Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN LEUKEMIA (ALL –

L2) PADA An. M DI RUANG HCU RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Departemen Anak Profesi Ners

Oleh :
Ronny Iswahyudi

PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI
MALANG
2019
LEUKEMIA

A. DEFINISI
Leukemia berasal dari bahasa yunani leukos-putih dan haima-darah. Mula-mula
dijelaskan oleh Virchow pada tahun 1847 sebagai darah putih. Leukemia adalah jenis kanker yang
mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Semua kanker bermula di sel, yang membuat darah
dan jaringan lainnya. Biasanya, sel-sel akan tumbuh dan membelah diri untuk membentuk sel-sel baru yang
dibutuhkan tubuh. Saat sel-sel semakin tua, sel-sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan
menggantikannya.Tapi, terkadang proses yang teratur ini berjalan menyimpang. Sel-sel baru
ini terbentuk meski tubuh tidak membutuhkannya, dan sel-sel lama tidak mati seperti
seharusnya. Kejanggalan ini disebut leukemia, di mana sumsum tulang menghasilkan sel-sel
darah putih abnormal yang akhirnya mendesak sel-sel lain. Sel abnormal ini keluar dari sumsum tulang dan
dapat ditemukan di dalam darah perifer/darah tepi.
Leukemia dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, penyakit neoplastik yang
beragam, atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan
jaringan limfoid dan diakhiri dengan kematian. Disamping itu leukimia merupakan penyakit
dengan proliferasi neoplastik dan diferensiasi sel induk hematopoetik yang secara maligna
melakukan transformasi yang menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sum-sum yang
normal. Pada sebagian kasus sel neoplastik juga terdapat dalam jumlah yang semakin
meningkat didalam darah tepi. Beberapa pengertian menurut para ahli yaitu sbb:
 Leukemia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan
pembentuk darah. (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175).
 Leukemia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-
sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 :248).
 Nama penyakit maligna yang dikarakteristikkan oleh perubahan kualitatif dan kuantitatif dalam leukosit
sirkulasi (Jan Tambayong, 2000)
 Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum
tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001).
 Leukemia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis
sel hemopoietik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel
darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain.(Arief Mansjoer, dkk, 2002 :
495).
 Penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang secara
maligna melakukan trasformasi, yang menyebabkan penekanan dan penggantian sum-sum yang normal
(Sylvia, 2005).
 Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan poliferasi sel induk
hematopoietik yang mengalami transfusi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen
sumsum normal (Baldy, 2006)
 Keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan differensiasi pada berbagai
tingkatan sel induk hematopoietik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang kemudian sel leukemia beredar secara sistemik (I.M Bakta, 2007).
 Leukemia adalah suatu keganasan organ pembuat darah sehingga sumsum tulang
didominasi oleh klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut ke
darah dan semua organ tubuh (Bambang, 2008).
 Kanker yang terjadi akibat diferensiasi dan leukosit yang berlebihan (Sayuh Tamher.
2008).
 Keganasan hematologis akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada
berbagai tingkatan sel induk hematopoietik (Muttagin, 2009).
 Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis sel darah normal dan imunitas penderita. (Yayan, 2010)
 Sekelompok anak sel yang abnormal yang menghambat semua sel darah lain di sumsum tulang untuk
berkembang secara normal, sehingga mereka tertimbun di sum-sum tulang (Corwin, 2009).

Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih
dalam sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi
di hati,limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus
gastrointesinal, ginjal dan kulit. Leukemia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat
pembentuk darah sehingga mempengaruhi hematopoesis sel darah normal dan imunitas
penderita.
B. ETIOLOGI
Walaupun penyebab dasar leukemia yang pasti belum diketahui dan dijelaskan secara
keseluruhan, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia,
yaitu:
1. Genetik
Adanya penyimpangan kromosom insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan
kongenital, diantaranya pada sindroma Down 20x lebih besar dari orang normal, sindroma
Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis vanCreveld, sindroma
Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis
(Wiernik, 1985; Wilson, 1991). Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya
perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang
tidak stabil, seperti pada aneuploidy.
a) Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana
kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga
pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi (Wiernik,1985).
b) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom
dapatan, misal: radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan
insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL (Wiernik, 1985; Wilson, 1991) .‡
2. Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan
leukemia pada hewan termasuk primata. Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA
dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal
dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada
hewan (Wiernik, 1985). Enzim tersebut dapat menyebabkan virus yang bersangkutan dapat membentuk
bahan genetik yang kemudian bergabung dengan genom yang terifeksi. Virus sebagai penyebab leukemia,
yaitu enzime Reverse Transcriptase yang ditemukan dalam darah manusia. Virus lain yang dapat
menyebabkan leukemia seperti Retovirus tipe C, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell
Leukemia. Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T-Cell Leukemia . Virus ini ditemukan
oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 1990).
3. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Paparan kronis dari bahan kimia (misal:benzen) dihubungkan dengan peningkatan
insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. (Wiernik,1985;
Wilson, 1991) Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain :
produk ± produk minyak, cat, ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik ( Fauci, et. al,
1998 ) .
4. Leukemogenik
Zat-zat kimia yang mempengaruhi frekuensi leukemia:
 Racun lingkungan seperti benzene.
 Bahan kimia industri seperti insektisida.
 Obat-obatan untuk kemoterapi.
5. Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat
mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol,
fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun
menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ).‡
6. Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi Leukemia Mielostik Akut (LMA), namun tidak
berhubungan dengan Leukemia Limfositik Kronis (LLK). Peningkatan resiko leukemia
ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal: pembesaran thymic, para pekerja
yang terekspos radiasi dan para radiologis. Data-data pendukung radiasi sebagai penyebab
leukemia :
 Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia
 Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia
 Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian Bom Atom Hirosima dan Nagasaki
7. Sinar Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan
leukemia pada binatang maupun pada manusia. Dibuktikan bahwa penderita yang diobati
dengan sinar radioaktif akan menderita leukemia pada 6% klien, dan baru terjadi sesudah 5
tahun.
8. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary
Acute Leukemia (SAL) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit
Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang
digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan
kerusakan DNA . Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari
sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan
bahan kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat anti kanker, meningkatkan
resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya
sindroma Down dansindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
9. Faktor Infeksi
Banyak ahli yang menduga bahwa faktor infeksi oleh suatu bahan yang menyebabkan
reaksi sangat berperan dalam etiologi leukemia (Imam Supandiman. 1997; Sylvia
Anderson Price. 1995).
C. FAKTOR RESIKO
1. Usia
Usia seseorang akan berpengaruh terhadap imunitas seseorang. Semakin bertambah
usianya maka akan semakin berkurang imunitas tubuhnya yang akan berpengaruh terhadap
proliferasi sel abnormal ganas yang akan menyerang tubuh.
2. Lingkungan
Faktor lingkungan berpengaruh terhadap keparahan leukemia. Masyarakat yang
dekat/tinggal di area industri dapat terkena racun lingkungan seperti benzena dan insektisida
yang memperburuk kondisi pasien. Orang-orang dengan paparan zat kimia (misal:benzene,
Arsen, pestisida, kloram fenikol, fenil Butazon, dan agen neoplastik) akan berisiko lebih
tinggi untuk terjangkit leukemia. Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia
(Sylvia Anderson Price. 1995). Paparan pada tingkat-tingkat yang tinggi dari benzene pada
tempat kerja dapat menyebabkan leukemia. Benzene digunakan secara luas di industri kimia
begitu juga dengan Formaldehyde yang beresiko leukemia lebih besar.
3. Genetik
Suatu studi Genetika Hematologi menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari beberapa
pasangan yang telah dijadikan sample penelitian terbukti bahwa anak-anak tersebut menderita
leukemia karena membawa faktor genetik dari orang tuanya. Kelaman kongenital dengan
aneuloidi, misalnya Agranulositosis congenital, sindrom Ellis Van Greveld, penyakit seliak,
sindrom Bloom, anemia fanconi, sindrom klenefelter, dan sindrom trisomi D. Menyebabkan
meningkatnya insiden leukemia limfoma. Beberapa penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
kromosom-kromosom abnormal mungkin meningkatkan resiko leukemia.
Jarang ditemukan leukemia familial, tetapi terdapat insiden leukemia lebih tinggi dari
saudara kandung anak-anak yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai 20% pada
kembar monozigot/identik (Sylvia Anderson Price. 1995).
4. Gaya Hidup
Gaya hidup berhubungan dengan aktivitas pasien sehari-hari. Orang yang terlalu sibuk
dengan kegiatannya tanpa memperhatikan waktu istirahatnya serta PHBS juga dapat
membuatnya terkena Leukemia.
5. Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh karena
nutrisi ini juga akan mempengaruhi fungsi organ tubuh untuk bekerja secara normal, terutama
agar tidak terjadi hematopoiesis abnormal. Asupan nutrisi yang kurang baik, seperti sering
mengkonsumsi bahan yang berpengawet dalam jangka lama bisa menyebabkan leukemia.
6. Riwayat Penyakit
Misalnya selain mengalami Leukemia, pasien juga mengalami anemia dan pneumonia
yang berkaitan dengan ikatan oksidasi hemoglobin, apabila tidak mencapai standar normal
yang dibutuhkan tubuh maka akan terjadi hematopoiesis abnormal.
7. Radiasi Ionik
Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom akan berisiko relative keseluruhan
untuk berkembang menjadi leukemia akut.
8. Efek pengobatan
Seseorang dengan radioterapi dan kemoterapi bias meningkatkan resiko terjangkit
leukemia. Setiap keadaan sumsum tulang hipopastik, kelihatannya merupakan predisposisi
terhadap leukemia.
9. Faktor penyakit yang didapat
Penyakit yang didapat dengan resiko terkena leukemia mencakup mielofibrosis,
polisitemia vera, dan anemia refraktori sideroblastik. Mieloma multipel dan penyakit Hodgkin
juga menunjukkan peningkatan resiko terhadap terjadinya penyakit ini (Tambayong, 2000).
10. Infeksi virus
Pada awal 1980, di isolasi virus HTLV-1 dan leukemia sel T manusia pada limfosit
seorang penderita limfoma kulit dan sejak itu diisolasi dan sempel serum penderita leukemia
sel T (Sylvia Anderson Price. 1995).
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan klasifikasi French American British (FAB), leukemia akut terbagi
menjadi 2 (dua), Acute Limphocytic Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).
Sedangkan Leukemia Kronis juga dibagi menjadi 2 yaitu Leukemia Mielogenus Kronis
(CML)dan Leukemia Limfositik Kronis (CLL).
1. Klasifikasi secara khususnya:
a. Leukemia Akut (Mansjoer, 2001)
Leukemia akut merupakan proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering
disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal. Jumlahnya berlebihan, serta dapat
menyebabkan anemia, trombositopenia dan diakhiri dengan kematian. (Haribowo,
2008).
Leukemia akut dihubungkan dengan awitan (onset) cepat, jumlah leukosit tidak
matang berlebihan, dengan cepat menjadi anemia, trombositopenia berat, demam
tinggi, lesi infektif pada mulut dan tenggorok, perdarahan dalam area vital, akumulasi
leukosit dalam organ vital dan infeksi berat. (Tambayong, 2000).
Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat,
mematikan dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat
meninggal.
Leukemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan maturasi sel dan tipe sel asal.
Menurut maturasinya menjadi akut dan kronis, sedang tipe sel asal dibedakan
berdasarkan mielositik dan limfositik.
a) Luekemia Limfositik Akut (ALL)
Dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak
(75-80%), laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia
4tahun, setelah usia 15 ALL jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur
berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu
perkembangan sel normal. Leukemia yang mengenai stem sel hematopoietik yang
kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid: monosit, granulosit (Basofil, Neutrofil,
dan Eusinofil), eritrosit dan trombosit. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang
terutama telah berumur 65 tahun/lebih.
Keganasan klonal dari sel-sel perkusor limfoit. Lebih dari 80% kasus, sel-sel
ganas berasal dari limfoit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia jenis
ini adalah leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Lebih sering terjadi
pada anak laki-laki (Handayani, 2008).

Acute Limphocytic Leukemia (ALL) sendiri terbagi menjadi 3, yakni :


 L1 Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang
anak-anak. ALL dengan sel limfoblast kecil-kecil dan merupakan 84% dari ALL.
 L2 Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1.
ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa. Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin
bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari ALL.
 L3 Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt, yaitu
sitoplasma basofil dengan banyak vakuola dan hanya merupakan 1% dari ALL. Terjadi
baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk .

Gejala klinisnya : gejala tersering yang dapat terjadi adalah rasa lelah, panas tanpa infeksi purpura,
nyeri tulang dan sendi, penurunan berat badan, serta sering ditemukan suatu massa abnormal. Pada
pemeriksaan fisik didapat splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan pada tulang dada,
ekimosis, dan perdarahan retina.

1. Leukemia Mielogenus Akut (AML)


Mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel Mieloid:
monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena,
insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Insiden AML kira-kira 2-3/100.000
penduduk, LMA lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak
(15%). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita.
Gejala klinis yang dapat terlihat pada klien LMA adalah rasa lelah, pucat, nafsu makan
hilang, anemia, petekie, perdarahan, nyeri tulang, serta infeksi dan pembesaran kelenjar
getah bening, limpa, hati, dan kelenjar mediastinum. kadang-kadang juga ditemukan
hipertrofi gusi, khususnya pada leukemia akut monoblastik dan mielomonolitik.

Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi. Leukemia Mielogenus


Akut (AML) terbagi menjadi 8 tipe :
 Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia 3%)
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML
dengandiferensiasi minimal.
 M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi 15%-20%)
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari
kasus AML.Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer
rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2
dengan granula, dimana tipe 1dominan di M1.
 M2 ( Akut Myeloid Leukemia 25%-30%)
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi
berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit
matang berjumlah lebihdari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 ± 90 %. Tapi lebih dari 50 %
dari jumlah sel-selsumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit.
 M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia 5%-10%)
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat,
stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-
kadang berlobul. Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit
mengandung granula berbentuk seperti debu. Adanya Disseminated
Intravaskular Coagulation (DIC) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini.
 M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia 20%)
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik, serta sel-sel
leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan
cara 20% dari selyang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang
berbeda-beda. Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari
M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang
bukan eritroit, disebutdengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien-pasien dengan AML
type M4 mempunyai responterhadap kemoterapi-induksi standar.
 M4Eo, Leukemia Mielomonositikdengan Eosinofil Abnormal (5%-10%).
 M5 ( Acute Monocytic Leukemia 2%-9%)
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit,dan
monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah
monoblas,sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan
hasil perawatannyacukup baik.
 M6 ( Erythroleukemia 3%-5%)
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari
gambaranmorfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi
abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini
terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6
disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jikasel leukemik kurang dari 30% dari sel yang
bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanyakambuhan terhadap kemoterapi-induksi
standar .
 M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia 3%-12%)
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit. ( Yoshida, 1998;
Wetzler danBloomfield, 1998 )Leukemia Mielogenus Kronis (CML) juga dimasukkan
dalam sistem keganasan sel stemmieloid. Namun lebih banyak sel normal dibanding
bentuk akut, sehingga penyakit ini lebihringan. CML jarang menyerang individu di
bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengangambaran AML tetapi tanda dan gejala
lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan
leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpamembesar.Leukemia
Limfositik Kronis (CLL) merupakan kelainan ringan mengenai individu usia
50sampai 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru
terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.

E. MANIFESTASI KLINIS
Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur/akumulasi sel darah putih dalam
sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga proliferasi di hati, limfa,
dan nodus limfatikus, serta invasi organ nonhematologis, seperti meningitis, traktus
gastrointestinal, ginjal dan kulit.
1. Leukemia Akut (National Cancer Institute , 2008)
Limfosit imatur berproliferasi di sumsum tulang & jaringan perifer, serta terakumulasi
elisana. Hal diatas mengakibatkan adanya gangguan pada perkembangan sel normal.
Leukemia akut juga memperlihatkan gejala klinis yang mencolok. Gejala leukemia
akut dapat digolongkan menjadi 3 besar, yaitu:
a) Gejala kegagalan sumsum tulang:
 Anemia menimbulkan gejala pucat, lemah, letargi(kesadaran menurun), pusing,
sesak, nyeri dada.
 Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi rongga
mulut, tenggorok, kulit, saluran nafas, dan sepsis sampai syok septik. Pasien
sering menunjukkan gejala infeksi/perdarahan/keduanya pada waktu diagnosis.
 Trombositopenia menimbulkan easy bruisisng, perdarahan mukosa, seperti
perdarahan gusi, epistaksis, ekimusis, (perdarahan dalam kulit), serta
perdarahan saluran cerna dan sistem saluran kandung kemih.
 Anoreksia adalah tidak adanya/hilangnya selera makan.
Pasien dengan jumlah sel darah putih meningkat secara nyata dalam sirkulasi
(jumlahnya melebihi 200.000/mm³) dapat menunjukkan gejala hiperviskositas.
Gejala ini mencakup nyeri kepala, perubahan penglihatan, kebingungan dan
dispenia yang memerlukan leukoforensis segera (pembuangan leukosit melalui
pemisah sel).

b) Keadaan hiperkatabolik, yang ditandai oleh:


 Kaheksia
 Keringat malam (gejala hipermetabolisme)
 Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal
 Demam dan banyak keringat

c) Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain, seperti:


 Nyeri tulang & nyeri sternum karena infark tulang (infiltrate subperiosteal)
karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia.
 Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali
 Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
 Sindrom menigeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.

d) Perdarahan kulit :
 Atraumatic ecchymosis: Bercak perdarahan yang kecil pada kulit/membran
mukosa, lebih besar dari petekia, yang membentuk bercak biru/ungu yang
bundar/tidak teratur serta tanpa elevasi.
 Petechiae
 Purpura: Perdarahan kecil didalam kulit, membrane mukosa/ permukaan
serosa.

e) Perdarahan gusi
 Hepatomegali : pembesaran Hati
 Splenomegali : pembesaran Limpa
 Limfadenopati : ppnyakit Kelenjar Limfe
 Massa di Medias tinum : sering pada LLA sel T
 Leukemia sistem saraf pusat : nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi
intrakranial), perubahan pada status mental, kelumpuhan saraf otak terutama
saraf VI % VII, kelainan neurologik fokai.
 Keterlibatan organ lain: teksis, retina, kulit, pleura, pericardium, tonsil.
(Kumala. 1998)

 ALL merupakan hasil dari injuri genetik pada DNA sel di sumsum tulang. penyakit
ini biasanya berhubungan dengan akut limfoblastik leukemia karena sel leukemia
berpindah ke sumsum tulang yang normal. Sebagian besar pasien kehilangan berat
badan. Mereka biasanya merasa sulit bernafas selama aktifitas fisik. Mereka
Nampak pucat karena anemia. ini kemungkinan merupakan tanda dari rendahnya
jumlah trombosit. Hal ini disertai tanda kebiruan dan hitam yang terjadi tanpa
alasan yang terbukti atau karena injuri minor. Bintik-bintik merah dibawah kulit
disebut petekie atau perdarahan yang diperpanjang dari minor cots.
Ketidaknyamanan pada tulang dan sendi mungkin terjadi. Demam juga umum
terjadi. Selain itu, leukemia limfoblas mungkin berkumpul di limfa sehingga
terjadi pembengkakan. Sel leukemia dapat tersimpan dalam otak atau spinalcord
dan menyebabkan sakit kepala atau vomiting.

Tanda dan gejala leukemia akut berkaitan dengan neutropenia dan


trombositopenia. Ini adalah infeksi berat yang rekuren disertai timbulnya tukak
pada membrane mukosa , abses perirektal, pneumonia septicemia disertai
menggigil, demam, takikardi, takipnea. Komplikasi ini bertanggung jawab atas
tingginya angka kematian yang berhubungan dengan leukemia akut. Penyebab
infeksi paling umum: staphilokokus, streptococcus dan bakteri gram negatif usus,
serta berbagai spesies jamur.
Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan dengan petekie,
epitaksis (perdarahan hidung), hematoma pada membrane mukosa, serta
pendarahan saluran cerna dan system saluran kemih. Anemia bukan merupakan
manifestasi awal disebabkan karena umur eritrosit yang panjang (120 hari). Jika
terdapat anemia akan ditemukan pusing dan gejala kelelahan dan dipnea waktu
kerja fisik disertai pucat yang nyata (Sylvia Anderson Price. 1995).

 LMA (Muttaqin, 2009)


 LMA tidak selalu dijumpai Leukositosis
 Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA , 15% leukosit normal dan
35% mengalami netropenia
 Sel-sel Blast dalam jumlah signifikan ditemukan di darah tepi terlihat pada
85% penderita LMA
 Gejala klinisnya : lelah, pucat, anoreksia, anemia, petekie, perdarahan, nyeri
tulang, infeksi & limfadenopati, Hepatomegali, splenomegali, hipertrofi gusi,
dll.

2. Leukemia Kronis (National Cancer Institute, 2008)


Leukemia kronis tidak menampilkan gejala yang spesifik tetapi gejala yang dapat juga
menjadi gejala penyakit lain seperti demam tidak tinggi, letih, keringat dingin, perut
sering merasa tidak enak dan adakalanya terdapat juga pembesaran limfa. Kadangkala
juga terjadi kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun. Biasanya gejala-gejala
ringan tersebut berlangsung selama 6-8 bulan.

F. PATOFISIOLOGI
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu atau
beberapa jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kromosom sel induk
sistem hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus berproliferasi,
karena itu sel ini lebih potensial untuk bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih peka
terhadap obat toksik seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik menunjukkan bahwa
pada Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi hambatan diferensiasi dan sel limfoblas yang
neoplastik memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukan memendek. Oleh karena
itu, akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan pematangan progeni
menjadi sel matur fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal
hemopoetik mengalami tekanan.
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan genetik
sel. Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu sel mengalami
perubahan. Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi kenaikan kadar satu atau
beberapa jenis sel darah dan penghambatan pembentukan sel darah lainnya dengan akibat
terjadinya anemia, trombositopenia dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan prosesnya
sangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik (lingkungan).
Sel masenkim stem cell

Sumsum tulang Sel blast Jar mieloid

Proliferasi SDP
imatur

Mekanisme imun Akumulasi Hematopoiesis


terganggu terganggu

Resiko infeksi
Produksi SDM Trombositopenia
Infiltrasi
teganggu

Pembekuan
Anemia terganggu
Hati Tulang SSP Limpa

Hepatomegali Sistem Perdarahan


limpadenopati
neurologi
terganggu Resiko syok
Penekanan sel
hipovolemik
syaraf
Sakit kepala,
diplopia, Penurunan suplai
Gangguan
Pengeluaran penlihatan O2
perfusi jaringan
bradikinin kabur perifer
Pucat, lesu,
Nyeri akut
Nyeri Resiko injuri dyspnea, letargi
tulang

Ketidaknyama Intoleransi
nan pd perut Aktivitas

Mual

Nafsu makan Intake kalori Ketidakseimbangan nutrisi


menurun tidak adekuat kurang dari kebutuhan tubuh

G. PENATALAKSANAAN
 Penatalaksanaan Farmakologis

Ada banyak cara penanganan yang dapat dilakukan pada penderita leukemia dan setiap
penanganan mempunyai keunggulan masing-masing. Tujuan pengobatan pasien leukemia
adalah meneapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel leukemia. Untuk itu,
penderita leukemia harus menjalani kemoterapi dan harus dirawat di rumah sakit.Sebelum
sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan transfusi sel darah
merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik
untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan
dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Secara umum penanganan pada
penderita leukemia sebagai berikut:
1. Kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini
menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis
leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau
lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
 Melalui mulut
 Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah (atau intravena)
 Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam
pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian atas - Perawat akan
menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk menghindari suntikan yang
berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera
pada pembuluh darah/kulit.
 Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal - jika ahli patologi
menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan
sumsum tulang belakang, dokter bisa memerintahkan kemoterapi intratekal.
Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan cerebrospinal.
Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau
diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang
belakang.

 Terdapat tiga fase pelaksanaan kemoterapi :


a. Fase induksi Dimulasi
4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikanterapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi
dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam
sumsum tulangditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabinedan hydrocotison melaui
intrathecal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapiirradiasi kranial
dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistemsaraf pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisisdan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara
berkala,mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai
respon sumsumtulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikansementara atau dosis obat dikurangi.
2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya).
Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya
dihentikan.
3. Sitostatika
Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat tau
MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin
(Oncovin), rudidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase,
siklofosfamid atau CPA, adriamisin, dan sebagainya. Umunya sitostatika diberikan
dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi
sekunder atau kandidiasis. Hendaknya lebih berhati-hatibila jumlah leukosit kurang
dari 2.000/mm3. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi)
dalam kamar yang suci hama.

 Penatalaksanaan Non Farmakologi


Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi,
radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus
sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel
induk (stem cell) yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah
besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk
(stem cell) hasil transplantasi.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di
rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi
sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih
dalam jumlah yang memadai.
Transplantasi sumsum tulang merupakan prosedur dimana sumsum tulang yang
rusak digantikan dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat
disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi
sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker.
Transplantasi sumsu tulang dapat menggunakan sumsum tulang pasien sendiri yang masih
sehat. Hal ini disebuttransplantasi sumsum tulang autologus. Transplantasi sumsum tulang
juga dapat diperoleh dari orang lain. Bila didapat dari kembar identik, dinamakan
transplantasi syngeneic. Sedangkan bila didapat dari bukan kembar identik, misalnya dari
saudara kandung, dinamakan transplantasi allogenik. Sekarang ini, transplantasi sumsum
tulang paling sering dilakukan secara allogenik.
Efek samping transplantasi sumsum tulang tetap ada, yaitu kemungkinan infeksi
dan juga kemungkinan perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi. Hal ini dapat
ditanggulangi dengan pemberian antibiotik ataupun transfusi darah untuk mencegah
anemia. Apabila berhasil dilakukan transplantasi sumsum tulang, kemungkinan pasien
sembuh sebesar 70-80%, tapi masih memungkinkan untuk kambuh lagi. Kalau tidak
dilakukan transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhan hanya 40-50%.
Terapi stem cell yang rutin digunakan untuk mengobati penyakit saat ini adalah
transplantasi stem cell dewasa dari sumsum tulang belakang dan darah perifer serta darah tali
pusat bayi.

a. Stem Cell Sumsum Tulang Belakang


Terapi stem cell yang dikenal baik sekarang ini adalah transplantasi stem cell
sumsum tulang belakang yang digunakan untuk mengobati leukimia dan kanker lain yang
termasuk penyakit keganasan darah. Leukimia adalah kanker sel-sel darah atau leukosit.
Seperti sel-sel darah merah lain, leukosit dibuat dalam sumsum tulang belakang melalui
sebuah proses yang dimulai dengan stem cell dewasa multipoten (dapat berdiferensiasi
menjadi sel-sel penting dalam tubuh). Leukosit dewasa dilepaskan ke dalam aliran darah
dimana mereka bekerja untuk melawan infeksi dalam tubuh. Disebut leukimia ketika
leukosit mulai tumbuh dan berfungsi abnormal menjadi kanker. Sel-sel abnormal ini tidak
dapat melawan infeksi dan dapat mengganggu fungsi organ lain.
Terapi leukimia bergantung pada menghilangkan leukosit abnormal pada pasien
dan membiarkan sel yang sehat untuk tumbuh pada tempatnya. Satu cara untuk lakukan ini
melalui kemoterapi menggunakan obat yang keras untuk mencari dan membunuh sel-sel
abnormal.Ketika kemoterapi sendiri tidak dapat menghancurkan sel-sel abnormal, tenaga
medis kadang lebih memilih transplantasi sumsum tulang belakang.Pada transplantasi
sumsum tulang belakang, stem cell sumsum tulang belakang pasien tergantikan dengan
donor sehat yang cocok. Untuk melakukan hal ini, sumsum tulang belakang pasien dan
leukosit abnormal pertama-tama dihancurkan menggunakan kombinasi terapi dan radiasi.
Selanjutnya, sampel donor sumsum tulang belakang yang mengandung stem cell yang
sehat dimasukkan ke dalam aliran darah pasien. Jika transplantasi sukses, stem cell akan
berpindah ke sumsum tulang belakang pasien dan memproduksi leukosit sehat yang baru
untuk menggantikan sel-sel abnormal.

b. Stem Cell Darah Perifer


Sebagian besar stem cell darah tersimpan di dalam sumsum tulang belakang,
sementara sejumlah stem cell muncul dalam aliran darah. Stem cell darah perifer
multipoten dapat digunakan seperti sumsum tulang belakang untuk mengobati leukemia,
kanker lain dan berbagai gangguan darah.Stem cell dari darah perifer lebih mudah untuk
dikumpulkan dibandingkan dengan stem cell sumsum tulang belakang yang harus
diekstrak dari dalam tulang. Hal ini yang membuat stem cell darah perifer merupakan
pilihan pengobatan yang tidak seefektif stem cell sumsum tulang belakang. Karena
ternyata, stem cell darah perifer jumlahnya sedikit dalam aliran darah sehingga
mengumpulkan untuk melakukan transplantasi dapat menimbulkan masalah.

c. Stem Cell Darah Tali Pusat


Bayi baru lahir tidak membutuhkan tali pusat sehingga tali pusat ini akan dibuang.
Dalam beberapa tahun ini, darah kaya akan stem cell multipoten ditemukan dalam tali
pusat terbukti berguna dalam mengobati beberapa jenis masalah kesehatan yang sama
pada pasien yang diterapi dengan stem cell sumsum tulang belakang dan darah perifer.
Transplantasi stem cell darah tali pusat lebih sedikit untuk ditolak dibandingkan stem cell
sumsum tulang belakang dan darah perifer. Hal ini mungkin disebabkan stem cell sumsum
tulang belakang dan darah perifer belum berkembang sehingga dapat dikenali dan diserang
oleh kekebalan tubuh resipien.Juga, karena darah tali pusat baru memiliki sedikit sel-sel
kekebalan yang berkembang, sehingga risiko kecil sel-sel yang ditransplantasi akan
menyerang tubuh resipien, sebuah masalah yang disebut penyakit graft versus host.Baik
keanekaragaman dan ketersediaan stem cell darah tali pusat membuat menjadi sumber
poten untuk terapi transplantasi.Terapi stem cell seakan menjadi titik terang dalam dunia
gelap yang dihadapi para penderita penyakit keganasan darah seperti multiple myeloma,
chronic lymphatic leukemia,dan thallasemia mayor. Tapi ternyata, tidak hanya mereka
melainkan penderita penyakit lainnya juga dapat disembuhkan karena terapi stem cell di
luar negeri telah terbukti berhasil mengobati penyakit, infark miokard jantung, stroke,
alzheimer, dan lain-lain.

 Terapi
Umumnya pengobatan ditujukan terhadap penegahan kambuh dan mendapatkan masa
remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut , pada prinsipnya dipakai pola
dasar pengobatan sebagai berikut :
1. Induksi.Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberianberbagi obat
tersebut diatas, baik secara sistematik maupun intratekal sampai sel blas dalam
sumsum tulang kurang dari 5%.
2. Konsolidasi. Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri.
3. Rumat (maintenance). Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu
masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian titostatika separuh
dosis biasa.
4. Reinduksi. Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap
3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
5. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. Untuk hal ini diberikan MTX
intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial
sebanyak 2.400-2.500 rad. Untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia
serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
6. Pengobatan imunotologik. Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang
sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.

 Imunoterapi
Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan
jumlah sel leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan
yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae
bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan
tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah
diradiasi. Dengancara ini diharapakan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel
leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita
leukemia dapat embuh sempurna.BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada
reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing-masing 0,2
ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini,
obat-obat rumit diteruskan.

 Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi untuk
meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui
suntikan di dalam pembuluh darah balik (vena).
Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan
adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia. Terapi ini
memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah dan
sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang
digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-
sel leukemia.

 Terapi sitotoksik leukaemia mieloblastik akut


Terapi pada AML serupa dengan yang dijelaskan untuk ALL tetapi hasilnya kurang
baik. Rejimen yang tersering digunakan untuk AML adalah kombinasi tiha obat citosin
arabinosida, daunoribisin dan 6-tioguanin. Kasus semua subtipe AML (FAB m 1-m6)
diobati serupa (kecuali bahwa DIC mungkin ada pada varian promielositik (M 3) dan
“piatelet concentrates” dan plasma beku segar untuk memlengkapi faktora pembekuan,
digunakan sampai dicapai remisi).
1. Angka remisi lebih rendah (60% - 80%).
2. Remisi sering memakan waktu lebih lama untuk dicapai.
3. Hanya obat mielotoksik yang bernilai besar, dengan kurang selektivitas antara sel
leukaemik dan sel sumsum tulang normal.
4. Kegagalan sumsum tulang berat dan lama, perawatan penunjang intensif dibutuhkan
dan kematian dini biasa terjadi, khususnya pada pasien diatas 50 tahun.
5. Remisi lebih sebentar, nilai terapi pemeliharaan kurang jelas, dan jarang bertahan
hidup lama.
Profilaksis SSP biasa tidak diberika pada AML, walaupun kekambuhan meningeal
(meningeal relapse) memang terjadi pada beberapa kasus, teristimewa pada anak-anak dan
dewasa muda, dimana metotreksat intratekal dapat digunakan sebagai profialiktik.
 Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien, sebuah mesin yang besar
akanmengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuknyasel-sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan
ke seluruh tubuh.(Iradiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum
tulang).
 Terapi Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia.
Sinar berenergi tinggi ini ditunjukkan terhadap limfa atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuknya sel leukemia. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat
keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.
 Transplantasi Sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak
karena kanker dengan sumsum tulang yang sehat.
 Terapi Suportif
Berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan penyakit leukemia dan
mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia dengan
keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk
mengatasi infeksi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adapun pemeriksaan penunjang pada Leukemia secara umum :
 Tes darah – laboratorium akan memeriksa jumlah sel – sel darah. Leukimia
menyebabkan jumlah sel–sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan jumlah
trombosit dan hemoglobin dalam sel–sel darah merah menurun. Pemeriksaan
laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda
kelainan pada hati atau ginjal.
 Digunakan untuk mengetahui kadar Hb-Eritrosit, leukosit dan trombosit.
- Hb rendah < 10 g/100 ml
(N: dewasa: Pria 13,5-18 g/dl, wanita 12-16 g/dl; anak: 6 bln-1 th 10-15 g/dl, 5-14
th 11-16 g/dl)
- Trombositopenia < 50.000/mm
- Leukosit meningkat dapat lebih dari 200.000/mm3, normal atau menurun, kurang
dari 1000/mm³
 Apusan Darah Tepi
Digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah berupa bentuk, ukuran, maupun
warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi.
 Sumsum Tulang
Merupakan tes diagnostik yang sangat penting untuk mendiagnostik dan menetapkan
sel maligna. Adanya hiperseluler, sel sumsum tulang diganti sel leukosit.
Perbedaan pada pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang
Test LMA LLA LMK LLK
Darah -sel darah putih -sel darah putih -sel darah putih -meningkatkan
Tepi
normal meningkat disertai meningkat limfosit dewasa
kurang/meningkat limfositosis terutama yang kecil
-hitung sel darah -trombositopenia
bisa disertai granulosit
-anemia
putih dapat -trombositopenia
mieloblas
-anemia
-trombositopenia normal/berkurang
-anemia -trombositopenia
-anemia
Sum Hiperseluler 50% Hiperseluler Jiperseluler 2% 30% limfosit
sum Mieloblas
disertai infiltrasi blas megakariosit
tulang
limfoblas
 Biopsi – dokter akan mengangkat sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar
lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa sampel di bawah mikroskop, untuk
mencari sel – sel kanker. Cara ini disebut biopsi, yang merupakan cara terbaik untuk
mengetahui pakah ada sel – sel leukemia di dalam sumsum tulang.
 Sitogenetik – Laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel darah tepi,
sumsum tulang atau kelenjar getah bening.
 Processus Spinosus – dengan meggunakan jarum yang panjang dan tipis, dokter
perlahan – lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang di
sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini berlangsung sekitar 30 menit
dan dilakukan dengan anastesi local. Pasien harus berbaring selama beberapa jam
setelahnya, agar tidak pusing. Laboratorium akan memeriksa cairan apakah ada sel –
sel Leukimia atau tanda – tanda penyakit lainnya.
 Sinar X pada dada – sinar X ini dapat mengetahui tanda–tanda penyakit di dada.
 Tranfusi dan Kemoterapi Leukimia
o Definisi, jenis, peran perawat: pra, intra, post, komponen darah, efek samping, dan
cara mengatasi
o Kemoterapi: efek samping, peran perawat dalam cara mengatasi

I. Peran Perawat dalam Kemoterapi


1. Efek Samping Kemoterapi.
 Depresi
 Mual
 Muntah
 Diare
 Rambut rontok
 Masalah kulit
 Nafsu makan berkurang
 Gangguan otot dan saraf
2. Penanganan Efek Samping
 Depresi
 Olahraga dapat membantu melepaskan berbagai zat kimia tubuh yang melawan
depresi dan stress.
 Manjakan diri dengan berlibur sejenak dapat mengurangi tingkat depresi.
 Resep anti depresan dapat mengurangi gejala emosional dan fisik akibat depresi
sehingga memungkinkan pasien untuk fokus pada perawatan dan pemulihan.
 Konseling pribadi dapat membantu pasien dan keluarga mereka mengatasi
berbagai kestabilan emosi, kekhawatiran dan kesulitan yang menyertai kanker
dan kemoterapi

 Mual Muntah
Terdapat dua cara untuk mengatasi efek samping ini. Yaitu secara farmako dan non
farmako
 Farmako
Obat paling efektif untuk mual muntah adalah antagonis reseptor serotonin
(SRA). Karena agen kemoterapi menginisiasi aktivitas reseptor serotonin dalam
menimbulkan mual dan muntah. SRA yang sering digunakan yaitu ondansetron
(Zofran), granisetron (Kytril) dan dolasetron (Anzemet).
Pengkombinasian:
 Dexamethasone dan Prochlorperazine direkomendasikan untuk agen
kemoterapi yang mempunyai potensi emetik ringan hingga sedang.
 Dexamethasone dan metoclorpramide meski kurang efektif juga dapat
menjadi pilihan
Dexamethasone merupakan obat pilihan untuk mual muntah lambat.
Pemberiannya dilakukan bersamaan dengan SRA sebelum kemoterapi.
 Non Farmako
 Makan makanan yang kering.
 Porsi makanan kecil dengan frekuensi 6-8 kali/hari, diantaranya 3 kali makan
besar.
 Hindari makanan yang berbau merangsang.
 Hindari makanan yang berlemak tinggi karena akan merangsang rasa mual.
 Makan dan minum perlahan-lahan.
 Hindari makanan dan minuman terlalu manis.
 Batasi cairan pada saat makan.
 Tidk tiduran setelah makan lebih kurang 1 jam setelah makan.
 Apabila muntah, minumlah banyak air untuk menghindari trjadinya
dehidrasi.

 Kehilangan Rambut/Rambut Rontok.


Tidak semua kemoterpai dapat menyebabkan rmabut rontok. Keluhan ini biasanya
timbul 21 hari dari kemoterapi pertama kali. Efek samping ini dapat diatasi dengan
penggunaan wig ataupun penutup kepala seperti topi.
 Diare
Dapat diatasi dengan:
 Minum air dalam jumlah banyak. Air diminum dalam suhu kamar.
 Mengkonsumsi makanan dalam porsi kecil 6-8 kali per hari.
 Hindari makanan terlalu manis.
 Hindari susu penuh selama diare.
 Berikan makanan sumber serat larut air.
 Nafsu Makan Berkurang
 Tekankan pada diri pasien bahwa makan adalah bagian yang penting dalam
program pengobatan.
 Ciptakan suasana makan yang menyenangkan.
 Mengkonsumsi makanan lebih sering dari biasanya. Makanlah dalam 1-2 jam
sekali.
 Hindari bau makan yang menyengat.
 Menyediakan makan dalam porsi kecil.
 Menyediakan selalu makanan favorit untuk menggugah selera.
 Tambahkan bahan yang mengandung energi dan protein tinggi ke dalam
makanan seperti susu, mentega, telur.

PERAN PERAWAT dalam KEMOTERAPI


 Perawat harus mengetahui syarat-syarat pemberian obat kemoterapi, yaitu:
- Perawat harus mengetahui keadaan umum pasien, dimana keadaan pasien harus
cukup baik.
- Penderita cukup mengerti terhadap pengobatan dan mengetahui efek samping yang
akan terjadi setelah pengobatan.
 Perawat harus mengetahui prosedur-prosedur pemberian obat kemoterapi yang terdiri
dari :
- Persiapan pasien antara lain:
o Pemeriksaan fisik, pemeriksaan Lab, evaluasi status mentak, riwayat medis,
riwayat medikasi, riwayat keluarga.
o Periksa protokol dan program terapi yang digunakan, serta waktu pemberian obat
sebelumnya.
o Periksa nama pasien, dosis obat, jenis obat, cara pemberian obat.
o Informed consent (persetujuan antara pasien untuk dilakukan pengobatan).
o Sisipkan obat sitostatika yang akan dilakukan oleh staf farmasi dan dilakukan
diruangan tertutup.

 Perawat harus mengetahui cara pemberian pengobatan kemoterapi, yaitu:


- Periksa pasien, jenis obat, dosis obat, jenis cairan, volume cairan, cara pem
- berian, waktu pemberian dan akhir pemberian.
- Menggunakan alat proteksi yang sesuai, agar terindungi dari percikan obat
kemoterapi karena obat kemoterapi merupakan jenis obat keras.
- Lakukan teknik aseptik dan antiseptik.
- Pasang pengulas plastik yang dilapisi kertas absorbsi dibawah daerah tusukan
infus.
- Obat anti mual diberikan setengah jam sebelum pemberian antibeoplastik
(primperan, zoran, kitril secara IV) karena dampak kemoterapi adalah mual dan
muntah.
- Lakukan aspirasi dengan NaCl 0,9%.
- Beri obat kanker secara perlahan sesuai program.
- Bila selesai bilas kembali dengan NaCl 0,9%.
- Semua alat yang sudah dipakai dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diikat
serta diberi etiket.
- Buga gaun kemudian rendam dengan deterjen: bila disposible masukkan ke dalam
kantong plastik kemudian diikat dan diberi etiket, kirim ke incinerator/bakaran.
- Catat semua prosedur.
- Awasi keadaan umum pasien, monitor tensi, nadi dan RR tiap setengah jam dan
awasi tanda-tanda ekstrawasi.
 Perawat waijb memberikan informasi mengenai efek samping kemoterapi.
 Perawat melakukan evaluasi pada pasien setelah dilakukan kemoterapi:
- Evaluasi kemajuan klinik setelah pemberian obat.
- Mengenali adanya efek samping.
- Evaluasi teknik yang digunakan.

PERAN PERAWAT dalam TRANSFUSI


a. Definisi
Transfusi darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang
(donor) kepada orang lain (resipien).
b. Jenis dan Isi
1. Darah Utuh.
Darah utuh terbagi atas:
 Sangat segar (< 6 jam) mengandung eritrosit, trombosit, dan semua faktor
pembekuan darah, termasuk faktor labil (FV).
 Segar (6-24 jam) mengandung eritrosit, trombosit dan semua faktor pembekuan,
kecuali faktor labil (FV).
 Simpan (24-batal simpan) mengandung erotrosit, albumin, dan faktor pembekuan
darah, kecuali faktor V dan VIII.
2. PRC
PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama penyimpanan, atau
dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3) dari plasma dibuang. Satu unit
PRC dari 500 ml darah lengkap volumenya 200-250 ml dengan kadar Hematokrit 70-
80%, volume plasma 15-25 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai
pembawa oksigen dua kali lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu
penyimpanan sama dengan darah lengkap.
3. Trombosit Konsentrat
Indikasi untuk perdarahan trombositopenia dan trombositopatia, dosis 1 unit/kg
BB.
4. Plasma Segar Beku.
Indikasi untuk perdarahan defisiensi faktor pembekuan, PT dan APTT yang kurang
dari 1,5 kali normal. Serta koreksi perdarahan akibat overdosis warfarin.
5. Cyro Pregipitate.
Indikasi untuk perdarahan akibat hemofilia, penyakit non Wille brand dan
afibrinogemia.

c. Efek Samping
 Reaksi transfusi cepat  reaksi hemolitik kuat, reaksi demam dan alergi,
hipervolemia, edema paru non kardiogenik, hemolisis non imun serta sepsis
bakterial.
 Reaksi transfusi lambat  reaksi hemolitik lambat, penyakit infeksi (Hepatitis B, C,
HIV, Malaria, toksoplasmosis).

d. Peran Perawat Dalam Transfusi


Terbagi atas Pre Transfusi, Intra Transfusi dan Post Transfusi.
1. Pre Transfusi.
 Mempersiapkan bahan dan alat.
 Tetapkan bahwa klien telah menandatangani format persetujuan.
 Buat alur IV dengn kateter besar.
 Gunakan selang penginfus yang memiliki filter, selang juga harus memiliki set
pemberian tipe Y dengan filter.
 Gantung wadah cairan normal salin 0,9 yang akan diberikan setelah infus darah,
 Dapatkan riwayat transfusi darah.
 Dapatkan riwayat transfusi klien.
 Tinjau ulang program dokter.
 Periksa dengan tepat prouk darah dan klien yang mendapat komponen darah.
 Ukur TTV dalam 30 menit sebelum pemberian transfusi. Laporkan adanya
peningkatan suhu pada dokter.
 Minta klien melaporkan segera gejala (menggigil, sakit kepala, gatal, kemerahan
dan nyeri punggung).
 Minta klien berkemih/mengosongkan wadah penampung urine.

2. Intra Transfusi.
 Cuci tangan dan kenakan sarung tangan.
 Buka set pemberian darah.
 Tusukkan kantong IV normal salin 0,9%.
 Ketika unit ini selesai, pertahankan kepatenan vena dengan menginfuskan normal
salin.
 Buka klem pengatur bawah dan biarkan selang infus terisi salin.
 Tutup klem pengatur bawah setelah selang terisi salin.
 Balik kantong darah 1-2 kali dengan perlahan untuk mendistribusikan sel secara
seksama, tusuk wadah darah, buka klem pada selang masuk dan selang bawah,
kemudian isi selang secara seksama dengan mengisi filter dengan darah.
 Sambungan selang transfusi darah ke kateter IV dengan mempertahankan
sterilitas. Buka klem bawah.
 Pantau TTV klien.
 Atur infus sesuai pesanan dokter (PRC biasanya diberikan 1,5-2 jam, WBC
diberikan 1-3 jam).
 Setelah darah diinfuskan, bersihkan selang dengan normal salin 0,9%.
 Buang semua bahan dengan tepat. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.

3. Post Transfusi.
 Catat golongan dan jumlah komponen darah yang diberikan serta respon klien
terhadap terapi darah.
 Laporkan jika terjadi komplikasi.
 Beri pendidikan klien cara merawat.

e. Cara Mengatasi.
Bila pemberian transfusi darah menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan, maka
dapat dilakukan upaya alternatif farmakologis pemberian transfusi, dg. pemberian:
1. Eritropoetin (epoetin alfa) merupakan penanganan alternative yang efektif pada
klien anemia kronis akibat penyakit nginjal kronis. Efek utama obat ini adalah
merangsang eritropoesis. Obat ini dapat diberikan secara intravena/subkutan.
2. DDAVP merupakan bentuk sintetis vasopcesn L-arginin, yaitu suatu anti diuretik
yang dihasilkan secara alamiah oleh tubuh. Obat ini efektif untuk menangani
kelainan perdarahan sehubungan dengan disfungsi trombosit/trombositopenia.
Obat ini hanya dipakai pada klien dengan hemofilia A, penyakit Van Wellbrand,
serta gagal ginjal akut-kronis. Obat ini diberikan secara IV, SC dan intranasal.
ASUHAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian pada leukemia meliputi :
a.Riwayat penyakit
b.Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1).Pucat
2).Kelemahan
3).Sesak
4).Nafas cepat
c.Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1).Demam
2).Infeksi
d.Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1).Ptechiae
2).Purpura
3).Perdarahan membran mukosa
e.Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1).Limfadenopati
2).Hepatomegali
3).Splenomegali
f.Kaji adanya pembesaran testis
g.Kaji adanya :
1).Hematuria
2).Hipertensi
3).Gagal ginjal
4).Inflamasi disekitar rektal
5).Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)

2) Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan dan kekurangan
volume cairan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kebutuhan cairan terpenuhi
dengan kriteria hasil klien :
-Klien menunjukkan volume cairan adekuat dibuktikan dengan TTV stabil dan haluaran urine
(berat jens dan pH dalam batas normal)

Intervensi :
a) Awasi intake dan output cairan
Rasional: Mengukur keadekuatan penggantian cairan sesuai fungsi ginjal
b) Timbang BB tap hari
Rasional: Perubahan dapat menunjukkan efek hipolevemia (perdarahan/ dehidrasi)
c)Awasi TD dan frekuensi jantung
Rasional: Mempengaruhi pemasukan, kebutuhan cairandan rute penggantian
d) Perhatikan adanya mual, demam
Rasional: Dapat meningkatkan pemasukan dengan menurunkan mual
e) Dorong cairan sampai 3-4 L/ hari bia masukan oral dimulai
Rasional: Mempertahankan keseimbangan cairan/ elektrolit pada tak adanya pemasukan
melalui oral ; menurunkan resiko komplikasi ginjal
f)Kolaborasi pemberian cairan IV sesuai indikasi
Rasional: Meningkatkan aliran urin, mencegah pencetus asam urat dan menungkatkan
pembersihan obat antineoplastik

2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan


anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam pasien mendapat
nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil: tidak terjadi penurunan BB, terjadi peningkatan BB meningkat, TTV
normal, nafsu makan meningkat, mual (-), muntah (-)
Intervensi :
a)Dorong orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung dari mual dan
muntah serta kemoterapi
b)Izinkan anak memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan unmtuk
memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
c)Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau suplemen
yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
d)Izinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan
e)Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f)Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan untuk
menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan penting dalam
mempertahankan masukan kalori dan protein yang adekuat
g)Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori, khususnya bila BB
dan pengukuran antropometri kurang dari normal

3. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien tidak
mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak.
Kriteria Hasil: klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri turun menjadi ringan 1-3,
klien tampak lebih tenang
Intervensi :
a)Observasi tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 10
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau keefektifan
intervensi
b)Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat akses
vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c)Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat
d)Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e)Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman MH, dkk, 2008, Ilmu Kesehatan Anak, Buku I, penerbit Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI
Happy, Hayati. 2009. Pengaruh Distraksi. Jakarta: FK UI
Keliat, Anna Budi SKp, MSc., 2004, Proses Keperawatan, Jakarta: EGC.
Marilynn E. Doenges, Mary Prances Moorhouse, Alice C. Beissler, 2003, Rencana Asuhan
Keperawatan, Jakarta: EGC
Rosa M Sacharin, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, Jakarta: EGC
Sunar, Trenggana, 2000 Dr. Leukemia ; Penuntun bagi orang tua Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, FK UNHAS/SMF Anak RS DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Susan Martin Tucker, Mary M. Canabbio, Eleanor Yang Paquette, Majorie Fife Wells, 2008,
Standar Perawatan Pasien, volume 4, Jakarta: EGC.
Soeparman, Sarwono Waspadji, 1998, Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai