mendahuluinya dan tidak diantara keadaan kesadaran individual.[9] Artinya, fungsi suatu
fakta sosial harus selalu dicari dalam hubungan dengan beberapa tujuan sosial. Awal mula
semua proses sosial yang penting seyogyanya dicari di dalam konstitusi internal suatu
kelompok sosial, bukan pada psikologi ataupun pisiologi anggota kelompok tersebut. Ketika
menganjurkan kita untuk mengkaji “konstitusi internal” suatu kelompok sosial sebagai
sumber perilaku sosial, Durkheim sesungguhnya tidak menyodorkan penjelasan melainkan
menyodorkan aturan prosedural. Tidak seperti teori yang sesungguhnya, aturan procedural ini
tidak dapat diuji kebenarannya dalam dunia empiric. Namun aturan prosedural dapat dinilai
dari segi kemanfaatanya.

Sistem klasifikasi pada dasarnya menggolongkan satu kasus tertentu pada salah satu dari
beberapa klas atau tipe yang disusun berdasarkan kriteria tertentu. Kalau tempat tinggal di
daerah pemukiman elit dijadikan sebagai salah satu kriteria bagi keanggotaan dalam strata
sosial “upper-upper sosial class” maka seseorang yang termasuk strata “upper-upper sosial
class” tidak mungkin tinggal di pemukiman kumuh. Fakta ini tidak menggambarkan dunia
nyata tetapi menggambarkan konsekuensi logis dari kriteria yang diadopsi oleh orang
menyusun klasifikasi. Akan tetapi klasifikasi ini berguna untuk menyederhanakan fenomena
sosial yang kompleks.

Strategi Menggunakan Teori

Untuk menjelaskan suatu gejala, kita dapat menggunakan salah satu dari tiga strategi berikut
ini.[10] Pertama, strategi kausal yaitu mencari sebab-sebab dari suatu gejala. Sistem politik
birokratik-otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi kapitalistik
tergantung yang tertunda (independent and delayed capitalistic economic development)
(sebab-sebab gejala); penggunaan kriteria universal yang semakin meluas dalam rekrutmen
berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan-hubungan impersonal yang
semakin berkembang dalam masyarakat, mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh
birokrasi rasional.

Kedua, strategi komposisional yaitu mencari komponen-komponen yang membentuk suatu


gejala, seperti organisasi jabatan yang hirarkis, pengangkatan hanya berdasarkan kualifikasi
tehnis saja, dan setiap jabatan mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri merupakan
komponen-komponen yang membentuk gejala birokrasi rasional. Atau, mencari konteks yang
menjadi “induk” gejala yang diteliti (gejala yang diteliti merupakan bagian saja dari konteks
yang lebih besar), seperti sistem politik, sistem budaya ataupun sistem ekonomi merupakan
konteks gejala birokrasi tersebut.

Dan akhirnya, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan
menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu fenomena
kompleks berdasarkan kriteria tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik misalnya, dapat
diklasifikasi menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua
konsep ini : birokrasi patrimonial, Negara birokrasi (bureaucratic polity), birokrasi otoriter,
dan birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila hendak menjelaskan gejala birokrasi dan
politik di Indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan ialah menempatkan gejala
birokrasi di Indonesia dalam empat kategori itu termasuk tipe birokrasi manakah gejala
birokrasi dan politik tersebut.
Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah dimensi lingkup (scope) dan tingkat
abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala
yang hendak dijalankan apakah unsur dari suatu sistem ataukah sistem itu sendiri. Selain itu,
lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan dimana gejala
yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala yang hendak dijelaskan itu mungkin hanya klas
menengah suatu masyarakat, bukan sistem politiknya. Klas menengah yang hendak
dijelaskan itu hanya yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke sembilan belas, bukan
diseluruh benua Eropa dan tidak pada abad keduapuluh.

Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi kedekatan konsep-konsep yang
terkandung dalam teori dengan observasi aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki
derajat abstraksi yang rendah, sedangkan nalar hubungan kausal antar konsep memiliki
derajat abstraksi yang tinggi. Yang terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang
pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua dimensi di atas berkaitan erat. Semakin
tinggi tingkat abstraksi teori, semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin
luas lingkup teori belum tentu semakin tinggi tingkat abstraksinya.[11] Perubahan pada
tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempit lingkup teori. Akan tetapi perubahan luas
lingkup teori belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi.

Karena persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, maka yang dianjurkan ialah
prinsip parsimony, yaitu daya cakup teori yang bersyarat berikut sederhana bila
dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas
lingkupnya, dan dapat diuji dalam dunia nyata.

PENUTUP

DATAR PUSTAKA

Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor,
Universitas. Airlangga, 2008.

Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the Methodology
of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert
Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing Company, 1963),
halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine
Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science.
( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26.

Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s
Press, 1980), halaman 39.
Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory, (Homewood,
II : The Dorsey Press, 1981).

Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial
dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53

[1] J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia ,
Jakarta, 1974, hal. 15.

Hasrat Ingin Tahu Manusia dan Pengertian Metode Ilmiah

[1] Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53

[2] J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia ,
Jakarta, 1974, hal. 15.

[3] Dr. Winarno Surachmad op.cit., hal.54

[4] Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial
dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14.

[5] Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory,
(Homewood, II : The Dorsey Press, 1981).

[6] Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s
Press, 1980), halaman 39.

[7] Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the
Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-
165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing
Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New
York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure
of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26.

[8] Turner dan Beeghley, The Emergence…, halaman 534.


[9] Halaman 110-111

[10] Wallace, The Logic…, halaman 101-106.

[11] Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor,
Universitas. Airlangga, 2008.

Manfaat Teori Dalam Penelitian


Teori Dalam Penelitian Ilmu Sosial

MANFAAAT TEORI DALAM PENELITIAN

K ita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena ingin memahami dunia yang
kompleks ini,baik demi ingin memuaskan rasa ingin tahu maupun mengantisipasi peristiwa
yang akan terjadi ataupun mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu, suatu penelitian
ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah
penelitian.

Suatu yang ingin kita ketahui dapat dibedakan menjadi dua tingkatan, yaitu :

Pertama, suatu pertanyaan yang belum diketahui jawabannya sama sekali.


Misalnya,apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum menikah
(free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa deskripsi dan kesimpulan data dari suatu
variabel. Hal yang ingin diketahui baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari
jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42% remaja Jawa Timur telah melakukan
free sex (hasil penelitian Bapenkar Jatim).

Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya, tetapi orang masih meragukan
kebenarannya. Misalnya, betulkah kontrol sosial yang lemah merupakan penyebab praktek
free sex di kalangan remaja (penjelasan yang dikemukan Zainuddin M.Z di Surabaya post, 2
November 1992). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung
kemungkinan penjelasan atas suatu gejala yang terjadi. Dalam pertanyaaan ini terkandung
suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata.

Apabila free sex dilihat sebagai suatu bentuk prilaku menyimpang maka teori yang
dikemukakan oleh Emille Durkheim tentang integrasi sosial mungkin dapat digunakan untuk
penjelasan gejala tersebut. ”Makin tinggi derajat diferensiasi struktural dan generasi
nilai tanpa diikuti oleh spesisifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu sitem
sosial, makin besar pula derajat anomali sehingga makin tinggi pula tingkat
penyimpangan dalam kelompok tersebut”. Hal yang hendak kita ketahui, ialah betulkah
derajat integrasi sosial rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah
integrasi sosial yang rendah di kalangan remaja melahirkan perilaku free sex.

Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi
pertanyaan tipe kedua adalah menggunakan metode penelitian empiris untuk menyelidiki
kedua variabel tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang ) dalam dunia nyata.
Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori ini juga berguna untuk tujuan tujuan ilmiah
lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi interprestasi data. Kedua, teori
menghubungkan satu studi dengan lainnya. Ketiga, teori menyajikan kerangka
sehingga konsep dan variabel mendapatkan arti penting. Keempat, teori memungkinkan
kita menginterprestasikan data yang lebih besar dari temuan yang diperoleh dari suatu
penelitian.

TEORI DAN PENJELASAN

Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam kenseptualisasi
merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif
(kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi
ialah menjelaskan mengapa suatu gejala seperti ini.

Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu.
Proposisi proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep
yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab–akibat. Namun, karena di dalam teori juga
terkandung konsep teoritis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat
diobservasi.

Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis, dan sistematis antara dua atau lebih
konsep maka teori tiada lain penjelasan suatu gejala: konsep atau variabel terpengaruh.
Oleh karena itu, penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu menjelaskan
(explanan) dan dijelaskan (explanandum). Unsur tersebut menjelaskan terdiri atas dua jenis
pertanyaan: generalisasi/konsep, dan kondisi anticendent atau yang menyebabkan
generalisasi/konsep tersebut. Kedua pertanyaan itu akan digunakan untuk menjelaskan
explanandum. Mengikuti Durkheim tadi: diferensiasi struktural dan generalisasi nilai
merupakan suatu konsep (generalisasi atas gejala yang kompleks). Anomi merupakan kondisi
antecedent-nya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai explanandum. Penjelasan sendiri
terletak pada diferensiasi struktural, generalisasi nilai, dan anomi.

Penjelasan atas pertanyaan mengapa suatu gejala yang terjadi harus dapat menunjukan bahwa
gejala hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar
sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi dua
model, yaitu model dedukatif dan model induktif-statistika.

Model deduktif ditandai oleh hubungan logis antara premis dan konklusi, antara explanan dan
explanandum. Jika premis benar, maka konklusi juga benar. Dalam model ini keharusan tidak
terletak pada premis, tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh
premis. Selain itu suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan jika
generalisasinya didukung oleh fakta empiris. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian
diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari
tendensi umum.

Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara
deduktif sebagai berikut :
1. Semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (single
member district) memiliki sistem dua partai (generalisasi)

2. Sistem politik amerika menerapkan sistem tunggal – anggota perdistrik (kondisi


antecedent).

Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Oleh karena itu, generalisasi
empiris harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru.

Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan-statistika terhadap suatu kejadian


individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungkin
saja benar, betapa konklusi tentang suatu kejadian bisa saja salah. Penjelasan tidak terletak
pada mengapa konklusi benar, tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data
menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasikan diri secara politik kepada
Golkar, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah
anggota Golkar. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan apabila bertemu dengan seorang
pegawai negeri, kemungkinan besar dia adalah anggota Golkar.

Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan.
Akan tetapi, dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.
Dalam praktik penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan
kombinasi dari dua atau lebih penjelasan.

Pertama, penjelasan genetik atau historis memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dengan
merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut.
Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalis, misalnnya merupakan
penjelasan historis.

Kedua, penjelasan fungsional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan


merujuk pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat
objek itu berada. Mengapa pemerintah melaksanakan P4 secara menyeluruh? Jawaban yang
diberikan secara fungsional, ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional,
tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah.

Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa merujuk pada
kecendrungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dan dalam situasi tertentu pula.
Termasuk dalam kecendrungan ini adalah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai, dan ciri ciri
kepribadian. Seorang liberal memilih parta demokrat (liberal menggambarkan disposisi)
merupakan penjelasan disposisi.

Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan


merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. X melakukan tindakan Y karena X ingin
mendapatkan/mencapai T.

Berdasarkan generalisasi seseorang yang menginginkan T cenderung melakukan Y dalam


situasi tertentu. Mengapa kalangan massa cenderung mengikuti kegiatan suatu gerakan
politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai tujuannya? Jawaban yang diberikan
intensional, ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan
mencapai tujuannya karena keinginannya ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil
gerakan itu.
Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dengan merujuk
pada cara pencapaian tujuan yang paling efesien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila
mencapai tujuannya secara efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional
terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk
mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan
rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik ialah keikutsertaannya
gerakan menjelang mencapai tujuannya karena ingin mendapatkan keuntungan dari hasil
gerakan tersebut yang dinilai paling sedikit resikonya.Mengikuti kegiatan sejak awal
dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko.

Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang akan terjadi.
Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya,apabila seseorang ilmuan dapat memberikan
penjelasan (generalisasi kondisi antencedent) terhadap suatu gejala (explanandum) secara
tepat, maka dengan sendirinya dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau
penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu makin tinggi derajat sentralisasi
kekuasaan, paksaan, atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat
pengendalian masyarakat,maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi kekuasaan
yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat
pengendalian masyarakat.

BUKAN TEORI

Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu
menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat.

Pertama, pembedaan yang sering dibuat antara teori dan praktik: that is fine in theory, but it
work in practice. Baik dalam teori ,tetapi tidak dalam praktiknya. Pandangan ini mencoba
mengaitkan bahwa teori realistis. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori
yang baik mestilah sesuai dengan kenyataan.

Apabila suatu teori tidak lagi sesuai dengan realitas empiris, maka teori itu tidak tepat lagi
dikategorikan sebagai teori karena telah kehilangan obyektifitas. Suatu pertanyaan dikatakan
obyektif kalau pertanyaan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah
diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistemisasi, dan generalisasi atas realitas atau
gejala yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuwan dituntut untuk mengkaji secara terus
menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkan denagn realitas yang membentuk
teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.

Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to
queston), maupun menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang
dimaksud dalam ilmu sosial adalah menggambarkan kenyataan empirik.

Sementara itu, teori acap kali digambarkan dalam bentuk procedural rule dan sistem
klasifikasi. Durkheim dalam buku The Rules Of sociological Methods mengemukakan
bahwa sebab yang menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial yang
mendahuluinya dan tidak diantara keadaaan kesadaran individual. Artinya, fungsi suatu fakta
sosial harus selalu dicari dalam hubungannya dengan beberapa tujuan kausal, yaitu mencari
sebab sebab dari suatu gejala; dan mencari akibat akibat yang ditimbulkan suatu gejala.
Sistem politik birokratik otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi
kapitalistik tergantung yang tertunda (dependent and delayed capitaliastic economic
development) (sebab sebab gejala); penggunaan kriteria universal semakin meluas dalam
recruitment berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan impersonal yang
semakin berkembang dalam masyarakat,mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh
birokrasi nasional.

Ketiga, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan
menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu gejala kompleks
berdasarkan ereteia tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik, misalnya, bisa
diklasifikasikan menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua
konsep ini; birokrasi patrimonial, negara birokrasi (bureaucratic policy) otoriter, dan
birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila akan menjelaskan gejala birokrasi dan poltik
indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan menempatkan gejala birokrasi
indonesia dalam empat kategori termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik
tersebut.

Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu
teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak
dijelaskan apakah unsur dari suatu sistem itu sendiri.

Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan
dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala hendak dijelaskan itu mungkin hanya
kelas menengah suatu masyarakat bukan sistem politiknya. Kelas menengah yang hendak
dijelaskan itu hanya terjadi di Eropa Barat pada abad ke-18, bukan di seluruh Benua
Eropa,dan tidak pada abad ke-20.

Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi ”kedekatan’” konsep-konsep yang
terkandung dalam teori observasi aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat
abstraksi yang tinggi. Terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang pertama sudah
mengalami proses deduksi. Kedua dimensi diatas berkaitan erat. Semakin tinggi abstraksi
teori,semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas lingkup teori
tersebut, belum tentu semakin luas tingkat abstraksinya. Perubahan pada tingkat abstraksi
akan mempengaruhi luas sempitnya lingkup teori. Akan tetapi, perubahan luas lingkup teori
belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi.

Oleh karena itu persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, yang dianjurkan
adalah prinsip parsimony, yaitu daya cukup tinggi teori yang bersyarat: sederhana bila
dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas
lingkupnya dapat diuji dalam dunia nyata.

Landasan Teori
28 Nov

Pengertian Teori

Menurut Kerlinger (1978) teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi
yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan
sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Wiliam Wiersma (1986) menyatakan bahwa teori adalah generalisasi atau kumpulan
generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik.

Menurut Siti Rahayu (1999), suatu teori akan memperoleh arti penting bila dapat melukiskan,
menerangkan dan meramalkan gejala yang ada.

Jenis-jenis Teori

1. Teori deduktif: teori yang memberi keterangan yang dimulai dari suatu
perkiraan/pikiran spekulatif tertentu ke arah data akan diterangkan.
2. Teori induktif: cara menerangkan dari data ke arah teori.
3. Teori fungsional: data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori
kembali mempengaruhi data.

Fungsi Teori dalam Penelitian

 Menjelaskan (Explanation)
 Meramalkan (Prediction)
 Mengendalikan (Control)

Dalam penelitian kuantitatif teori berfungsi untuk memperjelas masalah yang diteliti, sebagai
dasar untuk merumuskan hipotesis dan sebagai referensi untuk menyusun instrumen
penelitian.

Apa itu landasan teori???

Suatu landasan teori dari suatu penelitian tertentu atau karya ilmiah sering juga disebut
sebagai studi literatur atau tinjauan pustaka. Salah satu contoh karya tulis yang penting adalah
tulisan itu berdasarkan riset.

Melalui penelitian atau kajian teori diperoleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat-pendapat


para ahli, kemudian dirumuskan pada pendapat baru.

Penulis harus belajar dan melatih dirinya untuk mengatasi masalah-masalah yang sulit,
bagaimana mengekspresikan semua bahan dari bermacam-macam sumber menjadi suatu
karya tulis yang memiliki bobot ilmiah.Yang dibahas pada landasan teori adalah teori-teori
tentang ilmu-ilmu yang diteliti. Teori yang dikemukakan harus benar-benar menjadi dasar
bidang yang diteliti. Selain itu, pada bagian ini juga dibahas temuan-temuan penelitian
sebelumnya yang terkait langsung dengan penelitian.

Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang dikutip harus disebut
sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuri karya orang lain tanpa menyebut
sumbernya. Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang
lain.

Jenis Kutipan
Jenis kutipan di bagi menjadi 2 yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung

1. Kutipan langsung

Kutipan langsung yang terdiri atas tidak lebih dari 3 baris atau tidak lebih dari 40 kata
ditempatkan didalam paragraf sebagaimana baris yang lain, tetapi diapit oleh tanda petik dua
(“…”) yang dimulai atau ditutup dengan identitas rujukan.

Contoh

Tolla (1996:89) menegaskan “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan


pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang
lain. Cara yang lain adalah “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan
komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain.” (Tolla,
1996:89).

2. Kutipan tidak langsung

Kutipan tidak langsung yang terdiri atas lebih dari 3 baris atau lebih dari 40 kata diketik
dalam paragraf tersendiri dengan spasi tunggal yang didahului dan ditutup dengan tanda
petik dua (“…”)

Contoh

“Perihal perbedaan metode CBSA dalam pengajaran bahasa harus diwarnai oleh aktivitas
berbahasa secara dinamis dan kreatif. Keaktifan secara intelektual tanpa disertai dengan
keaktifan verbal tidak dapat dikatakan CBSA dalam pengajaran bahasa karena hakikat bahasa
adalah tuturan lisan yang kemudian dikembangkan menjadi aturan lisan dan tulisan. Oleh
karena itu, CBSA dalam pengajaran bahasa harus dimuati dengan kreativitas berbahasa
sehingga nama yang poaling tepat adalah CBSA Komunikatif.”

Langkah menyusun landasan teori

1) Menentukan teori yang sesuai dengan permasalahan

2) Mencari referensi buku, artikel makalah yang membahas teori atau topik yang
bersangkutan.

3) Mengurutkan referensi berdasarkan tahun terbitnya untuk mengetahui alur perkembangan


teori tersebut.

4) Mengkaji masing-masing referensi untuk untuk menemukan kelemahan dan


keunggulannya.

5) Membahas,mempertimbangkan dan membandingkan antara referensi satu dengan


referensi lain untuk mencari benang merah yang saling memperkokoh.
6) Merumuskan kembali berdasarkan kajian masing-masing hasil teori dan dijadikan sebagai
landasan teoritis dalam melakukan penelitian.

Contoh masalah: Landasan teori dan pendekatan sistem(sebuah landasan dalam teknologi
pendidikan.)

Contoh landasan teori:

Pengertian pendidikan sebagai sebuah sistem adalah pendidikan sebagai suatu keseluruhan,
baik teori mengenai sistem hingga sistem pendidikan nasional dan sekolah (Suparlan: 2008).

Referensi

Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan ( pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R
&D)

Heri Maulana. Landasan Teori Dan Penbekatan Sistem ( sebuah landasan dalam teknologi
Pendidikan)

Bahrul Ulum’s Weblog. Landasan teori, Kerangka Pikir dan Hipotesis Penelitan

Anda mungkin juga menyukai