Anda di halaman 1dari 58

No : 01

Lampiran : 1 (satu) berkas


Hal : Pengajuan Judul Tesis

Kepada Yth,
Rektor Universitas Islam Jakarta

Assalamau’alaikum Wr,Wb.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Abdullah Syafei


NIM : 5118076
Semester : I (Satu)
Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Bermaksud mengajukan judul tesis

PENGARUH PARTISIPASI KEGIATAN ORGANISASI


SANTRI DAN KECERDASAN EMOSI TERHADAP
PENINGKATAN SOFT SKILL SANTRI PONDOK
PESANTREN AN-NUR’ALIYYAH GUNUNG- PUTRI
BOGOR

Sebagai bahan pertimbangan saya lampirkan:


1. PROPOSAL TESIS
2. BAB I PENDAHULUAN
3. BAB II LANDASAN TEORI
4. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Demikian surat ini saya sampaikan, atas perhatian dan pertimbangannya


saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum, Wr, Wb.
Jakarta, Februari 2019
Hormat Saya,

Abdullah Syafei

1
PENGARUH PARTISIPASI KEGIATAN
ORGANISASI SANTRI DAN KECERDASAN
EMOSI TERHADAP PENINGKATAN SOFT SKILL
SANTRI PONDOK PESANTREN AN-
NUR’ALIYYAH GUNUNG- PUTRI BOGOR

PROPOSAL TESIS

Oleh
Abdullah Syafei
NIM: 5118076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA (UIJ)
KELAS PARAREL INSITITUT PEMBINA ROHANI
ISLAM JAKARTA

JAKARTA

1440 H/ 2019 M

2
OUTLINE

Hal

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................

ABSTRACT.....................................................................................................

ABSTRAK........................................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................

ABSTRAK........................................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

DAFTAR TABEL............................................................................................

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian...................................................

B. Identifikasi Masalah...........................................................

C. Pembatasan Masalah...........................................................

D. Perumusan Masalah............................................................

E. Tujuan Penelitian……........................................................

F. Manfaat/Kegunaan Penelitian.............................................

G. Sistematika Penulisan ……………………………………

3
4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PENILITIAN DAN

HIPOTESIS

A. KAJIAN PUSTAKA

1. Partisipasi Kegiatan Organisasi Santri..........................

a. Pengertian Partisipasi……………………………..

b. Pengertian Organisasi Santri……………………...

c. Tujuan Organisasi Santri………………………….

d. Manfaat Organisasi Santri ………………………..

2. Kecerdasan Emosional..................................................

a. Pengertian Emosi…………………………..……...

b. Pengertian Kecerdasan Emosional……..…………

c. Aspek Kecerdasan Emosional…….………………

d. Konsep Kecerdasan Emosional Menurut Al-

Qur’an……………………………………………..

3. Peningkatan Soft Skill....................................................

a. Pengertian Soft Skill………...……………………..

b. Atribut Soft Skill…………..………………………

c. Cara Pengukuran Soft Skill…………………...…...

d. Faktor-Faktor Pengukuran Soft Skill……………...

e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Soft Skill……

B. Kerangka Pemikiran……………………………………

C. Hipotesis Penelitian..........................................................

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


5

A. Lokasi dan Waktu Penelitian..............................................

B. Variabel Penelitian.............................................................

C. Populasi dan Sampel...........................................................

D. Teknik Pengumpulan Data.................................................

E. Teknis Analisis Data...........................................................

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Situasi dan Kondusi Objek Penelitian................................

B. Deskripsi Data....................................................................

C. Analisis Data.......................................................................

D. Interprestasi Data................................................................

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan ........................................................................

B. Implikasi………………………………………………….

C. Saran ..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Angket/Kuisioner

2. Surat Bimbingan Skripsi

3. Surat Tugas Penelitian

4. Surat Keterangan Penelitian

5. Daftar Riwayat Hidup


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan luas

dalam kehidupan manusia. Pendidikan sebagai kegiatan yang sangat

kompleks terlihat dari tujuan pendidikan untuk memanusiakan

manusia.1 Memanusiakan manusia merupakan upaya yang penting

karena kedudukan yang tinggi dari manusia sebagai makhluk ciptaan

Allah SWT yang telah dianugerahi akal. Manusia berbekal akal dituntut

untuk selalu membenahi kehidupannya untuk dapat mencapai tujuan

tertinggi manusia, yakni untuk menuai kebahagian dunia dan akhirat.

Sebagaimana firman Allah SWT:

  


  
  
  
)٢٠١ : ٢ /‫ (البقرة‬ 
Artinya: “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan
Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah Kami dari siksa neraka". (Q.S. Al-Baqarah/2: 201).2

Adapun pendidikan sebagai kegiatan yang luas bisa ditinjau dari

definisi pendidikan sebagai pembelajaran pengetahuan, keterampilan,

1
Uno, B. Hamzah, Orientasi Baru dalam Psikologi Perkembangan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), h. 13.
2
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2010), h.31.

6
7

dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke

generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.3 Dari

definisi tersebut dapat difahami bahwa pendidikan merupakan usaha

luas untuk mengembangkan potensi manusia melalui pentransferan

ilmu dengan metode yang berbeda-beda. Keluasaan tugas pendididikan

dapat ditinjau dari konsep pendidikan seumur hidup yang menjadi

landasan pendidikan. Konsep ini tertuang dalam Hadits Nabi SAW,

perkataan ulama dan dasar yuridis Negara Indonesia.

Nabi SAW sebagai makhluk yang memiliki tugas penting berupa

wahyu yang membawa visi dan misi perubahan manusia untuk

mencapai kebahagian dunia dan akhirat telah menerangkan dalam

ucapannya tentang kewajiban menuntut ilmu, yang berbunyi:

‫ب ا ْل ِع ْل ِم‬ َ ‫سله َم‬


ُ ‫ط َل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع َْن أَنَ ِس ْب ِن َمالِكٍ قَا َل قَا َل َر‬
‫سو ُل ه‬
)‫س ِل ٍم (رواه ابن ماجه‬ ْ ‫علَى ك ُِل ُم‬ َ ٌ‫ضة‬
َ ‫فَ ِري‬
Artinya: “Dari Anas Ibnu Malik r.a. ia berkata, Rasulullah saw.
Bersabda: “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap
orang Islam”. (H.R. Ibn Majah).4
Sebagai seorang manusia yang mengemban peran penting sebagai

khalifah di muka bumi ini sudah sewajarnya untuk terus mengikuti

setiap proses pendidikan. Proses pendidikan yang diikuti ini adalah

suatu kewajiban bagi umat muslim. Adapun proses pendidikan yang

menjadi kewajiban bagi umat muslim ini adalah proses yang sangat

3
Wikipedia, “Pendidikan.” Artikel diakses tanggal 16 Januari 2018 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan.
4
Mustahdi dan Sumiyati, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, (Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), h. 6.
8

panjang waktunya, sehingga sebagian ulama membuat konsep

pendidikan seumur hidup yang tertuang dalam perkataan mereka, yakni:

‫أ ُ ْطلُبُ ْوا ا ْل ِع ْل َم ِم َن ا ْل َم ْه ِد إِ َلى اللهحْ ِد‬


Artinya: “Carilah oleh kalian ilmu dari buaian sampai masuk liang
lahat”.

Sedangkan, dasar yuridis di Indonesia yang menekan konsep

pendidikan seumur hidup tertuang dalam Ketetapan MPR No.

IV/MPR/1973 JO TAP. NO. IV/MPR/1978 mengenai GBHN yang

memutuskan prinsip-prinsip pembangungan nasional, antara lain:

Pembangunan nasional dilakukan dalam rangka pembangunan insan

Indonesia seutuhnya dan pembangunan semua rakyat Indonesia (Arah

Pembangunan Jangka Panjang) dan pendidikan dilangsungkan seumur

hidup dan dilakukan dalam family (rumah tangga), sekolah dan

masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama

antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Bab IV GBHN Bagian

Pendidikan).5

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang mempunyai

kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan yang

lainnya adalah pesantren. Institusi ini lahir, tumbuh, dan berkembang

telah lama. Bahkan, semenjak belum dikenalnya lembaga pendidikan

lainnya di Indonesia, pesantren telah hadir lebih awal. Itu sebabnya,

5
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001),
h. 64.
9

pesantren pada umumnya dipandang sebagai lembaga pendidikan asli

(indigenous) Indonesia6. Hal ini senada dengan apa yang ditegaskan

oleh Malik Fajar. Ia menegaskan bahwa, dalam sejarah pertumbuhan

dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak dipungkiri

bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius institution.7

Adanya gagasan untuk mengembangkan pesantren merupakan

pengaruh program modernisasi pendidikan Islam. Program modernisasi

tersebut berakar pada modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara

keseluruhan. Modernisasi pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan

dengan kebangkitan kaum muslimin di masa modern. Maka pemikiran

dan kelembagan Islam termasuk pendidikan (pesantren) haruslah

dimodernisasi yaitu diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas.

Dengan kata lain, mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam

tradisional akan memperpanjang nestapa ketertinggalan umat Islam

dalam kemajuan dunia modern.

Modernisasi pesantren selama ini telah merubah fungsi utamanya

sebagai reproduksi ulama. Fungsi pesantren menjadi luas karena adanya

berbagai tuntutan dan kebutuhan zaman. Fungsi ganda pesantren yaitu

bidang keagamaan dan umum akan menghilangkan identitas pesantren

sebagai pendidikan tradisional. Dalam pandangan lain Nurcholish

6
Azra A, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 87.
7
Fajar, M, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan
Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998), h. 60.
10

Madjid mengatakan: “Dunia pendidikan Islam harus memodernisasi diri

guna mengejar ketinggalannya dan untuk memenuhi tuntutan teknologi

di masa depan”.8

Demi kemajuan pesantren, modernisasi sistem pendidikan harus

dilakukan sebagaimana contoh nyata dari penelitian saudari Neli

Zubaidah, Implementasi Konsep Pembaharuan Sistem Pendidikan

Pesantren Dalam Menghadapi Tantangan Modernitas (Studi di Pondok

Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang).9

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa yang mendorong

pembaharuan sistem pendidikan di pondok Pesantren Salafiyah

Kauman Pemalang adalah kemajuan ilmu dan teknologi sehingga

menuntut perlunya santri dibekali tidak hanya dengan ilmu agama saja

tetapi juga ketrampilan dan ilmu pengetahuan umum yang lainnya.

Peranan lembaga pesantren di Indonesia cukup besar dalam

membangun masyarakat, hal ini dapat dilihat betapa besar kiprah dunia

pesantren dalam mempertahankan bangsa dan negara dari tangan

penjajah selama berabad-abad yang berpuncak pada fatwa ‘Resolusi

Jihad’ Oktober 1945 yang dikeluarkan oleh K. H. M. Hasyim Asyari

pendiri Pesantren Tebuireng jombang dan pendiri ormas (organisasi

masyarakat) terbesar Islam NU.

8
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritikan Nurcholish Madjid Terhadap
Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 133.
9
Neli Zubaidah, Implementasi Konsep Pembaharuan Sistem Pendidikan
Pesantren Dalam Menghadapi Tantangan Modernitas (Studi di Pondok Pesantren
Salafiyah Kauman Pemalang), Tesis, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011.
11

Besarnya peran yang dimainkan oleh pesantren tersebut bukan

suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens

sebagaimana dikutip oleh Mardiyah menyodorkan dimensi soft yang

berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai,

keyakinan, budaya, dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk

budaya dan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi

atau kelompok10.

Lingkungan pendidikan di luar pembelajaran seperti kegiatan

Organisasi Santri dapat mempengaruhi kreativitas belajar santri.

Kegiatan Organisasi Santri termasuk dalam lingkungan pesantren yang

baik untuk mendukung kreativitas belajar santri. Santri dapat

berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sesuai dengan minat dan bakat

yang dimiliki, sehingga kreativitas yang ada di dalam diri santri dapat

tersalurkan dengan baik karena di dalam kegiatan santri berani berperan

lebih aktif. Santri yang aktif berpartisipasi mengikuti kegiatan

Organisasi Santri cenderung memiliki sifat-sifat yang lebih menonjol

dibandingkan dengan santri yang kurang aktif dalam mengikuti

kegiatan Organisasi Santri. Santri yang melibatkan diri dalam berbagai

kegiatan Organisasi Santri akan menjadi pribadi yang lebih terbuka

terhadap pengalaman baru, mempunyai pemikiran yang luas, percaya

diri, memiliki keyakinan diri, berani berpendapat, dan kreatif.

10
Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi, (Malang:
Aditiya Media Publishing, 2015), 2.
12

Kecerdasan emosi merupakan salah satu jenis kecerdasan yang

mempengaruhi kesuksesan. Menurut Goleman (2007: 44), kecerdasan

intelektual hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80%

adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan yang lain, diantaranya

adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni

kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengatur

suasana hati (mood), berempati dan kemampuan bekerjasama.

Kecerdasan emosional menentukan seberapa baik seseorang

menggunakan keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, termasuk

keterampilan intelektual.

Kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang, baik kecerdasan

intelektual maupun kecerdasan emosional, akan memberikan pengaruh

dalam pencapaian kesuksesan dalam hidup seseorang. Saat ini,

pendidikan di Indonesia belum mampu menjalankan fungsinya sebagai

pembentuk kecerdasan intelegensi sekaligus kecerdasan emosional. Hal

ini tercermin dengan maraknya tawuran di kalangan pelajar di

Indonesia Rohmani dalam Ade Marboen (2009) menyatakan hingga

September 2012, sudah ada sekurangnya 16 orang tewas akibat tawuran

siswa antar sekolah.

Pemahaman terhadap kemampuan kecerdasan emosional

diasumsikan dapat membantu dalam pengelolaan emosi pada santri,

khususnya dalam mengatasi emosi negatif yang ada dalam proses

pengembangan kreativitas.
13

Soft skill merupakan keterampilan dan kecakapan hidup, baik

untuk sendiri, berkelompok, atau bermasyarakat, serta dengan Sang

Pencipta. Dengan mempunyai soft skill membuat keberadaan seseorang

akan semakin terasa di tengah masyarakat. Keterampilan akan

berkomunikasi, keterampilan emosional, keterampilan berbahasa,

keterampilan berkelompok, memiliki etika dan moral, santun dan

keterampilan spiritual.11

Soft Skill dengan indikator yang sudah dijelaskan dapat dibina

melalui budaya organisasi. Contohnya soft skill kecakapan hidup, tentu

dapat ditunjang melalui budaya organisasi yang didalamnya terdapat

interaksi antara satu dengan yang lain, ada pertukaran ide melalui

komunikasi serta aplikasi dari ide yang telah disepakati bersama.

Partisipasi aktif dalam kegiatan Organisasi Santri yang diiringi

dengan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh santri akan

menimbulkan kerjasama dan inovasi. Kerjasama dan inovasi ini dapat

meningkatkan soft skill santri. Sebaliknya, jika partisipasi yang kurang

aktif dalam kegiatan Organisasi Santri tidak diiringi dengan kecerdasan

emosional, dapat mengganggu perkembangan soft skill santri. Kaitan

pentingnya partisipasi kegiatan Organisasi Santri dan kecerdasan

emosional untuk meningkatkan soft skill santri, peneliti berminat

meneliti lebih dalam tentang pengaruh partisipasi kegiatan Organisasi

11
Elfindri et al., Soft Skills untuk Pendidik, (Jakarta: Badouse Media, 2010), 67.
14

Santri dan kecerdasan emosional terhadap peningkatan soft skill santri

Pondok Pesantren An-Nuraliyyah Gunung Putri Bogor.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi permasalahan

soft skill yang sangat dibutuhkan oleh santri. Pengembangan potensi

soft skill yang pada dasarnya ada pada setiap manusia perlu dilakukan,

baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk

kelangsungan kemajuan bangsa. Pesantren sebagai lembaga tertua dan

kuat eratnya dengan budaya Indonesia memiliki harapan untuk

menumbuhkan soft skill ini kepada para santrinya.

Soft skill santri dapat diperoleh melalui partisipasi dalam kegiatan

Organisasi Santri yang belum optimal. Namun, partisipasi kegiatan

Organisasi Santri justru dikhawatirkan akan mengganggu

pengembangan soft skill santri, karena terkadang dengan kurangnya

kecerdasan emosi santri saat berada di Organisasi Santri dapat membuat

santri tidak mampu mengemban tugas-tugas nya dalam organisasi.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat judul penelitian di atas masih sangat luas, maka

dalam menulis ini penulis membatasi masalah dikarenakan

keterbatasan waktu dan tenaga serta dan penelitian. Untuk itu penulis

member batasan masalahnya sebagai berikut:


15

a. Partisipasi kegiatan organisasi santri yang dimaksud adalah

partisipasi kegiatan organisasi yang dilakukan oleh santri An-

Nur’aliyyah.

b. Kecerdasan emosional yang dimaksud adalah kemampuan

memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengatur suasana hati

(mood), berempati dan kemampuan bekerjasama yang dilakukan

oleh santri An-Nuraliyyah dalam berorganisasi.

c. Soft skill yang dimaksud merupakan keterampilan dan kecakapan

hidup, baik untuk sendiri, berkelompok, atau bermasyarakat, serta

dengan Sang Pencipta.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang penulis uraikan diatas, maka

penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh partisipasi kegiatan organisasi santri terhadap

peningkatan soft skill santri Pondok Pesantren An-Nuraliyyah

Gunung Putri Bogor

2. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional santri An-Nuraliyyah

terhadap peningkatan soft skill santri Pondok Pesantren An-

Nuraliyyah Gunung Putri Bogor

3. Bagaimana pengaruh partisipasi kegiatan organisasi santri dan

kecerdasan emosional terhadap peningkatan soft skill santri Pondok

Pesantren An-Nuraliyyah Gunung Putri Bogor

E. Tujuan Penelitian
16

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis pengaruh partisipasi kegiatan organisasi santri

terhadap peningkatan soft skill santri Pondok Pesantren An-

Nuraliyyah Gunung Putri Bogor.

2. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan emosional santri An-

Nuraliyyah terhadap peningkatan soft skill santri Pondok Pesantren

An-Nuraliyyah Gunung Putri Bogor.

3. Untuk menganalisis pengaruh partisipasi kegiatan organisasi santri

dan kecerdasan emosional terhadap peningkatan soft skill santri

Pondok Pesantren An-Nuraliyyah Gunung Putri Bogor.

F. Manfaat/Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Akademisi dan Peneliti: dapat dijadikan input referensi dan

dikembangkan untuk penelitian yang berkaitan dengan penelitian

ini.

2. Institusi: sebagai masukan kebijakan di masa yang akan datang.

3. Pemerintah atau pembuat kebijakan: sebagai pertimbangan dalam

memperbaiki pola pengembangan pendidikan pesantren yang

berkenaan dengan partisipasi kegiatan organisasi santri dan

kecerdasan emosional dalam soft skill yang akan dimiliki santri.

D. Sistematika Penulisan
17

Sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dan setiap

bab dirinci ke dalam beberapa sub, dengan sistematika penulisan sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian dan

manfaat/kegunaan penelitian.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PENILITIAN


DAN HIPOTESIS

Pada bab ini akan dibahas tentang Partisipasi

Kegiatan Organisasi Santri yang meliputi: pengertian

partisipasi, pengertian organisasi santri, tujuan

organisasi santri dan manfaat organisasi santri,

kemudian setelah itu membahas tentang Kecerdasan

Emosional yang meliputi: pengertian emosi,

pengertian kecerdasan emosi, aspek kecerdasan emosi

dan konsep emosional menurut Al-Qur’an serta

membahas Soft Skill yang meliputi: pengertian soft

skill, atribut soft skill, cara pengukuran soft skill,

factor-faktor pengukuran soft skill dan factor-faktor

yang mempengaruhi soft skill. Setelah merinci kajian


18

dua elemen tersebut memasuki ranah kerangka

penelitian dan hipotesis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang metode

penelitian, metode/teknik pengumpulan data, metode

penentuan jumlah dan penarikan sampel, metode

analisis dan pengujian hipotesis, definisi operasional

variable dan instrument penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang deskripsi data

atau keadaan umum Pondok Pesantren An-

Nuraliyyah, data dan analisis, hasil pengujian

hipotesis dan analisis data serta pembahasan.

BAB V KESIMPULAN, IMPILAKASI DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan,

implikasi dan saran.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PENELITIAN DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Partisipasi Kegiatan Organisasi Santri

a. Pengertian Partisipasi

Manusia hidup dinamis berdampingan dengan lingkungan

sosialnya, baik lingkungan kerja, keluarga, organisasi, dan

lingkungan masyarakat. Di dalamnya terdapat berbagai aktivitas

dan kegiatan yang melibatkan semua masyarakat. Kegiatan ini

sering memunculkan berbagai persoalan, sehingga diperlukan

partisipasi semua elemen masyarakat untuk memecahkannya

dan kegiatan dapat terlaksana. Seperti yang diungkapkan

Rosabeth Moss Kanter dalam Keith Davis dan John W.

Newstrom (2000: 178), tanpa menghiraukan bagaimana

partisipasi itu berlangsung dengan baik, ia tidak akan

memecahkan semua masalah organisasi.

Olanike F. Deji (2012: 171) mengungkapkan bahwa

“participation is an active process whereby beneficiaries,

individually or in group, influence the direction and execution of

development projects rather than merely receiving a share of the

project benefits”. Partisipasi adalah proses aktif dimana

penerima manfaat, secara individu atau kelompok,

mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek-proyek

19
20

pembangunan bukan hanya menerima bagian dari keuntungan

proyek. Partisipasi diartikan sebagai perihal turut berperan serta

dalam suatu kegiatan. Keith Davis dalam Hesel Nogi S. (2007:

321) menyatakan “Participation is defined as an individual as

mental and emotional involvemen in a group situation that

encourages him to contribute to group goals and to share

responbility for them”. Partisipasi adalah keterlibatan mental

dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang

mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan

kelompok dan berbagi tanggung jawab pencapaian tujuan itu.

Menurut Keith Davis dan John W. Newstrom (2000: 178), ada

tiga gagasan penting dalam definisi ini yakni: (1) keterlibatan

mental dan emosional, (2) motivasi kontribusi, (3) menerima

tanggung jawab. Partisipasi lebih menitikberatkan keterlibatan

mental dan emosional yang bersifat psikologis dibandingkan

fisik. Hal ini berarti tidak hanya keterampilan yang terlibat,

namun perasaan juga ikut terbawa dalam partisipasi.

Partisipasi bukan sekedar memperoleh kesepakatan atau

menyepakati hal-hal yang ditawarkan, tetapi lebih pada

pertukaran sosial (kontribusi) dua arah dalam organisasi. Setiap

orang diberi kesempatan untuk menyalurkan pendapat, sumber

inisiatif, gagasan dan kreativitasnya guna mencapai tujuan


21

organisasi. Partisipasi sangat bernilai karena memanfaatkan

kreativitas seluruh anggota.

Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima

tanggung jawab dalam aktivitas kelompok bukan sekedar

pelaksana yang tidak memiliki tanggung jawab. Anggota yang

menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok mendapat

peluang untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dan

bermakna karena yang dilakukan sesuai dengan kesepakatan

yang telah dicapai bersama.

Inti dari partisipasi adalah tercapainya hak asasi anggota

dalam organisasi untuk menjadi anggota yang turut memberikan

kontribusi bagi kelompok kerjanya. Partisipasi membangun nilai

manusiawi dalam organisasi karena menyalurkan kebutuhan

setiap anggotanya akan rasa aman, interaksi sosial, penghargaan,

dan perwujudan diri.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional untuk turut

berperan memberikan kontribusi kepada kegiatan yang

dilaksanakan dan berbagi tanggung jawab pencapaian tujuan

kegiatan.

b. Pengertian Organisasi Santri

Sebagai penuntut ilmu di sebuah Pondok Pesantren, santri

merupakan objek sentral dari sebuah pendidikan di dalamnya.


22

Berbagai aktivitas ke pondok pesantrenan yang tentunya

berbasiskan keislaman, mereka dapatkan selama pendidikan.

Aktivitas-aktivitas tersebut, tentunya tidak akan berjalan dengan

baik ketika sistem yang dipakai tidak memberikan efek baik

terhadap santri.

Organisasi jika ditinjau dari kesepakatan banyak tokoh

merupakan sekumpulan orang yang memiliki kesepahaman yang

sama untuk mencapai tujuan bersama. Jika di sekolah,

Organisasi Siswa Intra Sekolah atau yang biasa disebut dengan

istilah OSIS merupakan tempat di mana para siswa beraktivitas.

Cukup banyak pendapat para tokoh tentang organisasi,

misalnya, James D. Mooney mengatakan bahwa : “Organization

is the form of every human association for the attainment of

common purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama

untuk mencapai tujuan bersama). Pendapat yang lain seperti

Chester I. Barnard (1938) dalam bukunya “The Executive

Functions” mengemukakan bahwa : “I define organization as a

system of cooperatives of two more persons” (Organisasi adalah

system kerjasama antara dua orang atau lebih). Selain itu,

Menurut W.J.S. Poerwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa

Indonesia, organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai-

bagai bagian (orang dsb) sehingga merupakan kesatuan yang

teratur.
23

Sedangkan Pawit M Yusup (2012:278) dalam bukunya

“Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi,

Pendidikan, dan Perpustakaan”, dengan mengutip dari

Greenberg dan Baron mendefinisikan Organisasi sebagai “a

social system consisting of groups and individuals working

together to meet some agreed-upon objectives.” Yaitu suatu

sistem sosial yang terdiri atas kelompok dan individu yang

bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang

disepakati.

Dari definisi tersebut, setidaknya ada tiga unsur dalam

organisasi, yaitu, orang-orang (sekumpulan orang), kerjasama,

dan tujuan. Dengan demikian, jika kita mendefinisikan

organisasi adalah sarana untuk melakukan kerjasama antara

orang-orang dalam rangka mencapai tujuan bersama, dengan

mendayagunakan sumber daya yang dimiliki.

Jadi, yang dimaksud organisasi santri adalah sekumpulan

santri yang memiliki kesepahaman dalam visi, misi serta tujuan

pondok yang didaya fungsikan oleh pengurus pondok pesantren

untuk membantu mencapai visi, misi dan tujuan pondok

pesantren yang belajarnya.

c. Tujuan Organisasi Santri

OSIS adalah wadah bagi siswa untuk mengembangkan

minat dan bakatnya di luar pembelajaran di kelas. OSIS


24

merupakan salah satu bentukn pembinaan kesiswaan di sekolah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang pembinaan kesiswaan

(2008: 4), tujuan pembinaan kesiswaan adalah: (1)

mengembangkan potensi siswa secara optimal meliputi bakat,

minat, dan kreativitas, (2) memantapkan kepribadian siswa

untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai lingkungan

pendidikan sehingga terhindar dari usaha dari pengaruh negatif

dan bertentangan dengan tujuan pendidikan, (3) mengaktualisasi

potensi siswa dalam pencapaian potensi unggulan sesuai bakat

dan minat, (4) menyiapkan siswa agar menjadi warga

masyarakat yang berakhlak mulia, demokratis, menghormati

hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat

mandiri (civil society).

Penjelasan tersebut pada hakikatnya menjelaskan tujuan

kegiatan pembinaan kesiswaan sebagai bagian dari proses

pembelajaran, dengan kata lain kegiatan pembinaan kesiswaan

memiliki nilai-nilai pendidikan bagi siswa dalam upaya

pembentukan sumber daya manusia yang mampu berperan

dalam pembangunan. Adapun tujuan Organisasi Santri yang

menjadi basis bagi organisasi para pelajar yang ada di pondok

pesantren banyak mengacu kepada Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008


25

tentang pembinaan kesiswaan. Akan tetapi orientasi kegiatan

yang dilaksanakan oleh mereka lebih luas dan bertautan waktu 1

X 24 jam.

d. Manfaat Organisasi Santri

Berorganisasi setidaknya seorang santri bisa memperoleh

manfaat-manfaat terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Jika

dirunut manfaat-manfaat tersebut bisa menumbuhkan rasa

kebersamaan antar santri, memperkuat tali persaudaraan,

menyebarkan rasa tolong menolong, memperkaya informasi,

meningkatkan kualitas pribadi, membangkitkan semangat juang,

meningkatkan kualitas pikir, mengurangi sifat egoisme,

membina kesatuan berpikir untuk menyamakanpemahaman

mencapai tujuan, dan melatih toleransi.

2. Kecerdasan Emosional

a. Pengertian Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang

berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa

kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.

Menurut Goleman (2002 : 411, dalam Firmansyah, 2010) emosi

merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu

keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan

untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk

bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap


26

rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh

emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang,

sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih

mendorong seseorang berperilaku menangis.

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan

berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek

penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat

merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi

juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia

(Prawitasari, 1995).

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi

menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk

bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu

untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap

stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan

Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup

yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan

emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan

baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing

pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu

dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu

seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah

mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan


27

antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002, dalam

Firmansyah, 2010).

Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65 dalam Firmansyah,

2010) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam

menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri,

tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat

keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki

kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna

dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu

untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik

yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

b. Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan

pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard

University dan John Mayer dari University of New Hampshire

untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya

penting bagi keberhasilan.

Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional

atau yang sering disebut EQ sebagai “himpunan bagian dari

kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau

perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,


28

memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk

membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh

lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap

saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada

masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan

kecerdasan emosional.

Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau

keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara

dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata.

Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.

(Shapiro, 1998:10).

Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional

diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi

Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam

mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180

dalam Firmansyah, 2010).

Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind

(Goleman, 2000: 50-53 dalam Firmansyah, 2010) mengatakan

bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang

penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada


29

spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama

yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,

interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh

Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman

disebut sebagai kecerdasan emosional.

Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari

:”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami

orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka

bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan.

Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang

korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut

adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang

teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk

menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh

kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52 dalam

Firmansyah, 2010).

Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti

kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk

membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati,

temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan

antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia

mencantumkan “akses menuju perasaan- perasaan diri seseorang

dan kemampuan untuk membedakan perasaan- perasaan tersebut


30

serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”.

(Goleman, 2002 : 53 dalam Firmansyah, 2010).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner

tersebut, Salovey (Goleman, 2002:57 dalam Firmansyah, 2010)

memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal

untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan

emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional

adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi

orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan

(kerjasama) dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002: 512 dalam Firmansyah, 2010),

kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur

kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our

emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its

expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian

diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan

emosional adalah kemampuan santri untuk mengenali emosi

diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali

emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina

hubungan (kerjasama) dengan orang lain.


31

c. Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2002:58-59 dalam Firmansyah, 2010)

menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar

tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan

memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan

utama, yaitu :

1) Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu

kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu

terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan

emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri

sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan

emosinya sendiri. Kesadaran diri adalah waspada terhadap

suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila

kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam

aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri

memang belum menjamin penguasaan emosi, namun

merupakan salah satu prasyarat penting untuk

mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai

emosi.

2) Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu

dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan


32

tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam

diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap

terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.

Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas

terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita.

Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur

diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau

ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya

serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan

yang menekan.

3) Memotivasi Diri Sendiri

Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi

dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk

menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan

dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang

positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan

diri.

4) Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut

juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang

lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati

seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati

lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang


33

tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan

orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut

pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan

lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa

orang- orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat

non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara

emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih

peka. Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-

anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan

emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi.

Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga

memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu

terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan

mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut

mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang

lain.

5) Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan

suatu keterampilan yang menunjang popularitas,

kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.

Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan

dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit


34

untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga

memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina

hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang

berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi

dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer

dalam lingkungannya dan menjadi teman yang

menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi.

Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain

dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu

membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana

kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya

hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil faktor-

faktor utama dan prinsip-prinsip dasar kecerdasan emosional dari

faktor-faktor kecerdasan emosional yang bersumber dari

kecerdasan pribadi dalam definisi dasar tentang kecerdasan

emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut

menjadi lima kemampuan utama, yaitu mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang

lain, dan membina hubungan. Hal tersebut digunakan sebagai

faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

d. Konsep Kecerdasan Emosional Menurut Al-Qur’an


35

Dalam perspektif Islam kecerdasan emosional pada

intinya adalah kemampuan sesorang mengendalikan emosi. Hal

ini sesuai dengan ajaran Islam bahwa Allah swt memerintahkan

kita untuk menguasai, mengendaikan, dan juga mengontrolnya.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hadid: 23

‫علَ ٰى َما فَات َ ُك ۡم َو ََل ت َۡف َر ُحواْ ب َما ٓ َءات َٰى ُك ۡۗۡم َو ه‬
ُّ‫ٱَّللُ ََل يُحب‬ َ ‫ل َك ۡي ََل ت َۡأ‬
َ ْ‫س ۡوا‬
)23 :‫ُك هل ُم ۡخت َٖال فَ ُخور (الحديد‬
Artinya: “(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu

jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan

supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang

diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap

orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Q.S. Al- Hadid:

23).

Secara umum, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT

memerintahkan kita untuk menguasai emosi kita,

mengendalikan dan juga mengontrolnya. Seseorang diharapkan

untuk tidak terlalu bahagia ketika mendapatkan nikmatnya dan

tidak terlalu bersedih ketika apa yang dimilikinya hilang. Karena

semua yang ada di dunia ini hanyalah milik Allah SWT. Hal ini

sesuai dengan salah satu unsur kecerdasan emosional yang di

ungkap oleh Goleman, yaitu kendali diri.

3. Peningkatan Soft Skill

a. Pengertian Soft Skill


36

Soft skill merupakan terminasi sosiologis untuk

Emotional Intelligence Quotiont (EQ) seseorang, serta dapat

mengetahui kemampuan seseorang untuk bekerja sama,

menyelesaikan suatu masalah bahkan memotivasi atau

memberikan sebuah solusi bersama orang lain didalam sebuah

bidang pekerjaan (Utama et al.,

2009). Klaus (2007), Softskill merupakan suatu hal kepribadian,

sosial, komunikasi dalam memanajemen perilaku diri seseorang.

Soft skill juga mempunyai beberapa cakupan dari kesadaran diri

dalam berfikir kritis, pemecahan masalah, mengambil resiko

serta memanajemen waktu dalam pengendalian diri integritas,

rasa percaya diri, empati, berinisiatif, dan bersikap, layak

dipercaya, sifat berhati-hati, serta kemampuan dalam

menyesuaikan diri dalam kondisi apapun.

Wallace dalam Kusmiran (2015), softskill lebih mengacu

pada ciri-ciri kepribadian, sosial kebiasan perilaku yang dapat

meliputi kemampuan untuk memfasilitasi komunikasi,

melengkapi hard skill atau pengetahuan dari berbagai persepsi

individu. Ketegori dari softskill sendiri adalah kualitas pribadi,

ketrampilan interpersonal dari pengetahuan. Soft skill

merupakan ketrampilan dan kecakapan hidup, baik untuk diri

sendiri maupun dengan masyarakat karna seseorang yang


37

mempunyai soft skill akan terasa keberadaanya dalam

masyarakat.

Soft skill meliputi beberapa diantaranya ketrampilan

berkomunikasi, ketrampilan berbahasa, memiliki moral dan

etika, dan ketrampilan spiritual (Elfindri, 2010). Soft skill sangat

berpengaruh besar terhadap kesuksesan seseorang, karena

dengan mempunyai hard skill saja tentu tidak lah cukup dalam

dunia kerja. Institut Teknologi Camegie menemukan bahwa dari

10.000 orang yang sukses 15% keberasilan mereka ditentukan

oleh ketrampilan, sedangkan 85% didominasi oleh kepribadian

atau softskill. Penemuan lain menemukan 400 orang atau 10%

dari 4000 orang yang kehilangan pekerjaanya diakibatkan oleh

ketidakmampuan teknis, artinya 90% dari mereka kehilangan

pekerjaan diakibatkan oleh masalah kepribadian (Hartiti, 2013).

b. Atribut Soft Skill

Soft skill mempunyai beberapa atribut diantara satu

dengan lainya yang saling berkaitan. Semua atribut itu

mempunyai peranan saling mendukung antara satu dengan yang

lain. Namun disisi lain atribut yang dimiliki setiap orang

mempunyai kadar yang berbeda-beda. Beberapa faktor yang

dapat mempengarui diantaranya kebiasaan berfikir, bersikap,

berkata dan bertindak. Atribut soft skill dapat berubah sesuai

dengan keinginan seseorang, jika seseorang mau merubahnya


38

dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal yang baru.

Kebiasaan tersebut nantinya akan mempengarui karakteristik

serta pribadi individu (Kusmiran, 2015).

Sharma (2009), terdapat tujuh elemen atau atribut soft

skill yang perlu diimplemasikan dan digunakan dilembaga-

lembaga pendidikan. Ketujuh elemen soft skill tersebut

diantaranya adalah ketrampilan berkomunikasi (communicative

skill), ketrampilan berfikir dan memecahkan masalah (thingking

skill and problem solving skill), kekuatan kerja tim (teamwork

force), manajemen informasi dan kemampuan belajar seumur

hidup (life-long learning and information management),

kemampuan berwirausaha (entrepreneur skill), etika, moral dan

profesionalisme (ethics, moral & professional) serta

kemampuan kepemimpinan (leadership skill).

Sharma menambahkan beberapa komponen soft skill

yang harus dimiliki bagi individu. Seperti yang ditunjukkan

pada tabel 1.1. masing-masing soft skill di dalam nya berisikan

sub-skills yang dapat dikategorikan sebagai skill yang secara

individu sangat dibutuhkan (must have) dan kategori sebagai

skill yang baik untuk dimiliki (good to have).

Tabel 1.1 Sub-skill elemen yang harus dimiliki (must have


elements) dan yang baik untuk dimiliki (good to
have elements)
Sub-skill elemen yang harus Sub-skill elemen yang baik untu
No Soft Skill
dimiliki (Must Have Elements) dimiliki (Good To Have Elements)
39

a. Kemampuan a. Kemampuan untuk


menyampaikan ide menggunakan
maupun gagasan teknologi selama
secara jelas, efektif presentasi
dan meyakinkan b. Kemampuan untuk
baik lisan maupun berkomunikasi dengan
tertulis individu yang
mempunyai latar
belakang berbeda
c. Kemampuan untuk
menularkan
kemampuan
Kemampuan
1. komunikasi ke orang
berkomunikasi
lain
b. Kemampuan untuk
mempraktikkan
keterampilan
mendengar dengan
baik dan memberi
tanggapan
c. Kemampuan
berpresentasi secara
jelas dan
meyakinkan kepada
audien
a. Kemampuan untuk a. Kemampuan berpikir
mengidentifikasi lebih luas
dan menganalisis b. Kemampuan untuk
masalah dalam membuat kesimpulan
situasi sulit dan berdasarkan bukti yang
melakukan valid
justifikasi c. Kemampuan untuk
b. Kemampuan menerima dan
Kemampuan
memperluas dan memberikan
berpikir kritis
memperbaiki tanggungjawab
2. dan
keterampilan sepenuhnya
memecahkan
berpikir seperti d. Kemampuan untuk
masalah
menjelaskan, memahami seseorang
menganalisis dan dan mengakomodasi
mengevaluasi ke dalam suasana kerja
diskusi yang beragam
c. Kemampuan
mendapatkan ide
dan mencari solusi
alternative
40

a. Kemampuan untuk a. Kemampuan untuk


membangun memberikan kontribusi
hubungan, terhadap perencanaan
berinteraksi dan dan mengkoordinasi
bekerja secara kerja grup
3 Kerja sama tim efektif dengan b. Bertanggung jawab
lainnya terhadap keputusan
b. Kemampuan untuk grup
memahami dan
berperan sebagai
anggota
a. Kemampuan untuk a. Kemampuan untuk
mengelola informasi mengembangkan
Belajar seumur
yang relevan dari keinginan untuk
hidup dan
4. berbagai sumber menginvestigasi dan
mengelola
b. Kemampuan untuk mencari pengetahuan
informasi
menerima ide-ide
baru
a. Kemampuan untuk a. Kemampuan untuk
memahami krisis mempraktikkan etika
ekonomi, perilaku
lingkungan dan
aspek sosial budaya
Etika, Moral & profesional.
5
Profesional b. Kemampuan untuk
menganalisis
membuat keputusan
pemecahan masalah
yang berkaitan
dengan etika
a. Mempunyai a. Kemampuan untuk
pengetahuan teori memahami dan
Kemampuan dasar kepemimpinan menjadi alternatif
6
Kepemimpinan b. Kemampuan untuk pemimpin dan pengikut
memimpin suatu
projek

c. Cara Pengukuran Soft Skill

Soft skill didominasi dari komponen individu sehingga

dalam pengukuran dapat berbeda dengan pengukuran

kemampuan hardskill. Beberapa instrument yang dapat


41

dilakukan dalam pengukuran soft skill anatara lain: model

Likert, Guttman atau Semantik Deferensial dengan

memodifikasi jenis respon maupun jumlah alternative respon

(Widhiarso, 2009).

Pengukurtan soft skill menurut Widhiarso (2009) terbagi

menjadi, pelaporan diri (self-report), checklist dan penilaian

performasi.

a) Self report

Selt report merupakan kumpulan stimulus berbasis

pertanyaan atau daftar deskripsi diri yang dapat direspon oleh

individu. Pernyataan merupakan domain ukur yang sifatnya

teoritik konseptual setelah melalui proses operasionalisasi

menjadi indikator-indikator. Setelah domain ukur dan indikator

telah ditetapkan, proses selanjutnya adalah penyusunan

penulisan item (wording). Misalnya mengukur ekstraversi

tingkat individu melalui pernyataan “saya sulit berinteraksi

dengan orang lain”. Selanjutnya akan direspon oleh individu

dengan “setuju” atau “tidak setuju”.

b) Check list

Check list merupakan salah satu jenis alat ukur efektif atau

perilaku dalam mengetahui jumlah indikator, biasnya kata sifat

atau perilaku yang diisi oleh seorang peneliti (rater). Checklist


42

lebih praktik dan banyak digunakan untuk mengukur aspek

psikologis yang tampak misalnya perilaku (overt).

c) Pengukuran performansi

Pengukuran performansi merupakan alat ukur yang dapat

digunakan untuk menentukan hasil kerja individu dalam tugas

yang telah di tentukan.

Dalam penskoran harus dilakukan panduan berdasarkan

penyekoran yang telah diajarkan untuk menentukan kriteria

performasi yang telah disepakati sebelumnya.

d. Faktor-Faktor Pengukuran Soft Skill

1) Communicative skill (keterampilam komunikasi)

Arifin (2008), keterampilan komunikasi adalah kemampuan

seseorang untuk menyampaikan sebuah ide, pesan ataupun

gagasan kepada orang lain atau individu secara jelas dan mudah

untuk dipahami. Dalam komunikasi yang baik dibutuhkan

latihan agar ketrampilan dapat berfungsi serta bermanfaat bagi

seseorang untuk mencapai sebuah gagasan untuk menciptakan

ketrampilan yang lebih baik dan bermanfaat. Misalnya dalam

melakukan suatu tes wawancara, serta hubungan yang baik

dalam lingkungan di sekitarnya.

Tappen dalam Nursalam (2008), mendefinisikan bahwa

komunikasi merupakan pertukaran ide, pikiran, perasaan, serta

pemberian nasehat yang terjadi antara individu ataupun


43

kelompok yang dapat bekerjasama. Untuk dapat menyusun dan

menghantarkan suatu pesan, ide, ataupun gagasan yang mudah

dimengerti dan dipahami dari maksud dan tujuan pemberian

pesan.

a) Critical thinking and problem solving skill (Kemampuan

berfikir kritis dan memecahkan masalah)

Kemampuan berfikir kritis adalah kemampuan befikir untuk

mengidentifikasi dan merumuskan berbagai pokok-pokok

permasalahan, kemampuan mendeteksi adanya sudut pandang

yang berbeda dari suatu ketentuan yang diambil dalam

mengungkap kemampuan untuk mengevaluasi argument dalam

setiap permaslahan dan dapat mengambil keputusan yang sesuai

(Mulyana, 2008). Berfikir kritis merupakan proses berfikir

tentang suatu ide atau gagasan dalam suatu permasalahan untuk

mengambil keputusan yang akurat sehingga dapat memecahkan

suatu permaslahan yang bermakna (Soleh, 2014).

Pemecahan masalah pada dasarnya merupakan proses

dimana seseorang dapat memyelesaikan suatu pernasalahan

yang dihadapi sampai masalah tersebut dapat benar-benar

selesai. Sedangkan kemampuan dalam pemecahan masalah

yakni kemampuan seseorang atau individu dalam berfikir atau

mengambil keputusan dengan proses berfikirnya untum


44

memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi (Hamzah,

2007).

b) Teamwork skill (Kemampuan kerjasama tim)

Kerjasama tim (teamwork) adalah bentuk kerjasama dalam

suatu kelompok yang dapat bekerjasama dengan baik. Tim dapat

berangotakan beberapa orang yang memiliki keahlian yang

berbeda-beda tetapi dapat bekerja sama dengan baik dalam suatu

pimpinan. Dalam suatu tim dapat bekerjasama dan

ketergantungan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama

dan menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga diharapkan

dapat lebih baik dalam kerjasama tim dibandingkan dengan

pemikiran perorangan (Dewi, 2007).

c) Lift-long learning and information management skill

(kemampuan belajar sepanjang hayat dan manajemen

informasi)

1) Life-long learning skill (kemampuan belajar sepanjang

hayat)

Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang

belajar terus-menerus dan berkesinambungan (continuing-

learning) dari lahir sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-

fase perkembangan pada manusia. Oleh karena setiap fase

perkembangan pada masing-masing individu harus dimulai

dengan belajar agar dapat memenuhi tugas-tugas


45

perkembanganya, maka belajar itu dimulai dari masa kanak-

kanak sampai dewasa dan bahkan masa tua.Tujuan dari

proses belajar sepanjang hayat adalah untuk

mengembangkan diri, menjadi manusia yang kreatif, sensitif

dan dapat berperan aktif dalam proses pembangunan,

sehingga bermanfaat bagi orang lain.

2) Information management skill (kemampuan manajemen

informasi)

Kemampuan manajemen informasi adalah

mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan, mencari

informasi yang relevan dan tepat, dan mengevaluasi

informasi tersebut apakah sudah sesuai dengan

kebutuhannya, dan menggunakan informasi tersebut untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi.

Jika diorganisasikan dengan baik, maka informasi

selanjutnya akan menjadi pengetahuan yang berguna.

d) Ethic, Moral and Professionalism (etika, moral dan

profesionalisme)

1) Ethic (Etika)

Kata etika berasal dari kata ethos pada bentuk tunggal

berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak, watak, perasaan,

sikap dan cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak (ta


46

etha) berarti adat kebiasaan, dengan kata lain etika diartikan

sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan seseorang.

Menurut Sumijatun (2011), bahwa etika berhubungan

dengan bagaimana seseorang dapat bertindak dan bagaimana

mereka melakukan hubungan dengan orang lain.

Ketrampilan etika merupakan kebiasaan bertingkah

laku atau berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Jadi

seseorang dapat dilihat etikanya dari kebiasaan dirinya

bersikap, semakin ia menjunjung tinggi nilai etika, semakin

tinggi pula etika yang dia miliki. Etika dan moral hampir

memiliki pengertian yang sama, tetapi dalam kehidupan

sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas

untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika

untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika juga

dasar terbentuknya moral seseorang. Etika yang berasal

dalam diri akal pikiran menjadi dasar untuk menerima suatu

kebiasaan yang muncul baik atau buruk.

2) Moral (Moral)

Wibowo (2009), menyatakan bahawa hubungan atara

etika dan moral sangat erat, tetapi keduanya memiliki sifat

yang berbeda. Moral lebih mengarah pada suatu ajaran,

patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun

tertulis, tentang bagaimana manusia itu bertindak untuk


47

menentukan langkah menuju yang baik, sedangkan etika

lebih pada kebiasaan tingkah laku manusia. Perbuatan

manusia bisa dikatakan baik apabila motivasi, tujuan akhir

dan lingkungan juga baik. Apabila salah satu perbuatan itu

tibak baik, maka manusia itu keseluruhanya kemungkinan

tidak baik.

3) Professionalism (profesionalisme)

Amold & Stem (2006), profesionalisme diartikan

sebagai dasar kompetensi klinis, kemampuan

berkomunikasi, pemahaman etika dan hukum yang dibangun

dengan harapan untuk melaksanakan prinsip-prinsip

profesionalisme diantarnya: excellenge (keunggulan),

humanism (humanisme), accountability (akuntabilitas),

altruism (altruism).

Profesionalisme pada intinya merupakan suatu

kompetensi untuk menjadikan tugas dan fungsi secara baik

dan benar. Maka dari profisionalisme itu bukan ditandai

dengan sekedar penguasaan saja, tetapi juga sangat

ditentukan oleh cara memanfaatkan itu serta tujuan yang

dicapai sehingga penguasaan dan pemanfaatan dapat dicapai

dengan benar dan sesuai.

e) Leadership skill (ketrampilan kepemimpinan)


48

Kepemimpinan diadopsi dari bahasa inggris yaitu leader

ship. Leadership berasal dari kata to lead yaitu berupa kata kerja

yang berarti memimpin. Lebih lanjut pemaknaan secara

terperinci kepemimpinan yaitu orang yang melakukan aktivitas

atau kegiatan untuk memimpin atau dapat dimengerti sebagai a

person who leads others a long way guidance. Sulistiyani

(2008), kepemimpinan merupakan hubungan antara satu dengan

yang lain dan saling mempengarui untuk menjadikan tujuan

bersama.

Kepemimpinan lebih mendasarkan pada iktikat melakukan

peran untuk mempengaruhi dan mengarahkan secara efektif.

Pemimpin harus mampu mengatasi masalah yang ada, sehingga

dapat menciptakan lingkungan yang kondusif. Salah satu faktor

terberat dalam pengambilan keputusan adalah pemimpin yang

lemah, sehingga tidak dapat memilih keputusan yang baik dan

sesuai tujuan (Sumijatun, 2011). Sedangkan menurut Suyanto

(2008), ketrampilan keterampilan dibagi atas tiga macam yaitu :

1) Keterampilan bersifat teknis

Merupakan ketrampilan untuk mengajarkan dan

memberikan aktifitas tekhnis.

2) Ketrampilan hubungan antar manusia

Merupakan ketrampilan yang sanggup untuk bekerjasama

dengan anggota kelompok yang dipimpinya. Ketrampilan


49

tersebut akan memotivasi bawahanya sekaligus kemampuan

berkomunikasi. Misalnya mampu menggajarkan anggotanya

untuk berpendapat ketik ada tutorial.

3) Keterampilan bersifat konseptual

Keterampilan kepemimpinan merupakan keterampilan

yang mempengaruhi, memotivasi dan memberi contoh

dengan memahami konsep kepemimpinan dan hubungan

bawaan untuk mencapai tujuan yang dicapai. Seseorang yang

berjiwa pemimpin harus mempunyai pemikiran yang unggul

dibandingkan anggotanya, karena mempunyai tanggung

jawab yang besar serta peranan yang aktif dalam kelompok.

Sedangkan faktor yang dapat mempengarui menurut Suyanto

(2008), antara lain sebagai berikut:

1) Karateristik pribadi

Karakter seorang pemimpin akan berpengaruh

terhadap proses kepemimpinan yang dijalankan.

Pribadi yang jujur, terbuka, disiplin, akan berpengaruh

terhadap bawahanya, secara tidak lansung akan

menyegani dan sekaligus menjadi acuan dalam

berperilaku.

2) Kelompok yang dipimpin

Keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan

organisasi dipengaruhi oleh kelompok yang sedang


50

dipimpin. Semakin besar kelompok akan semakin

besar resiko yang dihadapi seorang pemimpin.

3) Situasi yang dihadapi

Situasi yang baik akan berpengaruh baik terhadap

pemimpin maupun anggotanya, begitu juga sebaliknya

jika situasi buruk akan berpengaruhpada pemimpinya

dan beresiko pada anggotanya.

e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Soft Skill

Soft skill yang dapat mempepengarui aspek kehidupan

seseorang diantaranya iyalah sikap, karakter dan nilai hidup,

bahkan ketrampilan personal maupun interpersonal

dimasyarakat maupun dunia kerja. Maka seseorang yang bekerja

tidak hanya memeiliki atau hanya menguasai kompetensi teknik,

seperti apa yang pernah dipelajari dalam pembelajaran, namun

juga dituntut untuk memiliki pribadi yang mantap dan sikap

hidup yang kuat untuk berhubungan dengan masyarakat ataupun

orang lain (Sailah, 2008).

Suhartini (2011) mengemukakan pendapat bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi soft skill diantaranya :

a. Faktor intrinsic

Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul karena

pengaruh yang muncul dalam diri individu itu sendiri.


51

1) Harga diri, dalam berwiraswasta digunakan untuk menigkatkan

harga diri seseorang, karena dengan usaha tersebut seseorang

akan memperoleh popularitas, menjaga gengsi, dan menghindari

ketergantunganya terhadap orang lain.

2) Perasaan senang, dimana keadaan hati atau peristiwa kejiwaan

seseorang, baik perasaan senang maupun tidak senang tetapi ia

tetap mencintai, nantinya akan muncul minat yang dapat

menjadikan diri seseorang menjadi senang.

b. Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

individu karena pengaruh rangsangan dari luar.

1) Lingkungan keluarga, keluarga merupakan peletak dasar

pertumbuhan dan perkembangan anak, disinilah yang

memberikan pengaruh awal terhadap terbentuknya kepribadian.

2) Lingkungan masyarakat, merupakan lingkungan diluar keluarga

maupun di kawasan tempat tinggal maupun kawasan lain yang

dapat mempengaruhi.

3) Pendidikan, pengetahuan yang di dapat selama proses belajar

sebagai modal dasar yang digunakan dan dimanfaatkan maupun

dipelajari.

4) Interaksi, merupakan hubungan antara dua orang atau lebih dan

dapat berinteraksi anatara satu dengan yang lainya yang saling

menguntungkan.
52

Muhibbin (2008) terdapat beberapa faktor yang mempengarui

soft skill santri yaitu diantaranya faktor internal dan faktor

eksternal.

1. Faktor internal yang mempengarui diantaranya yaitu :

a. Kecerdasan atau intelegensi

Kecerdasan dapat diketahui atau dapat diukur dengan

dapat atau tidaknya santri mempelajari dan menentukan suatu

hasil yang sesuai. Semakin tinggi kecerdasan mahasiswa maka

semakin banyak peluang yang didapatkan seorang santri.

b. Bakat

Bakat adalah kemampuan seseorang atau santri yang

tumbuh dalam diri seseorang sesuai dengan masing-masing

potensi. Seseorang atau santri dapat menguasai sesuatu bidang

tidak harus belajar tetapi muncul dalam diri seseorang itu

sendiri.

c. Minat

Minat adalah keinginan besar terhadap sesuatu. Minat

akan menigkatkan perhatian seseorang atau mahasiswa yang

disuakai sehingga dapat belajar lebih giat untuk mencapai yang

diinginkan.

d. Motivasi

Motivasi adalah keadaan interval yang dapat mendorong

seseorang untuk berbuat sesuatu. Motivasi merupakan suatu


53

penyemangat atau keinginan untuk dapat memenui kebutuhan

yang diinginkan.

e. Sikap santri

Sikap santri mempengarui dinamika hasil belajar yang

dapat tercapai. Seseorang santri akan mengalami kesulitan

belajar jika mempunyai sikap negatif sebelumnya.

2. Faktor eksternal yang dapat mempengarui diantaranya :

a. Keadaan keluarga

Keluarga merupakan pengaruh terhadap diri seseorang.

Keluarga yang harmonis akan mempengarui cita-cita tinggi

untuk anaknya dan akan memberikan pengaruh bahkan

memfasilitasi untuk anaknya sehingga dapat tercapai dengan

baik.

b. Kyai dan ustad atau pembimbing dan cara mengajar

Sikap atau kepribadian kyai atau pembimbing, tinggi

rendahnya pendidikan yang dimiliki dan bagaimana dosen atau

pembimbing mengajarkan pengetahuan dapat berpengaruh

terhadap keberhasilan kepandaian anak didiknya. Prestasi akan

tercapai bila seorang pendidik mampu membawa prestasi

didiknya untuk berubah kearah yang positif sesuai dengan

tujuan yang dicapai dalam dunia pembelajaran. Seseorang

pendidik akan sulit mewujudkanya jika dia tidak memiliki

kompetensi yang berkaitan dengan proses pembelajaran.


54

c. Alat-alat pelajaran

Pesantren yang memiliki fasilitas yang lengkap dan

mendukung akan mempercepat proses pemahaman dan

pembelajaran seorang santri. Hal tersebut dapat ditunjang baik

oleh kecakapan kyai atau pembimbing dengan mengunakan atau

memanfaatkan fasilitas yang ada.

d. Motivasi sosial

Kyai atau orang tua dapat memberikan motivasi yang baik

pada santri dengan pujian ataupun dengan hadiah hukuman.

Motivasi dapat menimbulkan hasrat dan dorongan seorang

individu untuk belajar dengan lebih baik. Santri juga bisa

menyadari gunanya belajar dan apa tujuan yang akan dihadapi

dan dicapainya dengan pelajaran yang didapat.

e. Lingkungan dan kesempatan

Banyak anak yang tidak dapat meningkatkan kualitas

belajar karana tidak adanya kesempatan, pengaruh lingkungan

negatife serta faktor-faktor yang terjadi diluar kemampuan.

Suhartini (2011) menyebutkan bahwa salah satu faktor

eksternal yang mempengaruhi soft skill seseorang adalah

interaksi. Interaksi yang baik akan mendukung soft skill yang

positif.

B. Kerangka Berfikir
55

Kerangka berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

𝐗𝟏
Y
𝐗𝟐

Gambar 1. Paradigma Penelitian

Keterangan:

𝐗𝟐 : Partisipasi Kegiatan Organisasi Santri

𝐗𝟏 : Kecerdasan Emosional

Y : Soft Skill

: Pengaruh Partisipasi Kegiatan Organisasi Santri,

Kecerdasan Emosional terhadap Soft Skill secara

sendiri-sendiri

: Pengaruh Partisipasi Kegiatan Organisasi Santri,

Kecerdasan Emosional terhadap Soft Skill secara

bersama

C. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan

penelitian. Oleh karena itu, perumusahan hipotesis sangat berbeda dari

perumusan pertanyaan penelitian (Azwar, 2010:10).


56

Berdasarkan uraian teoritik di latar belakang masalah, maka

hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Hipotesis alternatif (Ha): “Ada pengaruh partisipasi kegiatan

organisasi santri dan kecerdasan emosional terhadap peningkatan

soft skill santri”.

2. Hipotesis nihil (Ho): “Tidak ada pengaruh partisipasi kegiatan

organisasi santri dan kecerdasan emosional terhadap peningkatan

soft skill santri”.


DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

AL.Tridonanto. 2010. Meraih Sukses dengan Kecerdasan Emosional.


Jakarta: Gramedia.

Azra, Azyumardi, 1985.”Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif


Masyarakat”, dalam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren
Membangun dari Bawah, Jakarta: LP3ES Badudu, J.S, 1996.

Davis, Keith & John W. Newstrom. 2000. Perilaku dalam Organisasi. Alih
bahasa Agus Darma. Jakarta: Erlangga.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Peraturan Menteri


Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tentang
Pembinaan Kesiswaan. Jakarta: Depdikbud.

Departemen Pendidikan Nasional Dhofier, Zamakhsari, 1994. Tradisi


Pesantren; Studi pandangan Hidup Kyai, Jakarta; LP3ES

Departemen Pendidikan Nasional Dhofier, Zamakhsari, 1994. Tradisi


Pesantren; Studi pandangan Hidup Kyai, Jakarta; LP3ES

F. Rudi Dwi Wibawa dan Theo Riyanto. 2008. Siap Jadi Pemimpin ?
Latihan Dasar Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius.

Goleman, Daniel. 2001. Kecerdasan Emosional Untuk Mencapai Puncak


Prestasi.(Alih Bahasa Alex Tri K.W.). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intelligence. Kecerdasan Emosional.


Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. (Alih bahasa: T. Hermaya).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gottman, J. 2001 Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan


Emosional (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Haidar, M. Ali. 1994. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan


Fiqh dalam Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Hariadi, Farid Ma’ruf. “Arah Baru Pengelolaan Pondok Pesantren”, dalam


Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, vol. 3, Juni 2008.
Vol. 8, No. 1, Juni 2013: 115-136 135

Hurlock, Elizabeth B. 2002. Perkembangan Anak Jilid 2. (Meitasari


Tjandrasa. Terjemahan). Jakarta: Erlangga

57
58

Kadarusmadi. 1996. Upaya Orang Tua dalam Menata Situasi Pendidikan


dalam Keluarga, Disertasi tidak dipublikasikan, Bandung: PPs IKIP
Bandung

Katsoff, Louis O. 1989. Elements of Philosophy, terj. Soejono

Madjid, Nurcholis. 2006. Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina

Noor, Mahpuddin. 2006. Potret Dunia Pesantren: Lintasan Sejarah,


Perubahan dan Perkembangan Pondok Pesantren, Bandung:
Humaniora

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC


136 INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Chusnul
Chotimah

Shapiro, L. E. 1998. Mengajarkan Emotional Intelligence. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Langgulung, Hasan. 1988.


Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka Al-Husna

Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan

Tjundjing, S. 2001. Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi


Studi Pada Siswa SMU. Jurnal Anima, 17 (1).

Wahid, Abdurrahman. 1995. “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam M.


Dawam Rahardjo (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. ttp: LP3ES

Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap


Pendidikan Tradisional. Jakarta: Ciputat Press

Anda mungkin juga menyukai